Anda di halaman 1dari 56

Disusunoleh :

Junarto Butarbutar, S.Ked

Pembimbing:
dr. Freddy Naiborhu, Sp.An
PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini atau premature rupture of


membrans (PROM) merupakan pecahnya selaput
ketuban secara spontan pada saat belum
menunjukkan tanda-tanda persalinan/inpartu
(keadaan kontraksi uterus teratur dan menimbulkan
nyeri yang menyebabkan terjadinya efficement atau
dilatasi serviks) atau bila satu jam kemudian tidak
timbul tanda-tanda awal persalinan atau secara klinis
bila ditemukan pembukaan kurang dari 3 cm pada
primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida.
Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja
baik pada kehamilan aterm maupun preterm.
Gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor
predisposisi adanya gangguan pada struktur kolagen
yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini.
Mikronutrien lain yang diketahui berhubungan
dengan kejadian ketuban pecah dini adalah asam
askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur
triple helix dari kolagen. Zat tersebut kadarnya
didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban
pecah dini. Pada wanita perokok ditemukan kadar
asam askorbat yang rendah.
 Pada pasien ini, diagnosisnya ialah G4P3A0
Gravida 39-40 minggu + Ketuban Pecah
Dini dan direncanakan dilakukan Sectio
Caesarea. Pada pasien, dilakukan tindakan
SC atas indikasi KPD dengan anestesi
regional (subaraknoid blok).
TINJAUAN PUSTAKA
 Dari seluruh kehamilan prevalensi KPD berkisar
antara 3-18%. Saat aterm, 8-10 % wanita hamil datang
dengan KPD dan 30-40% dari kasus KPD merupakan
kehamilan preterm atau sekitar 1,7% dari seluruh
kehamilan.
 Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan
oleh melemahnya selaput ketuban karena kontraksi
uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini
dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan
degradasi komponen matriks ekstraseluler pada
selaput ketuban.
 Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera
mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi
bedah caesar, dan kalau menunggu persalinan
spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis.
Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-
cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi
RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan
maksud untuk memberi waktu pematangan paru,
harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang
akan memperjelek prognosis janin.
 Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan.
Kalau umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera
dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk
mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang
lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah
RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada
kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk
menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada
umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru
sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan
sepsis pada janin merupakan sebab utama meningginya
morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup
bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama
pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten.
PS ASA
Sistem skoring ASA menjelaskan status
fisik pasien preoperatif (Saklad 1941) dan
digunakan secara rutin untuk semua pasien
di UK. PS ASA tidak memandang
perbedaan usia, riwayat merokok, obesitas
maupun kehamilan. Penyulit intubasi yang
telh diantisipasi tidak lagi relevan.
Penambahan huruf E menandakan oprasi
emergensi. Terdapat beberapa hubungan
antara skoring ASA dengan prediksi risiko
mortalitas perioperatif.8
 Subaraknoid Blok
 Anestesi spinal digunakan secara luas pada oprasi
elektif maupun emergensi di bawah umbilicus. Untuk
bedah di atas umbilicus, spinal bagian atas saat ini
jarang digunakan karena berbagai kesulitan dalam
mempertahankan ventilasi spontan dan
menghilangkan nyeri yang berasal dari tarikan di
peritoneum dan tekanan pada diafragma.8
 Awalnya setelah suntikan, larutan anestesi spinal
menghambat konduksi pada akar saraf sebagaimana
mestinya melalui ruang subarachnoid. Seiring waktu,
anestesi lokal menembus sumsum tulang belakang
dan mungkin terjadi interaksi dengan target lain yang
berada di dalamnya. Ruang subarachnoid spinal
meluas dari foramen magnum ke S2 pada orang
dewasa dan S3 pada anak-anak. Injeksi anestesi lokal
di bawah L1 pada orang dewasa dan L3 (di bawah
penghentian conus medullaris) pada anak membantu
menghindari trauma langsung pada tulang belakang.
Anestesi spinal kadang disebut sebagai blok
subarachnoid, dan itu karena dilakukan injeksi
intratekal.5
 Jarum Spinal
 Karena LA disuntik di dekat lokasi kerjanya,
diperlukan volume yang jauh lebih kecil (1-3 ml) dan
onset efek (dalam 5 menit) cepat terjadi pada anestesi
epidural. Pilihan LA yang digunakan didasarkan
terutama pada lama prosedur yang diantisipasi.
Lidocaine spinal memberikan anestesi bedah untuk
prosedur yang berlangsung hingga 75 menit namun
penggunaannya dibatasi oleh peningkatan kejadian
radikulopati pasca operasi. Bupivakain spinal akan
memberikan anestesi 3,5 jam dan dianggap aman.
 Mekanisme kerja. Mekanisme anestesi spinal dan
epidural tetap spekulatif. Lokasi utama aksi blokade
neuraksial diyakini sebagai akar saraf. Anestesi lokal
disuntikkan ke dalam CSF (anestesi spinal) atau ruang
epidural (anestesi epidural dan caudal) dan
menyentuh akar saraf di ruang subarachnoid atau
ruang epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke
dalam CSF untuk anestesi spinal memungkinkan dosis
dan volume anestesi lokal yang relatif kecil untuk
mencapai blokade sensoris dan motorik.
 Sebaliknya, konsentrasi anestetik lokal yang sama dicapai
di dalam akar saraf hanya dengan volume dan jumlah
molekul anestetik lokal yang jauh lebih besar selama
anestesi epidural dan kaudal. Selain itu, tempat suntikan
(level) untuk anestesi epidural umumnya harus mendekati
akar saraf yang harus diberi anestesi. Blokade transmisi
saraf (konduksi) pada lapisan akar saraf posterior
mengganggu sensasi somatik dan viseral, sedangkan
blokade serabut saraf anterior mencegah motorik keluar
dan arus keluar otonom. Anestesi lokal mungkin juga
memiliki pengaruh pada struktur di dalam sumsum tulang
belakang selama anestesi epidural dan spinal.5
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama penderita : Ny MSI

Umur : 27 tahun

Alamat : Sentani

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)

Suku Bangsa : Ambon

Tgl MRS : 26 -02-2018


 Anamnesis
 Keluhan Utama
 Pasien mengeluh keluar air-air sejak ± 1 minggu
SMRS.
 Riwayat Kehamilan Sekarang
 Pasien G4P3A0 datang ke RS membawa surat
rujukan dari dr. Sp.OG dan datang dengan
keluhan sudah keluar air-air sejak ± 1 minggu
SMRS. Keluhan disertai dengan lendir dan darah,
keputihan (+), gatal (+), bau (+), mual-mual (-),
muntah (-), demam (-), nyeri kepala (-), gigi
berlubang (+), dan gerakan janin aktif. Pasien
mengaku hamil 9 bulan ~ usia kehamilan 39-40
minggu. Pasien kontrol kehamilan di PKM Sentani
2x, dr. Sp.OG (1x), USG (1x), Tetanus toxoit 1x.
 Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Jantung,
Asma, Malaria disangkal. Alergi obat disangkal.

 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Jantung,
Asma, Malaria disangkal.
Riwayat Obstetri:
Riwayat Kehamilan (G4P3A0)
 ANC:
ANC di puskesmas Sentani 2x dan di dr. SpOG 1x
dan sempat di USG 1x dikatakan janin dalam
keadaan baik. Sudah imunisasi TT sebanyak 1x.

Riwayat Sosial Ekonomi


 Pernikahan yang pertama, sudah menikah sah ± 11
tahun. Pasien bekerja sebagai IRT dan suami PNS.
 Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tinggi badan : 140 cm
 Berat badan : 54 kg
Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 78 x/m
 Respirasi : 24 x/m
 Suhu Badan : 36,7 °C
Kepala
 Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pupil dbn
 Hidung : Sekret (-/-)
 Mulut : Dbn
 Telinga : Sekret (-/-)
 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Thorax
 Jantung : Bunyi jantung I dan II regular
 Paru : SN Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),Wheezing (-/-)
 Abdomen : Tampak cembung, bising usus (+), hepar dan lien tidak
dilakukan evaluasi
 Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-), varises (-)
 Refleks : Refleks fisiologis normal, refleks patologis (-)
 Obstetri
 Pemeriksaan luar
 TFU: 30 cm
 LA : memanjang/punggung kanan
 BJA : 136 x/m
 TBJ : 2790 gr
 HIS : 2x/10’/20”, Kontraksi ireguler
 Inspekulo
 V/V tidak ada kelainan, portio tebal lunak, OUE
terbuka, fluxus (+), Fluor (+).
 Pemeriksaan Dalam
 V/V tidak ada kelainan, portio tebal lunak, arah axial,
Φ : 3 cm, kepala H2, selaput ketuban (-).
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboraturium:
 HB : 12,3 gr/dl
 Leukosit : 7.940 /mm3
 Trombosit : 258.000 /mm3

Diagnosis Kerja
 G4P3A0 Gravida 39-40 minggu, inpartu kala I fase
laten + Ketuban Pecah Dini, Janin Presentasi Kepala
Tunggal Hidup.
 Rencana Terapi
 Observasi KU, TTV, His setiap 4 jam.
 Pasang CTG dan observasi DJJ setiap 30 menit.
 Observasi kemajuan persalinan
 Pencegahan infeksi dengan : Ceftriaxon 2 gr/24
jam
 Sectio Caesarea.
 PENENTUAN PS ASA

Pasien termasuk dalam PS ASA 1: status kesehatan


dalam batas normal.
 LAPORAN ANESTESI
 Persetujuan anestesi dari keluarga (+)
 Diagnosis pra-anestesi: G4P3A0 Gravida 39-40 minggu, inpartu
kala I fase laten + Ketuban Pecah Dini, Janin Presentasi Kepala
Tunggal Hidup.
 Rencana tindakan: Sectio Caesarea
 Mallampati: kelas 1
 Fungsi sistem organ dalam batas normal
 PS ASA: 1
 Jam masuk OK: 10.55
 Jam induksi: 11.00
 Jam insisi: 11.08
 Jam selesai oprasi: 11.48
 Jenis anestesi: RA-SAB
 TTV pra-anestesi: TD: 120/70 mmHg, N: 70 x/m, RR: 20 x/m, SB:
36,7C, SpO2: 99%
 Posisi: Supine
 Teknik Anestesi: Pasien duduk di meja oprasi, pasien
diposisikan membungkuk, identifikasi L3-L4, dilakukan
aseptik dan antiseptik dengan alkohol dan povidon iodin
daerah lumbal, dilakukan injeksi Lidokain, kemudian
injeksi Bupivakain HCl 0,5% 15mg ke dalam ruang
subaraknoid setelah memastikan aspirasi darah (-) dan
LCS (+), pasien dibaringkan kembali dalam posisi supine,
dipasang alat pengukur TD, Saturasi, Nadi, pasien tenang,
bromage 100%, operasi dimulai.
 Cairan Pra-anestesi: RL 500cc
 Obat-obatan selama anestesi: Bupivakain HCl 0,5% 15mg,
Efedrin 10mg, Petidine 30 mg, Methergin 1amp, Oxytocin
1amp drip
 Cairan intraanestesi: RL 500cc
Monitor TD dan Nadi:

- Perdarahan: sekitar 200cc

- Pasca anestesi: bromage score: 0’: 0, 15’: 0


 PESANAN POST-OP
 Asering 1500cc/24jam
 Observasi ttv/15 menit
 Jika mual: ondancetron
 Jika nyeri: ketorolac 3x1amp
 Diagnosis Akhir
 P4A0 Post SC a/i Ketuban Pecah Dini + Gawat Janin.
 RENCANA TERAPI
 Obs. Hemodinamik ibu : KU, TTV, Perdarahan tiap 15
menit selama 1 jam, dan tiap 30 menit pada 1 jam
berikutnya.
 Cek Hb 6 jam post Op,
 IVFD Asering 20 tpm
 Inj Ketorolak 3X1amp
 Inj ceftriaxone 3x1 amp
 Inj Kalnex 3x1
PEMBAHASAN

 Bagaimana penentuan PS ASA pada pasien ini?

PS ASA8
Pasien digolongkan dalam PS ASA 1,
yaitu pasien sehat dengan Hb: 12,3 gr/dL,
L:7.940/mm3, PLT:258.000/mm3, tanpa
riwayat penyakit lainnya seperti jantung,
paru, DM, Hipertensi, tanpa obesitas, dan
penyakit sistemik lainnya.
 Apakah pilihan jenis anestesi pada pasien ini sudah
tepat?
 Pemilihan jenis anestesi pada SC ditentukan berbagai
faktor: urgensinya, latar belakang pasien dan ahli
kandungan, dan skil ahli anestesinya. RA menjadi teknik
anestesi pilihan pada SC karena GA berhubungan dengan
risiko morbiditas dan mortalitas maternal. Kematian
berhubungan dengan GA biasanya karena masalah jalan
nafas. Sedangkan kematian karena RA biasanya akibat
penyebaran dermatom berlebihan saat blokade atau terjadi
keracunan anestesi lokal. Keuntungan RA yang lain ialah
eksposur pada janin yang lebih minimal terhadap depresan
potensial, aspirasi minimal, dan ibu sadar saat lahirnya
bayi.5
Menurut Tsai (2011), anestesi umum berhubungan
dengan peningkatan risiko infeksi peri-bedah setelah
operasi caesar dibandingkan dengan anestesi neuraxial.7
Studi dengan populasi besar di Britania Raya dan USA
menunjukkan bahwa anestesi regional memberikan
hasil morbiditas dan mortalitas yang lebih sedikit
daripada anestesi umum. Hal ini mungkin disebabkan
karena berkurangnya kejadian aspirasi pulmoner dan
kegagalan intubasi jika menggunakan anestesi
neuraxial.5 Pada pasien dipilih anestesi spinal sub
araknoid blok (SAB), jadi, pilihan anestesi pada pasien
ini sudah tepat.
 Bagaimana penentuan obat anestesi pada pasien?
 Bupivacain 0,5% dalam dextrosa 8,25% merupakan agen
spinal yang paling hiperbarik.5 Dengan demikian, agen
tersebut merupakan agen anestesi spinal yang paling baik
dibandingkan dengan agen lainnya. Bupivakain 0,5%
hiperbarik memberikan blok akurat pada oprasi selama 2-3
jam. Bupivakain 0,5% isobarik murni 3-4 cc juga sering
dipakai namun kurang akurat pada T10. Lidokain 5%
dalam glukosa 8% kadang diindikasikan pada blokade
durasi pendek; 2,5-3,0 cc selama 1 jam pada T10 dan hingga
2 jam pada spinal yang lebih ke bawah.5
 Bagaimana penentuan obat anestesi pada pasien?
 Bupivacain 0,5% dalam dextrosa 8,25% merupakan agen
spinal yang paling hiperbarik.5 Dengan demikian, agen
tersebut merupakan agen anestesi spinal yang paling baik
dibandingkan dengan agen lainnya. Bupivakain 0,5%
hiperbarik memberikan blok akurat pada oprasi selama 2-3
jam. Bupivakain 0,5% isobarik murni 3-4 cc juga sering
dipakai namun kurang akurat pada T10. Lidokain 5%
dalam glukosa 8% kadang diindikasikan pada blokade
durasi pendek; 2,5-3,0 cc selama 1 jam pada T10 dan hingga
2 jam pada spinal yang lebih ke bawah.5
Problem List Actual Potensial Planning
B1 Airway: Bebas Sumbatan jalan 02 nasal atau
Breathing: spontan napas masker, posisi

Apa saja yang harus suara napas vesikuler Distres napas


+/+, rhonki -/-,
chin lift, itubasi.

diperhatikan selama wheezing -/-

perioperatif? B2 Perfusi hangat, kering, Hemoragik, Resusitasi tepat,


merah, Capilary Refill Overload, Monitoring vital
Time < 2 detik, BJ I-II Bradikardia, sign.
murni, regular, hipotensi,
konjungtiva anemis (- Anemis
/-).

B3 Kedaran Compos Penurunan Observasi GCS


Mentis
B4 Terpasang DC Oliguria Rehidrasi, balance
Dehidrasi cairan
B5 Abdomen cembung, Peningkatan Penyesuaian dosis
supel, peristaltik usus tekanan induksi spinal
(+), hepar/lien tidak intrabdomen
teraba, BAB (+)

B6 Edema (-) fraktur (-) Kesulitan induksi Posisikan pasien


pada vertebra dengan tepat
lumbal
 Bagaimana terapi cairan pada pasien?
 Pada pasien diberikan asering 1500cc/24 jam. Pada
teori, berat badan 54 kg menjadikan EBV=54x70=3780.
Perdarahan selama oprasi=200cc. Maka derajat
perdarahan=200/3780=5,2% (derajat ringan), maka
terapi cairannya ialah 2-4xEBL=400-800cc. Pada
pasien diberikan RL 500cc selama oprasi.
 Terapi cairan perioperatif termasuk menggantikan
cairan normal yang hilang (maintenance), dan dari
perdarahan selama operasi. Kebutuhan cairan
maintenance berkaitan dengan tidak adanya oral
intake, yang menyebabkan kekurangan cairan dan
elektrolit dengan cepat sebagai akibat dari
pembuangan urin yang berlngsung terus menerus,
sekresi gastrointestinal, berkeringat dan IWL dari
kulit dan paru. Kebutuhn cairan maintenance normal
dapat dilihat pada tabel berikut:5
 Jadi, maintenance cairan pada pasien (BB=54kg) ialah:
10x4=40cc/jam + 10x2=20cc/jam + 34x1=34cc/jam =
94cc/jam. Maka maintenance/24jam= 2256cc/24j.
Pada pasien diberikan asering 1500cc/24 jam.
 Defisit cairan sebelumnya dapat dihitung dengan
mengalikan maintenance dengan jam puasa.5 Pada
pasien, puasa dimulai 6 jam preoperasi. Maka, defisit
cairannya ialah 94cc/jam x 6 = 564 cc.
PENUTUP

 KESIMPULAN

 Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko


tinggi. Kesalahan dalam mengelola KPD akan membawa
akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu
maupun bayinya. Kasus KPD yang cukup bulan,sebaiknya
menempuh cara-cara aktif.
 Pasien masuk dalam kategori PS ASA 1 yaitu tanpa penyakit
sistemik lainnya. Pilihan anestesi SAB lebih dianjurkan
daripada GA pada SC karena berkurangnya kejadian
aspirasi pulmoner dan kegagalan intubasi jika
menggunakan anestesi neuraxial. Jadi, pilihan anestesi
pada pasien ini sudah tepat.
 Agen RA yang paling baik ialah yang paling hiperbarik,
yaitu Bupivacain 0,5% dalam dextrosa 8,25%. Hal lainnya
yang mempengaruhi efek obat RA ialah posisi pasien, dosis
obat, dan tempat injeksi.
 Pemilihan jenis anestesi pada pasien ini sudah tepat, yaitu
RA-SAB dibandingkan GA. Pemilihan obat anestesi juga
tepat, yaitu dengan agen yang paling hiperbarik. Yang
harus diperhatikan selama perioperatif ialah B1-B6.
Perdarahan selama oprasi = 200cc. Maka derajat
perdarahan 5,2% (derajat ringan), maka terapi cairannya
ialah 2-4xEBL=400-800cc. Pada pasien diberikan RL 500cc
selama oprasi. Maintenance cairan pada pasien (BB=54kg)
ialah: 2256cc/24j dan dari defisit selama puasa = 564cc.
Pada pasien diberikan asering 1500cc/24 jam.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai