Oleh :
Reunita Constantia Amiman
Pembimbing :
Prof. Dr. dr. Eddy Suparman , SpOG(K)
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Diperkirakan bayi yang lahir secara induksi dengan perbandingan 1:4. Survey
WHO dari sekitar 300.000 persalinan, 9,6% bersalin dengan induksi. Persalinan
induksi umumnya di lakukan pada partus lama, kehamilan lewat waktu, ketuban
pecah dini (KPD), hipertensi, dan komplikasi lainnya. Angka di negara Afrika
cenderung lebih rendah jumlah induksi (terendah Nigeria 1,4%), dibandingkan Asia
dan Amerika latin (tertinggi Srilanka 35,5%), Mesir (9,3%).7
Tujuan dari induksi persalinan adalah untuk merangsang kontraksi uterus
dengan bantuan farmakologi medis atau tindakan medis sebelum onset persalinan
normal walaupun induksi persalinan dianjurkan ketika resiko melanjutkan kehamilan
lebih besar daripada proses persalinan namun sebaiknya perlu dipertimbangkan
dengan pendekatan yang aman dan efisien, serta mempunyai manfaat lebih besar bagi
kesehatan ibu dan bayi baru lahir.8 Induksi persalinan biasanya dilakukan jika risiko
menunggu persalinan spontan dinilai lebih besar daripada risiko memperpendek durasi
kehamilan.9
Augmentasi persalinan adalah proses merangsang rahim untuk
meningkatkan frekuensi, durasi dan intensitas kontraksi setelah dimulai awitan
persalinan spontan. Umumnya telah digunakan untuk tatalaksana persalinan yang
tertunda karena kontraksi uterus yang tidak adekuat dinilai adalah penyebabnya.
Metode tradisional adalah dengan penggunaan infus oksitosin intravena dan
ketuban pecah buatan (amniotomi).10
Kesuksesan induksi persalinan dapat dipengaruhi beberapa hal yaitu tingkat
kematangan serviks, paritas, BMI, usia ibu, perkiraan berat janin, dan diabetes.8 Skor
Bishop dikembangkan pada tahun 1964 sebagai prediktor untuk keberhasilan
induksi. Sistem penilaian awal kematangan serviks lalu ditentukan menggunakan 5
determinan (dilatasi, penipisan, penurunan, posisi, dan konsistensi) yang mengaitkan
nilai masing-masing determinan 0 hingga 2 atau 3 point (skor maksimal 13).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
dan infeksi herpes genital aktif.3
5
Sistem Bishop Score yang Digunakan untuk
Serviks Score
0 1 2 3
Posisi serviks Posterior Tengah Anterior -
Konsistensi serviks Tebal Sedang Lunak -
Effesement 0-30% 40-50% 60-70% >=80%
Pembukaan Tertutup 1-2 cm 3-4 cm >=5 cm
Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya indikasi
dengan hanya menggunakan induksi.3
Sumber: Prawirohadjo. (2009). Ilmu Kebidanan. Yogyakarta: Yayasan Bina Pustaka
6
serviks mekanis. Metode farmakologis diantaranya yaitu Pemberian Oksitosin
Intravena, pemberian prostaglandin E2 (dinoprostone, cervidil, dan prepidil),
prostaglandin El (Misoprostol atau cytotec), dan donor nitrit oksida. Sedangkan yang
termasuk ke dalam metode mekanik yakni kateter trans servikal (kateter foley),
ekstra amnionik salin infusion (EASI), dilator servikal higroskopik, dan stripping
membran.3
7
lebih singkat, lebih sedikit induksi yang gagal, dan tidak ada kasus sepsis neonatus. Dan
dengan percobaan pada sampel yang berbeda, mereka yang mendapat regimen 6 mU/menit
memiliki durasi waktu persalinan yang lebih singkat, persalinan forseps yang lebih sedikit,
pelahiran caesar karena distosia yang lebih sedikit, dan menurunnya korioamnionitis
intrapartum atau sepsis neonatorum.3,12
Dengan demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan memberikan
regimen dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland
hospital penggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara
rutin telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University
Alabama memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan
setiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang
pertama tampaknya sangat berbeda, jika tidak ada aktivitas uterus, kedua regimen tersebut
mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam infus.3
Jika setelah mengikuti protokol tetap belum terbentuk pola kontraksi yang
baik dengan penggunaan konsentrasi oksitosin yang tinggi maka pada
multigravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan section caesar.
Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal, lahirkan
janin melalui sectio caesar. Dalam pemberian infus oksitosin, selama pemberian ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Observasi ibu selama mendapatkan infus oksitosin secara cermat.
b. Jika infus oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan
kecepatan infus yang sama sampai pelahiran.
c. Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri
d. Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 m1 (20 mIU/mL)
pada multigravida dan pada ibu dengan riwayat section caesar.
Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk
pola kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan
tersebut.
8
Dosis awal
Regimen Penaikan dosis (mU/menit) Interval (menit)
(mU/menit)
2 4,8,12,16,20,25,30 15
Tinggi 4 4 15
4,5 4,5 15-30
6a 6b 20-40c
a
Dosis awal 2 mU/menit digunakan di Brimingham Hospital University of Alabama dan dosis
awal 6 mU/menit digunakan di Parkland Hospital.
b
Dengan hiperstimulasi dan setelah infus oksitosin dihentikan, infus dimulai lagi dengan dosis
setengah dari dosis sebelumnya dan dinaikkan 3 mU/menit. cHiperstimulasi lebih sering pada
interval yang lebih pendek. Data dari Merrill dan Zlatnik (1999), Satin, dkk. (1992, 1994),
serta Xenakis, dkk. (1995).3
Tabel 2. Regimen oksitosin dosis rendah dan tinggi pada induksi persalinan
9
c. Kadar hemoglobin (Hb)
Induksi oksitosin akan lebih berhasil pada ibu dengan kadar Hb
normal (tidak anemia) pada trimester ketiga yaitu 10,5 g/dL
sehingga dapat terjadi keluaran induksi berupa persalinan secara
spontan. Sedangkan pada ibu dengan kadar Hb <10,5 atau disebut
juga keadaan anemia, dapat meningkatkan risiko gawat janin karena
hipoksia. Hipoksia merupakan keadaan patologis yang ditandai oleh
berkurangnya kadar oksigen dalam jaringan dan darah (asidemia)
yang disebabkan oleh rendahnya kadar Hb yang berfungsi sebagai
pengangkut oksigen dalam darah dan jaringan.15, 16
Selain itu ada beberapa faktor lain yang dapat
mempengaruhi induksi persalinan: yaitu posisi janin yang semakin
rendah, memungkinan keberhasilan induksi yang semakin besar
oleh karena terjadi penekanan pada pleksus Frankenhaouser;
penempatan presentasi kepala lebih membantu pembukaan
dibandingkan dengan presentasi bokong; kondisi serviks yang lunak
lebih berhasil dalam induksi dibandingkan dengan serviks kaku; dan
kehamilan yang mendekati aterm maka induksi persalinan akan
lebih berhasil.17
10
7. Riwayat kehamilan mati terdahulu,
8. Hipertiroidism,
9. Gravid yang tua (>35 tahun),
10. Penyakit ginjal kronis,
11. Gerak janin menurun,
12. Anemia berat pada ibu,
13. Pasien antepartum yang berisiko tinggi (ketuban pecah
dini, kelahiran prematur dan perdarahan).
Uji stres kontraksi (contraction stress test) merupakan uji
pemantauan kehidupan janin berdasarkan respon denyut jantung
janin terhadap kontraksi uterus. Karena adanya kontraksi uterus
menyebabkan oksigenasi ke janin memburuk. Saat tekanan cairan
amnion meningkat bersamaan dengan kontraksi uterus, tekanan
miometrium akan lebih tinggi daripada tekanan pembuluh-
pembuluh yang berjalan sepanjang otot uterus dan menyebabkan
pembuluh-pembuluh tersebut kolaps dan akhirnya mengisolasi
ruang antar vilus kemudian terjadi periode singkat gangguan
pertukaran oksigen, dan terdapat patologi uteroplasenta, sehingga
terjadi deselerasi lambat frekuensi denyut jantung janin. Merupakan
deselerasi yang dimulai terlambat dalam fase kontraksi, sampai pada
titik terendah setelah puncak kontraksi dan biasanya bertahan
melewati akhir kontraksi.3,12
Dilakukan induksi kontraksi dengan pemberian oksitosin
intravena, dan respons denyut jantung janin direkam menggunakan
pemantauan standar. Frekuensi denyut jantung janin dan kontraksi
uterus secara bersamaan direkam oleh suatu monitor eksternal.
Apabila terdapat paling sedikit tiga kontraksi spontan yang
berlangsung minimal 40 detik dalam 10 menit, stimulasi terhadap
uterus tidak lagi diperlukan. Apabila jumlah kontraksi kurang dari
tiga kali dalam 10 menit, dilakukan induksi dengan oksitosin atau
stimulasi puting payudara. Pemeriksaan umumnya diulang setiap
11
minggu, dan pemeriksa menyimpulkan bahwa hasil uji stress
kontraksi yang negatif (normal) dapat menggambarkan kesehatan
bayi. Salah satu kekurangan yang disebutkan adalah bahwa rata-rata
uji stress kontraksi memerlukan waktu 90 menit.12
Stimulasi puting payudara dapat digunakan untuk
menggantikan oksitosin sebagai pemicu kontraksi uterus. Salah satu
metode yang dianjurkan adalah bahwa wanita yang bersangkutan
mengusap salah satu puting payudara dibalik bajunya selama 2
menit atau sampai kontraksi dimulai. Ia diminta untuk mengulang
kembali setelah 5 menit apabila stimulasi pertama tidak memicu tiga
kontraksi dalam 10 menit. Keunggulan cara ini antara lain adalah
biaya yang lebih murah dan waktu pengujian yang lebih singkat.
Walaupun ada penelitian melaporkan bahwa stimulasi puting
payudara dapat menyebabkan hiperstimulasi uterus dan gawat janin
yang tidak dapat diduga, namun peneliti lain tidak menemukan
bahwa aktivitas uterus yang berlebihan akibat stimulasi pting
payudara membahayakan janin.12
Uji stress kontraksi diinterpretasikan berdasarkan ada dan
tidak adanya deselerasi lambat denyut jantung janin. Hasil dari uji
stress kontraksi dikategorikan sebagai berikut:3,12
a. Negatif: tidak ada deselerasi lambat atau deselerasi variabel
yang signifikan
b. Positif: deselerasi lambat mencapai 50% atau lebih dari
kontraksi (terjadi bila frekuensi kontraksi kurang dari 3 dalam
10 menit)
c. Equivocal suspicious: deselerasi lambat intermiten atau
deselerasi variabel yang signifikan.
d. Equivocal hyperstimulatori: deselerasi denyut jantung yang
terjadi saat terjadinya kontraksi yang lebih sering setiap menit
atau selama 90 detik
12
e. Tidak memuaskan: kurang dari 3 kontraksi dalam 10 menit atau
uninterpretable tracing.
13
obat 0,3 mg/jam (lebih lambat dari pada bentuk gel).3
Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan melintang pada
forniks posterior vagina. Pelumas harus digunakan sedikit, atau tidak sama
sekali, saat pemasukan. Pelumas yang berlebihan dapat menutupi dan
mencegah pelepasan dinoprostone. Setelah pemasukan, ibu harus tetap
berbaring setidaknya 2 jam. Obat ini kemudian dikeluarkan setelah 12 jam atau
ketika persalinan aktif mulai terjadi. Cervidil ini dapat dikeluarkan jika terjadi
hiperstimulasi. American College of Obstetricians and Gynecologists
merekomendasikan agar pemantauan janin secara elektronik digunakan selama
cervidil digunakan dan sekurang-kurangnya selama 15 menit setelah
dikeluarkan.3, 10
Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah
peningkatan aktivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists mendeskripsikannya sebagai berikut:
a. Takisistol uterus diartikan sebagai kontraksi dalam periode 10 menit.
b. Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal
yang berlangsung lebih lama dari 2 menit.
c. Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola
denyut jantung janin yang meresahkan.
Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin bisa
berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya persalinan
spontan, maka penggunaannya tidak direkomendasikan. Kontra indikasi untuk
agen prostaglandin secara umum meliputi asma, glaukoma, peningkatan
tekanan intraokular.3 ,1 0
14
University of Alabama.3, 10
Misoprostol oral maupun per vagina dapat digunakan untuk
pematangan serviks atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan adalah
25-50 pg dan ditempatkan di dalam forniks posterior vagina. Dosis 100 qg
misoprostol per oral atau 25 pg misoprostol per vagina memiliki manfaat yang
serupa dengan oksitosin intravena untuk induksi persalinan pada perempuan
saat atau mendekati cukup bulan, baik dengan ruptur membran dengan
kehamilan yang masih kurang bulan maupun serviks yang sudah matang.
Misoprostol sering dikaitkan dengan peningkatan angka hiperstimulasi, dan
dihubungkan dengan ruptur uterus pada wanita yang memiliki riwayat operasi
seksio sesaria.3,10
Selain itu induksi dengan PGE1, mungkin terbukti tidak efektif dan
memerlukan augmentasi lebih lanjut dengan oksitosin, dengan catatan jangan
berikan oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian misoprostol. Karena itu,
terdapat pertimbangan mengenai risiko, biaya, dan kemudahan pemberian
kedua obat, namun keduanya cocok untuk induksi persalinan. Pada augmentasi
persalinan, hasil dari penelitian awal menunjukkan bahwa misoprostol oral
dosis 75 pg yang diberikan dengan interval 4 jam untuk maksimum dua dosis
hasilnya aman dan efektif.3, 12
15
serviks, dan penambahan isosorbide mononitrate pada dinoprostone atau
misoprostol tidak meningkatkan pematangan serviks pada awal kehamilan
atau saat cukup bulan dan tidak mempersingkat waktu pelahiran
pervaginam.3
16
Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai berikut:3
a. Pasang spekulum pada vagina
b. Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik
dengan menggunakan cunam tampon.
c. Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum.
d. Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air.
e. Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina.
f. Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi
uterus atau maksimal 12 jam.
g. Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan
kemudian lanjutkan dengan infus oksitosin.
17
dengan infus oksitosin.3
18
sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan spontan selama 1 sampai 2 jam,
bahkan penelitian acak dari 209 perempuan yang menjalani induksi
persalinan baik itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm ataupun amniotomi
lanjut pada dilatasi 5 cm didapatkan awitan persalinan yang lebih singkat
yakni 4 jam.3,8 Namun ada komplikasi atau resiko yang dapat timbul setelah
dilakukan amniotomi yakni: sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali pusat, infeksi
(jika jangka waktu antara induksi- persalinan > 24 jam), perdarahan ringan,
perdarahan post partum (resiko relatif 2 kali dibandingkan dengan tanpa
induksi persalinan), hiperbilirubinemia neonatus (Bilirubin > 250 pmoL/L). 3,8
19
2
Evaluasi
Periksa kesejahteraan janin
1
Pasien hamil dengan indikasi untuk
induksi persalinan
Ya Apakah serviks
favorable untuk Tidak
induksi
persalinan
Pematangan serviks
a. Metode mekanik
(membrane sweep)
b. Metode farmakologi
INDUKSI PERSALINAN (Prostaglandin,
a. Metode mekanik Misoprostol)
(amniotomi)
b. Metode farmakologi
(oksitosin IV)
Gagal Induksi:
Apakah - Periksa kembali kondisi
persalinan Tidak ibu dan janin
maju? - Evaluasi kembali
indikasi & metode
induksi
- Percobaan induksi
kembali
- CS
Ya
Metode farmakologi:
- Dapat diulang Prostaglandin
(tab/gel) setelah 6-12 jam
- Oksitosin IV dipakai jika
Prostaglandin gagal
menginduksi kontraksi uterus,
namun serviks favorable
20
BAB III
KESIMPULAN
Induksi persalinan merupakan salah satu intervensi obstetris yang paling sering
diterapkan di seluruh dunia.2 Induksi merupakan stimulasi kontraksi sebelum onset
persalinan spontan, dengan atau tanpa ketuban pecah. Ketika serviks tertutup dan
tidak terbuka, induksi persalinan akan sering dimulai dengan pematangan serviks,
suatu proses yang umumnya menggunakan prostaglandin untuk melunakkan dan
membuka serviks. Augmentasi mengacu pada peningkatan kontraksi spontan yang
dianggap tidak memadai karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin.3
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk
menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi
sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gemelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar
klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa,hidrosefalus,
dan infeksi herpes genital aktif.3 Komplikasi dapat ditemukan antara lain: atonia
uteri, hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, ruptur uteri, solusio plasenta,
hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum,
kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan sesar pada induksi
elektif.3
Ada dua cara proses induksi. Secara farmakologis/medikamentosa, yaitu
pemberian Oksitosin Intravena, penggunaan prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin
E1 (PGE1), donor Nitrit Oksida, dan. Secara mekanis dengan kateter trans servikal
(Kateter Foley), dilator servikal higroskopik (batang laminaria), stripping membrane,
dan induksi amniotomi.
21
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Varney, Helen. 2004. Ilmu Kebidanan (Varney’s Midwife 3rd ed). Bandung :
Sekeloa Publisher
2. Gommers, J. S., Diederen, M., Wilkinson, C., Turnbull, D. & Mol, B. W. (2017). Risk
of Maternal, Fetal and Neonatal Complications Associated with the Use of the
Transcervical Balloon Catheter in Induction of Labour: A Systematic review. European
Journal of Obstetrics and Gynecology and Reproductive Biology, 218, 73-84
3. Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Gilstrap, L., &
Wenstrom, K. D. (2014). Pregnancy Hypertension. Dalam F. G. Cunningham, K. J.
Leveno, S. L. Bloom, J. C. Hauth, L. Gilstrap, & K. D. Wenstrom (Penyunt.),
Williams Obstetrics (24th Edition ed.). New York: The McGraw-Hill Companies.
4. World Health Organization. Maternal Mortality. In: Reproduction Health and
Research, editor. Geneva: World Health Organization; 2014
5. Bomba-opoń, D., Drews, K., Huras, H., Laudański, P., Paszkowski, T. P. & Wielgoś,
M. (2017). Polish Gynecological Society Recommendations for Labor Induction.
Ginekologia Polska, 88, 224-234
6. Christina A. Penfield DAW. Labor Induction Techniques: Which Is the Best? Obstetrics
and Gynecology Clinics of North America. 2017;Vo1ume 44, 2017 (Issue 4):567-82.
7. WHO. (2011). Who Recommendations for Induction of Labour, Geneva: World
Health Organization
8. WHO. (2014). Recommendations for Augmentation of Labour, Geneva: World
Health organization.
9. Sinclair, Constance (2010) Buku Saku Kebidanan. Meiliya, E. & Wahyuningsih,
E. eds. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Oxorn, H. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi Dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta :
Yayasan Essentia Medica.
11. Saifuddin, A. B. (2010). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
12. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta:
EGC; 2007: 450-55, 800-9
22
13. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo Edisi 4 Cetakan 2. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2009: 620-28, 685-95, 774-99.
14. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta:
EGC; 2004: 13-9, 300-2.
15. Zhang J, Branch DW, Ramirez MM, Laughon SK, Reddy U, Hoffman M, et al.
Oxytocin regimen for labor augmentation, labor progression, and perinatal
outcomes. Obstet Gynecol. 2011; 118(2):249-56.
16. Manuaba, IGB. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.
23