Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN

“TRAUMA URETRA”

PEMBIMBING :

dr. Zulfian Hasibuan. SpU

OLEH

May Renny Raja Gukguk

19010005

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

MURNI TEGUH MEMORIAL HOSPITAL

MEDAN

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas hikmat dan berkat yang
dianugerahkan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan
judul “Trauma Uretra”. Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada dr. Zulfian
Hasibuan. SpU yang telah bersedia membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktunya
kepada saya untuk memberi masukan serta saran hingga tulisan ini selesai.

Sebagai penulis saya sadar bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan, sehingga
saya mohon kritik dan saran untuk perbaikan referat ini selanjutnya, semoga tulisan ini dapat
bermanfaat dan menjadi bekal ilmu untuk kemajuan pendidikan kedokteran.

Medan, Juni 2020

Hormat Saya

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1. Latar Belakang...........................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan.......................................................................................1
1.3. Manfaat Penulisan.....................................................................................1
BAB II DASAR TEORI................................................................................................2
2.1. Epidemiologi Trauma uretra.......................................................................2
2.2. Anatomi......................................................................................................2
2.3. Etiologi Trauma Uretra...............................................................................6
2.4. Klasifikasi Trauma Uretra..........................................................................9
2.5. Patofisiologi Trauma Uretra.....................................................................13
2.6. Diagnosis Trauma Uretra..........................................................................14
2.7. Tatalaksana Trauma Uretra......................................................................14
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera saluran kemih memiliki proporsi 10% dari seluruh kasus trauma. 1 Trauma
uretra mencakup 4% dari seluruh trauma saluran kemih, terutama disebabkan fraktur
pelvis pada kecelakaan lalu lintas dan kasus jatuh dari ketinggian. Trauma uretra
adalah rusaknya integritas struktur normal uretra akibat dari trauma yang berlebihan,
uretra rentan cedera oleh karena lokasinya.2 Kasus trauma uretra jarang dan lebih
panjangnya uretra pada laki-laki, menyebabkan kasus trauma uretra lebih sering pada
laki-laki, biasanya bersamaan dengan terjadinya “straddle injury”. Sejumlah 65%
kasus merupakan ruptur komplit dan 35% inkomplit, dan jarang terjadi pada wanita,
beberapa bagian dari uretra dapat mengalami laserasi, terpotong, atau memar.1,3
Trauma saluran kemih bawah dapat membahayakan jiwa ataupun berdampak pada
kualitas hidup. Menurut anatomisnya, uretra dibedakan menjadi dua, uretra posterior
terdiri atas pars prostatika dan pars membranasea dan uretra anterior yang terdiri atas
pars bulbosa dan pars pendulosa. Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi
trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior, hal ini karena keduanya
menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan serta
prognosisnya, pemeriksaan yang efektif dan efisien, serta penatalaksanaan yang cepat
dan tepat penting untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.3

1.2 Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai Trauma Urethra


sehingga mampu mengenali dan mendiagnosis serta melakukan penanganan sesuai
dengan tingkat kompetensi dan melakukan rujukan bila perlu

1.3 Manfaat Penulisan

1. Melalui tulisan ini para pembaca dapat memahami mengenai Trauma Urethra
2. Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepanitraan klinik senior di bagian ilmu
Bedah di Rumah Sakit Murni Teguh.
BAB II

DASAR TEORI

2.1 Epidemiologi Trauma Uretra

Fraktur pelvis adalah penyebab utama trauma uretra posterior dengan insidensi
5% - 10%, dengan angka pada 20 fraktur per 100.000 populasi pertahun.4 Cidera
kendaraan bermotor dan sepeda motor dikaitkan dengan insiden fraktur panggul
tertinggi (15,5%) diikuti oleh cedera pejalan kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian lebih
dari 15 kaki (13%), pengendara mobil (10,2%), dan kecelakaan kerja. (6%). Organ
yang paling umum trauma pada fraktur pelvis adalah uretra posterior (5,8% -14,6%),
hati (6,1% -10,2%) dan limpa (5,2% -5,8%).5

2.2 Anatomi
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui
proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior
dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan
mani. Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi
oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter
uretra eksterna terdiri atas otot lurik dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat miksi sfingter ini tetap
terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan miksi. Panjang uretra laki-laki dewasa
sekitar 18 cm, dengan perbandingan uretra posterior 3 cm dan uretra anterior 15 cm,
titik baginya berada antara 2 lokasi pada membran perineal. Uretra dapat dibedakan
ke dalam 5 segmen yaitu :

Uretra posterior
 Uretra pars prostatika
 Uretra pars membranase
Uretra anterior
 Uretra pars bulbosa
 Uretra pars pendulosa
 Fossa naviculare

Uretra pars prostatika berjalan melalui prostat, mulai dari basis prostat sampai
pada apeks prostat. Panjang kira-kira 3 cm. Mempunyai lumen yang lebih besar
daripada di bagian lainnya. Dalam keadaan kosong dinding anterior bertemu dengan
dinding posterior. Dinding anterior dan dinding lateral membentuk lipatan
longitudinal. Pada dinding posterior di linea mediana terdapat crista urethralis, yang
kearah cranialis berhubungan dengan uvula vesicae, dan ke arah caudal melanjutkan
diri pada pars membranasea. Pada crista urethralis terdapat suatu tonjolan yang
dinamakan collicus seminalis (verumontanum), berada pada perbatasan segitiga
bagian medial dan sepertiga bagian caudal uretra pars prostatika. Pada puncak dari
colliculus terdapat sebuah lubang, disebut utriculus prostaticus, yang merupakan
bagian dari suatu diverticulum yang menonjol sedikit ke dalam prostat. Bangunan
tersebut tadi adalah sisa dari pertemuan kedua ujung caudalis ductus
paramesonephridicus (pada wanita ductus ini membentuk uterus dan vagina). Di sisi-
sisi utriculus prostaticus terdapat muara dari ductus ejaculatorius (dilalui oleh semen
dan secret dari vesicula seminalis). Saluran yang berada di sebelah lateral utriculus
prostaticus, disebut sinus prostaticus, yang pada dinding posteriornya bermuara
saluran-saluran dari glandula prostat (kira-kira sebanyak 30 buah).
Uretra pars membranasea berjalan kearah caudo-ventral, mulai dari apeks prostat
menuju ke bulbus penis dengan menembusi diaphragma pelvis dan diaphragma
urogenitale. Merupakan bagian yang terpendek dan tersempit, serta kurang mampu
berdilatasi. Ukuran panjang 1 –2 cm, terletak 2,5 cm di sebelah dorsal tepi caudal
symphysis osseum pubis. Dikelilingi oleh m.sphincter urethrae membranasea pada
diaphragma urogenitale. Tepat di caudalis diaphragma urogenitale, dinding dorsal
urethra berjalan sedikit di caudalis diaphragma. Ketika memasuki bulbus penis
urethra membelok ke anterior membentuk sudut lancip. Glandula bulbourethralis
terletak di sebelah cranial membrana perinealis, berdekatan pada kedua sisi uretra.
Saluran keluar dari kelenjar tersebut berjalan menembusi membrana perinealis,
bermuara pada pangkal uretra pars spongiosa.
Uretra pars spongiosa berada di dalam corpus spongiosum penis, berjalan di
dalam bulbus penis, corpus penis sampai pada glans penis. Panjang kira-kira15 cm,
terdiri dari bagian yang fiks dan bagian yang mobile. Bagian yang difiksasi dengan
baik dimulai dari permukaan inferior membrane perinealis, berjalan di dalam bulbus
penis. Bulbus penis menonjol kira-kira 1,5 cm disebelah dorsal uretra. Bagian yang
mobile terletak di dalam bagian penis yang mobile. Dalam keadaan kosong, dinding
uretra menutup membentuk celah transversal dan pada glans penis membentuk celah
sagital. Lumen uretra pars spongiosa masing-masing di dalam bulbus penis, disebut
fosssa intrabulbaris, dan pada glans penis, dinamakan fossa navicularis urethrae.
Lacunae urethrales(lacuna morgagni) adalah cekungan-cekungan yang terdapat pada
dinding uretra di dalam glans penis yang membuka kearah ostium uretra eksternum,
dan merupakan muara dari saluran keluar dari glandula urethrales. Ostium uretra
eksternum terdapat pada ujung glans penis dan merupakan bagian yang paling sempit.
Uretra pars bulbosa bermula di proksimal setinggi aspek inferior dari diafragma
urogenitalia, yang menembus dan berjalan melalui korpus spongiosum. Korpus
spongiosum merupakan jaringan serabut otot polos dan elastin yang kaya akan
vaskularisasi. Kapsul fibrosa yang dikenal sebagai tunika albuginea mengelilingi
korpus spongiousum. Korpus spongiosum dan korpus kavernosum bersama-sama
ditutupi oleh dua lapisan berurutan. Lapisan ini antara lain fascia buck’s (lapisan
paling tebal terdiri dari dua lapisan dan masing-masing terdiri atas lamina interna dan
eksterna yang membagi diri untuk menutupi korpus spongiosum) dan fascia dartos
(lapisan jaringan ikat longgar subdermal yang berhubungan dengan fascia colles di
perineum). Lumen uretra terletak di tengah bagian posterior korpus spongiosum
melalui uretra pars bulbosa, tetapi terpusat pada uretra pars pendulosa. Berdasarkan
defenisinya, uretra pars bulbosa tidak hanya ditutupi oleh korpus spongiosum, tetapi
juga oleh penggabungan garis tengah dari otot ischiokavernosus. Otot
bulbospongiosum berakhir hanya pada proksimal sampai penoskrotal junction,
dimana uretra berlanjut ke distal sebagai uretra pars pedunlosa. Uretra pars pendulosa
dekat dengan korpus korporal di bagian dorsal. Di distal sebagian besar bagian dari
uretra anterior adalah fossa naviculare, yang dikelilingi oleh jaringan spongiosa dari
glans penis.
Uretra wanita dewasa berukuran panjang sekitar 4 cm dan berjalan uretrovesikal
junction pada kollumna vesika urinaria ke vestibulum vagina. Dua lapisan otot polos
berjalan ke distal dari kollumna vesika urinaria mengelilingi bagian proksimal uretra
lapisan dalam merupakan bagian sirkuler, sedangkan lapisan luar berjalan secara
longitudinal. Otot polos dikelilingi oleh lapisan otot lurik yang paling tebal setinggi
pertengahan uretra dan berkurang pada aspek posteriornya.

Vaskularisasi dan aliran limfe


Pada uretra maskulina, pars prostatika mendapat suplai darah terutama dari arteri
vesikalis inferior dan arteri rektalis media. Uretra pars membranasea diberi suplai
darah dari cabang-cabang arteri dorsalis penis dan arteri profunda penis. Aliran darah
venous menuju pleksus venosus prostatikus dan ke vena pudenda interna. Aliran limfe
dari uretra pars prostatika dan pars membranasea dibawa oleh pembuluh-pembuluh
limfe yang berjalan mengikuti vasa pudenda interna menuju ke lymphonodus iliaka
interna (sebagian besar) dan ke lymphonodus iliaka eksterna (sebagian kecil). Aliran
limfe dari uretra pars spongiosa, sebagian besar dibawa menuju lymphonodus
inguinalis profunda dan sebagian besar dibawa menuju ke lymphonodus iliaka
interna. Uretra feminine pars kranialis mendapatkan vaskularisasi dari arteri vesikalis.
Pars medialis mendapatkannya dari arteri vesikalis inferior dan cabang-cabang dari
arteri uterine, sedangkan pars kaudalis disuplai oleh arteri pudenda interna. Pembuluh
darah vena membawa aliran darah venous menuju ke plexus venosus vesikalis dan
vena pudenda interna.
Innervasi
Uretra maskulina, pars prostatika menerima persarafan dari pleksus nervosus
prostatikus. Uretra pars membranasea dipersarafi oleh nervus kavernosus penis, pars
sponsiosa dipersarafi oleh pleksus nervosus vesikalis dan pleksus nervosus
uretrovaginalis, pars kaudalis dipersarafi oleh nervus pudendus.

2.3 Etiologi Trauma Uretra

a. Jenis trauma uretra yang paling umum adalah iatrogenik, karena kateterisasi,
instrumentasi, atau operasi, metode pengobatan baru dan sumber energi yang
diterapkan juga dapat melukai uretra.6,7
 Kateterisasi transurethral
Trauma uretra iatrogenik biasanya terjadi akibat kateterisasi yang tidak
tepat atau berkepanjangan dan merupakan 32% dari striktur. Sebagian besar
penyempitan ini mempengaruhi uretra bulbar, sedangkan leher kandung kemih
jarang terpengaruh dalam kasus seperti itu. Ukuran dan jenis kateter yang
digunakan memiliki dampak penting pada pembentukan striktur uretra. Data
saat ini menunjukkan bahwa kateter silikon dan kateter Foley kaliber kecil
dikaitkan dengan lebih sedikit morbiditas uretra. Menerapkan program
pelatihan dapat secara signifikan mengurangi insiden cedera tersebut,
meningkatkan keselamatan pasien dan mengurangi efek negatif jangka
panjang.6,8,9
 Bedah transurethral
Prosedur transurethral adalah penyebab umum dari trauma uretra
iatrogenik. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan striktur
uretra endoskopik iatrogenik termasuk disperse listrik yang dihasilkan oleh
arus unipolar dan diameter instrumen yang digunakan. 10 Faktor predisposisi
yang paling kuat terkait dengan pembentukan striktur pada pasien yang
menjalani TURP pada peningkatan volume prostat, kanker prostat dan
pengalaman ahli bedah.11 Penyempitan bisa terjadi sebagai akibat dari
ketidaksesuaian antara ukuran instrumen dan diameter meatus uretra.
Penyempitan bulbar terjadi karena isolasi yang tidak cukup oleh pelumas,
menyebabkan arus monopolar bocor. Untuk mencegah penyempitan, gel
pelumas harus dioleskan dengan hati-hati di uretra. Pelumas harus digunakan
kembali ketika waktu reseksi diperpanjang.12 Uretrotomi internal harus
dilakukan sebelum TURP jika ada striktur uretra. Tampaknya tidak ada
hubungan dengan durasi prosedur atau metode yang digunakan (laser holmium
atau TURP tradisional) pada tingkat pembentukan striktur.13
 Perawatan bedah untuk kanker prostat
Striktur uretra setelah perawatan kanker prostat dapat terjadi di mana
saja mulai dari leher kandung kemih hingga meatus uretra.14 Tingkat
penyempitan leher kandung kemih setelah prostatektomi radikal bervariasi
dengan definisi striktur yang digunakan dan praktik individu. 15 Basis data
Cancer Prostate Strategic Urologic Research Endeavour (CaPSURE)
menunjukkan kejadian striktur uretra setelah berbagai bentuk terapi kanker
prostat 1,1-8,4%.14 Risiko terbesar terjadi setelah prostatektomi radikal jika
dikombinasikan dengan terapi radiasi sinar eksternal. Dalam analisis
multivariat, jenis pengobatan primer, usia, dan obesitas ditemukan menjadi
prediktor signifikan untuk perkembangan striktur.16 Prostatektomi berbantuan
robot juga memengaruhi fungsi urin dan risiko trauma iatrogenik. Komplikasi
iatrogenik yang melibatkan leher kandung kemih sebesar 2,2%, mirip dengan
tingkat striktur yang ditemukan dengan pengobatan konvensional untuk
kanker prostat lokal. Striktur anastomosis adalah komplikasi pada
prostatektomi laparoskopi konvensional.17

 Operasi pelvis utama dan kistektomi


Cedera iatrogenik pada uretra dapat menjadi komplikasi prosedur pelvis
utama. Karenanya, kateterisasi kandung kemih dan uretra harus dilakukan
sebelum operasi untuk mencegah komplikasi ini. Kistektomi radikal dan
pengalihan urin selanjutnya juga dapat menyebabkan trauma uretra.18

b. Trauma uretra non-iatrogenik


 Trauma uretra anterior (pada pria)
Trauma uretra anterior terutama disebabkan oleh trauma tumpul,
dengan bulbar uretra menjadi situs yang paling umum trauma. Dalam trauma
bulbar ini, yang sebagian besar 'cedera mengangkang' atau tendangan dalam
perineum, bola dikompres terhadap simfisis pubis, mengakibatkan pecahnya
uretra.14
 Trauma uretra posterior (pada pria)
Trauma pada uretra posterior paling sering terkait dengan fraktur
panggul (sekitar 72%), yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor. Trauma posterior iatrogenik, akibat iradiasi atau pembedahan pada
prostat, merupakan masalah yang meningkat, tetapi tampaknya lebih jarang
terjadi daripada yang diyakini sebelumnya (3-25%).16
 Trauma uretra pada wanita
Trauma uretra sangat jarang terjadi pada wanita. Fraktur pelvis adalah
etiologi utama. Trauma biasanya berupa robekan longitudinal parsial dari
dinding anterior yang terkait dengan laserasi vagina. Trauma uretra pada
wanita yang meluas ke leher kandung kemih dapat mengganggu mekanisme
kontinuitas normal.17

2.4 Klasifikasi Trauma Uretra

a. Jenis trauma uretra berdasarkan lokasi


 Trauma uretra Anterior
Uretra anterior adalah bagian distal dari diafragma urogenitalia.
Straddle injury dapat menyebabkan laserasi ataucontusion dari uretra.
Instrumentasi atau iatrogenik dapat menyebabkan disrupsi parsial. Cedera
uretra anterior secara khas disebabkan oleh cedera langsung pada pelvis dan
uretra. Secara klasik, cedera uretra anterior disebabkan oleh straddle injury
atau tendangan atau pukulan pada daerah perineum, dimana uretra pars
bulbosa terjepit diantara tulang pubis dan benda tumpul. Cedera tembus uretra
(luka tembak atau luka tusuk) dapat juga menyebabkan cedera uretra anterior.
Penyebab lain dari cedera uretra anterior adalah trauma penis yang berat,
trauma iatrogenic dari kateterisasi, atau masuk benda asing. Trauma pada
bulbosa biasanya disebabkan oleh kecelakaan. Sedangkan trauma pada penile
uretra biasanya disebabkan oleh aktivitas seksual. Paling sering pada bulbosa
disebut Straddle Injury, dimana robekan uretra terjadi antara ramus inferior os
pubis dan benda yang menyebabkannya. Terdapat daerah memar atau
hematoma pada penis dan scrotum (kemungkinan ekstravasasi urine).19
a. Klasifikasi19
Klasifikasi rupture uretra anterior dideskripsikan oleh McAninch dan
Armenakas berdasarkan atas gambaran radiologi:
 Kontusio : Gambaran klinis memberi kesan cedera uretra, tetapi
uretrografi retrograde normal
 Incomplete disruption: Uretrografi menunjukkan ekstravasasi, tetapi
masih ada kontinuitas uretra sebagian. Kontras terlihat mengisi uretra
proksimal atau vesika urinaria.
 Complete disruption: Uretrografi menunjukkan ekstravasasi dengan
tidak ada kontras mengisi uretra proksimal atau vesika urinaria.
Kontinuitas uretra seluruhnya terganggu.
b. Gambaran klinis19
Pada ruptur uretra anterior terdapat memar atau hematom pada penis
dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda
klasik cedera uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh
tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma dan nyeri perut bagian
bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan mungkin ditemukan
kandung kemih yang penuh. Cedera uretra karena kateterisasi dapat
menyebabkan obstuksi karena udem atau bekuan darah. Abses periuretral
atau sepsis mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa
darah dapat meluas jauh, tergantung fascia yang turut rusak. Pada
ekstravasasi ini mudah timbul infiltrate yang disebut infiltrate urin yang
mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi. Kecurigaan
ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau
instrumentasi dan darah yang menetes dari uretra.Jika terjadi rupture uretra
beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih
terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas
pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasai urin dan darah
hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga
skrotum atau dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan
gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau
hematoma kupu-kupu.
 Trauma uretra Posterior
Trauma pada uretra posterior berhubungan dengan fraktur pelvis, dan
paling sering menyebabkan komplikasi. Biasanya terjadi pada bulbo
membranous junction dan pada prostate membranous terdapat cavernous
nerve. Trauma yang paling sering sejauh ini adalah dari uretra posterior.
Trauma tersebut terjadi pada 3% -25% pasien dengan fraktur panggul.20
Mekanisme paling umum adalah terkait kecelakaan lalu lintas di jalan dan
jatuh dari ketinggian. Sebanyak 20% pasien dengan jenis trauma seperti ini
memiliki keterkaitan laserasi bladder yang juga dapat dinilai pada
uretrografi.21 Komplikasi umum dari trauma panggul yang paling sering
adalah trauma uretra; yang apabila tidak terdiagnosa, akan menyebabkan
morbiditas jangka panjang.2 Striktur telah dilaporkan di 31% -69% dari pasien
setelah ruptur total dari bulbus uretra.19 Inkontinensia dan impotensi diakui
sering menjadi masalah terkait. Tingkat keparahan dan durasi komplikasi
dapat dikurangi jika trauma uretra segera didiagnosis dan diobati dengan tepat,
dan dalam hal ini ahli radiologi memainkan peran kunci.22

a. Klasifikasi
Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi
derajat cedera uretra dalam 3 jenis :
 Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching
(perengangan). Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya
ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang
 Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea,
sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram
menunjukkan ekstravasai kontras yang masih terbatas di atas
diafragma
 Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa
sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstvasasi
kontras meluas hingga di bawah diafragma sampai ke perineum
b. Gambaran Klinis
Pada ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah
suprapubik dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas hematom, dan
nyeri tekan. Bila disertai rupture kandung kemih, bisa dijumpai tanda
rangsangan peritoneum. Pasien biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan
sakit pada daerah perut bagian bawah. Kemungkinan terjadinya cedera
uretra posterior harus segera dicurigai pada pasien yang telah didiagnosis
fraktur pelvis. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa jenis
fraktur pelvis lebih sering berhubungan dengan cedera uretra posterior dan
terlihat pada 87% sampai 93% kasus. Akan tetapi, banyaknya darah pada
meatus uretra tidak berhubungan dengan beratnya cedera. Teraba buli-buli
yang cembung (distended), urin tidak bisa keluar dari kandung kemih atau
memar pada perineum atau ekimosis perineal merupakan tanda tambahan
yang merujuk pada gangguan uretra. Trias diagnostik dari gangguan uretra
prostatomembranosa adalah fraktur pelvis, darah pada meatus dan urin
tidak bisa keluar dari kandung kemih. Keluarnya darah dari ostium uretra
eksterna merupakan tanda yang paling penting dari kerusakan uretra. Pada
kerusakan uretra tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter,
karena dapat menyebabkan infeksi pada periprostatik dan perivesical dan
konversi dari incomplete laserasi menjadi complete laserasi. Cedera uretra
karena pemasangan kateter dapat menyebabkan obstuksi karena edema dan
bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam.
Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh tergantung
fascia yang rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang
mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi. Adanya darah
pada ostium uretra eksterna mengindikasikan pentingnya uretrografi untuk
menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan
hematoma pada pelvis dengan pengeseran prostat ke superior.
Bagaimanapun pemeriksaan rektum dapat diinprestasikan salah, karena
hematoma pelvis bisa mirip denagan prostat pada palpasi. Pergeseran
prostat ke superior tidak ditemukan jika ligament puboprostikum tetap
utuh. Disrupsi parsial dari uretra membranasea tidak disertai oleh
pergeseran prostat. Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars
membranasea dan terdorong ke atas oleh penyebaran dari hematoma pada
pelvis. High riding prostat merupakan tanda klasik yang biasa ditemukan
pada ruptur uretra posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan
fraktur pelvis kadang-kadang menghalangi palpasi yang adekuatpada
prostat yang ukurannya kecil. Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan
sebagai prostat yang normal mungkin adalah hematoma pada pelvis.
Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui ada tidaknya jejas
pada rektal yang dapat dihubungkan dengan fraktur pelvis. Darah yang
ditemukan pada jari pemeriksa menunjukkan adanya suatu jejas pada
lokasi yang diperiksa.19,21,22

b. Klasifikasi trauma uretra berdasar Sistem Goldman


c. Klasifikasi American Association for Surgery of Trauma (AAST)

2.5 Patofisiologi Trauma Uretra

Trauma dengan fraktur pelvis sebagian besar disertai trauma uretra posterior.
Padakasus trauma uretra posterior,23,24 uretra pars membranasea atau pars prostatika
merupakan bagian prostat yang ruptur. Fraktur pelvis menembus lantai pelvis dan
sfingter volunter, dan robekan ligamen puboprostatik akan merobek uretra
membranosa dari apeks prostat.24 Kemudian akan terbentuk hematoma di retropubis
dan perivesika.1 Pada kasus straddle injury terjadi trauma tumpul daerah perineum,
bagian uretra yang ruptur adalah uretra pars bulbosa,25 karena tekanan objek dari luar
menyebabkan kompresi uretra bulbosa dengan simfisis pubis sehingga terjadi
kontusio atau laserasi dinding uretra.24,26

2.6 Diagnosis Trauma Uretra


Evaluasi lanjutan untuk mencari cedera uretra dianjurkan pada semua pasien
trauma multipel, terutama yang jika ada darah di meatus, hematom/ekimosis
penis/perineal, retensi urin, distensi kandung kemih, dan riwayat trauma (straddle
injury).24,27 Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah pemeriksaan colok dubur;
selain untuk menemukan prostat letak tinggi yang menandakan adanya ruptur uretra,
juga dapat menyingkirkan cedera rektal.27,28 Pemeriksaan radiologis uretrografi
retrograd (RUG) direkomendasikan karena dapat menunjukkan derajat ruptur uretra,
parsial atau komplit, serta lokasinya, baik anterior maupun posterior, sehingga dapat
menentukan pilihan tatalaksana akut drainase kandung kemih. 23 Pemeriksaan RUG
merupakan pemeriksaan awal, dilakukan dengan injeksi 20-30 mL materi kontras
sambil menahan meatus tetap tertutup, kemudian balon kateter dikembangkan pada
fosa navikularis.24 RUG dapat mengidentifikasi lokasi cedera. Ruptur inkomplit
ditandai ekstravasasi uretra saat buli terisi penuh, sedangkan ruptur komplit ditandai
ekstravasasi masif tanpa pengisian buli.27 Ekstravasasi dapat terlihat hanya di badan
korpus jika fasia Buck’s masih intak, dan akan terlihat hingga ke skrotum, perineum,
dan abdomen anterior jika fasia Buck’s telah robek. 24 Uretroskopi juga dapat menjadi
pilihan yang baik karena berfungsi diagnostik ataupun terapeutik pada cedera uretra
akut. Uretroskopi menjadi pilihan pemeriksaan pertama pada kasus fraktur penis dan
pada pasien perempuan.23

(a) Ruptur uretra posterior dan (b) Ruptur uretra anterior24

2.7 Tatalaksana Trauma Uretra

Tatalaksana awal kegawatdaruratan bertujuan untuk menstabilkan kondisi


pasien dari keadaan syok karena perdarahan; dapat berupa resusitasi cairan dan balut
tekan pada lokasi perdarahan.23 Pemantauan harus dilakukan pada hidrasi agresif.
Selanjutnya, drainase urin harus segera dilakukan karena ketidakmampuan
berkemih.29 Pemantauan status volume serta drainase urin membutuhkan pemasangan
kateter uretra, namun pemasangan kateter uretra masih kontoversial mengingat risiko
ruptur inkomplit menjadi komplit karena prosedur pemasangannya. Diversi dengan
kateter suprapubik lebih disarankan.24
a. Trauma Uretra Anterior Laki-Laki
 Trauma Tumpul
Pada kasus trauma tumpul, penatalaksanaan akut hanya dengan
sistostomi suprapubik atau kateterisasi uretra untuk diversi urin.30 Uretroplasti
segera tidak diindikasikan, karena pada kasus trauma tumpul uretra anterior
sering disertai kontusio spongiosal yang menyulitkan debridemen dan
penilaian anatomi jaringan sekitar.23 Tindakan uretroplasti dapat dilakukan
setelah 3-6 bulan.1

 Trauma Tajam
Trauma tajam uretra anterior ditatalaksana dengan tindakan operasi
secepatnya berupa eksplorasi dan rekonstruksi.29 Eksplorasi segera dilakukan
pada pasien yang stabil, laserasi, atau luka tusuk kecil yang hanya
memerlukan penutupan uretra sederhana. Defek sebesar 2-3 cm di bulbar
uretra atau sampai 1,5 cm pada uretra pendulosa ditatalaksana dengan
anastomosis. Pada defek yang besar atau yang disertai dengan infeksi (luka
gigitan), tatalaksana berupa marsupialisasi dilanjutkan dengan rekonstruksi
dengan graft atau flap setelah 3 bulan. Semua pasien dilakukan kateter
suprapubik.23
b. Trauma Uretra Posterior Laki-Laki
 Trauma Tumpul
Pada kasus trauma uretra posterior pada laki-laki, tidak dilakukan
tindakan eksplorasi dan rekonstruksi dengan anastomosis karena tingginya
angka striktur, inkontinensia, dan impotensi setelah tindakan. Pada cedera
uretra posterior, penting dibedakan antara ruptur komplit dan inkomplit untuk
menentukan penatalaksanaan berikutnya. Pada ruptur inkomplit, pemasangan
kateter suprapubik atau uretra merupakan pilihan, cedera dapat sembuh sendiri
tanpa jaringan parut yang signifikan. Pada ruptur komplit penatalaksanaan
berupa realignment, eksplorasi, rekonstruksi, dan pemasangan kateter
suprapubik. Jangka waktu 3-6 bulan dianggap cukup untuk menunda operasi
sambil menunggu terbentuknya jaringan parut yang stabil dan penyembuhan
luka.1
Tindakan berdasarkan saatnya dibagi menjadi;
 Segera ; <48 jam setelah trauma
 Primer ditunda ; 2 hari- 2 minggu setelah trauma
 Ditunda ; >3 bulan setelah trauma.23

 Trauma Tajam
Eksplorasi segera melalui retropubis dilanjutkan dengan perbaikan
primer atau realignment endoskopik dilakukan setelah pasien dalam kondisi
stabil, dan pada ruptur komplit yang disertai cedera leher buli atau rektal. 30
Stenosis uretra anterior dapat terbentuk walaupun realignment endoskopik
berhasil.31Pada pasien tidak stabil atau gagal operasi, EAU dan AUA
merekomendasikan diversi suprapubik dilanjutkan dengan tindakan
uretroplasti.24 Uretroplasti dilakukan tidak lebih dari 14 hari setelah trauma
untuk mencegah diversi suprapubik yang terlalu lama. Uretroplasti dapat
dilakukan dalam 2 minggu setelah trauma, jika defek pendek dan pasien dapat
diposisikan litotomi.30

 Trauma Uretra Perempuan


Pada pasien perempuan dengan ruptur uretra, penatalaksanaan setelah
keadaan stabil. Operasi rekonstruksi retropubis untuk uretra, buli, dan lantai
pelvis jika cedera leher buli atau uretra proksimal. Jika cedera pada uretra
bagian distal, operasi penjahitan dapat dilakukan transvaginal.23,27

BAB III

KESIMPULAN
Dari semua cedera yang terdapat dalam unit gawat darurat, 10 % diantaranya
merupakan cedera sistem urogenitalia. Ruptur uretra merupakan kasus
kegawatdaruratan urologi yang sering terlewatkan pada kasus-kasus trauma multipel
di Unit Gawat Daurat. Kebanyakan dari cedera tersebut terabaikan dan sulit untuk
mendiagnostik dan memerlukan keahlian diagnostik yang baik. Cedera uretra
merupakan cedera yang jarang dan paling sering terjadi pada laki-laki, biasanya
bersamaan dengan terjadinya fraktur pelvis atau “straddle injury”. Cedera uretra
jarang terjadi pada wanita. Beberapa bagian dari uretra dapat mengalami laserasi,
terpotong, atau memar. Diagnosis cepat dengan mengingat trias gejala darah di
meatus uretra, retensi urin akut, dan ketidakmampuan berkemih menjadi pedoman
untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan radiologis terpilih berupa RUG. Penting
untuk menentukan klasifikasi trauma uretra anterior atau posterior dan derajat komplit
atau inkomplit. Penatalaksaannya bermacam-macam tergantung pada derajat cedera.
Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma
uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi
trauma, tanda klinis, pengelolaan serta prognosisnya. Tatalaksana akut drainase
kandung kemih harus segera dilakukan dengan pilihan terbaik suprapubik sistostomi
karena dapat mencegah perluasan trauma dan risiko striktur uretra

DAFTAR PUSTAKA

1. Zaid U8, Bayne DB, Harris CR, Alwaal A, McAninch J8, Breyer BN. Penetrating
trauma to the ureter, bladder, and urethra. Curr Trauma Rep. 2015;1 hal.119-124.
2. Kawashima, A, Sandler, CM, Wasserman, NF, LeRoy, AF, King, BF, Goldman, SM
2004, ‘Imaging of Urethral Disease: A Pictorial Review’, Texas, Radiographics, hal.
S195-216.

3. Lehnert BE, Sadro C, Monroe E, Moshiri M. Lower male genitourinary trauma A


pictorial review. Emerg Radiol. 2014;21(1)67-74. doi 10.1007/s10140-013-1159-z.

4. Dixon CM. Diagnosis and acute management of posterior urethral distruptions.


MCAninch JW, ed. Traumatic and Reconstructive Urology. Philadelphia, Pa; WB
Saunders; 1996.347-355

5. Demetriades D, Karaiskis M, Toutouzas K et al (2002) Pelvic fractures: epidemiology


and predictors of associated abdominal injuries and outcomes. J Am Coll Surg 195:1–
10

6. Kashefi C, Messer K, Barden R, dkk. Incidence and prevention of iatrogenic urethral


injuries: J Urol 2008 Jun;179(6):2254-7.

7. Fenton AS, Morey AF, Aviles R, dkk. Anterior urethral stricture: etiology and
characteristics. Urology 2005 Jun;65(6):1055-8

8. Hammarsten J, Lindqvist K. Suprapubic catheter following transurethral resection of


the prostate: a way to decrease the number of urethral strictures and improve the
outcome of operations. J Urol 1992 Mar;147(3):648-51.

9. Thomas AZ, Giri SK, Meagher D, dkk. Avoidable iatrogenic complications of urethral
catheterization and inadequate intern training in a tertiary-care teaching hospital.
BJU Int 2009 Oct;104(8):1109-12.

10. Vicente J, Rosales A, Montlleó M, dkk. Value of electrical dispersion as a cause of


urethral stenosis after endoscopic surgery. Eur Urol 1992;21(4):280-3.

11. Hammarsten J, Lindqvist K, Sunzel H. Urethral strictures following transurethral


resection of the prostate. The role of the catheter. Br J Urol 1989 Apr;63(4):397-400.

12. Rassweiler J, Teber D, Kuntz R, dkk. Complications of transurethral resection of the


prostate (TURP) incidence, management, and prevention. Eur Urol 2006
Nov;50(5):969-79; discussion 980.

13. Eltabey MA, Sherif H, Hussein AA. Holmium laser enucleation versus transurethral
resection of the prostate. Can J Urol 2010 Dec;17(6):5447-52.
14. Elliott SP, Meng MV, Elkin EP, dkk; CaPSURE investigators. Incidence of urethral
stricture after primary treatment for prostate cancer: data from CaPSURE. J Urol
2007 Aug;178(2):529-34.

15. Park R, Martin S, Goldberg JD, dkk. Anastomotic strictures following radical
prostatectomy: insights into incidence, effectiveness of intervention, effect on
continence, and factors predisposing to occurrence. Urology 2001 Apr;57(4):742-6.

16. Msezane LP, Reynolds WS, Gofrit ON, dkk. Bladder neck contracture after robot-
assisted laparoscopic radical prostatectomy: evaluation of incidence and risk factors
and impact on urinary function. J Endourol 2008 Jan;22(1):97-104.

17. Ficarra V, Novara G, Artibani W, dkk. Retropubic, laparoscopic, and robot-assisted


radical prostatectomy: a systematic review and cumulative analysis of comparative
studies. Eur Urol 2009 May;55(5):1037-63.

18. Hautmann RE, de Petriconi RC, Volkmer BG. 25 years of experience with 1,000
neobladders: longterm complications. J Urol 2011 Jun;185(6):2207-12.

19. Marinez, L, Pineiro, 2007,‘Urethral Trauma’ In: Trauma, Hohfelhener, M, Santucci,


RA (Eds), Springer, Emergencies in Urology, New York, 15.9 hal.276-
299.http//www.springer.com/978-3-540-48603-9

20. Mundy AR, Andrich DE, 2011, ‘Urethral trauma. Part I: intoduction, history,
anatomy, pahlogy, assessment and emergency management’, BJU International,
London, 108, pp.310-327

21. Goldman SM, Sandler CM, Corriere JN, McGuire EJ, 1997, ‘Blunt Urethral Trauma:
a Unified, Anatomical Mechanical Classification’, The Journal of Urology, American
Urological Association, US

22. Rosenstein DI, Alsikafi NF, 2006, ‘Diagnosis and Classification of Urthral Injuries’,
Elsevier, Urology Clinics of North America, Chicago, 33, hal.73-85.
http//www.urologic.theclinics.com/0094-0143/06

23. Lumen N, Kuehhas FE, Djakovic N, Kitrey ND, Serafetinidis E, Sharma DM, dkk.
Review of the current management of lower urinary tract injuries by the EAU trauma
guidelines panel. Eururo. 2015;6023 hal.1-5.

24. Bent C, Iyngkaran T, Power N, Matson M, Hajdinjak T, Buchholz N, dkk. Urological


injuries following trauma. Clinical Radiology 2008;63 hal.1361-71.
25. Srinivasa RN, Akbar SA, Howells GA. Genitourinary trauma; A pictorial essay.
Emerg Radiol. 2009;16 hal.21-33.

26. Alwaal A, ;aid UB, Blaschko SD, Harris CR, Gaither T8, McAninch J8, dkk. The
incidence, causes, mechanism, risk factors, classification, and diagnosis of pelvic
fracture urethral injury. Arab Journal of Urology. 2015;13 hal.2-6.

27. Bryk DJ, ;hao LC. Guidline of guidelines; A review of urological trauma guidelines.
BJU Int. 2016;117 hal.226-34.

28. Morey AF, Brandes S, Dugi DD, Armstrong JH, Breyer BN, Broghammer JA, dkk.
Urotraum AUA guideline. Jurology 2014;192 hal.1-9.

29. Ramchandani P, Buckler PM. Imaging of genitourinary trauma. AJR. 2009;192


hal.1514-23.

30. Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas FE, Lumen N, Serafetinidas E, dkk.
Guidelines on urological trauma. Eur Urol. 2012;62(4) hal.628-39.

31. Mundy AR, Andrich DE. Urethral trauma. BJUI. 2011;108 hal.630-50.

Anda mungkin juga menyukai