Anda di halaman 1dari 53

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2022


UNIVERSITAS PATTIMURA

“ANESTESI UMUM DENGAN INTUBASI ENDOTRAKEAL PADA

PASIEN MULTIPLE TUMOR REGIO COLLI SINISTRA SUSPEK

MALIGNA”

Disusun Oleh:
Christian N. Matatula
NIM. 2017 – 83 – 036

Konsulen:
dr. Ony W. Angkejaya, Sp.An., M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan

judul “Anestesi Umum Dengan Intubasi Endotrakeal Pada Pasien Multiple

Tumor Regio Colli Sinistra Suspek Maligna”. Laporan kasus ini disusun

sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada

bagian Ilmu Anestesi. Penyusunan laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan

baik karena adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima

kasih kepada dr. Ony W. Angkejaya, Sp.An., M.Kes, selaku pembimbing yang

telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membantu penulis

dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam

penulisan laporan kasus ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan

kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi

perbaikan penulisan laporan kasus ini ke depannya. Laporan kasus ini dapat

memberikan manfaat ilmiah bagi semua pihak yang membutuhkan.

Ambon, Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................

KATA PENGANTAR................................................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................................

BAB I LAPORAN KASUS........................................................................................................

I. 1. Evaluasi Pasien.........................................................................................................

I. 2. Persiapan Pre-Anestesi.............................................................................................

I. 3. Anestesi Pre-Operatif...............................................................................................

I. 4. Teknik Anestesi........................................................................................................

I. 5. Anestesi Intra-Operatif.............................................................................................

I. 6. Anestesi Post-Operratif............................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................

II. 1. Tumor Regio Colli...................................................................................................

II. 2. Anestesi Umum......................................................................................................

II. 3. Penggunaan Anestesi Umum Pada Pasien Dengan Struma...................................

BAB III KESIMPULAN...........................................................................................................

DAFTAR PUTAKA..................................................................................................................

iii
BAB I

LAPORAN KASUS

I.1. Evaluasi Pasien


1. Identitas Pasien
Nama : Tn. LR
Umur : 71 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Karang Jaya
No. RM : 16-71-32
Berat Badan : 54 kg
Tinggi Badan : 162 cm
Tanggal MRS : 28 Mei 2022
Agama : Islam
Kewarganegaraan : WNI
Ruang rawat : Bangsal Bedah Laki
2. Anamnesis
a) Keluhan utama : Benjolan pada leher sebelah kiri
b) Anamnesis terpimpin :
Pasien masuk ke IGD RSUD Dr. M. Haulussy Ambon dengan
keluhan benjolan pada leher sebelah kiri sejak 1 tahun yang lalu.
Awalnya benjolan diperkirakan sebesar kelereng dan membesar
setelah mendapatkan vaksin. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada
leher bagian belakang sampai punggung dalam 3 bulan terakhir.
Nyeri dirasakan seperti tertusuk, dan berkurang saat pasien
berbaring.
c) Riwayat penyakit dahulu : Hipertensi (-), Asma (-), DM (-)
d) Riwayat penyakit keluarga : (-)
e) Riwayat operasi & anestesi : (-)
f) Riwayat alergi : (-)
g) Riwayat obat-obatan : (-)

4
5

3. Pemeriksaan Fisik
a) Status gizi : Baik
b) Keadaan psikis : Baik
c) Brain (B1) : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks
cahaya +/+
d) Breathing (B2) : Spontan, airway bebas, RR: 19x/m reguler;
Inspeksi: pergerakan dada simetris; auskultasi: suara napas vesikuler
(+/+); SpO2 96% O2 ruangan
e) Blood (B3) : Akral hangat, TD: 120/80 mmHg, N: 78x/m
(regular), BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
f) Bowel (B4) : Inspeksi: distensi (-), perkusi: timpani,
palpasi: nyeri tekan (-), auskultasi: bising usus (+)
g) Bladder (B5) : BAK kateter (-)
h) Bone and skin (B6) : Deformitas (-), edema (-)
4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (28 Juni 2022) Nilai Rujukan
Hematologi
Darah lengkap
a) Hemogloblin : 14.2 g/dL 13-18 g/dL
b) Eritrosit : 4.79 juta/uL 4.2-5.2 juta/uL
c) Hematokrit : 41.7% 37-47%
d) MCV : 87.2 fL 80-92 fL
e) MCH : 29.7 pg 27-31 pg
f) MCHC : 34.1 g/dl 32-36 g/dl
g) Trombosit : 207 ribu/uL 150 – 400 ribu/uL
h) Leukosit : 9.83 ribu/uL 4.0 – 10.0 ribu/uL
Kimia Darah
Fungsi Ginjal
i) Ureum : 28 mg/dL 15 – 40 mg/dL
j) Kreatinin : 1.2 mg/dL 0.9 – 1.3 mg/dL
6

Fungsi Hati
k) SGOT : 89 U/L < 31 U/L
l) SGPT : 71 U/L < 41 U/L
Glukosa Darah
m) GDS : 83 mg/dL 70 – 139 mg/dL
Serologi/imunologi
n) HbsAg kualitatif: non reaktif non reaktif
5. Diagnosis
a) Diagnosis kerja : Multiple Tumor Regio Colli
Sinistra Suspek Maligna
b) Diagnosis Post-Bedah :
c) Diagnosis anestesi menurut ASA : II
6. Planning
a) Pro Total Thyroidectomy + RND (Radical Neck Dissection)
b) Rencana anestesi : General Anesthesia
I.2. Persiapan Pre-Anestesi
Persiapan Pasien
a) Informed consent
b) Surat persetujuan tindakan anestesi
c) Pasien diminta untuk stop intake oral sebelum tindakan untuk
menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi
lambung yang akan membahayakan pasien
d) Pendataan kembali identitas pasien di kamar operasi
e) Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan
pasien
I.3. Anestesi Pre-Operatif
1. Diagnosa Pra Bedah : Multiple Tumor Regio Colli Sinistra Suspek
Maligna
c) Jenis Pembedahan : Total Thyroidectomy + RND (Radical Neck
Dissection)
7

2. Premedikasi :
a) Ceftriaxone 1x2gram/IV (07.00 WIT)
b) Ranitidine 2x1amp/IV (07.00 WIT)
3. Posisi : Supine
4. Jenis Anestesi : General anesthesia
I.4. Teknik Anestesi
1. Pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman.
2. Pasang alat pantau yang diperlukan
3. Siapkan alat-alat dan obat resusitasi
4. Siapkan mesin anastesi dengan system sirkuitnya dan gas anastesi yang
digunakan
5. Induksi dengan pentathol atau dengan obat hipnotik yang lain
6. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi (N2O+halotan/enfluran/
isofluran/ sevofluran)
7. Awasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan
napas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas
pasien
8. Pantau denyut nadi dan tekanan darah
9. Apabila operasi sudah selesai, hentikan gas/obat anastesi inhalasi dan
berikan oksigen 100% (4-8 liter/menit) selama 2-5 menit.
I.5. Anestesi Intra-Operatif
1. Medikasi : Fentanyl 250mcg, Propofol 135mg, Atrakurium 65mg,
Isoflurane 1,5%, Ephedrine 25mg,
2. Keseimbangan Cairan :
a) Cairan Masuk
PO : RL ± 400 cc
DO : RL ± 1000 cc, NaCl 0,9% ± 500cc
b) Cairan Keluar
PO : ± 100 cc
DO : ± 300 cc
I.6. Anestesi Post-Operatif
8

1. Lama anestesi : 12.09 WIT – 17.26 WIT


2. Lama operasi : 12.28 WIT – 17:05 WIT
3. Pasien masuk ke ICU pada pukul 17.40 WIT.
a) Breathing (B1) : NRM 15lpm, airway clear, RR 20x/m reguler,
Inspeksi: pergerakan dada simetris, auskultasi: suara napas vesikuler
(+/+), SpO2 100% dengan NRM 15lpm
b) Blood (B2) : Akral hangat, TD: 122/62 mmHg, N: 109x/m
reguler, BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
c) Brain (B3) : E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+
d) Bladder (B4) : BAK kateter (-)
e) Bowel (B5) : Inspeksi: distensi (-), perkusi: timpani, palpasi:
nyeri tekan (-), auskultasi: bising usus (+)
f) Bone and skin (B6) : Deformitas (-), edema (-)
4. Terapi
a) Bila kesakitan :
a. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
b. Paracetamol 1 gram/8 jam/IV
c. Tramadol 100 mg dilarutkan dalam RL 500 ml 24 tpm
b) Bila mual/muntah :
a. Ondansetron 4 mg/IV
b. Ranitidine 50 mg/12 jam/IV
c) Infus :
a. IVFD RL 24 tpm
d) Monitor :
a. Awasi TTV
b. Posisi head up 30 derajat
c. Ukur urin 24 jam, 1 cc/KgBB/jam
d. Cek Hb post operasi, Hb < 9 gram/dL lakukan transfusi
e) Lain-lain :
a. Jika sadar penuh dan tidak muntah boleh minum dan
makan sedikit-sedikit
9
10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Tumor Regio Colli


II.1.1. Definisi
Massa regio colli atau massa pada leher merupakan temuan klinis yang
sering, insidennya masih belum diketahui dengan pasti. Massa pada leher dapat
terjadi pada semua usia. Diagnosis bandingnya sangat luas, karena massa pada
leher bisa berasal dari kelenjar getah bening, kelenjar tiroid, kelenjar saliva, dan
lain-lain. Penyebabnya bisa karena kongenital, infeksi, inflamasi, neoplasia (jinak
dan ganas), atau metastasis. Penyebab paling sering massa pada leher adalah
karena inflamasi atau infeksi oleh parasit seperti Toxoplasmosis, jamur, self-
limited virus seperti Epstein-Barr virus (EBV), Cytomegalovirus (CMV), Herpes
simplex virus atau bakteri Streptococcus, Staphylococcus, Mycrobacterium
tuberculosis dan Atypical mycrobacterium.1,2,3

II.1.2. Epidemiologi
Menurut WHO sekitar 43% dari semua limfadenopati perifer di Negara
berkembang disebabkan oleh karena Tuberkulosis (TB). Prevalensi TB di
Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China yaitu hampir 700 ribu
kasus, dengan angka kematian masih tetap 27/100 ribu penduduk. Pada dewasa
penyebab massa pada leher yang juga sering adalah deposit massa sel ganas pada
kelenjar getah bening. Biasanya berasal dari suatu keganasan primer pada kepala
dan leher, paling sering dari Upper Aerodigestive Tract (UAT). Kebanyakan
pasien neoplasma ganas pada kepala dan leher sudah maengalami metastasis saat
didiagnosis (43% pada nodul regional yang berkaitan dan 10% metastasis jauh).
Insiden neoplasma ganas pada kepala dan leher di dunia lebih dari 550.000 kasus
per tahun dengan angka kematian sekitar 300.000 setiap tahunnya.1,2,3
Massa pada leher bisa juga disebabkan karena tumor primer meliputi
tumor pada kelenjar saliva dan tumor kelenjar tiroid (Thander&Jonas, 2004).
Tumor pada kelenjar saliva merupakan 6% dari semua kejadian tumor kepala dan
11

leher. Insiden tumor pada kelenjar saliva secara keseluruhan adalah 1,5 kasus per
100.000 penduduk di Amerika Serikat (Medscape, 2015). Tumor tiroid secara
klinis terdapat pada 4,7% pada populasi dewasa, angka kejadian keganasan pada
nodul tiroid adalah sebesar 5,12% pada pasien dengan nodul tunggal dan 3% pada
pasien dengan nodul multipel (Harahap, 2010). Data dari American Association of
Clinical Endocrinology/American Association of Endocrine Surgery (2001)
menunjukkan karsinoma tiroid merupakan keganasan endokrin yang sering
terjadi, yaitu sekitar 90% dari seluruh keganasan endokrin1,2,3

II.1.3. Klasifikasi Klinis


II.1.3.1. Struma Diffuse Toxic
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s Disease. Penyakit
graves lazim juga di sebut penyakit Basedow yang merupakan hipertiroid yang
sering di jumpai. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus,
hipertiroidi dan eksoftalmus. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui
pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap reseptor
TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit
ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar
tiroid.1,2,3
Grave’s Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
kelainan system imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut
sebagai Thyroid Receptor Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel
tiroid dan menstimulasinya secara berlebiham, sehingga TSH tidak dapat
menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid dalam tubuh menjadi
meningkat. Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat
jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan
seringkali asupan (intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi
penurunan berat badan secara drastis.1,2,3
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam
bentuk peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/
12

cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat.
Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus
celer; penderita akan mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard,
dan rangsangan saraf autonom dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung
berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi ventrikel. Pada saluran cerna
sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul polidefekasi dan
diare. Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita
sulit tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan
emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang
sangat menggangu. Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea
dan takipnea yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot
bagian proksimal, biasanya cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-
tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipicu oleh adanya
hipertiroidi tersebut. Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau
metrorhagia. Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan
antibodi terhadap reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga
mata. Jaringan ikat dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola
mata terdorong ke luar dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang
dapat menyebabkan kerusakan bola mata akibat keratitis. Gangguan gerak otot
akan menyebabkan strabismus.1,2,3
Terjadi peningkatan T3, T4 dan FT4, sedangkan TSH akan
menurun,sekitar 65 % terdeteksi TSH receptor antibody (TRAb) dan juga anti Tg
atau antithyroperoxidase meningkat tapi tidak spesifik. Sedangkan pada RAI pada
grave disease uptake dari iodine tinggi. Sedangkan MRI digunakan untuk melihat
grave opthalmopathy apakah mempengaruhi kekuatan otot extraocular. CT scan
dan USG juga dapat di gunakan.1,2,3
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan
tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil
(PTU) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid
jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan
terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan
13

medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik


biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.1,2,3

II.1.3.2. Struma Diffuse Non-Toxic


Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran
kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan berhubungan
dengan defisiensi diet dalam harian. Epidemologi Endemik goiter diperkirakan
terdapat kurang lebih 5% pada populasi anak sekolah dasar/preadolescent (6-12
tahun), seperti terbukti dari beberapa penelitian. Goiter endemik terjadi karena
defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah
pegnungan, seperti di himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam
dan cakupan pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik.1,2,3
Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya
defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh
kelainan sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab
goiter seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica).
Kurangnya iodin menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis.
Hal ini akan memicu peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone)
ke dalam darah sebagai efek kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan
terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari sel folikuler tiroid, sehingga terjadi
pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran ini dapat menormalkan kerja
tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut kebutuhan hormon tiroid
terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi iodin endemik,
pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi
itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti
level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.1,2,3
Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran
kelenjar tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun
sebagian lagi mengalami keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi
14

pada anak-anak dengan defek biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek


pada transfer yodium.1,2,3
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan
struma dan mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian
SoL Lugoli selama 4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai
tahun dan kemudian tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah
pengobatan struma tidak juga mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak
berhasil dan harus dilakukan tindakan operatif.1,2,3

II.1.3.3. Struma Nodosa Toxic


Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu
lobus yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi
pada usia dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati,
dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit
Grave’s oleh Plummer, maka disebut juga Plummer’s disease.1,2,3
Struma nodusa toksik mencerminkan suatu spektrum penyakit dari nodul
soliter hiperfungsi (adenoma toksik) dalam tiroid multinoduler di kelenjar dengan
multiple area yang hiperfungsi. Riwayat perjalanan struma multinoduler
mengaitkan perkembangan nodul seseorang, yang dapat terjadi hemoragik dan
degenerasi, yang diikuti proses penyembuhan dan fibrosis. Kalsifikasi dapat
ditemukan pada area yang dulunya mengalami hemoragik. Beberapa nodul dapat
mengalami perubahan fungsi. Perubahan hiperaktivitas terjadi dari perubahan
mutasi somatic tirotropin atau reseptor TSH. Hipertiroid biasanya terjadi pada
nodul soliter yang besar diameternya lebih dari 2,5 cm.1,2,3
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease dengan
Plummer’s disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang
membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat
merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus. Pemeriksaan
penunjang dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium dimana dilakukan tes
fungsi tiroid. Pasien dengan struma nodular toksik akan didapatkan TSH yang
rendah. Free T4 akan meningkat atau dalam range referensi. Beberapa pasien
15

memiliki T4 yang normal dengan peningkatan T3 terjadi pada 546% pasien


dengan nodul toksik. Dapat terjadi hipertiroid subkinik dimana beberapa pasien
memiliki TSH rendah dengan T4 bebas dan total T3 yang normal.1,2,3
Terapi yang di berikan pada plummers disease sama dengan pengobatan
pada grave’s disease yaitu menurunkan kadar thyroid dengan menggunakan
substansi antitiroid seperti propil tiourasil atau karbimazol, lalu bisa menggunakan
propanolol, ipodate sodium dan terapi pembedahan jika terapi medikamentosa
gagal.1,2,3

II.1.3.4. Struma Nodosa Non-toxic


Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara
klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.
Istilah struma nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun
patologis yang menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena
tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini
disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai
sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.1,2,3
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis
terjadi 10% populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis
terjadi pada seseorang yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah.
Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat
gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon tiroid atau konsumsi obat-
obatan yang mengandung litium, propiltiourasil, fenilbutazone, atau
aminoglutatimid.1,2,3
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan
karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT
adalah tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon
tiroid, dan pada palpasi dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah
satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur -
angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
16

Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya
tanpakeluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan
karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea
bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin
tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti
menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan
stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher sewaktu menelan
trakea naik untuk menutuo laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena
terfiksasi pada trakea.1,2,3
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-
macam teknik operasinya antara lain:1,2,3
1. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar
disisakanseberat 3 gram
2. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus
3. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
4. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan
dansebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk
mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus

II.1.3.5. Karsinoma Tiroid


Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol
dari sel) yang terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan
pada tiroid yang memiliki 4 tipe yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller.
Kanker tiroid jarang menyebabkan pembesaran kelenjar, lebih sering
menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul) dalam kelenjar. Sebagian besar nodul
tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa disembuhkan.1,2,3,4
Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan
membatasi kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan
cukup banyak hormon tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.1,2,3,4
17

Kebanyakan karsinoma tiroid bermanifestasi sebagai struma


mononoduler dan multinoduler. Sekitar 25% nodul tunggal yang muncul
merupakan karrsinoma tiroid. Oleh karena itu jika menghadapi pasien dengan
nodul tiroid tunggal, perlu di pertimbangkan faktor resiko dan ciri keganasn lain.
Untuk diagnosisi pasti di tegakkan dengan biopsi aspirasi jarum (FNAB), kecuali
pada karsinoma folikuler.
Klasifikasi Karsinona Tiroid:1,2,3,4
1. Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan
jenis paling umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada anak dan
dewasa muda dan lebih banyak pada wanita. Terkena radiasi semasa kanak
ikut menjadi sebab keganasan ini. Pertama kali muncul berupa benjolan
teraba pada kelenjar tiroid atau sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah
leher. Metastasis dapat terjadi melalui limfe ke daerah lain pada tiroid atau,
pada beberapa kasus, ke paru.
2. Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan
20-25% dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada
usia di atas 40 tahun. Karsinoma folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3
kali lebih sering daripada pria. Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-
kanak meningkatkan resiko jenis keganasan ini. Jenis ini lebih infasif
daripada jenis papiler.
3. Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari
kanker tiroid. Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria. Metastasis
terjadi secara cepat, mula-mula disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian
tubuh. Pada mulanya orang yang hanya mengeluh tentang adanya tumor
didaerah tiroid. Dengan menyusupnya kanker ini disekitar, timbul suara
serak, stridor, dan sukar menelan. Harapan hidup setelah ditegakkan
diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.
4. Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik
diantara kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita
daripada pria dan paling sering di atas 40 tahun. Karsinoma ini dengan cepat
bermetastasis, sering ketempat jauh seperti paru, tulang, dan hati. Ciri
18

khasnya adalah kemampuannya mensekresi kalsitonin karena asalnya.


Karsinoma ini sering dikatakan herediter.

II.1.4. Patogenesis
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut
memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH
kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah
yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin
bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid
dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.1,2,3
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia
(goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit
Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan
penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma
non toksik (struma endemik).1,2,3

II.1.5. Alur Penegakan Diagnosis


II.1.5.1. Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa
benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid
atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus
digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai
dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu
baru ditanyakan ada tidaknya gejalagejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer
tiroid. Perlu juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik. Sebaliknya jika
19

pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari
tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di
leher.1,2,3
II.1.5.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling
pertama dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak,
timbul tanda-tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan
atau tidak. Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah benjolan
tersebut benar adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya
terasa pada saat pasien diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka
benjolan akan ikut bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak
maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan lokasi, ukuran, jumlah nodul,
konsistensi, nyeri, mobilitas, dan kelenjar getah bening disekitar tiroid.1,2,3
II.1.5.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa:1,2,3
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui
kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik
radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar
normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk
T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl. Kadar T3 dan TSH sangat
membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di mana basal TSH
meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi
terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita
dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid
stimulating hormone antibody (TSA)
3. Pemeriksaan radiologis
a. Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau pembesaran
struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa
20

diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi


pilihan.
b. USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul,
membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya
jaringan kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa dilihat dengan
scanning tiroid, mengukur volume dari nodul tiroid, mendeteksi adanya
jaringan kanker tiroid residif yang tidak, untuk mengetahui lokasi dengan
tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi terarah, dapat dipakai
sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
c. Scanning Tiroid, dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131 yang
didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk
lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam
kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning
tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau
kurang dari normal dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini
menunjukkan fungsi yang rendah dan sering terjadi pada neoplasma.
Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila uptakenya sama dengan
sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama dengan bagian tiroid
lain. Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari normal, berarti
aktifitasnya berlebih dan jarang pada neoplasma
4. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat
agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil
FNAB saja
5. Frozen section. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi
tiroidektomi diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi
tersebut suatu keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang
dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan
proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis dari
nodul tiroid dengan parafin block

II.1.6. Tatalaksana Pembedahan


21

Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering


dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien
hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak
dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang
dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan.
Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik
atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan
makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan
kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid. Pembedahan dengan
mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan tidak perlu
pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian
diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup
memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium
untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.1,2,3
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong
operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologiya
serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam operasi, yaitu:1,2,3
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang mengandung
jaringan patologis
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan satu sisi
lobus tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang patologis
berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya extended:
a. Tiroidektomi total + laringektomi total
b. Tiroidektomi total + reseksi trakea
c. Tiroidektomi total + sternotomy
d. Tiroidektomi total + FND atau RND
22

Indikasi operasi pada struma adalah:1,2,3


1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Kontraindikasi pada operasi struma adalah:1,2,3
1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang belum
terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan
yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering
dari tipe anaplastik yang jelek prognosisnya. Perlekatan pada trakea ataupun
laring dapat sekaligus dilakukanreseksi trakea atau laringektomi, tetapi
perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang
baik.
4. Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan
sering hasilnya tidak radikal
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah
nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut
suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi31 insisi
untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek
maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan
isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi
tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan
terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.1,2,3

II.2 Pneumothorax
23

II.2.1 Defenisi

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam


pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena.7,8,9

Gambar 1 Pneumothorax

II.2.2 Klasifikasi

Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua,


yaitu :1.2.3

1. Pneumothorax Spontan
Jenis ini merupakan bentuk pneumotoraks yang paling umum dalam
praktik klinis dan selalu sekunder pada patologi paru atau pleura. Tidak
ada penyebab yang jelas atau trauma sebelumnya. Penderita biasanya
berada pada kelompok usia 20-40 tahun dan dengan rasa sakit di dada
yang tajam, dan dyspnea. Pada pasien bronkitis kronis dan emfisema
yang berusia di atas 40 tahun, ada kerusakan dinding alveolar yang
progresif, dan dengan demikian tekanan intrapulmoner tinggi yang
dihasilkan oleh batuk dapat menghasilkan pneumotoraks spontan.
Pneumotoraks spontan diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :8,9
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
24

b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi


dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumothorax traumatic
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.Pneumotoraks tipe ini juga dapat
diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :8,9
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks
yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada
dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu:8,9
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas
terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia
luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun
lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru
disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di
rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Open pneumotoraks adalah adanya trauma tembus pada dinding
dada dimana udara yang masuk diruang pleura lebih banyak berasal dari
paru-paru yang rusak dari pada defek dinding dada. jika dinding dada
cukup lebar udara dapat masuk dan keluar dari ruang pleura pada setiap
pernafasan sehingga mnyebabkan paru didalamnya kolaps. Dalam keadaan
25

ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada


pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan
ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan,
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound).
Defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka
menyebabkan pneumothorax terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura
akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada
dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan
cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang
kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi
terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.10,11,12
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang
diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini
diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa
pnutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat
ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah
itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan
dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan
terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan
tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa
penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau
Petrolotum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan
cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.10,11,12
26

Gambar 12. Pneumothorax terbuka. Mediastinum bergerak dari kiri kekanan


dan sebaliknya (gerak bandul).

a. Inspirasi : Udara masuk melalui luka dan menggeser mediastinum kesisi


yang sehat krn tekanan inspirasi tidak seimbang dikiri dan kanan.
b. Ekspirasi : Udara keluar dari luka, mediastinum pindah ke sisi yang luka.
Pernapasan disisi yang tidak luka tentu terganggu.

II.2. Anestesi Umum


II.2.1. Definisi
Anestesi umum merupakan Tindakan menghilangkan rasa sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dengan cara pengunaan kombinasi obat
anestesi untuk mencapai tujuan anestesi (trias anestesia): analgesia, hipnotik dan
relaksasi. Tahapan pelaksanaan anestesi umum meliputi premedikasi, induksi,
rumatan, dan pemulihan. Tindakan anestesi umu dilakukan dengan beberapa cara
yaitu dengan Teknik IV (intravena), inhalasi (face mask), intubasi (endotrecheal
tube), atau gabungan Teknik inhalasi dan IV.5,6,7
II.2.2. Teknik Anestesi Umum
Anestesi umum merupakan teknik anestesi yang paling sering digunakan
dibandingkan dengan teknik anestesi lain. 70-80% kasus pembedahan
memerlukan tindakan anestesi umum.8
Pada anestesi umum dikenal istilah induksi dan rumatan (maintenance)
yang diartikan sebagai Tindakan untuk mengawali dan mempertahankan
27

kedalaman anestesi, dengan menggunakan kombinasi agen intravena dan inhalasi.


Anestesi umum tidak selalu merupakan pilihan terbaik, bergantung pada kondisis
klinis pasien. Pada kondisi tertentu, anestesi lokal atau regional mungkin
merupakan pilihan yang lebih baik. Tahapan pelaksanaan anestesi umum meliputi
premedikasi, induksi, rumatan, dan pemulihan.9

Teknik anestesi umum dapat dilakukan dengan:


1. Anestesi Intra Vena
A. Total Intervenous Anesthesia (TIVA)
TIVA merupakan teknik anestesi umum di mana induksi dan
pemeliharaan anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan
kombinasi obat-obatan anestesi yang dimasukkan lewat jalur intra
vena. TIVA dalam anestesi umum digunakan untuk mencapai 4
komponen penting dalam anestesi yaitu ketidaksadaran, analgesia,
amnesia dan relaksasi otot.10,11
Pada tahun 1975, Savege et al, mengkombinasikan agen steroid
Altesin dengan meperidine yang berguna untuk menjaga suplemen
oksigen pada pasien dengan nafas spontan. Menjadikan titik tolak
perkembangan dan ketertarikan anestesiologist terhadap tehnik TIVA,
yang diikuti dengan perkembangan dan penemuan obat lainnya seperti
tiopental, metohexital, etomidat, propofol dan ketamin. Kecuali
ketamin, obat anestesi intra vena yang lain tidak mempunyai efek
analgesia.10,11
Beberapa keuntungan dari farmakologi TIVA bila dibandingkan
dengan agen anestesi inhalasi yaitu:10,11
a. Induksi anestesinya lebih lembut tanpa batuk ataupun cegukan
b. Mudah dalam mengendalikan kedalaman anestesi ketika
menggunakan obat dengan waktu kesetimbangan darah-otak yang
singkat
28

c. Hampir semua agen TIVA memilki onset yang cepat dan dapat
diprediksi dengan efek hangover yang minimal
d. Angka kejadian postoperative nausea and vomiting (PONV) yang
rendah
e. Tingkat toksisitas organ yang rendah
Metode pemberian obat hipnotik, analgesik dan relaksan otot yang
merupakan komponen dari TIVA dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu:10,11
a. Bolus intermitten
b. Infus kontinyu menggunakan syringe infusion pumps atau sejenisnya
c. Target controlled infusion system (TCI)
Bila pemberian obat menggunakan metode secara bolus intermitent
untuk memenuhi kedalaman anestesi yang diinginkan akan terjadi
fluktuasi konsentrasi obat. Sedangkan pada metode infus kontinyu dapat
mengurangi terjadinya fluktuasi konsentrasi obat ini dan juga dapat
mencegah terjadinya kekurangan ataupun kelebihan dosis selama
pemberian. Keuntungan lainnya berupa stabilitas hemodinamik yang
lebih baik, mengurangi penggunaan obat-obatan reversal, dan suport
ventilasi post operatif, mengurangi efek samping obat dan menurunkan
dosis total obat hingga 25-30% dari pada pemberian secara bolus, yang
akhirnya akan menghemat biaya. Sedangkan untuk target controlled
infusions (TCI), memungkinkan ahli anestesi dapat menentukan target
kadar obat anestetik yang dibutuhkan baik di dalam darah maupun lokasi
efek obat di otak (effect-site). target pada effect-site, sistem TCI
memanipulasi konsentrasi darah untuk memberikan konsentrasi effect-
site yang diinginkan secepat mungkin. Ketika target konsentrasi effect-
site meningkat, sistem TCI menghitung konsentrasi puncak yang optimal
dalam darah yang menyebabkan gradient konsentrasi antara darah dan
effect-site yang cukup untuk menghasilkan peningkatan konsentrasi
effect-site secara cepat, tetapi tidak melampaui target konsentrasi effect-
site.10,11
29

B. Induksi anestesi TIVA


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan induksi
dengan metode TIVA, meliputi dosis induksi dan interaksi dari
kombinasi obat yang digunakan. Onset efek anestesi ditentukan oleh
konsentrasi obat di otak, dapat dicapai secara cepat maupun perlahan.
Pencapaian yang cepat biasanya dapat disertai efek samping yang nyata
seperti hipotensi, bradikardia dan depresi pernafasan. Semakin besar
gradien konsentrasi antara darah dan otak, semakin lama waktu yang
dibutuhkan untuk tercapainya induksi anestesi.10,11
Laju infus dosis induksi adalah salah satu penentu yang mengatur
besarnya dosis induksi. Laju infus yang bertujuan hanya untuk
mendapatkan konsentrasi effect-site yang diinginkan akan menimbulkan
kehilangan kesadaran tetapi dengan onset yang lambat. Hilangnya
kesadaran hanya sesaat dan durasinya bertahan selama target konsentrasi
effect-site-nya terjaga. Pada laju infus yang cepat menyebabkan onset
anestesi yang cepat dan durasi kehilangan kesadaran yang lebih lama
tetapi juga disertai efek samping yang lebih nyata karena penggunaan
dosis induksi yang lebih besar.10,11
C. Pemeliharaan Anestesi dengan TIVA
Sebagian besar agen anestesi IV, meningkatkan kedalaman
anestesi akan menurunkan denyut jantung dan tekanan darah (kecuali
ketamin). 8 Namun, dari semua penanda anestesi yang tidak adekuat,
gerakan yang ditimbulkan pasien tetap menjadi penanda yang utama.
Karena opioid tunggal bukan merupakan obat anestetik yang lengkap,
dalam praktek klinis diperlukan obat anestetik kedua, seperti agen
hipnotik IV untuk menginduksi dan menimbulkan efek amnesia pada
pasien. Durasi efek obat anestesi IV diterminasi secara dominan oleh
proses redistribusi obat dari otak dan darah ke jaringan yang miskin
pembuluh darah obat yang besar saat intubasi pasien dan rendah saat
preparasi pembedahan dan draping. Laju infus perlu ditingkatkan
kembali sesaat sebelum insisi dilakukan, selanjutnya selama
30

pembedahan, laju titrasi dosis obat disesuaikan dengan respon gerakan


pasien, status hemodinamik, dan respon otonom. Dalam keadaan tidak
timbulnya respon-respon tersebut, ahli anestesi perlu
mempertimbangkan penurunan laju infus sebesar 15-20%.10,11
Dalam penggunaan teknik TIVA, kombinasi dari beberapa obat
akan menimbulkan pertanyaan, obat mana yang akan dinaikkan atau
diturunkan dosisnya dan atas alasan apa. Pada umumnya, pemberian
dosis opioid bertujuan untuk mencapai konsentrasi obat analgesik di
effect-site, sedangkan titrasi infus agen hipnotik harus disesuaikan
dengan kebutuhan individual pasien dan intensitas stimulasi
pembedahan. Pada akhir pembedahan, di saat penutupan kulit, ahli
anestesi harus mengurangi laju infus obat hipnotik dan analgesik untuk
mengembalikan pernafasan spontan yang adekuat.10,11
D. Obat-obatan Anestesi Intravena
a) Barbiturat
Barbiturat yang biasa digunakan adalah thiopental, methohexital
dan thiamylal. Ketiganya tersedia dalam bentuk garam sodium dan
harus dilarutkan ke dalam larutan isotonik NaCl (0,9%) atau air
untuk mendapatkan larutan thiopental 2,5%, methohwxital 1-2%
dan thiamylal 2%. Jika barbiturat dicampurkan ke dalam cairan
ringer laktat atau larutan bersifat asam yang mengandung obat
lainnya yang larut air, maka akan terjadi presipitasi dan menyumbat
kateter vena. Walaupun thiopental 2,5% bersifat sangat alkalis (pH
9) dan dapat mengiritasi jaringan jika disuntikkan ekstravaskuler, ia
tidak menyebabkan nyeri dan iritasi pada vena saat disuntikkan.
Sebaliknya, methohexital 1% sering menyebabkan nyeri saat
penyuntikkan di vena kecil. Injeksi thiobarbiturat intra arterial dapat
menyebabkan komplikasi yang serius berupa pembentukkan kristal
di arteriola dan kapiler, menimbulkan vasokonstriksi berat,
thrombosis dan bahkan nekrosis jaringan. Barbiturat menekan
sistem aktivasi retikuler di batang otak yang mengontrol banyak
31

fungsi vital termasuk kesadaran. Pada dosis klinis barbiturat lebih


kuat mempengaruhi fungsi sinaps dari pada akson serabut saraf.
Mekanisme kerjanya pada sistem saraf yaitu dengan cara
Meningkatkan kerja sinaptik neurotransmiter inhibitor (GABA) dan
Memblokade aksi sinaptik neurotransmiter eksitasi (glutamat dan
asetilkolin). Dosis induksi thiopental dan thiamylal yaitu 3-6
mg/kgBB dan methohexital yaitu 1-2 mg/kgBB.10,11
b) Benzodiazepine
Benzodiazepin mengikat reseptor yang sama dengan barbiturat
di sistem saraf pusat, tetapi berikatan dilokasi yang berbeda.
Berikatan dengan reseptor GABA, sehingga terjadi terjadi
peningkatan frekuensi pembukaan kanal ion. Midazolam
mempunyai keunggulan dibandingkan diazepam dan lorazepam
untuk induksi anestesi, karena ia mempunyai onset yang lebih cepat.
Kecepatan onset midazolam dan barbiturat lainnya ketika digunakan
untuk induksi anestesi ditentukan oleh dosis, kecepatan injeksi,
tingkat premedikasi sebelumnya, umur, status fisik ASA dan
kombinasi obat anestetik lain yang digunakan. Pada pasien yang
sehat yang telah diberi premedikas sebelumnya, midazolam 0,2
mg/kg dengan kecepatan injeksi 5-15 detik akan menginduksi pasien
dalam waktu 28 detik. Pasien dengan usia lebih dari 55 tahun dan
dengan status fisik ASA III memerlukan pengurangan dosis
midazolam sebesar 20% atau lebih untuk induksi anestesi.10,11
Table 1. Dosis obat benzodiazepine yang biasa digunakan.
Agen penggunaan Rute Dosis (mg/kg)
Diazepam Premedikasi Oral 0.2-0.5
Sedasi IV 0.04
Midazolam Premedikasi IM 0.07-0.015
Sedasi IV 0.01-0.1
Induksi IV 0.1-0.4

c) Ketamine
32

Di antara agen anestetik lainnya ketamin mempunyai


keunggulan dengan menimbulkan efek hipnotik dan analgesi
sekaligus berkaitan dengan dosis yang diberikan. Ketamin memiliki
efek yang beragam pada sistem saraf pusat, menghambat refleks
polisinaptik di medulla spinalis dan neurotransmitter. eksitasi di area
tertentu otak. Ketamin memutus hubungan thalamus (penghubung
impuls sensoris dari sistem aktivasi retikuler ke korteks serebri)
dengan korteks limbus (berperan pada sensasi waspada), secara
klinis disebut juga anestesi disosiasi, di mana pasien tampak sadar
(mata terbuka, reflek menelan dan kontraksi otot) tetapi tidak
mampu mengolah dan merespon input sensorisnya.9 Ketamin juga
merupakan antagonis reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate). Pada
dosis sub anestesi ketamin dapat menimbulkan halusinasi yang
dapat dicegah dengan pemberian midazolam ataupun agen hipnotik
lainnya.10,11
Didahului dengan premedikasi benzodiazepin, ketamin 1-2
mg/kg IV dapat digunakan untuk induksi anestesi dengan durasi
sekitar 10-20 menit setelah dosis tunggal induksi, dengan tambahan
waktu 60-90 menit untuk pulih sadar dengan orientasi yang utuh.
Efek analgesik mulai timbul pada dosis sub anestetik antara 0,1-0,5
mg/kg IV dan konsentrasi plasma antara 85-160 ng/ml. Dosis rendah
dengan infus sebesar 4 μg/kg/mnt IV telah dilaporkan dapat
menghasilkan efek analgesi post operatif yang sama dengan infus
morphin 2 mg/ jam IV.10,11
d) Etomidat
Etomidat mendepresi sistem aktivasi retikuler dan meniru efek
inhibisi GABA. Secara spesifik mengikat sub unit reseptor GABA
yang akan meningkatkan afinitas reseptor terhadap GABA.
Etomidat memiliki efek disinhibisi pada mekanisme sistem saraf
yang mengontrol aktivitas motorik ekstrapyramidal, sehingga
menyebabkan timbulnya efek gerakan myoklonik pada sekitar 30-
33

60% pasien yang diinduksi dengan etomidate. Dosis induksi 0,2-0,4


mg/kg menghasilkan durasi efek hipnosis sekitar 5-15 menit, dengan
sedikit perubahan pada status kardiovaskuler pada pasien yang sehat
maupun dengan penyakit katup atau penyakit jantung iskemik.
Etomidat dapat menimbulkan nyeri saat penyuntikkan dan angka
kejadian PONV yang tinggi.10,11
e) Propofol
Propofol merupakan obat sedatif-hipnotik untuk anestesi umum,
diperkenalkan pada tahun 1985. Propofol sangat sering digunakan
untuk anestesi umum di hampir semua jenis operasi. Propofol
memiliki keuntungan yaitu onset kerja yang cepat, eliminasi
konsentrasi darah yang cepat dan waktu pemulihan yang singkat
setelah anestesi dibandingkan obat anestesi intravena lainnya.
Propofol tidak menimbulkan efek samping mual, sebaliknya
memiliki efek yang kuat terhadap mual dan muntah. Hipotensi
akibat depresi sistem kardiovaskular merupakan efek yang sering
terjadi setelah injeksi propofol. Hal tersebut dikarenakan propofol
mengurangi resistensi pembuluh darah perifer dan kontraktilitas
jantung.10,11,12
Propofol mengikat reseptor GABA, sehingga meningkatkan
afinitas ikatan GABA dengan reseptor GABAA, yang akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran saraf. Injeksi propofol IV
akan menimbulkan nyeri yang dapat dikurangi dengan pemberian
injeksi lidokain sebelumnya atau dengan mencampurkan lidokain
2% dengan 18 ml propofol sebelum penyuntikkan. Formulasi
propofol mudah terkontaminasi dengan pertumbuhan bakteri,
sehingga harus digunakan dengan tehnik yang steril dan tidak boleh
dipakai setelah 6 jam pembukaan ampul. Induksi anestesi dengan
propofol berlangsung dengan lembut dengan hanya sedikit
menimbulkan efek samping eksitasi. Dosis 1-2,5 mg/kg (tergantung
pada usia dan status fisik pasien serta penggunaan premedikasi)
34

menghasilkan induksi anestesi dalam waktu 30 detik. Pada pasien


dengan penyakit kardiovaskuler harus diberikan dosis induksi yang
lebih rendah.10,11,12
f) Opioid
Ketika digunakan di dalam teknik TIVA,opioid bekerja secara
sinergis dengan kebanyakan agen hipnotik. Selama melakukan
TIVA, kemampuan untuk mencegah respon otonom terhadap stimuli
pembedahan sangat bergantung dengan penggunaan opioid.10,11
2. Anestesi Inhalasi
Anestsi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum dengan
memberikan obat anestesia inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah
menguap melalui alat/media anestesia langsung ke udara inspirasi.13
A. Metode pemberian anestesi inhalasi
Pemberian anestesi inhalasi dapat dilakukan melalui face mask bila
akan dilakukan tindakan singkat dengan keadaan umum yang baik dan
isi lambung yang kosong. Selain itu terdapat metode pemberian
anestesia inhalasi yang lain yaitu Intubasi endotrakeal.13,14,15,16,17
i. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakea merupakan proses memasukkan pipa
endotrakea ke dalam trakea pasien.
1. Kegunaan pipa endotrakea:
a. Memelihara jalan napas atas terbuka (paten)
b. Membantu pemberian oksigen konsentrasi tinggi
c. Memfasilitasi pemberian ventilasi dengan volume tidal yang
tepat untuk memelihara pengembangan paru yang adekuat
d. Mencegah jalan napas dari aspirasi is lambung atau benda
padat atau cairan dari mulut, kerongkongan, atau jalan napas
atas.
e. Mempermudah penyedotan cairan dalam trakea
2. Indikasi intubasi endotrakea:
a. Ventilasi tekanan positif dengan kantong napas - sungkup
35

muka yang tidak memungkinkan atau tidak efektif pada henti


jantung.
b. Pasien gagal napas, hipoksia hipoksemia yang memerlukan
oksigen aliran tinggi yang gagal dengan alat-alat ventilasi
yang tidak invasif.
c. Pasien yang tidak bisa mempertahankan jalan napas sendiri,
misalnya pasien koma / berada di bawah pengaruh obat
anestesi
3. Kesulitan Intubasi:
a. Leher pendek berotot
b. Mandibula menonjol
c. Maksila / gigi depan menonjol
d. Uvula tidak terlihat (skor Mallampati 3 atau 4)
e. Gerak sendi temporomandibular terbatas
f. Gerak vertebra servikal terbatas
Gambar 1. Skor Mallampati

Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4


Keterangan:
Grade 1: Pilar faring (+), Uvula (+), Palatum molle (+)
Grade 2: Pilar faring (-), Uvula (+), Palatum molle (+)
Grade 3: Pilar faring (-), Uvula (-), Palatum molle (+)
Grade 4: Pilar faring (-), Uvula (-), Palatum molle (-)
4. Alat yang digunakan untuk intubasi:
 S (Scope) : stetoskop dan laringoskop
 T (Tube) : endotracheal tube
36

 A (Airway) : orofaringeal airway


 T (Tape) : plester
 I (Introducer) : stylet
 C (Connector) : penyambung pipa
 S (Suction) : penyedot lendir
5. Prosedur intubasi
 Periksa peralatan dalam keadaan steril
 Periksa semua komponen alat untuk menilai apakah ada
yang cacat
 Periksa lubang pada tube, tidak ada benda yang
menyebabkan sumbatan airway
 Periksa bahwa ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
sedang berjalan dan alat suction tersedia untuk antisipasi
kalau pasien muntah.
 Kembangkan balon endotracheal tube untuk memastikan
tidak ada kebocoran, kempeskan kembali balon
 Pasang blade pada handle laringoskop dan periksa
lampu menyala terang
 Periksa airway apakah mudah untuk dilakukan intubasi.
 Arahkan asisten untuk melakukan imobilisasi manual
pada kepala dan leher. Leher pasien harus tidak
hiperekstensi atau hiperfleksi selama prosedur
 Pegang laringoskop dengan tangan kiri
 Masukkan laringoskop pada mulut sisi kanan pasien,
geser lidah ke kiri
 Epiglotis akan terlihat dan kemudian pita suara.
Manipulasi trakea dari luar dengan menekan ke
belakang, ke atas, dan ke kanan (BURP= backward,
upward, rightward) untuk melihat trakea dan pita suara
dengan lebih jelas.
37

 Masukkan ETT pelan-pelan tanpa menekan gigi dan


mulut
 Kembangkan balon secukupnya. Jangan mengisi balon
terlalu banyak
 Lakukan ventilasi bag to tube untuk memeriksa posisi
ETT
 Periksa secara visual gerakan chest valve (bag valve)
pada ventilasi.
 Lakukan auskultasi dada dan abdomen dengan stetoskop
untuk meyakinkan posisi tube. Letak tube harus dicek
dengan benar.
 Bila pemasangan intubasi tidak berhasil dalam beberapa
detik, hentikan sementara usaha pemasangan ETT,
lakukan ventilasi dengan bag-mask dan lanjutkan
intubasi memakai stylet atau GEB
 Fiksasi tube agar aman. Bila pasien bergerak-gerak,
posisi tube harus diperiksa kembali
 Pasang detektor CO2 pada ET antara adapter dan alat
ventilasi untuk
 meyakinkan posisi ET pada airway
 Pasang pulse oxymeter pada jari pasien (yang perfusi
perifernya intak) untuk mengukur dan memonitor
saturasi oksigen dan melakukan intervensi terapi segera
bila diperlukan.
6. Komplikasi intubasi
Selama intubasi:
 Trauma gigi geligi
 Laserasi bibir, gusi, laring
 Merangsang saraf simpatis (hipertensi dan takikardi)
 Intubasi bronkus
38

 Intubasi esofagus
 Aspirasi
 Spasme bronkus
Setelah intubasi:
 Spasme laring
 Aspirasi
 Gangguan fonasi
 Edema glotis-subglotis
 Infeksi laring, faring, trakea
7. Ekstubasi
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar.
Ekstubasi dikerjakan umumnya jika efek obat anestesia
sudah ringan dengan catatn tak akan terjadi spasme laring.
Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring dan faring
dari sekret dan cairan lainnya.
B. Obat-obatan anestesi inhalasi
Obat-obat anestesia inhalasi adalah obat-obat anestesia yang berupa
gas atau cairan yang mudah menguap, yang diberikan melalui
pernapasan pasien. Campuran gas atau uap obat anestesia dan oksigen
masuk mengikuti aliran udara inspirasi, mengisi seluruh rongga paru,
selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler paru sesuai dengan
sifat fisik masing-masing gas. Konsentrasi minimal fraksi gas atau up bat
anestesia di dalam alveoli yang sudah menimbulkan efek analgesia pada
pasien, dipakai satuan potensi dari obat anestesia inhalasi tersebut yang
populer disebut dengan "MAC" (minimal alveolar concentration).13,14
Anastetik inhalasi yang mum digunakan untuk praktek klinik adalah
N20, halotan, enflurane, isoflurane, destlurane, dan sevoflurane. Obat-
obat lainnya telah ditinggalkan karena efek sampingnya yang tidak
dikehendaki adalah: Ether, kloroform, etil-klorida, triklor-etilen,
metoksifluran.13,14
39

1. Nitrous Oxide (N2O)18,19,20


Karakteristik N20 merupakan gas yang tidak berwarna,
tidak mudah terbakar namun dapat membantu proses kebakaran
akibat zat lain. Penggunaan klinisalam praktek anestesia, N20
digunakan sebagai obat dasar dari anestesia mum inhalasi dan
selalu dikombinasikan dengan oksigen dengan perbandingan
antara N20 : 02 = 70 : 30 (untuk pasien normal), 60:40 (untuk
pasien yang memerlukan tunjangan oksigen yang lebih banyak)
atau 50:50 (untuk pasien yang berisiko tinggi). Oleh karena N20
hanya berkhasiat analgesia lemah, maka dalam penggunaannya
selalu dikombinasikan dengan bat lain yang berkhasiat sesuai
dengan target "Trias anestesia" yang ingin dicapai.
2. Halothane18,19,20
Karakteristik Halotan berbentuk cairn tidak berwarna,
berbau enak, tidak mudah terbakar, dan tidak mudah meledak
meski dicampur dengan Oksigen. Halotan diberikan dengan alat
penguap (vaporizer) khusus halotan. Penggunaan klinis Halotan
digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam
pemelihardan anestesia mum Disamping efek hipnotik halotan
juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan
Pada bayi dan anak yang tidak koperatif, halotan digunakan
untuk induksi bersama-sama dengan N20 secara inhalasi.
Kontraindikasi: penggunaan halotan tidak dianjurkan pada
pasien dengan gangguan fungsi hati. Halotan menyebabkan
penurunan aliran darah hepatik. Diduga dapat menyebabkan
hepatitis post halotan. Selain itu juga Halotan pada
operasikraniotomi menyebabkan pembuluh darah otak
vasodilatasi sehingga aliran darah otak meningkat dan tekanan
intrakranial meningkat.
3. Enflurane18,19,20
Karakteristik enflurane merupakan anestesi inhalasi yang
40

termasuk turunan eter, berbentuk cair, tidak berwarna, tidak


iritatif, berbau agak harum, tidak eksplosif, lebih stabil
dibandingkan halotan, dan induksi lebih cepat dibandingkan
dengan halotan. Penggunaan klinis enflurane terutama
digunakan sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan
anestesia umum. Di samping efek hipnotik, enfluran juga
mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan.
Pada bayi dan anak-anak yang tidak kooperatif, sangat baik
digunakan untukinduksi bersama-sama dengan N20.
Penggunaan enfluran akhir-akhir in relatif jarang karena
efeknya terhadap hati dan ginjal. Hati-hati penggunaan pada
gangguan fungi ginjal.

4. Isoflurane18,19,20
Karakteristik isoflurane merupakan halogenasi eter,
dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif.
Isofluran bersifat iritatif terhadap jalan napas sehingga pada sat
induksi inhalasi sering menimbulkan batuk dan menahan napas.
Penggunaan klinis: isoflurane digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum.
Disamping efek hipnotik isoflurane juga mempunyai efek
analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Karena efek
analgetik dan relaksasi otot ringan, maka penggunaan isofluran
harus dikombinasikan dengan bat lain untuk mendapat efek
analgetik dan relaksasi otot yang optimal. Isoflurane merupakan
anestetik pilihan dalam bedah saraf.
Kontraindikasi: tidak ada kontraindikasi khusus. Hati-hati pada
penderita hipovolemik.
5. Desflurane18,19,20
Karakteristik desflurane merupakan halogenasi eter yang
rumus bangun dan efek klinisnya sama dengan isoflurane.
41

Desflurane sangat mudah menguap dibandingkan dengan age


volatil lain. Penggunaan klinis: digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi mum. Juga
memiliki efek analgetik ringan dan relaksasi tot ringan.
Desflurane bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, sesak
napas, atau bahkan spasme laring sehingga biasanya desflurane
tidak digunakan untuk induksi.
Kontraindikasi: hipovolemia, hipertermia maligna, hipertensi
intrakranial.
6. Sevoflurane18,19,20
Karakteristik merupakan halogenasi eter, dikemas dalam
bentuk cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak berbau,
tidak iritatif sehingga baik untuk induksi inhalasi. Proses
induksi dan pemulihannya paling cepat dari semua obat-obat
anestesia inhalasi yang ada saat ini. Penggunaan klinik:
sevofluran terutama digunakan sebagai komponen hipnotik
dalam pemeliharaan anestesi mum. Juga memiliki efek
analgesia ringan dan relaksasi otot ringan. Dapat digunakan
untuk induksi pada bayi atau anak yang tidak kooperatit.
Kontraindikasi; hipovolemia, hipertermia maligna, hipertensi
intrakranial.
Tabel 2. Efek obat anestesi inhalasi
Obat Khasiat
Hipnotik Analgetik Relaksasi otot
N2O - + -
Halotan ++ + +
Enfluran ++ + +
Isofluran ++ + +
Sevofluran ++ + +
Desfluran ++ + +
Keterangan: - = Tidak ada khasiat, + = Khasiat ringan sampai sedang, ++ =
Khasiat kuat.
42

3. Anestesi imbang (Balanced anesthesia)


Merupakan teknik anestesia dengan menggunakan kombinasi obat-obatan
baik bat anestesia intravena maupun bat anestesia inhalasi atau kombinasi
teknik anestesia umum dengan anestesia regional untuk mencapai trias
anestesia secara optimal dan berimbang.13

II.3. Penggunaan Anestesi Umum Pada Pasien Dengan Tumor Regio Colli
II.3.1. Premedikasi
Premedikasi merupakan tindakan awal anestesi dengan pemberian obat
sebelum induksi anestesi untuk menghilangkan kecemasan, menghasilkan efek
sedasi, dan memfasilitasi pemberian anestesi terhadap pasien disebut premedikasi.
Tujuan dari premedikasi pada dasarnya terdiri dari dua, yaitu:21,22,23
1. Mempengaruhi pasien, yaitu dengan menimbulkan rasa nyaman,
menghilangkan rasa nyeri, dan mati ingatan atau amnesia
2. Membantu ahli anestesi, yaitu memudahkan atau memperlancar proses
induksi, mengurangi jumlah obat anestesi, mencegah efek samping dari
obat anestesi umum, mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, menekan
refleks vagus, mencegah muntah, dan aspirasi.
Premedikasi dapat diberikan dengan menggunakan satu atau kombinasi
dari dua obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari
premedikasi itu sendiri. Waktu adalah yang paling penting dalam pemberian
premedikasi dimana waktu yang tepat dalam pemberian premedikasi akan
menghasilkan manfaat yang besar. Secara umum waktu pemberian secara oral
adalah 60-90 menit sebelum pembedahan, bila diberikan secara intramuskular
dapat diberikan 30-60 menit sebelum induksi anestesi, dan jika diberikan secara
intravena dapat diberikan 5-10 menit sebelum pembedahan. Pada pembedahan
tiroid, pasien dapat diberikan short-acting opioid sebagai analgesik, seperti
fentanil, remifentanil, dan sufentanil dapat digunakan, namun ketersediaan obat
ini sangat terbatas, kecuali fentanil. Teknik anestesi menggunakan opioid terutama
dapat menurunkan minimum alveolar concentration (MAC) secara signifikan
memberikan respon tumpul pada trakea, dan pipa endotrakeal (PET). Opioid
43

diberikan dengan dosis tinggi, yaitu fentanil loading dose 3-10 mcg/kg iv,
sunfentanil loading dose 0,5-1,5 mcg/kg iv, diikuti dengan bolus intermiten atau
infus secara kontiyu. Untuk prosedur yang memberikan stimulasi tinggi, tetapi
dengan ketidaknyamanan yang minimal pasca operasi, seperti operasi laser pada
jalan nafas, opioid short-acting lebih direkomendasikan. Remifentanil dengan
loading dose 0,5-1,0 mcg/kg BB secara intravena, infus 0,1-0,3 mcg/kg BB/menit
melalui intravena. Pada pembedahan tiroid, penggunaan rutin glikopirolat, dan
atropin dapat diberikan sebagai bagian dari premedikasi karena dapat
menghambat sekresi mukosa jalan nafas sehingga menyebabkan sulit menelan,
dan kulit terasa kering. Pemeliharaan pada pasien dengan hipotensi terkendali
sedang (60-70 mmHg) bertujuan untuk menjaga kondisi pasien tetap optimal saat
operasi. Berbagai pendekatan farmakologis telah berhasil digunakan untuk
pemeliharaan pada pasien hipotensi. Penggunaan remifentanil sangat efektif pada
pasien hipotensi, dan berguna baik untuk teknik inhalasi, dan total intravena
anestesi (TIVA). TIVA, dan penggunaan propofol sebagai induksi anestesi telah
dikenal secara luas untuk prosedur pembedahan tiroid. Hal itu menunjukkan
karakteristik klinis yang sangat baik, dan tindakan farmakologis seperti sebagai
anti-muntah, onset, dan pemulihan yang cepat. Propofol sebagai obat pilihan
induksi anestesi dalam dosis 2 mg/kg BB. Pada pasien dengan kesulitan jalan
nafas dapat menggunakan suksinilkolin sebagai pilihan obat relaksasi otot, namun
umumnya penggunaan vekuronium yang paling sering digunakan untuk
pembedahan karena dapat menstabilkan fungsi kardiovaskuler. Aksi sinergis dari
penggunaan opioid sebagai analgesik, dengan kombinasi fentanil, dan propofol
sebagai komponen TIVA.21,22,23

II.3.2. Pilihan Anestesi


Pertimbangan anestesi yang diberikan pada pasien yang akan menjalani
pembedahan, dapat memperhatikan terlebih dahulu beberapa faktor ini, yakni
umur, jenis kelamin, status fisik, dan jenis operasi. Berdasarkan dari faktor umur,
pilihan anestesi pada pasien bayi, dan anak dapat diberikan anestesi umum karena
golongan pasien ini cenderung kurang kooperatif. Sedangkan untuk orang dewasa
44

dapat dilakukan anestesi umum atau analgesia regional, tergantung dari jenis
operasi yang akan dilakukan. Perlu diperhatikan juga dari faktor jenis kelamin,
faktor emosional, dan rasa malu yang lebih dominan terlihat pada pasien
perempuan merupakan pendukung pilihan anestesi umum, sebaliknya pada pasien
laki-laki dapat diberikan anestesi umum atau analgesia regional. Apabila
dilakukan anestesi regional pada pasien perempuan, dianjurkan untuk memberikan
tambahan obat sedatif terlebih dahulu. Untuk faktor dari status fisik, perlu
diperhatikan penyakit sistemik yang diderita pasien, komplikasi dari penyakit
primer, dan terapi yang sedang dijalaninya. Hal ini sangat penting, mengingat
adanya interaksi antara penyakit sistemik/pengobatan yang sedang dijalani dengan
tindakan/obat anestesi yang digunakan. Apabila dilihat dari jenis operasi, terdapat
4 masalah yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan pilihan anestesi, yakni
lokasi, posisi, manipulasi, dan durasi operasi. Pada umumnya, anestesi intravena
total digunakan terutama untuk prosedur pembedahan. Anestesi intravena total
dapat meningkatkan stabilitas hemodinamik dengan waktu pemulihan yang cepat,
dan penurunan postoperative nausea and vomiting (PONV). Prosedur anestesi
yang paling aman digunakan pada operasi daerah leher yaitu anestesi umum
dengan intubasi endotrakeal, dan preoksigenasi 100% dapat meningkatkan
fungsional volume residu.21,22,23

II.3.3. Pemantauan Selama Anestesi


1. Jalan napas
Jalan nafas selama anestesia baik dengan teknik sungkup atau intubasi
trakea harus dipantau secara ketat, dan kontinyu untuk mempertahankan
kebutuhan jalan nafas. Sungkup muka (face mask) mengantar udara/gas
anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan nafas pasien.
Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk
bernafas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor, dan gas masuk
semua ke trakea lewat mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat
beragam tergantung usia, yaitu:21,22,23
a. Ukuran 0 untuk neonatal
45

b. Ukuran 1 untuk anak kecil


c. Ukuran 2 untuk anak sedang
d. Ukuran 3 untuk anak besar
e. Ukuran 4, 5 untuk dewasa
Pada pola nafas spontan, pemantauan dilakukan dengan melihat gejala
atau tanda, seperti terdengar suara jalan nafas patologis, gerakan kantong
reservoir terhenti atau menurun, tampak gerakan dada paradoksal. Pada
nafas kendali gejala atau tanda yang dapat dilihat, yaitu tekanan inflasi
terasa berat, tekanan positif inspirasi meningkat. General Endo Tracheal
Anesthesia (GETA) yang paling banyak digunakan dalam tindakan
pembedahan. Penampang melintang trakea bayi, anak kecil dibawah 5
tahun hampir bulat, digunakan tanpa kaf, sedangkan dewasa seperti huruf
D menggunakan dengan kaf supaya tidak bocor. Intubasi trakea
merupakan tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pertengahan trakea
antara pita suara, dan bifurkasio trakea. Indikasi dari intubasi trakea,
diantaranya menjaga patensi jalan nafas, mempermudah ventilasi positif,
oksigenasi, dan pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Perlunya
mengevaluasi tingkat kesulitan intubasi dengan melakukan pemeriksaan
LE-M-O-N, yaitu L= Look, E= Evaluation, M= Mallampati, O=
Obstruction, N= Neck mobility. Sedangkan penggunaan laryngeal mask
airway (LMA) juga sering untuk pembedahan, selain itu penggunaan LMA
tidak memerlukan neuromuscular blocker (NMB), dan memfasilitasi
ventilasi spontan kembali. Teknik menggunakan teknik LMA dapat
meminimalkan risiko aspirasi atau insulfasi lambung, terutama jika
tekanan ventilasi positif telah direncanakan. Ada atau tidak adanya
insuflasi lambung harus dicatat dalam catatan anestesi setelah melakukan
auskultasi pada daerah epigastrium. Tahap yang lebih dalam dari anestesi
biasanya diperlukan sampai akhir prosedur untuk menumpulkan respon
laringo-trakea.21,22,23
2. Oksigenasi
46

Oksigenasi yang dilakukan bertujuan untuk memastikan kadar zat di


dalam udara/gas inspirasi, dan di dalam darah. Hal ini dilakukan terutama
pada anestesia umum inhalasi dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni:21,22,23
a. Memeriksa kadar oksigen gas inspirasi, dilakukan dengan
mempergunakan alat pulse oxymeter yang mempunyai alarm batas
minimum, dan maksimum
b. Oksigenasi darah, diperiksa secara klinis dengan melihat warna darah
luka operasi, dan permukaan mukosa, secara kualitatif dengan alat
oksimeter denyut, dan pemeriksaan analisis gas darah.
3. Ventilasi
Ventilasi dapat dilakukan dengan diagnostik fisik yaitu dengan
mengawasi gerakan naik turunnya dada, kembang kempisnya kantong
reservoir, atau dengarkan suara nafas menggunakan auskultasi. Dapat juga
dilakukan dengan memantau end tidal CO2 terutama pada operasi lama,
misalnya bedah kraniotomi. Pemantauan menggunakan sistem alarm pada
alat bantu nafas mekanik yang mampu mengeluarkan sinyal/tanda yang
terdengar jika nilai ambang tekanan dilampaui. Kesulitan ventilasi dapat
dilakukan dengan melakukan evaluasi O-B-E-S-E, yaitu O= Overweight,
B= Bearded, E= Eldery, S= Stridor, E= Edentulous.21,22,23
4. Sirkulasi
Pemantauan fungsi sirkulasi dapat dilakukan dengan mengukur
tekanan darah secara invasif, EKG, dan disertai dengan oksimeter denyut.
Pemantauan ini dilakukan pada pasien berisiko tinggi pada anestesia atau
bedah ekstensif, dan dilakukan secara kontinyu selama tindakan
berlangsung. Yang kedua pemantauan dapat dilakukan melihat dari
produksi urin, ditampung, dan diukur volumenya setiap jam terutama pada
operasi besar, dan lama.21,22,23
5. Suhu tubuh
Apabila dicurigai atau diperkirakan akan atau ada terjadi
perubahan suhu tubuh, maka suhu harus diukur secara kontinyu pada
daerah sentral tubuh melalui esophagus atau rectum dengan termometer
47

khusus yang dihubungkan dengan alat pantau yang mampu menayangkan


secara kontinyu.21,22,23
6. Terapi cairan dan transfuse selama operasi
Terapi cairan, dan elektrolit adalah salah satu terapi yang sangat
penting, dan dapat menentukan keberhasilan pada penanganan pasien
kritis. Tindakan ini merupakan langkah life-saving pada pasien yang
kehilangan banyak cairan, seperti dehidrasi karena syok. Terapi cairan
bertujuan untuk mengganti cairan yang hilang, mengganti kehilangan
cairan yang sedang berlangsung, dan mengoreksi dehidrasi. Pengukuran
hemoglobin intra-operatif, dan tekanan vena sentral dapat membantu
dalam memantau transfusi darah. Pada perdarahan yang terjadi 20% dari
perkiraan volume darah pasien, berikan transfusi darah.21,22,23
7. Pemulihan anestesi21,22,23
a. Segera setelah selesai operasi, hentikan aliran obat anestesi, berikan
oksigen 100%
b. Berikan obat penawar pelumpuh otot
c. Bersihkan jalan nafas
d. Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan adekuat, serta
jalan nafas sudah bersih
8. Pasca bedah21,22,23
a. Dirawat di ruang pulih menunggu pemulihan anestesia
b. Awasi kemungkinan terjadi perdarahan luka operasi dan sumbatan
jalan nafas akibat perdarahan, kelumpuhan pita suara dan malase pada
trakea
c. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria
pemulihan
BAB III

KESIMPULAN

Pasien laki-laki usia 71 tahun masuk Rumah Sakit dengan keluhan

benjoan pada leher yang dialaminya sejak 1 tahun yang lalu. Progresifitas

benjolan tersebut tergolong cepat karena kurang lebih memakan waktu 1

tahun lamanya benjolan tersebut tumbuh. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan massa pada daerah coli sinistra, berbentuk bulat, berukuran

5cm x 10cm x 10cm, warna seperti kulit disekitarnya, dan terlihat ikut

bergerak mengikuti gerakan menelan. Pada palpasi teraba benjolan atau

massa pada daerah coli sinistra berukuran 5cm x 10cm x 10cm, teraba

keras dan padat, permukaan berbenjol, tidak dapat digerakan dari dasarnya

dan dapat tidak digerakkan dari kulit diatasnya (terfiksir) atau bersifat

immobile, tidak ada nyeri tekan, teraba hangat dan tidak bergerak ke atas

saat pasien menelan. Tidak teraba adanya thrill. Teraba adanya

pembesaran KGB.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi pemeriksaan

darah, foto thoraks, didapatkan nilai SGPT & SGOT mengalami

kenaikkan dan lainnya dalam batas normal. Pasien didiagnosa oleh dokter

spesialis bedah bahwa mengalami multiple tumor regio colli sinistra

suspek maligna.

General anastesi dilakukan dengan teknik intubasi. Dipilih teknik

anastesi ini karena mengingat proses pembedahan yang dilakukan area

leher, dan proses pembedahannya memakan waktu yang cukup lama. Jenis

47
48

anastesi merupakan tindakan meniadakan nyeri secara sentral dan

membuat pasien tidak sadar secara reversibel dengan menggunakan trias

meliputi sedasi, analgesi dan relaksasi.

Teknik intubasi endotrakeal dipilih dengan tujuan untuk

memprtahankan jalan napas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi

dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak

sadar. Obat-obat anastesi yang dipilih yaitu obat turunan fenilpiperidin

yaitu fentanil yang merupakan agonis opioid poten. Obat ini dipilih karena

efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Awitan yang

cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih

besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain)

meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi.

Kemudian diberikan obat propofol. Obat ini merupakan obat

induksi anastesia cepat. Obat ini didistribusi secara cepat dan dieliminasi

yang cepat. Obat ini bertujuan untuk memperkecil rasa nyeri. Sifat utama

propofol adalah hipnotik. Mekanisme kerjanya masih belum jelas

sepenuhnya, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa sebagian besar

kinerja hipnosis propofol adalah dengan potensiasi γ-aminobutyric acid

(GABA)-induced chloride current, dengan berikatan pada subunit dari

reseptor GABAA. Subunit β1, β2, β3 (M286) pada domain transmembran

merupakan area kritis aksi hipnotik propofol. Melalui mekanisme pada

reseptor GABAA di hippocampus, propofol menghambat pelepasan

acetylcholine pada hippocampus dan kortek prefrontal. Aksi ini sangat


49

penting untuk efek sedasi propofol. Propofol disebutkan juga menghambat

reseptor glutamate subtype N-methyl-D-aspartate (NMDA) melalui

mekanisme modulasi sodium channel. Propofol juga mendepresi neuron

kornu posterior medulla spinalis melalui reseptor GABAA dan glycine-i.

Propofol mengurangi aliran darah otak dan perfusi ke otak.

Pemberian obat Atracurium (tramus) merupakan neuromuscular

blocking agent yang sangat selektif dan kompetitif (non-depolarising)

dengan lama keria sedang. Non-depolarising agent bekerja antagonis

terhadap neurotransmiter asetilkolin melalui ikatan reseptor site pada

motor-end-plate. Atracurium dapat digunakan pada berbagai tindakan

bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi terkendali. Pemberian obat

inhalasi yaitu isofluran yang merupakan obat golongan eter berhalogen

yang tidak mudah terbakar. Isofluran merelaksasi otot rangka dengan lebih

baik dan meningkatkan efek pelumpuh otot depolarisasi maupun

nondepolarisasi lebih dari yang ditimbulkan oleh enfluran.

Efeknya menyebabkan tekanan darah turun cepat dengan makin

dalamnya anestesi, namun beda dengan enfluran curah jantung

dipertahankan oleh isofluran. Hipotensi lebih disebabkan oleh vasodilatasi

di otot. Pembuluh koroner juga berdilatasi dan aliran koroner

dipertahankan walaupun konsumsi O2 berkurang. Dengan kerjanya yang

demikian isofluran dipandang lebih aman untuk pasien penyakit jantung

daripada halotan atau enfluran. Isoflurane merelaksasi otot sehingga baik

untuk intubasi.
50

Pemberian obat ephedrine yang bekerja sebagai agonis alfa & beta

sehingga menyebabkan pelepasan noreadrenalin endogen untuk mengatasi

hipotensi selama anestesi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 6.
Jakarta: InternaPublishing; 2017.
2. Sjamsuhidajat S, Prasetyono TOH, Rudiman R, et al. Buku ajar ilmu bedah
sistem organ dan tindak bedahnya. Ed 4. Jakarta: EGC; 2016.
3. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Buku ajar patologi robbins. Ed 9.
Philadelphia: Elsevier; 2013.
4. Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia. Protokol pelaksanaan kasus
bedah onkologi. Bandung: PERABOI; 2003.
5. Ayu R. Prinsip dasar Anestesi Pediatrik. Departemen Anestesiology dan
Terapi Intensif. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin;
2016.
6. Darsana IDGO. General Anastesi Face Mask (Ga Fm) pada Pasien Combutio
Grade II A. J Kedokt. 2019;5(1).
7. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi dan Terapi Intensif. 2015.
8. Okta IB, Subagiartha IM, Wiryana M. Perbandingan Dosis Induksi dan
Pemeliharaan Propofol Pada Operasi Onkologi Mayor yang Mendapatkan
Pemedikasi Gabapentin dan Tanpa Gabapentin. JAI (Jurnal Anestesiol
Indones. 2017;9(3).
9. Rehatta et al. Anestesiologi dan terapi Intensif. pertama. Jakarta: PT
Gramedia Pusaka Utama; 2019.
10. Aun T et al. Total intravenous anaesthesia using target controlled infusion.
Coll Anesthesiol Acad Med Malaysia. 2013;
11. Sear J. Total Intravenous Anesthesia. Anesthesiology. 2008;
12. Arvianto, Oktaliansah E, Surahman E. Perbandingan antara Sevofluran dan
Propofol Menggunakan Total Intravenous Anesthesia Target Controlled
Infusion terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan Pasien pada Ekstirpasi
Fibroadenoma Payudara. J Anestesi Perioper. 2017;5(1)
13. Mangku G, Senapathi TGA. Buku ajar ilmu anesthesia dan reanimasi.
Jakarta: Indeks.2017

iv
v

14. Veterini AS. Buku Ajar Teknik Anestesi Umum. Hamzah, Semedi BP,
editors. Universitas Airlangga; 2021
15. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestiologi. 2 nd ed.
Jakarta:Bagian Anestiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2012
16. PERKI. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut 2016.
Jakarta:PERKI. 2016
17. American College of Surgeons of Committee on Trauma. Advanced Trauma
Life Support Student Course Manual. 2018
18. American College of Surgeons of Committee on Trauma. Advanced Trauma
Life Support Student Course Manual. 2018
19. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail's Clinical
Anestesiology.5th. New York:Mc. Graw Hill. 2013
20. Gunawan SG, Setiabudy R, Editors. Farmakologi dan Terapi. 5 th Ed:Jakarta:
Badan Penerbit FKUI. 2011
21. Bacuzzi A, Donigi G, Baco AD, et al. Anaesthesia for thyroid surgery:
perioperative management. Int J Surg. 2008;6:82-5.
22. Lu IC, Lin IH, Wu CW, et al. Preoperative, intraoperative, and postoperative
anesthetic prospective for thyroid surgery. Gland Surg. 2017;6(5):469-75.
23. Bajwa SJS, Sehgal V. Anaesthesia and thyroid surgery: the never ending
challenges. Ind J End Met. 2013;17(2):228-34.

Anda mungkin juga menyukai