Anda di halaman 1dari 47

Tindakan Bedah dalam Bidang Obstetri dan Ginekologi

Armyn Oesman, Nugraha Pelupessy

Pendahuluan
Tujuan kelima dari program Millenium developments goals ( MDGs) adalah meningkatkan
kesehatan ibu dengan target berupa penurunan angka kematian ibu ( AKI ) sebesar tiga
perempatnya antara tahun 1990 dan 2015. Angka kematian ibu tahun 2007 di Indonesia adalah
sebesar 228 per 100 000 kelahiran hidup.
Diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan di Indonesia
setiap tahunnya. Penyebab kematian ibu tersering adalah perdarahan (30%), eklampsia (25%),
partus lama (5%), infeksi (12%) dan komplikasi aborsi (8%). Obstetri operatif sering merupakan
suatu tindakan yang segera harus dilakukan, dan seorang dokter kebidanan harus secara tajam
menentukan diagnosisnya dan segera memilih tindakan yang tepat dengan syarat-syarat yang ada
pada waktu itu. Selama persalinan berlangsung tugas seorang dokter terhadapa pasien adalah
memberikan pencegahan dan pengobatan.

Pada tahap awal selama persalinan berlangsung, dokter mengamati proses-proses alami dan
menentukan kapan, dimana dan bagaimana ia dapat membantu proses alami itu, dan tindakan
operatif ginekologi pun memiliki pesepsi yang hamper sama dengan obstetric dimana tindakan
yang diputuskan setelah diagnosis sangat penting dan saling berkaitan satu dengan yang lain yang
dimisalkan dengan kasus operatif miomektomi dalam kehamilan.
Selama decade terakhir ini, seiring dengan meningkatnya angka pelahiran Caesar, angka
pelahiran operatif pervaginam telah menurun. Pelahiran operatif pervaginam sebesar 9,8% pada
tahun 1994, dan turun menjadi 4,5% dari semua angka kelahiran di amerika serikat pada tahun
2006. Sedangkan di Indonesia Angka kejadian sectio caesarea di Indonesia menurut data survei
nasional pada tahun 2007 adalah 921.000 dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22.8% dari
seluruh persalinan. Alasan peningkatan angka kelahiran Caesar yang terus menerus ini tidak dapat
dipahami seutuhnya tetapi beberapa penjelasan seperti alat pemantauan janin elektronik sudah
banyak digunakan, teknik ini meyebabkan makin meningkatnya angka pelahiran Caesar
dibandingkan dengan auskultasi denyut jantung janin manual, inisiden pelahiran dengan forsep
dan vakum telah menurun. Dan diharapkan meningkatnya keterampilan dalam tindakan obstetri
dan ginekologi dapat mengurangi angka kematian Ibu di Indonesia.

A. INDUKSI PERSALINAN

Tujuan Instruksi Umum


 Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang induksi persalinan.
Tujuan Instruksi Khusus
 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari induksi persalinan
 Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi dari tindakan induksi persalinan
 Mahasiswa mampu menjelaskan kontraindikasi dari tindakan induksi persalinan
 Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan resiko dari induksi persalinan
 Mahasiswa mampu menjelaskan syarat-syarat dalam melakukan induksi persalinan
 Mahasiswa mampu menjelaskan metode-metode induksi persalinan

Definisi
Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya persalinan.
Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan adalah meningkatkan frekuensi, lama, dan
kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan.
Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi persalinan
spontan, dengan atau tanpa rupture membrane. Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap
kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan
janin.

Indikasi
Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau kesehatan
janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin diperlukan untuk
menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang potensial berbahaya pada kehamilan lanjut
untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu. Adapun indikasi
induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion,
korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan
pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical
abnormal arteri doppler.

Kontraindikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk menghindarkan
persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi sefalopelvik (CPD), plasenta
previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak,
gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif.
Komplikasi atau Risiko
Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun setelah bayi
lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri, hiperstimulasi, fetal distress,
prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio plasenta, hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra
uterin, perdarahan post partum, kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan
pelahiran caesar pada induksi elektif.

Persyaratan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi/persyaratan
sebagai berikut:

a) Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)


b) Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan menipis, hal ini
dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika kondisi tersebut belum terpenuhi maka
kita dapat melakukan pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis
atau dengan metode mekanis.
c) Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d) Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.

Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan mungkin tidak memberikan
hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor Bishop. berdasarkan
kriteria Bishop, yakni:
a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya berhasil diinduksi dengan
hanya menggunakan induksi.
b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih dahulu sebelum
melakukan induksi.
Pada kebanyakan kasus, teknik yang digunakan untuk meningkatkan favorability atau
kematangan serviks juga menstimulasi kontraksi. Jadi teknik tersebut dapat digunakan untuk
menginduksi persalinan. Metode yang digunakan untuk mematangkan serviks meliputi preparat
farmakologis dan berbagai bentuk distensi serviks mekanis. Metode farmakologis diantaranya yaitu
pemberian prostaglandin E2 (dinoprostone, cervidil, dan prepidil), prostaglandin E 1 (Misoprostol
atau cytotec), dan donor nitrit oksida. Sedangkan ynag termasuk kedalam metode mekanis yakni
kateter transservikal (kateter foley), ekstra amnionik salin infusion (EASI), dilator servikal
higroskopik, dan stripping membrane.

Metode / Cara
Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu kimia dan
mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk mengeluarkan zat prostaglandin
yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim berkontraksi.
a. Secara kimia atau medicinal/farmakologis
1. Prostaglandin E2 (PGE2)
PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan intravaginal
atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan secara lokal akan menyebabkan
pelonggaran kolagen serviks dan peningkatan kandungan air di dalam jaringan serviks.
PGE2 memperlunak jaringan ikat serviks dan merelaksasikan serabut otot serviks, sehingga
mematangkan serviks. PGE 2 ini pada umumnya digunakan untuk mematangkan serviks
pada wanita dengan nilai bishop <5 dan digunakan untuk induksi persalinan pada wanita
yang nilai bishopnya antara 5 - 7. Bentuk gelnya (prepidil) tersedia dalam suntikan 2,5 ml
untuk pemberian intraserviks berisi 0,5 mg dinoprostone. Ibu dalam posisi terlentang, ujung
suntikan yang belum diisi diletakkan di dalam serviks, dan gel dimasukkan tepat di bawah os
serviks interna. Setelah pemberian, ibu tetap berbaring selama setidaknya 30 menit. Dosis
dapat diulang setiap 6 jam, dengan maksimum tiga dosis yang direkomendasikan dalam 24
jam.
Cervidil (dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan serviks. Bentuknya yang
persegi panjang (berupa wafer polimerik) yang tipis dan datar, yang dibungkus dalam
kantung jala kecil berwarna putih yang terbuat dari polyester. Kantungnya memiliki ekor
panjang agar mudah untuk mengambilnya dari vagina.pemasukannya memungkinkan
dilepaskannya obat 0,3 mg/jam (lebih lambat dari pada bentuk gel). (Cunningham, 2013)
Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan melintang pada forniks posterior
vagina. Pelumas harus digunakan sedikit, atau tidak sama sekali, saat pemasukan. Pelumas
yang berlebihan dapat menutupi dan mencegah pelepasan dinoprostone. Setelah
pemasukan, ibu harus tetap berbaring setidaknya 2 jam. Obat ini kemudian dikeluarkan
setelah 12 jam atau ketika persalinan aktif mulai terjadi. Cervidil ini dapat dikeluarkan jika
terjadi hiperstimulasi. American College of Obstetricians and Gynecologists (1999)
merekomendasikan agar pemantauan janin secara elektronik digunakan selama cervidil
digunakan dan sekurang-kurangnya selama 15 menit setelah dikeluarkan.
Efek samping setelah pemberian prostaglandin E 2 pervaginam adalah peningkatan aktivitas
uterus, menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (1999)
mendeskripsikannya sebagai berikut:
 Takisistol uterus diartikan sebagai ≥6 kontraksi dalam periode 10 menit.
 Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang berlangsung lebih lama
dari 2 menit.

Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola denyut jantung janin
yang meresahkan. Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin bisa
berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya persalinan spontan, maka
penggunaannya tidak direkomendasikan. Kontra indikasi untuk agen prostaglandin secara
umum meliputi asma, glaucoma, peningkatan tekanan intra-okular.

2. Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE 1 sintetik, diakui sebagai tablet 100 atau 200 μg.
Obat ini telah digunakan secara off label (luas) untuk pematangan serviks prainduksi dan
dapat diberikan per oral atau per vagina. Tablet ini lebih murah daripada PGE 2 dan stabil
pada suhu ruangan. Sekarang ini, prostaglandin E 1 merupakan prostaglandin pilihan untuk
induksi persalinan atau aborsi pada Parkland Hospital dan Birmingham Hospital di University
of Alabama. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013) Misoprostol oral maupun vagina dapat
digunakan untuk pematangan serviks atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan 25 – 50
μg dan ditempatkan di dalam forniks posterior vagina. 100 μg misoprostol per oral atau 25 μg
misoprostol per vagina memiliki manfaat yang serupa dengan oksitosin intravena untuk
induksi persalinan pada perempuan saat atau mendekati cukup bulan, baik dengan rupture
membrane kurang bulan maupun serviks yang baik. Misoprostol dapat dikaitkan dengan
peningkatan angka hiperstimulasi, dan dihubungkan dengan rupture uterus pada wanita
yang memiliki riwayat menjalani seksio sesaria. Selain itu induksi dengan PGE 1, mungkin
terbukti tidak efektif dan memerlukan augmentasi lebih lanjut dengan oksitosin, dengan
catatan jangan berikan oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian misoprostol. Karena itu,
terdapat pertimbangan mengenai risiko, biaya, dan kemudahan pemberian kedua obat,
namun keduanya cocok untuk induksi persalinan. Pada augmentasi persalinan, hasil dari
penelitian awal menunjukkan bahwa misoprostol oral 75 μg yang diberikan dengan interval 4
jam untuk maksimum dua dosis, aman dan efektif.
3. Pemberian oksitosin intravena
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktifitas uterus yang cukup
untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Sejumlah regimen oksitosin
untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (1999a). Oksitosin diberikan dengan menggunakan protokol dosis rendah (1 –
4 mU/menit) atau dosis tinggi (6 – 40 mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis
rendah yang digunakan di Amerika Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan
membandingkan dosis tinggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk
induksi dan augmentasi persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi
yang lain untuk memperpendek waktu persalinan. (Cunningham, 2013) Oksitosin digunakan
secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari hiperstimulasi. Walaupun jarang,
rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada multipara. Untuk itu senantiasa lakukan
observasi yang ketat pada ibu yang mendapat oksitosin. Dublin (tahun 1984) menguraikan
protokol untuk penatalaksanaan aktif persalinan yang menggunakan oksitosin dosis awal
dan tambahan 6 mU/menit. Dan di Parkland Hospital, Satin, dkk (1992) mengevaluasi
regimen oksitosin dengan dosis tersebut, peningkatan dengan interval 20 menit jika
diperlukan, menghasilkan rata-rata waktu masuk ke persalinan yang lebih singkat, lebih
sedikit induksi yang gagal, dan tidak ada kasus sepsis neonatus. Dan dengan percobaan
pada sampel yang berbeda, mereka yang mendapat regimen 6 mU/menit memiliki durasi
waktu persalinan yang lebih singkat, persalinan forseps yang lebih sedikit, pelahiran Caesar
karena distosia yang lebih sedikit, dan menurunnya korioamnionitis intrapartum atau sepsis
neonatorum. Dengan demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan memberikan
regimen dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland hospital
penggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara rutin
telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University Alabama
memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan setiap 15
menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang pertama
tampaknya sangat berbeda, jika tidak ada aktifitas uterus, kedua regimen tersebut
mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam infuse. (Cunningham, 2013). Teknik
Induksi oksitosin adalah :

1. Dosis efektif oksitosin bervariasi. Infus oksitosin dalam dekstrose atau NaCl 0,9%,
dengan tetesan dinaikkan secara gradual sampai his adekuat.
2. Pantau denyut nadi, tekanan darah, kontraksi ibu hamil, dan DJJ. Kaji ulang indikasi.
3. Baringkan ibu dengan posisi miring ke kiri.
4. Catat semua pengamatan pada parograf setiap 30 menit
Kecepatan infus oksitosin, frekuensi dan lamanya kontraksi. Denyut jantung janin.
Apabila DJJ < 100 kali/menit, segera hentikan infus, dan tatalaksana gawat janin
5. Berikan 2,5 – 5 unit oksitosin dalam 500 ml cairan kristaloid, lalu mulai infus dengan 8
tetes/menit. Setiap 30 menit, tambahkan 4 tetes/ menit hingga dosis optimal untuk his
adekuat tercapai. Dosis maksimum oksitosin adalah 20 mU/menit.
6. Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi lebih dari 60 detik atau lebih dari 4 kali
kontraksi dalam 10 menit), hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan:Terbutalin
250 μg IV perlahan selama 5 menit, atau salbutamol 10 mg dalam 1 L cairan (NaCl
0,9% atau Ringer Laktat) 10 tetes/menit

b) Secara mekanis atau tindakan


1. Kateter Trans Servikal (Kateter Foley)
Kateter foley merupakan alternatif yang efektif disamping pemberian prostaglandin untuk
mematangkan serviks dan induksi persalinan. Akan tetapi tindakan ini tidak boleh digunakan
pada ibu yang mengalami servisitis, vaginitis, pecah ketuban, dan terdapat riwayat
perdarahan. Kateter foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis servikalis (os seviks
interna) di dalam segmen bawah uterus (dapat diisi sampai 100 ml). tekanan kearah bawah
yang diciptakan dengan menempelkan kateter pada paha dapat menyebabkan pematangan
serviks. Modifikasi cara ini, yang disebut dengan extra-amnionic saline infusion (EASI), cara
ini terdiri dari infuse salin kontinu melalui kateter ke dalam ruang antara os serviks interna
dan membran plasenta. Teknik ini telah dilaporkan memberikan perbaikan yang signifikan
pada skor bishop dan mengurangi waktu induksi ke persalinan. (Cunningham, 2013)
Penempatan kateter, dengan atau tanpa infuse salin yang kontinu, menghasilkan perbaikan
favorability serviks dan sering kali menstimulasi kontraksi. Sherman dkk. (1996), merangkum
hasil dari 13 percobaan dengan metode ini menghasilkan peningkatan yang cepat pada skor
bishop dan persalinan yang lebih singkat. Chung dkk. (2003) secara acak mengikutsertakan
135 wanita untuk menjalani teknik induksi persalinan dengan kateter foley ekstra amnion
dengan inflasi balon sampai 30 ml juga menghasilkan waktu rata-rata induksi ke pelahiran
memendek secara nyata. Dan Levy dkk. (2004) melaporkan bahwa penggunaan balon
kateter foley transservikal 80 ml lebih efektif untuk pematangan serviks dan induksi dari pada
yang 30 ml. (Cunningham, 2013) Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai
berikut:
 Pasang speculum pada vagina
 Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik dengan menggunakan cunam
tampon.
 Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum
 Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air
 Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina
 Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau maksimal 12 jam
 Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan kemudian lanjutkan dengan
infus oksitosin.

2. Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)


Dilatasi serviks dapat juga di timbulkan menggunakan dilator serviks osmotik
higroskopik. Teknik yang dilakukan yakni dengan batang laminaria dan pada keadaan
dimana serviks masih belum membuka. Dilator mekanik ini telah lama berhasil digunakan
jika dimasukkan sebelum terminasi kehamilan, tetapi kini alat ini juga digunakan untuk
pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Pemasangan laminaria dalam kanalis
servikalis dan dibiarkan selama 12-18 jam, kemudian jika perlu dilanjutkan dengan infus
oksitosin. (Cunningham, 2013).
3. Stripping membrane
Stripping membrane yaitu cara atau teknik melepaskan atau mamisahkan selaput
kantong ketuban dari segmen bawah uterus. Induksi persalinan dengan “ stripping”
membrane merupakan praktik yang umum dan aman serta mengurangi insiden kehamilan
lebih bulan. Stripping dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan jari tengah atau
telunjuk dimasukkan dalam kanalis servikalis.
4. Induksi Amniotomi
Ruptur membrane artifisial atau terkadang disebut dengan induksi pembedahan, teknik ini
dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Pemecahan ketuban buatan memicu
pelepasan prostaglandin. Amniotomi dapat dilakukan sejak awal sebagai tindakan induksi,
dengan atau tanpa oksitosin. Pada uji acak, Bacos dan Backstrom (1987) menemukan
bahwa amniotomi saja atau kombinasi dengan oksitosin lebih baik dari pada oksitosin saja.
Induksi persalinan secara bedah (amniotomi) lebih efektif jika keadaan serviks baik (skor
Bishop > 5). Amniotomi pada dilatasi serviks sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan
spontan selama 1 sampai 2 jam, bahkan Mercer dkk. (1995) dalam penelitian acak dari 209
perempuan yang menjalani induksi persalinan baik itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm
ataupun amniotomi lanjut pada dilatasi 5 cm didapatkan awitan persalinan yang lebih singkat
yakni 4 jam. (Cunningham, 2013; Sinclair, 2010) Namun ada komplikasi atau resiko yang
dapat timbul setelah dilakukan amniotomi yakni: sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali pusat,
infeksi (jika jangka waktu antara induksi-persalinan > 24 jam), perdarahan ringan,
perdarahan post partum (resiko relatif 2 kali dibandingkan dengan tanpa induksi persalinan),
hiperbilirubinemia neonatus (bilirubin > 250 μmol/l). (Llewellyn, 2002). Adapun prosedur
tindakan amniotomi yakni :

1. Periksa DJJ.
2. Lakukan pemeriksaan serviks dan catat konsistensi, posisi, penipisan,dan bukaan
serviks dengan menggunakan sarung tangan DTT.
3. Masukkan 1⁄2 kokher yang dipegang dengan tangan kiri dan dengan bimbingan telunjuk
dan jari tengah tangan kanan hingga menyentuh
4. selaput ketuban.Gerakkan kedua ujung jari tangan dalam untuk menorehkan gigi kokher
hingga merobek selaput ketuban.
5. Cairan ketuban akan mengalir perlahan. Catat warna, kejernihan, pewarnaan
mekonium, jumlahnya. Jika ada pewarnaan mekonium, pikirkan kemungkinan gawat
janin.
6. Setelah amniotomi, periksa DJJ pada saat kontraksi dan sesudah kontraksi uterus.
Apabila ada kelainan DJJ (kurang dari 100 atau lebih dari 180 kali/menit) curigai gawat
janin.
7. Jika proses persalinan yang baik tidak terjadi 1 jam setelah amniotomi, mulailah dengan
infus oksitosin.
8. Pada persalinan dengan masalah, misalnya sepsis atau eklampsia, infus oksitosin
dilakukan bersamaan dengan amniotomi.

B. EKSTRAKSI VAKUM
Tujuan Instruksi Umum
 Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang vakum ekstraksi.
Tujuan Instruksi Khusus
 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari vakum ekstraksi
 Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi dari tindakan vakum ekstraksi
 Mahasiswa mampu menjelaskan kontraindikasi dari tindakan vakum ekstraksi
 Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan resiko dari vakum ekstraksi
 Mahasiswa mampu menjelaskan komponen-komponen dari alat vakum ekstraksi
 Mahasiswa mampu menjelaskan syarat-syarat dalam melakukan vakum ekstraksi
 Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip tindakan vakum ekstraksi
 Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dari vakum ekstraksi
Defenisi
Ekstraksi Vakum adalah tindakan obstetrik operatif untuk melahirkan kepala janin dengan
menggunakan “mangkuk hampa udara” yang ditempelkan pada kulit kepala janin dari seorang
parturien yang masih memiliki tenaga meneran.

Indikasi
Indikasi Konvensional :
Mempersingkat kala II pada keadaan :
a) Ibu tidak boleh meneran terlalu lama pada kala II akibat kondisi obstetri tertentu (pre
eklampsia berat, anemia, diabetes mellitus, eklampsia)
b) Kondisi obstetri tertentu :
a. Riwayat SC
b. Kala II memanjang
c) Maternal distress pada kala II
d) Gawat janin pada kala II dengan syarat :
a. Perjalanan persalinan normal
b. Fasilitas sectio caesar sudah siap

Kontraindikasi
Kontraindikasi Absolute :
a) Disproporsi sepalo-pelvik .
b) Operator tidak dapat mengenali denominator dengan baik
c) Operator tidak kompeten untuk melakukan ekstraksi vakum.
d) Kelainan letak :
 Presentasi Muka
 Letak Dahi
 Presentasi Lintang
 “After coming head” pada presentasi sungsang

Kontraindikasi Relatif :

a) Pasca pengambilan sediaan darah dari kulit kepala janin.


b) Prematuritas
1. Kecuali pada persalinan gemelli anak ke II dimana persalinan hanya memerlukan
traksi ringan akibat sudah adanya dilatasi servix dan vagina.
2. Dikhawatirkan terjadi trauma intrakranial, perdarahan intrakranial , ikterus neonatorum
berat.
c) IUFD
1. Oleh karena : tidak dapat terbentuk kaput.
2. Pada janin maserasi, kranium sangat lunak sehingga pemasangan mangkuk menjadi
sulit.
d) Kelainan kongenital janin yang menyangkut kranium : anensephalus
Komponen alat vakum :

a) Cawan penghisap ( cup )


Terdiri dari 3 ukuran :
1. 50 mm
2. 60 mm
3. 70 mm
b) Botol penghisap
c) Pompa penghisap
d) Pemilihan ukuran cawan penghisap disesuaikan dengan dilatasi servik ; pada dilatasi
servik yang sudah lengkap biasanya dipasang ukuran yang terbesar (70 mm).
e) Pada sisi belakang cawan penghisap terdapat “ marker “ sebagai penuntun gerakan rotasi
dalam dan dipasang pada posisi jam 12.
f) Pada penampang melintang cawan penghisap terlihat adanya rantai yang merupakan alat
pengaman agar cawan tidak mudah terlepas dari “pegangan” saat melakukan traksi.

Diagram mangkuk penghisap

Cawan penghisap

Syarat
1. Janin diperkirakan dapat lahir pervaginam.
2. Pembukaan sekurang - kurangnya 7 cm ( idealnya adalah dilatasi lengka).
3. Penurunan kepala > station 0 ( idealnya adalah setinggi Hodge III + )
4. Selaput ketuban negatif.
5. Harus ada kekuatan meneran ibu dan kontraksi uterus (HIS )

Prinsip
Membuat suatu caput succadeneum artifisialis dengan cara memberikan tekanan negatif
pada kulit kepala janin melalui alat ekstraktor vakum.

Caput Succadeneum

Pemasangan cawan penghisap dalam keadaan miring


Pemasangan cawan penghisap
1. Setelah persiapan operator dan atau pasien selesai serta peralatan sudah dipersiapkan
dengan baik.
2. Labia dibuka dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri dari arah atas.
3. Cawan penghisap yang sudah dilumuri dengan jelly dimasukkan jalan lahir secara miring
dengan menghindari urethra dan klitoris.
4. Cawan penghisap diputar 900 dan ditempatkan tepat pada permukaan kulit kepala dengan
posisi menjauhi ubun-ubun besar.
5. Buat tekanan vakum dalam cawan penghisap dengan memompa sampai 0.2 kg/cm2
sebagai tekanan awal.
6. Pastikan bahwa cawan penghisap terpasang dengan baik dan tidak ada bagian jalan lahir
atau sisa selaput amnion yang ikut terjepit
7. Setelah 2 menit, naikkan tekanan negatif sampai 0.7 – 0.8 kg/cm2 dengan kecepatan 0.2
kg/cm2 setiap 2 menit.
8. Penilaian ulang untuk melihat adanya bagian jalan lahir yang terjepit.
9. Traksi percobaan untuk melihat apakah ekstraksi vakum sudah berfungsi dengan baik.
10. Traksi sesuai dengan derajat desensus sampai lahirnya kepala janin.
11. Cawan penghisap dilepas dan sisa tubuh anak dilahirkan dengan cara sebagaimana
lazimnya.

Ekstraksi Vakum Pada Posisi Occiput Anterior

Pemasangan cawan pada sutura sagitalis menjauhi ubun-ubun besar

Posisi awal, arah traksi horisontal sampai kepala nampak dibawah simfisis
Kriteria Kegagalan Ekstraksi Vakum:

1. Cawan penghisap terlepas lebih dari 3 kali saat melakukan traksi dan hal ini biasanya terjadi
oleh karena :
 Tenaga vakum terlampau rendah (seharusnya -0.8 kg/cm2) oleh karena kerusakan pada
alat atau pembentukan caput succedaneum yang terlampau cepat ( < 0.2 kg/cm2 per 2
menit)
 Terdapat selaput ketuban atau bagian jalan lahir yang terjepit diantara cawan penghisap
dengan kepala anak.
 Saat melakukan traksi : kedua tangan penolong tidak bekerja secara harmonis, traksi
dengan arah yang tidak tegak lurus dengan bidang cawan penghisap atau traksi dilakukan
dengan tenaga yang berlebihan.
 Terdapat gangguan pada imbang sepalopelvik (CPD)
2. Setelah dilakukan traksi selama 30 menit, janin belum dapat dilahirkan.

Komplikasi
Pada Ibu :
a) Perdarahan
b) Infeksi jalan lahir
c) Trauma jalan lahir
Pada anak :
a) Ekskoriasi dan nekrosis kulit kepala
b) Cephal hematoma
c) Subgaleal hematoma
d) Perdarahan intrakranial
e) Perdarahan subconjuntiva, perdarahan retina
f) Fraktura klavikula
g) Distosia bahu
h) Cedera pada syaraf cranial ke VI dan VII
i) Erb paralysa
j) Kematian janin

Keunggulan ekstraktor vakum dibandingkan ekstraksi cunam:


a) Tehnik pelaksanaan relatif lebih mudah
b) Tidak memerlukan anaesthesia general
c) Ukuran yang akan melewati jalan lahir tidak bertambah (cawan penghisap tidak
menambah ukuran besar bagian anak yang akan melwati jalan lahir)
d) Trauma pada kepala janin relatif rendah

Kerugian ekstraktor vakum dibandingkan ekstraksi cunam:


a) Proses persalinan membutuhkan waktu yang lebih lama.
b) Tenaga traksi pada ekstraktor vakum tidak sekuat ekstraksi cunam.
c) Pemeliharaan instrumen ekstraktor vakum lebih rumit.
d) Ekstraktor vakum lebih sering menyebabkan icterus neonatorum.

Berbagai rekomendasi berkaitan dengan tindakan ekstraksi vakum :


a) Klasifikasi persalinan dengan ekstraksi vakum hendaknya menggunakan klasifikasi yang
sama dengan ekstraksi cunam.
b) Indikasi dan kontraindikasi yang dipakai dalam ekstraksi cunam hendaknya juga
digunakan pada ekstraksi vakum.
c) Ekstraksi vakum tidak boleh dilakukan pada kepala yang masih belum engage atau diatas
station 0.
d) Operator hendaknya memiliki pengalaman yang cukup dalam menggunakan peralatan
ekstraksi vakum.
e) Operator harus segera menghentikan usaha persalinan pervaginam dengan ekstraksi
vakum bila cawan penghisap terlepas sampai 3 kali saat melakukan traksi.

C. EKSTRAKSI FORCEPS

Tujuan Instruksi Umum


 Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang ekstraksi forcep.
Tujuan Instruksi Khusus
 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari ekstraksi forcep
 Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi dari tindakan ekstraksi forcep
 Mahasiswa mampu menjelaskan kontraindikasi dari tindakan ekstraksi forcep
 Mahasiswa mampu menjelaskan syarat-syarat dalam melakukan ekstraksi forcep
 Mahasiswa mampu menjelaskan komponen-komponen pada alat forcep
 Mahasiswa mampu menjelaskan prosedur tindakan ekstraksi forsep
 Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dari ekstraksi forsep

Defenisi
Ekstraksi forceps atau ekstraksi cunam adalah suatu persalinan buatan dimana janin
dilahirkan dengan tarikan cunam yang dipasang di kepala janin.

Indikasi
Indikasi Dalam Melakukan Ekstraksi Forceps:

1. Indikasi Relatif
Pada indikasi relative, forceps dilakukan secara elektif (direncanakan), ada dua:
a. Indikasi menurut De Lee
Forceps dilakukan secara elektif, asal syarat untuk melakukan ekstraksi terpenuhi
b. Indikasi menurut Pinard
Indikasi menurut Pinard hampir sama dengan menurut De Lee, namun ibu harus
dipimpin dulu mengejan selama 2 jam.
2. Indikasi Absolut
a) Indikasi Ibu : Ekstraksi forceps dilakukan pada ibu-ibu dengan keadaan pre-eklampsi,
eklampsi, atau ibu-ibu dengan penyakit jantung, paru, partus kasep
b) Indikasi Janin: pada keadaan gawat janin
c) Indikasi waktu: pada kala dua lama

Kontraindikasi
1. Terdapat kontra-indikasi berlangsungnya persalinan pervaginam.
2. Pasien menolak tindakan ekstraksi cunam obstetrik.
3. Dilatasi servik belum lengkap.
4. Presentasi dan posisi kepala janin tidak dapat ditentukan dengan
jelas.
5. Kegagalan ekstraksi vakum.
6. Fasilitas pemberian analgesia yang memadai tidak ada.
7. Fasilitas peralatan dan tenaga pendukung yang tidak memadai.
8. Operator tidak kompeten.

Syarat
Syarat dalam melakukan ekstraksi forceps :
a. Pembukaan lengkap
b. Presentasi belakang kepala
c. Panggul luas / tidak ada CPD
d. Ketuban sudah pecah
e. Kepala sudah engaged, sudah berada di dasar panggul
f. Janin tunggal hidup

Komponen alat forcep

Pemasangan cunam sendok kiri dan kanan harus dikerjakan secara terpisah.

- Daun cunam: bagian yang dipasang di kepala janin saat melakukan ekstraksi forceps. Terdiri dari dua
lengkungan (curve) , yaitu lengkung kepala janin (cephalic curve) dan lengkung panggul (cervical
curve).
Daun cunam :
 Fenestrated ( berlubang)
 Solid ( tidak berlubang)

- Tangkai Cunam: adalah bagian yang terletak antara daun cunam dan kunci cunam
Tangkai (leher ) cunam:
 Terbuka (cunam Simpson)
 Tertutup (cunam Kielland)
- Kunci cunam: kunci cunam ada beberapa macam, ada yang interlocking, system sekrup, dan system
sliding.
- Pemegang cunam, bagian yang dipegang penolong saat melakukan ekstraksi.
Cunam Kielland dengan ciri-ciri tertentu : Kunci geser, lengkungan pelvik minimal dan ringan

Pemasangan forceps yang sempurna , jika memenuhi kriteria berikut:


a. Forceps terpasang biparietal kepala , atau sumbu panjang forceps sejajar dengan
sumbu diameter mento-oksiput kepala janin, melintang terhadap panggul
b. Sutura sagitalis berada di tengah kedua daun forceps yang terpasang, dan tegak lurus
dengan cunam
c. Ubun ubun kecil berada kira-kira 1 cm di atas bidang tersebut

Prosedur/ Langkah Dalam Melakukan Forceps:


1. Membayangkan
Setelah persiapan selesai, penolong berdiri di depan vulva , memegang kedua cunam dalam
keadaan tertutup dan membayangkan bagaimana cunam terpasang pada kepala

2. Memasang forceps
Pada pasien ini UUK janin adalah UUK kanan depan, jadi forceps yang dipasang adalah forceps
kiri terlebih dahulu, yaitu forceps yang dipegang tangan kiri penolong dan dipasang di sisi kiri ibu.
Forceps kiri dipegang dengan cara seperti memegang pensil , dengan tangkai forceps sejajar
dengan paha kanan ibu, sambil empat jari tangan kanan penolong masuk ke dalam vagina.
Forceps secara perlahan dipasang dengan bantuan ibu jari tangan kanan. Jadi bukan tangan kiri
yang mendorong forceps masuk ke dalam vagina.
Setelah forceps kiri terpasang, asisten membantu memegang forceps kiri tersebut agar tidak
berubah posisi. Dan penolong segera memasang forceps kanan, yaitu forceps yang dipegang oleh
tangan kanan penolong, dan dipasang di sisi kanan ibu. Forceps kanan dipegang seperti
memegang pensil, dengan tangkai forceps sejajar dengan paha kiri ibu, sambil empat jari tangan
kiri penolong masuk ke dalam vagina. Forceps dipasang dengan tuntunan ibu jari tangan kiri
penolong. Setelah forceps terpasang , dilakukan penguncian

3. Penguncian Forceps
Penguncian dilakukan setelah forceps terpasang. Bila penguncian sulit dilakukan, jangan dipaksa,
tapi periksa kembali apakah pemasangan telah benar, dan dicoba pemasangan ulang. Apabila
forceps kir yang dipasang duluan, maka penguncian dilakukan secara langsung, dan bila forceps
kanan yang dipasang duluan , maka forceps dikunci secara tidak langsung.

4. Pemeriksaan Ulang
Setelah forceps terpasang dan terkunci, dilakukan pemeriksaan ulang, apakah forceps telah
terpasang dengan benar, dan tidak ada jalan lahir / jaringan yang terjepit

5. Traksi Percobaan
Setelah yakin tidak ada jaringan yang terjepit, maka dilakukan traksi percobaan. Penolong
memegang pemegang forceps dengan kedua tangan , sambil jari telunjuk dan tengah tangan kiri
menyentuh kepala janin, lalu dilakukan tarikan. Apabila jari telunjuk dan tengan tangan kiri tidak
menjauh dari kepala janin, berarti forceps terpasang dengan baik, dan dapat segera dilakukan
traksi definitive. Apabila jari telunjuk dan tengah tangan kiri menjauh dari kepala janin, berarti
forceps tidak terpasang dengan baik, dan harus dilakukan pemasangan ulang.

6. Traksi defrinitif
Traksi definitive dilakukan dengan cara memegang kedua pemegang forceps dan penolong
melakukan traksi. Traksi dilakukan hanya menggunakan otot lengan. Arah tarikan dilakukan sesuai
dengan bentuk panggul. Pertama dilakukan tarikan cunam ke bawah, sampai terlihat occiput
sebagai hipomoklion, lalu tangan kiri segera menahan perineum saat kepala meregang perineum.
Kemudian dilakukan traksi ke atas hanya dengan menggunakan tangan kanan sambil tangan kiri
menahan perineum. Kemudian lahirlah dahir, mata, hidung, mulut bayi.

7. Melepaskan cunam
Setelah kepala bayi lahir, maka cunam dilepaskan dan janin dilahirkan seperti persalinan biasa.
Pemasangan Forceps dikatakan gagal apabila:
a. Forceps tidak dapat dipasang
b. Forceps tidak dapat dikunci
c. Tiga kali traksi janin tidak lahir

Komplikasi
Morbiditas Maternal

Angka kejadian morbiditas persalinan dengan ekstraksi cunam harus dibandingkan dengan
persalinan dengan setio caesar atau persalinan operatif pervaginam lain dan tidak dengan
persalinan spontan pervaginam.

Carmon dkk (1995) : persalinan dengan cunam out-let elektif dengan rotasi tidak lebih dari
450 tidak menyebabkan peningkatan angka kejadian morbiditas maternal yang bermakna.
Hankins dan Rowe (1996) : cedera maternal meningkat bila rotasi lebih dari 45 0 dan pada station
kepala yang tinggi.
Sherman dkk ( 1993) : kebutuhan tranfusi darah pada ekstraksi cunam 4.2%, pada ekstraksi
vakum 6.1% dan sectio caesar 1.4% .
1. Laserasi jalan lahir:

 Robekan serrvik dapat terjadi bila dilatasi belum lengkap atau terjepit diantar daun
cunam dengan kepala janin.
 Robekan vagina yang dapat mengenai vesica urinaria atau robekan vagina yang
meluas kearah vertikal.
2. Simfisiolisis.
3. Perdarahan.
4. Infeksi.
5. Inkontinensia urinae dan inkontinensia alvi.
Morbiditas Anak

Persalinan operatif pervaginam khususnya yang dikerjakan pada panggul tengah cenderung
meningkatkan kenaikan morbiditas neonatal:

1. Nilai Apgar rendah.


2. Cephal hematoma.
3. Cedera pada daerah wajah .
4. Erb paralysa.
5. Fraktura klavikula.
6. Kenaikan kadar bilirubin.
7. Perdarahan retina.
8. Morbiditas jangka panjang

D. SEKSIO SESAREA
Tujuan Instruksi Umum
 Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang Seksio sesarea.
Tujuan Instruksi Khusus
 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari Seksio sesarea.
 Mahasiswa mampu menjelaskan jenis-jenis seksio sesarea.
 Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi dari tindakan seksio sesarea.
 Mahasiswa mampu menjelaskan kontraindikasi dari tindakan seksio sesarea.
 Mahasiswa mampu menjelaskan teknik operasi seksio sesarea.

Defenisi
Seksio Sesaria ( sectio caesarea ) adalah suatu pembedahan guna melahirkan janin
( persalinan buatan ), melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus bagian depan sehingga
janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut dan dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan
utuh dan sehat.
Jenis Sectio Caesarea
1. Insisi Abdominal
Pada dasarnya insisi ini adalah insisi garis tengah subumbilikal dan insisi abdominal bawah
transversa.
a. Insisi garis tengah subumbilikal
Insisi ini mudah dan cepat. Akses mudah dengan perdarahan minimal. Berguna jika akses ke
segmen bawah sulit, contohnya jika ada kifosklerosis berat atau fibroid segmen bawah
anterior. Walaupun, bekas luka tidak terlihat, terdapat banyak ketidaknyamanan pascaoperasi
dan luka jahitan lebih cenderung muncul dibandingkan dengan insisi transversa.
Jika perluasan ke atas menuju abdomen memungkinkan, insisi pramedian kanan dapat
dilakukan.
b. Insisi transversa
Insisi transversa merupakan insisi pilihan saat ini. Secara kosmetik memuaskan, lebih sedikit
menimbulkan luka jahitan dan lebih sedkit ketidaknyamanan, memungkinkan mobilitas
pascaoperasi yang lebih baik. Insisi secara teknis lebih sulit khususnya pada operasi berulang.
Insisi ini lebih vaskular dan memberikan akses yang lebih sedikit.
Variasinya meliputi insisi Joel Choen (tempat abdomen paling atas) dan Misvag Ladach
(menekankan pada perjuangan struktur anatomis).

2. Insisi uterus
Jalan masuk ke dalam uterus dapat melalui insisi garis tengah atau insisi segmen transversa.
a. Seksio Sesaria segmen bawah
Ini adalah pendekatan yang lazim digunakan. Insisi transversa ditempatkan di segmen
bawah uterus gravid di belakang peritoneum utero-vesikel.
Keuntungannya meliputi :
 Lokasi tersebut memiliki lebih sedikit pembuluh darah sehingga kehilangan darah
yang ditimbulkan hanya sedikit.
 Mencegah penyebaran infeksi ke rongga abdomen
 Merupakan bagian uterus yang sedikit berkontraksi sehingga hanya sedikit
kemungkinan terjadinya ruptur pada bekas luka di kehamilan berikutnya.
 Penyembuhan lebih baik dengan komplikasi pascaoperasi yang lebih sedikit seperti
pelekatan.
 Implantasi plasenta di atas bekas luka uterus kurang cenderung terjadi pada
kehamilan berikutnya.

Kerugiannya meliputi :
 Akses mungkin terbatas
 Lokasi uterus yang berdekatan dengan kandung kemih meningkatkan risiko
kerusakan khususnya padap prosedur pengulangan.
 Perluasan ke sudut lateral atau dibelakang kandung kemih dapat meningkatkan
kehilangan darah.
b. Seksio sesaria klasik
Insisi ini ditempatkan secara vertikal di garis tengah uterus. Indikasi penggunaanya meliputi :
 Gestasi dini dengan perkembangan buruk pada segmen bawah
 Jika akses ke segmen bawah terlarang oleh pelekatan fibroid uterus.
 Jika janin terimpaksi pada posisi transversa.
 Pada keadaan segmen bawah vaskular karena plasenta previa anterior.
 Jika ada karsinoma serviks
 Jika kecepatan sangat penting, contohnya setelah kematian ibu.

Kerugiannya meliputi :
 Homestatis lebih sulit dengan insisi vaskular yang tebal
 Pelekatan ke organ sekitarnya lebih mungkin
 Plasenta anterior dapat ditemukan selama pemasukan
 Penyembhan terhambat karena involusi miomtreial
 Terdapat lebih besar risiko ruptur uterus pada kehamilan berikutnya

3. Insisi Kroning-Gellhom-Beck
Insisi ini adalah garis tengah pada segemen bawah, yang digunakan pada pelahiran prematur
apabila segmen bawah terbentuk dengan buruk atau dalam keadaan terdapatnya perluasan ke
segmen uterus bagian atas yang dilakukan untuk memberi lebih banyak akses. Insisi ini
menyebabkan lebih sedikit komplikasi seksio sesaria klasik. Insisi ini tidak menutup
kemungkianan pelahiran pervginam.

Indikasi
1. Sectio Caesarea Efektif (direncanakan )
Adanya pengalaman kegagalan melahirkan secara tradisional yaitu sppontan pervaginam
memiliki dampak negatif ada konsep diri wanita sehingga wanita memutuskan untuk
melahirkan melalui sectio caesarea, selain itu jenis ini juga digunakan sebagai unsur estetika
bagi wanita untuk menjaga keutuhan jalan lahir. (Bobak, Jensen 2005)
Dalam Farrer 2001, Sectio Caesarea efektif dapat juga dilakukan kalau sebelumnya sudah
diperkirakan bahwa kelahiran pervaginam yang normal tidak cocok atau tifdak aman yang
dapat disebabkan karena :
a. Plasenta previa
b. Letak janin yang stabil dan tidak bisa dikoreksi
c. Riwayat obstetrik yang jelek
d. Disproporsi sevalopelvik (CPD)
e. Infeksi herpes virus type II (Genital)
f. Riwayat Sectio Caesarea klasik
g. Diabetes (kadang- kadang)
h. Presentasi bokong (kadang- kadang)
i. Penyakit atau kelainan yang berat pada janin, seperti eritroblastosis atau retardasi
pertumbuhan yang nyata

2. Sectio caesarea emergency. Sectio caesarea emergency biasanya dilakukan dengan indikasi :
a. Induksi persalinan yang gagal
b. Kegagalan dalam kemajuan persalinan
c. Penyakit fetal atau maternal
d. Diabetes atau pre eklampsia yang berat
e. Persalinan yang macet
f. Prolapsus funukuli
g. Perdarahan hebat dalam persalinan
h. Tipe tertentu malpresentasi janin dalam persalinan

Kontra indikasi
Mengenai kontra indikasi, perlu diingat bahwa seksio sesarea dilakukan baik untuk
kepentingan ibu maupun untuk kepentingan bayi, oleh sebab itu seksio sesarea tidak dilakukan
kecuali dalam keadaaan terpaksa.
1. Janin mati atau berada dalam keadaan kritis, kemungkinan janin hidup kecil. Dalam hal ini
tidak ada alasan untuk melakukan operasi.
2. Janin lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk seksio sesaria ekstra peritoneal
tidak ada.
3. Kurangnya pengalaman dokter bedah dan tenaga medis yang kurang memadai

Keuntungan dan kelebihan section sesarea


Berdasarkan teknik pembedahannya, operasi sectio caesarea mempunyai kelebihan dan
kekurangan sebagai berikut :
1. Pada sectio caesarea korporal atau klasik, dilakukan dengan membuat sayatan memanjang
pada korpus uteri.
Kelebihannya :
a. Mengeluarkan janin lebih cepat
b. Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
c. Sayatan bisa perpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
a. Infeksi mudah menyebar
b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptur uteri spontan
c. Sectio caesarea ismika (propunda ) dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf
pada segmen bawah rahim
2. Melintang konkaf pada segmen bawah rahim
Kelebihannya :
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan baik
c. Perdarahan kurang
d. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil
Kekurangannya:
a. Luka dapat melebar ke kiri, kanan dan ke bawah sehingga dapat menyebabkan arteri
uterina putus yang dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.
b. Keluhan pada kandung kemih post operasi lebih tinggi
Teknik operasi Seksio sesarea :
a. Kaji ulang indikasi.
b. Melakukan konseling risiko dan keuntungan seksio sesarea dibandingkan persalinan
pervaginam. Catat indikasi dan hasil konseling.
c. Seksio sesarea elektif dilakukan pada usia kehamilan di atas 38 minggu.
d. Informed consent kepada ibu dan satu orang perwakilan keluarganya dan melengkapi surat
persetujuan tindak medis.
e. Tanyakan dan catat riwayat medis dan pembedahan, riwayat alergi obat dan makanan, dan
riwayat pembiusan pada operasi sebelumnya.
f. Periksa ulang denyut jantung janin dan presentasi janin.
g. Lakukan tindakan pencegahan infeksi.Berikan antibiotika profilaksis sebelum operasi (ampisilin
2 g IV atau sefazolin 1 g IV atau antibiotika setara sesuai panduan setempat). Dapat
digunakan anestesia lokal, ketamin, anestesia spinal, atau anestesia umum. Anestesi spinal
merupakan pilihan utama. Pada anestesia spinal,
h. Berikan 500 – 1000 ml cairan infus (Ringer Laktat atau NaCl) 30 menit sebelum anestesia
untuk melakukan pre-load dan mencegah hipotensi. Pasang kateter urin.
i. Pasang infus.

Membuka Perut

a. Sayatan perut dapat secara Pfannenstiel atau mediana, dari kulit sampai fasia.Setelah fasia
disayat 2-3 cm, insisi fasia diperluas dengan gunting.
b. Pisahkan muskulus rektus abdominis dengan jari atau gunting.
c. Buka peritoneum dekat umbilikus dengan jari.
d. Retraktor dipasang di atas tulang pubis.
e. Pakailah pinset untuk memegang plika vesiko uterina dan buatlah insisi dengan gunting ke
lateral.
f. Pisahkan vesika urinaria dan dorong ke bawah secara tumpul dengan jari-jari.
g. Selain teknik di atas, saat ini ada beberapa teknik insisi lain, misalnya teknik Joel-Cohen yang
berdasarkan penelitian terkini, memiliki kelebihan dibanding teknik Pfannenstiel atau vertikal
(klasik). Teknik Joel-Cohen adalah insisi kulit lurus transversal, 3 cm di atas simfisis pubis lalu
lapisan jaringan di bawahnya dibuka secara tumpul dan, jika diperlukan, diperluas dengan
gunting (bukan pisau).

Membuka uterus

a. Segmen bawah uterus disayat melintang kurang lebih 1 cm di bawah plika vesiko uterina
dengan skalpel ± 3 cm.
b. Insisi diperlebar ke lateral secara tumpul dengan jari tangan atau secara tajam dengan
menggunakan gunting.

PROSEDUR-PROSEDUR OBSTETRI

c. Melebarkan insisi uterus secara tumpul Melebarkan insisi uterus secara tajam dengan gunting

Melahirkan Bayi dan Plasenta


a. Selaput ketuban dipecahkan.
b. Untuk melahirkan bayi, masukkan 1 tangan ke dalam kavum uteri antara
c. uterus dan kepala bayi.
d. Kemudian kepala bayi diluksir ke luar secara hati-hati agar uterus tidak robek.
e. Dengan tangan yang lain, sekaligus menekan hati-hati abdomen ibu di atas uterus untuk
membantu kelahiran kepala.
f. Jika kepala bayi telah masuk panggul, mintalah seorang asisten untuk mendorongnya ke atas
secara hati-hati.
g. Lakukan penghisapan pada mulut dan hidung bayi, kemudian lahirkan badan dan seluruh
tubuh.
h. Inisiasi Menyusui Dini pada bayi dapat dilakukan bila tidak terdapat kontraindikasi.
i. Berikan oksitosin 10 unit dalam 500 mlcairan IV (NaCl atau Ringer Laktat) 60 tetes/ menit
selama 1-2 jam.
j. Plasenta dan selaput dilahirkan dengan tarikan hati-hati pada tali pusat. Eksplorasi ke dalam
kavum uteri untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang tertinggal.

Menutup insisi uterus


a. Jepit tepi luka insisi pada segmen bawah uterus dengan klem Fenster, terutama pada kedua
ujung luka. Perhatikan adanya robekan atau cedera pada vesika urinaria.
b. Dilakukan jahitan hemostasis secara jelujur dengan catgut kromik no. 0 atau poliglikolik.
c. Jika masih ada perdarahan dari tempat insisi, lakukan jahitan simpul 8.

Menutup Perut
a. Yakinkan tidak ada perdarahan lagi dari insisi uterus dan kontraksi uterus baik.
b. Fasia abdominalis dijahit jelujur dengan catgut kromik no. 0 atau poliglikolik.
c. Apabila tidak ada tanda-tanda infeksi, kulit dijahit dengan nilon atau catgut kromik secara
subkutikuler.

Masalah yang dapat dialami sewaktu pembedahan ( Perdarahan terus Berlanjut )


a. Lakukan masase uterus.
b. Jika terdapat atonia uteri, lanjutkan infus oksitosin, beri ergometrin 0,2 mg IV.
c. Transfusi darah jika perlu.
d. Jika perdarahan tidak dapat diatasi, lakukan ligasi arteri uterina dan arteri utero-ovarika, atau
histerektomi jika perdarahan tetap berlanjut.
e. Bayi sungsang
f. Jika bayi presentasi bokong, lakukan ekstraksi kaki melalui luka insisi, selanjutnya lahirkan
bahu seperti persalinan sungsang.
g. Kepala dilahirkan secara Mauriceau Smellie Veit.

E. KURETASE

Tujuan Instruksional Umum


 Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang kuretase.
Tujuan Instruksional Khusus
 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari Seksio sesarea.
 Mahasiswa mampu menjelaskan tujuan dan insikasi kuretase.
 Mahasiswa mampu menjelaskan komponen-komponen kuretase.
 Mahasiswa mampu menjelaskan prosedur kuretase pada abortus inkomplit.
 Mahasiswa mampu menjelaskan prosedur kuretase pada pasca persalinan

Definisi

Kuretase adalah cara membersihkan hasil konsepsi memakai alat kuretase (sendok
kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong harus melakukan pemeriksaan dalam untuk
menentukan letak uterus, keadaan serviks dan besarnya uterus. Gunanya untuk mencegah
terjadinya bahaya kecelakaan misalnya perforasi.

Tujuan dan indikasi Kuretase

a. Sebagai terapi pada kasus-kasus abortus misalnya abortus inkomplit, septic, isa
plasenta yang tidak berhasil dengan digitalis manual dll.
b. Penegakan diagnosis.

Instrument-instrumen
a. cunam tampon: 1
b. cunam peluru atau tenakulum: 1
c. klem ovum (foersier/ fenstrar dampt) lurus dan lengkung: 2
d. sendok kuret: 1 set
e. penala kavum uteri (uterine sound/ sondage): 1
f. spikulum sim’s atau L dan kateter karet: 2 dan 1
g. tabung 5 ml dan jarum suntik
h. lampu sorot : 1
i. mangkok logam: 2
j. penampung darah dan jaringan: 1

Prosedur Kuretase pada Abortus Inkomplit

LANGKAH/KEGIATAN
1. Pegang speculum sims L dengan tangan kanan, masukkan bilahnya secara vertical
kedalam vagina, setelah itu putar kebawah sehingga posisi bilah menjadi transversal
2. Minta asisten untuk menahan speculum bawah pada posisinya.
3. Dengan sedikit menarik speculum bawah (hingga lumen vagina tampak jelas) masukkan
bilah speculum atas secara vertical kemudian putar dan tarik ke atas hingga jelas terlihat
servik
4. Minta asisten untuk memegang speculum atas pada posisinya
5. epit kapas (yang telah dibasahi dengan larutan antiseptic) dengan cunam tampon,
bersihkan jaringan dan darah dalam vagina tentukan bagian servik yang akan di
jepit( posisi jam 11 dan 13)
6. Dengan tangan kanan, jepit servik dengan tenakulum, setelah terjepit dengan baik,
pegang gagang tenakulum dengan tangan kiri
7. Lakukan pemeriksaaan dalam dan lengkung uterus dengan penala (sondase)
8. Sementara tangan kiri menahan servik masukkan klem ovum yang sesuai dengan
bukaan kanalis servik hingga menyentuh fundus uteri (keluarkan dulu jaringan yang
tetahan pada kanalis
9. Lakukan pengambilan jaringan dengan jalan membuka dan menutup klem (dorong klem
dalam keadaan terbuka hingga menyentuh fundus kemudian tutup dan tarik) pilih klem
ovum yang mempunyai permukaan bulatan, halus dan rata, agar tidak melukai dinding
dalan uterus
10. Keluarkan klem ovum jika dirasakan sudah tidak ada lagi jarinagn yang terjepit/keluar
11. Pegang gagang sendok kuret dengan ibu jari dan telunjuk , masukkan ujung sendok
kuret ( sesuai lengkung uterus) melalui kanalis servik kedalam uterus hingga menyentuh
fundus
12. Lakukan kerokan dinding uterus secara sistematis dan searah jarum jam hingga bersih
13. Untuk diding kavum uteri yang berlawanan dengan lengkung kavum uteri, masukkan
sendok kuret sesuai denagn lengkung uteri setelah mencapai fundus, putar gagang
sendok 180 derajat baru dilakukan pengerokan
14. Keluarkan semua jaringan dan bersihkan darah yang menggenangi lumen vagina bagian
belakang
15. Lepaskan tenakulum
16. Lepaskan speculum atas dan bawah

Prosedur Kuretase Pasca Persalinan


LANGKAH/KEGIATAN
1. Pegang speculum sims L dengan tangan kanan, masukkan bilahnya secara vertical
kedalam vagina, setelah itu putar kebawah sehingga posisi bilah menjadi transversal.
2. Pasang speculum sims L berikutnya dengan jalan memasukkan billahnya secara vertical
kemudian putar dan tarik ke atas sehingga porsio tampak dengan jelas
3. Minta asisten untuk menahan speculum atas dan bawah dan pertahankan posisinya
4. Dengan cunam tampon, ambil kapas yang telah dibasahi dengan larutan antiseptic,
kemudian bersihkan lumen vagina dan porsio. Buang kapas, kembalikan cunam ke
tempat semula
5. Ambil klem ovum yang lurus, jepit bagian atas porsio (perbatasan antara kuadran atas kiri
dan kanan atau pada jam 12)
6. Setelah porsio terpegang dengan baik, lepaskan speculum atas
7. Pegang gagang cunam dengan tangan kiri, ambil sendok kuret pascapersalinan dengan
tangan kanan, pegangn di antara ibu jari dan telunjuk (gagang sendok berada pada
telapak tangan) kemudian masukkan hingga menyentuh fundus
8. Minta asisten untuk memegang gagang klem ovum, letakkan telapak tangan pada bagian
atas fundus uteri (sehingga penolong dapat merasakan tersentuhnya fundus oleh ujung
sendok kuret)
 Memasukkan lengkung sendok kuret sesuai dengna lengkung kavum uteri kemudian
lakukan pengerokan dinding uterus bagian depan searah jarum jam, secara
sistematis. Keluarkan jaringan plasenta (dengan kuret) dari kavum uteri
 Masukkan ujung sendok sesuai dengan lengkung kavum uteri, setelah sampai
fundus, kemudian putar 180 derajat, lalu bersihkan dinding belakang uterus.
Keluarkan jaringan yang ada.
9. Kembalikan sendok kuret ke tempat semula, gagang klem ovum dipegang kembali oleh
operator.
10. Ambil kapas (dibasahi larutan antiseptic) dengan cunam tampon, bersihkan darah dan
jaringa pada lumen vagina
11. Lepaskan jepitan klem ovum pada porsio
12. Lepaskan speculum bawah

F. Miomektomi

Tujuan Instruksi Umum


 Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang miomektomi.
Tujuan Instruksi Khusus
 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari miomektomi
 Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi miomektomi
 Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip dan alat-alat yang dibutuhkan ketika miomektomi.
 Mahasiswa mampu menjelaskan teknik operasi miomektomi.

Defenisi
Neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya.
Menurut letaknya, mioma uteri dapat diklasifikasikan sebagai :
a) Mioma submukosum: berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus.
b) Mioma intramural: mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium.
c) Mioma subserosum: apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus, diliputi oleh serosa.

Indikasi
Mioma uteri yang disertai keluhan akibat mioma tersebut pada pasien yang masih
menginginkan fungsi reproduksinya.

Prinsip Kerja dan Alat yang dibutuhkan :


Ukuran dan letak tumor sangat menentukan pendekatan yang dipakai pada saat
melakukan miomektomi. Untuk itu seringkali uterus harus dikeluarkan dari kavum abdomen
sehingga evaluasi lebih mudah dilakukan. Peralatan yang dibutuhkan adalah set ginekologi mayor,
dilengkapi dengan mioma screw, klem miomektomi dari Bonney.
Persiapan tindakan
1. Pemeriksaan USG untuk memastikan diagnosis mioma
2. Intra vena pielografi untuk melihat adanya bendungan ureter atau pergesaeran letak ureter
akibat desakan mioma
3. Persiapan crossmatch darah bila terjadi komplikasi perdarahan yang memerlukan transfusi

Teknik operasi miomektomi :


1. Ibu telah diberikan penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan dan resiko-resikonya
(informed consent)
2. Ibu dipersiapkan dalam posisi terlentang
3. Kandung kemih dikosongkan dan dipasang daueur catether
4. Dilakukan tindakan asepsis dan antiseptik pasda daerah abdomen dan sekitarnya
5. Dilakukan insisi mediana inferior
6. Setelah peritoneum dibuka, uterus diidentifikasi besar, ukuran, konsistensi, permukaan,
pergerakan dan warna
7. Adneksa kanan dan kiri diidentifikasi
8. Dilakukan insisi pada uterus berbentuk oval pada dinding belakang uterus
9. Dilakukan enuklesi secara tajam dan tumpul
10. Robekan endometrium dijahit secara jelujur, selanjutnya ditutup oleh lapisan serosa dan
miometrium secara bersamaan
11. Pendarahan dirawat
12. Kassa perlu diangkat, rongga abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan darah
13. Dilakukan pencucian rongga abdomen dengan cairan NaCl 0,9% sampai bersih
14. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
15. Fascia dijahit dengan vicryl no.1, kulit dijahit subkutikuler
16. Dilakukan penilaian jumlah pendarahan selama operasi
17. Dilakukan penilaian jumlah diuresis selama operasi
Hemostasis Pengangkatan massa mioma

Penutupan rongga yang terbentuk akibat pengangkatan mioma

Komplikasi
- Perdarahan
- Kehilangan uterus dan kemungkinan kehamilan

F. KISTEKTOMI

Tujuan Instruksi Umum


 Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang kistektomi.
Tujuan Instruksi Khusus
 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari kistektomi.
 Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi kistektomi.
 Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip dari tindakan kistektomi.
 Mahasiswa mampu menjelaskan teknik operasi kistektomi.
 Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi operasi kistektomi

Definisi
Tindakan kistektomi berarti mengangkat kista tanpa merusak fungsi ovarium.
Indikasi
Kista ovarium jinak
Prinsip kerja dan pengenalan alat
Kistektomi dapat dilakukan dengan pembedahan laparotomi atau laparoskopi. Pada pendekatan
laparotomi, alat yang diperlukan adalah set ginekologi mayor.
Teknik
Pada umumnya kista ovarium jinak mempunyai kapsul yang jelas, kecuali pada kista
endometriosis yang seringkali diperlukan diseksi tajam untuk memisahkan dinding kista dengan
jaringan ovarium sehat. Urutan tindakan : membuka dinding perut, eksplorasi kavum abdomen,
ekstraksi kista ovarium besar, insisi kapsul kista, repair jaringan kista yang tersisa, dan penutupan
abdomen. (lihat gambar)

Insisi kapsul kista Pengangkatan kista secara intak


Pada kasus kista ovarium retroperitoneal, tindakan pengangkatan kista harus didahului
dengan membuka ruang retroperitoneal dan identifikasi ureter. (lihat gambar)

Identifikasi ureter
Komplikasi
Perdarahan, infeksi, cedera usus, cedera ureter, kerusakan ovarium permanen.
F. HISTEREKTOMI
Tujuan Instruksi Umum
 Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang histerektomi.
Tujuan Instruksi Khusus
 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari histerektomi.
 Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi histerektomi.
 Mahasiswa mampu menjelaskan kontraindikasi dari tindakan histerektomi.
 Mahasiswa mampu menjelaskan jenis operasi histerektomi.
 Mahasiswa mampu menjelaskan teknik operasi histerektomi
 Mahasiswa mampu menjelaskan efek samping dan komplikasi operasi histerektomi

Definisi
Histerektomi adalah suatu prosedur operatif dimana seluruh organ dari uterus diangkat.
Histerektomi obstetrik adalah pengangkatan rahim atas indikasi obstetrik.

Indikasi
a) Ruptur uteri
b) Perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan cara-cara yang ada, misalnya pada :
1. Atonia uteri
2. Afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia pada solusio plasenta dan lainnya.
3. Couvelaire uterus tanpa kontraksi.
4. Arteri uterina terputus.
5. Plasenta inkreta dan perkreta.
6. Hematoma yang luas pada rahim.
c) Infeksi intrapartal berat.

Pada keadaan ini biasanya dilakukan operasi Porro, yaitu uterus dengan isinya diangkat
sekaligus.
d) Uterus miomatosus yang besar.
e) Kematian janin dalam rahim dan missed abortion dengan kelainan darah.
f) Kanker leher rahim.

Kontraindikasi
a. Atelektasis
b. Luka infeksi
c. Infeksi saluran kencing
d. Tromoflebitis
e. Embolisme paru-paru.
f. Terdapat jaringan parut, inflamasi, atau perubahan endometrial pada adneksa
g. Riwayat laparotomi sebelumnya (termasuk perforasi appendix) dan abses pada Cul-de-
sac Douglas karena diduga terjadi perlengketan.
Jenis Histerekomi
1. Histerektomi parsial (subtotal)

Pada histerektomi jenis ini, rahimn diangkat, tetapi mulut rahim (serviks) tetap dibiarkan. Oleh
karena itu, penderita masih dapat terkena kanker mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan
pap smear (pemeriksaan leher rahim) secara rutin.
2. Histerektomi total

Pada histerektomi ini, rahim dan mulut rahim diangkat secara keseluruhan.
Keuntungan dilakukan histerektomi total adalah ikut diangkatnya serviks yang menjadi sumber
terjadinya karsinoma dan prekanker. Akan tetapi, histerektomi total lebih sulit daripada histerektomi
supraservikal karena insiden komplikasinya yang lebih besar.
3. Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral

Histerektomi ini mengangkat uterus, mulut rahim, kedua tuba falopii, dan kedua ovarium.
Pengangkatan ovarium menyebabkan keadaan penderita seperti menopause meskipun usianya
masih muda.
4. Histerektomi radikal

Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan dan kelenjar limfe disekitar kandungan.
Operasi ini biasanya dilakukan pada beberapa jenis kanker tertentu untuk bisa menyelamatkan
nyawa penderita.

Histerektomi dapat dilakukan melalui 3 macam cara, yaitu abdominal, vaginal dan
laparoskopik. Pilihan ini bergantung pada jenis histerektomi yang akan dilakukan, jenis penyakit
yang mendasari, dan berbagai pertimbangan lainnya. Histerektomi abdominal tetap merupakan
pilihan jika uterus tidak dapat dikeluarkan dengan metode lain. Histerektomi vaginal awalnya hanya
dilakukan untuk prolaps uteri tetapi saat ini juga dikerjakan pada kelainan menstruasi dengan
ukuran uterus yang relatif normal. Histerektomi vaginal memiliki resiko invasive yang lebih rendah
dibandingkan histerektomi abdominal. Pada histerektomi laparoskopik, ada bagian operasi yang
dilakukan secara laparoskopi (garry, 1998).
Teknik Operasi Histerektomi
Histerektomi pasca persalinan
1. Kaji ulang indikasi
2. Kaji ulang prinsip penanganan operatif dan mulailah infus IV
3. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal:
4. Ampisilin 2 g IV ATAU sefazolin 1 g IV

Jika terdapat perdarahan setelah persalinan pervaginam yang tidak terkontrol, ingatlah bahwa
kecepatan merupakan hal yang penting. Untuk membuka daerah abdomen:

1. Lakukan insisi vertikal pada garis tengah di bawah umbilikus sampai rambut pubis, menembus
kulit sampai ke fasia
2. Lakukan insisi vertikal 2-3 cm pada fasia, lanjutkan insisi ke atas dan ke bawah dengan
gunting.
3. Pisahkan muskulus rektus abdominis kiri dan kanan dengan tangan atau gunting.
4. Buka peritoneum dekat umbilikus dengan tangan.
5. Gunakan gunting untuk memperluas insisi ke atas dan ke bawah untuk dapat melihat uterus.
6. Gunakan gunting untuk memisahkan lapisan dan membuka bagian bawah peritoneum secara
hati untuk menghindari perlukaan kandung kemih.
7. Pasang retraktor abdomen yang dapat menahan sendiri di atas tulang pubis.

Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea, klem tempat perdarahan sepanjang insisi uterus.
1. Pada kasus perdarahan hebat, mintalah asisten menekan aorta pada abdomen bawah dengan
jarinya. Tindakan ini akan mengurangi perdarahan intraperitoneum.
2. Perluas insisi pada kulit jika diperlukan.
Histerektomi Subtotal ( supravaginal )

1. Memisahkan Adneksa dari Uterus


2. Angkat uterus ke luar abdomen dan secara perlahan tarik untuk menjaga traksi.
3. Klem dua kali dan potong ligamentum rotundum dengan gunting.

PROSEDUR-PROSEDUR OBSTETRI

Pemotongan dan pengikatan ligamentum Penjepitan pangkal tuba dan ligamentum


Rotundum ovarii proprium

1. Klem dan potong pedikel, tetapi ikat setelah arteri uterina diamankan untuk menghemat
waktu.
2. Dari ujung potongan ligamentum rotundum, buka sisi depan. Lakukan insisi sampai:
3. Satu titik tempat peritoneum kandung kemih bersatu dengan permukaan uterus bagian
bawah di garis tengah, atau Peritoneum yang diinsisi pada seksio sesarea
4. Gunakan dua jari untuk mendorong bagian belakang ligamentum rotundum ke depan, di
bawah tuba dan overium, di dekat pinggir uterus. Buatlah lubang seukuran jari pada
ligamentum rotundum dengan menggunakan gunting. Lakukan klem dua kali dan potong
tuba, ligamentum ovarium, dan ligamentum rotundum melalui lubang pada ligamentum
rotundum. Pisahkan sisi belakang ligamentum rotundum ke arah bawah, ke arah
ligamentum sakrouterina, dengan menggunakan gunting.
5. Membebaskan Kandung Kemih
6. Raih ujung flap kandung kemih dengan forsep atau dengan klem kecil. Gunakan jari atau
gunting, pisahkan kandung kemih ke bawah dengan segmen bawah uterus.
7. Arahkan tekanan ke bawah tetapi ke dalam menuju serviks dan segmen bawah uterus.
8. Mengidentifikasi dan Mengikat Pembuluh Darah Uterus
9. Cari lokasi arteri dan vena uterina pada setiap sisi uterus. Rasakan perbatasan uterus
dengan serviks.
10. Lakukan klem dua kali pada pembuluh darah uterus dengan sudut 90° pada setiap sisi
serviks. Potong dan lakukan pengikatan dua kali dengan catgut kromik 0 atau poliglikolik
11. Periksa dengan seksama untuk mencari adanya perdarahan. Jika arteri uterina diikat
dengan baik, perdarahan akan berhenti dan uterus terlihat pucat.
12. Kembali ke pedikel ligementum rotundum dan ligamentum tubo-ovarika yang dkilem dan
ligasi dengan catgut kromik 0 (atau poliglikolik).
13. Amputasi Korpus Uteri
14. Amputasi uterus setinggi ligasi arteri uterina dengan menggunakan gunting.
15. Menutup Tunggul Serviks
16. Tutup tunggul (stump) serviks dengan jahitan terputus, dengan menggunakan catgut
kromik (atau benang poliglikolik) ukuran 2-0 atau 3-0.
17. Periksalah secara seksama tunggul serviks, ujung ligamentum rotundum, dan struktur lain
pada dasar pelvis untuk mencari adanya perdarahan. u Jika terjadi perdarahan kecil atau
dicurigai adanya gangguan pembekuan,
18. letakkan drain melalui dinding abdomen. Jangan letakkan drain melalui tunggul serviks
karena dapat menimbulkan infeksi.
19. Pastikan tidak terdapat perdarahan, buang bekuan dengan kassa.
20. Pada semua kasus, periksalah adanya perlukaan pada kandung kemih.
21. Jika terdapat perlukaan pada kandung kemih, perbaiki luka tersebut.
22. Tutup fasia dengan jahitan jelujur dengan poliglikolik0 (atau catgut kromik).
23. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, dekatkan jaringan subkkutan dengan
24. longgar dan jahit longgar dengan catgut 0 (atau poliglikolik). Tutup kulit dengan penutupan
lambat setelah infeksi sembuh.
25. Jika tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tutuplah kulit dengan jahitan matras vertikal
dengan benang nilon 3-0 (atau silk).
26. Luka ditutup dengan pembalut steril.

Histerektomi total

Pada histerektomi total, diperlukan langkah tambahan sebagai berikut:

1. Dorong kandung kemih ke bawah untuk membebaskan ujung atas vagina 2 cm


2. Buka dinding posterior dari ligamentum rotundum
3. Klem, ligasi, dan potong ligamentum sakrouterina
4. Klem, ligasi, dan potong ligamentum kardinal, yang di dalamnya terdapat cabang
desenden pembuluh darah uterus. Ini merupakan langkah penting pada operasi :
5. Pegang ligamentum secara vertikal dengan klem yang ujungnya besar (seperti kokher)
6. Letakkan klem 5 mm lateral dari serviks dan potong ligamentum sedekat mungkin dengan
serviks. Meninggalkan tunggul medial dari klem untuk keamanan
7. Jika serviks masih panjang, ulangi langkah dua atau tiga kali sesuai dengan kebutuhan.
8. Ujung atas vagina sepanjang 2 cm harus terbebas dari perlekatan
9. Potong vagina sedekat mungkin dengan serviks, lakukan hemostasis pada titik
perdarahan.
10. Lakukan penjahitan hemostatik yang mengikutkan ligamentum rotundum, kardina, dan
sakrouterina.
11. Lakukan penjahitan jelujur pada ujung vagina untuk menghentikan perdarahan.
12. Tutup abdomen (seperti di atas) setelah memasang drain pada ruang ekstra peritoneum di
dekat tunggul serviks.
13. Setelah melakukan tindakan operasi, lakukan pemantauan perdarahan dan produksi urin.
14. Selama ibu dirawat, jika ada tanda-tanda infeksi atau demam, berikan kombinasi
antibiotika sampai ibu bebas demam selama 48 jam:

Efek Samping dan Komplikasi


1. Efek Samping

Efek samping yang utama dari histerektomi adalah bahwa seorang wanita dapat
memasuki masa menopause yang disebabkan oleh suatu operasi, walaupun ovariumnya masih
tersisa utuh. Sejak suplai darah ke ovarium berkurang setelah operasi, efek samping yang lain dari
histerektomi yaitu akan terjadi penurunan fungsi dari ovarium, termasuk produksi progesterone.

Efek samping Histerektomi yang terlihat :

a. Perdarahan intraoperatif

Biasanya tidak terlalu jelas, dan ahli bedah ginekologis sering kali kurang dalam
memperkirakan darah yang hilang (underestimate). Hal tesebut dapat terjadi, misalnya, karena
pembuluh darah mengalami retraksi ke luar dari lapangan operasi dan ikatannya lepas

b. Kerusakan pada kandung kemih

Paling sering terjadi karena langkah awal yang memerlukan diseksi untuk memisahkan
kandung kemih dari serviks anterior tidak dilakukan pada bidang avaskular yang tepat.
c. Kerusakan ureter

Jarang dikenali selama histerektomi vaginal walaupun ureter sering kali berada dalam resiko
kerusakan. Kerusakan biasanya dapat dihindari dengan menentukan letak ureter berjalan dan
menjauhi tempat tersebut.

d. Kerusakan usus

Dapat terjadi jika loop usus menempel pada kavum douglas, menempel pada uterus atau
adneksa. Walaupun jarang, komplikasi yang serius ini dapat diketahui dari terciumnya bau
feses atau melihat material fekal yang cair pada lapangan operasi. Pentalaksanaan
memerlukan laparotomi untuk perbaikan atau kolostomi

e. Penyempitan vagina yang luas

Disebabkan oleh pemotongan mukosa vagina yang berlebihan. Lebih baik keliru meninggalkan
mukosa vagina terlalu banyak daripada terlalu sedikit. Komplikasi ini memerlukan insisi lateral
dan packing atau stinit vaginal, mirip dengan rekonstruksi vagina.

2. Komplikasi
a. Hemoragik
Keadaan hilangnya cairan dari pembuluh darah yang biasanya terjadi dengan cepat dan dalam
jumlah yang banyak. Keadaan ini diklasifikasikan dalam sejumlah cara yaitu, berdasarkan tipe
pembuluh darah arterial, venus atau kapiler, berdasarkan waktu sejak dilakukan pembedahan atau
terjadi cidera primer, dalam waktu 24 jam ketika tekanan darah naik reaksioner, sekitar 7-10 hari
sesudah kejadian dengan disertai sepsis sekunder, perdarahan bisa interna dan eksterna.
b. Thrombosis vena
Komplikasi hosterektomi radikal yang lebih jarang terjadi tetapi membahayakan jiwa adalah
thrombosis vena dalam dengan emboli paru-paru, insiden emboli paru-paru mungkin dapat
dikurangi dengan penggunaan ambulasi dini, bersama-sama dengan heparin subkutan profilaksis
dosis rendah pada saat pembedahan dan sebelum mobilisasi sesudah pembedahan yang
memadai.
c. Infeksi
Infeksi oleh karena adanya mikroorganisme pathogen, antitoksinnya didalam darah atau
jaringan lain membentuk pus.
d. Pembentukan fistula
Saluran abnormal yang menghubungkan 2 organ atau menghubungkan 1 organ dengan
bagian luar. Komplikasi yang paling berbahaya dari histerektomi radikal adalah fistula atau striktura
ureter. Keadaan ini sekarang telah jarang terjadi, karena ahli bedah menghindari pelepasan ureter
yang luas dari peritoneum parietal, yang dulu bisa dilakukan. Drainase penyedotan pada ruang
retroperineal juga digunakan secara umum yang membantu meminimalkan infeksi. 5,6,7

Pencegahan komplikasi

a. Pencegahan perlekatan

Perlekatan dapat dicegah dengn cara manipulasi jaringan secara lembut dan hemostasis yang
seksama. Untuk mempertahankan integritas serosa usus, pemasangan tampon dgunakan apabila
usus mengalami intrusi menghalangi lapangan pandang operasi. Untuk mencegah infeksi, darah
harus dievakuasi dari kavum peritonei. Hal ini dapat dilakukan dengan mencuci menggunakan
larutan RL dan melakukan reperitonealisasi defek serosa dengan hati-hati

b. Drainase

Pada luka bersih (aseptic), pemasangan drain untuk mengevakuasi cairan yang berasal dari
sekresi luka dan darah berguna untuk mencegah infeksi. Pada luka terinfeksi pemasangan drain
dapat membantu evakuasi pus dan sekresi luka dan menjaga luka tetap terbuka. System drainase
ada yang bersiat pasif (drainase penrose), aktif (drainase suction) da juga ada yang bersiat
terbuka atau tertutup.

c. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli


1) Saat praoperasi, perlu dicari faktor resiko. Usahakan menurunkan berat badan dan
memperbaiki keadaan umum pasien sampai optimal. Kontrasepsi oral harus dihentikan
minimal empat minggu sebelum operasi. Mobilisasi pasien dilakukan sedini mungkin dan
diberikan terapi fisik dan latihan paru.
2) Upaya intraoperasi, dilakukan hemostasis yang teliti san pencegahan infeksi. Selain itu,
cegah juga hipoksia dan hipotensi selama pembiusan. Hindari statis vena sedapat
mungkin, terutama dengan memperhatikan posisi kaki.
3) Pada pascaoperasi, antikoagulasi farmkologis dan fisik dilanjutkan. Upaya fisik meliputi
mobilisasi dini pada 4-6 jam pertama pascaoperasi, bersamaan dengan fisioterapi.
Disamping itu bisa juga dnegan pemakaian stocking ketat dan mengankat kaki.

Penatalaksanaan
1. Preoperative
Setengah bagian abdomen dan region pubis serta perineal dicukur dengan sangat cermat dan
dibersihkan dengan sabun dan air (beberapa dokter bedah tidak menganjurkan pencukuran
pasien). Traktus intestinal dan kandung kemih harus dikosongkan sebelum pasien dibawa keruang
operasi untuk mencegah kontaminasi dan cidera yang tidak sengaja pada kandung kemih atau
traktus intestinal. Edema dan pengirigasi antiseptic biasanya diharuskan pada malam hari sebelum
hari pembedahan, pasien mendapat sedative. Medikasi praoperasi yang diberikan pada pagi hari
pembedahan akan membantu pasien rileks.
2. Postoperative
Prinsip-prinsip umum perawatan pasca operatif untuk bedah abdomen diterapkan, dengan
perhatian khusus diberikan pada sirkulasi perifer untuk mencegah tromboflebitis dan TVP
(perhatikan varicose, tingkatkan sirkulasi dengan latihan tungkai dan menggunakan stoking.
Pemulihan dan Diet Pasca Operasi

Pemulihan dari operasi histerektomi biasanya berlangsung dua hingga enam minggu. Selama
masa pemulihan, pasien dianjurkan untuk tidak banyak bergerak yang dapat memperlambat
penyembuhan bekas luka operasi. Dari segi makanan, disarankan untuk menghindari makanan
yang menimbulkan gas seperti kacang buncis, kacang panjang, brokoli, kubis dan makanan yang
terlalu pedas. Seperti setelah operasi lainnya, makan makanan yang kaya protein dan meminum
cukup air akan membantu proses pemulihan.

Anda mungkin juga menyukai