Anda di halaman 1dari 30

BAB II

PEMBAHASAN

A. Induksi Persalinan

Definisi Induksi Persalinan


Induksi persalinan adalah upaya melahirkan janin menjelang aterm dalam
keadaan belum ada tanda – tanda persalinan (belum inpartu) dengan kemungkinan
janin dapat hidup diluar kandungan (umur diatas 28 minggu) (Manuaba,
2008).Induksi persalinan dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai
terjadipersalinan spontan, dengan atau tanpa pecah ketuban. Augmentasi adalah
stimulasi kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena gagalnya
pembukaan serviks dan penurunan janin (Leveno, 2009). Induksi persalinan adalah
tindakan atau langkah untuk memulai persalinan yang sebelumnya belum terjadi,
bisa secara mekanik maupun kimiawi (farmakologik) (Nugroho, T,2012).

a. Indikasi Induksi Persalinan


Indikasi dilakukan induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini (KPD), kehamilan
lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi akibat
kehamilan, intrauterine fetal.
death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi
plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri
doppler (Cunningham 2013, Medforth, 2014).
Kontraindikasi Induksi Persalinan
Kontraindikasi induksi persalinan serupa dengan meniadakan
kemungkinan persalinan spontan. Kontra indikasi pada ibu
diantaranya riwayat seksio sesarea klasik atau bedah uterus dan
plasenta previa. Kontraindikasi pada ibu juga berkaitan dengan ukuran
ibu, anatomi panggul, dan beberapa penyakit medis sepertiinfeksi
herpes genital aktif. Sedangkan kontraindikasi pada janin antara lain
makrosomia, hidrosefalus, malpresentasi atau gawat janin
(Cunningham, 2013).
b. Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan
Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi
persalinan maupun setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat
ditemukan antara lain : atonia uteri, hiperstimulasi, fetal distress,
prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio plasenta, hiperbilirubinemia,
hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum, kelelahan
ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan kelahiran sesar
pada induksi elektif (Cunningham, 2013 ; Winkjosastro, 2008).
c. Persyaratan Induksi Persalinan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi
beberapa kondisi/persyaratan sebagai berikut:
1) Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
2) Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan
menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor bishop. Jika kondisi
tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan serviks
dengan menggunakan metode farmakologis atau dengan metode mekanis.
3) Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
4) Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul (Cunningham,
2013).
f. Metode Induksi
Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu metode
farmakologis dan mekanis. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk
mengeluarkan zat prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim
Berkontraksi.
1) Secara farmakologis
a) Prostaglandin E2 (PGE2)
PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan intravaginal
atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan secara lokal akan
menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan peningkatan kandungan air didalam
jaringan serviks. PGE2 memperlunak jaringan ikat serviks dan merelaksasikan
serabut otot serviks, sehingga mematangkan serviks. PGE2 ini pada umumnya
digunakan untuk mematangkan serviks pada wanita dengan nilai bishop <5 dan
digunakan untuk induksi persalinan pada wanita yang nilai bishopnya antara 5 –
7.Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah peningkatan
aktivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and Gynecologists
(1999). Mendeskripsikannya sebagai berikut:
(1) Takisistol uterus diartikan sebagai ≥ 6 kontraksi dalam periode 10 menit.
(2) Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang berlangsung lebih
lama dari 2 menit.
(3) Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola denyut jantung
janin yang meresahkan. Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah
bagi janin bisa berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya persalinan
spontan, maka penggunaannya tidak direkomendasikan. Kontra indikasi untuk agen
prostaglandin secara umum meliputi asma, glaucoma, peningkatan tekanan intra -
okular (Cunningham, 2013).
b) Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui
sebagai tablet 100 atau 200 μg. Obat ini telah digunakan
secara off label (luas) untuk pematangan servik prainduksi dan dapat diberikan per
oral atau per vagina. Tablet ini lebih murah daripada PGE2 dan stabil pada suhu
ruangan. Sekarang ini, prostaglandin E1 merupakan prostaglandin pilihan untuk
induksi persalinan atau aborsi pada Parkland Hospital dan Birmingham Hospital di
University of Alabama (Cunningham, 2013). Misoprostol oral maupun vagina dapat
digunakan untuk pematangan serviks atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan
25 – 50 μg dan ditempatkan di dalam forniks posterior vagina. 100 μg misoprostol
per oral atau 25 μg misoprostol pervagina memiliki manfaat yang serupa dengan
oksitosin intravena untuk induksi persalinan pada perempuan saat atau mendekati
cukup bulan, baik dengan rupture membrane kurang bulan maupun serviks yang
baik. Misoprostol dapat dikaitkan dengan peningkatan angka hiperstimulasi, dan
dihubungkan dengan rupture uterus pada wanita yang memiliki riwayat menjalani
seksio sesaria. Selain itu induksi dengan PGE1, mungkin terbukti tidak efektif dan
memerlukan augmentasi lebih lanjut dengan oksitosin, dengan catatan jangan
berikan oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian misoprostol. Karena itu, terdapat
pertimbangan mengenai risiko, biaya, dan kemudahan pemberian kedua obat,
namun keduanya cocok untuk induksi persalinan. Pada augmentasi persalinan, hasil
dari penelitian awal menunjukkan bahwa misoprostol oral 75 μg yang
diberikan dengan interval 4 jam untuk maksimum dua dosis,
aman dan efektif (Cunningham, 2013)
c) Pemberian oksitosin intravena
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktifitas uterus yang
cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Sejumlah
regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American
College of Obstetricians and Gynecologists (1999). Oksitosin diberikan dengan
menggunakan protokol dosis rendah (1 – 4 mU/menit) atau dosis tinggi
(6–40mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang digunakan di
Amerika Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis
tinggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan
augmentasi persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi
yang lain untuk memperpendek waktu persalinan (Cunningham,
2013). Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari
hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada
multipara. Untuk itu senantiasa lakukan observasi yang ketat pada ibu
yang mendapat oksitosin. Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada
dosis maksimal, lahirkanlah janin melalui sectio caesaria.
Dalam pemberian infuse oksitosin, selama pemberian ada
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan
yaitu:
(1) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara cermat.
(2) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan
kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran.
(3) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri.
(4) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20 IU/ml) pada
multigravida dan pada ibu dengan riwayat caesaria.
(5) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk pola
kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan tersebut.

Mekanisme kerja oksitosin akan menyebabkan kontraksi otot polos uterus


sehingga sering digunakan dalam dosis farmakologi untuk menginduksi
persalinan. Sebelum bayi lahir pada proses persalinan yang timbul spontan
ternyata rahim sangat peka terhadap oksitosin, dengan dosis beberapa miliunit
permenit intra vena, rahim yang hamil sudah berkontraksi demikian kuat
sehingga seakan-akan dapat membunuh janin yang ada didalamnya atau
merobek rahim itu sendiri atau kedua-duanya (Granner, 2008). Oksitosin
merangsang kontraktilitas uterus, oleh karena itu hormon ini digunakan untuk
memperlancar persalinan, tetapi tidak akan memulai persalinan kecuali
kehamilan sudah aterm. Didalam uterus terdapat reseptor oksitosin 100 kali
lebih banyak pada kehamilan aterm dibandingkan dengan kehamilan awal.
Jumlah estrogen yang meningkat pada kehamilan aterm dapat memperbesar
jumlah reseptor oksitosin. Begitu proses persalinan dimulai, serviks akan
berdilatasi sehingga memulai refleks neural yang menstimulasi pelepasan
oksitosin dan kontraksi uterus selanjutnya (Granner, 2008).
2) Secara mekanis
a) Kateter Foley
Kateter foley merupakan alternatif yang efektif
disamping pemberian prostaglandin untuk mematangkan serviks dan induksi
persalinan. Kateter foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis servikalis (os
seviks interna) di dalam segmen bawah uterus (dapat diisi sampai 100 ml).
Tekanan ke arah bawah yang diciptakan dengan menempelkan kateter pada
paha dapat menyebabkan pematangan serviks. Modifikasi cara ini, yang disebut
dengan extra-amnionic saline infusion (EASI), cara ini terdiridari infuse salin
kontinu melalui kateter ke dalam ruang antara os serviks interna dan membran
plasenta.

B. Pertolongan Persalinan Abnormal


1) Letak Sungsang

Definisi Persalinan Sungsang Persalinan sungsang dengan presentasi bokong


adalah dimana letak bayi sesuai dengan sumbu badan ibu, kepala berada
pada fundus uteri sedangkan bokong merupakan bagian terbawah atau di
daerah pintu atas panggul atau simfisis. (Sarwono, 2006; h. 520)

Persalinan sungsang dengan presentasi bokong adalah jika letak bayi


memanjang dengan bokong sebagai bagian yang terendah. (Sulaiman dkk,
2005; h. 132)

Persalinan sungsang dengan presentasi bokong adalah jika letak bayi


membujur dengan kepala janin di fundus uteri. (Manuaba, 2001; h. 237)

Persalinan sungsang dengan presentasi bokong adalah dimana letak janin


memanjang dengan kelainan dalam polaritas. Panggul janin merupakan kutub
bawah, penunjuknya adalah sacrum. (Harry & William, 2010; h. 195)
Persalinan sungsang dengan presentasi bokong adalah posisi dimana bayi di
dalam rahim berada dengan kepala di atas sehingga pada saat persalinan
normal, pantat atau kaki si bayi yang akan keluar terlebih dahulu
dibandingkan dengan kepala pada posisi normal. (Sujiyatini dkk, 2011; h. 119)

Dari beberapa definisi persalinan sungsang dengan presentasi bokong


menurut beberapa sumber di atas, dapat disimpukan bahwa persalinan
sungsang adalah persalinan dengan letak atau posisi bayi tidak normal yaitu
bokong berada di bagian bawah atau di daerah pintu atas panggul sedangkan
kepala berada pada fundus uteri. Menurut Sulaiman, Djamhoer, dan Firman
(2005; h. 132) klasifikasi
Letak sungsang dibagi menjadi :

1. Letak bokong murni : presentasi bokong murni, dalam bahasa inggris “


Frank breech “. Bokong saja yang menjadi bagian depan, Sedangkan
kedua tungkai lurus ke atas.
2. Letak bokong kaki : Presentasi bokong kaki di samping bokong teraba
kaki, dalam bahasa inggris “ Complete breech “. Disebut letak bokong kaki
sempurna atau tidak sempurna jika disamping bokong teraba kedua kaki
atau satu kaki saja.
3. Letak lutut Presentasi lutut
4. Letak kaki Presentasi kaki, dalam bahasa inggris kedua letak yang terakhir
ini disebut " Incomplete breech presentation ".
Penatalaksanaan Medis
a. Mekanisme
Mekanisme persalinan letak sungsang berlangsung dengan
persalinan bokong, persalinan bahu, dan persalinan kepala. Bokong
masuk pintu atas panggul dapat melintang atau miring mengikuti jalan
lahir dan melakukan putar paksi dalam sehingga trochanter depan berada
di bawah simpisis. Dengan trochanter depan sebagai hipomoklion, akan
lahir trochanter belakang, dan selanjutnya seluruh bokong lahir.
Sementara itu bahu memasuki jalan lahir dan mengikuti jalan lahir untuk
melakukan putar paksi dalam sehingga bahu depan berada di bawah
simpisis. Dengan bahu depan sebagai hipomoklion akan lahir bahu
belakang bersama dengan tangan belakang diikuti kelahiran bahu depan
dan tangan depan. Bersamaan dengan kelahiran bahu, kepala bayi
memasukki jalan lahir dapat melintang atau miring, serta melakukan
putar paksi dalam sehingga suboksiput berada dibawah simpisis.
Suboksiput menjadi hipomoklion, berturutturut akan lahir dagu, mulut,
hidung, muka, dan kepala seluruhnya (Manuaba, 2010; h. 492). Menurut
Wiknjosastro (2005; h. 104-105) prosedur pertolongan persalinan
spontan pada presentasi bokong dibagi menjadi beberapa
tahapan yaitu:
1) Tahap pertama : Fase lambat, yaitu mulai lahirnya bokong sampai
pusar (skapula depan). Disebut fase lambat karena fase ini hanya
untuk melahirkan bokong, yaitu bagian janin yang tidak
berbahaya.
2) Tahap kedua : Fase cepat, yaitu mulai dari lahirnya pusar sampai
lahirnya mulut. Disebut fase cepat karena pada fase ini kepala
janin mulai masuk pintu atas panggul, sehingga kemungkinan tali
pusat terjepit. Oleh karena itu fase ini harus segera diselesaikan
dan tali pusat segera dilonggarkan. Bila mulut sudah lahir, janin
dapat bernafas lewat mulut.
3) Tahap ketiga : Fase lambat, yaitu mulai lahirnya mulut sampai seluruh
kepala lahir. Disebut fase lambat karena kepala akan keluar dari ruangan
yang bertekanan tinggi (uterus), ke dunia luar yang tekanannya lebih
rendah, sehingga kepala harus dilahirkan secara perlahan-lahan untuk
menghindari terjadinya perdarahan intrakranial.

Tindakan pertolongan persalinan partus sungsang :


1) Lakukan periksa dalam untuk menilai besarnya pembukaan, selaput
ketuban, dan penurunan bokong serta kemungkinan adanya penyulit
2) Instruksikan pasien agar mengedan dengan benar selama ada his.
Mengedan dengan benar mulai dengan menarik nafas dalam, katupkan
mulut, upayakan tenaga mendorong ke abdomen dan anus. Kedua tangan
menarik lipat lutut, angkat kepala dan lihat ke pusar.
3) Pimpin berulang hingga bokong turun kedasar panggul. Lakukan
episiotomi saat bokong membuka vulva dan perinium sudah tipis
2) Ketuban Pecah Dini Tanpa Infeksi
Definisi Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu yaitu
bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari
5 cm (Pranoto,2012).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum
terdapat tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi
inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm diatas
37 minggu, sedangkan dibawah 36 minggu tidak terlalu banyak
(Manuaba, 2008).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum
waktunya melahirkan/ sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (fase
laten) yang terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum
waktunya melahirkan (Nugroho T, 2012).
Dari beberapa definisi tentang KPD, maka dapat disimpulkan
bahwa KPD adalah pecahnya selaput ketuban sebelum ada tandatanda
persalinan.
b. Penyebab Ketuban Pecah Dini
Menurut Manuaba (2008), sebab terjadinya KPD yaitu:
1) Serviks inkompeten
2) Overdistensi uterus, misalnya hidramnion, gemelli
3) keturunan :
a) Kelainan genetik
b) Rendahnya vitamin C dan ion Cu dalam serum
4) Kelainan letak, misalnya letak lintang atau letak sungsang
5) Grande multi para
6) Sefalopelvik disproporsi
7) Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban
b) Infeksi genetalia
c) Meningkatnya enzim proteolitik
8) Pendular abdomen

Penatalaksanaan KPD
Penatalaksaan KPD menurut Sujiyatini (2009) ada 2 macam yaitu
penatalaksanaan pada KPD pada umur kehamilan < 37 minggu dan pada
umur kehamilan > 37 minggu.
1) Penatalaksanaan pada kehamilan < 37 minggu
Penatalaksanaan KPD secara konservatif pada kehamilan < 37minggu
adalah dengan memberikan Antibiotik profilaksis setiap 6 jam, dan tidak
terlalu sering dilakukan pemeriksaan dalam, yang tujuannya adalah untuk
mencegah terjadinya infeksi. Pasien dirawat dirumah sakit tidur dalam
posisi trendelenberg.Pasien juga diberi obat tokolitik untuk menunda
proses persalinan. Selain diberikan antibiotik dan tokolitik, pasien dengan
KPD juga diberikan kortikosteroid untuk mematangkan paru janin.Selama
dalam pengelolaan konservatif maka harus dilakukan pemantauan,
seperti pemeriksaan leukosit setiap hari, observasi tanda-tanda vital
terutama temperatur setiap 4 jam sekali, dan observasi denyut jantung
janin. Jika selama pengelolaan konservatif pasien mengalami infeksi maka
segera lakukan penatalaksanaan KPD secara aktif yaitu dengan melakukan
induksi tanpa melihat umur kehamilan. Jika induksi tidak berhasil maka
dilakukan tindakan bedah sesar.
2) Penatalaksanaan pada kehamilan > 37 minggu
Jarak antara pecahnya ketuban dengan permulaan persalinan disebut
periode laten. Makin muda umur kehamilan maka makin lama periode
laten. Menurut Sujiyatini (2009) sekitar 70-80% kehamilan cukup bulan
akan terjadi persalinan dalam waktu 24 jam. Jika dalam 24 jam persalinan
belum berlangsung maka segera dilakukan penatalaksanaan aktif yaitu
dengan induksi. Pada penatalaksanan KPD dengan kehamilan aterm juga
diberikan antibiotik profilaksis. Antibiotik diberikan setelah 6
jam KPD dengan pertimbangan bahwa kemungkinan infeksi telah
terjadi dan biasanya proses persalinan akan berlangsung lebih dari
6 jam.
Persalinan Preterm.
Definisi Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada
umur kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.
Dan pada tahun 2005 himpunan kedokterana fetomaternal pagi
disemarang menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan
yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.

MASALAH PERSALINAN PRETERM.

Permasalahan yang terjadi pada persalinan preterm bukan saja pada


kematian perinatal, melainkan bayi prematur ini sering pula disertai
dengan kelainan, kelainan jangka pendek maupun jangka panjang.
Kelainan jangka pendek yang sering terjadi adalah RDS, pendarahan
intra/periventrikuler, displasi Bronco-Pulmonar, sepsi dan paten duktus
arteriosus. Dan adapun kelainan jangka panjang sering berupa kelainan
neurologik seperti serebral palsi, retinopati, retardasi mental, dapat
terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik.
Dan bila melihat permasalahan yang dapat terjadi pada bayi preterm,
maka menunda persalinan preterm, bila mungkin, masih tetap memberi
suatu keuntungan.

ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI.

Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patooganik


yang MPK mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya
kontraksi rahim dan perubahan serviks yaitu :

1. Aktivitas aksis kalenjer Hypotalamus-Hypofisis-advernal baik pada ibu


maupun pada janin, akibat setress pada ibu atau janin.
2. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistematik akibat infeksi asenden
dan traktus genitounaria atau infeksi sistemik.
3. Perdarahan desidua.
4. Peregangan uterus patologik.
5. Kelainan pada uterus atau serviks.

Kondisi selama kehamilan yang beresiko terjadi persalinan preterm


adalah :
~ Janin dan plasenta
- Perdarahan trimester awal.
- Perdarahan antepartem (plasenta previa, solusio plasenta, vasa
previa)
- KPD.
- Pertumbuhan janin terhambat.
- Cacat bawaan janin.
- Kehamilan ganda/gemeli.
- Polihidramnion.

~ Ibu
- Penyakit berat pada ibu.
- Diabetusmellitus/DM.
- Preklamsi/Hiperensi.
- Infeksi seluruh kemih/genital/intra uterin.
- Penyakit infeksi dengan demam.
- Setres pesikologik.
- Kelainan bentuk uterus/serviks
- Riwayat persalinan preterm/abortus berulang.
- Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)
- Pemakaian obat narkotik.
- Trauma.
- Perokok berat.
- Kelainan imunologi/kelainan resus.

Disamping faktor resiko diatas, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah
tingkat Sosio-ekonomi, riwayat lahir mati, dan kehamilan diliuar nikah,
merupakan langkah penting dalam pencegahan persalinan preterm,
adalah bagaimana mengidentifikasikan faktor resiko dan kemudian
memberikan perawat auteratal serta penyuluhan agar ibu dapat
mengurangi resiko tambahan.

DIAKNOSIS

Diaknosis ancaman persalinan pretem, yaitu :


- Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3
kali dalam waktu 10 menit.
- Adaya nyeri pada punggung bahwa (low back pain)
- Pendarahan menekan daerah serviks.
- Pemeriksaan serviks menunjukan telah terjadi pembukaan sedikitnya
2 cm, dan penipisan 50-80%.
- Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
- Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya
persalinan preterm.
- Terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah persalinan


preterm antara lain sbb :
- Hindari kehamilan pada ibu terlalu muda (kurang dari 17th).
- Hindari jarak kehamilan terlalu dekat.
- Menggunakan kesempatan periksa hamil dan memperoleh pelayanan
autenantal yang baik.
- Anjuran tidak untuk merokok dan mengkonsumsi obat terlarang
(narkotika).
- Hindari kerja berat dan cukup istirahat.
- Obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan preterm.
- Kenali dan obati infeksi genital/saluran kencing.
- Deteksi dan pengamanan faktor resiko terhadap persalinan preterm.

PENGELOLAAN
Pengelolaan persalinan preterm adalah apakah memamg persalinan
preterm. Mencari penyebab nya dan menilai kesejahteraan janin yang
dapat dilakukan secara klinis, laboratories, atau pun USG. Meliputi
pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, presentasi
dan keadaan janin atau kelainan kongenital. Dan bila proses ersalinan
kurang bulan masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah
dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu di pertimbangan :
- Seberapa besar kemampuan klinik untuk menjaga kehidupan bayi
preterm atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia
gestasi
- Bagaimana sebaiknya persalinan berakhir, pervaginaan atau bedah
sesar
- Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau
sindroma gawat nafas
- Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi
perawatan bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat
- Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm,
dengan rencana perawatan intensif Neonatus.

Ibu hamil yang mempunyai resiko terjadi persalinan preterm dan / atau
menunjukan tanda – tanda persalinan preterm peru dilakukan intervensi
untuk meningkatkan Neonatal Outcomes.

Manajemen persalinan preterm bergantung pada beberapa faktor :


 Keadaan selaput ketuban. Persalinan tidak dihambat bilamana selaput
ketuban sudah pecah
 Pembukaan servix . Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan
mencapai 4cm.
 Umur kehamilan. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah
persalinan makin diperlukan. Persalinan dapat dipertimbangkan
berlangsung bila berat janin lebih dari 2000 gram atau kehamilan lebih
dari 34 mg.
 Penyabab/komplikasi persalinan preterm
 Kemampuan Neonatal Intensive Care Facilities.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm,


terutama mencegah Morbiditas dan Mortalitas Neonatus Preterm
adalah :
- Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis.
- Pematangan surfaktan paru janin dengan Kortikoseteroid
- Pencegahan terhadap infeksi

Tokolisis
Aasan pemberian tokoisis pada persalinan preterm adalah :
- Mencegah Mortalitas dan Morbiditas pada bayi premature
- Memberi kesempatan bagi terapi Kortikoseteroid untuk mensetimulir
Surfaktan Paru janin
- Memberi kesempatan transfer Intrauterin pada fasilitas yang lebih
lengkap
- Optimalisasi personel.

Obat yang dapat digunakan sebagai Tokolisis adalah :


- Kalsium Antagonis : Nifedipine 10mg/Oral 2-3 kali/jam. Dianjurkan
tiap 8 jam sampai Kontraksi hilang.
- Obat B – mimetik : Seperti Terbutalin, Ritrodine, Isoksuprin, dan
Salbutamol.
- Sulfas Magnesikus dan Anti Protaglandin.
- Membatasi aktifitas atau tirah baring.

Kortikosteroid
Untuk pematangan surfaktan paru janin, menurunkan insidensi RDS,
mencegah perdarahan Intraventikuler yang akhirnya menurunkan
kematian Neonatus.
Obat yang diberikan adalah : Dexamethason atau Betametason -> Dan
tidak diulang karena resiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat.
Dosis tunggal Kortikosteroid adalah :
- Betametason = 2x12 mg. im. dengan jarak pemberian 24jam
- Dexametason = 4x6 mg. im. dengan jarak pemberian 12jam

Antibiotika
Diberikan bilamana kehamilan mengandung resiko terjadinya infeksi
seperti kasus KPD. Obat Oral yang dianjurkan adalah : Eritromisin 3x500
mg selama 3 hari. Obat lain adalah Ampisilin 3x500 mg selama 3 hari.
Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan pasien dengan KPD pada
preterm :
- Semua alat untuk periksa vagina harus steril.
- PD vagina tidak dianjurkan, tetapi dilakukan dengan Spekulum.
Penderita dengan KPD dilakukan pengakhiran persalinan pada usia
kehamilan 36mg. Bila ditemukan adanya bukti infeksi maka pengakhiran
persalinan dipercepat/di induksi, tanpa melihat usia kehamilan.

Persiapan persalinan preterm perlu dipertimbangkan berdasar :


o Usia Gestasi
- Usia Gestasi 34mg atau lebih. Dapat melahirkan ditingkat
dasar/primer mengingat Prognosis relatif baik
- Usia Gestasi kurang dari 34mg = harus dirujuk di Rumah Sakit dengan
fasilitas perawatan Neonatus yang memadai.
o Keadaan selaput ketuban
- Bila didapat KPD pada usia kehamilan kurang dari 28mg, maka
keluarga dipersilahkan untuk memilih cara pengelolaan setelah diberi
penjelasan.

Cara Persalinan
Bila janin presentasi kepala, maka diperbolehkan partus pervaginaan
dan dengan melihat berat janin. SC tidak memberi Prognosis yang lebih
baik bagi bayi, bahkan merugikan ibu. Prematuritas jangan dipakai untuk
indikasi melakukan SC. SC dilakukan atas indikasi Obstetri.
Pada kehamilan letak sungsang 30-34mg. SC dapat dipertimbagkan
setelah kehamilan lebih dari 34mg, persalinan dibiarkan terjadi karena
Morbiditas dianggap sama dengan kehamilan Aterm.

Perawatan Neonatus
Perawatan bayi preterm baru lahir perlu diperhatikan keadaan umum,
Biometri kemampuan bernafas, kelainan fisik, dan kemampuan minum.
Keadaan kritis pada bayi preterm adalah kedinginan, pernafasan yang
tidak Adekwat, atau Trauma. Suasana hangat diperlukan untuk mencegah
Hipotermia pada Neonatus (suhu badan dibawah 36,5 derajat C).
Bayi dirawat secara KANGURU untuk menghindari Hipotermia. Dibuat
perencanaan pengobatan dan asupan cairan. ASI diberikan lebih sering
bila memungkinkan diberikan Sonde atau dipasang Infus. Bayi baru lahir
harus mendapat nutrisi sesuai dengan kemampuan dan kondisi bayi.

Sebaiknya persalinan bayi terlalu muda atau terlalu kecil berlangsung


pada fasilitas yang memadai, seperti pelayanan Perinatal dengan personel
dan fasilitas yang Adekwat termasuk perawatan Perinatal Intensif.

Kehamilan postterm merupakan kehamilan yang terjadi hingga usia


gestasi 42 minggu atau lebih. Faktor-faktor yang terlibat dalam kehamilan
postterm belum dapat dijelaskan secara pasti, tetapi diduga berhubungan
dengan obesitas, faktor hormonal, dan faktor genetik.
Insidensi kehamilan postterm adalah 5-10% dari total seluruh kehamilan.
Kehamilan postterm berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dan
morbiditas pada janin dan neonatus seiring dengan meningkatnya
morbiditas pada ibu.Diagnosis kehamilan postterm menurut WHO
ditegakkan secara sederhana, yaitu dengan melihat usia kehamilan akhir
di atas 42 minggu dari hari pertama haid terakhir (HPHT) wanita dengan
siklus menstruasi 28 hari.

Aspek utama tata laksana pada kehamilan postterm adalah penentuan


apakah pasien dapat menjalani induksi persalinan atau langsung
memerlukan sectio caesarea. Keputusan ini didasari pada hasil antenatal
surveillance menggunakan ultrasonografi dan cardiotocography.[1-12].

C. KOLABORASI TINDAKAN OPERATIF KEBIDANAN


Ekstraksi Vakum adalah tindakan obstetrik operatif untuk:

- melahirkan kepala janin menggunakan “mangkuk hampa udara” yang


ditempelkan pada kulit kepala janin dari seorang parturien yang masih
memiliki tenaga meneran.
-mempercepat kala pengeluaran dengan senergik tenaga mengedan
ibu dan ekstraksi pada bayi.

Sebelum dilakukan Vakum Ektraksi, yang harus diinformasikan kepada ibu


dan keluarga :

- Perlu dilakukan tindakan dengan bantuan vakum ekstraksi untuk


melahirkan kepala janin.
-Kemungkinan dapat terjadi laserasi vagina pada ibu dan cedera kulit
pada kepala janin.
Setelah pasien mengerti serta menyetujui tindakan yang hendak
dilakukan, dokter yang
memberikan penjelasan, pasien dan salah satu wali pasien (suami/ ayah/
ibu/ saudara)
diminta untuk menandatangani formulir informed consent yang tersedia.

Persiapan Pasien

1. Cairan dan slang infus sudah terpasang. Perut bawah dan lipatan paha
sudah dibersihkan dengan air dan sabun.
2. Uji fungsi dan perlengkapan peralatan ekstraksi vakum.
3. Siapkan alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah.
4. Medikamentosa  Oksitosin, Ergometrin, Prolain 1
5. Larutan antiseptik (Povidon iodin 10%).
6. Oksigen dengan regulator.
7. Instrumen
-Set partus : 1 set
- Vakum ekstraktor: 1 setc.klem ovum: 2
-Cunam tampon: 1
-Tabung 5 ml dan jarum suntik no.23 ( sekali) : 2
- Spekulum sim‟s atau L dan kateter karet: 2 dan 1.

Persiapan Penolong
(Operatif dan Asisten)

1. Baju kamar tindakan, pelapis plastik, masker dan kacamata pelindung:


3 set
2. Sarung tangan DTT /steril : 4 pasang
3. Alas kaki ( sepatu boot/karet): 3 pasang
4. Instrumen
-Lampu sorot
-Monoaural stetoskop dan tensimeter: 1

Persiapan Bayi

-Penghisap lendir dan sudep/penekan


lidah: 1 set
- Kain penyeka muka dan badan: 2
- Meja bersih, kering dan hangat (untuk
tindakan):1
-Inkubator : 1 set
-Pemotong dan pengikat tali pusat:1 net
-Tabung 20 ml dan jarum suntik no.23/ insulin
(sekali pakai): 2
- Kateter intravena atau jarum kupu-kupu : 2
- Popok dan selimut
-Alat resusitasi.

Persiapan Bayi

2. Medikamentosa
- Larutan bikarbonas natrikis 7,5% atau 8,4%
-Nalokson (narkan) 0,01 mg/kg BB
- Epinefrin 0,01%
-Antibiotika
-Akubidestilata dan dekstose 10%
3. Oksigen dengan regulator.
Indikasi Penggunaan Normal

- When the cervix is fully dilated and the


head is 1/5 or 0/5 above the pelvic brim.
Ketika serviks sepenuhnya melebar dan
kepala adalah 1/5 atau 0/5 di atas
pinggir panggul.

Indikasi Ibu

1. When there is delay in the second stage of labour due to :


Ketika ada keterlambatan dalam kerja tahap kedua karena:
a) Maternal exhaustion with poor maternal effort : after a prolonged first
stage and/or for prolonged second stage of labour.
b) Failure of descent and rotation of the fetal head.
c) Abnormal maternal conditions : such as cardiac disease, respiratory
disease, gestational proteinuric hypertention, eclampsia, asthma.

2. When the patient has had a previous caesarean section, to reduce the
strain on the
scar.
Ketika pasien telah mendapat sebuah operasi caesar sebelumnya, untuk
mengurangi
ketegangan pada bekas luka.
3. For prolapse of the umbilical cord in the second stage of labour as an
emergency in
a satellite clinic (in a hospital, a caesarean section would be
performance).
Untuk prolaps tali pusat pada tahap kedua persalinan sebagai darurat di
sebuah klinik
satelit (di rumah sakit, operasi caesar akan dilakukan).

Indikasi Janin

1. Untuk malposisi janin, untuk melenturkan dan memutar kepala dalam


posisi
occipito-lateral atau occipito-posterior.
2. Ketika ada gawat janin ringan selama tahap kedua persalinan, dan janin
harus
dilahirkan dengan cepat.
3. Untuk kelahiran kembar kedua, ketika gawat janin terjadi dalam situasi
klinik.
Penggunaan Khusus

- Digunakan ketika ada keterlambatan


dalam tahap pertama karena inersia uteri
primer (inersia uteri hipotonik primer).
Kondisi dimana ekstraktor digunakan
adalah relatif cephalo-pelvic disproporsi
karena deflextion kepala janin,
menyebabkan diameter cephalic besar
untuk menempati bagian pinggir.

Syarat Ekstraksi Vakum

1. Janin diperkirakan dapat lahir pervaginam.


2. Pembukaan sekurang-kurangnya 7 cm (idealnya adalah dilatasi
lengkap).
3. Penurunan kepala > station 0 (idealnya adalah setinggi Hodge III +)
4. Selaput ketuban negatif.
5. Presentasi kepala.
6. Cukup bulan (tidak prematur).
7. Tidak ada kesempitan panggul.
8. Anak hidup dan tidak gawat janin.
9. Penurunan H III/III + (puskesmas H IV/ dasar panggul)
10. Konstraksi baik
11. Ibu kooperatif dan masih mampu untuk mengedan.
12. Harus ada kekuatan meneran ibu dan kontraksi uterus (HIS).
13. Kelahiran harus secara mekanis dapat dilaksanakan. Masuknya kepala
janin ke pelvis
ibu merupakan keharusan.
14. Bagian presentasi harus cocok. Tidak boleh ada ragu-ragu mengenai
posisi kepala
janin.
15. Harus ada kontraksi rahim.
16. Membran harus dipecah.
17. Anesthesia harus memadai.
18. Kandung kemih harus kosong. Ini dilakukan secara rutin untuk
mengalirkan kandung
kemih dengan kateterisasi urine sebelum kelahiran
19. Meski biasanya serviks harus sepenuhnya melebar vakum ekstraktor
dapat
digunakan, kadang-kadang pada wanita multipara yang lingkaran kecil
serviksnya
tetap, asalkan lingkaran itu akan bergeser dengan mudah pada kepala
janin.
20. Vakum ekstraktor dikontraindikasikan pada kelahiran kurang bulan,
karena
kepala janin dan kulit kepala cenderung cedera akibat mangkuk
penyedotan.
21. Vakum ekstraktor cocok untuk semua presentasi vertex, tetapi
berbeda
dengan cunam, ini jangan sekali-kali digunakan untuk kelahiran janin yang
berpresentasi wajah atau sungsang.

Keuntungan

- Dapat dipakai pada kedudukan kepala janin


yang masih tinggi dan dapat pula
dipergunakan sebagai tes untuk
membuktikan kemungkinan panggul sempit,
sehingga tindakan lain dapat dilakukan untuk
menolong persalinan selanjutnya.
- Kini vakum dibuat dari karet sehingga trauma
lebih minimal.
- Pemasangan mudah (mengurangi bahaya trauma
dan infeksi).
-Tidak diperlukan narcosis umum.
-Mangkuk tidak menambah besar ukuran kepala yang
harus melalui jalan lahir.
- Ekstraksi vakum dapat dipakai pada kepala yang
masih tinggi dan pembukaan serviks belum lengkap.
-Trauma pada kepala janin lebih ringan.
-Rotasi bisa sulit, sebagai sumbu traksi, tidak dapat
diberikan.
- Hal ini tidak dapat digunakan pada keadaan
malpresentasi.
-Persalinan memerlukan waktu yang lebih lama.
- Tenaga traksi tidak kuat.
- Pemeliharaannya lebih sukar, bagiannya banyak
terbuat dari karet, harus selalu kedap udara.

Maternal (ibu)
Complication and Dangers with The
Use of the Vacuum Extractor

1. Laserasi jalan lahir, seperti: vagina, serviks, uterus, labia, uretra.


2. Robekan perineum, sebagai tambahan atau sebagai perpanjangan dari
episiotomi.
3. Kerusakan kandung kemih.
4. Perdarahan postpartum: traumatis.
5. Infeksi pada jalan lahir.
6. Kegagalan atau ketidakmampuan untuk mengeluarkan janin.

Fetal (Janin)

1. A type of caput known as a vacuum ‘chignon’ forms where the cup was
placed, but this should subside after 12-24 hours.
2. Lecet, nekrosis, ulserasi kulit kepala janin, terjadi jika vakum terlalu
besar
atau lengkungan (cup) ditinggal terlalu lama.
4. Cephalhaematomas
5. Asfiksia setelah kelahiran
6. Iritasi cerebral
7. Patah tengkorak.
8. Perdarahan retina perinatal
9. Perdarahan intrakranial dari trauma saat persalinan dan / atau dari
asfiksia
10. Perdarahan subaponeurotic / subgaleal dapat terjadi dan dapat luas
11. Kadang-kadang ikterus akan terjadi ketika perdarahan antar-jaringan
telah
terjadi, karena penyerapan darah.

Prasyarat untuk Vakum Ekstraksi dan


Persiapan Pasien

1. Ekstraktor vakum harus digunakan oleh operator yang terampil.


2. Harus ada indikasi yang benar untuk menggunakan ekstraktor vakum.
3. Harus ada informed consent dan persetujuan tertulis. Tugas bidan
memberi dukungan moral
dan dorongan kepada wanita di seluruh prosedur
4. Sang ibu harus diberikan analgesia yang efektif.
5. Harus ada sumber yang cakap sehingga operator dapat melihat dengan
jelas.
6. Kandung kemih dan rektum harus kosong.
7. Sebuah episiotomi besar dilakukan.
8. Pasien dengan hati-hati ditempatkan ke posisi litotomi
9. Seorang asisten diperlukan untuk prosedur ini.
10. Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan teknik aseptik setiap
saat.
11. Harus ada fasilitas yang memadai siap untuk resusitasi bayi.
12. Semua alat dan instrumen harus dalam rangka kerja yang sempurna.
13. Catatan kasus secara hati-hati, setiap masalah dicatat
14. Palpasi abdomen dan pemeriksaan vagina harus dilakukan sebelum
ekstraksi vakum.

Perawatan Bayi Setelah Ekstraksi Vakum

-Mungkin ada kebutuhan untuk resusitasi bayi, jadi semua peralatan yang
diperlukan harus dalam keadaan baik.
-Bayi mungkin memiliki luka pada kulit kepala dan wajah, yang mungkin
memerlukan perhatian.
- Bayi diamati dalam perawatan tinggi setelah melahirkan dari
kemungkinan
cedera intra-kranial.

Alat Vakum Ekstraksi

- Terdiri dari sejumlah kesatuanalat perlengkapan


sehingga dapat menarik kepala janin.
- Diciptakan oleh Malstrom (1956) dari Swedia
- Konsep kerja alat ini adalah menghisap kulit
kepala janin, sehingga terjadi edema dan
memenuhi mangkok yang dipakai. Tarikan
dilakukan pada saat his dan mengejan sehingga
alat ini sebagai bantuan kekuatan dari luar.

Alat yang digunakan untuk vakum ekstraksi :

1. Mangkuk (cup)
2. Botol
3. Karet penghubung
4. Rantai penghubung antara mangkuk dengan
pemegang
5. Pemegang (extraction bandle)
6. Pompa penghisap (vacuum pump).

Rekomendasi Ekstraksi Vakum

- Klasifikasi persalinan dengan ekstraksi vakum hendaknya menggunakan


klasifikasi yang sama
dengan ekstraksi cunam.
-Indikasi dan kontraindikasi yang dipakai dalam ekstraksi cunam
hendaknya juga digunakan pada
ekstraksi vakum.
- Ekstraksi vakum tidak boleh dilakukan pada kepala yang masih belum
engage atau diatas station 0.
-Operator hendaknya memiliki pengalaman cukup dalam menggunakan
peralatan ekstraksi vakum.
- Operator harus segera menghentikan usaha persalinan pervaginam
dengan ekstraksi vakum bila
cawan penghisap terlepas sampai 3 kali saat melakukan traksi.

Kuretase.

Kuretase adalah tindakan medis untuk mengeluarkan jaringan dari dalam


rahim. Jaringan itu bisa berupa tumor, selaput rahim atau janin yang
dinyatakan tidak berkembang.
-Tindakan yang umumnya berlangsung selama 15-30 menit ini tergolong
tindakan berisiko tinggi.
-Tindakan kuretase paling sering dijumpai untuk terapi pada kasus
abortus.

Sebelum dilakukan tindakan kuretase, misalnya: ibu dengan abortus


insipiens, harus diinformasikan:

- Ibu mengalami abortus insipiens.


- Harus dilakukan tindakan kuretase untuk mengeluarkan jaringan dari
dalam rahim.
- Perdarahan mungkin terjadi dan bila hal ini terjadi maka akan dilakukan
pemberian
tambahan darah.
-Dapat terjadi gangguan haid setelah kuretase dilakukan.
- Memberikan dukungan emosional kepada pasien.
Persiapan Kolaborasi Operatif Kuretase
Sebelum dilakukan tindakan kuretase, misalnya: ibu dengan abortus
insipiens, harus diinformasikan:
menandatangani formulir informed consent yang tersedia paham dan
setuju.

TUJUAN KURETASE.

1. Sebagai terapi pada kasus-kasus abortus untuk membersihkan rahim


dan dinding rahim dari bendabenda atau jaringan yang tidak diharapkan
2. Sebagai penegakan diagnosismencari tahu gangguan yang terdapat
pada rahim apakah sejenis tumor atau gangguan lain.

Indikasi Kuretase

1. Abortus inkomplitus  untuk menghentikan perdarahan.


2. Abortus insipiens < 16 minggu
3. Blighted Ova: tidak ditemukan janin hanya plasenta, harus dikeluarkan
karena bisa jadi
keganasan.
4. Dead Conseptus: USG janin tidak berdenyut (apabila hamil 16-20
minggu diperlukan
obat perangsang untuk pengeluaran janin dilanjutkan kuretase.
5. Abortus Mola: tidak ditemukan janin yang tumbuh hanya plasenta
dengan gambaran
bergelembung seperti buah anggur.
6. Menometorarghia: perdarahan banyak dan panjang diantara siklus
haid.
7. Perdarahan pasca persalinan akibat sisa plasenta.
8. Adanya kecurigaan kelainan hiperplasi dari endometrium, endoserviks,
atau korpus
uteri.
9. Kuretase dilakukan dianjurkan apabila aspirasi vakum manual tidak
tersedia.
10. Diagnostik : jaringan endometrium untuk diagnostic histology.
11. Terapeutik : pengangkatan jaringan placenta setelah abortus atau
angkat polip uterus
atau endometrium hiperplastik.

Persiapan Pasien

1. Cairan dan selang infus sudah terpasang. Perut bawah dan lipat paha
sudah
dibersihkan dengan air dan sabun.
2. Uji fungsi dan kelengkapan peralatan resusitasi kardiopulmoner.
3. Siapkan kain alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah.
4. Medikamentosa
- Analgetika (pethidin 1- 2 mg/kg BB,ketamin HCL 0,5 mg/kg/BB, tremadol
1-2 mg/kg BB)
-Sedativa (diazepam 10 mg)
- Atropin sulfas 0,25- 0,50 mg/m.
5. Larutan antiseptik (povidon iodin 10%)
6. Oksigen dengan regulator
7. Instrumen
-Cunam tampon : 1
- Cunam peluru atau tenakulum : 1
-Klem ovum ( foerster/ fenster clamp) lurus dan lengkung : 2
-Sendok kuret : 1 set
- Penera kavum uteri (uterine sound/sondage) : 1
-Spekulum sim‟s atau L dan kateter karet : 2 dan 1
- Tabung 5 ml dan jarum suntik no.23 sekali pakai: 2
- Dilatator.

Persiapan Penolong
(Operator dan Asisten)
1. Baju kamar tindakan, apron, masker dan kacamata pelindung : 3 set
2. Sarung tangan DTT/steril : 4 pasang
3. Alas kaki ( sepatu boot/karet): 3 pasang
4. Instrumen
-Lampu sorot : 1
-Mangkok logam : 2
-Penampung logam dan jaringan : 1.

Persiapan Alat Kuretase.

1. Forsep cincin
2. Dilator serviks – hegar atau pratt
3. Sonde uterus
4. Kuret tajam
5. Tenakulum
6. Klem Jacob
7. Speculum dua katup (cocor bebek)
8. Retractor anterior
9. Forsep biopsy
10. Forsep tampon uterus
11. Forsep placenta
12. Forsep polip
13. Kanula kuretase aspirasi, saluran isap,
botol dan pompa hampa
14. Kuret endoserviks.

Pemeriksaan Sebelum Kuretase


-USG
- Mengukur Tensi dan Hb
- Memeriksa sistem pernafasan
- Mengatasi perdarahan
- Memastikan pasien dalam kondisi fit
- Puasa 8-12 jam >> dilakukan
Pembiusan.

Faktor Risiko
1. Usia ibu yang lanjut
2. Riwayat obstetri/ginekologi yang kurang baik
3. Riwayat infertilitas
4. Adanya kelainan/penyakit yang menyertai kehamilan
5. Berbagai macam infeksi
6. Paparan dengan berbagai macam zat kimia
7. Trauma abdomen/pelvis pada trimester pertama
8. Kelainan kromosom.
9.Pendarahan
10.Pengerokan yang terlalu dalam akan meninggalkan cerukan atau
lubang di
dinding rahim
11.Gangguan haid
12.Infeksi.

Asuhan Kebidanan untuk Kuretase


1. S
: Ibu mengatakan baru dilakukan kuretase dan merasa nyeri
di daerah simpisis, pusing mual.
1. O
: Tensi 100/70 Suhu 37.9˚C, Nadi 100x/m, Pernafasan 25x/m,
perdarahan 100 cc
1. A
: Post Kuretase dengan febris, potensial terjadi infeksi
2. P
: Observasi KU, beri banyak minum, ukur suhu tiap 4 jam, observasi
perdarahan, TTV mobilisasi, konsultasi dokter untuk infeksi, TKTP.

SEKSIO SASAREA
Seksio Sesarea Adalah prosedur bedah yang dilakukan untuk tujuan
pengeluaran janin yang layak melalui insisi pada dinding perut dan rahim.
Operasi dapat dilakukan baik di bawah anestesi umum atau di bawah
anestesi epidural (dalam kebanyakan kasus, tujuan dari prosedur ini
adalah untuk mendapatkan bayi hidup, dalam kondisi terbaik mungkin
dalam situasi) . Bidan harus, oleh karena itu, pastikan bahwa pasien dan
keluarganyasecara memadai ditenangkan, didukung dan dibantu setelah
kelahiran,
terutama jika ini tidak mungkin mendadak sebelum operasi caesar .

Informed Consent
Contoh Diagnosa :
G IV P III A0 gravid 38 minggu 4 hari inpartu kala II suspek anencephalus.
Pemeriksaan penunjang :
Hasil pemeriksaan USG : Gravid tunggal hidup intrauterin, presentasi
kepala, anencephalus,
punggung kiri, djj 132 x/menit, plasenta di fuundus posterior, AFI kesan
cukup (6,2 cm). EFW ≈
3605 gr. GA ≈ 38 minggu 6 hari.
Setelah dievaluasi selama 60 menit, ternyata tidak didapatkan kemajuan
persalinan
dan terdapat gawat janin, sehingga diupayakan jalan operasi
perabdominam.

Informasi yang diberikan kepada ibu dan keluarga mencakup :

- Bayi yang dikandung ternyata mempunyai cacat bawaan yaitu kepala


tidak
berkembang.
-Proses persalinan ibu tidak mengalami kemajuan, dimana dicurigai
bahwa kepala bayi
yang tidak berkembang menyebabkan volume kepala berkurang.
- Perlu dilakukan tindakan operasi caesar untuk menolong ibu dan bayi.
- Kemungkinan hidup bayi adalah kecil, atau mungkin masih hidup setelah
di luar
kandungan tetapi biasanya tidak bertahan lama.

Kemungkinan bisa terjadi perlukaan ureter, kandung kemih, pembuluh


darah dan jaringan lainnya :
- Alergi terhadap obat/ transfusi yang diberikan kepada pasien baik obat
untuk pembiusan maupun untuk pengobatan terhadap penyakit yang
diderita oleh pasien.
-Perdarahan karena gerak otot yang jelek juga bisa terjadi, dan bila hal ini
terjadi maka
akan dilakukan pengangkatan rahim dan pemberian tambahan
darah.Persiapan Kolaborasi Operatif Seksio Sesarea menandatangani
formulir informed consent yang tersedia Paham dan setuju.

Indikasi Umum
1. Placenta previa terutama placenta previa totalis dan sub totalis.
2. Tidak memungkinkan persalinan per vaginam
3. Induksi persalinan gagal
4. Maternal distress atau fetal distress
5. Panggul sempit
6. Pada anak hidup dilakukan SC kalau CV kurang dari 8,5 cm. Pada anak
mati terpaksa dilakukan
SC kalau CV kurang dari 6 cm. Kalau CV Antara 8,5 dan 10 cm dilakukan
persalinan percobaan
dan kalau persalinan percobaan tidak berhasil dilakukan SC ( SC
sekunder).
7. SC ke III
8. Letak lintang
9. Tumor yang menghalangi jalan lahir
10. Pada kehamilan setelah operasi vaginal, misal fistel vesico vaginal
atau Manchester operation
11. Keadaaan-keadaan dimana usaha untuk melahirkan anak per vaginam
gagal.

Indikasi Khusus
Indikasi ibu:
1. Disproporsi fetopelvik
2. Malposisi dan malpresentasi
3. Disfungsi uterus
4. Distosia jaringan lunak
5. NeoplasmaPersalinan yang tidak dapat maju
6. Pembedahan sebelumnya pada uterus, seperti :
Seksio sesarea, Histerotomi, Miomektomi
ekspansif, jahitan luka
7. Perdarahan, seperti : Plasenta
previa, Abruptio plasenta
8. Toxemia gravidarum
9. Preeklampsia dan eklampsia
10. Hipertensi essensial
11. Nefritis kronis

Indikasi janin:
1. Gawat janin
2. Cacat atau kematian janin sebelumnya
3. Prolapsus funiculus umbilicalis
4. Insufisiensi plasenta
5. Diabetes maternal
6. Inkompatibilitas rhesus
7. Postmortem sesarea
8. Infeksi virus herpes pada traktus genitalis
Lain lain :
1. Primigravida usia lanjut
2. Bekas jahitan pada vagina
3. Anomali uteri kongenital
4. Riwayat obsterik yang jelek
5. Forceps yang gagal.

Kontraindikasi
-Janin sudah mati atau berada dalam keadaan jelek sehingga
kemungkinan hidup kecil.
- Jalan lahir ibu mengalami infeksi yang luas dokter kurang
berpengalaman, keadaan tidak menguntungkan bagi pembedahan dan
bila tidak tersedia
tenaga asisten yang memadai.

Keuntungan dan Kerugian


- Keuntungan
1. Aman
2. Intelektual bayi yang dilahirkan lebih terjamin
3. Hasilnya baik jika dikerjakan sesuai waktu dan indikasinya
- Kerugian
1. Seksio sesarea adalah prosedur operasi besar dan menyebabkan
morbiditas yang lebih tinggi.
2. Kehamilan berikutnya sebagian besar ditangani dengan seksio sesarea
ulangan. Secara tidak langsung ini akan membatasi jumlah anak.

Bahaya Seksio sesarea


- Peritonitis : ialah kalau isi Rahim sudah dihinggapi infeksi.
Untukmenjauhkan infeksi Rahim maka penderita calon SC sedikit mungkin
ditoucher.
- Rupture uteri pada kehamilan yang berikut. Supaya lukadinding Rahim
ada kesempatan untuk kuat kembali, dinasihatkan supaya pasien tidak
hamil kembali selama 3 tahun.

Persiapan
1. Periksa ulang DJJ & presentasi janin
2. Tindakan pencegahan infeksi
3. Kaji ulang prinsip dasar perawatan operatif
4. Pasang infus
5. Anestesia: dapat anestesia lokal, ketamin, anestesia spinal, atau
anestesia
umum.
6. Insisi mediana (vertikal/ klasik) dianjurkan pada:
- Perlekatan SBR pada bekas Seksio sesarea
-Letak lintang
-Kembar siam
-Tumor (mioma uteri) di SBR
-Hipervaskularisasi SBR (pada plasenta previa)
-Karsinoma serviks
7. Jika kepala bayi telah masuk panggul, lakukan tindakan antisepsis pada
vagina.

Persiapan Perawatan pada Seksio Sesarea


1. Persiapan Kamar Bedah:
- Kamar bedah telah bersih selalu harus dibersihkan segera setelah
dipakai
-Peralatan dan kain laken telah ada termasuk obat-obatan dan oksigen
- Alat resusitasi ada dan berfungsi
- Baju cuup tersedia untuk tim operasi
- Kain/linen cukup
-Kasa, sarung tangan dan instrumen cukup
Persiapan Perawatan pada Seksio Sesarea
2. Persiapan pasien
-Jelaskan kepada pasien prosedur operasi kepada pasien, namun bila tak
sadar jelaskankepada keluarganya.
- Isilah formulir ijin operasi.
-Berilah dukungan moril agar pasien tidak takut menghadapi
pembedahan.
-Lapangan operasi dipersiapkan dengan tindakan antiseptik. Kulit
abdomen dibersihkan
dengan bilasan air dan sabun, rambut pubis hanya digunting bila
menggangu lapangan operasi.

Bila terdapat infeksi intrapartum dan ketuban pecah lama, vagina


dibersihkan dengan cairan betadine.
- Komplikasi ibu dan kondisi janin merupakan pertimbangan jenis operasi
dan pemberian cairan.
- Pemeriksaan rutin terhadap fisik dan khusus dilakukan untuk
merencanakan secara cermat
jenis anestesi, lama pembedahan, kesulitan/komplikasi dan teknik
pembedahan.
- Pembedahan harus memeriksa sendiri serta menuliskan rencana
pembedahan pada rekam
medik.

Pemeriksaan fisik umum meliputi:


Keadaan umum (kesadaran, gizi), paru, jantung,
abdomen (hati, limpa) dan anggota gerak. Cacat juga tensi, nadi, nafas,
dan suhu.
Pada pemeriksaan obstetrik tentukan keadaan janin (letak, besar,
tunggal/ gemelli).
-Perlu diketahui jenis operasi yang pernah dijalani, termasuk
kesulitan/komplikasi (untuk
meramalkan perlekatan dan kelainan organ, misalnya kanker).
-Dari anamnesis perlu diketahui penyakit yang pernah diderita
- Laboratorium darah dan urine
- Pemeriksaan khusus dan pemeriksaan penunjang USG.

3. Pembedahan Akut:
Dianjurkan untuk melakukan anastesi regional:
spinal atau epidural. Padakeadaan mendesak anastesi lokal dapat
dipertimbangkan; misalnya pada
keadaan gawat ibu (edema paru, gagal ginjal) dan gawat janin.Sebaiknya
diberi antasid (Na sitrat 0,3% - 30 ml atau magnesium trisilikat 300 mg)
sebelum pembedahan, sebagai profilaksi bila terjadi aspirasi.

4. Benang:
Benang yang dianjurkan untuk jahitan uterus ialah monofilamen atau
catgut kromik.
1. Benang yang sama dapat digunakan untuk fascia.
- Untuk subkutis/kulit dapat dipakai benang 3-0 (subkutiler) bila tidak ada
dapat
digunakan benang sutra.
2.Rencana Pembedahan
3.Antibiotik
4.Infus
5. Kateterisasi
6. Personalia.

D. Penatalaksanaan Ruptur Perineum Derajat 3&4

Insiden

Sebanyak 85% dari perempuan yang melahirkan pervaginam akan mengalami trauma pada
perineum(1) dan 3-12% akan mengenai otot sfingter ani. Robekan pada otot sfingter ani akan
menyebabkan gangguan pada otot2 dasar panggul di kemudian hari.

Faktor risiko perlukaan jalan lahir :

Kepala janin terlalu cepat lahir persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya perineum kaku /
banyak jaringan parut persalinan distosia bahu partus pervaginam dengan tindakan.

Anatomi Perineum

Perineum yang kita kenal sehari-hari adalah badan perineum yaitu daerah diantara vagina dan anus
yang terbentuk dari gabungan otot-otot membrana perineal yaitu otot bulbo kavernosus, otot
tranversus perinealis superfisialis dan profundus, disertai otot pubo rektalis yang merupakan bagian
dari otot levator ani dan otot sfingter ani eksterna. Daerah ini mendapat suplai darah dari cabang-
cabang arteri pudenda interna dan mendapatkan persarafan sensoris dan motoris dari nervus
pudendus.

Pada wanita normal panjang badan perineum ini sekitar 3-5 cm, dan akan berkurang pada kondisi
prolaps organ pelvik yang lanjut atau pada keadaan terjadinya robekan perineum pasca persalinan
yang tidak dikelola dengan baik.

Pada kondisi terjadinya trauma perineum yang besar yang menyebabkan robeknya atau disrupsi
otot-otot yang membentuk perineum terutama levator ani dan sfingter ani maka akan terjadi
gangguan defekasi berupa inkontinensia fekal yang derajat beratnya bervariasi. Selain itu dapat pula
terjadi gangguan seksual, keputihan dan infeksi saluran kemih yang berulang.
Diagnosis

Pada setiap persalinan terutama persalinan yang berrisiko terjadi robekan perineum yang berat
seperti persalinan dengan bantuan alat (ekstraksi vacuum dan forceps), oksiput posterior, distosia
bahu, bayi besar, dan episiotomi mediana, kita harus waspada akan terjadinya robekan perineum
derajat III-IV. Oleh karena itu pasca persalinan harus dinilai benar robekan perineum yang terjadi.
Tindakan colok dubur dan pemaparan yang baik sangat membantu untuk mendiagnosis derajat
robekan perineum yang terjadi. Sultan dan kawan-kawan melaporkan terjadinya defek pada sfingter
ani eksterna maupun interna berkisar 15-44% pada evaluasi USG endoanal pasien-pasien pasca
perbaikan rupture perineum derajat III dan IV. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah
diagnosis substandar dalam penentuan derajat robekan sebelum perbaikan.

Klasifikasi Derajat Robekan Perineum

Derajat robekan perineum akut pasca persalinan menurut Sultan dibagi menjadi 4 derajat, yaitu :

Derajat I : robekan hanya mengenai mukosa vagina dan kulit perineum

Derajat II : robekan yang lebih dalam mencapai otot-otot perineum tetapi tidak melibatkan
otot-otot sfingter ani

Derajat III : robekan sudah melibatkan otot sfingter ani, dibagi menjadi 3 sub grup, yaitu

III a :robekan mengenai < 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna

III b :robekan mengenai > 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna

III c :robekan sampai mengenai otot sfingter ani interna

Derajat IV : robekan sampai ke mukosa anus

Button hole tear : Sfingter intak namun mukosa anus terkena

Prinsip Repair Perineum ( Junizaf )

 Jahit secepat mungkin à mengurangi risiko perdarahan dan infeksi


 Periksa peralatan dan hitung kassa sebelum dan sesudah tindakan
 Beri penerangan/lampu yang baik à identifikasi dan melihat jaringan yang terlibat
 Tanyakan pada orang yang lebih berpengalaman bila ragu dalam menentukan struktur
jaringan yang terlibat
 Trauma yang sulit lebih baik dilakukan oleh operator yang lebih berpengalaman dalam
anestesi umum maupun regional di kamar operasi , dan pasang kateter urin 24 jam pasca
tindakan
 Lakukan penjahitan sesuai anatomi awal untuk mendapatkan hasil kosmetik yang baik
 Lakukan pemeriksaan rektal touche setelah penjahitan selesai untuk memastikan tidak ada
materi benang yang tidak sengaja masuk pada mukosa rektum
 Setelah selesai melakukan repair, informasikan pada pasien mengenai luka dan
perluasannya, diskusikan tentang penghilang nyeri, diet, hygiene dan pentingnya latihan
untuk mendukung pelvis.

Ruptur Perineum Gr 4

Repair mukosa rektum dengan jahitan satu-satu atau continues, cara tradisional benang
(poliglaktin910) tidak menembus mukosa rektum untuk mencegah fistula.
Dilakukan identifikasi otot sfingter ani eksterna dan interna, dan jahitan dengan benang yang
lebih kuat (PDS 2.0)

Metode end to end


Metode overlapping

Perawatan Pasca Penjahitan Derajat Tinggi ( Junizaf )

 Pasang Foley Catheter menetap minimal 1 x 24 jam karena nyeri perineum dan periuretra
yang bengkak dapat menimbulkan retensio urine
 Pemberian Analgetik adekuat (nonsteroid anti inflamatory à ibuprofen). Kompres es dapat
digunakan untuk mengurangi edema dan nyeri postpartum.

Perawatan Pasca Penjahitan :

 Pemberian antibiotik spektrum luas (Cefuroxim 1,5gr) dan metronidazol à evidence level IV

– Antibiotik untuk cegah infeksi yang resiko tinggi inkontinensia fekal dan fistula rektovaginal

– Metronidazol untuk melindungi kontaminasi kuman anaerob dari anus

Pemberian Laksatif atau Pencahar selama 10-14 hari àevidence level IV

– Gunanya untuk mencegah terjadinya konstipasi sehingga terlepasnya jahitan

 Program rehabilitasi otot dasar panggul dilakukan setelah 3 hari pasca penjahitan (individual
sesuai rekomendasi fisioterapis).
 Rujuk ke ahlinya (bedah digestif/uroginekologis) untuk evaluasi setelah 3 bulan pasca
melahirkan (apakah perlu pengobatan lanjutan/perbaikan sfingter)
 Penjelasan pada pasien dan tidak dipulangkan sebelum aktivitas BAB kembali normal
 Penjelasan detail tentang trauma dan bila ada masalah seperti infeksi atau kontrol BAB yang
sulit —–segera kontrol
 Penjelasan pada pasien dan tidak dipulangkan sebelum aktivitas BAB kembali normal
 Penjelasan detail tentang trauma dan bila ada masalah seperti infeksi atau kontrol BAB yang
sulit —–segera kontrol
 Setelah 12 minggu perlu dinilai integritas sfingter ani dengan alat ultrasound endoanal dan
manometri anal

Anda mungkin juga menyukai