Anda di halaman 1dari 23

Referat

Kepada Yth : .............................................


Dibacakan tanggal :

INDUKSI DAN AUGMENTASI PERSALINAN

Oleh :
Reunita Constantia Amiman

Pembimbing :
Prof. Dr. dr. Eddy Suparman , SpOG(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS – I


BAGIAN / SMF OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
RSUP PROF. DR. R.D. KANDOU
MANADO

1
BAB I
PENDAHULUAN

Persalinan adalah rangkaian proses yang berakhir dengan pengeluaran hasil


konsepsi oleh ibu. Proses ini dimulai dengan kontraksi persalinan yang ditandai
dengan perubahan progresif pada seviks dan diakhiri dengan proses persalinan.
Kehamilan mempunyai batas waktu tersendiri yang ditentukan oleh kemampuan
uterus untuk meregang, perubahan hormon progesteron yang menurun, peningkatan
produksi hormon oksitosin, peningkatan hormon prostaglandin, dan pengaruh dari
hipotalamus.1
Induksi persalinan merupakan salah satu intervensi obstetrik yang paling sering
diterapkan di seluruh dunia.2 Induksi merupakan stimulasi kontraksi sebelum onset
persalinan spontan, dengan atau tanpa ketuban pecah. Ketika serviks tertutup dan
tidak terbuka, induksi persalinan akan sering dimulai dengan pematangan serviks,
suatu proses yang umumnya menggunakan prostaglandin untuk melunakkan dan
membuka serviks. Augmentasi mengacu pada peningkatan kontraksi spontan yang
dianggap tidak memadai karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin.3
Induksi persalinan telah menjadi semakin umum di Amerika Serikat dengan
sebanyak satu dari lima kehamilan berakhir dengan induksi persalinan.5 Di Amerika
Serikat, insiden induksi persalinan meningkat lebih dari dua kali lipat dari 9,5
persen pada tahun 1991 menjadi 23,2 persen pada tahun 2011. Di Parkland
Hospital, sekitar 35 persen persalinan diinduksi atau diaugmentasi. Sebagai
perbandingan, University of Alabama di Rumah Sakit Birmingham, jumlah
persalinan diinduksi pada sekitar 20 persen wanita, dan 35 persen lainnya diberikan
oksitosin untuk augmentasi—total 55 persen.3 Data menunjukkan bahwa 1 dari 5
wanita hamil akan menjalani proses persalinan dengan induksi persalinan dan 30-
40% wanita melahirkan akan dilakukan induksi persalinan.6
Oksitosin adalah zat yang paling banyak digunakan pada ibu untuk
mempercepat proses kelahiran oleh dokter di bidang obstetrik. Penelitian terbaru
menunjukan bahwa oksitosin digunakan lebih dari 50% ibu yang melahirkan di
rumah sakit.6 Persalinan induksi di negara berkembang mencapai 25%.

2
Diperkirakan bayi yang lahir secara induksi dengan perbandingan 1:4. Survey
WHO dari sekitar 300.000 persalinan, 9,6% bersalin dengan induksi. Persalinan
induksi umumnya di lakukan pada partus lama, kehamilan lewat waktu, ketuban
pecah dini (KPD), hipertensi, dan komplikasi lainnya. Angka di negara Afrika
cenderung lebih rendah jumlah induksi (terendah Nigeria 1,4%), dibandingkan Asia
dan Amerika latin (tertinggi Srilanka 35,5%), Mesir (9,3%).7
Tujuan dari induksi persalinan adalah untuk merangsang kontraksi uterus
dengan bantuan farmakologi medis atau tindakan medis sebelum onset persalinan
normal walaupun induksi persalinan dianjurkan ketika resiko melanjutkan kehamilan
lebih besar daripada proses persalinan namun sebaiknya perlu dipertimbangkan
dengan pendekatan yang aman dan efisien, serta mempunyai manfaat lebih besar bagi
kesehatan ibu dan bayi baru lahir.8 Induksi persalinan biasanya dilakukan jika risiko
menunggu persalinan spontan dinilai lebih besar daripada risiko memperpendek durasi
kehamilan.9
Augmentasi persalinan adalah proses merangsang rahim untuk
meningkatkan frekuensi, durasi dan intensitas kontraksi setelah dimulai awitan
persalinan spontan. Umumnya telah digunakan untuk tatalaksana persalinan yang
tertunda karena kontraksi uterus yang tidak adekuat dinilai adalah penyebabnya.
Metode tradisional adalah dengan penggunaan infus oksitosin intravena dan
ketuban pecah buatan (amniotomi).10
Kesuksesan induksi persalinan dapat dipengaruhi beberapa hal yaitu tingkat
kematangan serviks, paritas, BMI, usia ibu, perkiraan berat janin, dan diabetes.8 Skor
Bishop dikembangkan pada tahun 1964 sebagai prediktor untuk keberhasilan
induksi. Sistem penilaian awal kematangan serviks lalu ditentukan menggunakan 5
determinan (dilatasi, penipisan, penurunan, posisi, dan konsistensi) yang mengaitkan
nilai masing-masing determinan 0 hingga 2 atau 3 point (skor maksimal 13).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Induksi dan Augmentasi


Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya
persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan adalah meningkatkan
frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan. Induksi dimaksudkan
sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi persalinan spontan, dengan atau
tanpa rupture membrane. Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap kontraksi
spontan yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan
penurunan janin.3
Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara-cara buatan
sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya his.9
Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan terhadap ibu
hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk merangsang
timbulnya atau mempertahankan kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Atau
dapat juga diartikan sebagai inisiasi persalinan secara buatan setelah janin viable.

2.2 Indikasi Induksi Persalinan


Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau
kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin
diperlukan untuk menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang potensial
berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan
kehamilan membahayakan ibu. Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah
dini, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, preeklampsia berat, hipertensi akibat
kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT),
insufisiensi plasenta dan umbilical abnormal arteri doppler.12

2.3 Kontraindikasi Induksi


Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk
menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi
sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gemelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar
klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus,

4
dan infeksi herpes genital aktif.3

2.4 Komplikasi atau Risiko


Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun
setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri,
hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, ruptur uteri, solusio plasenta,
hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum,
kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan sesar pada induksi
elektif.3

2.5 Persyaratan Induksi


Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa
kondisi/persyaratan sebagai berikut: 12
a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (Cephalopelvic Disproportion/CPD)
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar
dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika
kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan
serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau dengan metode
mekanis.
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.

Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan


mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks
dapat dipakai skor Bishop. Berdasarkan kriteria Bishop, yakni:

5
Sistem Bishop Score yang Digunakan untuk
Serviks Score
0 1 2 3
Posisi serviks Posterior Tengah Anterior -
Konsistensi serviks Tebal Sedang Lunak -
Effesement 0-30% 40-50% 60-70% >=80%
Pembukaan Tertutup 1-2 cm 3-4 cm >=5 cm

Penurunan kepala -3 -2 -1 +1, +2

Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya indikasi
dengan hanya menggunakan induksi.3
Sumber: Prawirohadjo. (2009). Ilmu Kebidanan. Yogyakarta: Yayasan Bina Pustaka

Tabel 1. Skor pelvik menurut Bishop

Gambar 1. Stasiun +1 dengan potongan frontal (kiri);


stasiun -2 pada potongan lateral (kanan).
Sumber: Blueprints Obstetrics & Gynecology, Boston: Blackwell Publishing.

Pada kebanyakan kasus, teknik yang digunakan untuk meningkatkan favorabillity


atau kematangan serviks juga menstimulasi kontraksi. Jadi teknik tersebut dapat
digunakan untuk menginduksi persalinan. Metode yang digunakan untuk
mematangkan serviks meliputi preparat farmakologis dan berbagai bentuk distensi

6
serviks mekanis. Metode farmakologis diantaranya yaitu Pemberian Oksitosin
Intravena, pemberian prostaglandin E2 (dinoprostone, cervidil, dan prepidil),
prostaglandin El (Misoprostol atau cytotec), dan donor nitrit oksida. Sedangkan yang
termasuk ke dalam metode mekanik yakni kateter trans servikal (kateter foley),
ekstra amnionik salin infusion (EASI), dilator servikal higroskopik, dan stripping
membran.3

2.6 Metode Induksi


Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu
kimia dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk
mengeluarkan zat prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim
berkontraksi.

2.6.1 Farmakologi atau Medikamentosa


2.6.1.1. Pemberian Oksitosin Intravena
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktivitas uterus
yang cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Sejumlah
regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American
College of Obstetricians and Gynecologists. Oksitosin diberikan dengan
menggunakan protokol dosis rendah (1-4 mU/menit) atau dosis tinggi (6-40 mU/menit),
awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang digunakan di Amerika Serikat,
kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis tinggi, dan hasilnya
kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi persalinan
karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk
memperpendek waktu persalinan.3
Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari
hiperstimulasi. Walaupun jarang, ruptur uteri dapat pula terjadi, terlebih pada
multipara. Untuk itu tetap dilakukan observasi yang ketat pada ibu yang mendapat
oksitosin.12
Dublin (tahun 1984) menguraikan protokol untuk penatalaksanaan aktif persalinan
yang menggunakan oksitosin dosis awal dan tambahan 6 mU/menit. Dan di Parkland
Hospital melakukan evaluasi regimen oksitosin dengan dosis tersebut, peningkatan dengan
interval 20 menit jika diperlukan, menghasilkan rata-rata waktu masuk ke persalinan yang

7
lebih singkat, lebih sedikit induksi yang gagal, dan tidak ada kasus sepsis neonatus. Dan
dengan percobaan pada sampel yang berbeda, mereka yang mendapat regimen 6 mU/menit
memiliki durasi waktu persalinan yang lebih singkat, persalinan forseps yang lebih sedikit,
pelahiran caesar karena distosia yang lebih sedikit, dan menurunnya korioamnionitis
intrapartum atau sepsis neonatorum.3,12
Dengan demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan memberikan
regimen dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland
hospital penggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara
rutin telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University
Alabama memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan
setiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang
pertama tampaknya sangat berbeda, jika tidak ada aktivitas uterus, kedua regimen tersebut
mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam infus.3
Jika setelah mengikuti protokol tetap belum terbentuk pola kontraksi yang
baik dengan penggunaan konsentrasi oksitosin yang tinggi maka pada
multigravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan section caesar.
Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal, lahirkan
janin melalui sectio caesar. Dalam pemberian infus oksitosin, selama pemberian ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Observasi ibu selama mendapatkan infus oksitosin secara cermat.
b. Jika infus oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan
kecepatan infus yang sama sampai pelahiran.
c. Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri
d. Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 m1 (20 mIU/mL)
pada multigravida dan pada ibu dengan riwayat section caesar.
Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk
pola kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan
tersebut.

8
Dosis awal
Regimen Penaikan dosis (mU/menit) Interval (menit)
(mU/menit)

Rendah 0,5 – 1,5 1 15-40

2 4,8,12,16,20,25,30 15

Tinggi 4 4 15
4,5 4,5 15-30
6a 6b 20-40c
a
Dosis awal 2 mU/menit digunakan di Brimingham Hospital University of Alabama dan dosis
awal 6 mU/menit digunakan di Parkland Hospital.

b
Dengan hiperstimulasi dan setelah infus oksitosin dihentikan, infus dimulai lagi dengan dosis
setengah dari dosis sebelumnya dan dinaikkan 3 mU/menit. cHiperstimulasi lebih sering pada
interval yang lebih pendek. Data dari Merrill dan Zlatnik (1999), Satin, dkk. (1992, 1994),
serta Xenakis, dkk. (1995).3

Tabel 2. Regimen oksitosin dosis rendah dan tinggi pada induksi persalinan

(i) Teori Mengenai Faktor yang Mempengaruhi Induksi Oksitosin


a. Usia ibu
Pada usia ibu yang relatif tua (≥ 35 tahun) dan usia anak terakhir
sudah > 5 tahun, induksi oksitosin akan kurang berhasil sehingga
dapat terjadi keluaran induksi berupa persalinan dengan tindakan.
Hal ini disebabkan karena semakin tua usia, kondisi serviks semakin
kaku sehingga menghalangi pembukaan atau pelebaran serviks.14
b. Paritas ibu
Induksi oksitosin akan lebih berhasil pada ibu multipara daripada
ibu primipara sehingga dapat terjadi keluaran induksi berupa
persalinan secara spontan. Hal ini disebabkan karena pada ibu
multipara sudah pernah terjadi pembukaan atau pelebaran serviks.14

9
c. Kadar hemoglobin (Hb)
Induksi oksitosin akan lebih berhasil pada ibu dengan kadar Hb
normal (tidak anemia) pada trimester ketiga yaitu 10,5 g/dL
sehingga dapat terjadi keluaran induksi berupa persalinan secara
spontan. Sedangkan pada ibu dengan kadar Hb <10,5 atau disebut
juga keadaan anemia, dapat meningkatkan risiko gawat janin karena
hipoksia. Hipoksia merupakan keadaan patologis yang ditandai oleh
berkurangnya kadar oksigen dalam jaringan dan darah (asidemia)
yang disebabkan oleh rendahnya kadar Hb yang berfungsi sebagai
pengangkut oksigen dalam darah dan jaringan.15, 16
Selain itu ada beberapa faktor lain yang dapat
mempengaruhi induksi persalinan: yaitu posisi janin yang semakin
rendah, memungkinan keberhasilan induksi yang semakin besar
oleh karena terjadi penekanan pada pleksus Frankenhaouser;
penempatan presentasi kepala lebih membantu pembukaan
dibandingkan dengan presentasi bokong; kondisi serviks yang lunak
lebih berhasil dalam induksi dibandingkan dengan serviks kaku; dan
kehamilan yang mendekati aterm maka induksi persalinan akan
lebih berhasil.17

(ii) Uji Stress Kontraksi (Oxytocin Challenge Test)


Untuk tes stres kontraksi adalah Tindakan dengan memberikan
hormon oksitosin melalui pembuluh darah (intravena) sehingga
menyebabkan kontraksi persalinan.
Uji stress kontraksi memiliki beberapa indikasi, anatara lain:3,10
1. Kecurigaan postmaturitas,
2. DM ibu,
3. Hipertensi kronis,
4. Gangguan hipertensi pada kehamilan,
5. IUGR (intrauterine growth restriction)
6. Penyakit jantung sianotik ibu,

10
7. Riwayat kehamilan mati terdahulu,
8. Hipertiroidism,
9. Gravid yang tua (>35 tahun),
10. Penyakit ginjal kronis,
11. Gerak janin menurun,
12. Anemia berat pada ibu,
13. Pasien antepartum yang berisiko tinggi (ketuban pecah
dini, kelahiran prematur dan perdarahan).
Uji stres kontraksi (contraction stress test) merupakan uji
pemantauan kehidupan janin berdasarkan respon denyut jantung
janin terhadap kontraksi uterus. Karena adanya kontraksi uterus
menyebabkan oksigenasi ke janin memburuk. Saat tekanan cairan
amnion meningkat bersamaan dengan kontraksi uterus, tekanan
miometrium akan lebih tinggi daripada tekanan pembuluh-
pembuluh yang berjalan sepanjang otot uterus dan menyebabkan
pembuluh-pembuluh tersebut kolaps dan akhirnya mengisolasi
ruang antar vilus kemudian terjadi periode singkat gangguan
pertukaran oksigen, dan terdapat patologi uteroplasenta, sehingga
terjadi deselerasi lambat frekuensi denyut jantung janin. Merupakan
deselerasi yang dimulai terlambat dalam fase kontraksi, sampai pada
titik terendah setelah puncak kontraksi dan biasanya bertahan
melewati akhir kontraksi.3,12
Dilakukan induksi kontraksi dengan pemberian oksitosin
intravena, dan respons denyut jantung janin direkam menggunakan
pemantauan standar. Frekuensi denyut jantung janin dan kontraksi
uterus secara bersamaan direkam oleh suatu monitor eksternal.
Apabila terdapat paling sedikit tiga kontraksi spontan yang
berlangsung minimal 40 detik dalam 10 menit, stimulasi terhadap
uterus tidak lagi diperlukan. Apabila jumlah kontraksi kurang dari
tiga kali dalam 10 menit, dilakukan induksi dengan oksitosin atau
stimulasi puting payudara. Pemeriksaan umumnya diulang setiap

11
minggu, dan pemeriksa menyimpulkan bahwa hasil uji stress
kontraksi yang negatif (normal) dapat menggambarkan kesehatan
bayi. Salah satu kekurangan yang disebutkan adalah bahwa rata-rata
uji stress kontraksi memerlukan waktu 90 menit.12
Stimulasi puting payudara dapat digunakan untuk
menggantikan oksitosin sebagai pemicu kontraksi uterus. Salah satu
metode yang dianjurkan adalah bahwa wanita yang bersangkutan
mengusap salah satu puting payudara dibalik bajunya selama 2
menit atau sampai kontraksi dimulai. Ia diminta untuk mengulang
kembali setelah 5 menit apabila stimulasi pertama tidak memicu tiga
kontraksi dalam 10 menit. Keunggulan cara ini antara lain adalah
biaya yang lebih murah dan waktu pengujian yang lebih singkat.
Walaupun ada penelitian melaporkan bahwa stimulasi puting
payudara dapat menyebabkan hiperstimulasi uterus dan gawat janin
yang tidak dapat diduga, namun peneliti lain tidak menemukan
bahwa aktivitas uterus yang berlebihan akibat stimulasi pting
payudara membahayakan janin.12
Uji stress kontraksi diinterpretasikan berdasarkan ada dan
tidak adanya deselerasi lambat denyut jantung janin. Hasil dari uji
stress kontraksi dikategorikan sebagai berikut:3,12
a. Negatif: tidak ada deselerasi lambat atau deselerasi variabel
yang signifikan
b. Positif: deselerasi lambat mencapai 50% atau lebih dari
kontraksi (terjadi bila frekuensi kontraksi kurang dari 3 dalam
10 menit)
c. Equivocal suspicious: deselerasi lambat intermiten atau
deselerasi variabel yang signifikan.
d. Equivocal hyperstimulatori: deselerasi denyut jantung yang
terjadi saat terjadinya kontraksi yang lebih sering setiap menit
atau selama 90 detik

12
e. Tidak memuaskan: kurang dari 3 kontraksi dalam 10 menit atau
uninterpretable tracing.

Kontraindikasi relatif uji stress kontraksi pada kondisi yang


berhubungan dengan peningkatan risiko persalinan prematur, ruptur
uteri atau perdarahan uteri, yaitu:3,8

1. Pasien dengan risiko tinggi lahir belum waktunya,


2. Ruptur membran preterm,
3. Riwayat pembedahan uterus atau persalinan seksio
sesaria,
4. Plasenta praevia.

2.6.1.2 Prostaglandin E2 (PGE2)


PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan
intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan secara
lokal akan menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan peningkatan
kandungan air di dalam jaringan serviks. PGE2 memperlunak jaringan ikat
serviks dan merelaksasikan serabut otot serviks, sehingga mematangkan
serviks. PGE2 ini pada umumnya digunakan untuk mematangkan serviks pada
wanita dengan nilai bishop <5 dan digunakan untuk induksi persalinan pada
wanita yang nilai bishopnya antara 5 - 7.11
Bentuk gelnya (prepidil) tersedia dalam suntikan 2,5 ml untuk
pemberian intraserviks berisi 0,5 mg dinoprostone. Ibu dalam posisi terlentang,
ujung suntikan yang belum diisi diletakkan di dalam serviks, dan gel
dimasukkan tepat di bawah os serviks interna. Setelah pemberian, ibu tetap
berbaring selama setidaknya 30 menit. Dosis dapat diulang setiap 6 jam,
dengan maksimum tiga dosis yang direkomendasikan dalam 24 jam.11
Cervidil (Dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan
serviks. Bentuknya yang persegi panjang (berupa wafer polimerik) yang tipis
dan datar, yang dibungkus dalam kantung jala kecil berwarna putih yang
terbuat dari poliester. Kantungnya memiliki ekor panjang agar mudah untuk
mengambilnya dari vagina. Pemasukannya memungkinkan dilepaskannya

13
obat 0,3 mg/jam (lebih lambat dari pada bentuk gel).3
Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan melintang pada
forniks posterior vagina. Pelumas harus digunakan sedikit, atau tidak sama
sekali, saat pemasukan. Pelumas yang berlebihan dapat menutupi dan
mencegah pelepasan dinoprostone. Setelah pemasukan, ibu harus tetap
berbaring setidaknya 2 jam. Obat ini kemudian dikeluarkan setelah 12 jam atau
ketika persalinan aktif mulai terjadi. Cervidil ini dapat dikeluarkan jika terjadi
hiperstimulasi. American College of Obstetricians and Gynecologists
merekomendasikan agar pemantauan janin secara elektronik digunakan selama
cervidil digunakan dan sekurang-kurangnya selama 15 menit setelah
dikeluarkan.3, 10
Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah
peningkatan aktivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists mendeskripsikannya sebagai berikut:
a. Takisistol uterus diartikan sebagai kontraksi dalam periode 10 menit.
b. Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal
yang berlangsung lebih lama dari 2 menit.
c. Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola
denyut jantung janin yang meresahkan.
Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin bisa
berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya persalinan
spontan, maka penggunaannya tidak direkomendasikan. Kontra indikasi untuk
agen prostaglandin secara umum meliputi asma, glaukoma, peningkatan
tekanan intraokular.3 ,1 0

2.6.1.3 Prostaglandin E1 (PGE1)


Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui sebagai tablet 100
atau 200 pg. Obat ini telah digunakan secara off label (luas) untuk
pematangan serviks prainduksi dan dapat diberikan per oral atau per vagina.
Tablet ini lebih murah daripada PGE2 dan stabil pada suhu ruangan.
Sekarang ini, prostaglandin E1 merupakan prostaglandin pilihan untuk induksi
persalinan atau aborsi pada Parkland Hospital dan Birmingham Hospital di

14
University of Alabama.3, 10
Misoprostol oral maupun per vagina dapat digunakan untuk
pematangan serviks atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan adalah
25-50 pg dan ditempatkan di dalam forniks posterior vagina. Dosis 100 qg
misoprostol per oral atau 25 pg misoprostol per vagina memiliki manfaat yang
serupa dengan oksitosin intravena untuk induksi persalinan pada perempuan
saat atau mendekati cukup bulan, baik dengan ruptur membran dengan
kehamilan yang masih kurang bulan maupun serviks yang sudah matang.
Misoprostol sering dikaitkan dengan peningkatan angka hiperstimulasi, dan
dihubungkan dengan ruptur uterus pada wanita yang memiliki riwayat operasi
seksio sesaria.3,10
Selain itu induksi dengan PGE1, mungkin terbukti tidak efektif dan
memerlukan augmentasi lebih lanjut dengan oksitosin, dengan catatan jangan
berikan oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian misoprostol. Karena itu,
terdapat pertimbangan mengenai risiko, biaya, dan kemudahan pemberian
kedua obat, namun keduanya cocok untuk induksi persalinan. Pada augmentasi
persalinan, hasil dari penelitian awal menunjukkan bahwa misoprostol oral
dosis 75 pg yang diberikan dengan interval 4 jam untuk maksimum dua dosis
hasilnya aman dan efektif.3, 12

2.6.1.4 Donor Nitrit Oksida


Beberapa temuan telah mengarahkan pada pencarian zat yang
menstimulusi produksi nitrit oksida (NO) lokal yang digunakan untuk
tujuan klinis diantaranya yakni, nitrit oksida merupakan mediator
pematangan serviks, metabolit NO pada serviks meningkat pada awal
kontraksi uterus, dan produksi NO di serviks sangat rendah pada kehamilan
lebih bulan. Dasar pemikiran dan penggunaan donor NO yaitu isosorbide
mononitrate dan glyceryl trinitrate. isosorbide mononitrate menginduksi
siklooksigenase 2 serviks, agen ini juga menginduksi pengaturan ulang
ultrastruktur serviks, serupa dengan yang terlihat pada pematangan serviks
spontan. Namun sejauh ini uji klinis belum menunjukkan bahwa donor NO
sama efektifnya dengan prostaglandin E2 dalam menghasilkan pematangan

15
serviks, dan penambahan isosorbide mononitrate pada dinoprostone atau
misoprostol tidak meningkatkan pematangan serviks pada awal kehamilan
atau saat cukup bulan dan tidak mempersingkat waktu pelahiran
pervaginam.3

2.6.2 Secara Mekanis


2.6.2.1 Kateter Trans servikal (Kateter Foley)
Kateter foley merupakan alternatif yang efektif disamping
pemberian prostaglandin untuk mematangkan serviks dan induksi persalinan.
Akan tetapi tindakan ini tidak boleh digunakan pada ibu yang mengalami
servisitis, vaginitis, pecah ketuban, dan terdapat riwayat perdarahan. Kateter
foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis servikalis (os seviks interna) di
dalam segmen bawah uterus (dapat diisi sampai 100 mL). Tekanan kearah
bawah yang diciptakan dengan menempelkan kateter pada paha dapat
menyebabkan pematangan serviks.3,10
Modifikasi cara ini, yang disebut dengan extra amnionic saline infusion
(EASI), cara ini terdiri dari infus salin kontinu melalui kateter ke dalam ruang
antara ostium serviks interna dan membran plasenta. Teknik ini telah
dilaporkan memberikan perbaikan yang signifikan pada skor Bishop dan
mengurangi waktu induksi ke persalinan.3
Penempatan kateter, dengan atau tanpa infus salin yang kontinu,
menghasilkan perbaikan favorability serviks dan sering kali menstimulasi
kontraksi. Hasil dari 13 percobaan dengan metode ini menghasilkan
peningkatan yang cepat pada skor bishop dan persalinan yang lebih singkat.
Chung secara acak mengikutsertakan 135 wanita untuk menjalani teknik
induksi persalinan dengan kateter foley ekstra amnion dengan inflasi balon
sampai 30 m1 juga menghasilkan waktu rata-rata induksi ke pelahiran
memendek secara nyata dan melaporkan bahwa penggunaan balon kateter
foley trans servikal 80 mL lebih efektif untuk pematangan serviks dan induksi
dari pada yang 30 mL.

16
Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai berikut:3
a. Pasang spekulum pada vagina
b. Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik
dengan menggunakan cunam tampon.
c. Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum.
d. Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air.
e. Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina.
f. Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi
uterus atau maksimal 12 jam.
g. Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan
kemudian lanjutkan dengan infus oksitosin.

Gambar 1. Kateter Trans Servikal

2.6.2.2 Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)


Dilatasi serviks dapat juga di timbulkan menggunakan dilator
serviks osmotik higroskopik. Teknik yang dilakukan yakni dengan batang
laminaria dan pada keadaan dimana serviks masih belum membuka. Dilator
mekanik ini telah lama berhasil digunakan jika dimasukkan sebelum
terminasi kehamilan, tetapi kini alat ini juga digunakan untuk pematangan
serviks sebelum induksi persalinan. Pemasangan laminaria dalam kanalis
servikalis dan dibiarkan selama 12-18 jam, kemudian jika perlu dilanjutkan

17
dengan infus oksitosin.3

2.6.2.3 Stripping membrane


Stripping membrane yaitu cara atau teknik melepaskan atau
mamisahkan selaput kantong ketuban dari segmen bawah uterus. Induksi
persalinan dengan “stripping” membran merupakan praktik yang umum dan
aman serta mengurangi insiden kehamilan lebih bulan tanpa
meningkatkan ketuban pecah dini, perdarahan dan infeksi. Hasil dari
penelitian meta analisis dari 22 percobaan termasuk 2.797 perempuan
melaporkan bahwa membran stripping mengurangi jumlah wanita yang
yang belum melahirkan setelah 41 minggu tanpa meningkatkan risiko
infeksi. Stripping dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan jari tengah
atau telunjuk dimasukkan dalam kanalis servikalis.3

Gambar 2. Metode Cervical Stripping

2.6.2.4 Induksi Amniotomi


Ruptur membrane artifısial atau terkadang disebut dengan induksi
amniotomi, merupakan teknik yang dapat digunakan untuk menginduksi
persalinan. Pemecahan ketuban buatan memicu pelepasan prostaglandin.
Amniotomi dapat dilakukan sejak awal sebagai tindakan induksi, dengan atau
tanpa oksitosin. Pada uji acak, Bacos dan Backstrom menemukan bahwa
amniotomi saja atau kombinasi dengan oksitosin lebih baik dari pada
oksitosin saja. Induksi persalinan secara bedah (amniotomi) lebih efektif jika
keadaan serviks baik (skor Bishop > 5). Amniotomi pada dilatasi serviks

18
sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan spontan selama 1 sampai 2 jam,
bahkan penelitian acak dari 209 perempuan yang menjalani induksi
persalinan baik itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm ataupun amniotomi
lanjut pada dilatasi 5 cm didapatkan awitan persalinan yang lebih singkat
yakni 4 jam.3,8 Namun ada komplikasi atau resiko yang dapat timbul setelah
dilakukan amniotomi yakni: sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali pusat, infeksi
(jika jangka waktu antara induksi- persalinan > 24 jam), perdarahan ringan,
perdarahan post partum (resiko relatif 2 kali dibandingkan dengan tanpa
induksi persalinan), hiperbilirubinemia neonatus (Bilirubin > 250 pmoL/L). 3,8

19
2
Evaluasi
Periksa kesejahteraan janin

1
Pasien hamil dengan indikasi untuk
induksi persalinan

Ya Apakah serviks
favorable untuk Tidak
induksi
persalinan

Pematangan serviks
a. Metode mekanik
(membrane sweep)
b. Metode farmakologi
INDUKSI PERSALINAN (Prostaglandin,
a. Metode mekanik Misoprostol)
(amniotomi)
b. Metode farmakologi
(oksitosin IV)

Gagal Induksi:
Apakah - Periksa kembali kondisi
persalinan Tidak ibu dan janin
maju? - Evaluasi kembali
indikasi & metode
induksi
- Percobaan induksi
kembali
- CS

Ya

Monitor Kemajuan dan Proses


Persalinan Ya Apakah serviks
dilatasi dan
persalinan
maju?

Metode farmakologi:
- Dapat diulang Prostaglandin
(tab/gel) setelah 6-12 jam
- Oksitosin IV dipakai jika
Prostaglandin gagal
menginduksi kontraksi uterus,
namun serviks favorable

20
BAB III
KESIMPULAN

Induksi persalinan merupakan salah satu intervensi obstetris yang paling sering
diterapkan di seluruh dunia.2 Induksi merupakan stimulasi kontraksi sebelum onset
persalinan spontan, dengan atau tanpa ketuban pecah. Ketika serviks tertutup dan
tidak terbuka, induksi persalinan akan sering dimulai dengan pematangan serviks,
suatu proses yang umumnya menggunakan prostaglandin untuk melunakkan dan
membuka serviks. Augmentasi mengacu pada peningkatan kontraksi spontan yang
dianggap tidak memadai karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin.3
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk
menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi
sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gemelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar
klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa,hidrosefalus,
dan infeksi herpes genital aktif.3 Komplikasi dapat ditemukan antara lain: atonia
uteri, hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, ruptur uteri, solusio plasenta,
hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum,
kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan sesar pada induksi
elektif.3
Ada dua cara proses induksi. Secara farmakologis/medikamentosa, yaitu
pemberian Oksitosin Intravena, penggunaan prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin
E1 (PGE1), donor Nitrit Oksida, dan. Secara mekanis dengan kateter trans servikal
(Kateter Foley), dilator servikal higroskopik (batang laminaria), stripping membrane,
dan induksi amniotomi.

21
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Varney, Helen. 2004. Ilmu Kebidanan (Varney’s Midwife 3rd ed). Bandung :
Sekeloa Publisher
2. Gommers, J. S., Diederen, M., Wilkinson, C., Turnbull, D. & Mol, B. W. (2017). Risk
of Maternal, Fetal and Neonatal Complications Associated with the Use of the
Transcervical Balloon Catheter in Induction of Labour: A Systematic review. European
Journal of Obstetrics and Gynecology and Reproductive Biology, 218, 73-84
3. Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Gilstrap, L., &
Wenstrom, K. D. (2014). Pregnancy Hypertension. Dalam F. G. Cunningham, K. J.
Leveno, S. L. Bloom, J. C. Hauth, L. Gilstrap, & K. D. Wenstrom (Penyunt.),
Williams Obstetrics (24th Edition ed.). New York: The McGraw-Hill Companies.
4. World Health Organization. Maternal Mortality. In: Reproduction Health and
Research, editor. Geneva: World Health Organization; 2014
5. Bomba-opoń, D., Drews, K., Huras, H., Laudański, P., Paszkowski, T. P. & Wielgoś,
M. (2017). Polish Gynecological Society Recommendations for Labor Induction.
Ginekologia Polska, 88, 224-234
6. Christina A. Penfield DAW. Labor Induction Techniques: Which Is the Best? Obstetrics
and Gynecology Clinics of North America. 2017;Vo1ume 44, 2017 (Issue 4):567-82.
7. WHO. (2011). Who Recommendations for Induction of Labour, Geneva: World
Health Organization
8. WHO. (2014). Recommendations for Augmentation of Labour, Geneva: World
Health organization.
9. Sinclair, Constance (2010) Buku Saku Kebidanan. Meiliya, E. & Wahyuningsih,
E. eds. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Oxorn, H. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi Dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta :
Yayasan Essentia Medica.
11. Saifuddin, A. B. (2010). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
12. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta:
EGC; 2007: 450-55, 800-9

22
13. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo Edisi 4 Cetakan 2. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2009: 620-28, 685-95, 774-99.
14. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta:
EGC; 2004: 13-9, 300-2.
15. Zhang J, Branch DW, Ramirez MM, Laughon SK, Reddy U, Hoffman M, et al.
Oxytocin regimen for labor augmentation, labor progression, and perinatal
outcomes. Obstet Gynecol. 2011; 118(2):249-56.
16. Manuaba, IGB. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.

23

Anda mungkin juga menyukai