Anda di halaman 1dari 10

KEHAMILAN GEMELLI DENGAN KEMATIAN SATU JANIN

HIDROSEFALUS

(LAPORAN KASUS)

Bonifacius Bayu, John Wantania, Erna Suparman, Maimun Ihsan


Bagian / SMF Obstetri Ginekologi
FK Unsrat / BLU RSUP Prof. dr. R.D. Kandou
Manado

PENDAHULUAN
Kematian janin tunggal intrauterin selama trimester II dan III terjadi pada
kehamilan kembar sekitar 0,5-6,8% dan dapat menyebabkan konsekuensi buruk
pada kembarannya yang hidup, terutama pada kehamilan monokorionik.
Kematian janin kedua yang masih hidup, kerusakan saraf, dan kelahiran prematur
telah dilaporkan sebagai komplikasi potensial pada kehamilan ini.1 Hidrosefalus
sudah lama dikenal dengan insidensi sekitar 1 dari 1500 kelahiran. Hidrosefalus
adalah gangguan yang dinamis pada produksi, aliran dan atau resorbsi cairan
serebrospinal. Meskipun umumnya dianggap sebagai gangguan tunggal,
hidrosefalus adalah kumpulan dari gangguan heterogen yang kompleks dan
multifaktorial.2 Informasi mengenai terjadinya hidrosefalus pada kehamilan
kembar penting dalam menentukan signifikansi faktor lingkungan dan genetik
sebagai etiologi hidrosefalus kongenital serta menentukan manajemen tatalaksana
yang tepat.

LAPORAN KASUS
Seorang wanita Ny. ND, G4P3A0 33 tahun datang ke rumah sakit RSUD
Prof. dr. H. Aloei Saboe, Gorontalo pada tanggal 14 Desember 2016 pukul 22.17
dengan surat pengantar dari dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan tanggal
28 November 2016 dengan diagnosis G4P3A0 33 tahun hamil 34-35 minggu
belum inpartu, janin intra uterin gemelli I hidup letak sungsang, gemelli II fetal
death hidrosefalus letak kepala. Pasien direncanakan untuk dilakukan

1
pemeriksaan antenatal rutin dan NST serial di rumah sakit hingga kehamilan
aterm, namun pasien tidak datang memeriksakan diri.
Pasien menarche umur 12 tahun dengan siklus teratur dan lama haid 6-7
hari. Pasein menikah pada umur 24 tahun. Hari pertama haid terakhir 31 Maret
2016. Riwayat KB suntik dengan penggunaan terakhir bulan November 2015.
Pasien riwayat pemeriksaan antenatal 2 kali di dokter Spesialis Kebidanan dan
Kandungan. Pasien riwayat persalinan spontan sebanyak tiga kali. Persalinan
pertama pada tahun 2007, kehamilan aterm dengan BBL 3500 gram, di tolong
oleh dokter. Anak kedua lahir tahun 2010 kehamilan aterm dengan BBL 3400
gram, ditolong oleh dokter,. Sedangkan anak ketiga lahir tahun 2013, kehamilan
aterm dengan BBL 3700 gram, ditolong oleh bidan.
Pemeriksaan tanda vital didapatkan hasil tekanan darah 120/70 mmHg,
frekuensi nadi 88 kali/menit, suhu 36 oC dan frekuensi nafas 22 kali/menit. Pada
pemeriksaan obstetri didapatkan tinggi fundus uteri 42 cm dengan lingkar perut
108 cm. Janin gemelli I letak sungsang punggung di kanan dengan DJJ 138-150
kali/menit reguler, dan gemelli II letak kepala punggung di kiri dengan DJJ tidak
terdengar. His belum dirasakan. Pemeriksaan laboratorium darah yang dilakukan
pada tanggal 14 Desember 2016 didapatkan hasil haemoglobin 7,4 g/dl, leukosit
7.500/uL, trombosit 354.000/mm3, waktu perdarahan 2 menit 10 detik dan waktu
pembekuan 4 menit 16 detik. Pemeriksaan USG kesan: Hamil aterm gemelli I
hidup letak sungsang, gemelli II fetal death letak kepala (spalding sign positif).
Pemeriksaan NST pada janin I kesan NST kategori I (reaktif).

Pemeriksaan ANC terakhir pada tanggal 28 November 2016 di dokter


spesialis Kebidanan dan Kandungan direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
antenatal rutin dan NST serial di rumah sakit dan direncanakan terminasi
kehamilan pada usia kehamilan aterm. Pasien datang memeriksakan diri ke rumah
sakit pada tanggal 14 Desember 2016 dengan keluhan utama gerakan janin mulai
berkurang 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien dirawat untuk
dilakukan pemeriksaan dan persiapan tindakan seksio sesarea. Pada tanggal 15
Desember 2016 dilakukan terminasi kehamilan dengan seksio sesarea. Lahir Bayi
gemelli I laki-laki BBL 2700 gram, PBL 48 cm, AS 7-9. Bayi gemelli II laki-laki

2
BBL 2600 gram, PBL 46 cm, lingkar kepala 38 cm, meninggal dengan maserasi
grade II. Terdapat 1 plasenta, 1 korion, dan 2 amnion.

DISKUSI
Kehamilan multipel, dimana 98% dari kehamilan tersebut adalah
kehamilan gemelli, memiliki risiko kematian perinatal yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kehamilan tunggal. Tidak hanya risiko kematian salah satu
janin yang juga meningkat tetapi morbiditas perinatal secara keseluruhan,
termasuk cacat jangka panjang pada janin yang selamat juga meningkat.3
Insidensi kehamilan kembar bervariasi di berbagai belahan dunia. Insidensi
mencapai 26,0-40,2 per 1000 kelahiran terjadi di Nigeria dan hanya sebesar 6,0-
9,0 per 1000 kelahiran yang terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara.1
Hilangnya janin kembar selama trimester pertama sebenarnya bukan merupakan
kejadian yang jarang. Kehilangan salah satu janin kembar pada trimester pertama

3
tidak akan memunculkan akibat yang dapat mengganggu perkembangan janin
kembar lainnya yang masih hidup. Namun, kematian janin yang terjadi setelah
pertengahan kehamilan (usia kehamilan 17 minggu) dapat meningkatkan risiko
hambatan pertumbuhan (IUGR), persalinan prematur, preeklampsia, dan kematian
perinatal. Kematian salah satu janin kembar pada trimester kedua dan ketiga
kehamilan merupakan komplikasi obstetri yang jarang terjadi.2 Laporan kejadian
kematian janin tunggal dalam kehamilan kembar berkisar antara 0,5-6,8%.
Sebagian besar adalah kehamilan kembar monokorion dan dapat terjadi pada
setiap usia kehamilan.1 Penyebab kematian janin bervariasi seperti twin to twin
transfusion syndrome, insufisiensi plasenta, retardasi pertumbuhan intrauterine
terkait dengan preeklamsia, , terlilit atau terpuntirnya tali pusat, dan kelainan
kongenital.2
Kematian janin intrauterin menurut WHO memiliki definisi yaitu
kematian sebelum terjadinya ekspulsi atau ekstraksi dari produk konsepsi, tanpa
melihat usia kehamilan dan bukan merupakan akibat terminasi kehamilan yang
disengaja, kematian dibuktikan dengan tidak adanya bukti kehidupan seperti
detak jantung, denyut tali pusat, atau gerakan otot volunter.4 Risiko kematian
pada janin yang masih bertahan setelah usia kehamilan 20 minggu adalah 12%
pada kehamilan monokorion dan 4% pada kehamilan dikorion.5 Komplikasi yang
terkait dengan kematian janin itu adalah koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
pada 18 kasus (22,5%) diikuti oleh sepsis pada 8 kasus (10%), gagal ginjal akut
(GGA) pada 3 kasus (3,7%), angka kematian ibu pada 1 kasus (1,2%).4
Mekanisme yang memicu terjadinya DIC adalah adanya kelainan pada proses
adhesi dan agregasi platelet serta jalur intrinsik dan ekstrinsik kaskade koagulasi.
Proses kompensasi yang normal dapat berubah menjadi gangguan, menciptakan
suatu proses "lingkaran setan". Terjadinya DIC ini sederhananya adalah adanya
ketidakseimbangan antar proses kompensasi tersebut seperti ketidakseimbangan
deposisi fibrin dengan fibrinolisis, deplesi dengan replesi faktor koagulasi dan
trombosit, produksi dengan klirens fibrin, FDP dan produk lainnya dari koagulasi.
Pada IUFD, DIC terjadi akibat adanya retensi janin mati yang dapat memicu
perdarahan maternal abnormal. Kecuali janin mati dipertahankan selama tiga
minggu atau lebih, gangguan koagulasi secara klinis jarang terjadi. DIC yang

4
berhubungan dengan kematian janin merupakan suatu proses yang kronis dan
pasien mungkin berada pada kondisi dalam salah satu kondisi kompensasi atau
dekompensasi. Dalam jaringan janin intrauterin yang mati tersebut substansi
thromboplastin secara perlahan tapi terus menerus diserap, menghasilkan
gambaran DIC yang kronis, tetapi progresif. 6 Literatur lain menyebutkan bahwa
mekanisme koagulopati pada DIC ini adalah adanya aktivasi Faktor VII dari jalur
ekstrinsik sehingga terjadi pelepasan tromboplastin jaringan dari unit
fetoplasenta. Hubungan retensi janin mati yang berkepanjangan dan gangguan
koagulasi jarang terjadi di dunia kebidanan modern yang sebagian besar
disebabkan pengobatan awal yang agresif terhadap kematian janin intrauterin
(IUFD).7
DIC ditandai dengan aktivasi yang luas dari sistem pembekuan dan
fibrinolitik yang dihasilkan dalam keadaan hiperkoagulabilitas akibat konsumsi
faktor pembekuan dan trombosit. Selain presentasi klinis, diagnosis dikonfirmasi
dengan temuan hematologi yaitu dengan pemanjangan waktu PT-APTT, jumlah
trombosit yang rendah, fibrinogen rendah dan produk pemecahan fibrin yang
meningkat. Selama trimester ketiga kehamilan keadaan hiperkoagulabilitas
fisiologis telah dilaporkan terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan hormonal.
Ini menghasilkan keadaan yang rentan untuk pembekuan intravaskular. Beberapa
kondisi obstetri patologis dapat memodifikasi keseimbangan yang lemah ini
untuk dapat menyebabkan perdarahan dan gagal organ.8 Pasien mungkin memiliki
episode ekimosis berulang atau perdarahan ringan dan tromboflebitis di lokasi
yang tidak biasa. Tanda Trousseau dapat muncul sebagai bentuk DIC kronik.9
Menurut Bhattacharyya et al (2014) Terkait dengan besarnya ketidakseimbangan
hemostasis pada DIC, penyakit yang mendasari atau keduanya, temuan klinis
yang paling umum adalah mulai dari gejala ringan seperti perdarahan pada tempat
pungsi vena, peteki, dan ekimosis hingga perdarahan parah seperti perdarahan
saluran GI atau paru-paru atau ke dalam sistem saraf pusat. Keadaan
hiperkoagulabilitas dari DIC bermanifestasi sebagai oklusi pembuluh di
mikrosirkulasi dan mengakibatkan kegagalan organ. Rentang angka kematian dari
30 sampai >80% tergantung pada penyakit yang mendasari dan tingkat keparahan
dari DIC.7

5
Kematian janin kembar merupakan tantangan manajemen dokter dan
memiliki implikasi aspek medikolegal maka kehati-hatian dan perhitungan yang
matang harus diambil ketika membuat keputusan tentang apakah perlu atau tidak
untuk menerapkan manajemen konservatif.2 Ketidakseimbangan hemostatik
menjadi terbukti setelah 4 sampai 5 minggu terjadinya IUFD. Direkomendasikan
untuk dilakukannya pemeriksaan darah lengkap, PT, APTT, D-dimer, fibrinogen
dan FDP harus dilakukan dimana dua pemeriksaan terakhir tersebut merupakan
kelainan yang paling awal tampak. Risiko DIC pada ibu setelah kematian satu
janin pada kehamilan ganda dapat diabaikan. Sebuah profil koagulasi dasar akan
cukup dan selanjutnya surveilans laboratorium mungkin tidak perlu. Namun pada
kehamilan kembar monokorion terdapat risiko sebesar 12% berupa defisit
neurologis pada janin hidup. Hal ini sesuai dengan kondisi pasien dimana pada
pasien juga ditemukan monokorionik diamaniotik sehingga diperlukan
pemantauan lebih lanjut perkembangan bayi yang hidup. Pemberian injeksi
subkutan dosis rendah heparin merupakan pengobatan pilihan untuk DIC kronis
kelas rendah yang berhubungan dengan IUFD. Setelah koreksi
hipofibrinogenemia ke tingkat 200-300 mg/dl dan trombosit> 50.000 / mm3,
persalinan dapat segera direncanakan. Pada wanita yang sudah dalam persalinan,
heparin tidak disarankan dan cara terbaik untuk penggantian fibrinogen mungkin
dapat dicapai dengan kriopresipitat. 7
Tidak ada kontraindikasi khusus untuk persalinan pervaginam setelah
kematian dari salah satu janin kembar. Namun, situasi mungkin timbul kadang-
kadang di mana tindakan operasi dapat diindikasikan dan kejadiannya bervariasi
mulai dari 19-92% . Dalam sejumlah kasus yang dilaporkan, indikasi terbanyak
persalinan dengan operasi adalah adanya detak jantung janin yang ireguler dan
kelainan tali pusat (umumnya torsi tali pusat). Hal ini diamati pada beberapa janin
dan diduga telah menyebabkan hipoperfusi intrauterin yang mengakibatkan
kematian kedua kembar.2 Literatur lain menjelaskan adanya rekomendasi tentang
persalinan dan kelahiran harus memperhitungkan preferensi ibu serta kondisi
medis dan riwayat intrapartum sebelumnya. Sangat disarankan dilakukan
persalinan segera jika ada tanda-tanda sepsis, preeklamsia, solusio plasenta atau
selaput ketuban pecah, tetapi pendekatan yang lebih fleksibel dapat dibahas jika

6
faktor-faktor ini tidak ada. Ibu dengan membran utuh dan tidak ada bukti
laboratorium adanya DIC harus diedukasi bahwa jika mereka menunda persalinan
untuk waktu yang singkat, tidak akan timbul adanya bahaya tataupun komplikasi
medis yang parah dan mereka dapat menderita kecemasan berkepanjangan. Ibu
yang menunda persalinan untuk waktu yang lebih lama dari 48 jam disarankan
untuk menjalani pengujian DIC dua kali seminggu. Persalinan per vaginam
adalah cara yang direkomendasikan untuk kebanyakan wanita, tetapi tindakan
operasi terkadang perlu dipertimbangkan. Lebih dari 85% wanita dengan
persalinan IUFD spontan dalam waktu tiga minggu sejak tegaknya diagnosis. Ada
resiko sekitar 10% ibu dengan DIC dalam waktu 4 minggu dari tanggal kematian
janin dan meningkat setelahnya. Persalinan per vaginam dapat dicapai dalam
waktu 24 jam dari induksi persalinan untuk IUFD pada sekitar 90% wanita.
Persalinan per vaginam membawa keuntungan seperti pemulihan segera dan
kembali lebih cepat ke rumah. Tindakan operasi diindikasikan berdasarkan
kondisi ibu.10
Infeksi kronis dan tanpa gejala memainkan peran penting dalam
keguguran terkait dengan anomali kongenital dan kehamilan risiko tinggi. Infeksi
TORCH pada wanita risiko tinggi menunjukkan bahwa IgG Rubella dan IgG
CMV memiliki peran predisposisi untuk kehamilan risiko tinggi sementara
toksoplasmosis IgG memberikan perlindungan. Selain itu, toksoplasma dan
rubella yang menunjukkan peran predisposisi terhadap terjadinya anomali
kongenital. Pada infeksi toksooplasma baru pada trimester tiga tingkat transmisi
setinggi 90%. Trias klasik dari tanda-tanda sugestif toksoplasmosis kongenital
yaitu chorioretinitis, hidrosefalus, dan kalsifikasi intrakranial.12 Infeksi TORCH
pada ibu hamil ini merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan
kematian janin.11 Pada pasien ini tidak diketahui riwayat maupun hasil
pemeriksaan terhadap infeksi TORCH, meskipun kemungkinan terdapatnya
hidrosefalus kongenital juga tidak bisa dikesampingkan. Dengan adanya dua
penyulit pada kehamilan ini (fetal death dan hidrosefalus) diperlukan monitoring
lebih lanjut pada janin yang bertahan karena adanya risiko penyakit kongenital
yang belum diketahui maupun adanya sekuel neurologis seperti ensefalomalasia.13

7
KESIMPULAN
Pasien dengan salah satu janin fetal death, diperlukan pemantauan lanjut
terhadap bayi yang selamat karena kemungkinan terjadinya sekuel neurologis
yang signifikan atau kelainan neurologis setelah kematian janin tunggal terutama
pada kehamilan monokorionik.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Babah OA, Olamijulo A, Ayanbode OS, Sanusi MM. Conservative


management of single fetal death in twin pregnancy at a tertiary health
institution in southern Nigeria: a case report. IOSR-JDMS. 2014; 13(3)
Ver. IV: 79-83
2. Jain D, Purohit RC. Review of Twin Pregnancies with Single Fetal Death:
Management, Maternal and Fetal Outcome. J Obs and Gyn India. 2014;
64(3): 180183
3. Hilman SC, Moris RK, Kilby MD. Single twin demise: consequence for
survivors . Seminars in Fetal & Neonatal Medicine. 2010; 15: 319-326
4. Patel S, Thaker R, Shah P, Majumder S. Study Of Causes And
Complications Of Intra Uterine Fetal Death (IUFD). Int J Reprod
Contracept Obstet Gynecol. 2014 Dec; 3(4): 931-935
5. Umstad PM. Fetal Death Of A Twin : The Management Of Single Fetal
Death In A Twin Pregnancy Can Be Difficult For Any Obstetrician. 2012
Educational Seminar Evidenced-Based Updates In Clinical Obstetrics And
Gynaecology Practice. Lautoka, Fiji
6. Sultana S, Begum A, Khan MA. Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC) In Obstetric Practice. J Dhaka Med Coll. 2011; 20(1) : 68-74.
7. Bhattacharyya RK, Baruah R, Baruah D. Disseminated Intravascular
Coagulation In Obstetrics. J Obstet Gynaecol Barpeta. 2014; 1(2)
8. Schepers EM, Vlasveld TL, Snoep J, Loyson S, Boers KE. Excessive
Bleeding Due To Consumptive Coagulopathy After Delivery
Of An Intrauterine Fetal Death In A Patient Known With Multiple
Vascular Malformations; Mimicking The Kasabach-Merritt Syndrome.
Gynecol Obstet. 2013; 3: 184
9. Kumar R, Gupta V. Disseminated Intravascular Coagulation: Current
Concepts. Indian Journal Of Pediatrics. 2008; 75: 733-738.
10. Royal Collage Of Obstetrics And Gynaecologist. Late Intrauterine Fetal
Death And Stillbirth. 2010. GreenTop Guideline No. 55

9
11. Sunitha T et al. Risk factors for congenital anomalies in high risk
pregnant women: A large study from South India. Egypt J Med
Hum Genet. 2016; 18(1): 79-85
12. Jones J, Lopez A, Wilson M. Congenital Toxoplasmosis. Am Fam
Physician. 2003 May; 67(10): 2131-2138
13. Sato H et al. Encephalomalacia in surviving twin after single fetal death
diagnosed at 18 weeks of gestation in monochorionic twin pregnancy. Am
J Case Rep. 2013; 14:341-344

10

Anda mungkin juga menyukai