Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini atau premature rupture of membrans (PROM) merupakan


pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum menunjukkan tanda-tanda
persalinan/inpartu (keadaan kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang
menyebabkan terjadinya efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu jam kemudian
tidak timbul tanda-tanda awal persalinan atau secara klinis bila ditemukan pembukaan
kurang dari 3 cm pada primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida.
Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada kehamilan aterm maupun
preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm prematur rupture of membrans atau
ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut
ketuban pecah dini preterm / preterm prematur rupture of membran (PPROM) dan
bila terjadi lebih dari 12 jam maka disebut prolonged PROM. 2
Dari seluruh kehamilan prevalensi KPD berkisar antara 3-18%. Saat aterm, 8-10
% wanita hamil datang dengan KPD dan 30-40% dari kasus KPD merupakan
kehamilan preterm atau sekitar 1,7% dari seluruh kehamilan. 9
Gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya gangguan
pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini. Mikronutrien
lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini adalah asam
askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix dari kolagen. Zat
tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban pecah dini.
Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang rendah. 11,12
Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan
menaikkan insidensi bedah caesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan
menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau
menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau
menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru,
harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis
janin. 9
Pada pasien ini, diagnosisnya ialah G4P3A0 Gravida 39-40 minggu + Ketuban
Pecah Dini dan direncanakan dilakukan Sectio Caesarea. Pada pasien, dilakukan
tindakan SC atas indikasi KPD dengan anestesi regional (subaraknoid blok).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Ketuban Pecah Dini


Ketuban pecah dini atau premature rupture of membrans (PROM) merupakan
pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum menunjukkan tanda-tanda
persalinan/inpartu (keadaan kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang
menyebabkan terjadinya efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu jam kemudian
tidak timbul tanda-tanda awal persalinan atau secara klinis bila ditemukan pembukaan
kurang dari 3 cm pada primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida.
Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada kehamilan aterm maupun
preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm prematur rupture of membrans atau
ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut
ketuban pecah dini preterm / preterm prematur rupture of membran (PPROM) dan
bila terjadi lebih dari 12 jam maka disebut prolonged PROM. 2
Dari seluruh kehamilan prevalensi KPD berkisar antara 3-18%. Saat aterm, 8-10
% wanita hamil datang dengan KPD dan 30-40% dari kasus KPD merupakan
kehamilan preterm atau sekitar 1,7% dari seluruh kehamilan. 9
KPD diduga dapat berulang pada kehamilan berikutnya, menurut Naeye 1982
memperkirakan 21% rasio berulang, sedangkan penelitian lain yang lebih baru
menduga rasio berulangnya sampai 32%. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya
risiko morbiditas pada ibu atau pun janin. 2
Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput
ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini
dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks
ekstraseluler pada selaput ketuban. 2
Gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya gangguan
pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini. Mikronutrien
lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini adalah asam
askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix dari kolagen. Zat
tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban pecah dini.
Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang rendah. 10,11

2
Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan
dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas ibu maupun bayinya. 2
Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan
menaikkan insidensi bedah caesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan
menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau
menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau
menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru,
harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis
janin. 2
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan
tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk
mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD
dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu
pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang
optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-
paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada janin
merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada
kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya
selaput ketuban atau lamanya perode laten. 1,2
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan
dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan
dan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu.2

3
PS ASA

PS ASA8
Sistem skoring ASA menjelaskan status fisik pasien preoperatif (Saklad 1941)
dan digunakan secara rutin untuk semua pasien di UK. PS ASA tidak memandang
perbedaan usia, riwayat merokok, obesitas maupun kehamilan. Penyulit intubasi yang
telh diantisipasi tidak lagi relevan. Penambahan huruf E menandakan oprasi
emergensi. Terdapat beberapa hubungan antara skoring ASA dengan prediksi risiko
mortalitas perioperatif.8

Subaraknoid Blok
Anestesi spinal digunakan secara luas pada oprasi elektif maupun emergensi
di bawah umbilicus. Untuk bedah di atas umbilicus, spinal bagian atas saat ini jarang
digunakan karena berbagai kesulitan dalam mempertahankan ventilasi spontan dan
menghilangkan nyeri yang berasal dari tarikan di peritoneum dan tekanan pada
diafragma.8
Awalnya setelah suntikan, larutan anestesi spinal menghambat konduksi pada
akar saraf sebagaimana mestinya melalui ruang subarachnoid. Seiring waktu, anestesi
lokal menembus sumsum tulang belakang dan mungkin terjadi interaksi dengan target
lain yang berada di dalamnya. Ruang subarachnoid spinal meluas dari foramen
magnum ke S2 pada orang dewasa dan S3 pada anak-anak. Injeksi anestesi lokal di

4
bawah L1 pada orang dewasa dan L3 (di bawah penghentian conus medullaris) pada
anak membantu menghindari trauma langsung pada tulang belakang. Anestesi spinal
kadang disebut sebagai blok subarachnoid, dan itu karena dilakukan injeksi
intratekal.5
Jarum Spinal. Jarum spinal tersedia secara komersial dalam berbagai ukuran
panjang, dan desain bevel and tip (Gambar 5). Semua harus memiliki stylet
removable yang pas sehingga benar-benar menutupi lumen untuk menghindari
pelacakan sel epitel ke dalam ruang subarachnoid. Secara garis besar, mereka dapat
dibagi menjadi jarum tajam (cutting) -tipped or blunt-tip. Jarum Quincke adalah
jarum pemotong dengan suntikan akhir. Pengenalan ujung jarum tumpul (titik pensil)
telah secara nyata menurunkan kejadian sakit kepala tusukan postdural. Jarum
Whitacre dan jarum pensil lainnya memiliki titik bulat dan injeksi samping. Th e
Sprotte adalah jarum injeksi samping dengan bukaan panjang. Ini memiliki
keuntungan aliran CSF yang lebih kuat dibandingkan dengan jarum pengukur yang
serupa. Namun, hal ini dapat menyebabkan blok yang gagal jika bagian distal
pembukaan ubarachnoid (dengan arus bebas CSF), bagian proksimal tidak melewati
dura, dan dosis penuh obat tidak diberikan. Secara umum, semakin kecil jarum gauge,
semakin rendah timbulnya sakit kepala.5

Gambar 5: Jarum spinal 5

5
Spinal Kateter. Kateter subarachnoid yang sangat kecil saat ini tidak lagi
disetujui oleh Food and Drug Administration AS. Penarikan kateter ini didorong oleh
hubungannya dengan sindrom cauda equina (CES). Kateter yang lebih besar yang
dirancang untuk penggunaan epidural dikaitkan dengan tingkat komplikasi yang
relatif tinggi saat ditempatkan subarachnoid; Namun, obat ini sering digunakan untuk
anestesi spinal kontinyu setelah tusukan dural tak disengaja selama kinerja anestesi
epidural.5
Teknik Spesifik untuk Anestesi Spinal. Pendekatan garis tengah atau
paramedis, dengan pasien yang diposisikan di posisi decubitus lateral, duduk, atau
rawan, dapat digunakan untuk anestesi spinal. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
jarum itu diteruskan dari kulit melalui struktur yang lebih dalam sampai dua "muncul"
dirasakan. Yang pertama adalah penetrasi ligamentum flavum, dan yang kedua adalah
penetrasi membran dura-arachnoid. Tusukan dural yang berhasil di konfirmasikan
dengan menarik stylet untuk memverifikasi aliran bebas CSF. Dengan jarum ukuran
kecil (<25 g), aspirasi mungkin diperlukan untuk mendeteksi CSF. Jika aliran bebas
terjadi pada awalnya, namun CSF tidak dapat disedot setelah memasang jarum suntik,
jarum kemungkinan akan bergerak. Parestesia atau nyeri yang persisten dengan
suntikan obat harus mengingatkan petugas medis untuk menarik dan mengalihkan
jarum suntik.5

Gambar 6: Penyuntikan pada spinal anestesi6

6
Gambar 7: Anatomi tempat penyuntikan anestesi spinal6

Karena LA disuntik di dekat lokasi kerjanya, diperlukan volume yang jauh


lebih kecil (1-3 ml) dan onset efek (dalam 5 menit) cepat terjadi pada anestesi
epidural. Pilihan LA yang digunakan didasarkan terutama pada lama prosedur yang
diantisipasi. Lidocaine spinal memberikan anestesi bedah untuk prosedur yang
berlangsung hingga 75 menit namun penggunaannya dibatasi oleh peningkatan
kejadian radikulopati pasca operasi. Bupivakain spinal akan memberikan anestesi 3,5
jam dan dianggap aman. Penambahan opioid (mis. Fentanyl) ke larutan anestesi lokal
dapat memperpanjang durasi blok. Namun, jika blok tersebut menghambur sebelum
akhir prosedur, tidak ada cara untuk memperpanjang blok pada titik tersebut. Anestesi
spinal dilakukan di bawah asepsis ketat. Pasien mungkin duduk atau meringkuk di
posisi lateral. Jarum spinal "lubang jarum" khusus digunakan (22-27 gauge). Jarum
itu dimasukkan ke sebuah intersfer kayu yang lebih rendah dan diteruskan melalui
dura. Karena dura adalah membran yang sulit, pasti "pop" sering terasa saat jarum
masuk ke ruang intratekal. Stylet jarum dilepas dan cairan serebrospinal (CSF)
diamati di lumen jarum. Anestesi lokal kemudian disuntikkan dan jarumnya dilepas.
Tinggi blok yang dibutuhkan tergantung pada prosedur operasi (Tabel 1). Ketinggian
blok yang dicapai ditentukan oleh banyak faktor termasuk massa dan volume LA
yang diberikan, posisi pasien dan baricitas atau "beratnya" LA terhadap CSF.
Komplikasi anestesi spinal sama dengan anestesi epidural dengan beberapa
pengecualian. Karena dosis kecil LA yang dibutuhkan, toksisitas LA tidak menjadi

7
masalah meski suntikan intravaskular terjadi. Dural puncture diperlukan untuk
anestesi spinal sehingga "sakit kepala spinal" selalu berisiko, terutama pada pasien
dewasa muda. Penggunaan jarum yang lebih kecil-bore dan memiliki ujung "pensil-
point" membantu mengurangi kejadian sakit kepala pasca-dural. Kontraindikasi
terhadap anestesi spinal tercantum pada Tabel 2.6

Tabel 1: Tingkat dermatomal yang dibutuhkan untuk berbagai prosedur pembedahan6

Tabel 2: Kontraindikasi blokade saraf sentral5

8
Mekanisme kerja. Mekanisme anestesi spinal dan epidural tetap spekulatif.
Lokasi utama aksi blokade neuraksial diyakini sebagai akar saraf. Anestesi lokal
disuntikkan ke dalam CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural dan
caudal) dan memandikan akar saraf di ruang subarachnoid atau ruang epidural. Injeksi
langsung anestesi lokal ke dalam CSF untuk anestesi spinal memungkinkan dosis dan
volume anestesi lokal yang relatif kecil untuk mencapai blokade sensoris dan motorik
yang padat. Sebaliknya, konsentrasi anestetik lokal yang sama dicapai di dalam akar
saraf hanya dengan volume dan jumlah molekul anestetik lokal yang jauh lebih besar
selama anestesi epidural dan kaudal. Selain itu, tempat suntikan (level) untuk anestesi
epidural umumnya harus mendekati akar saraf yang harus diberi anestesi. Blokade
transmisi saraf (konduksi) pada lapisan akar saraf posterior mengganggu sensasi
somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut saraf anterior mencegah motor keluar
dan arus keluar otonom. Anestesi lokal mungkin juga memiliki tindakan pada struktur
di dalam sumsum tulang belakang selama anestesi epidural dan spinal.5
Hal-hal yang mempengaruhi spinal blok. Table 3 menunjukkan hal-hal yang
mempengaruhi blokade spinal. Faktor yang paling mempengaruhi ialah konsentrasi
larutan anestesi, posisi pasien selama induksi dan sesaat setelahnya, dan dosis obat.
Secara umum, semakin besar dosis yang diberikan, atau semakin tinggi titik
injeksinya, semakin tinggi juga level anestesi yang diberikan. Lebih lanjut, migrasi
anestesi lokal dalam LCS bergantung pada densitasnya relatif terhadap LCS
(barisitas).5 Bupivacain 0,5% dalam dextrosa 8,25% merupakan agen spinal yang
paling hiperbarik.5 Dengan demikian, agen tersebut merupakan agen anestesi spinal
yang paling baik dibandingkan dengan agen lainnya. Bupivakain 0,5% hiperbarik
memberikan blok akurat pada oprasi selama 2-3 jam. Bupivakain 0,5% isobarik murni
3-4 cc juga sering dipakai namun kurang akurat pada T10. Lidokain 5% dalam
glukosa 8% kadang diindikasikan pada blokade durasi pendek; 2,5-3,0 cc selama 1
jam pada T10 dan hingga 2 jam pada spinal yang lebih ke bawah.5

9
Tabel 3: Faktor-faktor yang mempengaruhi spinal blok5

Tabel 4: Densitas berbagai agen anestesi. LCS mempunyai gravitas: 1.003-1.0085

10
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas
Nama penderita : Ny MSI
Umur : 27 tahun
Alamat : Sentani
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)
Suku Bangsa : Ambon
Tgl MRS : 26 -02-2018

2.2. Anamnesis
2.2.1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh keluar air-air sejak ± 1 minggu SMRS.

2.2.2. Riwayat Kehamilan Sekarang


Pasien G4P3 datang ke RS membawa surat rujukan dari dr. Sp.OG dan
datang dengan keluhan sudah keluar air-air sejak ± 1 minggu SMRS.
Keluhan disertai dengan lendir dan darah, keputihan (+), gatal (+), bau
(+), mual-mual (-), muntah (-), demam (-), nyeri kepala (-), gigi
berlubang (+), dan gerakan janin aktif. Pasien mengaku hamil 9 bulan ~
usia kehamilan 39-40 minggu. Pasien kontrol kehamilan di PKM
Senta2x, dr. Sp.OG (1x), USG (1x), Tetanus toxoit 1x.

2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Jantung, Asma, Malaria disangkal.
Alergi obat disangkal.

2.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Jantung, Asma, Malaria disangkal.

11
2.2.5. Riwayat Obstetri
A. Riwayat Kehamilan (G4P3A0)
No Jenis Penolong BB JK Umur Hidup/Mati
Persalinan sekarang
1. Spontan Bidan 3.800 ♂ 10 tahun Hidup
gr
2. Spontan Bidan 2.500 ♀ 6 tahun Hidup
gr
3. Spontan Bidan 3.600 ♂ 4 tahun Hidup
gr
4. Hamil ini

B. Pemeriksaan Antenatal (ANC) :


ANC di puskesmas Sentani 2x dan di dr. SpOG 1x dan sempat di USG
1x dikatakan janin dalam keadaan baik. Sudah imunisasi TT sebanyak
1x.

2.2.6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pernikahan yang pertama, sudah menikah sah ± 11 tahun. Pasien bekerja
sebagai IRT dan suami PNS.

2.3. Pemeriksaan Fisik


2.3.1. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi badan : 140 cm
Berat badan : 54 kg

2.3.2. Tanda-tanda vital


- Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Nadi : 78 x/m
- Respirasi : 24 x/m
- Suhu Badan : 36,7 °C

12
Kepala
- Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pupil dbn
- Hidung : Sekret (-/-)
- Mulut : Dbn
- Telinga : Sekret (-/-)
- Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Thorax
- Jantung : Bunyi jantung I dan II regular
- Paru : SN Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),Wheezing (-/-)
- Abdomen : Tampak cembung, bising usus (+), hepar dan lien
tidak dilakukan evaluasi
- Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-), varises (-)
- Refleks : Refleks fisiologis normal, refleks patologis (-)

2.3.3. Status Obstetri


Pemeriksaan luar
- TFU : 30 cm
- LA : memanjang/punggung kanan
- BJA : 136 x/m
- TBJ : 2790 gr
- HIS : 2x/10’/20”, Kontraksi ireguler
Inspekulo
V/V tidak ada kelainan, portio tebal lunak, OUE terbuka, fluxus (+),
Fluor (+).
Pemeriksaan Dalam
V/V tidak ada kelainan, portio tebal lunak, arah axial, Φ : 3 cm, kepala
H2, selaput ketuban (-).

2.4. Pemeriksaan Penunjang


2.4.1. Pemeriksaan Laboraturium
Darah Lengkap
- HB : 12,3 gr/dl
- Leukosit : 7.940 /mm3
- Trombosit : 258.000 /mm3

13
2.5. Diagnosis Kerja
G4P3A0 Gravida 39-40 minggu, inpartu kala I fase laten + Ketuban Pecah Dini,
Janin Presentasi Kepala Tunggal Hidup.

2.6. Rencana Terapi


- Observasi KU, TTV, His setiap 4 jam.
- Pasang CTG dan observasi DJJ setiap 30 menit.
- Observasi kemajuan persalinan
- Awasi tanda-tanda Vital dan kompresi tali pusat
- Pencegahan infeksi dengan : Ceftriaxon 2 gr/24 jam
- Sectio Caesarea.

2.7. Laporan Persalinan Sectio Caesarea


Durasi operasi 40 menit 11.08 – 11.48 WIT
- Pasien terbaring terlentang diatas meja operasi dalam anastesi spinal.
- Dilakukan asepsis dan desinfeksi.
- Insisi ptanenstiel dari kulit-fasia adifosa.
- Dinding abdomen ditentukan secara tajam dan tumpul, dibuka lapis demi
lapis, perdarahan dirawat.
- Setelah peritoneum ditembus tampak uterus, dilakukan insisi di SBR,
ditembus dan dilebarkan secara tumpul.
- Dengan menelusuri kepala pada pukul 11.15 WIT dilahirkan bayi ♀ dengan
BB 2.900 gram, PB 48 cm, AS 6/9.
- Dengan tarikan ringan dikeluarkan plasenta lengkap.
- Dilakukan jahitan lapis demi lapis pada uterus dengan monosin 1.0, SBU
dijahit menggunakan monosin 3.0 jahit jelujur. Sesudah dipastikan tidak ada
perdarahan, dinding abdomen dijahit lapis demi lapis menggunakan plan I.
Kulit ditutup dijahit subkutikuler dengan menggunakan monosin 3.0. Jumlah
perdarahan ±200 cc, jumlah urine ±500 cc.
- Operasi selesai.

2.8 PENENTUAN PS ASA

Pasien termasuk dalam PS ASA 1: status kesehatan dalam batas normal.

14
Problem
Actual
List
B1 Airway: Bebas
Breathing: spontan suara napas vesikuler +/+, rhonki -
/-, wheezing -/-

B2 Perfusi hangat, kering, merah, Capilary Refill Time <


2 detik, BJ I-II murni, regular, konjungtiva anemis (-/-
).
B3 Kedaran Compos Mentis

B4 Terpasang DC

B5 Abdomen cembung, supel, peristaltik usus (+),


hepar/lien tidak teraba, BAB (+)

B6 Edema (-) fraktur (-)

2.9 PERHATIAN PERIOPERATIF

15
2.10 LAPORAN ANESTESI

- Persetujuan anestesi dari keluarga (+)


- Diagnosis pra-anestesi: G4P3A0 Gravida 39-40 minggu, inpartu kala I
fase laten + Ketuban Pecah Dini, Janin Presentasi Kepala Tunggal
Hidup.
- Rencana tindakan: Sectio Caesarea
- Mallampati: kelas 1
- Fungsi sistem organ dalam batas normal
- PS ASA: 1
- Jam masuk OK: 10.55
- Jam induksi: 11.00
- Jam insisi: 11.08
- Jam selesai oprasi: 11.48
- Jenis anestesi: RA-SAB
- TTV pra-anestesi: TD: 120/70 mmHg, N: 70 x/m, RR: 20 x/m, SB:
36,7C, SpO2: 99%
- Posisi: Supine
- Teknik Anestesi: Pasien duduk di meja oprasi, pasien diposisikan
membungkuk, identifikasi L3-L4, dilakukan aseptik dan antiseptik
dengan alkohol dan povidon iodin daerah lumbal, dilakukan injeksi
Lidokain, kemudian injeksi Bupivakain HCl 0,5% 15mg ke dalam
ruang subaraknoid setelah memastikan aspirasi darah (-) dan LCS (+),
pasien dibaringkan kembali dalam posisi supine, dipasang alat
pengukur TD, Saturasi, Nadi, pasien tenang, bromage 100%, operasi
dimulai.
- Cairan Pra-anestesi: RL 500cc
- Obat-obatan selama anestesi: Bupivakain HCl 0,5% 15mg, Efedrin
10mg, Petidine 30 mg, Methergin 1amp, Oxytocin 1amp drip
- Cairan intraanestesi: RL 500cc

16
- Monitor TD dan Nadi:

- Perdarahan: sekitar 200cc


- Pasca anestesi: bromage score: 0’: 0, 15’: 0

2.11 PESANAN POST-OP

- Asering 1500cc/24jam
- Observasi ttv/15 menit
- Jika mual: ondancetron
- Jika nyeri: ketorolac 3x1amp

2.12 DIAGNOSIS AKHIR

P4A0 Post SC a/i Ketuban Pecah Dini + Gawat Janin.

2.13 RENCANA TERAPI

- Obs. Hemodinamik ibu : KU, TTV, Perdarahan tiap 15 menit selama 1

jam, dan tiap 30 menit pada 1 jam berikutnya.

- Cek Hb 6 jam post Op,

- IVFD Asering 20 tpm

- Inj Ketorolak 3X1AMP

- Inj ceftriaxone 3x1 amp

- Inj Kalnex 3x1

17
BAB IV
PEMBAHASAN

2.1 Bagaimana penentuan PS ASA pada pasien ini?

PS ASA8
Pasien digolongkan dalam PS ASA 1, yaitu pasien sehat dengan Hb: 12,3
gr/dL, L:7.940/mm3, PLT:258.000/mm3, tanpa riwayat penyakit lainnya seperti
jantung, paru, DM, Hipertensi, tanpa obesitas, dan penyakit sistemik lainnya.

2.2 Apakah pilihan jenis anestesi pada pasien ini sudah tepat?

Pemilihan jenis anestesi pada SC ditentukan berbagai faktor: urgensinya, latar


belakang pasien dan ahli kandungan, dan skil ahli anestesinya. RA menjadi
teknik anestesi pilihan pada SC karena GA berhubungan dengan risiko
morbiditas dan mortalitas maternal. Kematian berhubungan dengan GA
biasanya karena masalah jalan nafas. Sedangkan kematian karena RA
biasanya akibat penyebaran dermatom berlebihan saat blokade atau terjadi
keracunan anestesi lokal. Keuntungan RA yang lain ialah eksposur pada janin
yang lebih minimal terhadap depresan potensial, aspirasi minimal, dan ibu
sadar saat lahirnya bayi.5

18
Menurut Tsai (2011), anestesi umum berhubungan dengan peningkatan risiko
infeksi peri-bedah setelah operasi caesar dibandingkan dengan anestesi
neuraxial.7 Studi dengan populasi besar di Britania Raya dan USA
menunjukkan bahwa anestesi regional memberikan hasil morbiditas dan
mortalitas yang lebih sedikit daripada anestesi umum. Hal ini mungkin
disebabkan karena berkurangnya kejadian aspirasi pulmoner dan kegagalan
intubasi jika menggunakan anestesi neuraxial.5 Pada pasien dipilih anestesi
spinal sub araknoid blok (SAB), jadi, pilihan anestesi pada pasien ini sudah
tepat.

2.3 Bagaimana penentuan obat anestesi pada pasien?


Bupivacain 0,5% dalam dextrosa 8,25% merupakan agen spinal yang paling
hiperbarik.5 Dengan demikian, agen tersebut merupakan agen anestesi spinal
yang paling baik dibandingkan dengan agen lainnya. Bupivakain 0,5%
hiperbarik memberikan blok akurat pada oprasi selama 2-3 jam. Bupivakain
0,5% isobarik murni 3-4 cc juga sering dipakai namun kurang akurat pada T10.
Lidokain 5% dalam glukosa 8% kadang diindikasikan pada blokade durasi
pendek; 2,5-3,0 cc selama 1 jam pada T10 dan hingga 2 jam pada spinal yang
lebih ke bawah.5

Tabel 3: Faktor-faktor yang mempengaruhi spinal blok5

19
Tabel 4: Densitas berbagai agen anestesi. LCS mempunyai gravitas: 1.003-1.0085

2.4 Apa saja yang harus diperhatikan selama perioperatif?


Problem
Actual Potensial Planning
List
B1 Airway: Bebas Sumbatan jalan napas 02 nasal atau masker,
Breathing: spontan suara Distres napas posisi chin lift, itubasi.
napas vesikuler +/+, rhonki -
/-, wheezing -/-
B2 Perfusi hangat, kering, Hemoragik, Overload, Resusitasi tepat,
merah, Capilary Refill Time Bradikardia, Monitoring vital sign.
< 2 detik, BJ I-II murni, hipotensi, Anemis
regular, konjungtiva anemis
(-/-).
B3 Kedaran Compos Mentis Penurunan Observasi GCS

B4 Terpasang DC Oliguria Rehidrasi, balance


Dehidrasi cairan
B5 Abdomen cembung, supel, Peningkatan tekanan Penyesuaian dosis
peristaltik usus (+), intrabdomen induksi spinal
hepar/lien tidak teraba, BAB

20
(+)

B6 Edema (-) fraktur (-) Kesulitan induksi Posisikan pasien


pada vertebra lumbal dengan tepat

2.5 Bagaimana terapi cairan pada pasien?


Pada pasien diberikan asering 1500cc/24 jam. Pada teori, berat badan
54 kg menjadikan EBV=54x70=3780. Perdarahan selama oprasi=200cc. Maka
derajat perdarahan=200/3780=5,2% (derajat ringan), maka terapi cairannya
ialah 2-4xEBL=400-800cc. Pada pasien diberikan RL 500cc selama oprasi.
Terapi cairan perioperatif termasuk menggantikan cairan normal yang
hilang (maintenance), dan dari perdarahan selama operasi. Kebutuhan cairan
maintenance berkaitan dengan tidak adanya oral intake, yang menyebabkan
kekurangan cairan dan elektrolit dengan cepat sebagai akibat dari pembuangan
urin yang berlngsung terus menerus, sekresi gastrointestinal, berkeringat dan
IWL dari kulit dan paru. Kebutuhn cairan maintenance normal dapat dilihat
pada tabel berikut:5

Jadi, maintenance cairan pada pasien (BB=54kg) ialah: 10x4=40cc/jam


+ 10x2=20cc/jam + 34x1=34cc/jam = 94cc/jam. Maka maintenance/24jam=
2256cc/24j. Pada pasien diberikan asering 1500cc/24 jam.
Defisit cairan sebelumnya dapat dihitung dengan mengalikan
maintenance dengan jam puasa.5 Pada pasien, puasa dimulai 6 jam preoperasi.
Maka, defisit cairannya ialah 94cc/jam x 6 = 564 cc.

21
BAB V
PENUTUP

KESIMPULAN
Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko tinggi.
Kesalahan dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya
angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya. Kasus KPD yang
cukup bulan,sebaiknya menempuh cara-cara aktif.
Pasien masuk dalam kategori PS ASA 1 yaitu tanpa penyakit sistemik
lainnya. Pilihan anestesi SAB lebih dianjurkan daripada GA pada SC karena
berkurangnya kejadian aspirasi pulmoner dan kegagalan intubasi jika
menggunakan anestesi neuraxial. Jadi, pilihan anestesi pada pasien ini
sudah tepat.
Agen RA yang paling baik ialah yang paling hiperbarik, yaitu
Bupivacain 0,5% dalam dextrosa 8,25%. Hal lainnya yang mempengaruhi
efek obat RA ialah posisi pasien, dosis obat, dan tempat injeksi.
Pemilihan jenis anestesi pada pasien ini sudah tepat, yaitu RA-SAB
dibandingkan GA. Pemilihan obat anestesi juga tepat, yaitu dengan agen
yang paling hiperbarik. Yang harus diperhatikan selama perioperatif ialah
B1-B6. Perdarahan selama oprasi = 200cc. Maka derajat perdarahan 5,2%
(derajat ringan), maka terapi cairannya ialah 2-4xEBL=400-800cc. Pada
pasien diberikan RL 500cc selama oprasi. Maintenance cairan pada pasien
(BB=54kg) ialah: 2256cc/24j dan dari defisit selama puasa = 564cc. Pada
pasien diberikan asering 1500cc/24 jam.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL, et al.
William’s Obstetri. 24 th Edition. New York : McGraw-Hill. 2014.
2. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro G. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta:
Bina Pustaka. 2014.
3. Hanifa W, Abdul Bari S, Trijatmo R. Ilmu Bedah Kebidanan Sarwono
Prawiroharjo, Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 2010
4. Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL, et al.
William’s Obstetri. 22 th Edition. New York : McGraw-Hill. 2009.
5. Butterworth IV JF, et al. Morgan and Mikhail’s Anaesthesiology. 5th Edition. New
York : McGraw-Hill. 2013.
6. Raymer K, et al. Understanding Anaesthesia: A Learner’s Handbook. 1st Edition.
McMaster university. 2013.
7. Tsai PS, Hsu CS, Fan YC: General anaesthesia is associated with increased risk of
surgical site infection after cesarean delivery compared with neuraxial
anaesthesia: a population-based study. Br J Anaesth 107(5):757, 2011
8. Smith T, et al. Fundamentals of Anaesthesia. 3rd Edition. Cambridge: Cambridge
University Press. 2009.
9. Martaadisoebrata Djamhoer, et al, 2013. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan
Reproduksi Edisi 3 Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Tiaradita A, 2013, After care partus spontan patologis et causa ketuban pecah dini,

Fakultas Kedokteran – UPN Veteran, Jakarta.

11. Sudiarta IG, Bakteuri Asimtomatis Meningkatkan Resiko Terjadinya Ketuban

Pecah Dini Preterm, 2014, Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Denpasar–Bali, available at:


http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-223-1468200044-
tesis%20jess%20revisi%20kelayakan.pdf.

23

Anda mungkin juga menyukai