Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Invaginasi adalah suatu penyakit pada anak yang memerlukan tindakan


emergensi. Diagnosis pasti invaginasi pada anak sulit untuk ditegakkan karena
gejala spesifik invaginasi Trias Invaginasi tidak selalu ditemukan saat
anamnesis kepada orang tua anak maupun pada saat pemeriksaan (Mac Mahon,
1991).

Keterlambatan didalam diagnosis dapat meningkatkan angka mortalitas dan


morbiditas. Ada sekitar 11,2% 30% keterlambatan didalam diagnosis berakibat
perforasi intestinal. Keadaan ini menambah komplikasi pada saat operasi maupun
setelah operasi seperti reseksi intestinal ataupun kolon, leakage anastomose, adhesi,
konsekuensi beban sosial-ekonomi dan produktivitas (Kim-Choy, Shih, 2002).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penanganan invaginasi


yang berakibat timbulnya komplikasi dapat berasal dari pasien dan tenaga medis.
Faktor pasien meliputi pengetahuan tentang penyakit invaginasi dan biaya
pengobatan. Faktor tenaga medis meliputi kesalahan diagnosis, tertundanya
diagnosis, terlambat untuk merujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lebih
baik, dan menunda tindakan bedah (Virginia, 2000).

Sebanyak 75% kasus invaginasi anak ditemukan pada usia dibawah 3 tahun
dimana 40% nya didapatkan pada usia antara 1 dan 12 bulan.Insiden terjadinya
invaginasi diperkirakan mencapai 1 dari 2000 anak, penelitian Inggris dan
Skotlandia menunjukkan insiden yang lebih tinggi yaitu 4 dari 1000 kelahiran
hidup. Jenis kelamin laki-laki lebih dominan terjadi dibanding dengan perempuan
dengan rasio berkisar 3:2 sampai dengan 2:1 (Hanz-Iko, 2006).
Penting sekali diketahui saat pertama penderita menunjukkan tanda-tanda
kolik, karena ini berhubungan dengan prognosa. Semakin lambat penderita
dibawa untuk mendapat pertolongan dari timbulnya tanda-tanda kolik yang
pertama berarti prognosa semakin buruk.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Berapa banyak kasus invaginasi di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo
dalam periode 2011-2015
2. Bagaimana distribusi kasus invaginasi berdasarkan jenis kelamin, umur,
keluhan utama, faktor predisposisi, lamanya keluhan sampai mendapatkan
pertolongan, jenis invaginasi, jenis tindakan, dan hasil operasi.
I.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah kasus
invaginasi di RS Wahidin Sudirohusodo, distribusi kasus invaginasi
berdasarkan jenis kelamin, umur, keluhan utama, faktor predisposisi, lamanya
keluhan sampai mendapatkan pertolongan, jenis invaginasi, jenis tindakan,
dan hasil operasi.
I.4. Manfaat
Diharapkan pada penelitian ini dapat memberikan gambaran dan data
mengenai kasus invaginasi di RS Wahidin Sudirohusodo.
2

I.5. Metode
Metode penelitian ini bersifat retrospektif deskriptif dengan mengambil
data kasus invaginasi periode Januari 2011 - Desember 2015 di bagian
Rekam Medis RS Wahidin Sudirohusodo dan dari data yang didapat
kemudian diolah, dianalisa dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
I.6. Tempat dan Waktu
Bagian rekam medis RS Wahidin Sudirohusodo, waktu evaluasi periode
Januari 2011 s/d Desember 2015.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Intususepsi adalah keadaan yang umumnya terjadi pada anak-anak, dan
merupakan kejadian yang jarang terjadi pada dewasa, intususepsi adalah
masuknya segmen usus proksimal (kearah oral) kerongga lumen usus yang lebih
distal (kearah anal) sehingga menimbulkan gejala obstruksi berlanjut strangulasi
usus Definisi lain Invaginasi atau intususcepti yaitu masuknya segmen usus
(Intesusceptum) ke dalam segment usus di dekatnya (intususcipient). Pada
umumnya usus bagian proksimal yang mengalami invaginasi (intussuceptum)
memasuki usus bagian distal (intussucipient), tetapi walaupun jarang ada juga
yang sebaliknya atau retrograd (Bailey,90) Paling sering masuknya ileum terminal
ke kolon. Intususeptum yaitu segmen usus yang masuk dan intususipien yaitu
segmen usus yang dimasuki segmen lain

Gambar 1. Intususepsi usus halus yang masuk ke usus besar (Mckee, jawetz 1996)

Invaginasi terjadi karena adanya sesuatu di usus yang menyebabkan


peristaltik berlebihan, biasanya terjadi pada anak-anak tetapi dapat juga terjadi
pada dewasa. Pada anak-anak 95% penyebabnya tidak diketahui, hanya 5% yang
mempunyai kelainan pada ususnya sebagai penyebabnya. Misalnya diiverticulum
Meckeli, Polyp, Hemangioma (Schrock, 88). Sedangkan invaginasi pada dewasa
terutama adanya tumor yang menyebabkannya (Dunphy 80). Perbandingan
kejadian antara pria dan wanita adalah : 3 : 2 (Swenson,90), pada orang tua sangat
jarang dijumpai (Ellis ,90). Daerah yang secara anatomis paling mudah
mengalami invaginasi adalah ileo coecal, dimana ileum yang lebih kecil dapat
masuk dengan mudah ke dalam coecum yang longgar. Invaginasi dapat
menyebabkan obstruksi usus baik partiil maupun total. Intususepsi paling sering
mengenai daerah ileosekal, dan lebih jarang terjadi pada orang tua dibandingkan
dengan pada anak-anak. Pada kebanyakan kasus pada orang tua dapat
diketemukan penyebab yang jelas, umumnya tumor yang membentuk ujung dari
intususeptum.
Intususepsi pertama kali ditemukan oleh Barbette dari Amsterdam pada
tahun 1692. Hingga pertengahan abad ke-19, intususepsi hampir berakibat fatal
karena tidak adanya penanganan yang memadai. Sejak zaman Hippocrates sudah
dikenal pengobatan penyakit ini dengan enema atau memompakan udara dalam
anus. Pengobatan dengan pembedahan yang dilaporkan pertama kali berhasil
adalah Thomson 1835 di Tennessee. Tahun 1873 Jonathan Hutchinson melakukan
operasi pertama yang sukses untuk intususepsi pada anak berumur 2 tahun. Pada

tahun 1876, Harald hirschprung menjelaskan penggunaan tekanan hidrostatik


sebagai pengobatan invaginasi
Invaginasi atau intususepsi merupakan keadaan gawat darurat, dimana bila
tidak ditangani segera dan tepat akan menimbulkan komplikasi lebih lanjut.
Hampir 70% kasus invaginasi terjadi pada anak-anak umur kurang dari 1 tahun,
paling sering dijumpai pada ileosekal. Invaginasi sangat jarang dijumpai pada
orang tua, serta tidak banyak tulisan yang membahas hal ini secara rinci.
Ada perbedaan etiologi yang mencolok antara anak-anak dan dewasa, pada
anak-anak etiologi terbanyak adalah idiopatik yang mana lead pointnya tidak
ditemukan sedangkan pada dewasa penyebab terbanyak adalah keadaan patologik
intra lumen oleh suatu neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga pada saat
operasi lead poinnya dapat ditemukan
Kalsifikasi
Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :
1. Enterik usus halus ke usus halus
2. Ileosekal valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke sekum dan
menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari
intususepsi.
3. Kolokolika kolon ke kolon.
4. Ileokoloika ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.

Gambar 2. Invaginasi tipe ileocaecal (Sudiyatmo, 2012)

Umumnya para penulis menyetujui bahwa paling sering intususepsi


mengenai valvula ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan insidensi
untuk masing-masing jenis intususepsi.

Perrin dan Linsay memberikkan

gambaran : 39% ileosekal, 31,5 % ileokolika, 6,7% enterik, 4,7 % kolokolika, dan
sisanya adalah bentuk-bentuk yang jarang dan tidak khas (Tumen 1964).
Invaginasi dapat ditemukan di semua umur, pada penderita dewasa
ditemukan 5%kasus obstruksi usus disebabkan karena invaginasi (Ellis,90).
Biasanya terdapat tumor pada apex intussuception, pada usus halus biasnya tumor
jinak dan tumor ganas pada usus besar. (Ellis 90). Tumor usus halus banyak
ditemukan diduodenum, yejunum bagian proksimal dan terminal ileum. Distal
yejunum dan proksimal ileum relatif jarang (Leaper 89) dan terbanyak di temukan
di terminal ileum (Schrok,88). Tumor usus halus merupakan 1-5% tumor di dalam
saluran pencernaan makanan, hanya 10 % yang akan menimbulkan gejala-gejala
7

antara lain perdarahan, penyumbatan atau invaginasi. Perbandingan tumor jinak


dan tumor ganas adalah 10 : 1 (Schrock,88). Tumor jinak usus halus biasanya
adenoma, leyomiomalipoma, hemangioma, ployposis. Sedangkan tumor ganas
biasanya carcinoma, carcinoid tumor, sarcoma, tumor metastase (Leaper,89).
Anatomi usus halus
Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu duodenum, yejunum dan ileum. Panjang
duodenum 26 cm, sedangkan yejunum + ileum : 6 m Dimana 2/5 bagian adalah
yejunum (Snel, 89). Sedangkan menurut schrock 1988 panjang usus halus
manusia dewasa adalah 5-6 m. Batas antara duodenum dan yejunum adalah
ligamentum treits.
Yejunum dan ileum dapat dibedakan dari :
1. Lekukan lekukan yejunum terletak pada bagian atas rongga atas
peritoneum di bawah sisi kiri mesocolon transversum ; ileum terletak pada
bagian bawah rongga peritoneum dan dalam pelvis.
2. Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal dan lebih merah daripada
ileum Dinding jejunum terasa lebih tebal karena lipatan mukosa yang lebih
permanen yaitu plica circularis, lebih besar, lebih banyak dan pada
yejunum lebih berdekatan ; sedangkan pada bagian atas ileum lebar, dan
pada bagian bawah lipatan ini tidak ada.

3. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior abdomen diatas dan


kiri aorta, sedangkan mesenterium ileum melekat dibawah dan kanan
aorta.
4. Pembuluh darah mesenterium jejunum hanya menmbentuk satu atau dua
aarkade dengan cabang-cabang yang panjang dan jarang yang berjalan ke
dinding usus halus. Ileum menerima banyak pembuluh darah yang pendek,
yang beraal dari 3 atau 4 atau malahan lebih arkade.
5. Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan dekat pangkalan dan
lemak jarang ditemukan didekat dinding usus halus. Pada ujung
mesenterium ileum lemak disimpan di seluruh bagian , sehingga lemak
ditemukan dari pangkal sampai dinding usus halus.
6. Kelompokan jaringan limfoid (Agmen Feyer) terdapat pada mukosa ileum
bagian bawah sepanjang pinggir anti mesentrik.
Perbedaan usus halus dan usus besar pada anatomi adalah :
Perbedaan eksterna
1. Usus halus (kecuali duodenum) bersifat mobil, sedang kan colon asenden
dan colon desenden terfiksasi tidak mudah bergerak.
2. Ukuran usus halus umumnya lebih kecil dibandingkan dengan usus besar
yang terisi.
3. Usus halus (kecuali duodenum) mempunyai mesenterium yang berjalan ke
bawah menyilang garis tengah, menuju fosa iliaka kanan.

4. Otot longitudinal usus halus membentuk lapisan kontinyu sekitar usus.


Pada usus besar (kecuali appendix) otot longitudinal tergabung dalam tiga
pita yaitu taenia coli.
5. Usus halus tidak mempunyai kantong lemak yang melekat pada
dindingnya. Usus besar mempunyai kantong lemak yang dinamakan
appandices epiploideae.
6. Dinding usus halus adalah halus, sedangkan dinding usus besar sakular.
Perbedaan interna
1. Mucosa usus halus mempunyai lipatan yang permanen yang dinamakan
plica silcularis, sedangkan pada usus besar tidak ada.
2. Mukosa usus halus mempunyai fili, sedangkan mukosa usus besar tidak
mempunyai.
3. Kelompokan jaringan limfoid (agmen feyer) ditemukan pada mukosa usus
halus , jaringan limfoid ini tidak ditemukan pada usus besar.
Epidemiologi
Angka kejadian intususepsi (invaginasi) dewasa sangat jarang , menurut angka
yang pernah dilaporkan adalah 0,08% dari semua kasus pembedahan lewat
abdomen dan 3% dari kejadian obstruksi usus , angka lain melaporkan 1% dari
semua kasus obstruksi usus, 5% dari semua kasus invaginasi (anak-anak dan
dewasa), sedangkan angka-angka yang menggambarkan angka kejadian
berdasarkan jenis kelamin dan umur belum pernah dilaporkan, sedangkan segmen
usus yang telibat yang pernah dilaporkan Anderson 281 pasien terjadi pada usus

10

halus ( Jejunum, Ileum ) 7 pasien ileocolica, 12 pasien cecocolica dan 36


colocolica dari 336 kasus yang ia laporkan . Desai pada 667 pasien
menggambarkan 53% pada duodenum,jejunum atau ileum, 14% lead pointnya
pada ileoseccal, 16% kolon dan 5% termasuk appendik veriformis.
Hampir 70 % kasus invaginasi terjadi pada anak-anak umur kurang dari 1
tahun (Bisset et all, 1988) sedangkan Orloff mendapatkan 69% dari 1814 kasus
pada bayi dan anak-anak umur kurang dari 1 tahun (Cohn 1976). Chairl Ismail
1988 mendapatkan insiden tertinggi dicapai pada anak-anak umur antara 4 sampai
dengan 9 bulan. Perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2:1 (Kartono,
1986; Cohn 1976; Chairul Ismail !988).
Insidensi tertinggi dari inttususepsiterdapat pada usia dibawah 2 tahun
(Ellis 1990). Orloof mendapatkan 69% dari1814 kasus pada anak-anak terjadi
pada usia kurang dari 1 tahun (Cohn 1976). Pada bayi dan anak-anak intususepsi
merupakan penyebab kira-kira 80-90% dari kasus obstruksi. Pada orang dewasa
intususepsi lebih jarang terjadi dan diperkirakan menjadi penyebab kira-kira 5%
dari kasus obstruksi (Ellis, 1990)
Patofisiologi
Berbagai variasi etiologi yang mengakibatkan terjadinya intususepsi pada
dewasa pada intinya adalah gangguan motilitas usus terdiri dari dua komponen
yaitu satu bagian usus yang bergerak bebas dan satu bagian usus lainya yang
terfiksir/atau kurang bebas dibandingkan bagian lainnya, karena arah peristaltik

11

adalah dari oral keanal sehingga bagian yang masuk kelumen usus adalah yang
arah oral atau proksimal, keadaan lainnya karena suatu disritmik peristaltik usus,
pada keadaan khusus dapat terjadi sebaliknya yang disebut retrograd intususepsi
pada pasien pasca gastrojejunostomi . Akibat adanya segmen usus yang masuk
kesegmen usus lainnya akan menyebabkan dinding usus yang terjepit sehingga
akan mengakibatkan aliran darah menurun dan keadaan akhir adalah akan
menyebabkan nekrosis dinding usus
Perubahan patologik yang diakibatkan intususepsi terutama mengenai
intususeptum. Intususepien biasanya tidak mengalami kerusakan. Perubahan pada
intususeptum ditimbulkan oleh penekanan bagian ini oleh karena kontraksi dari
intususepien, dan juga karena terganggunya aliran darah sebagai akibat penekanan
dan tertariknya mesenterium. Edema dan pembengkakan dapat terjadi.
Pembengkakan dapt sedemikian besarnya sehingga menghambat reduksi. Adanya
bendungan menimbulkan perembesan (ozing) lendir dan darah ke dalam lumen.
Ulserasi pada dindidng usus dapat terjadi. Sebagai akibat strangulasi tidak jarang
terjadi gangren. Gangren dapat berakibat lepasnya bagian yang mengalami
prolaps. Pembengkakan ddari intisuseptum umumnya menutup lumen usus. Akan
tetapi tidak jarang pula lumen tetap patent, sehingga obstruksi komplit kadangkadang tidak terjadi pada intususepsi (Tumen 1964).
Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus (obstruksi) baik
partiil maupun total dan strangulasi (Boyd, 1956). Hiperperistaltik usus bagian
proksimal yang lebih mobil menyebabkan usus tersebut masuk ke lumen usus

12

distal. Usus bagian distal yang menerima (intussucipient) ini kemudian


berkontraksi, terjadi edema. Akibatnya terjadi perlekatan yang tidak dapat kembali
normal sehingga terjadi invaginasi

(1)

(2)

(3)

(4)

Gambar 3. Sketsa patogenesis : Pembengkakan payer pacth (1), Invaginasi Iliocolica (2),
Invaginasi Ilioileal (3) dan Rotasi intususeptum (6)

Intestinal obstruksi terdapat dua bentuk yaitu : mekanik obstruksi dan


neurogenik obstruksi paralitik (Meingots 90 ; Bailey 90).
Menurut etiologinya ada 3 keadaan :
1. sebab didalam lumen usus
2. sebab pada dinding usus
3. sebab diluar dinding usus (Meingots 90)
Menurut tinggi rendahnya dibagi : obstruksi usus halus letak tinggi ,
obstruksi usus halus letak rendah dan obstruksi usus besar.
Berdasarkan waktunya dibagi :
1. Acuta intestinal obstruksi

13

2. Cronik intestinal obstruksi


3. Acut super exposed on cronik
Sekitar 85 % dari obstruksi mekanik usus terjadi di usus halus dan 15 % terjadi di
usus besar (Schrock, 82).
Aethiologiobstruksi usus halus menurut Schrock 88 adalah :
1. Adhesion
2. Hernia
3. Neoplasma
4. Intussusception
5. volvulus
6. benda asing
7. batu empedu
8. imflamasi
9. strictura
10. cystic fibrosis
11. hematoma
Etiologi
Menurut kepustakaan 90-95% terjadi pada anak dibawah 1 tahun akibat idiopatik.
Pada waktu operasi hanya ditemukan penebalan dinding ileum terminal berupa
hipertrophi jaringan limfoid (plaque payer) akibat infeksi virus (limfadenitis) yang
mengkuti suatu gastroenteritis atau infeksi saluran nafas. Keadaan ini

14

menimbulkan pembengkaan bagian intusupseptum, edema intestinal dan obstruksi


aliran vena obstruksi intestinal perdarahan. Penebalan ini merupakan titik
permulaan invaginasi.
Pada anak dengan umur > 2 tahun disebabkan oleh tumor seperti limpoma,
polip, hemangioma dan divertikel Meckeli. Penyebab lain akibat pemberian anti
spasmolitik pada diare non spesifik. Pada umur 4-9 bulan terjadi perubahan diet
makanan dari cair ke padat, perubahan pola makan dicurigai sebagai penyebab
invaginasi
Invaginasi pada anak-anak umur kurang dari 1 tahun, tidak dijumpai
kelinan yang jelas sebagai penyebabnya, sehingga digolongkan sebagai invantile
idiophatic intususeption. Sedangkan pada anak-anak umur lebih dari 2 tahun dapat
dijumpai kelinan pada usus sebagai penyebabnya, misalnya divertical meckel,
hemangioma, polip. Pada orang tua sangat jarang dijumpai kasus invaginasi
(Tumen 1964; kume GA et al, 1985; Ellis 1990), seta tidak banyak tulisan yang
membahas tentang invaginasi pada orangtua secar rinci.
Penyebab terjadinya invaginasi bervariasi, diduga tindakan masyarakat
tradisional berupa pijat perut serta tindakan medis pemberian obat anti-diare juga
berperan pada timbulnya invaginasi. Infeksi rotavirus yang menyerang saluran
pencernaan anak dengan gejala utama berupa diare juga dicurigai sebagai salah
satu penyebab invaginasi Keadaan ini merupakan keadaan gawat darurat akut di
bagian bedah dan dapat terjadi pada semua umur. Insiden puncaknya pada umur 4
9 bulan, hampir 70% terjadi pada umur dibawah 1 tahun dimana laki-laki lebih

15

sering dari wanita kemungkinan karena peristaltic lebih kuat. Perkembangan


invaginasi menjadi suatu iskemik terjadi oleh karena penekanan dan penjepitan
pembuluh-pembuluh darah segmen intususeptum usus atau mesenterial. Bagian
usus yang paling awal mengalami iskemik adalah mukosa. Ditandai dengan
produksi mucus yang berlebih dan bila berlanjut akan terjadi strangulasi dan
laserasi mukosa sehingga timbul perdarahan. Campuran antara mucus dan darah
tersebut akan keluar anus sebagai suatu agar-agar jeli darah (red currant jelly
stool).
Keluarnya darah per anus sering mempersulit diagnosis dengan tingginya
insidensi disentri dan amubiasis. Ketiga gejala tersebut disebut sebagai trias
invaginasi. Iskemik dan distensi sistem usus akan dirasakan nyeri oleh pasien dan
ditemukan pada 75% pasien. Adanya iskemik dan obstruksi akan menyebabkan
sekuestrisasi cairan ke lumen usus yang distensi dengan akibat lanjutnya adalah
pasien akan mengalami dehidrasi, lebih jauh lagi dapat menimbulkan syok.
Mukosa usus yang iskemik merupakan port de entry intravasasi mikroorganisme
dari lumen usus yang dapat menyebabkan pasien mengalami infeksi sistemik dan
sepsis.
Intususepsi pada dewasa kausa terbanyak adalah keadaan patologi pada
lumen usus, yaitu suatu neoplasma baik yang bersifat jinak dan atau ganas, seperti
apa yang pernah dilaporkan ada perbedaan kausa antara usus halus dan kolon
sebab terbanyak intususepsi pada usus halus adalah neoplasma yang bersifat jinak
(diverticle meckels, polip) 12/25 kasus sedangkan pada kolon adalah bersifat

16

ganas (adenocarsinoma)14/16 kasus. Etiologi lainnya yang frequensiny labih


rendah seperti tumor extra lumen seperti lymphoma, diarea, riwayat pembedahan
abdomen

sebelumnya, inflamasi pada apendiks juga pernah dilaporkan

intususepsi terjadi pada penderita AIDS , pernah juga dilaporkan karena trauma
tumpul abdomen yang tidak dapat diterangkan kenapa itu terjadi dan idiopatik .
Perbedaan dalam etiologi merupakan hal utama yang membedakan kasus
yang terjadi pada bayi/ anak-anak penyebab intususepsi tidak dapat diketahui pada
kira-kira 95% kasus. Sebaliknya 80% dari kasus pada dewasa mempunyai suatu
penyebab organik, dan 65% dari penyebabnya ini berupa tumor baik benigna
maupun maligna. Oleh karenannya banyak kasus pada orang dewasa harus
ditangani dengan anggapan terdapat keganasan. Insidensi tumor ganas lebih tinggi
pada kasus yang hanya mengenai kolon saja (Cohn 1976).
Gambaran Klinis
Rasa sakit adalh gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan
adanya serangan rasa sakit/kholik yang makin bertambah dan mencapai
puncaknya, dan kemudian menghilang sama sekali, diagnosis hampir dapat
ditegakkan. Rasa sakit berhubungan dengan passase dari intususepsi. Diantara
satu serangan dnegan serangan berikutnya, bayi atau orang dewasa dapat sama
sekali bebas dari gejala.
Selain dari rasa sakit gejala lain yang mungkin dapat ditemukan adalah
muntah, keluarnya darah melalui rektum, dan terdapatnya masa yang teraba di

17

perut. Beratnya gejala muntah tergantung pada letak usus yang terkena. Semakin
tinggi letak obstruksi, semakin berat gejala muntah. Hemathocezia disebabkan
oleh kembalinya aliran darahdari usus yang mengalami intususepsi. Terdapatnya
sedikit darah adalah khas, sedangkan perdarahan yang banyak biasanya tidak
ditemukan.
Pada kasus-kasus yang dikumpulkan oleh Orloof, rasa sakit ditemukan
pada 90%, muntah pada 84%, keluarnya darah perektum pada 80%dan adanya
masa abdomen pada 73% kasus (Cohn, 1976).
Gambaran klinis intususepsi dewasa umumnya sama seperti keadaan
obstruksi usus pada umumnya, yang dapat mulai timbul setelah 24 jam setelah
terjadinya intususepsi berupa nyeri perut dan terjadinya distensi setelah lebih 24
jam ke dua disertai keadaan klinis lainnya yang hampir sama gambarannya seperti
intususepsi pada anak-anak. Pada orng dewaasa sering ditemukan perjalanan
penyakit yang jauh lebih panjang, dan kegagalan yang berulang-ulang dalam
usaha menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan radiologis dan pemeriksaanpemeriksaan lain (Cohn, 1976). Adanya gejala obstruksi usus yang berulang,
harus dipikirkan kemungkinan intususepsi. Kegagalan untuk memperkuat
diagnosis dengan pemeriksaan radiologis seringkali menyebabkan tidak
ditegakkanya

diagnosis.

Pemeriksaan

radiologis

sering

tidak

berhasil

mengkonfirmasikan diagnosis karena tidak terdapat intususepsi pada saat


dilakukan pemeriksaan. Intussusepsi yang terjadi beberapa saat sebelumnya telah
tereduksi spontan. Dengan demikian diagnosis intussusepsi harus dipikirkan pada

18

kasus orang dewasa dengan serangan obstruksi usus yang berulang, meskipun
pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan-pemeriksaan laim tidak memberikan
hasil yang positif.
Pada kasus intususepsi khronis ini, gejala yang timbul seringkali tidak
jelas dan membingungkan sampai terjadi invaginasi yang menetap. Ini terutama
terdiri dari serangan kolik yang berulang, yang seringkali disertai muntah, dan
kadang-kadang juga diare. Pada banyak kasus ditemukan pengeluaran darah dan
lendir melalui rektum, namun kadang-kadang ini juga tidak ditemukan. Gejalagejala lain yang juga mungkin didapatkan adalah tenesmus dan anoreksia. Masa
abdomen dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada saat serangan
(Tumen, 1964).
Diagnosis
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang ditandai
dengan flexi sendi koksa dan lutut secara intermiten, nyeri disebabkan oleh iskemi
segmen usus yang terinvaginasi. Iskemi pertama kali terjadi pada mukosa usus
bila berlanjut akan terjadi strangulasi yang ditandai dengan keluarnya mucus
bercampur dengan darah sehingga tampak seperti agar-agar jeli darah Terdapatnya
darah samar dalam tinja dijumpai pada + 40%, darah makroskopis pada tinja
dijumpai pada + 40% dan pemeriksaan Guaiac negatif dan hanya ditemukan
mucus pada + 20% kasus.
Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh perubahan faali
saluran pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare yang disebut sebagai gejala

19

paling awal invaginasi, didapatkan pada 85% kasus. Pasien biasanya mendapatkan
intervensi medis maupun tradisional pada waktu tersebut. Intervensi medis berupa
pemberian obat-obatan. Hal yang sulit untuk diketahui adalah jenis obat yang
diberikan, apakah suatu antidiare (suatu spasmolitik), obat yang sering kali
dicurigai sebagai pemicu terjadinya invaginasi. Sehingga keberadaan diare
sebagai salah satu gejala invaginasi atau pengobatan terhadap diare sebagai
pemicu timbulnya invaginasi sulit ditentukan
Muntah reflektif sampai bilus menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi,
gejala ini dijumpai pada + 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering
dijumpai sebagai gejala yang dominan pada sebagian besar pasien. Muntah
reflektif terjadi tanpa penyebab yang jelas, mulai dari makanan dan minuman
yang terakhir dimakan sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda ada
refluks gaster oleh adanya sumbatan di segmen usus sebelah anal. Muntah dialami
seluruh pasien. Gejala lain berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi
sistem usus oleh suatu sumbatan didapatkan pada 90%.
Gejala lain yang dijumpai berupa distensi, pireksia, Dances Sign dan
Sousage Like Sign, terdapat darah samar, lendir dan darah makroskopis pada tinja
serta tanda-tanda peritonitis dijumpai bila telah terjadi perforasi. Dances Sign
dan Sousage Like Sign dijumpai pada + 60% kasus, tanda ini patognomonik pada
invaginasi. Masa invaginasi akan teraba seperti batang sosis, yang tersering
ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah yang ditinggalkan intususeptum
akan teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai Dances Sign. Pemeriksaan

20

colok dubur teraba seperti portio uteri, feces bercampur lendir dan darah pada
sarung tangan merupakan suatu tanda yang patognomonik.
Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpainya tanda obstruksi dan masa
di kwadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi.
USG membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target sign
pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada potongan
longitudinal invaginasi. Foto dengan kontras barium enema dilakukan bila pasien
ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan sebagai diagnostik maupun terapetik.
TRIAS INVAGINASI :
1. Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengankat kaki
(Craping pain), bila lanjut sakitnya kontinyu
2. Muntah warna hijau (cairan lambung)
3. Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan
dalam) currant jelly stool
Obstruksi usus ada 2 :
1. Mekanis kaliber usus tertutup
2. Fungsional kaliber usus terbuka akibatperistaltik hilang

Pemeriksaan Fisik :
Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm counter.

21

Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan


Nyeri tekan (+)
Dancen sign (+) Sensai kekosongan padakuadran kanan bawah karena
masuknya sekum pada kolon ascenden
RT : pseudoportio(+), lender darah (+) Sensasi seperti portio vagina akibat
invaginasi usus yang lama
Radiologis :
1 Foto abdomen 3 posisi
Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Hering bone (gambaran plika
circularis usus) DAH

Gambar 4. Foto Polos Abdomen yang Menunjukk an Gambaran Obstruksi Usus dengan
Air Fluid Level ( Nasut ion, 2013)

22

Colon In loop berfungsi sebagai :


Diagnosis cupping sign, letak invaginasi
Terapi Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda2 obstruksi dan
kejadian < 24 jam. Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari
anus barium keluar bersama feses dan udara.

Gambar 5. Barium enema menunjukkan intussusepsi di colon desenden (Gabriel, 2011)

Pada orang dewasa diagnosis preoperatif keadaan intususepsi sangatlah


sulit, meskipun pada umumnya diagnoasis preoperatifnya adalah obstruksi usus
tanpa dapat memastikan kausanya adalah intususepsi, pemerikasaan fisik saja
tidaklah cukup sehingga diagnosis memerlukan pemeriksaan penunjang yaitu
dengan radiologi (barium enema, ultra sonography dan computed tomography),
meskipun umumnya diagnosisnya didapat saat melakukan pembedahan.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisik. Pada penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon,
barium enema mungkin dapat memberi konfirmasi diagnosis. Mungkin akan

23

didapatkan obstruksi aliran barium pada apex dari intususepsi dan suatu
cupshaped appearance pada barium di tempat ini.
Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau keseluruhan intususepsi
mungkin akan tereduksi. Jika barium dapat melewati tempat obstruksi, mungkin
akan diperoleh suatu coil spring appearance yang merupakan diagnostik untuk
intususepsi. Jika salah satu atau semua tanda-tanda ini ditemukan, dan suatu masa
dapat diraba pada tempat obstruksi, diagnosis telah dapat ditegakkan (Cohn 1976).
Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebagian kasus intususepsi
mempunyai riwayat perjalanan penyakit yang khronis, bahkan kadang-kadnag
mencapai waktu bertahun tahun. Keadaan ini lebih sering ditemukan padaorng
dewasa daripada anak-anak (Tumen 1964). Biasanya

ditemukan suatu

kelainanlokal pada usus namun Goodal (cit Tumen, 1964) telah mengumpulkan
dari literatur 122 kasus intususepssi khroni primeir pada orang dewasa. Beberapa
penulis tidak menyetujui konsep bahwa intususepsi tersebut berlangsung terus
menerus

dalam

waktu

demikian

lama.

Stallman

(cit

Tumen

1964)

mempertanyakan tepatnya penggunaan istilah intususepsi khronis. Goldman dan


Elman (cit Tumen 1964) mengemukakan keyakinannya bahwa penderita tidak
mungkin dapat bertahan hidup dengan intususepsi yang berlangsung lebih dari 1
minggu. Para penulis ini berpendapat, hal yang paling mungkin telah terjadi pada
kasus seperti ini adalah adanya reduksi spontan dan rekurensi yang terjadi
berganti-ganti. Adanya mesenterium yang panjang, yang memungkinkan
invaginasi terjadi tanpa gangguan sirkulasi,kemungkinan dapat menyebabkan

24

terpeliharanya integritas striktural usus. Serangan ini dapat berulang dalam waktu
yang lama dengan status kesehatan penderita yang relatif baik, sampai akhirnya
terdapat suatu serangan yang demikian beratnya sehingga tidak dapat tereduksi
spontan, dan tindakan bedah menjadi diperlukan.
Mendiagnosis intususepsi pada dewasa sama halnya dengan penyakit lainnya
yaitu melalui :
Anamnesis , pemeriksaan fisik ( gejala umum, khusus dan status lokalis seperti
diatas).
Pemeriksaan penunjang ( Ultra sonography, Barium Enema dan Computed
Tomography)
Penatalaksanaan
Dasar pengobatan adalah :
1. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik.
3. Antibiotika.
4. Laparotomi eksplorasi.
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya
pertolongan diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan pertama,
maka akan memberikan prognosa yang lebih baik.

25

Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak


sejak dahulu mencakup dua tindakan :
1 Reduksi hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan
kateter dengan tekanan tertentu. Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh
Ladd tahun 1913 dan diulang keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976.
2 Reduksi manual (milking) dan reseksi usus
Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, angka
lekosit, mengalami gejala berkepanjangan atau ditemukan sudah lanjut yang
ditandai dengan distensi abdomen, feces berdarah, gangguan sistema usus yang
berat sampai timbul shock atau peritonitis, pasien segera dipersiapkan untuk suatu
operasi. Laparotomi dengan incisi transversal interspina merupakan standar yang
diterapkan di RS. Dr. Sardjito. Tindakan selama operasi tergantung kepada
penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan milking harus dilakukan dengan
halus dan sabar, juga bergantung kepada ketrampilan dan pengalaman operator.
Reseksi usus dilakukan apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan
cara manual, bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis
sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan anastomose end to
end apabila hal ini memungkinkan, bila tidak mungkin maka dilakukan
exteriorisasi atau enterostomi.

26

Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah pembedahan. Diagnosis pada


saat pembedahan tidak sulit dibuat. Pada intususepsi yang mengenai kolon sangat
besar kemungkinan penyebabnya adalah suatu keganasan, oleh karena itu ahli
bedah dianjurkan untuk segera melakukan reseksi, dengan tidak usah melakukan
usaha reduksi. Pada intususepsi dari usus halus harus dilakukan usaha reduksi
dengan hati-hati. Jika ditemukan kelainan telah mengalami nekrose, reduksi tidak
perlu dikerjakan dan reseksi segera dilakukan (Ellis, 1990). Pada kasus-kasus
yang idiopatik, tidak ada yang perlu dilakukan selain reduksi (Aston dan
Machleder, 1975 cit Ellis, 1990). Tumor benigna harus diangkat secara lokal, tapi
jika ada keragu-raguan mengenai keganasan, reseksi yang cukup harus dikerjakan.
1. Pre-operatif
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama seperti penangan
pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan keadaan umum seperti rehidrasi
dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit elektrolit
2. Durante Operatif
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi, karena
kausa terbanya intususepsi pada dewasa adalah suatu keadaan neoplasma maka
tindakan yang dianjurkan adalah reseksi anastosmose segmen usus yang terlibat
dengan memastikan lead pointnya, baik itu neoplasma yang bersifat jinak maupun
yang ganas.

27

Gambar 6. Usus yang sudah rusak dan Perforasi (Nasution, 2013). Pada gambar diatas
dapat terlihat usus yang sudah rusak dan telah terjadi perforas i

Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:


1. Ruptur dinding usus selama manipulasi
2. Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
3. Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
4. Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan otilitas
5. Pembengkakan segmen usus yang terlibat
Batas reseksi pada umumnya adalah 10cm dari tepi tepi segmen usus
yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi,
kemudian dilakukan anastosmose end to end atau side to side.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead pointnya
tidak ditemukan maka tindakan reduksi dapat dianjurkan, begitu juga pada kasus
retrograd intususepsi pasca gastrojejunostomi tindakan reduksi dapat dibenarkan,

28

keadaan lainya seperti intususepsi pada usus halus yang kausanya pasti lesi jinak
tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien intususepsi tanpa
riwayat pembedahan abdomen sebelumnya sebaiknya dilakukan reseksi
anastosmose .
3. Pasca Operasi
HindariDehidrasi
Pertahankan stabilitas elektrolit
Pengawasan akan inflamasi dan infeksi
Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu motilitas usus
Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai
penyebabnya adalh besar, maka tidak dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung
dilakukan reseksi. Sedangkan bila invaginasinya pada usus halus reduksi boleh
dicoba dengan hati-hati , tetapi bila terlihat ada tanda necrosis, perforasi, oedema,
reduksi tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi saja (Elles , 90). Apabila
akan melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa hendaknya
dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan, ini untuk menghindari /
memperkecil timbulnya short bowel syndrom.
Gejala short bowel syndrom menurut Schrock, 1989 adalah:
adanya reseksi usus yang etensif
diarhea

29

steatorhe
malnutrisi
Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan menimbulkan
gangguan nutrisi dan gangguan pertumbuhan. Jika usus halus yang tersisa 2 meter
atau kurang fungsi dan kehidupan sangat terganggu. Dan jika tinggal 1 meter
maka dengan nutrisi prenteralpun tidak akan adequat. (Schrock, 1989).

30

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
III. Hasil Penelitian
Dari hasil studi retrospektif yang dilakukan di RS Wahidin Sudirohusodo
bagian Rekam Medis, diperoleh data penderita invaginasi periode tahun 20062010 sebanyak 26 kasus, 23 kasus diantaranya dilakukan tindakan operasi. Dari
tahun 2006 hingga tahun 2010, tampak insidens kasus invaginasi berfluktuasi.
Tabel I. Distribusi Kasus invaginasi di RSWS 1 Januari 2011 - 31 desember 2015
Tahun

Jumlah
Kasus

2011
2012
2013
2014
2015
Total

8
15
17
16
14
70

10.81
20.27
22.97
21.62
18.92
100%

Selama periode penelitian didapatkan 70 kasus invaginasi. Terdapat


fluktuasi kasus dari tahun ke tahun. Terbanyak pada tahun 2013 sebanyak 17
kasus (21,62%) dan terendah pada tahun 2011 sebanyak 8 kasus (10,81%).

31

Grafik I. Distribusi Kasus invaginasi berdasarkan jenis kelamin


di RSWS periode 1 Januari 2011 - 31 desember 2015

Pada grafik 1 di atas, terlihat bahwa distribusi pasien berdasarkan jenis


kelamin adalah laki-laki sebanyak 43 pasien (61,4%) sedangkan perempuan
sebanyak 27 pasien (38,6%), dengan perbandingan rasio laki-laki : perempuan =
6,1 : 3,8

Grafik II. Distribusi kasus invaginasi berdasarkan kelompok umur

32

Pada grafik II di atas tampak distribusi kasus invaginasi berdasarkan


kelompok umur terbanyak pada kisaran umur 0-6 bulan sebesar 29 kasus (41,4%)
dimana 5 kasus diantaranya adalah umur 5 bln, diikuti kelompok umur 7-12 bulan
sebanyak 16 kasus (22,8%), pada kelompok umur antara 1-3 tahun sebanyak 13
kasus (18,5%). kelompok umur 4-6 tahun sebanyak 8 kasus11,4%), dan terendah
kelompok umur > 6 thn sebanyak 4 kasus (5,7%) Umur tertua didapatkan pada
perempuan dengan umur 10 tahun dan termuda adalah laki-laki dengan umur 2
bulan.
Tabel II. Distribusi Kasus Invaginasi berdasarkan Faktor Predisposisi Invaginasi

Faktor predisposisi

Jumlah Kasus

Diare

39

55.71

Perubahan jenis
makanan

19

27.14

Trauma

1.43

ISPA

8.57

Polip

1.43

pencahar

5.71

total

70

100

Dari tabel II ditemukan faktor predisposisi invaginasi terbanyak adalah diare


sebanyak 39 Pasien (55,7%), Perubahan jenis makanan 19 pasien (27,1%),
Trauma 1 Pasien (1,4%), ISPA 6 pasien (8,6 %), Polip 1 pasien (1,4%) dan
pemberian pencahar 4 pasien (5,7%)

33

Grafik III. Distribusi Kasus Invaginasi berdasarkan Keluhan Utama

Dari grafik III ditemukan keluhan pasien saat pertama datang ke rumah
sakit adalah adanya Current Jelly Stool sebanyak 34 pasien (48.6%), distensi
abdomen sebanyak 26 pasien (37,1%), muntah sebanyak 7 orang (10,0%) dan
Nyeri Abdomen 3 pasien (4,3 %).
Tabel III. Distribusi Kasus Invaginasi berdasarkan Lama terjadinya sampai
penderita mendapatkan pertolongan

Lama kejadian

Jumlah Kasus

1
2
3
4
5

12
17
25
8
5

17.14
24.29
35.71
11.43
7.14

2.86

7
total

1
70

1.43
100

34

Dari tabel III ditemukan perjalanan penyakit sampai dibawa ke Rumah


Sakit adalah sebagai berikut 1 hari sebanyak 12 pasien (17,1 %), 2 hari sebanyak
17 pasien (24,3 %), 3 hari sebanyak 25 pasien (35,7 %), 4 hari sebanyak 8 pasien
(11,4 %), 5 hari sebanyak 5 pasien (7,1 %), 6 hari sebanyak 2 pasien (2,8%) dan 7
hari 1 pasien (1,4%)
Grafik IV. Distribusi kasus invaginasi berdasarkan Jenis Invaginasi

Dari 70 pasien yang menjalani operasi laparotomi eksplorasi ditemukan


jenis invaginasi terbanyak adalah jenis Ileocolica 27 kasus (38,6 %), kemudian
Ileocolocolica 18 kasus (25,7%). Ileocaecal sebanyak 15 kasus (21,43%), dan
yang paling sedikit adalah jejenoileal sebanyak 2 kasus (2,9%).
Dari grafik V dapat disimpulkan 3 jenis tindakan pada penanganan kasus
invaginasi ditemukan tindakan caecopexy dilakukan pada 17 pasien (24,3%),
reseksi anastomose 47 pasien (67,3 %) dan enterostomi 6 pasien (8,6%)

35

Grafik V. Distribusi kasus invaginasi berdasarkan Jenis Tindakan

Dari grafik VI ditemukan hasil operasi dari 70 pasien invaginasi yang


menjalani operasi, 51 (72,9%) pasien hidup (sembuh) dan 6 (27,1%) pasien
diantaranya meninggal.
Grafik VI. Distribusi Kasus Invaginasi berdasarkan Hasil Operasi

36

PEMBAHASAN
Selama periode 2011-2015 didapatkan 70 kasus invaginasi. Dari tahun ke
tahun jumlahnya berfluktuasi dengan rata-rata 14 kasus pertahun. Insidennya
relative rendah dibandingkan dengan kasus bedah anak lainnya. Di Amerika
Insidens Invaginasi terjadi pada bayi 1,5-4 kasus/ 1000 bayi kelahiran hidup. Dari
data yang ada, kelompok jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita kasus
invaginasi dibanding perempuan. Menurut kepustakaan bahwa laki-laki lebih
banyak dari perempuan dengan perbandingan 3:2 (Vinh. T Lam, 2000), dan
menurut kepustakaan lain 3:1 (kidshealth.org,2008). Pada penelitian ini
didapatkan 6,1 : 3,8. Pada anak usia lebih dari 4 tahun, rasio insidensi anak lakilaki dengan anak perempuan adalah 8:1 (emedicine,2008)

Dari distribusi kasus berdasarkan kelompok umur, didapatkan bahwa


kasus terbanyak pada umur 0-6 bln dan 7-12 bulan, hal ini sesuai dengan
kepustakaan dimana terbanyak pada umur 6-9 bln (vinh. T. Lam, 2001), 3-12 bln
(Karl-ludwiq, 2006). Dari laporan kasus, Invaginasi terjadi pada umur 2 tahun
pertama (95% kasus) (karl-Ludwiq,2006)
Berdasarkan distribusi kasus menurut faktor predisposisi invaginasi
didapatkan faktor predisposisi terbanyak oleh karena diare disusul perubahan jenis
makanan, ISPA, dan trauma hal ini sesuai dengan literatur bahwa faktor
predisposisi biasanya oleh karena diare dan perubahan jenis makanan dari
makanan cair kearah makanan semi padat dan makanan padat (raffensperger).
Sebagian besar kasus-kasus invaginasi dengan factor predisposisi diare oleh

37

karena virus menjadi penyebab terjadinya hiperperistaltik dan hipertrofi folikel


kelenjar limfe pada ileum terminalis yang menjadi factor pencetus terjadinya
invaginasi. Juga adanya riwayat ISPA sebelumnya akan menyebabkan
peningkatan peristaltik ditambah dengan rangsangan dari perubahan pemberian
jenis makanan dari cair ke semi padat dan padat (Vinch T. Lam, 2001). Di
kepustakaan dikatakan bahwa pemberian makanan selain susu ketika umur kurang
dari 4 bulan akan berakibat buruk terhadap bayi, karena sistem pencernaan bayi
pada usia ini belum tumbuh kembang sempurna. Pemberian makanan pada usia
itu berpeluang terjadinya invaginasi pada usus halus. Sedangkan pada umur lebih
dari 4 tahun biasanya oleh karena faktor mekanik misalnya polip dan trauma, hal
ini juga didapatkan pada penelitian ini.
Berdasarkan keluhan utama saat penderita datang di bawah berobat, dari
kepustakaan dikatakan bahwa terbanyak datang dengan keluhan muntah 85%,
abdominal pain 83%, current jelly stool 53% serta adanya massa pada palpasi
abdomen (Vinch T. Lam, 2001). Pada penelitian ini terbanyak datang dengan
keluhan utama current jelly stool (48,6%), distensi abdomen (37,1%), muntah
(10,0%) dan nyeri abdomen (4,29%). Sedangkan gejala klinis secara keselurahan,
current jelly stool ada pada 92,3% kasus, distensi abdomen ada pada 92,3% kasus,
muntah ada pada 88,4% kasus dan adanya massa pada perabaan ada pada 76,9 %
kasus. Pada penelitian ini, pada umumnya semua kasus terdapat trias gejala
invaginasi.
Berdasarkan onset munculnya keluhan sampai penderita datang di bawah
untuk mendapatkan pertolongan, pada umumnya datang terlambat (> 1x24 jam).

38

Jarang yang datang < 24 jam. Hal ini mungkin disebabkan ketidak tahuan dari
orang tua penderita dan keterlambatan diagnosa sebelumnya. Di kepustakaan
dikatakan bahwa semakin lambat penderita dibawa untuk mendapatkan
pertolongan dari saat timbulnya tanda-tanda kolik, berarti prognosa semakin
buruk. Munculnya nyeri pada anak dan balita dengan nyeri yang bersifat
paroxysmal harus dicurigai suatu invaginasi. Gejala ini biasanya diikuti dengan
ditemukannya darah dan lendir pada rectum yang terjadi dalam 12-24 jam
kemudian yang semakin berkembang dan menjadi lebih keras.
Dari distribusi kasus berdasarkan jenis Invaginasi didapatkan kasus
invaginasi terbanyak adalah ileocolica (38,6%) kemudian ileocolocolica (25,7%).
Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa 80-90% kasus ileocolica dan 15%
ileoileal (karl-Ludwiq, 2006).
Pada umumnya tindakan yang dilakukan adalah reseksi anastomose, hal
ini oleh karena pasien datang terlambat pada saat sudah terjadi nekrosis usus dari
bagian intususeptum invaginasi. Beberapa diantaranya berhasil dilakukan reduksi
manual dengan milking dan dilakukan caecopeksi dan sebagian lagi dilakukan
enterostomi . Hasil/ prognosa dari tindakan operasi tergantung dari onset mulainya
keluhan sampai datang dibawah untuk mendapatkan pertolongan. Invaginasi
dengan terapi sedini mungkin memiliki prognosis yang baik.

39

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan:
Dari hasil penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap evaluasi kasus
invaginasi di RS Wahidin Sudirohusodo dari tahun 2011 sampai 2015 di dapatkan
70 kasus, dengan hasil sebagai berikut :
Kasus terbanyak pada tahun 2013 sebanyak 17 kasus (24,3%) dan
terendah pada tahun 2011 sebanyak 8 kasus (11,4%) dengan insiden ratarata 14 kasus pertahun.
Berdasarkan jenis kelamin, terbanyak pada laki-laki yakni 43 kasus
(61,4%)
Berdasarkan kelompok umur terbanyak pada kisaran umur 0-6 bulan yakni
sebesar 29 kasus (41,4%)
Berdasarkan faktor predisposisi terbanyak adalah diare yakni sebesar 39
kasus (55,7%)
Berdasarkan keluhan utama terbanyak adalah adanya red current jelly stool
yakni sebesar 34 kasus (48,6%)
Berdasarkan lama kejadian hingga pasien mendapatkan pertolongan, yang
paling banyak pada 3 hari yaitu sebanyak 25 kasus (35,7%)
Berdasarkan jenis invaginasi terbanyak adalah ileocolica yakni sebanyak
27 kasus (38,6%)

40

Berdasarkan jenis penanganan terbanyak adalah reseksi anastomose yakni


sebanyak 47 kasus (67,1%)

SARAN:
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari rekam medis, tampak pencatatan
dan pelaporan pada status penderita masih banyak yang belum lengkap dan belum
jelas baik mengenai informasi riwayat penyakit sebelumnya, perubahan
pemberian jenis makanan, keluhan pertama muncul kolik dan tindakan
pembedahan secara mendetail. Untuk itu diperlukan pembenahan mengenai
pencatatan dan pelaporan rekam medis menjadi lebih baik, lengkap dan jelas
sehingga memudahkan dalam pengambilan data yang diperlukan pada penelitianpenelitian di kemudian hari.

41

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

18.
19.

Doody DP, Foflia RP. Intussusception. Principles and Practice of Pediatric


Surgery. Volume 2 Chicago. 2000. P1297-1304.
Young DG. Intussusception. Pediatric Surgery. Fifth Edition. Mosby. 1998. P.
1185-98
Leape LL, etc. Intussusception. Patient Care in Pediatric Surgery. Toronto. P.3135.
Karl-Ludwig, Intussuseption in Pediatric Surgery. Springer Surgery Atlas Series,
Editor J.S Lumley, Germany 2006. P 327-334
Vinh T. Lam. Intussuseption in Pediatric Surgery, Landes Bioscience
Vandemecum, Texas USA 2000. P 89-94
Raffensperger JG. Intussusception. Sweonsons Pediatric Surgery. Fifth Edition,
Appleton & Lange USA, 1990. P.221-9.
Behrman RE,etc. Intussusception. Textbook of Pediatrics. 17 th Ed.Saunders.
2004. P1242-3
Fallau MB. Intussusception. Pediatric Surgery. 4th ed. Elsevier Saunders,Kansas
City,Missouri.P-533-542.
Hay, WW, etc. Intussusception. Current Pediatrics Diagnosis & Treatment. 16 th
ed. Mc.graw Hill. 2003. p.626
Fallat, Mary E: Intussusception in Pediatric Surgery, 3 rd Edition, W.B. Saunders
Company, Philadelphia, 2000: 518-525
Mansjoer, Arief: Invaginasi dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media
Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000, 381-383
Nelson W.E, Intussusception. In: Text book Pediatrics 7 th Edition. W.B Saunders
Company P 667
Kidsgrowth, Intussusception, Available at : www.KidsGrowth.com Accessed in
August 2008.
Ein SH, Daneman A. Intussusception. Operative Pediatric Surgery. Mc Graw-Hill
Professional. 2003. P.647-55.
Ravitch MM. Intussusception. Pediatric Surgery. 4 th ed. Volume 2, Year Book
Medical Publisher,Inc. Chicago.2000.P.868-80.
Yamada T, etc. Intussusception. Gastroenterology. 4th ed. Volume 1.Lippncott
Williams & Wilkins. 2000. P.1479-80.
Townsend CM, etc. Intussusception. Sabiston Textbook of Surgery. The
Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17 th ed. Elsevier Saunders.
1998.P.2112-3.
King L. Intussusception. Pediatric. eMedicine.com
Strange GR,erc. Intussusception. Pediatric Emergency Medicine. McGraw-Hill.
2004. p.242-3

42

Bagian Ilmu Bedah

Makalah III

Fakultas Kedokteran

EVALUASI KASUS

EVALUASI KASUS INVAGINASI


DI RS WAHIDIN SUDIROHUSODO
PERIODE JANUARI 2011 - DESEMBER 2015

Oleh :
Hervianti Asri
Pembimbing:
dr. Ahmadwirawan, Sp.B, Sp.BA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PPDS I


BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

43

Anda mungkin juga menyukai