Anda di halaman 1dari 47

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Diabetes Melitus


Diabetes mellitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang akibat tubuh mengalami gangguan dalam mengontrol kadar gula
darah (Sri Anani, 2012).
Diabetes melitus atau yang lebih dikenal dengan penyakit gula atau
kencing manis diakibatkan oleh kekurangan hormon insulin. Hal ini disebabkan
oleh pankreas sebagai produsen insulin tidak memproduksi insulin dalam
jumlah yang cukup besar dari pada yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga
pembakaran dan penggunaan karbohidrat tidak sempurna (Tjokroprawiro, 1986
dalam Studiawan & Santoso, 2005).
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbihidrat (Price, 2005).
Diabetes melitus adalah sindrom yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara tuntutan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai
dengan hiperglikemia dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein (Rumaharbo, 1999).

1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


Secara umum, pasien DM dibagi menjadi dua kategori yaitu DM tipe 1
(disebabkan oleh defisiensi insulin absolut) dan DM tipe 2 (disebabkan adanya
tahanan insulin dan sekresi insulin yang tidak cukup). Selain itu, terdapat DM
yang dialami oleh wanita hamil yang biasa disebut DM gestasional dan
beberapa DM lain yang disebabkan oleh infeksi,obat, kelainan kelenjar
endokrin, kerusakan pankreas dan faktor genetik (DiPiro
et. al ., 2008).
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009, klasifikasi
Diabetes melitus adalah sebagai berikut:
1) Diabetes mellitus tipe 1
DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes Juvenile onset atau
Insulin dependent atau Ketosis prone, karena tanpa insulin dapat terjadi
kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah juvenile
onset sendiri diberikan karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4
tahun dan memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada
akhir usia 30 atau menjelang 40. Karakteristik dari tipe 1 adalah insulin yang
beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat,
dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap stimulus yang semestinya
meningkatkan sekresi insulin. Diabetes mellitus tipe 1 sekarang banyak
dianggap sebagai penyakit autoimun. Pemeriksaan histopatologi pankreas
menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel Langerhans. Pada
85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerang glutamic-acid
decarboxylase (GAD) di sel beta pankreas tersebut. Pravelensi DM tipe 1
meningkat pada pasien dengan penyakit autoimun lain, seperti penyakit
Grave, tiroiditis Hashimotho atau myasthenia gravis. Sekitar 95% pasien
memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA) DR3 atau HLA DR4. Kelainan
autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di mana
sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang
molekul sel beta pankreas yang menyerupai protein virus sehingga terjadi
destruksi sel beta dan defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan
memicu serangan terhadap sel beta, antara lain virus (mumps, rubella,
coxsackie), toksin kimia, sitotoksin, dan konsumsi susu sapi pada masa bayi.
Selain akibat autoimun, sebagian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses
yang idiopatik. Tidak ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM
tipe 1 yang bersifat idiopatik ini, sering terjadi akibat faktor keturunan,
misalnya pada ras tertentu Afrika dan Asia.
2) Diabetes mellitus tipe 2
Tidak seperti pada DM tipe 1, DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan
aktivitas HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel
beta yang masih berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen
tetapi tidak bergantung seumur hidup). Diabetes mellitus tipe 2 ini bervariasi
mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif,
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.
Pada DM tipe 2 resistensi insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta
terdapat respons yang inadekuat pada sel beta pankreas. Terjadi peningkatan
kadar asam lemak bebas di plasma, penurunan transpor glukosa di otot,
peningkatan produksi glukosa hati dan peningkatan lipolisis.
Defek yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan oleh gaya hidup yang
diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan, aktivitas fisik yang rendah,
obesitas) ditambah kecenderungan secara genetik. Nilai BMI yang dapat
memicu terjadinya DM tipe 2 adalah berbeda-beda untuk setiap ras.
3) Diabetes mellitus tipe lain
(1) Defek genetik fungsi sel beta
Beberapa bentuk diabetes dihubungkan dengan defek monogen pada
fungsi sel beta, dicirikan dengan onset hiperglikemia pada usia yang relatif
muda (<25 tahun) atau disebut maturity-onset diabetes of the young
(MODY). Terjadi gangguan sekresi insulin namun kerja insulin di jaringan
tetap normal. Saat ini telah diketahui abnormalitas pada 6 lokus dibeberapa
kromosom, yang paling sering adalah mutasi kromosom 12, juga mutasi di
kromosom 7p yang mengkode glukokinase. Selain itu juga telah
diidentifikasi kelainan genetic yang mengakibatkan ketidakmampuan
mengubah proinsulin menjadi insulin.
(2) Defek genetik kerja insulin
Terdapat mutasi pada reseptor insulin, yang mengakibatkan
hiperinsulinemia, hiperglikemia dan diabetes. Beberapa individu dengan
kelainan ini juga dapat mengalami akantosis nigricans, pada wanita
mengalami virilisasi dan pembesaran ovarium.
(3) Penyakit eksokrin pankreas
Meliputi pankreasitis, trauma, pankreatektomi, dan carcinoma
pankreas.
(4) Endokrinopati
Beberapa hormon seperti GH, kortisol, glukagon dan epinefrin
bekerja mengantagonis aktivitas insulin. Kelebihan beberapa hormon ini,
seperti pada sindroma Chusing, Glukogonoma, Feokromositoma dapat
menyebabkan diabetes. Umumnya terjadi pada orang yang sebelumnya
mengalami defek sekresi insulin, dan hiperglikemia dapat diperbaiki bila
kelebihan beberapa hormon tersebut dikurangi.
(5) Karena obat atau zat kimia
Beberapa obat dapat mengganggu sekresi dan kerja insulin. Vacor
(racun tikus) dan pentamidin dapat merusak sel beta. Asam nikotinat dan
glukokortikoid mengganngu kerja insulin.
(6) Infeksi
Virus tertentu dihubungkan dengan kerusakan sel beta, seperti
Rubella, Coxsackievirus B, CMV, Adenovirum, dan Mumps
(7) Imunologi
Ada dua kelainan iunologi yang diketahui, yaitu sindrom stiffman
dan antibodi antiinsulin reseptor. Pada sindrom stiffman terjadi peninggian
kadar autoantibodi GAD di sel beta pankreas.
(8) Sindroma genetik lain
Downs syndrome, Klinefelter syndrome, Turner syndrome, dll.
(4) Diabetes Kehamialan/gestational
Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai intoleransi glukosa dengan
onset pada waktu kehamilan. Diabetes jenis ini merupakan komplikasi pada
sekitar 1-14% kehamilan. Biasanya toleransi glukosa akan kembali normal pada
trisemester ketiga.

1.3 Etiologi Diabetes Melitus


Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas karena
paparan agen infeksi atau lingkungan, yaitu racun, virus (rubella kongenital,
mumps, coxsackievirus dan cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi,
kedelai, gandum dan susu sapi).
Beberapa teori ilmiah yang menjelaskan penyebab diabetes mellitus tipe 1
sebagai berikut:
1. Hipotesis sinar matahari
Teori yang paling terakhir adalah "hipotesis sinar matahari," yang
menyatakan bahwa waktu yang lama dihabiskan dalam ruangan, dimana akan
mengurangi paparan sinar matahari kepada anak-anak, yang akan
mengakibatkan berkurangnya kadar vitamin D. Bukti menyebutkan bahwa
vitamin D memainkan peran integral dalam sensitivitas dan sekresi insulin
(Penckofer, Kouba, Wallis, & Emanuele, 2008 dalam Homenta, 2012).
Berkurangnya kadar vitamin D, dan jarang terpapar dengan sinar matahari,
dimana masing-masing telah dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes
mellitus tipe 1.
2. Hipotesis higiene "Hipotesis kebersihan"
Teori ini menyatakan bahwa kurangnya paparan dengan prevalensi
patogen, dimana kita menjaga anak-anak kita terlalu bersih, dapat
menyebabkan hipersensitivitas autoimun, yaitu kehancuran sel beta yang
memproduksi insulin di dalam tubuh oleh leukosit. Dalam penelitian lain,
peneliti telah menemukan bahwa lebih banyak eksposur untuk mikroba dan
virus kepada anak-anak, semakin kecil kemungkinan mereka menderita
penyakit reaksi hipersensitif seperti alergi. Penelitian yang berkelanjutan
menunjukkan bahwa "pelatihan" dari sistem kekebalan tubuh mungkin
berlaku untuk pencegahan tipe 1 diabetes (Curry, 2009 dalam Homenta,
2012). Kukrija dan Maclaren menunjukkan bahwa pencegahan diabetes tipe 1
mungkin yang akan datang melalui penggunaan imunostimulasi, yakni
memaparkankan anak-anak kepada bakteri dan virus yang ada di dunia, tetapi
yang tidak menyebabkan efek samping imunosupresi.
3. Hipotesis Susu Sapi
Teori ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap susu sapi dalam susu
formula pada 6 bulan pertama pada bayi dapat menyebabkan kekacauan pada
sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko untuk mengembangkan
diabetes mellitus tipe 1 di kemudian hari. Dimana protein susu sapi hampir
identik dengan protein pada permukaan sel beta pankreas yang memproduksi
insulin, sehingga mereka yang rentan dan peka terhadap susu sapi maka akan
direspon oleh leukosit, dan selanjutnya akan menyerang sel sendiri yang
menyebabkan kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi dibetes mellitus
tipe 1. Peningkatan pemberian ASI di 1980 tidak menyebabkan penurunan
terjadinya diabetes tipe 1, tetapi terjadi peningkatan dua kali lipat diabetes
mellitus tipe 1. Namun, kejadian diabetes tipe 1 lebih rendah pada bayi yang
diberi ASI selama 3 bulan (Ekoe, Zimmet, & Williams, 2001 dalam Homenta,
2012).
4. Hipotesis POP
Hipotesis ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap polutan organik yang
persisten (POP) meningkatkan risiko kedua jenis diabetes. Publikasi jurnal
oleh Institut Nasional Ilmu Kesehatan Lingkungan menunjukkan peningkatan
yang signifikan secara statistik dalam tingkat rawat inap untuk diabetes dari
populasi yang berada di tempat Kode ZIP yang mengandung limbah beracun
(Kouznetsova, Huang, Ma, Lessner, & Carpenter, 2007 dalam Homenta,
2012).
5. Hipotesis Akselerator
Sebuah teori yang menunjukkan bahwa tipe 1 diabetes merupakan
bagian sederhana dari kontinum yang sama dari tipe 2, tetapi muncul lebih
dulu. Hipotesis akselerator menyatakan bahwa peningkatan berat dan tinggi
anak-anak pada abad terakhir ini telah "dipercepat", sehingga kecenderungan
mereka untuk mengembangkan tipe 1 dengan menyebabkan sel beta di
pankreas di bawah tekanan untuk produksi insulin. Beberapa kelompok
mendukung teori ini, tetapi hipotesis ini belum merata diterima oleh
profesional diabetes (O'Connell, Donath, & Cameron, 2007 dalam Homenta,
2012).
Jika dirunut lebih mendalam, ada beberapa faktor yang menyebabkan
diabetes mellitus, yaitu sebgai berikut:
a. Genetik atau Faktor Keturunan
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya
diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang
memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu. HLA
merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen
transplantasi dan proses imun lainnya. Sembilan puluh lima persen pasien
berkulit putih (caucasian) dengan diabetes tipe I memperlihatkan tipe HLA
yang spesifik (DR3 atau DR4).
Risiko terjadinya diabetes tipe I meningkat tiga hingga lima kali lipat
pada individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Risiko
tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat pada individu yang
memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika dibandingkan dengan populasi
umum).
b. Virus dan Bakteri
Virus yang diduga menyebabkan diabetes mellitus adalah rubela, mumps,
dan human coxsackievirus B4. Hasil penelitian menyebutkan bahwa virus
dapat menyebabkan diabetes mellitus melalui mekanisme infeksi sitolitik
pada sel beta yang mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Selain itu,
melalui reaksi otoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun pada sel
beta.
c. Bahan toksik atau beracun
Ada beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara langsung,
yakni alloxan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozotocin (produksi jenis
jamur). Bahan toksik lain berasal dari cassava atau singkong. Singkong
merupakan tanaman yang banyak tumbuh didaerah tropik, merupakan
sumber kalori utama penduduk kawasan tertentu. Singkong mengandung
glikosida sianogenik yang dapat melepaskan sianida sehingga memberi
efek toksik terhadap jaringan tubuh.
d. Nutrisi
Diabetes mellitus dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan
nutrisi, baik sebagai faktor penyebab maupun pengobatan. Nutrisi yang
berlebihan (overnutrition) merupakan faktor resiko pertama yang diketahui
menyebabkan diabetes mellitus. Semakin lama dan berat obesitas akibat
nutrisi yang berlebihan, semakin besar kemungkinan terjangitnya diabetes
mellitus.
e. Autoimun
Disebabkan kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta
pankreas. Respon ini merupakan proses abnormal dimana antibodi terarah
pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Autoantibodi
terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi
pada saat diagnosis dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-
tanda klinis diabetes tipe I yang baru terdiagnosis atau pada pasien
pradiabetes (pasien dengan antibodi yang terdeteksi tetapi tidak
memperlihatkan gejala klinis diabetes). Reaksi autoimunitas tersebut dapat
dipicu pula oleh adanya infeksi pada tubuh. Ditemukan beberapa petanda
imun (immune markers) yang menunjukkan pengrusakan sel beta pankreas
untuk mendeteksi kerusakan sel beta, seperti "islet cell autoantibodies
(ICAs), autoantibodies to insulin (IAAs), autoantibodies to glutamic acid
decarboxylase (GAD). )", dan antibodies to tyrosine phosphatase IA-2 and
IA-2.

f. Faktor lingkungan
Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-
faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai contoh hasil
penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat
memicu proses otoimun yang menimbulkan detruksi sel beta.
Interaksi antara faktor-faktor genetik, imunologi dan lingkungan
dalam etiologi diabetes tipe I merupakan pokok perhatian riset yang terus
berlanjut. Meskipun kejadian yang menimbulkan destruksi sel beta tidak
dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan bahwa kerentanan genetik
merupakan faktor dasar yang melandasi proses terjadinya diabetes tipe I
merupakan hal secara umum dapat diterima
g. Idiopatik
Sebagian kecil diabetes melitus tipe 1 penyebabnya tidak jelas (idiopatik).
Penyebab-penyebab tertentu yang berhubungan dengan proses
terjadinya Diabetes melitus tipe 2 menurut Guyton & Hall (2002), yaitu :
1. Usia
Insiden terjadinya DM tipe 2 biasanya muncul pada penderita yang di atas
40 tahun (Kimble et. al., 2009). Hal itu bisa terjadi karena seiring
bertambahnya usia dapat terjadi penurunan fungsi organ tubuh, termasuk
pengangkutan glukosa ke jaringan. Reseptor ini akan menjadi tidak peka
terhadap adanya glukosa dalam darah sehingga yang terjadi adalah
peningkatan kadar glukosa dalam darah. (RG et. al., 2000)
2. Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang
akan berpengaruh pada penurunan hormon insulin. Jika nilai Body Mass
Index (BMI) 25 kg/m2 yang masuk kategori overweight-obesitas maka
akan meningkatan risiko berkembangnya resistensi insulin dan DM Tipe 2.
Pada orang dengan berat badan berlebih jaringan adiposa akan melepaskan
sejumlah asam lemak non-esterifikasi, gliserol, hormon, sitokin pro
inflamasi, dan faktor lain yang mendukung perkembangan resistensi insulin.
Ketika resistensi insulin disertai dengan disfungsi sel beta, maka akan terjadi
penurunan sekresi insulin sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa
darah (Kahn et.al., 2006). Obesitas ditemukan di kira-kira 85% dari
penderita yang didiagnosis menderita Diabetes melitus tipe 2 ( Black &
Hwaks, 2009).
3. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga juga termasuk faktor predisposisi pada Diabates melitus
tipe 2, dimana hal ini dihubungkan dengan peran utama sifat herediter
(Black & Hwaks, 2009). Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga
yang mengidap diabetes. Ini terjadi karena DNA pada orang diabetes melitus
akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan
produksi insulin.

1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus


Patofisiologi Diabetes melitus tipe 1
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak
kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk
kemudian di dalam sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila
isulin tidak ada, maka glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel
dengan akibat kadar glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalams el
dengan akibat kadar glukosa dalam darah meningkat. Keadaan inilah yang
terjadi pada diabetes mellitus tipe 1.
Pada diabetes melitus tipe 1 terjadi fenomena autoimun yang ditentukan
secara genetik dengan gejala yang akhirnya menuju proses bertahap perusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Tipe diabetes ini berkaitan
dengan tipe histokompabilitas (Human Leucocyt Antigen/HLA) spesifik. Tipe
gen histokompabilitas ini adalah yang memberi kode pada protein yang
berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Protein ini mengatur respon
sel T yang merupakan bagian normal dari sistem imun. Jika terjadi kelainan,
fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan penting dalam patogenesis
perusakan pulau langerhans (Price, 2006).
Patofisiologi Diabetes mellitus Tipe 2
Karbohidrat, dalam keadaan normal, akan dicerna menjadi monosakarida
dan diabsorpsi terutama oleh duodenum dan jejunum proksimal. Sesudah
diabsorpsi, kadar glukosa darah akan naik untuk sementara waktu tetapi akan
kembali pada kondisi normal beberapa saat kemudian. Pada diabetes mellitus
tipe 2 terjadi gangguan metabolism glukosa yang disebabkan oleh 2 faktor yaitu
tidak adekuanya sekresi insulin secara kuantitatif (defisiensi insulin) dan kurang
sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin) (Soegondo &
Soewondo, 2011).
Pada diabetes mellitus tipe 2, gangguan berupa disfungsi sel beta dan
resistensi insulin adalah dua factor etiologi yang bersifatbawaan (genetic).
Secara klinis, muncul peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilasi
glukosa tidak berlangsung sempurna. Proses utilasi glukosa yang normal
membutuhkan insulin dalam jumlah yang cukup dan jaringan tubuh yang
sensitive terhadap insulin agar dapat bekerja efektif. Gangguan metabolism
yang terjadi, pada mulanya disebabkan oleh kelainan pada dinamika sekresi
insulin. Kelainan tersebut berupa gangguan pada fase I sekresi insulin yang
tidak sesuai kebutuhan (inadekuat)
Defisiensi insulin yang terjadi, menimbulkan dampak buruk terhadap
homeostasis glukosa darah, yaitu yang pertama terjadi adalah Hiperglikemia
Akut Pascaprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah sementara
(10-30 menit) setelah beban glukosa setelah asupan glukosa (makan atau
minum). Kondisi ini disebut juga sbagai lonjakan glukosa darah setelah makan.
HAP yang muncul akibat tidak normalnya fase 1, memberi dampak terhadap
kinerja fase 2 sekresi insulin. Secara klinis, dampak yang ditimbulkan oleh
gangguan fase 1 sekrsi insulin, dapat terdeteksi pada Test Toleransi Glukosa
Oral (TTGO). Dalam hal ini TTGO mulai memperlihatkan kecenderungan
peningkatan kadar glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Hal ini
merupakan cerminan dari ketidakberhasilan sekresi insulin fase 1 dalam
meredam HAP. Meskipun pada mulanya ada upaya berupa peningkatansekresi
fase 2, namun secara lambat laun keadaan normoklikemia tidak dapat
diperthankan. Pada satu waktu akan muncul keadaan atau fase yng dinamakan
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT). Dalam perjalanan penyakit, tahap ini
sering disebut prediabetes (kadar glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa:
140-200 mg/dl) (Prince,Wilson,2005).
Secara etiologis, HAP pada gangguan metabolisme lukosa sebenarnya bukan
semata-mata disebabkan oleh inadekuatnya sekresi insulin fase 1. Faktor
lainnya yang juga ikut berperan yakni jaringan tubuh subjek bersangkutan yang
secara genetik kurang sensitive (resisten) terhadap insulin. Namun demikian,
pada tahap dini perjalanan penyakit tingginya kadar glukosa darah tersebut
lebih dominan diakibatkan oleh gangguan fase 1sekresi insulin. Secara
fisiologis, dampak peningktan kadar glukosa darah yang diakibatkan gangguan
fase 1, diusahakan mengatasi oleh fase sekresi insulin. Pada mulanya
mekanisme kompensas, bahkan sering over kompensasi insulin disekresi secara
berlebihan untuk tujuan normalisasi kadar glukosa darah. Dapat dipahami
bahwa lambat laun usaha ini kan berakhir pada tahap kelelahan sel beta
(exhaustion) yang disebut tahap dekompensasi sehingga terjadi defisiensi
insulin secara absolute. Pada tahap akhir ini metabolisme glukosa semakin
buruk karena peningktana kadar gula darah (hiperglikemia) tidak hanya oleh
karena resistensi insulin, tapi disertai puala oleh kadar insulin yang telah begitu
rendahnya (Prince & Wilson,2005)
Pathogenesis DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer,
gangguan hepatic glucose production (HGP) dan penurunan fungsi sel ,
yang pada akhirnya akan menjadi kerusakan total sel . Pada stadium
prediabetes (IFG dan IGT) mula-mula timbul resistensi insulin (RI) yang
kemudian disusul oleh peningktan sekresi insulin untuk mengkompensasi RI itu
agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel tidak akan mampu
lagi mengkompensasi RI sehingga kadar gula darah meningkat dan fungsi sel
semakin menurun. Penurunan kemampuan tersebut akan berlangsung secara
progresif sampai akhirnya sel tidak mampu lagi mensekresi insulin, suatu
keadaan yang menyerupai DM tipe 1 (Soegondo & Soewondo,2011)

1.5 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus


Gejala klasik penyakit diabetes mellitus dikenal dengan istilah trio-P,
yaitu meliputi Poliuria (banyak kencing), Polidipsi (banyak minum), dan
Polipagia (banyak makan) (Dr. Endang, 2011).
1. Poliuria (banyak kencing) merupakan gejala umum pada penderita diabetes
mellitus. Banyaknya kencing ini disebabkan kadar gula dalam darah
berlebihan sehingga merangsang tubuh untuk berusaha mengeluarkannya
melalui ginjal bersama air dan kencing. Gejala banyak kencing ini terutama
menonjol pada waktu malam hari, yaitu saat kadar gula dalam darah relative
tinggi.
2. Polidipsia (banyak minum), sebenarnya merupakan akibat (reaksi tubuh) dari
banyak kencing tersebut. Untuk menghindari tubuh kekurangan cairan
(dehidrasi), maka secara otomatis akan timbul rasa haus yang menyebabkan
timbulnya keinginan untuk terus minum selama kadar gula dalam darah
belum terkontrol baik. Sehingga akan terjadi banyak kencing dan banyak
minum.
3. Polipagia (banyak makan), merupakan gejala yang tidak menonjol.
Terjadinya banyak makan ini disebabkan oleh berkurangnya cadangan gula
dalam tubuh meskipun kadar gula dalam darah tinggi. Sehingga dengan
demikian tubuh berusaha memperoleh tambahan cadangan gula dari
makanan yang diterima.
Gejala-gejala lain yang biasanya tampak pada penderita diabetes
mellitus adalah sebagai berikut :
1. Timbulnya rasa letih yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Timbulnya rasa gatal dan peradangan kulit yang menahun.
3. Terjadinya penurunan berat badan.
4. Timbulnya rasa kesemutan (mati rasa) atau sakit pada tangan atau kaki.
5. Timbulnya borok (luka) pada kaki yang tak kunjung sembuh.
6. Hilangnya kesadaran diri.

1.6 Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Melitus


1.6.1 Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada
penduduk umumnya (mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak
dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi
mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan
untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up) ,
adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan
tersebut sangat dianjurkan.
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah
satu faktor risiko untuk DM, yaitu:
1. Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
2. Kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27
(kg/m2)}
3. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
4. Riwayat keluarga DM
5. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl
8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa
Darah Puasa Terganggu)
1.6.2 Pemeriksaan Kadar Glukosa
Metode pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi, enzimatik,
dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu
metode glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase.
Metode GOD banyak digunakan saat ini. Akurasi dan presisi yang
baik (karena enzim GOD spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua
rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang bisa mengganggu antara
lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.
Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki
akurasi dan presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens,
karena enzim yang digunakan spesifik untuk glukosa.
Ada beberapa cara dalam pemeriksaan kadar glukosa untuk
menegakkan diagnosa diabetes melitus, yaitu :
1. Gejala klasik DM + gula darah sewaktu 200 mg/dl. Gula darah
sewaktu. Merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memerhatikan waktu makan terakhir
2. Kadar gula darah puasa 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak
mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200mg/dl. TTGO dilakukan
dengan Standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.
Beberapa cara dalam pelaksanaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
menurut WHO, 1994 :
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan
sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa 4
4. Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), atau 1,75 g/Kg BB (anak-
anak), dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5
menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat
dan tidak merokok.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) dari hasil yang
diperoleh.
a) TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembebanan antara 140
199 mg/dl
b) GDPT : glukosa darah puasa antara 100 125 mg/dl.
1.6.3 Reduksi Urine
Pemeriksaan ini merupakan bagian dari pemeriksaan urine rutin yang
selalu dilakukan di klinik. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict (
reduksi ). Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya glukosuria
dimana didapatkan adanya glukosa dalam urine. Beberapa hal yang perlu
diingat dari hasil pemeriksaan reduksi urine adalah:
1. Digunakan pada pemeriksaan pertama sekali untuk tes skrining,
bukan untuk menegakkan diagnosis
2. Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine dengan
nilai (+) sampai (++++)
3. Warna hijau reduksi (+) : masih mungkin oleh sebab lain, seperti:
renal glukosuria, obat-obatan, dan lainnya
4. Warna kuning reduksi (++) : kemungkinan KGD: 200 300 mg%
5. Warna merah reduksi (+++) : kemungkinan KGD: 300 400 mg%
6. Warna merah bata reduksi (++++) : kemungkinan KGD: 400
mg%
7. Dapat digunakan untuk kontrol hasil pengobatan
8. Bila ada gangguan fungsi ginjal, tidak bisa dijadikan pedoman

1.6.4 Pemeriksaan urinalisis


Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton. Pada respons terhadap
defisiensi intraseluller, protein dan lemak diubah menjadi glukosa
(glikoneogenesis) untuk energi. Selama proses pengubahan ini, asam
lemak bebas dipecah menjadi badan keton dan hepar. Ketosis terjadi
ditunjukkan oleh ketonuria. Glukosuria menunjukkan bahwa ambang
ginjal terhadap reabsorpsi glukosa dicapai. Ketonuria menandakan
ketoasidosis.
1.6.5 Pemeriksaan Essei Hemoglobin Glikolisat
Tes ini mengukur persentase glukosa yang melekat pada hemoglobin.
Glukosa tetap melekat pada hemoglobin selama hidup. Rentang normal
adalah 5 6%.
1.6.6 Pemeriksaan C-peptide
Pemeriksaan ini digunakan untuk membedakan diabetes melitus tipe 1
dengan tipe 2. Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang baik
untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk memonitor respons
individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan
meningkat pada transplantasi pankreas atau transplantasi sel - sel pulau
pankreas.
1.6.7 Pemeriksaan HbA1C
Pemeriksaan ini digunakan sebagai pemantau pengelolaan DM. HbA1C
adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara
glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin.
Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi
ketoamin yang stabil dan ireversibel. Metode pemeriksaan HbA1C: ion-
exchange chromatography, HPLC (high performance liquid
chromatography), Electroforesis, Immunoassay, Affinity chromatography,
dan analisis kimiawi dengan kolorimetri.
Metode Ion Exchange Chromatography harus dikontrol perubahan
suhu reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang
mengganggu adalah adanya HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil
negatif palsu.
Metode HPLC: prinsip sama dengan ion exchange chromatography,
bisa diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali.
Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi.
Metode agar gel elektroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan
HPLC, tetapi presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil
positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak
berpengaruh pada metode ini.
Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak
mengukur HbA1C yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai
presisi yang baik.
Metode Affinity Chromatography: non-glycated hemoglobin serta
bentuk labil dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated
hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC
hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur
keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan
metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.
Metode Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik
karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated labil.
Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan pengukuran yang
kurang dikenal oleh klinisi, yaitu mmol/L.
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah
meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas
kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol,
terjadi peningkatan HbA1C-nya) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit).
HbA1C meningkat: pemberian Tx lebih intensif untuk menghindari
komplikasi.
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%.
Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat
atau belum.1,18 Sebaiknya, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin
tiap 3 bulan sekali.
1.6.8 Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Pemeriksaan ini digunakan untuk memantau adanya komplikasi
nefropati. Selain pemeriksaan mikroalbuminuria, dapat pula menggunakan
pemeriksaan sulfat urine tapi pemeriksaan ini sangat jarang dilakukan.
Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah pemeriksaan serum ureum dan
kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.
Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam
atau sebesar 20-200 mg/menit. Mikroalbuminuria ini dapat berkembang
menjadi makroalbuminuria. Sekali makroalbuminuria terjadi maka akan
terjadi penurunan yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol DM yang ketat
dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga
perjalanan menuju ke nefropati bisa diperlambat. Pengukuran
mikroalbuminuria secara semikuantitatif dengan menggunakan strip atau
tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor pasien tes-tes ini
kurang akurat sehingga jarang digunakan. Yang sering adalah cara
kuantitatif: metode Radial Immunodiffusion (RID), Radio Immunoassay
(RIA), Enzym-linked Immunosorbent assay (ELISA), dan
Immunoturbidimetry. Metode kuantitatif memiliki presisi, sensitivitas, dan
range yang mirip, serta semuanya menggunakan antibodi terhadap human
albumin. Sampel yang digunakan untuk pengukuran ini adalah sampel
urine 24 jam.
Ada 3 kategori albuminuria, yaitu albuminuria normal (<20
mg/menit), mikroalbuminuria (20-200 mg/menit), Overt Albuminuria
(>200 mg/menit). Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan minimal
1x Per tahun pada semua penderita DM usia > 12 tahun.
1.7 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Penatalaksanaan DSME
Definisi dan Prinsip DSME
Diabetic self Management education menurut Funnel (2010) adalah suatu
proses yang memfasilitasi terbentuknya pengetahuan, keterampilan serta
kemampuan yang diperlukan untuk pengelolaan diabetes secara mandiri.
Prinsip-prinsip yang mendasari adalah :
1. Intervensi DSME efektif dalam meningkatkan hasil pemeriksaan klinis,
kualitas hidup pasien, paling tidak dalam jangka pendek.
2. Intervensi DSME meningkatkan model pengajaran primer yang biasa
dilakukan menjadi model pengajaran yang berbasis pemberdayaan pasien.
3. Tidak ada progam pengajaran yang terbaik, namun demikian progam
pengajaran melibatkan strategi perilaku dan psikososial menunjukkan
peningkatan hasil yang lebih baik.
4. Dukungan yang berkelanjutan dari petugas kesehatan merupakan sesuatu
yang penting untuk mempertahankan kemajuan yang sudah dicapai pasien
selama mengikuti progam DSME.
5. Pendidikan dengan tujuan perubahan perilaku merupakan strategi yang
efektif dalam mendukung self care behavior.

Penatalaksanaan Diet
Tujuan :
Membantu pasien memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk
mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik dengan cara:
1. Mempertahankan kadar glukosa darah supaya mendekati normal
2. Mencapai dan mempertahankan kadar lipid serum normal
3. Memberi cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai berat badan
normal
4. Menghindari atau menangani komplikasi akut pasien
5. Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang
optimal
Syarat Diet :
1. Energi cukup
1. Kebutuhan protein normal: 10-15 % Energi total
2. Kebutuhan lemak sedang: 20-25 % Energi total
3. Kebutuhan KH : 60-70 % Energi total
4. Gula murni dilarang, gula alternatif dibatasi
5. Asupan serat: 25 gram/hari
6. Pasien DM dengan Hipertensi, asupan garam dikurangi
7. Cukup vitamin dan mineral
Penentuan Jumlah Kalori Diet Dibates Melitus
Penentuan jumlah kalori diet diabetes disesuaikan dengan status gizi penderita.
Penentuan status gizi dilaksanakan dengan menghitung percentage of relative
body weight (RBW),
Rumus :

RBW = 100 100%

Kriteria :
1) Kurus ( underweight ) : RBW < 90 %
2) Normal : RBW 90 110 %
3) Gemuk ( overweight ) : RBW > 110 %
4) Obesitas : RBW > 120 %
Pedoman jumlah kalori yang diperlukan untuk penderita yang bekerja biasa
adalah sebagai berikut :
1) Kurus : BB x 40 60 kalori sehari
2) Normal : BB x 30 kalori sehari
3) Gemuk : BB x 20 kalori sehari
4) Obesitas : BB x 10 15 kalori sehari
Tabel 1 Macam Diet dan Indikasi Pemberian ;
Macam Kalori Protein Lemak Karbohidrat
Diet
I 1100 43 gr 30 gr 172 gr
II 1300 45 gr 35 gr 192 gr
III 1500 51.5gr 36.5 gr 235 gr
IV 1700 55.5 gr 36.5 gr 275 gr
V 1900 60 gr 48 gr 299 gr
VI 2100 62gr 53gr 319 gr
VII 2300 73 gr 59 gr 369 gr
VIII 2500 80 gr 62 gr 396 gr
Indikasi Diet :
1. Diit I s/d III : diberikan kepada penderita yang terlalu gemuk
2. Diit IV s/d V : diberikan kepada penderita yang mempunyai berat badan
normal
3. Diit VI s/d VIII : diberikan kepada penderita kurus, diabetes remaja atau
diabetes dengan komplikasi
Tabel 2 Konversi Ukuran Rumah Tangga Beberapa Bahan Makanan
Penatalaksanaan Aktifitas
1. Prinsip
Prinsip olah raga pada DM sama saja dengan prinsip olahraga secara
umum, yaitu memenuhi hal berikut ini (F.I.T.T) :
Frekuensi : jumlah olah raga perminggu sebaiknya dilakukan secara teratur
Intensitas : ringan dan sedang yaitu 60 % - 70% MHR
Time (durasi) : 30 60 menit
Tipe (jenis) :
olahraga endurance (aerobic) unuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan bersepeda.
(Ilyas(2009), dalam Soegondo, hal 76)
2. Jenis
Jenis olah raga yang baik untuk pengidap DM adalah olah raga yang
memperbaiki kesegaran jasmani. Oleh karena itu harus dipilih jenis olah
raga yang memperbaiki semua komponen kesegaran jasmani yaitu yang
memenuhi ketahanan, kekuatan, kelenturan tubuh, keseimbangan,
ketangkasan, tenaga dan kecepatan.
Contoh jenis-jenis olah raga yang di anjurkan utuk penderita DM, adalah :
a. Jogging
b. Senam aerobic
c. Bersepeda
d. Berenang
e. Jalan santai
f. Senam kesehatan jasmani (SKJ
Jenis olah raga yang tersebut di atas adalah olah raga yang bersifat :
a. Continuous
Latihan yang diberikan harus berkesinambungan, dilakukan terus
menerus tanpa berhenti. Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka
selama 30 menit pengidap melakukan jogging tanpa istirahat.
b. Rhythmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Contoh : latihan ritmis adalah
jalan kaki, jogging, berenang, bersepeda, mendayung.
c. Intensity
Latihan olah raga yang dilakukan selang seling antara gerak cepat dan
lambat. Misalnya, jalan cepat diselingi jalan lambat, jogging diselingi
jalan. Dengan kegiatan yang bergantian pengidap dapat bernafas
dengan lega tanpa menghentikan latihan sama sekali.

d. Progressive
Latihan yang dilakukan harus berangsur-angsur dari sedikit ke latihan
yang lebih berat, secara bertahap. Jadi beban latihan olah raga dinaikan
sedikit demi sedikit sesuai dengan pencapaian latihan sebelumnya
e. Endurance
Latihan daya tahan tubuh memperbaiki system kardiovaskuler. Oleh
karena itu sebelum ikut program latihan olah raga, terhadap pengidap
harus dilakukan pemeriksaan kardiovaskuler. (Ilyas(2009), dalam
Soegondo)
3. Tahap-tahap yang dilakukan setiap latihan
a. Pemanasan (warming up)
Mengurangi kemungkinan terjadinya akibat berolahraga. Lama
pemanasan cukup 5 10 menit.
b. Latihan inti (conditioning)
Pada tahap ini denyut nadi di usahakan mencapai target tekanan darah
normal agar latihan benar-benar bermanfaat. Bila target normal tidak
tercapai maka latihan tidak bermanfaat, bila melebihi normal akan
menimbulkan resiko yang tidak diinginkan.
c. Pendinginan (cooling-down)
Pendinginan dilakukan untuk mencegah terjadinya penimbunan asam
laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot, pusing, sesudah
berolah raga. Lama pendinginan kurang lebih 5-10 menit hingga denyut
nadi mendekati denyut nadi istirahat.
d. Peregangan (stretching)
Untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot yang masih teregang.
(Ilyas(2009), dalam Soegondo, hal 76)
Penatalaksanaan Medis
Apabila terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga) belum berhasil
mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah
berikutnya berupa terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral
,terapi insulin atau kombinasi keduanya.(Saraswati, 2009)
Tujuan utama dari pengobatan diabetes adalah untuk mempertahankan
kadar gula darah dalam kisaran yang normal. Kadar gula darah yang benar-
benar normal sulit untuk dipertahankan, tetapi semakin mendekati kisaran yang
normal, maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara maupun jangka
panjang semakin berkurang. (Saraswati, 2009)
1. Terapi obat hipoglikemik oral (OHO)
Dibagi menjadi 4 golongan :
a. Golongan Obat yang bekerja memicu sekresi insulin
1. Sulfonilurea
Efek utama golongan ini meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penyakit hati,
ginjal dan tiroid.
2. Glinid
Merupakan obat generasi baru ,cara kerjanya sama dengan sulfonilurea
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan obat ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu:
1. Repaglinid
2. Nateglinid. (Soegondo, 2009, hal 123)
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin
1. Biguanid
Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan terutama bekerja di hati
dengan mengurangi hepatic glucose output dan menurunkan kadar
glukosa dalam darah sampai normal (euglikemia) serta tidak pernah
menyebabkan hipoglikemia. Contoh golongan ini adalah metformin.
2. Thiazolindion/glitazon
Thiazolindion berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor
gamma (PPAR) suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Obat
golongan ini memperbaiki sensitifitas terhadap insulin dengan
memperbaiki transpor glukosa kedalam sel. Contoh golongan ini
:pioglitazon(Actoz) dan Rosiglitazon (Avandia). (Soegondo, 2009, hal
124)
c. Penambah alfa glukosidase / acarbose
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan glikemia postprandial.
Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan
juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.(Soegondo, 2009, hal 126)
d. Golongan inkretin
1. Inkretin mimetic
Jenis : suntikan, belum masuk pasaran indonesia.
Mekanisme : menurunkan glukosa darah dengan cara merangsang
sekresi insulin dan menghambat sekresi glucagon.
2. Penghambat DPP IV
a. Mekanisme : Obat golongan baru ini mempunyai cara kerja
menghambat suatu enzim yang mendegradasi hormon inkretin
endogen yang berasal dari usus, sehingga dapat meningkatkan sekresi
insulin yang dirangsang glukosa, mengurangi sekresi glukagon dan
memperlambat pengosongan lambung.
b. Dosis : tunggal tanpa perlu penyesuaian dosis .dapat diberikan
monoterapi tetapi juga dapat dikombinasi dengan metformin,
glitazon atau sulfonylurea. (Soegondo, 2009, hal 127)
Indikasi pemakaian Obat Hipoglikemi Oral :
1. Diabetes sesudah umur 40 tahun
2. Diabetes kurang dari 5 tahun
3. Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit sehari
4. DM tipe 2, berat normal atau lebih. (Soegondo, 2009, hal 129)
2. Terapi Insulin
Adapun pemilihan insulin yang akan digunakan tergantung pada :
a. Keinginan penderita untuk mengontrol diabetesnya.
b. Keinginan penderita untuk memantau kadar gula darah dan
menyesuaikan dosisnya.
c. Aktivitas harian penuh penderita.
d. Kecekatan penderita dalam mempelajari dan mahami penyakitnya.
e. Kestabilan kadar gula darah sepanjang hari dan dari hari ke hari.
(Saraswati, 2009)
Empat tipe Insulin yang diproduksi dan dikategorikan berdasarkan puncak
dan jangka waktu efeknya :
a. Insulin Kerja Singkat (short acting) ; insulin regular merupakan satu-
satunya insulin jernih ataularutan insulin, sementara lainnya adalah
suspense. Insulin regular adalah satu-satunya prodak insulin yang cocok
untuk pemberian intra vena. Contoh : Actrapid, Humulin R.
b. Insulin kerja cepat (rapid acting), cepat diabsorbsi, adalah insulin analog
seperti: Novorapid, Humalog, Apidra.
c. Insulin kerja sedang yaitu NPH termasuk Monotard, Insulatard, Humulin.
d. Insulin kerja panjang, mempunyai kadar zing yang tinggi untuk
memperpanjang waktu kerjanya. Contoh:Ultra lente
(Soegondo, 2009, hal 114)
Injeksi Insulin
Injeksi insulin diberikan secara subkutan. Dulu, karena jarumnya
panjang, jaringan subkutan perlu diangkat dengan ibu jari dan jari telunjuk.
Sekarang, jarum insulin yang dipakai sudah pendek, hanya 0,6-1,25 cm
sehingga tidak perlu mengangkat jaringan subkutan, kecuali apabila pasien
sangat kurus atau kaheksia. Jarum dimasukkan ke dalam jaringan subkutan
dalam sudut 900. Biasanya, individu dengan DM memakai spuit insulinnya
berulang. Insulin mempunyai aditif bakteriostatik yang bisa mencegah
tumbuhnya bakteri.
Ada dua prinsip yang perlu diperhatikan dalam memilih daerah
suntikan, yaitu konsistensi dan rotasi. Konsistensi dalam memakai daerah
suntikan sangat penting karena absorpsi insulin sangat berbeda, bergantung
pada daerah suntikannya. Absorpsi insulin adalah paing cepat pada daerah
abdomen, kemudian lengan, paha, bokong, sesuai urutannya. Dianjurkan
untuk memakai abdomen untuk injeksi insulin sebelum makan pagi; lengan
atau paha sebelum makan siang; bokong sebelum tidur malam. Dengan
memakai daerah tersebut secara menetap dan bergilir, gangguan lipodistrofi
dapat dicegah. Cara yang terbaik adalah memberi injeksi dengan jarak 2,5 cm
dan tidak memakai daerah injeksi yang sama dalam 2-4 minggu. Lipodistrofi
bisa timbul jika memakai daerah yang sama dan berulang. Lipidostrofi bisa
membuat absorpsi obat insulin menjadi kurang. Ada dua bentuk lipodistrofi ,
yaitu hipertrofi dan atrofi. Pada hipertrofi, terjadi penebalan pada daerah
suntikan karena terbentuknya parut yang terdiri atas jaringan fibrosa sebagai
akibat injeksi yang berulang. Daerah dengan jaringan fibrotik ini kehilangan
serabut sarafnya, pasien memilih memakai daerah tersebut karena tidak terasa
sakit injeksinya.

Gambar 5 Bagian-Bagian dari Pen Insulin (Lewis et.al., 2011)

Gambar 6 Lokasi Injeksi Insulin (Lewis et.al., 2011)


Penatalaksanaan Monitoring
Monitoring adalah salah satu tindakan keperawatan yang digunakan untuk
menilai manfaat pengobatan dan sebagai pegangan penyasuaian diet, latihan
jasmani, dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa darah senormal
mungkin, terhindar dari keadaan hiperglikemia ataupun hipoglikemia.
Hal-hal yang perlu dipantau (monitoring) pada penyandang DM
1. Kendali Glikemik
Berbagai studi yang telah ada menanyakan bahwa penyandang
diabetes tipe 1 dan tipe 2 yang menjaga kadar glukosa plasma rata-rata
tetap rendah menunjukkan insidens komplikasi mikrovaskuler berupa
timbulnya retinopati diabetik, nefropati, dan neuropati yang lebih rendah.
Oleh karena itu, penyandang diabetes direkomendasikan untuk mencapai
dan menjaga gula darah serendah mungkin mendekati normal.
(Soewondo(2009), Soegondo, hal 152)
2. Pemeriksaan Kadar Gula Darah
Pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan dilaboratorium dengan
metode oksidasi glukosa atau o-toluidin dan biasanya sering kali
pemeriksaan darah dilakukan dengan uji strippada saat konsultasi dengan
metode enzimatik (oksidasi glukosa atau heksokinasi).
3. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urin
Hasil pemeriksaan urine normal
1. Glucose : Negatif
2. Billirubin : Negatif
3. Keton : < 5 mg/dl
4. Berat Jenis : 1,001-1,035
5. pH : 4,6 8,0
6. Protein : < 30 mg/dl
7. Urobilinogen : < 1,0 EU/dl
8. Nitrit : Negatif
9. Blood : Negatif
10. Leukosit : Negatif
4. Pemeriksaan HIperglikemia Kronik
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara
proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu
terakhir. Bila kadar glukosa darah normal (70-140 mg/dL) selama 8-10
minggu terakhir, maka hasil tes A1C menunjukan nilai normal.
Pemeriksaan A1C dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal,
dan hemoglobinopati. Hasil pemeriksaan A1C sangat akurat untuk menilai
status glikemik jangka panjang
Pemeriksaan A1C dilakukan 2 kali dalam setahun yang telah mencapai
target tetap. Pada pasien yang terapinya belum berubah atau yang belum
mencapai target kendali glukosa, pemeriksaan A1C sebaiknya dilakukan 4
kali setahun. (Soewondo(2009), Soegondo, hal 155)
5. Pemeriksaan Keton Urin
Keton urin dapat diperiksa menggunakan reaksi kolorimetrik antara
benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. Metode
tersedia dalam bentuk strip dan tablet yang berfungsi mendeteksi keton di
urin maupun di 5 darah.
Hasil keton urin positif dapat dijumpai pada lebih dari 30% specimen
urin porsi pertama dari wanita hamil (dengan atau tanpa DM), kelaparan,
puasa, atau hipoglikemia. Positif palsu dapat ditemukan pada keadaan urin
pekat dan penggunaan obat yang mengandung sulfhidril (angiotensin-
converting enzyme inhibitors). (Soewondo(2009), Soegondo, hal 157)
6. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri
Pada Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS) dilakukan oleh
penyandang DM sendiri saat dirumah untuk mencegah hipoglikemia dan
menyesuaikan pengobatan, diet dan aktifitas fisik untuk mencapai target
glikemik yang diinginkan. PKGS perlu dilakukan evaluasi secara berkala
mengenai cara pemeriksaan yang dilakukan penyandang DM maupun
alatnya itu sendiri.
Penyandang DM dianjurkan untuk selalu membawa alatnya ke klinik
saat konsultasi dan penyandang DM harus didorong untuk mampu
melakukan modifikasi pengobatan sesuai hasil pemanyauan yang
dilakukan. (Soewondo(2009), Soegondo, hal 157)
7. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Pemantauan glukosa berkesinambungan (PGB) dapat menjadi alat
tambahan terhadap PKGS pada pasien DM tipe 1, terutama mereka tanpa
kesadaran resiko hipoglikemia. Sistem PGB cukup bermanfaat untuk
mendeteksi hipohlikemia pada penyandang DM 1 dan 2. Namun,
pemeriksaan ini tidak lebih baik daripada pengukuran glukosa kapiler
yang standar untuk memperbaiki kendali glikemik dalam jangka panjang.
(Soewondo(2009), Soegondo, hal 160

1.8 Komplikasi Diabetes Melitus


Komplikasi penyakit diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
komplikasi yang bersifat akut dan kronis (menahun). Komplikasi akut
merupakan komplikasi akut merupakan komplikasi yang harus ditindak cepat
atau memerlukan pertolongan dengan segera. Adapun komplikasi kronis
merupakan komplikasi yang timbul setelah penderita mengidap diabetes
mellitus selama 5-10 tahun atau lebih.
Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetika (DKA), koma non ketosis
hiperosmolar (koma hiperglikemia), dan hiperglikemia. Sementara komplikasi
kronis meliputi komplikasi mikrovaskuler (komplikasi di mana pembuluh-
pembuluh rambut kaku atau menyempit sehingga organ yang seharusnya
mendapatkan suplai darah dari pemnuluh-pembuluh tersebut menjadi
kekurangan suplai) dan komplikasi makrovaskuler (komplikasi yang mengenai
pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga terjadi aterosklerosis)
Berikut beberapa kerusakan dan gangguan yang terjadi akibat komplikasi
penyakit diabetes mellitus.
a. Kerusakan pada pembuluh darah (vasculopathy)
Kerusakan pada dinding pembuluh darah akan mengakibatkan masalah
pada jantung dan otak, serta gangguan pada pembuluh darah di kaki.
Akibatnya:
1. makro dan mikrovaskuler sirkulasi akan terganggu,
2. peningkatan tekanan darah, dan
3. infark hati dan cerebral.
Penyempitan pembuluh darah disebabkan adanya tumpukan lemak pada
dinding pembuluh darah. Penumpukan lemak ini tidak hanya diakibatkan
oleh pola makan yang tidak normal, tetapi juga disebabkan oleh kontrol
pada metabolisme karbohidrat di hati tidak normal. Perubahan ini
menyebabkan meningginya LDL, kolesterol dan trigliserida serta
menurunnya HDL-kolesterol. HDL justru dibutuhkan untuk melindungi
dinding pembuluh darah dari proses penyempitan.
b. Gangguan fungsi jantung
Gangguan pada pembuluh darah akan mengakibatkan aliran darah ke
jantung terhambat atau terjadi ischemia (kekurangan oksigen di otot
jantung), timbul angina pectoris (sakit di daerah dada, lengan, dan rahang),
bahkan pada akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung. Terkadang still
infarct (infark jantung) muncul tanpa keluhan angina pectoris.
c. Gangguan fungsi pembuluh darah otak
Pasien sering merasakan berat di belakang kepala, leher dan pundak,
pusing (vertigo), serta pendengaran dan penglihatan terganggu. Jika hal ini
dibiarkan, gangguan neurologis akan muncul, misalnya dalam bentuk stroke
yang disebabkan oleh penyumbatan atau pendarahan.
d. Gangguan pembuluh darah di kaki
Berkurangnya sirkulasi darah dan oksigen ke kaki atau betis
menyebabkan rasa sakit atau betis menyebabkan rasa sakit di betis muncul
sewaktu berjalan kaki. Pasien harus berhenti atau duduk untuk
menghilangkan rasa sakit tersebut. Selain penyumbatan pembuluh darah
besar pada kaki, mikro sirkulasi di kaki juga mudah terhambat. Hal ini
adalah penyebab utama gangren (pembusukan jaringan) yang sering diderita
oleh pasien diabetes mellitus.
e. Tidak stabilnya tekanan darah
Tidak stabilnya atau seimbangnya tekanan darah yakni kadang tinggi
atau rendah banyak terjadi pada pasien diabetes mellitus. Tekanan darah
tinggi disebabkan oleh buruknya kondisi pembuluh darah dan
memburuknya fungsi ginjal.
Tekanan darah rendah dalam kedokteran barat memang tidak banyak
mendapat perhatian, kecuali dalam situasi shock. Namun, menurut
kedokteran timur, menurunnya tekanan darah merupakan sinyal dari
defisiensi chi dan terhambatnya aliran darah (stagnasi darah). Untuk
mengetahui dengan pasti lokasi hambatan itu, perlu dilakukan hara
diagnostik (diagnostik perut) atau refleksi zona diagnostik.
f. Gangguan pada sistem saraf
Neuropathy adalah salah satu komplikasi diabetes mellitus. Kerusakan
pada sistem saraf ini lebih mengacu pada saraf sensorik (saraf perasa),
menimbulkan rasa sakit, kesemutan, serta baal (mati rasa) pada kaki dan
tangan. Kerusakan pada sistem motorik memang lebih sedikit, gangguan ini
termanefestasi pada berkurangnya tenaga otot dan volume jaringan otot.
Diabetes mellitus tipe 2 juga bisa mengganggu fungsi saraf autonom
(saraf vegetatif) yang mempengaruhi fungsi organ pencernaan (sakit maag,
mual, kembung, obstipasi, dan diare), keluhan pada jantung (berdebar dan
sesak napas), gangguan pada sistem kencing (incontinensi dan infeksi
kandung kemih), gangguan pada aktivitas seksual, serta gangguan
psikologis.
g. Gangguan mata (retinopathy)
Retinopathy disebabkan memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga
terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini bahkan bisa menjadi
salah satu penyebab kebutaan.
Retinopathy sebenarnya merupakan kerusakan yang unik pada diabetes
karena selain oleh gangguan mikrovaskuler, penyakit ini juga disebabkan
adanya biokimia darah sehingga terjadi penumpukan zat-zat tertentu pada
jaringan retina.
Gangguan awal pada retina tidak menimbulkan keluhan-keluhan
sehingga penderita kebanyakan tidak menegetahui telah terkena retinopathy.
Hal ini baru terdeteksi oleh ahli mata dengan ophtalmoskop. Jika gangguan
ini dibiarakan dan kerusakan menjadi sangat progresif serta menyerang
daerah penting (makula) maka penderita dapat kehilangan penglihatannya.
Katarak dan glaukoma (meningkatnya tekanan pada bola mata) juga
merupakan salah satu dari komplikasi mata pada pasien diabetes. Oleh
karenanya, selain mengontrol kadar gula darah, mengontrol mata secara
rutin juga mutlak dialkukan oleh pasien diabetes.
h. Gangguan ginjal (nefropathy)
Sebab utama gangguan ginjal pada pasien diabetes adalah buruknya
mikrosirkulasi. Gangguan ini sering muncul parallel dengan gangguan
pembuluh darah di mata. Penyebab lainnya adalah proses kronis dari
hipertensi yang akhirnya merusak ginjal. Kebanyakan pasien sebelumnya
tidak memiliki keluhan ginjal.
Pada awalnya, pemeriksaan darah dan urin tidak menunjukkan kelainan
yang berarti atau hanya terdapat protein atau mikroalbumin di dalam air
seni. Mikroalbumin bisa diartikan adanya kerusakan di ginjal, tetapi
mikroalbumin pada diabetes mellitus tipe 2 bisa juga diartikan sebagai
pertanda adanya gangguan pada pembuluh darah. Meningkatnya sampah
hasil metabolisme protein (yakni kreatinin dan ureum) sering tidak
dirasakan pasien dan lebih mudah dideteksi lewat pemeriksaan darah dan air
seni. Untuk mendeteksi secara dini adanya albumin di dalam air seni, pasien
bisa melakukannya sendiri dengan mudah. Gunakan carik uji yang bernama
Micral-test yang banyak dijual di apotik dan toko obat. Cukup mencelupkan
carik uji ke dalam air seni selama 5 detik kemudian tunggu selama 1 menit.
Bandingkan warna hasil reaksi pada tabel dengan yang ada pada tabung
carik.
i. Gangguan pada kaki karena diabetes mellitus
Kaki adalah bagian tubuh yang paling sensitif pada pasien diabetes
mellitus. Ada beberapa faktor yang berperan dalam perubahan ini yaitu:
1. Terhambatnya sirkulasi menimbulkan rasa sakit pada betis kaki sewaktu
berjalan, gangren (gangguan makro dan mikrosirkulasi-vasculopathy).
2. Gangguan pada saraf (neuropathy), yakni kerusakan pada saraf di otot,
kulit, dan kerusakan saraf autonom yang mengganggu regulasi keringat.
3. Sensitif terhadap infeksi kaki.
j. Gangguan pada otot dan sendi-sendi
Terhambatnya ruang gerak sendi dan otot banyak diderita pada
orang tua. Namun, kini gejala tersebut juga kerap dirasakan pada pasien
usia muda yang menderita diabetes mellitus tipe 2. Kedokteran oriental
menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh adanya stagnasi dari cairan
tubuh dan stagnasi darah yang mempengaruhi jaringan konektiva.
Walaupun tidak tampak perubahan pada pemeriksaan darah seperti hiper-
agregasi trombosit, tetapi dalam pemeriksaan lidah, nadi, dan hara hal ini
bisa terdeteksi. Metode akupuntur Jepang dipercaya dapat mengobati
gangguan pada otot dan sendi.

1.9 Konsep Dasar Terapi Oksigen Hiperbarik (TOHB)


Terapi Oksigen Hiperbarik (TOHB) adalah suatu cara terapi dimana
penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, dan bernafas dengan
oksigen 100% pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1 ATA
(atmosfer absolute) (Lakesla 2009). Kondisi lingkungan dalam TOHB
bertekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam
jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini dapat dialami oleh seseorang pada waktu
menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang
dirancang baik untuk kasus penyelam maupun pengobatan penyakit klinis.
Individu yang mendapat Terapi Oksigen Hiperbarik adalah suatu keadaan
individu yang berada di dalam ruangan bertekanan tinggi (> 1 ATA) dan
bernafas dengan oksigen 100%. Tekanan atmosfer pada permukaan air laut
adalah sebesar 1 atm (Neubeur 1998).

1.10 Mekanisme TOHB


Mekanisme TOHB melalui dua mekanisme yang berbeda. Pertama,
bernafas dengan oksigen murni dalam ruang udara bertekanan tinggi
(hyperbaric chamber) yang tekanannya lebih tinggi dibandingkan tekanan
atmosfer, tekanan tersebut dapat menekan saturasi hemoglobin, yang
merupakan bagian dari sel darah merah yang berfungsi mentransport oksigen
yang secara kimiawi dilepaskan dari paru ke jaringan. Bernafas dengan oksigen
100% pada atmosfer yang normal tidak efek pada saturasi hemoglobin.
Kedua, di bawah tekanan atmosfer, lebih banyak oksigen gas terlarut
dalam plasma. Meskipun dalam kondisi normal transport oksigen terlarut dalam
plasma jauh lebih signifikan daripada transport oleh hemoglobin, dengan TOHB
kontribusi transportasi plasma untuk jaringan oksigenasi sangat meningkat.
Sebenarnya, menghirup oksigen murni pada tiga kali yang normal atmosfer.
Hasil tekanan dalam peningkatan 15 kali lipat dalam konsentrasi oksigen
terlarut dalam plasma. Itu adalah konsentrasi yang cukup untuk memasok
kebutuhan tubuh saat istirahat bahkan dalam total tidak adanya hemoglobin.
Sistem kerja TOHB, pasien dimasukkan dalam ruangan dengan tekanan
lebih dari 1 atm, setelah mencapai kedalaman tertentu disalurkan oksigen murni
(100%) kedalam ruang tersebut. Ketika kita bernapas dalam keadaan normal,
udara yang kita hirup komposisinya terdiri dari hanya sekitar 20% adalah
oksigen dan 80%nya adalah nitrogen. Pada TOHB, tekanan udara meningkat
sampai dengan 2 kali keadaan nomal dan pasien bernapas dengan oksigen
100%. Pemberian oksigen 100% dalam tekanan tinggi, menyebabkan tekanan
yang akan melarutkan oksigen kedalam darah serta jaringan dan cairan tubuh
lainnya hingga mencapai peningkatan konsentrasi 20 kali lebih tinggi dari
normal. Oksigenasi ini dapat memobilisasi penyembuhan alami jaringan, hal ini
merupakan anti inflamasi kuat yang merangsang perkembangan pembuluh
darah baru, dapat membunuh bakteri dan mengurangi pembengkakan.

1.11 Indikasi
Hiperbarik dapat memiliki beberapa manfaat untuk mengobati penyakit-
penyakit akibat penyelaman dan kegiatan kelautan:
a. Penyakit Dekompresi
b. Emboli udara
c. Luka bakar
d. Crush Injury
e. Keracunan gas karbon monoksida (CO)
Terdapat beberapa pengobatan tambahan, yaitu:
a. Gas gangrene
b. Komplikasi diabetes mellitus (gangrene diabeticum)
c. Eritema nodosum
d. Osteomyelitis

e. Buergers diseases

f. Morbus Hansen
g. Psoriasis vulgaris
h. Edema serebral
i. Scleroderma
j. Lupus eritematosus (SLE)
k. Rheumatoid artritis
Terdapat pula pengobatan pilihan, yaitu:
a. Pelayanan kesehatan dan kebugaran
b. Pelayanan kesehatan olahraga
c. Pasien lanjut usia (geriatri)
d. Dermatologi dan kecantikan
1.12 Kontraindikasi
Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik terdiri dari kontraindikasi
absolute dan relatif. Kontra indikasi absolute yaitu penyakit pneumothorax
yang belum ditangani. Kontraindikasi relatif meliputi keadaan umum lemah,
tekanan darah sistolik lebih dari 170 mmHg atau kurang dari 90 mmHg,
diastole lebih dari 110 mmHg atau kurang dari 60 mmHg, demam tinggi lebih
dari 38oC, ISPA, sinusitis, Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup),
penyakit asma, emfisema dan retensi CO2, infeksi virus, infeksi kuman aerob
seperti TBC, lepra, riwayat kejang, riwayat neuritis optik, riwayat operasi
thorax dan telinga, wanita hamil, penderita sedang kemoterapi seperti terapi
adriamycin, bleomycin.

Persiapan
Persiapan terapi oksigen hiperbarik antara lain:
a. Pasien diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya 2 minggu sebelum
proses terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek vasokonstriksi sehingga
mengurangi penghantaran oksigen ke jaringan.
b. Beberapa medikasi dihentikan 8 jam sebelum memulai terapi oksigen hiperbarik
antara lain vitamin c, morfin dan alkohol.
c. Pasien diberikan pakaian yang terbuat dari 100% bahan katun dan tidak
memakai perhiasan, alat bantu dengar, lotion yang terbuat dari bahan dasar
petroleum, kosmetik, bahan yang mengandung plastik, dan alat elektronik.
d. Pasien tidak boleh menggunakan semua zat yang mengandung minyak atau
alkohol (yaitu, kosmetik, hairspray, cat kuku, deodoran, lotion, cologne,
parfum, salep) dilarang karena berpotensi memicu bahaya kebakaran dalam
ruang oksigen hiperbarik.
e. Pasien harus melepaskan semua perhiasan, cincin, jam tangan, kalung, sisir
rambut, dan lain-lain sebelum memasuki ruang untuk mencegah goresan akrilik
silinder di ruang hiperbarik.
f. Lensa kontak harus dilepas sebelum masuk ke ruangan karena pembentukan
potensi gelembung antara lensa dan kornea.
g. Pasien juga tidak boleh membawa koran, majalah, atau buku untuk menghindari
percikan api karena tekanan oksigen yang tinggi berisiko menimbulkan
kebakaran.
h. Sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen hiperbarik, pasien dievaluasi
terlebih dahulu oleh seorang dokter yang menguasai bidang hiperbarik. Evaluasi
mencakup penyakit yang diderita oleh pasien, apakah ada kontraindikasi
terhadap terapi oksigen hiperbarik pada kondisi pasien.
i. Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada kondisi penyakit pasien. Pasien
umumnya berada pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi
pasien diberikan waktu istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk
menghindari keracunan oksigen pada pasien.
j. Terapi oksigen hiperbarik memerlukan kerjasama multidisiplin sehingga satu
pasien dapat ditangani oleh berbagai bidang ilmu kedokteran.
k. Pasien dievaluasi setiap akhir sesi untuk perkembangan hasil terapi dan melihat
apakah terjadi komplikasi hiperbarik pada pasien.
l. Untuk mencegah barotruma GI, ajarkan pasien benapas secara normal (jangan
menelan udara) dan menghindari makan besar atau makanan yang memproduksi
gas atau minum sebelum perawatan.

1.13 Peranan Terapi Hiperbarik Terhadap Diabetes Mellitus


1. Menurunkan kadar glukosa darah
Seperti yang diketahui, diabetes melitus timbul karena tubuh kekurangan insulin
atau reseptor insulin tubuh tidak berfungsi baik. Insulin adalah hormon yang
produksi sel beta di pankreas yang mengatur metabolisme glukosa menjadi
energi serta mengubah kelebihan glukosa menjadi glikogen yang disimpan pada
hati dan otot. Dalam jangka panjang, kadar glukosa darah yang tinggi akan
menaikkan kadar kolesterol dan trigliserida darah. Selanjutnya akan terjadi
aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah) yang membuat aliran darah tidak
lancar sehingga tubuh kekurangan oksigen.
Terapi hiperbarik oksigen (HBO) pada Penderita diabetes, terutama tipe II
(gangguan pada reseptor insulin) mampu mempercepat kesembuhan dan
mengurangi dosis obat yang diminum penderita diabetes. Dari hasil
penelitiannya pada tahun 2008 pada 13 orang pasien diabetes diterapi memakai
oksigen 100% dan tekanan 2,4 atmosfir (setara kedalaman 14 meter di bawah
permukaan laut) selama lima hari berturut-turut, diberi perlakuan ini selama 2
jam, terjadi penurunan gula darah secara signifikan. Jika biasanya tak pernah
kurang dari 200 miligram per desiliter (mg/dl), kadar gula darah mereka bisa
sampai 60 mg/dl.
Pada pasien diabetes tipe I yang mengalami kerusakan pada fungsi pankreas
sehingga tak bisa menghasilkan insulin, setelah menjalani terapi oksigen
hiperbarik beberapa waktu, pasien yang harus disuntik insulin itu bisa lepas dari
ketergantungan pada insulin dari luar, namun pasien wajib diterapi 3-5 kali per
bulan seumur hidup guna menjamin pasokan oksigen ke pankreas. Terapi
oksigen hiperbarik bersifat memperbaiki jumlah oksigen di dalam tubuh.
Diabetes membuat kondisi pembuluh darah penderitanya buruk sehingga aliran
darah tak lancar. Contohnya, ada pasien diabetes dengan luka terbuka yang tak
sembuh atau tak kunjung kering. Hal itu terjadi karena pembuluh darah tak
mendapat pasokan oksigen sehingga tak berfungsi normal dalam memperbaiki
kerusakan sel.
Terapi Oksigen Hiperbarik mampu meningkatkan kandungan oksigen pada
plasma darah. Pada kondisi oksigen normal di udara bebas (20%) dengan
tekanan normal (1 atmosfir), jumlah oksigen pada hemoglobin 20,1% dan
plasma darah 0,32 persen. Jika diberi oksigen 100 persen dan tekanan normal 1
atmosfir, oksigen hemoglobin tetap 20,1% dan oksigen plasma darah jadi
2,14%. Ketika tekanan oksigen 100 persen dinaikkan jadi 3 atmosfir, jumlah
oksigen dalam plasma darah jadi tiga kali lipat (6,42%). Meningkatnya tekanan
dan volume oksigen menimbulkan oksigenasi pada jaringan yang mengalami
kekurangan pasokan oksigen (hipoksia). Dampak lain, terjadinya pembaruan
pembuluh darah, mendorong perkembangbiakan sel, dan meningkatkan
kemampuan sel darah putih (leukosit). Pengobatan Diabetes mellitus (DM)
adalah pengobatan seumur hidup yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup penderita, agar tetap produktif dan tidak menjadi beban masyarakat.
Terapi ini dapat memberikan manfaat antara lain:
a) Meningkatkan sekresi insulin dan menurunkan sekresi hormon kontra
insulin.
b) Meningkatkan metabolisme aerob sehingga menurunkan kadar gula darah.
c) Menurunkan kadar HbAlc, hal ini menunjukkan perbaikan pengolahan gula
darah penderita Diabetes mellitus (DM) untuk jangka panjang.
d) Memperlancar aliran darah terutama didaerah mikrosirkulasi sehingga
mencegah komplikasi pada organ tubuh vital.
e) Meningkatkan kebugaran penderita Diabetes mellitus.
2. Meningkatkan regenerasi saraf perifer
Regenerasi saraf pada diabetes sangat esensial untuk perbaikan neuropati sama
halnya dengan penyembuhan saraf akibat cedera dari kompresi saraf. Hipoksia
endoneural akibat hiperglikemia diamati pada awal terjadinya diabetes dan hasil
dari iskemia memainkan peran penting dalam mengurangi regenerasi neuron.
Terapi hiperbarik oksigen mampu memproduksi jaringan yang hiperoksia
dengan meningkatan tekanan oksigen pada jaringan yang iskemik dan tampak
memiliki keuntungan dalam perbaikan neuropati iskemik.
3. Mempercepat penyembuhan ulkus diabetik
Dalam keadaan iskemia, tubuh akan mengalami gangguan dalam proses
terjadinya penyembuhan luka. Diketahui pula bahwa hipoksia tidak sama
dengan iskemia, karena itu ada asumsi yang mengatakan bahwa pemberian
oksigen lebih banyak akan membantu proses penyembuhan luka dalam keadaan
tertentu. Sudah menjadi kenyataan bahwa HBO mempunyai efek yang baik
terhadap vaskularisasi dan perfusi perifer serta kelangsungan hidup jaringan
yang iskemik. Penggunaan oksigen hiperbarik dalam klinik meningkat dengan
cepat dimana perbaikan vaskularisasi, perbaikan jaringan yang hipoksia dan
pengurangan pembengkakan merupakan faktor utama dalam mekanismenya.
Kerusakan pada jaringan menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah. Sel,
platelet dan kolagen tercampur dan mengadakan interaksi. Butir-butir sel darah
putih melekat pada sel endotel pembuluh darah mikro setempat. Pembuluh
darah yang tersumbat akan mengadakan dilatasi. Leukosit bermigrasi diantara
sel endotel ke tempat yang rusak dan dalam beberapa jam maka akan difiltrasi
dengan granulosit dan makrofag. Sel darah putih akan digantikan oleh fibroblast
yang juga melakukan metabolisme dengan cepat. Pada saat kebutuhan
metabolisme jaringan rusak mengalami peningkatan tidak didukung oleh
adanya sirkulasi lokal yang baik, maka akan terjadi hipoksia di daerah yang
rusak tersebut.
Dalam beberapa hari fibroblast mengalir ke daerah luka dan mulai terbentuk
jaringan kolagen. Disamping itu juga terjadi neorovaskularisasi yang
disebabkan oleh inflamasi dan kebutuhan perbaikan jaringan, merangsang
pembentukan pembuluh darah baru. Pembentukan jaringan kolagen oleh
fibroblast merupakan dasar dari proses penyembuhan luka, karena kolagen
adalah protein penghubung yang mengikat jaringan yang terpisah menjadi satu.
Ada hal yang nampaknya paradoksal namun itu suatu kenyataan, yaitu apabila
sel dibiarkan anoksi maka suatu polypeptide precursor kolagen menumpuk
didalam sel tetapi tidak ada kolagen yang dilepaskan. Bila oksigen diberikan
dengan kecepatan tinggi, maka enxim yang membentuk kolagen diaktifkan.
HBO secara khusus bermanfaat dalam situasi dimana terdapat komprsi pada
oksigenasi jaringan di tingkat mikrosirkulasi. Oksigen memperbaiki gradient
oksigen untuk difusi dari pembuluh darah kapiler ke dalam sel dimana terdapat
tahanan partial seperti edema, jaringan nekrotik, jaringan ikat, benda asing dan
darah yang tidak mengalir.
1.14 Mekanisme TOHB terhadap Ulkus Diabetik
TOHB memiliki mekanisme dengan memoulasi nitrit okside (NO) pada sel
endotel. Pada sel endotel ini TOHB juga meningkatkan vasculaar endotel
growth factor (VGEF). Melalui siklus krebs terjadi peningkatan nucleotide cid
dihidroxi (NADH) yang memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast diperlukan
untuk sintesis proteoglikan dan bersama dengan VGEF akan memacu kolagen
sintesis pada proses remodeling, salah satu tahapan dalam penyembuhan luka.
Mekanisme di atas berhubungan dengan salah satu manfaat utama TOHB yaitu
untuk wwound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang
mengalami edema dan infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas
dalam jumlah yang besar. Daerah edema ini mengalami kondisi hipo-oksigen
karen hipoperfusi. Peningkatan fibroblast sebagaimana telah disinggung
sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi pada daerah edema
tersebut. Maka, kondisi daerah tersebut menjadi hipervaskular, hiperseleuler,
dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi, terjadi peningkatan
IFN-, i-NOS dan VGEF. IFN- menyebabkan TH-1 meningkat yang
berpengaruh pada B-cell sehingga terjadi peningkatan Ig-G. Dengan
meningkatnya Ig-G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Sehingga
pemberian TOHB pada luka akan berfungsi menurunkan infeksi dan edema.
Adapaun cara TOHB pada prinsipnya adalah diawali dengan pemberian O2 100
%, tekanan 2-3 Atm. Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan
decompression sickness. Maka akan terjadi kerusakan jaringan, penyembuhan
luka, hipoksia sekitar luk. Kondisi ini akan memicu meningkatnya fibroblast,
sintesa kolagen, peningkatan leukosit killing, serta angiogenesis yang
menyebabkan neovaskuarisasi jaringan luka. Kemudian akan terjadi
peningkatan NO hingga 4-5 kali dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik
2-3 ATA selama 2 jam. Terapi ini [aling banyak dilakukan pada pasien dengan
diabetes mellitus dimana memiliki luka yang sukar sembuh karena buruknya
perfusi perifer dan oksigenasi di daerah distal.
DAFTAR PUSTAKA

ADA. 2009. Standar of Medical Care in Diabetes 2010. Journal of Diabetes Care,
Vol. 33.
Anani, S., Ari Udoyono, & Praba Ginanjar. 2012. Hubungan antara Perliaku
Pengendalian Diabetes dan Kadar Glukosa Darah Pasien Rawat Jalan
Diabetes Melitus. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun
2012, Halaman 466478. Diakses dari Website: www.ejournals1.undip.ac.id
Brunner & Suddarth. 2002. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Fryberg, R.G. et.al. 2000. Diabetic Foot Disorder; A Clinical Practice Guidline. USA.
Data Trace Publishing.
Funnel, MM. 2010. National Satndards for Diabetes Self Management Education_
Journal of Diabetes Care, Vol. 33, Supp. 1, 89-96.
Gibson, Jhon. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Gitarja. W.S. 2008. Perawatan Luka Diabetes. Edisi 2. Bogor. Wocare Publishing.
Grim et al. 2009. Hyperbaric Oxygen Therapie. Availlable from : http://www.
hbotofaz.org/research/hbot.html. akses tanggal 23 Februari 2016.
Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology 11ed. Saunders. Philadelphia.
2006.
Guyton and Hall. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hanabe I. 2004. Society for safety of hyperbaric medicine in ECHM Proceeding of
the 1st European
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2012-
2014. Jakarta: EGC.
Homenta, Heriyannis. 2012. Diabetes Melitus Tipe 1. Karya Tulis Biokimia
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Huda Nuh T. 2010. Pengruh hiperbarik oksigen terhadap perfusi perifer luka gangren
pada penderita diabetes melitus di RS AL Dr. Ramelan Surabaya. Balai penerbit FK
UI. Jakarta.
Kimble, koda; Mary Anne; Young, Lloyd Yee; Alldredge, Brian K.; Corelli, Robin
L.; Guglielmo, B. Joseph; Kradjan, Wayne A.; Williams, Bradley R. 2009.
Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs, 9th Edition. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins.
Lanywati, Endang. 2011. Diabetes Mellitus : Penyakit Kencing Manis. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius
Lewis, L., Dirksen, R., Heitkemper, M., Bucher, L., & Camera, I. 2011. Medical
Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical Problems (Vol. 2).
USA : Saunders Elsevier Inc.
Manaf, Asman. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 1890.
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:Gramedia
Pustaka Umum.
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
Keenam Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
Ketujuh Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
RG, Frykberg, Armastrong DG, Giurini J., Edwards A., Kravette M., Kravitz S., Ross
C., Stavosky J., Stuck R., Vanore J. 2000. Diabetic Foot Disorders: a Clinical
Practice Guideline. American College of Foot and Ankle Surgeons, 39 (5
suppl):S1-60.
Rijadi MR, Sadewantoro, Guritno, Avongsa M. Ilmu Kesehatan Penyelaman Dan
Hiperbarik. Surabaya: Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL(LAKESLA); 2009. p.
88-101.
Rumahorbo, Hotma.1999. Asuhan Keperawatan klien dengan Gangguan Sistem
Endokrin. Jakarta:EGC.
Saraswati, Sylvia. 2009. Diet Sehat. Jogjakarta: A+Plus Books.
Soegondo S., dkk. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Cetakan
Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soegondo, S., & Soewondo, P.S. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.
Jakarta : Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soegondo,dkk. 2009. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Studiawan, Herra, & Mulja Hadi Santoso. 2005. Uji Aktivitas Penurun Kadar
Glukosa Darah Ekstrak Daun Eugenia polyantha pada Mencit yang Diinduksi
Aloksan. Jurnal Kedokteran Hewan Volume 21 Nomor 2, Mei 2005. Diakses
dari Website : www.ejournal.litbang.depkes.go.id
Subekti. 2006. Neuropati Diabetik. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Ed. 2.
Jakarta: Salemba Medika.
Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnosis Keperawatan : dengan Rencana Asuhan. Edisi
10. Jakarta : EGC.
Veves, A. Giurim,JM,.Logerfo,F. 2006. The Diabetic Foot. 2nd. Ner Jersey. Hurana
Press.

Anda mungkin juga menyukai