Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

TUMOR PAROTIS

Disusun oleh:
DANY ISWAN SOPALATU
(2018-84-040)

PEMBIMBING
dr. Elvida Christy Imelda T.,Sp.B, M.Biomed

KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dengan topik
“Tumor Parotis” dengan baik.
Penulisan referat ini merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik pada
bagian ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon. Penulis
menyadari akan kekurangan dalam penyusunan referat ini, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam perbaikan referat ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.

Ambon, Maret 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam rongga mulut terdapat 3 kelenjar liur besar yaitu kelenjar parotis,
kelenjar submandibularis, dan kelenjar sublingualis. Kelenjar parotis merupakan
kelenjar liur utama yang terbesar dan menempati ruangan di depan procesus
mastoideus dan liang telinga luar. Tumor ganas parotis pada anak jarang
ditemukan. Tumor paling sering pada anak adalah karsinoma mukoepidermoid,
biasanya jenis derajat rendah. Massa dalam kelenjar liur dapat menjadi ganas
seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi tumor ganas yang biasanya terjadi
pada orang dengan usia lebih dari 40 tahun adalah 25 % tumor parotis, 50 %
tumor submandibula, dan satu setengah sampai dua pertiga dari seluruh tumor
kelenjar liur minor adalah ganas.1
Tumor parotis adalah tumor yang menyerang kelenjar parotis. Dari tiap
5 tumor kelenjar liur, 4 terlokalisasi di glandula parotis, 1 berasal dari kelenjar liur
kecil atau submandibularis dan 30 % adalah maligna. Tumor ini lebih sering
ditemukan dengan penyebab yang belum diketahui. Sinar yang mengionisasi
diduga sebagai faktor etiologi.1

Keganasan pada kelenjar liur sebagian besar asimtomatik, tumbuhnya


lambat, dan berbentuk massa soliter. Rasa sakit didapatkan hanya pada 10-29%
pasien dengan keganasan pada kelenjar parotisnya. Rasa nyeri yang bersifat
episodik mengindikasikan adanya peradangan atau obstruksi akibat dari
keganasan itu sendiri. Massa pada kelenjar liur yang tidak nyeri dievaluasi dengan
aspirasi menggunakan jarum halus (Fine Needle Aspiration) atau biopsi.
Pemeriksaan radiologi menggunakan CT-Scan dan MRI sangat membantu
menegakkan diagnosis. Untuk tumor ganas, pengobatan dengan eksisi dan
radioterapi menghasilkan tingkat kesembuhan sekitar 50% bahkan pada
keganasan dengan derajat tertinggi.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Kelenjar parotis merupakan kelenjar liur utama yang terbesar,
berpasangan, berjumalah dua dan menempati ruangan di depan processus
mastoid dan liang telinga luar. Berat masing-masing kurang lebih 25 gram dengan
bentuk irregular, berlobus. Kelenjar ini terletak di bawah meatus akustikus
internus diantara mandibula dan muskulus sternokleidomastoid. 2

Di sisi anterior, kelenjar berbatasan dengan tepi posterior ramus


mandibula dan lateral otot masseter. Di bagian inferior, kelenjar ini berbatasan
dengan otot sternocleidomastoideus. Bagian posterior kelenjar dikelilingi oleh
telinga, prosesus mastoideus, dan tepi anterior muskulus sternokleidomastoideus
Bagian lateral hanya ditutupi oleh kulit dan jaringan lemak subkutaneus. Jaringan
ikat dan jaringan lemak dari fasia leher dalam membungkus kelenjar ini. Kelenjar
parotis berhubungan erat dengan struktur penting di sekitarnya yaitu vena
jugularis interna beserta cabangnya, arteri karotis eksterna beserta cabangnya,
kelenjar limfa, cabang auriculotemporalis dari nervus trigerninus dan nervus
fasialis.2

Kelenjar parotis memiliki saluran untuk mengeluarkan sekresinya yang


dinamakan Stensen’s duct yang akan bermuara di mulut dekat gigi molar 2.
Kelenjar ini dipisahkan dari kelenjar submandibula oleh ligamentum
stylomandibularis. Bagian dalam dari kelenjar parotis meluas ke posterior dan
medial dari ramus ascenden mandibula dan dikenal sebagai daerah
retromandibular. Bagian kelenjar inilah yang berdekatan dengan ruang
parafaringeus.2

Permukaan superficial dari kelenjar parotid ditutup oleh kulit dan fascia
superficial yang mengandung cabang fasial dari saraf aurikuler, nodus limfatikus
parotis superficial, dan batas bawah dari platisma
Gambar 1. Kelenjar parotis

Gambar 2. Kelenjar parotis tampak lateral


Vaskularisasi kelenjar parotis berasal dari arteri karotis eksterna dan
cabang-cabang di dekat kelenjar parotis. Darah vena mengalir ke vena jugularis
eksterna melalui vena yang keluar dari kelenjar parotis.

Nodul kelenjar limfe ditemukan pada kulit yang berada di atas kelenjar
parotis (kelenjar preaurikuler) dan pada bagian dari kelenjar parotis itu sendiri.
Ada 10 kelenjar limfatik yang terdapat pada kelenjar parotis, sebagian besar
ditemukan pada bagian superficial dari kelenjar di atas bidang yang berhubungan
dengan saraf fasialis. Kelenjar limfe yang berasal dari kelenjar parotis
mengalirkan isinya ke nodus limfatikus servikal atas

Gambar 3. Vaskularisasi Kelenjar Parotis

Saraf facialis meninggalkan kranium melalui foramen stylomastoideus dan


melewati bagian lateral dari processus styloideus. Saraf ini kemudian masuk ke
daerah sekitar kelenjar parotis dan terbagi menjadi dua saluran utama, yaitu
servikofacialis dan temporofacialis.
Bagian temporofacialis kemudian terpisah menjadi cabang temporal dan
zygomatikus, sedang servikofacialis memberikan cabang servikalis, bagian tepi
mandibula, dan bagian buccal, yang melewati bagian bawah duktus parotis. Jalan
saraf facialis melalui substansi kelenjar parotis akan membagi kelenjar menjadi
lobus superficial dan lobus profunda yaitu bagian medial dari saraf facialis. Lobus
profunda berdekatan dengan saraf kranial IX, X, dan XI serta bagian arteri karotis
externa, arteri temporalis superficial dan arteri maxillaris interna.

Duktus parotis (Stensen’s duct ) kurang lebih panjangnya 6 cm dan


muncul dari bagian anterior kelenjar. Duktus ini melintasi otot masseter kemudian
menembus otot buccinator. Duktus ini kemudian bermuara pada gigi molar kedua
rahang atas.

Gambar 4. Kelenjar Parotis dan Nervus Facialis


2.2 Tumor Parotis
2.2.1 Definisi
Tumor didefinisikan sebagai massa jaringan abnormal dengan
pertumbuhan berlebihan dan tidak ada koordinasi dengan pertumbuhan jaringan
normal dan tetap tumbuh secara berlebihan setelah stimulus yang menimbulkan
perubahan tersebut berhenti. Kelenjar parotid merupakan kelenjar air liur terbesar
dan terletak pada anteroinferior dari telinga.3

2.2.2 Epidemiologi
Kemungkinan terkena tumor kelenjar liur pada laki-laki sama dengan
wanita. Jarang terdapat pada anak-anak tapi frekuensi keganasan lebih sering pada
anak. Sekitar 35% tumor kelenjar liur pada anak-anak adalah maligna. Jenis
terbanyak adalah karsinoma mukoepidermoid. Kelenjar liur mayor yang paling
sering terkena adalah glandula parotis yaitu 70%-80%, diikuti kelenjar
submandibula 10%, sedangkan kelenjar liur minor yang tersering adalah pada
palatum. Mayoritas (80%) adalah jinak. Insiden tumor ganas adalah 20%-25%
dari tumor parotis, 35%-40% tumor submandibula, 50% tumor palatum dan 95%-
100% tumor kelenjar sublingual. Pleomorphic adenoma merupakan tipe histologis
tersering (65% dari tumor parotis dan 50% dari tumor kelenjar liur), lebih sering
diderita penderita usia rata-rata 40 tahun dan wanita lebih sering dari pada pria.
Tumor ganas yang paling sering adalah karsinoma mukoepidermoid yang meliputi
10% dari neoplasma kelenjar liur dan 35% dari kanker kelenjar liur. Tumor
warthin lebih sering di derita pria, 10% bilateral.3

2.2.3 Etiologi
Etiologi tumor parotis belum diketahui dengan pasti. Konsumsi tembakau
dan alcohol dikatakan memiliki hubungan dengan peningkatan risiko tumor
Warthin. Suatu penelitian menunjukkan bahwa virus Epstein-Barr dapat menjadi
penyebab. Namun, peran infeksi virus dalam patogenesis tumor parotis masih
belum jelas.+3
2.2.4 Faktor resiko
Neoplasma kelenjar liur adalah neoplasma jinak atau ganas yang berasal
dari epitel kelenjar liur, baik kelenjar liur mayor ataupun minor. Secara umum
tumor kelenjar liur relatif jarang. Paparan radiasi merupakan faktor resiko untuk
terjadinya tumor kelenjar liur khususnya karsinoma epidermoid. Tumor warthin
mempunyai hubungan kuat dengan faktor merokok walaupaun tumor jinak ini
lebih sering pada pria ternyata insidennya meningkat pada wanita yang merokok.
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya tumor kelenjar liur adalah infeksi
human papilomavirus (HPV) dan Epstein barr virus (EBV), pekerjaan, nutrisi,
genetik dan faktor lingkungan.4

2.2.5 Klasifikasi
I. Benign
A. Pleomorphic Adenoma
Tumor jinak yang paling umum dari tumor kelenjar ludah terdiri terutama oleh
proliferasi sel-sel mioepitel dan spektrum yang luas dari epitel dan komponen
jaringan mesenchymal dikelilingi oleh kapsul yang khas. 5
Gambaran Klinis
Tumor biasanya soliter dan pertumbuhannya lambat, nyeri, nodular tunggal.
Nodul terisolasi umumnya berasal dari nodul utama yang tumbuh meluas. Hal ini
berbeda dengan tumor multinodular. Tumor ini biasanya mobile dan sering
ditemukan di langit-langit mulut dan dapat menyebabkan atrofi ramus mandibula
ketika berada di kelenjar parotis. Ketika ditemukan di kelenjar parotid, mungkin
hadir sebagai eversi dari cuping telinga. Meskipun diklasifikasikan sebagai tumor
jinak, adenoma pleomorfik memiliki kemungkinan untuk menjadi maligna,
karsinoma pleomorfik adenoma, risiko yang meningkat dengan waktu. Meskipun
"jinak", tumor aneuploid, dapat kambuh setelah reseksi, itu menyerang jaringan
yang berdekatan normal dan metastasis jauh telah dilaporkan setelah lama (+10
tahun) interval waktu.
B. Oncocytic Tumour (Warthin’s Tumor)
Tumor Warthin sering terjadi pada orang yang lebih tua (usia 60-70
tahun). Merupakan tumor jinak kedua yang paling umum dari kelenjar parotis.
Tumor ini biasanya berisi cairan coklat berlendir di FNA
Menurut studi terbaru, wanita memiliki kemungkinan untuk mengalami
tumor ini, walaupun insiden pada pria jauh lebih sering. Hal ini mungkin
disebabkan oleh hubungan tumor dengan merokok dan meningkatnya penggunaan
rokok oleh perempuan. Perkembangan tumor lambat, dan biasanya muncul di
kelenjar parotis dekat sudut rahang bawah. Pada 5-14% dari kasus, tumor Warthin
adalah bilateral, tetapi dua massa tersebut biasanya muncul pada waktu yang
berbeda. Tumor Warthin sangat jarang menjadi ganas.+5
C. Monomorphic Adenoma
Tumor ini mirip dengan Adenoma pleomorfik kecuali ada komponen
stroma mesenchymal. Tejadi paling sering pada komponen epitel. Tumor ini lebih
sering terjadi pada kelenjar ludah minor (bibir atas) dan 12 % bilateral. Tumor ini
jarang mengalami perubahan menjadi tumor ganas.+5
Jenis – Jenis :
1. Basal Cell Adenoma
2. Canicular Adenoma
3. Myoepithelioma Adenoma
4. Clear Cell Adenoma
5. Membranous Adenoma
6. Glycogen-Rich Adenoma
D. Basal Cell Adenoma
Sebuah adenoma monomorfik. Tumor ini terdiri dari seragam sel epitel
basaloid dengan pola monomorphous. Bentuk pola sel tumor mungkin trabecular,
tubular atau padat. Secara histologis, tumor ini dibedakan dari adenoma
pleomorfik oleh ketidakhadiran stroma chondromyxoid dan adanya pola epitel
seragam.
II. Malignant
A. Mucoepidermoid Carcinoma
Mucoepidermoid carcinoma (MEC) adalah tumor ganas yang paling
umum dari kelenjar parotis dan keganasan kedua yang paling umum (adenoid
cystic carcinoma lebih umum) dari kelenjar ludah submandibula dan minor. 35%
keganasan kelenjar ludar adalah MEC dan 80% sampai 90% dari MECs terjadi
pada kelenjar parotis.+5
Terjadi pada orang dewasa, dengan kejadian puncak dari 20-40 tahun usia.
Sebuah hubungan kausal dengan sitomegalovirus (CMV) telah sangat terlibat
dalam penelitian 2011.
B. Adenoid Cystic Carcinoma
Adenoid kistik karsinoma dengan pola keju Swiss. Merupakan tumor
kedua yang paling umum ganas kelenjar ludah.ACC adalah tumor ganas yang
paling umum ditemukan pada kelenjar ludah submandibula, sublingual, dan
minor.
Adenoid cystic carcinoma (ADCC) merupakan tipe yang jarang dari
kanker yang dapat ada di banyak situs tubuh yang berbeda. Ini paling sering
terjadi di daerah kepala dan leher, khususnya kelenjar ludah, tetapi juga telah
dilaporkan dalam payudara, kelenjar lacrimalis mata, paru-paru, otak, kelenjar
Bartholin, trakea, dan sinus paranasal. Hal ini kadang-kadang disebut sebagai
adenocyst, cylindroma ganas, adenocystic, adenoidcystic, ACC, ADCC.
Ini merupakan 28% dari tumor ganas kelenjar submandibular, sehingga
yang paling umum tunggal ganas kelenjar ludah tumor di wilayah ini. Pasien
dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun karena tumor ini memiliki
pertumbuhan yang lambat.
C. Acinic Cell Tumour
Adenokarsinoma sel acinic terjadi terutama di kelenjar parotis, juga
dikenal sebagai tumor titik biru. Tumor ini memiliki pola multicystic Klask. Lesi
ini ditandai dengan gambar histomorphologic jinak tetapi oleh perilaku ganas
sesekali. Lesi ini dapat ditangani dengan tindakan eksisi bedah.
Keterlibatan bilateral terjadi pada 3% pasien, membuat karsinoma sel acinic
dengan neoplasma kedua paling umum, setelah tumor Warthin, untuk
menunjukkan presentasi bilateral.
III. Metastasis Ke Kelenjar Saliva
Kurang dari 10% dari ganas gangguan kelenjar ludah adalah metastasis
dari situs lain. Kebanyakan limfatik metastasis ke kelenjar parotis dari kanker
kulit, telinga kulit kepala wajah, atau. Ini merata dibagi antara SCC dan
melanoma, kemungkinan metastasis tergantung pada stadium / kedalaman lesi
primer. Metastasis hematogen ke kelenjar ludah jarang, tetapi telah dilaporkan
dari paru-paru, payudara, ginjal, dan kanker tiroid. Perpanjangan bersebelahan
gangguan ganas kulit, serta orang-orang dari sarkoma yang timbul dari jaringan
lunak wajah, merupakan mekanisme untuk keterlibatan ganas sekunder dari
kelenjar ludah.5

2.2.6 Patofisiologi
Seperti kebanyakan kanker, mekanisme molekuler dimana tumorigenesis
terjadi pada neoplasma kelenjar parotis tidak sepenuhnya dipahami. Beberapa
onkogen yang diketahui terkait dengan terjadinya kanker pada manusia adalah
p53, Bcl-2, PI3K/Akt, MDM2. Onkogen RAS pada manusia juga menjadi salah
satu penyebab terjadinya keganasan.6
Mutasi pada p53 telah ditemukan baik pada neoplasma kelenjar parotis
jinak ataupun ganas, dan beberapa bukti menunjukkan bahwa adanya mutasi p53
berkorelasi dengan insiden kekambuhan tumor. RAS adalah protein G yang
terlibat dalam transduksi sinyal pertumbuhan, dan mutasi yang terjadi pada
onkogen RAS menyebabkan munculnya berbagai macam tumor padat. Mutasi H-
Ras telah ditemukan pada adenoma pleomorfik, adenokarsinoma, dan karsinoma
mukoepidermoid.+6
Studi yang melihat neovaskularisasi di neoplasma kelenjar parotis telah
mengungkapkan faktor-faktor yang meningkatkan angiogenesis dan yang penting
dalam perkembangan neoplasma kelenjar parotis. Faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF) diekspreskan oleh lebih dari setengah karsinoma kelenjar parotis
yang telah diuji dan berkorelasi dengan stadium klinis, kekambuhan, metastasis,
dan kelangsungan hidup.
Tujuh puluh persen dari adenoma pleomorfik terkait pada gangguan
susunan kromosom. Yang paling umum adalah mutasi pada kromosom 8q12,
terjadi pada 39% dari adenoma pleomorfik. Target gen pada lokus ini adalah
PLAG1.
Pada karsinoma mucoepidermoid, translokasi kromosom (11;19)(q21;p13)
telah diidentifikasi hingga pada 70% kasus. Translokasi ini menciptakan suatu
protein fusi MECT1-MAML2 yang mengganggu jalur sinyal Notch. Protein fusi
ini terjadi pada semua jenis sel mukoepidermoid saat terdapat transloksi.
Menariknya, tumor fusi-positif tampaknya kurang agresif dibandingkan tumor
fusi-negatif. Fusion-positif pasien memiliki kelangsungan hidup secara signifikan
lebih lama dan tingkat kekambuhan yang lebih rendah. 6
CD117 atau c-kit adalah reseptor tirosin kinase yang ditemukan dalam
karsinoma adenoid kistik, dan karsinoma mioepitel. Ekspresi CD117 dapat
membedakan ACC dari adenocarcinoma polimorpos tingkat rendah. Hilangnya
kromosom telah ditemukan menjadi penyebab penting terjadinya mutasi dan
tumorigenesis pada tumor kelenjar parotis. Hilangnya alel kromosom 19q telah
dilaporkan terjadi umumnya pada karsinoma adenoid kistik. Karsinoma
mukoepidermoid juga menunjukkan hilangnya alel kromosom 2q, 5p, 12p, 16q.
Beberapa gen lain yang sedang diselidiki dalam tumor genesis neoplasma kelenjar
parotis.
Faktor pertumbuhan hepatosit (HGF), sebuah protein yang menyebabkan
morfogenesis dan penyebaran sel-sel epitel, telah ditemukan untuk meningkatkan
invasi karsinoma adenoid kistik. Ekspresi proliferating cell nuclear antigen
(PCNA) ditemukan dalam dua tumor ganas parotis yang paling umum, karsinoma
adenoid kistik dan karsinoma mukoepidermoid.
Pasien dengan tumor jinak atau keganasan derajat rendah dapat menampilkan
gejala pertumbuhan massa yang lambat untuk beberapa tahun. Pertumbuhan yang
cepat dari massa dan rasa sakit pada lesi itu berkaitan dengan perubahan ke arah
keganasan, tetapi bukan sebagai alat diagnostik.
Keterlibatan saraf fasialis (N.VII) umumnya sebagai indikator dari
keganasan, walaupun gejala ini hanya nampak pada 3% dari seluruh tumor parotis
dan prognosisnya buruk.
Tumor ganas pada kelenjar parotis dapat meluas ke area retromandibular
dari parotis dan dapat menginvasi lobus bagian dalam, melewati ruangan
parapharyngeal. Akibatnya, keterlibatan dari saraf kranial bagian bawah dapat
terjadi berupa disfagia, sakit dan gejala pada telinga. Lebih lanjut lagi dapat
melibatkan struktur disekitarnya seperti tulang petrosus, kanal auditorius
eksternal, dan sendi temporomandibular. Tumor ganas dapat bermetastasis ke
kelenjar limfe melalui ruangan parapharyngeal dan ke rangkaian jugular bagian
dalam, dan ke pre-post facial nodes.
Tumor ganas dapat bermetastasis ke kelenjar limfe melalui ruangan
parapharyngeal dan ke rangkaian jugular bagian dalam, dan ke pre-post facial
nodes. Organ paling sering dimetastase pada tumor ganas seperti ACC adalah
paru, hati, tulang, dan otak (berdasarkan urutan dari yang tersering sampai
jarang).6

2.2.7 Manifestasi Klinis7


a) Benjolan massa pada atau dekat rahang atau dalam leher atau rongga mulut
b) Pada perabaan didapatkan massa kenyal padat, permukaan licin, kadang
berbenjol-benjol
c) Tidak terlekat pada kulit dan dasar.
d) Rasa baal di wajah
e) Kelemahan otot wajah
f) Nyeri menetap pada area kelenjar liur (tanda invasi perineural)
g) Sukar menelan
h) Sukar membuka mulut dengan luas
i) Pembesaran KGB lokal(tanda metastasis)
j) Nyeri telinga
Kebanyakan tumor parotis muncul sebagai massa asimtomatis pada bagian
superfisial dari kelenjar. Kemunculannya telah diperhatikan oleh pasien selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Keterlibatan saraf wajah berkorelasi kuat
dengan keganasan. Tumor dapat meluas kedalam sampai ke permukaan saraf
facial atau dapat berasal dari ruang parafaringeal. Dalam beberapa kasus, deviasi
medial dari palatum mole terlihat pada pemeriksaan intraoral.
Perbedaan antara tumor parotis jinak dan ganas biasanya mustahil. Kurang
dari sepertiga dari lesi ganas mempertunjukkan tanda-tanda keganasan yaitu nyeri,
kelumpuhan saraf fasial, ulcerasi kulit dan limpadenopati cervikal. Masa
pertumbuhan pada tumor jinak dan ganas umumnya lama.

2.2.8 Diagnosa8
A. Pemeriksaan radiologis
I. Foto polos
Foto polos sekarang jarang digunakan untuk mengevaluasi kelenjar saliva
mayor. Foto polos paling baik untuk mendeteksi adanya radioopaque pada
sialolithiasis, kalsifikasi, dan penyakit gigi. Foto mandibula AP/Eisler dikerjakan
bila tumor melekat pada tulang. Sialografi dibuat bila ada diagnosa banding kista
parotis/submandibula. Foto toraks terkadang dilakukan untuk mencari metastase
jauh. Meskpun foto polos dapat diperoleh secara cepat dan relatif murah, namun
memiliki keterbatasan nilai klinis karena hanya dapat mengidentifikasi kalsifikasi
gigi. Sialolit atau kalsifikasi soft tissue lebih mudah diidentifikasi menggunakan
USG atau CT-scan.
II. USG
USG pada pemeriksaan penunjang berguna untuk evaluasi kelainan vaskuer dan
pembesaran jaringan lunak dari leher dan wajah, termasuk kelenjar saliva dan
kelenjar limfe. Cara ini ideal untuk membedakan massa yang padat dan kistik.
Kerugian USG pada daerah kepala dan leher adalah penggunaannya terbatas
hanya pada struktur superfisial karena tulang akan mengabsorpsi gelombang
suara.
III. CT-Scan
Gambaran CT tumor parotis adalah suatu penampang yang tajam dan pada
dasarnya mengelilingi lesi homogen yang mempunyai suatu kepadatan yang lebih
tinggi dibanding jaringan glaandular. Tumor mempunyai intensitas yang lebih
besar ke area terang (intermediate brightness foci) dengan intensitas signal rendah
(daerah gelap/radiolusen) biasanya menunjukkan area fibrosis atau kalsifikasi
distropik. Kalsifikasi ditunjukkan dengan tanda kosong (signal void) pada
neoplasma parotis sebagai tanda diagnosa.
Pemeriksaan radiografi CT dan MRI berguna untuk membantu
menegakkan diagnosa pada penderita tumor parotis. Dengan CTI, deteksi tumor
77% pada bidang aksial dan 90% pada bidang aksial dengan CE CT
Pemeriksaaan tumor parotis dengan CTI oleh radiolog untuk mengatahui lokasi
dan besar tumor, deteksi lesi, batas tumor, batas lesi, aspek lesi, kontras antara lesi
dengan jaringan sekitarnya, gambaran intensitas dari lesi, keberhasilan pemakaian
medium kontras, aspek lesi setelah injeksi medium kontras, deteksi kapsulnya dan
resoprsi tulang yang terjadi di sekitar lesi tersebut.
Deteksi lesi dapat diklasifikasikan menjadi positif atau negatif. Pinggir lesi
dapat diklasifikasikan menjadi kurnag jelas atau semuanya jelas. Batas lesi dapat
diklasifikasikan menjadi halus atau berlobus. Aspek lesi dapat diklasifikasikan
menjadi homogen atau tidak homogen. Kontras antara lesi dengan jaringan
sekitarnya dapat diklasifikasikan menjadi tinggi atau rendah. Gambaran intensitas
dari lesi dengan otot di sebelah lesi diklasifikasikan ke dalam empat kelompok:
tinggi, intermediate, rendah, atau gabungan tinggi dengan rendah. Aspek lesi
terhadapt injeksi medium kontras diklasifikasikan menjadi homogen, tidak
homogen dan perifer. Deteksi kapsulnya dan resorpsi tulang diklasifikasikan
menjadi positif atau negatif.
IV. MRI (Magnetic Resonace Imaging)
Pemeriksaan MRI bisa membantu untuk membedakan massa parotis yang
bersifat benigna atau maligna. Pada massa parotis benigna, lesi biasanya memiliki
tepi yang halus dengan garis tepi yang kaku. Namun demikian, pada lesi maligna
dengan grade rendah terkadang mempunyai lesi pseudokapsul dan memiliki
gambaran radiografi seperti lesi benigna. Lesi maligna dengan grade tinggi
memiliki tepi dengan gambaran infiltrasi.
V. PET (Positron Emission Tomography)
Alat ini menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai fluorine18
atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat
dan dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntuk dengan glukosa radioaktif
untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan
bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respon terhadap sel-sel kanker.
B. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti darah, urine, SGOT/SGPT, alkali
fosfatase, BUN/kreatinin. Globulin, albumin, serum elektrolit, faal heostasis,
untuk menilai keadaan umum dan persiapan operasi.
C. Pemeriksaan patologis
I. FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy)
Pemeriksaan sitologik (patologi anatomi) sangat penting dalam
menentukan diagnosis pembesaran kelenjar parotis yang dicurigai tumor. Dengan
metode ini pada umumnya dapat dicapai diagnosis kerja sementara dan pada
mayoritas tumor jinak, tidak diperlukan lagi pemeriksaan tambahan dengan
pencitraan.

2.2.9 Diagnosa Banding9


Limfoma Maligna
Limfoma maligna adalah neoplasma ganas primer pada kelenjar getah
bening/system limfatis, dan ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening yang
terkena. Dapat dibedakan menjadi dua, limfoma Hodgkin dan limfoma Non
Hodgkin.
Limfoma Hodkin (HL) Limfoma Non Hodkin (NHL)
1. Keluhan pertama berupa 1. Sekitar 40% timbul pertama di
limfadenopati superficial terutama jaringan limfatik ekstranodi
pada leher
2. Pembesaran 1 kelompok kelenjar 2. Perkembangannya tidak beraturan
limfe, dapat dalam jangka waktu
sangat panjang tetap stabil atau
kadang membesar dan kadang
mengecil
3. Limfadenopati lebih lunak, lebih 3. Berderajat keganasan tinggi. Sering
mobile menginvasi kulit (merah, udem,
nyeri), membentuk satu massa relatif
keras terfiksir
4. Berkembang relatif lebih lambat, 4. Progresi lebih cepat, perjalanan
perjalanan penyakit lebih panjang, penyakit lebih pendek, mudah
reaksi terapi lebih baik kambuh, prognosis lebih buruk

Pembesaran kelenjar seringkali asimetris, konsistensi padat atau kenyal,


tidak nyeri, pada stadium dini tidak melekat,edapat menimbulkan tanda invasi dan
kompresi setempat. Gejala sistemik yang khas yang berupa demam, keringat
malam dan penurunan berat badan 10%.
Limfadenopati harus dibedakan dan infeksi nonspesifik kelenjar limfe atau
infeksi virus, metastasis, mononukleosis infeksiosa dll. Setiap pembesaran
kelenjar limfe berdiameter >1 cm, diobservasi 6 minggu lebihtetap tidak
mengecil, maka dilakukan biopsi.
Kecendrungan kelenjar parotid terlibat dalam limfoma non hodkin karena
berdasarkan segi anatomi, dimana kelenjar parotid kaya akan lymph node dan
jaringan limfatik.
Limfoma non hodkin pada kelenjar parotid dapat diklasifikasikan sebagai
ektranodal dan nodal. Extranodal apabila limfoma berasal dari jaringan mukosa
yang berhubungan dengan jaringan limfatik (MALT) atau Nodal apabila limfoma
berasal dari lymph node yang berada di dalam kelenjar.
Beberapa opini mengatakan lesi awalnya muncul dari nodus limfa yang
berhubungan dengan kelenjar, kemudian jaringan kelenjar di sekitar lesi menjadi
terlibat. Sehingga menjadi suatu lesi sekunder. Hal ini makin mempersulit untuk
menentukan asal mula lesi limfoma terjadi.
Selain itu, kelenjar saliva normalnya tidak mengandung MALT. Hal ini
baru muncul akibat dari hasil suatu penyakit autoimun inflamasi seperti Sjogren’s
syndrome (SS). SS menjadi salah satu faktor resiko terjadinya limfoma maligna
pada kelenjar parotid. Sialadenitis yang diikuti dengan SS juga menjadi salah satu
faktor resiko. Hal ini menyebabkan prognosis yang lebih buruk pada penderita.
Beberapa kriteria untuk menentukan bahwa lesi merupakan lesi limfoma primer
kelenjar parotid adalah :
1. Keterlibatan kelenjar parotid dimana terdapat pembesaran pada kelenjar
2. Secara histologis, lesi harus melibatkan parenkim dari kelenjar, bukan
nodus limfa di sekitar kelenjar.
3. Ada gejala-gejala keganasan akibat infiltrasi dari limfoid ke jaringan normal
sekitar.

2.2.10 Staging6
Tabel 1 - Tumor primer (T)
Tx Primary tumor cannot be assessed
T0 No evidence of primary tumor
T1 Tumor ≤ 2 cm in greatest dimension without extraparenchymal extension
T2 Tumor > 2 cm but ≤ 4 cm in greatest dimension without extraparenchymal
extension
T3 Tumor > 4 cm and/or tumor having extraparenchymal extension
T4a Moderately advanced disease
Tumor invades skin, mandible, ear canal, and/or facial nerve
T4b Very advanced disease
Tumor invades skull base and/or pterygoid plates and/or encases carotid
artery

Tabel 2 - Regional lymph node (N)


Nx Regional lymph nodes cannot be assessed
N0 No regional lymph node metastasis
N1 Metastasis in single ipsilateral lymph node, ≤ 3 cm in greatest dimension
N2 Metastasis in single ipsilateral lymph node, > 3 cm but ≤ 6 cm in greatest
dimension
Metastasis in multiple ipsilateral lymph node, ≤ 6 cm in greatest dimension
Metastases in bilateral or contralateral lymph nodes, ≤ 6 cm in greatest
dimension.
N2a Metastasis in a single ipsilateral lymph node, > 3 cm but ≤ 6 cm in greatest
dimension.
N2b Metastases in multiple ipsilateral lymph nodes, ≤ 6 cm in greatest
dimension.
N2c Metastases in bilateral or contralateral lymph nodes, ≤ 6 cm in greatest
dimension.
N3 Metastasis in a lymph node, > 6 cm in greatest dimension.

Tabel 3 - Distant metastasis


M0 No distant metastasis.
M1 Distant metastasis.

Tabel 4 - Anatomic Stage/Prognostic Groups


Stage T N M
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IVA T4a N0 M0

T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IVB T4b Any N M0

Any T N3 M0
IVC Any T Any N M1
2.2.11 Penatalaksanaan 10
Secara umum, terapi untuk keganasan kelenjar parotid adalah tindakan
bedah reseksi komplit, disertai dengan, terapi radiasi bila diindikasikan. Eksisi
konservatif memiliki resiko tinggi untuk terjadinya kekambuhan lokal. Batas
reseksi dibuat berdasarkan histologi tumor, ukuran, serta lokasi tumor, invasi dari
jaringan atau struktur lokal, dan status nodal basins regional.
Sebagian besar tumor parotid (diperkirakan hingga 90%), berasal dari
lobus superfisial. Lobektomi parotid superfisial adalah operasi minimum yang
dilakukan dalam situasi ini. Prosedur ini dapat dilakukan pada keganasan yang
terbatas pada lobus superfisial dengan stadium rendah, berdiameter kurang dari
4cm, tumor tanpa invasi lokal, serta tanpa adanya keterlibatan nodus regional.
Prosedur Pembedahan Reseksi
1. Identifikasi Nervus Fasialis
Tahap awal yang paling penting adalah mengidentifikasi letak nervus
fasialis dan perjalanannya melalui kelenjar parotis. Untuk dapat memperthankan
nervus fasialis, perkiraan jarak terdekat antara nervus dan kapsul tumor
merupakan hal yang sangat penting dilakukan sebelum operasi dilakukan. Dari
beberapa penelitian, didapatkan data bahwa tumor maligna cenderung memiliki
margin nervus fasialis yang positif.
Para ahli bedah umumnya menghindari penggunaan agen-agen paralitik,
dan untuk membantu menemukan nervus tersebut, ahli bedah cenderung
menggunakan stimulator nervus. Belakangan ini, para ahli bedah umumnya
menggunakan monitor nervus fasialis intraoperatif ketika melakukan tindakan
parotidektomi. Alat ini biasanya lebih sering digunakan bila terjadi reseksi
rekuren dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Monitor elektrofisiologis nervus
fasialis merupakan alat untuk mendeteksi letak dari nervus fasialis intraoperatif
dengan merangsang elektromyografi dan memonitor respon elektromyografi
tersebut. Terdapat dua respon yaitu, respon repetitif dan respon nonrepetitif.
Respon repetitif terjadi bila selama operasi didapatkan adanya depolarisasi
repetitif, yang didapatkan dari stimulasi suhu, trauma, maupun traksi. Respon ini
mengindikasikan resiko iritasi yang meningkat sehingga operator dapat lebih
berhati-hati karena dapat merusak nervus fasialis. Respon nonrepetitif dihasilkan
oleh rangsangan mekanis maupun elektrik secara langsung pada nervus fasialis.
Respon nonrepetitif lebih digunakan untuk mencari batas-batas dari nervus
fasialis.
Diseksi nervus fasialis seara ideal dilakukan tanpa mengganggu jaringan
tumor. Nervus fasialis dapat ditemukan keluar pada foramen stylomastoid dengan
cara merefleksikan kelenjar parotis secara anterior dan otot sternokleidomatoid
secara posterior. Batas-batasnya antara lain, penonjolan digastrik, dan sutura
tympanomastoid. Pengetahuan mengenai hubungan antara struktur-struktur
tersebut dapat mempermudah identifikasi nervus tersebut.
Saluran pendengaran rawan eksternal terletak sekitar 5 mm di atas nervus
fasialis pada regio ini. Nervus fasialis juga terletak anterior dari bagian posterior
otot digastrik dan eksternal dari prosesus stiloid.
Teknik kedua untuk mencari letak nervus fasialis adalah dengan
mengidentifikasi cabang distal dari saraf dan untuk membedah secara retrograde
menuju batang utama. Teknik ini mungkin lebih sulit tergantung pada kemudahan
mengidentifikasi pola percabangan. Untuk melakukan manuver ini, cabang bukal
dapat ditemukan duperior dari duktus parotis, atau cabang mandibula marjinal
dapat ditemukan menyeberangi (superfisial) pembuluh darah wajah. Kemudian,
dapat ditelusuri untuk menemukan batang saraf utama wajah.
Cara akhir mengidentifikasi saraf dalam situasi yang sangat sulit adalah
untuk melakukan pengeboran mastoid dan mencari saraf dalam tulang temporal.
Kemudian dilakukan penelusuran antegrade melalui foramen stylomastoid
terhadap parotis.
2. Parotidektomi
Setelah teridentifikasi, lobus superfisial kelenjar parotis dapat diambil
dengan en blok dan dikirim ke laboratorium patologi. Jika pemeriksaan patologis
intraoperatif menunjukkan bahwa tumor dengan stadium tinggi atau berdiameter
lebih dari 4 cm, atau ditemukan adanya metastasis kelenjar getah bening dalam
spesimen, sebuah parotidektomi total komplit harus dilakukan.
Jika nervus fasialis atau cabang-cabangnya menempel atau terlibat langsung
dengan tumor, maka struktur-struktur tersebut harus dikorbankan. Namun,
diagnosis patologis dari keganasan harus dikonfirmasi intraoperatif sebelum
mengorbankan cabang saraf wajah.
Semua struktur lokal yang terlibat dengan tumor harus direseksi. Struktur-
struktur yang mungkin terlibat termasuk kulit, maseter, rahang bawah, temporal,
lengkung zigomatik, atau tulang temporal. Tumor pada lobus yang dalam harus
dilakukan parotidektomi total. Identifikasi nervus fasialis dan cabang-cabangnya
adalah langkah pertama dan paling penting yang harus dilakukan.
Parotidektomi total kemudian dilakukan dengan en bloc, dan nervus
fasialis serta struktur lokal sekitarnya harus ditetapkan meneyrupai tumor lobus
superfisial. Spesimen harus dikirim ke laboratorium patologi untuk pemeriksaan
langsung. Diseksi leher harus dilakukan ketika tumor maligna terdeteksi dalam
kelenjar getah bening baik praoperatif maupun intraoperatif.
Indikasi lain untuk diseksi leher fungsional termasuk tumor dengan
diameter terbesar lebih dari 4cm, tumor dengan kelas yang tinggi, tumor yang
telah menginvasi struktur lokal, tumor berulang tanpa adanya diseksi leher
sebelumnya, dan tumor pada lobus dalam. Rekomendasi ini didasarkan pada
kemungkinan yang lebih tinggi dari kelainan yang aneh, pada saat operasi secara
klinis tidak terdeteksi kelainan nodus pada pasien dengan karakteristik tumor di
atas.
3. Rekonstruksi
Setelah reseksi spesimen tumor, sebagian besar luka dapat ditutup secara
primer. Namun, adanya tumor yang meluas ke kulit di atasnya atau struktur di
sekitarnya mungkin memerlukan prosedur rekonstruksi. Tujuan keseluruhan
setelah eksisi tumor adalah untuk mengembalikan fungsi dan mencapai hasil
estetika terbaik. Pilihan untuk menutup luka dengan jaringan kulit atau jaringan
lunak yang hilang termasuk pencangkokan kulit, flap cervicofacial, flap trapezius,
flap pectoralis, flap deltopektoralis, dan flap mikrovaskuler. Pembuangan nervus
fasialis atau salah satu cabangnya juga harus dikelola dengan tepat. Jika secara
tidak sengaja terputus selama operasi, nervus fasialis harus segera diperbaiki di
bawah mikroskop operasi. Jika sengaja direseksi dengan spesimen tumor,
beberapa pilihan untuk rekonstruksi tersedia untuk ahli bedah.
Saraf aurikularis ipsilateral atau kontralateral dapat digunakan sebagai graft
interposisi. Pilihan lain adalah dengan membentuk anastomosis nervus fasialis ke
saraf hypoglossal ipsilateral. Anastomosis ini dapat dilakukan end-to-side untuk
menghindari gangguan fungsi saraf hypoglossal normal. Selama menunggu waktu
pemulihan nervus fasialis, pertahankan perlindungan kornea jika persarafan
orbicularis oculi terganggu.
Tindakan ini termasuk menutup mata pada malam hari disertai pemakaian
salep oftalmik dan sering menggunakan tetes mata pada siang hari. Beberapa
penulis merekomendasikan moisture chamber. Jika pemulihan saraf wajah tidak
tercapai, langkah-langkah tertentu dapat diambil untuk memperbaiki bentuk dan
fungsi.
Sebuah emas dengan berat 0,8-1,2 g dapat diletakkan pada bagian atas
kelopak mata untuk membantu penutupan. Gunakan sling dinamik melalui otot
temporalis hingga kelopak mata atas dan bawah, serta sudut mulut atau selempang
maseter ke mulut telah terbukti sangat sukses dalam rekonstruksi pada pasien.
Sling statis juga telah digunakan dan termasuk fasia lata, tendon, dan jangkar
Mitek.
Setelah parotidektomi, beberapa pasien dapat mengalami sindrom Frey.
Hal ini menunjukkan koneksi menyimpang dari serat regenerasi saliva
parasimpatis ke kelenjar keringat di lipatan kulit di atasnya. Pengobatan kondisi
ini termasuk iradiasi, krim atropinelike, pembagian saraf auriculotemporal
(sensorik), divisi dari saraf glossopharingeus (parasimpatis), penyisipan bahan
sintetis (AlloDerm™), cangkok fasia, atau flaps jaringan tervaskularisasi antara
badan parotis dan flap kulit di atasnya. Injeksi intrakutan toxin A botulinum juga
merupakann salah satu pilihan yang telah menunjukkan beberapa hasil yang baik.
Yang terakhir, transfer jaringan neurovaskular bebas dapat dilakukan untuk
penghidupan kembali wajah sebagai terapi kelumpuhan wajah yang terjadi setelah
operasi parotid ablatif.
Cangkok saraf yang memiliki vaskularisasi, seperti cangkok saraf sural,
dapat dilakukan untuk membangun kembali kontinuitas saraf wajah.
Transfer otot bebas fungsional dengan otot gracilis, pectoralis minor, atau
latissimus dorsi merupakan pilihan selanjutnya untuk rekonstruksi. Ujung saraf
wajah ipsilateral dapat digunakan sebagai saraf penerima.
Atau, dapat juga dilakukan cross facial nerve grafting . Hal ini biasanya
dilakukan sebagai operasi 2 tahap, dengan anastomosis untuk cangkok saraf
sebagai tahap pertama dan transfer jaringan bebas sebagai tahap kedua.
Terapi Ajuvan
Karena subtipe histologis dari keganasan parotid cukup banyak, pernyataan umum
mengenai kegunaan terapi tambahan tidak dapat dibuat.
1. Tindakan Bedah
Jika dapat dilakukan reseksi, operasi adalah modalitas utama pengobatan
tumor ganas dari kelenjar parotis. Indikasi umum untuk terapi radiasi pascaoperasi
meliputi tumor dengan diameter terbesar lebih dari 4cm, tumor dengan kelas
tinggi, invasi struktur lokal dari tumor, invasi limfatik, invasi saraf, invasi
vaskular, tumor dengan letak yang sangat dekat dengan saraf, tumor yang berasal
atau meluas ke lobus yang dalam, tumor berulang pasca reseksi, marjin positif
pada patologi akhir, dan keterlibatan kelenjar getah bening regional.
2. Radioterapi
Dengan demikian, radiasi pasca operasi biasanya diindikasikan untuk
semua keganasan parotis dengan pengecualian tumor kelas rendah yang berukuran
kecil tanpa adanya bukti invasi lokal atau penyebaran nodal / jauh. Terapi radiasi
dianggap sebagai landasan terapi tambahan. Radioterapi boleh diberikan jika
jumlah hemoglobin, sel darah putih atau leukosit, dan trombosit darah baik.
Evaluasi efek samping dilakukan setiap pemberian lima kali terapi. Untuk melihat
respon radiasi, dokter akan melakukan foto toraks setiap 10 kali radiasi. Jika pada
penilaian respon, tumor bisa mengecil atau menetap, radiasi dapat diteruskan.
Namun, jika responnya negatif, radiasi akan dihentikan. Terapi ini memiliki efek
samping minimal karena bersifat lokal. Namun, pasien bisa merasa kulitnya agak
panas atau kering. Kekurangan terapi ini adalah sel yang mati tidak hanya sel
kanker, tetapi juga sel-sel sehat di sekitarnya. Selain itu, jumlah Hb darah bisa
turun drastis.Terapi ini tidak bisa diterapkan untuk sel kanker yang sudah
menyebar karena sifatnya lokal di daerah tubuh tertentu.
3. Kemoterapi
Tidak ada kemoterapi yang terbukti efektif sebagai terapi modalitas
tunggal. Untuk subtipe histologis tertentu, beberapa dokter merekomendasikan
kemoterapi dan radiasi sebagai modalitas gabungan. Saat ini, imunoterapi sedang
dalam tahap uji klinis.
Efek sampingnya antara lain mual, muntah, rambut rontok. Syarat
dilakukannya terapi ini adalah jumlah leukosit pasien di atas 3.000. Jumlah
trombosit harus lebih dari 100 ribu. Kalau tidak memenuhi syarat, tidak akan
dilakukan terapi. Fungsi ginjal juga harus diperhatikan. Sebab, obat yang
digunakan dapat memengaruhi ginjal. Kondisi fisik pasien harus cukup kuat untuk
bergerak sendiri, misalnya mampu berjalan atau ke kamar mandi tanpa bantuan
orang lain
Pada studi terbaru, ditemukan bahwa epidermal growth factor resceptor
(EGFR) banyak ditemukan pada membrane sel dari karsinoma parotid
mukoepidermoid dan pada metastase kelenjar getah bening. EGFR-Targeting
agents memiliki potensial sebagai salah satu terapi tumor parotis.
2.2.12 Komplikasi11
Tabel 2.2.12.1 Komplikasi Tumor Parotis

2.2.13 Prognosis12
Faktor yang mempengaruhi prognosis penderita karsinoma parotis adalah
stadium klinis dan gambaran histology dari jaringan tumor. Faktor-faktor seperti
stadium lanjut dari karsinoma parotis, keterlibatan sistem saraf, penyakit lokal
yang parah, usia lanjut, disertai dengan nyeri, metastase kelenjar limfa regional,
metastase yang jauh, serta akumulasi p53 atau onkoprotein c-erbB2 dapat
menhasilkan prognosis yang buruk.
Meskipun pernyataan mengenai perkiraan angka kehidupan sulit untuk
dilakukan, hal ini disebabkan karena variasi dari tipe gambaran histologi, 20%
dari pasien akan mengalami metastase pada jaringan atau organ yang lebih jauh.
Terjadinya metastase tersebut dapat menjadi salah satu faktor prognosis yang
buruk dengan rata-rata angka harapan hidup 4.3-7.3 bulan.
Secara keseluruhan, angka harapan hidup selama 5 tahun untuk seluruh
stadium dan tipe histologi dari karsinoma parotis adalah 62%. Angka harapan
hidup selama 5 tahun untuk penderita dengan kekambuhan diperkirakan 37%.
Karena adanya resiko kekambuhan, maka pasien yang pernah menjalani
pemeriksaan histologi yang menunjukkan adanya keganasan kelenjar liur
dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan rutin seumur hidup.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anil K. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck


Surgery. USA : Mc Graw Hill. 2004.
2. Lee K.J. Essential Otolaryngology-Head & Neck surgery ed.8 .Connecticut :
McGraw-Hill. 2003.
3. Espat J, Carew JF, Shah JP. Cancer of Head and Neck. Dalam : Bland KI,
Daly JM. Surgical Oncology-Contemporary Priciples and Practice. New
York : Mc Graw-Hill Companies,Inc.2001.
4. HarnsbergerH.R., Osborn A.G. Differential Diagnosis of Head and Neck
Lesions Based on Their Space of Origin.1991. AJR 157:147-154.
5. Joe V.Q., Westesson P.L. Tumors of the Parotid Gland: MR Imaging
Characteristics of Various Histologic Types.1994. AJR163:433-438
6. Peraboi. Protokol Penatalaksanaan Tumor/ Kanker Kelenjar Air Liur. 2003.
7. Adams LG, Boies RL, Paparella MM. Dalam: Buku Ajar Penyakit THT ,
Ed.6. Jakarta : EGC, 1997: 305-319.
8. Gregory Masters, Bruce Brockstein. Dalam :Head and Neck Cancer. USA:
Kluwer Academic Publishers, 2003: 158-161.
9. Beers MH, Porter RS. Dalam: Merck Manual of Diagnosis and Theraphy,
Ver.10.2.3. USA: Merck Research Laboratories,2007.
10. Susan, Standring. Dalam: Grays Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical
Practice. USA: Elsevier, 2005: 515-518.
11. Grays Anatomy:The Anatomical Basis of Clinical Practice. USA: Elsevier,
2005: 515-518
12. Bardia Amirlak, MD. Malignant parotid tumors. (Diakses pada tanggal 25
Maret 2019) available at : http://emedicine.medscape.com/article/1289616-
overview

Anda mungkin juga menyukai