PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan
dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas ibu maupun bayinya. 2
Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan
menaikkan insidensi bedah caesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan
menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau
menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau
menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru,
harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis
janin. 2
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan
tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk
mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD
dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu
pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang
optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-
paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada janin
merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada
kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya
selaput ketuban atau lamanya perode laten. 1,2
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan
dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan
dan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu.2
3
PS ASA
PS ASA8
Sistem skoring ASA menjelaskan status fisik pasien preoperatif (Saklad 1941)
dan digunakan secara rutin untuk semua pasien di UK. PS ASA tidak memandang
perbedaan usia, riwayat merokok, obesitas maupun kehamilan. Penyulit intubasi yang
telh diantisipasi tidak lagi relevan. Penambahan huruf E menandakan oprasi
emergensi. Terdapat beberapa hubungan antara skoring ASA dengan prediksi risiko
mortalitas perioperatif.8
Subaraknoid Blok
Anestesi spinal digunakan secara luas pada oprasi elektif maupun emergensi
di bawah umbilicus. Untuk bedah di atas umbilicus, spinal bagian atas saat ini jarang
digunakan karena berbagai kesulitan dalam mempertahankan ventilasi spontan dan
menghilangkan nyeri yang berasal dari tarikan di peritoneum dan tekanan pada
diafragma.8
Awalnya setelah suntikan, larutan anestesi spinal menghambat konduksi pada
akar saraf sebagaimana mestinya melalui ruang subarachnoid. Seiring waktu, anestesi
lokal menembus sumsum tulang belakang dan mungkin terjadi interaksi dengan target
lain yang berada di dalamnya. Ruang subarachnoid spinal meluas dari foramen
magnum ke S2 pada orang dewasa dan S3 pada anak-anak. Injeksi anestesi lokal di
4
bawah L1 pada orang dewasa dan L3 (di bawah penghentian conus medullaris) pada
anak membantu menghindari trauma langsung pada tulang belakang. Anestesi spinal
kadang disebut sebagai blok subarachnoid, dan itu karena dilakukan injeksi
intratekal.5
Jarum Spinal. Jarum spinal tersedia secara komersial dalam berbagai ukuran
panjang, dan desain bevel and tip (Gambar 5). Semua harus memiliki stylet
removable yang pas sehingga benar-benar menutupi lumen untuk menghindari
pelacakan sel epitel ke dalam ruang subarachnoid. Secara garis besar, mereka dapat
dibagi menjadi jarum tajam (cutting) -tipped or blunt-tip. Jarum Quincke adalah
jarum pemotong dengan suntikan akhir. Pengenalan ujung jarum tumpul (titik pensil)
telah secara nyata menurunkan kejadian sakit kepala tusukan postdural. Jarum
Whitacre dan jarum pensil lainnya memiliki titik bulat dan injeksi samping. Th e
Sprotte adalah jarum injeksi samping dengan bukaan panjang. Ini memiliki
keuntungan aliran CSF yang lebih kuat dibandingkan dengan jarum pengukur yang
serupa. Namun, hal ini dapat menyebabkan blok yang gagal jika bagian distal
pembukaan ubarachnoid (dengan arus bebas CSF), bagian proksimal tidak melewati
dura, dan dosis penuh obat tidak diberikan. Secara umum, semakin kecil jarum gauge,
semakin rendah timbulnya sakit kepala.5
5
Spinal Kateter. Kateter subarachnoid yang sangat kecil saat ini tidak lagi
disetujui oleh Food and Drug Administration AS. Penarikan kateter ini didorong oleh
hubungannya dengan sindrom cauda equina (CES). Kateter yang lebih besar yang
dirancang untuk penggunaan epidural dikaitkan dengan tingkat komplikasi yang
relatif tinggi saat ditempatkan subarachnoid; Namun, obat ini sering digunakan untuk
anestesi spinal kontinyu setelah tusukan dural tak disengaja selama kinerja anestesi
epidural.5
Teknik Spesifik untuk Anestesi Spinal. Pendekatan garis tengah atau
paramedis, dengan pasien yang diposisikan di posisi decubitus lateral, duduk, atau
rawan, dapat digunakan untuk anestesi spinal. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
jarum itu diteruskan dari kulit melalui struktur yang lebih dalam sampai dua "muncul"
dirasakan. Yang pertama adalah penetrasi ligamentum flavum, dan yang kedua adalah
penetrasi membran dura-arachnoid. Tusukan dural yang berhasil di konfirmasikan
dengan menarik stylet untuk memverifikasi aliran bebas CSF. Dengan jarum ukuran
kecil (<25 g), aspirasi mungkin diperlukan untuk mendeteksi CSF. Jika aliran bebas
terjadi pada awalnya, namun CSF tidak dapat disedot setelah memasang jarum suntik,
jarum kemungkinan akan bergerak. Parestesia atau nyeri yang persisten dengan
suntikan obat harus mengingatkan petugas medis untuk menarik dan mengalihkan
jarum suntik.5
6
Gambar 7: Anatomi tempat penyuntikan anestesi spinal6
7
masalah meski suntikan intravaskular terjadi. Dural puncture diperlukan untuk
anestesi spinal sehingga "sakit kepala spinal" selalu berisiko, terutama pada pasien
dewasa muda. Penggunaan jarum yang lebih kecil-bore dan memiliki ujung "pensil-
point" membantu mengurangi kejadian sakit kepala pasca-dural. Kontraindikasi
terhadap anestesi spinal tercantum pada Tabel 2.6
8
Mekanisme kerja. Mekanisme anestesi spinal dan epidural tetap spekulatif.
Lokasi utama aksi blokade neuraksial diyakini sebagai akar saraf. Anestesi lokal
disuntikkan ke dalam CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural dan
caudal) dan memandikan akar saraf di ruang subarachnoid atau ruang epidural. Injeksi
langsung anestesi lokal ke dalam CSF untuk anestesi spinal memungkinkan dosis dan
volume anestesi lokal yang relatif kecil untuk mencapai blokade sensoris dan motorik
yang padat. Sebaliknya, konsentrasi anestetik lokal yang sama dicapai di dalam akar
saraf hanya dengan volume dan jumlah molekul anestetik lokal yang jauh lebih besar
selama anestesi epidural dan kaudal. Selain itu, tempat suntikan (level) untuk anestesi
epidural umumnya harus mendekati akar saraf yang harus diberi anestesi. Blokade
transmisi saraf (konduksi) pada lapisan akar saraf posterior mengganggu sensasi
somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut saraf anterior mencegah motor keluar
dan arus keluar otonom. Anestesi lokal mungkin juga memiliki tindakan pada struktur
di dalam sumsum tulang belakang selama anestesi epidural dan spinal.5
Hal-hal yang mempengaruhi spinal blok. Table 3 menunjukkan hal-hal yang
mempengaruhi blokade spinal. Faktor yang paling mempengaruhi ialah konsentrasi
larutan anestesi, posisi pasien selama induksi dan sesaat setelahnya, dan dosis obat.
Secara umum, semakin besar dosis yang diberikan, atau semakin tinggi titik
injeksinya, semakin tinggi juga level anestesi yang diberikan. Lebih lanjut, migrasi
anestesi lokal dalam LCS bergantung pada densitasnya relatif terhadap LCS
(barisitas).5 Bupivacain 0,5% dalam dextrosa 8,25% merupakan agen spinal yang
paling hiperbarik.5 Dengan demikian, agen tersebut merupakan agen anestesi spinal
yang paling baik dibandingkan dengan agen lainnya. Bupivakain 0,5% hiperbarik
memberikan blok akurat pada oprasi selama 2-3 jam. Bupivakain 0,5% isobarik murni
3-4 cc juga sering dipakai namun kurang akurat pada T10. Lidokain 5% dalam
glukosa 8% kadang diindikasikan pada blokade durasi pendek; 2,5-3,0 cc selama 1
jam pada T10 dan hingga 2 jam pada spinal yang lebih ke bawah.5
9
Tabel 3: Faktor-faktor yang mempengaruhi spinal blok5
10
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identitas
Nama penderita : Ny MSI
Umur : 27 tahun
Alamat : Sentani
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)
Suku Bangsa : Ambon
Tgl MRS : 26 -02-2018
2.2. Anamnesis
2.2.1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh keluar air-air sejak ± 1 minggu SMRS.
11
2.2.5. Riwayat Obstetri
A. Riwayat Kehamilan (G4P3A0)
No Jenis Penolong BB JK Umur Hidup/Mati
Persalinan sekarang
1. Spontan Bidan 3.800 ♂ 10 tahun Hidup
gr
2. Spontan Bidan 2.500 ♀ 6 tahun Hidup
gr
3. Spontan Bidan 3.600 ♂ 4 tahun Hidup
gr
4. Hamil ini
12
Kepala
- Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pupil dbn
- Hidung : Sekret (-/-)
- Mulut : Dbn
- Telinga : Sekret (-/-)
- Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Thorax
- Jantung : Bunyi jantung I dan II regular
- Paru : SN Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),Wheezing (-/-)
- Abdomen : Tampak cembung, bising usus (+), hepar dan lien
tidak dilakukan evaluasi
- Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-), varises (-)
- Refleks : Refleks fisiologis normal, refleks patologis (-)
13
2.5. Diagnosis Kerja
G4P3A0 Gravida 39-40 minggu, inpartu kala I fase laten + Ketuban Pecah Dini,
Janin Presentasi Kepala Tunggal Hidup.
14
Problem
Actual
List
B1 Airway: Bebas
Breathing: spontan suara napas vesikuler +/+, rhonki -
/-, wheezing -/-
B4 Terpasang DC
15
2.10 LAPORAN ANESTESI
16
- Monitor TD dan Nadi:
- Asering 1500cc/24jam
- Observasi ttv/15 menit
- Jika mual: ondancetron
- Jika nyeri: ketorolac 3x1amp
17
BAB IV
PEMBAHASAN
PS ASA8
Pasien digolongkan dalam PS ASA 1, yaitu pasien sehat dengan Hb: 12,3
gr/dL, L:7.940/mm3, PLT:258.000/mm3, tanpa riwayat penyakit lainnya seperti
jantung, paru, DM, Hipertensi, tanpa obesitas, dan penyakit sistemik lainnya.
2.2 Apakah pilihan jenis anestesi pada pasien ini sudah tepat?
18
Menurut Tsai (2011), anestesi umum berhubungan dengan peningkatan risiko
infeksi peri-bedah setelah operasi caesar dibandingkan dengan anestesi
neuraxial.7 Studi dengan populasi besar di Britania Raya dan USA
menunjukkan bahwa anestesi regional memberikan hasil morbiditas dan
mortalitas yang lebih sedikit daripada anestesi umum. Hal ini mungkin
disebabkan karena berkurangnya kejadian aspirasi pulmoner dan kegagalan
intubasi jika menggunakan anestesi neuraxial.5 Pada pasien dipilih anestesi
spinal sub araknoid blok (SAB), jadi, pilihan anestesi pada pasien ini sudah
tepat.
19
Tabel 4: Densitas berbagai agen anestesi. LCS mempunyai gravitas: 1.003-1.0085
20
(+)
21
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko tinggi.
Kesalahan dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya
angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya. Kasus KPD yang
cukup bulan,sebaiknya menempuh cara-cara aktif.
Pasien masuk dalam kategori PS ASA 1 yaitu tanpa penyakit sistemik
lainnya. Pilihan anestesi SAB lebih dianjurkan daripada GA pada SC karena
berkurangnya kejadian aspirasi pulmoner dan kegagalan intubasi jika
menggunakan anestesi neuraxial. Jadi, pilihan anestesi pada pasien ini
sudah tepat.
Agen RA yang paling baik ialah yang paling hiperbarik, yaitu
Bupivacain 0,5% dalam dextrosa 8,25%. Hal lainnya yang mempengaruhi
efek obat RA ialah posisi pasien, dosis obat, dan tempat injeksi.
Pemilihan jenis anestesi pada pasien ini sudah tepat, yaitu RA-SAB
dibandingkan GA. Pemilihan obat anestesi juga tepat, yaitu dengan agen
yang paling hiperbarik. Yang harus diperhatikan selama perioperatif ialah
B1-B6. Perdarahan selama oprasi = 200cc. Maka derajat perdarahan 5,2%
(derajat ringan), maka terapi cairannya ialah 2-4xEBL=400-800cc. Pada
pasien diberikan RL 500cc selama oprasi. Maintenance cairan pada pasien
(BB=54kg) ialah: 2256cc/24j dan dari defisit selama puasa = 564cc. Pada
pasien diberikan asering 1500cc/24 jam.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL, et al.
William’s Obstetri. 24 th Edition. New York : McGraw-Hill. 2014.
2. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro G. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta:
Bina Pustaka. 2014.
3. Hanifa W, Abdul Bari S, Trijatmo R. Ilmu Bedah Kebidanan Sarwono
Prawiroharjo, Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 2010
4. Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL, et al.
William’s Obstetri. 22 th Edition. New York : McGraw-Hill. 2009.
5. Butterworth IV JF, et al. Morgan and Mikhail’s Anaesthesiology. 5th Edition. New
York : McGraw-Hill. 2013.
6. Raymer K, et al. Understanding Anaesthesia: A Learner’s Handbook. 1st Edition.
McMaster university. 2013.
7. Tsai PS, Hsu CS, Fan YC: General anaesthesia is associated with increased risk of
surgical site infection after cesarean delivery compared with neuraxial
anaesthesia: a population-based study. Br J Anaesth 107(5):757, 2011
8. Smith T, et al. Fundamentals of Anaesthesia. 3rd Edition. Cambridge: Cambridge
University Press. 2009.
9. Martaadisoebrata Djamhoer, et al, 2013. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan
Reproduksi Edisi 3 Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Tiaradita A, 2013, After care partus spontan patologis et causa ketuban pecah dini,
23