Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2022


UNIVERSITAS PATTIMURA

“Rupture Urethra”

OLEH:

Agnice Simanjuntak

201783006

PEMBIMBING:

dr. Ubaidilla, Sp.B (K), Onk.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN BEDAH RSUD DR.M HAULUSSY

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat

dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul “Rupture Urethra”.

Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik

pada bagian Ilmu Anestesi. Penyusunan Referat ini dapat diselesaikan dengan baik karena

adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak.

Untuk itu, pada kesempatan ini saya sebagai penulis ingin mengucapkan banyak

terima kasih kepada dr. Ubaidillah, Sp.B(K), Onk. pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membantu penulis dalam menyelesaikan

Referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Referat ini masih belum sempurna.

Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis

harapkan demi perbaikan penulisan Referat ini ke depannya. Semoga Referat ini dapat

memberikan manfaat ilmiah bagi semua pihak yang membutuhkan.

Ambon, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................3

2.1 ANATOMI URETRA..............................................................................................2

2.2 FISIOLOGI URETRA ............................................................................................3

2.3 TRAUMA URETRA...............................................................................................4

2.4 EPIDEMIOLOGI.....................................................................................................4

2.5 ETIOLOGI...............................................................................................................5

2.6 KLASIFIKASI DAN TATALAKSANA ................................................................5

2.7 KRITERIA KEBERHASILAN TERAPI .............................................................15

2.8 PROGNOSIS .........................................................................................................15

BAB III KESIMPULAN...........................................................................................................17

DAFTAR PUTAKA..................................................................................................................iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Ruptur uretra merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan urologi karena adanya

trauma lain yang lebih mengancam nyawa. Di dunia, cedera saluran kemih memiliki proporsi

10% dari seluruh kasus trauma dan kasus trauma uretra mencakup 4% dari seluruh trauma

saluran kemih, terutama disebabkan fraktur pelvis pada kecelakaan lalu lintas dan kasus jatuh

dari ketinggian. Menurut derajatnya, ruptur uretra dibagi menjadi ruptur inkomplit dan ruptur

komplit dan secara anatomi uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu uretra posterior dan

anterior.1,4

Evaluasi lanjutan untuk mencari cedera uretra dianjurkan pada semua pasien trauma

multipel, terutama yang jika ada darah di meatus, hematom/ekimosis penis/perineal, retensi

urin, distensi kandung kemih, dan riwayat trauma (straddle injury). Pemeriksaan fisik yang

harus dilakukan adalah pemeriksaan colok dubur; selain untuk menemukan prostat letak

tinggi yang menandakan adanya ruptur uretra, juga dapat menyingkirkan cedera rektal.

Pemeriksaan radiologis terpilih berupa uretrografi retrograde (RUG).1,4

Tatalaksana awal kegawatdaruratan bertujuan untuk menstabilkan kondisi pasien.

Tatalaksana akut drainase kandung kemih harus segera dilakukan dengan pilihan terbaik

suprapubik sistostomi karena dapat mencegah perluasan trauma dan risiko striktur uretra.

Penatalaksanaan yang terlambat dan tidak tepat akan mengurangi kualitas hidup dan

meningkatkan mortalitas.1,4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Uretra

Uretra merupakan saluran yang berfungsi untuk menyalurkan urine ke luar dari buli-

buli melalui proses miksi. Secara Anatomis Uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu uretra

anterior dan uretra posterior. Pada pria, uretra juga mempunyai fungsi untuk

menyalurkan cairan mani. Pada perbatasan antara uretra posterior dengan buli-buli

terdapat sfingter uretra interna, dan pada perbatasan antara uretra posterior dan anterior

terdapat sfingter uretra eksterna. Sfingter uretra interna dipersarafi oleh sistem simpatis

sehingga sfingter akan terbuka saat buli-buli penuh terisi urin, kemudian pada sfingter

uretra eksterna dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang.1

Uretra posterior pada pria terbagi menjadi dua yaitu, 1) uretra pars prostatika, yaitu

bagian uretra yang dikelilingi oleh kelenjar prostat dan merupakan muara sekresi

kelenjar prostat dari ductus prostaticus, dan 2) uretra pars membranasea. Uretra anterior

hanya terdiri dari satu yaitu uretra pars spongiosum, yakni bagian uretra yang dibungkus

oleh korpus spongiosum penis.1

Gambar 2.1

Anatomi Uretra1,2

2
Panjang uretra pria ±23-25 cm, sedangkan Panjang uretra perempuan ±3-5 cm. Hal

inilah yang menyebabkan keluhan retensi atau hambatan dalam pengeluaran urine lebih

sering pada pria dibandingkan wanita.

Panjang uretra Wanita ±4 cm dengan diameter 8mm. Anatomi uretra pada wanita

tidak terlalu kompleks dibandingkan dengan laki-laki. Uretra pada wanita berada di

bawah simphysis pubis dan bermuara di anterior vagina. Tonus sfingter uretra eksterna

dan tonus otot levator ani berfungsi mempertahan urine agar dapat tetap berada dalam

buli-buli pada saat perasaan ingin miksi. Miksi dapat terjadi jika tekanan intravesika

urinaria melebihi tekanan intrauretra yang merupakan akibat kontraksi otot detrusor dan

relaksasi sfingter uretra eksterna.

Gambar 2.2 Anatomi Uretra pada

Perempuan2

2.2 Fisiologi Uretra

Keluarnya urin dari kandung kemih, disebut proses miksi yang juga dikenal sebagai

buang air kecil atau berkemih. Mikturisi terjadi melalui kombinasi antara kontraksi otot

involunter dan volunter. Ketika volume urin di kandung kemih melebihi 200-400 mL,

tekanan di dalam kandung kemih meningkat pesat, dan reseptor regangan di dindingnya

mengirimkan impuls saraf ke sumsum tulang belakang. Impuls ini dikirim ke pusat

3
berkemih di segmen sumsum tulang belakang sakral S2 dan S3 dan memicu refleks yang

disebut refleks berkemih. Kemudian mpuls saraf menyebabkan kontraksi otot detrusor

dan relaksasi otot sfingter uretra interna. Secara bersamaan, pusat berkemih menghambat

neuron motorik somatik yang mempersarafi otot rangka pada sfingter uretra eksterna.

Saat terjadi kontraksi pada dinding kandung kemih dan relaksasi sfingter, buang air kecil

terjadi.2

Gambar 2.3 Fisiologi Refleks Miksi3

2.3 Trauma Uretra

Trauma uretra merupakan cedera dari luar maupun dalam yang mengenai uretra, atau

rusaknya integritas struktur normal uretra akibat dari trauma yang berlebihan. Secara

klinis uretra dibedakan menjadi trauma uretra posterior dan trauma uretra anterior.

Perbedaan ini disebabkan oleh etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaannya dan

prognosis yang berbeda.1

2.4 Epidemiologi1

Pada seluruh kasus trauma, cedera saluran kemih memiliki proporsi 10%. Sedangkan

pada trauma uretra mencakup 4% dari seluruh trauma saluran kemih, yang paling utama

disebabkan fraktur pelvis pada kecelakaan lalu lintas dan kasus jatuh dari ketinggian.

Efek dari lebih panjangnya uretra pada laki-laki, menyebabkan kasus trauma uretra lebih

4
sering pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, totalnya sekitar 65% kasus

merupakan kasus dari ruptur komplit dan sekitar 35% merupakan kasus rupture

inkomplit. Trauma saluran kemih bawah dapat membahayakan jiwa ataupun berdampak

pada kualitas hidup sehingga diperlukan pemeriksaan yang efektif dan efisien, serta

penatalaksanaan yang cepat dan tepat penting untuk menurunkan mortalitas dan

morbiditas.

2.5 Etiologi1

Secara asal penyebab traumanya, trauma uretra dapat terjadi secara eksternal atau

cedera berasal dari luar dan iatrogenik yaitu akibat instrumentasi pada uretra. Dalam

keadaan ini sama sekali tidak diperbolehkan pemasangan kateter, karena tindakan

pemasangan kateter dapat memperburuk dari kerusakan uretra. Berikut merupakan

beberapa etiologi yang dapat menyebabkan rupture pada uretra;

a) Pada kasus trauma tumpul atau kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan fraktur

pelvis sehingga dapat menyebabkan ruptur uretra pars membranasea,

b) Trauma tumpul pada selangkangan atau daerah perineum yang disebut straddle

injury dapat menyebabkan rupture uretra pars bulbosa akibat kompresi sehingga

timbul kontusio atau laserasi dinding uretra,

c) Pemasangan kateter atau businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat

menimbulkan ruptur pada uretra karena false route atau salah jalan, dan

ballooning pada proses pemasangan kateter,

d) Pada operasi trans-uretra dapat menimbulkan cedera pada uretra iatrogenik.

2.6 Klasifikasi Secara Klinis1

2.6.1 Ruptur Uretra Posterior

1. Etiopatologi

5
Fraktus pelvis akibat kecelakaan lalulintas merupakan penyebab tersering ruptur

uretra posterior adalah. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dapat

menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, sehingga menyebabkan robekan pada

uretra pars prostate-membranasea. Akibat fraktur pelvis dan adanya robekan

pembuluh darah yang ada di dalam cavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas

di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostaticu, ikut robek, maka prostat

beserta buli-buli akan terangkat ke atas.1

Gambar 2.4 Ruptur Uretra Pars Bulbo-membranasea1

2. Derajat Cedera Uretra

Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi

derajat cedera uretra dalam 3 jenis;

Tabel 1. Derajat Cedera Uretra menurut Colapinto & McCollum8

Deraja

t Jenis Cedera Gambaran Uretrogram

Cedera

1 Uretra Posterior masih utuh dan Foto uretrogram tidak

hanya mengalami stretching menunjukkan adanya

6
(peregangan). ekstravasasi, dan uretra

hanya tampak memanjang

2 Uretra posterior terputus pada Foto uretrogram

perbatasan prostate-membranasea, menunjukkan ekstravasasi

sedangkan diafragma urogenital kontras yang masih terbatas

masih utuh. di diafragma urogenital

3 Uretra posterior, diafragma Foto uretrogram

urogenitalis, dan uretra pars bulbosa menunjukkan ekstravasasi

sebelah proksimal ikut rusak. kontras meluas hingga di

bawah diafragma urogenital

sampai ke perineum

Kemudian menurut derajatnya trauma uretra, Goldman juga membagi

derajatnya yang dapat dilihat pada tabel sebagai berikut;

Tabel 2. Derajat Trauma Uretra menurut Goldman5

3. Diagnosis1,11,12,14

7
Pasien yang menderita cedera uretra posterior biasanya datang dalam keadaan

syok karena terdapat fraktur pelvis/cedera organ lain yang menimbulkan banyak

perdarahan. Gambaran klinis yang khas pada rupture uretra posterior adalah; 1)

perdarahan per-uretram, 2) retensi urine, dan 3) pada pemeriksaan colok dubur

ditemukan adanya “floating prostate” yaitu prostat melayang di dalam suatu

hematom.

Pada pemeriksaan penunjuang, yang menjadi Gold Standard adalah

pemeriksaan uretrograsi retrograde dengan kontras, yang dapat dilihat elongasi

uretra atau ekstravasasi kontras pada pars prostato-membranasea.

Pemeriksaan radiologis uretrografi retrograd (RUG), direkomendasikan karena

dapat menunjukkan derajat ruptur uretra, parsial atau komplit, serta lokasinya,

baik anterior maupun posterior, sehingga dapat menentukan pilihan tatalaksana

akut drainase kandung kemih. Pemeriksaan RUG merupakan pemeriksaan awal,

pemeriksaan dilakukan dengan injeksi 20-30 mL materi kontras sambil menahan

meatus tetap tertutup, kemudian balon kateter dikembangkan pada fossa

navikularis sehingga RUG dapat mengidentifikasi lokasi cedera.

Gambar 2.5 Gambaran Radiologi

Ruptur Uretra Posterior4

Ruptur inkomplit ditandai ekstravasasi uretra saat buli terisi penuh,

sedangkan ruptur komplit ditandai ekstravasasi masif tanpa pengisian buli.

8
Ekstravasasi dapat terlihat hanya di badan korpus jika fasia Buck’s masih

intak, dan akan terlihat hingga ke skrotum, perineum, dan abdomen anterior

jika fasia Bucks telah robek.

Uretroskopi juga dapat menjadi pilihan yang baik karena berfungsi

diagnostik ataupun terapeutik pada cedera uretra akut. Namun, uretroskopi

menjadi pilihan pemeriksaan pertama pada kasus fraktur penis dan pada pasien

perempuan.

Gambar 2.6 Derajat

Ruptur Uretra menurut Colapinto-McCollum1

4. Tatalaksana4

Tatalaksana awal kegawatdaruratan bertujuan untuk menstabilkan kondisi

pasien dari keadaan syok karena perdarahan; dapat berupa resusitasi cairan dan

balut tekan pada lokasi perdarahan. Pemantauan harus dilakukan pada hidrasi

agresif, selanjutnya drainase urine dengan pemasangan kateter pada suprapubic.

4.1 Trauma Tumpul4

Ruptur uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ

lain seperti abdomen dan fraktur pelvis dengan disertai ancaman jiwa berupa

9
perdarahan. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan tindakan yang invasif pada

uretra, karena tindakan yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya

pendarahan yang lebih banyak pada cavum pelvis dan prostat serta menambah

kerusakan pada uretra dan struktur neurovaskuler di sekitarnya. Kerusakan

neurovaskuler dapat berakibat disfungsi ereksi dan inkontinensia.

Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi

untuk diversi urine. Kemudian setelah keadaan stabil, dapat dilakukan primary

endoscopic realignment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai

splint melalui tuntunan uretroskopi. Cara ini diharapkan kedua ujung uretra

yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1

minggu pasca ruptur uretra dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari.

Kemudian setelah ±3 bulan pasca trauma, baru dilakukan reparasi uretra

(uretroplasti) dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan

matang sehingga tindakan rekonstruksi uretra membuahkan hasil yang baik.

4.2 Trauma Tajam4

Eksplorasi segera melalui retropubis dilanjutkan dengan perbaikan primer

atau realignment endoskopik dilakukan setelah pasien dalam kondisi stabil,

dan pada ruptur komplit yang disertai cedera leher buli atau rektal. Stenosis

uretra anterior dapat terbentuk walaupun realignment endoskopik berhasil.

Pada pasien tidak stabil atau gagal operasi, EAU dan AUA merekomendasikan

diversi suprapubik dilanjutkan dengan tindakan retroplasti. Uretroplasti

dilakukan tidak lebih dari 14 hari setelah trauma untuk mencegah diversi

suprapubik yang terlalu lama. Uretroplasti dapat dilakukan dalam 2 minggu

setelah trauma, jika defek pendek dan pasien dapat diposisikan litotomi.

10
5. Penyulit Tindakan1,4

Penyulit yang umumnya terjadi pada orang yang mengalami ruptur uretra

adalah 1) striktur uretra yang kambuh, hal ini timbul setelah rekonstruksi uretra

(12-15%) namun dapat diatas dengan uretrotomia interna (sachse), 2) disfungsi

ereksi, terjadi pada 13-30% kasus yang disebabkan karena kerusakan saraf

parasimpatis atau karena insufisiensi arteria. dan 3) inkontinensia urin, hal ini

lebih jarang terjadi yaitu sekitar 2-4% yang disebabkan oleh rusaknya sfingter

uretra eksterna.

2.6.2 Ruptur Uretra Anterior

Penyebab atau cedera dari luar yang paling sering menyebabkan kerusakan

uretra anterior adalah straddle injury (cedera selangkangan), yaitu uretra menjadi

terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra pada

kasus ini adalah; kontusio dinding uretra, rupture parsial uretra maupun rupture

total dinding uretra.

1. Etiopatologi1,15

Uretra anterior dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Korpus spongiosum

Bersama dengan korpora kavernosa penis dibungkus oleh fascia buck dengan

fascia colles. Jika terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, maka darah

dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fascia buck, dan secara

klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun, jika fascia buck ikut

robek, maka terjadi ekstravasasi urine dan darah hanya dibatasi oleh fascia colles

11
sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh

karena itu, robekan ini memberikan gambaran seperti hematoma kupu-kupu atau

“butterfly hematom”.

Gambar 2.7 Hematom pada Penis, Skrotum


dan Perineum4

Gambar 2.8 Mekanisme Cedera, A. Cedera selangkangan menyebabkan ruptur uretra pars

bulbosa. B. Lapisan yang membungkus uretra mulai dari korpus spongiosum (k.s),

fascia Buck (f.B), dan fascia Colles (f.C). C dan D. Robekan uretra dengan fascia

12
buck masih utuh menyebabkan hematom terbatas pada penis (h.p), D dan F.

Robekan fascia Buck menyebabkan hematom meluas sampai skrotum sebagai

hematom kupu-kupu (h.k).1

2. Diagnosis

Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau

hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya

hematoma pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali

pasien tidak dapat berkemih. Pada pemeriksaan uretrografi retrogad pada

kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ekstravasasi kontras, sedangkan pada

ruptur uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa.

Gambar 2.9 Gambaran Radiologi

Trauma Uretra Anterior4

3. Tindakan Tatalaksana

3.1 Trauma Tajam12

Trauma tajam uretra anterior ditatalaksana dengan tindakan operasi

secepatnya berupa eksplorasi dan rekonstruksi. Eksplorasi segera dilakukan

13
pada pasien yang stabil, laserasi, atau luka tusuk kecil yang hanya memerlukan

penutupan uretra sederhana. Defek sebesar 2-3 cm di bulbar uretra atau sampai

1,5 cm pada uretra pendulosa ditatalaksana dengan anastomosis. Pada defek

yang besar atau yang disertai dengan infeksi (luka gigitan), tatalaksana berupa

marsupialisasi dilanjutkan dengan rekonstruksi dengan graft atau flap setelah 3

bulan.

3.2 Trauma Tumpul12

Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera

ini dapat menimbulkan penyakit striktur uretra di kemudian hari, maka setelah

4-6 bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada rupture

uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk

mengalihkan aliran urine. Kateter sistostomi dipertahankan sampai 2 minggu,

dan dilepas setelah diyakinkan melalui uretrografi bahwa sudah tidak ada

ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktur uretra. Namun jika timbul

striktur uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse. Pada rupture uretra

anterior disertai ekstravasasi urine dan hematom yang luas terkadang

diperlukan tindakan debridement dan insisi hematoma untuk mencegah

infeksi, kemudian reparasi uretra dilakukan setelah luka menjadi baik.

Secara umum dalam skema American Association for the Surgery of

Trauma (AAST), Trauma atau cedera secara luas diklasifikasikan menurut

perawatan yang diperlukan, terlepas dari lokasinya; klasifikasi lebih

terkonsentrasi pada derajat gangguan dan pemisahan terapi pada derajat

trauma uretra. Berikut merupakan klasifikasinya;

14
Tabel 3. Derajat Klasifikasi dan Rekomendasi Terapi pada Trauma Uretra menurut AAST

2.7 Kriteria Keberhasilan Terapi7

Saat dilakukan evaluasi pasca terapi, penting dilihat sejauh mana keberhasilan terapi

atau malah sebaliknya terdapat kegagalan terapi. Menurut Engel Oliver dalam Arab

Journal of urology, kriteria keberhasilan terapi pada trauma urtra adalah 1) tidak adanya

keluhan berkemih, 2) maximum flow rate >15ml/s, 3) residu post-miksi <50cc, dan 4)

tidak adanya penyempitan kaliber uretra pada pemeriksaan radiologis Bipolar Voiding

Cystouretrografi (BVCUG). Sebaliknya, jika terjadi masih adanya keluhan berkemih,

flow rate 5-15 ml/s, residu post-miksi >50cc, didapatkan penyempitan kaliber uretra dan

terjadi komplikasi seperti inkontinensia urine, terjadi fistel (bladder, rectal cutaneous),

urinoma, disfungsi ereksi dan inkompetensi dari bladder neck maka disebut bermasalah

pada terapi atau kesembuhannya.

2.8 Prognosis6,13

Tingkat Keberhasilan suatu penanganan pada trauma uretra dipengaruhi oleh banyak

hal, yang membuat prognosis pada kasus ini juga berbeda-beda pada setiap pasien.

Berikut faktor yang paling mempengaruhi tingkat keberhasilan penanganan;

15
1. Derajat dan Lokasi trauma untuk memutuskan jenis tindakan,

2. Status hemodinamik pasien,

3. Trauma lain yang menyertai dimana dalam penangannya trauma yang mengancam

nyawa lebih diutamakan,

4. Ketersediaan fasilitas yang tepat,

5. Ketersediaan instrument dalam penanganan,

6. Keahlian untuk menangani cedera pada uretra

Ruptur uretra parsial dapat ditatalaksana secara konservatif dengan pemasangan

kateter uretra atau suprapubik dan memiliki risiko striktur lebih rendah. Sebaliknya,

ruptur uretra komplit ditatalaksana dengan tindakan operatif berupa realignment

endoskopik atau uretroplasti, dan memiliki risiko tinggi striktur uretra. Jika terbentuk

striktur uretra, harus dilakukan uretrotomi atau uretroplasty atau dilatasi uretra.

Berikut ini merupakan perbandingan pasien dengan penyempitan uretra pars bulbosa

sebagai komplikasi pasca trauma uretra, yang kemudian dilakukan uretroplasty sehingga

saluran uretra menjadi normal.

16
Gambar 2.10 Perbandingan area penyempitan uretra pada striktur uretra. A. retrograde urethrogram;

menunjukkan area yang menyempit pada panah putih ganda. Ini menunjukkan striktur

uretra pada uretra pars bulbar. B. Setelah dilakukan uretroplasty, uretrogram retrograde

menunjukkan uretra bulbar yang tampak normal pada panah hitam.6

BAB III

KESIMPULAN

Ruptur uretra merupakan kasus kegawatdaruratan urologi yang sering terlewatkan

pada kasus-kasus trauma multipel di Unit Gawat Daurat. Dengan dilakukan diagnosis

cepat dengan mengingat trias gejala darah di meatus uretra, retensi urin akut, dan

ketidakmampuan berkemih menjadi pedoman untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Pemeriksaan radiologis terpilih berupa RUG, sehingga penting untuk menentukan

klasifikasi trauma uretra anterior atau posterior dan derajat komplit atau inkomplit.

Tatalaksana akut drainase kandung kemih harus segera dilakukan dengan pilihan terbaik

suprapubik sistostomi karena dapat mencegah perluasan trauma dan risiko striktur uretra.

17
DAFTAR PUSTAKA

18
1. Purnomo B, Boldini M, Cerantola Y, Valerio M, Jichlinski P. Dasar-dasar

UROLOGI. 3 Third. Vol. 11, Revue Medicale Suisse. Jakarta: CV. Sagung

Seto; 2019. 143–147 p.

2. Marieb EN, Hoehn K. Human Anatomy \& Physiology. Textbook. 2012. 634–

834 p.

3. Hall G and. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12th ed.

Stingelin L, editor. Vol. 59, Twelfth Edition. USA: Elsevier; 2011 p.

4. Kusumajaya C. Diagnosis dan Tatalaksana Ruptur Uretra. Cdk-264.

2018;45(5):340–2.

5. Lehnert BE, Sadro C, Monroe E, Moshiri M. Lower male genitourinary

trauma. A pictorial review. Emerg Radiol. 2018;21(1)67-74.

doi10.1007/s10140-013-1159-z.

6. Chambers D, Huang C, Matthews G. Schwartz’s Principals of Surgery.

Schwartz’s Principals of Surgery. 2019. 453–478 p.

7. Engel Oliver E. Unsuccessful outcomes after posterior urethroplasty. Arab

Journal of Urology, 2015. Mar; 13(1). 57-59.

8. Colapinto V, McCallum RW. Injury to Male Posterior Urethra in Fracture

Pelvis; a new classification. 1977. Journal of Urology; 118 (5). 157: 814.

9. Goldman SM, Sandler CM, Corriere JN, McGuire EJ, 1997. Blunt Urethral

Trauma; a Unified Anatomical Mechanical Classification. The Journal of

Urology, American Urological Associations, US.

10. Ingram MD, Watson SG, Skippage PL, Patel U. Urethral injuries after pelvic

trauma: Evaluation with urethrography. Radiographics. 2008;28(6):1631–43.

11. Singh L, Sharma PK. Managing Urethral Injuries in Suburban India General

Surgeom’s Perspective. MJAFI, India 2019. 68: 159-164.

iii
12. Elliott DS, Barrett DM. Long-term follow-up and Evaluation of Primary

Realignment of Posterior Urethral Disruption. Journal of Urology 2018. 157:

814.

13. Mundy AR, Andrich DE. Urethral Stricture. Journal of Urology 2015.

London; 107 : 6-26.

14. Bryk DJ, Chao LC. Guidline of guidelines: A review of urological trauma

guidelines. BJU Int. 2016;117:226-34

15. lwaal A, Zaid UB, Blaschko SD, Harris CR, Gaither T8, McAninch J8, et al.

The incidence, causes, mechanism, risk factors, classification, and diagnosis of

pelvic fracture urethral injury. Arab Journal of Urology. 2017;13:2-6.

iv

Anda mungkin juga menyukai