MALIGNA”
Disusun Oleh:
Christian N. Matatula
NIM. 2017 – 83 – 036
Konsulen:
dr. Ony W. Angkejaya, Sp.An., M.Kes
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan
Tumor Regio Colli Sinistra Suspek Maligna”. Laporan kasus ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada
bagian Ilmu Anestesi. Penyusunan laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan
baik karena adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima
kasih kepada dr. Ony W. Angkejaya, Sp.An., M.Kes, selaku pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membantu penulis
penulisan laporan kasus ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan penulisan laporan kasus ini ke depannya. Laporan kasus ini dapat
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
I. 1. Evaluasi Pasien.........................................................................................................
I. 2. Persiapan Pre-Anestesi.............................................................................................
I. 3. Anestesi Pre-Operatif...............................................................................................
I. 4. Teknik Anestesi........................................................................................................
I. 5. Anestesi Intra-Operatif.............................................................................................
I. 6. Anestesi Post-Operratif............................................................................................
DAFTAR PUTAKA..................................................................................................................
iii
BAB I
LAPORAN KASUS
4
5
3. Pemeriksaan Fisik
a) Status gizi : Baik
b) Keadaan psikis : Baik
c) Brain (B1) : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks
cahaya +/+
d) Breathing (B2) : Spontan, airway bebas, RR: 19x/m reguler;
Inspeksi: pergerakan dada simetris; auskultasi: suara napas vesikuler
(+/+); SpO2 96% O2 ruangan
e) Blood (B3) : Akral hangat, TD: 120/80 mmHg, N: 78x/m
(regular), BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
f) Bowel (B4) : Inspeksi: distensi (-), perkusi: timpani,
palpasi: nyeri tekan (-), auskultasi: bising usus (+)
g) Bladder (B5) : BAK kateter (-)
h) Bone and skin (B6) : Deformitas (-), edema (-)
4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (28 Juni 2022) Nilai Rujukan
Hematologi
Darah lengkap
a) Hemogloblin : 14.2 g/dL 13-18 g/dL
b) Eritrosit : 4.79 juta/uL 4.2-5.2 juta/uL
c) Hematokrit : 41.7% 37-47%
d) MCV : 87.2 fL 80-92 fL
e) MCH : 29.7 pg 27-31 pg
f) MCHC : 34.1 g/dl 32-36 g/dl
g) Trombosit : 207 ribu/uL 150 – 400 ribu/uL
h) Leukosit : 9.83 ribu/uL 4.0 – 10.0 ribu/uL
Kimia Darah
Fungsi Ginjal
i) Ureum : 28 mg/dL 15 – 40 mg/dL
j) Kreatinin : 1.2 mg/dL 0.9 – 1.3 mg/dL
6
Fungsi Hati
k) SGOT : 89 U/L < 31 U/L
l) SGPT : 71 U/L < 41 U/L
Glukosa Darah
m) GDS : 83 mg/dL 70 – 139 mg/dL
Serologi/imunologi
n) HbsAg kualitatif: non reaktif non reaktif
5. Diagnosis
a) Diagnosis kerja : Multiple Tumor Regio Colli
Sinistra Suspek Maligna
b) Diagnosis Post-Bedah :
c) Diagnosis anestesi menurut ASA : II
6. Planning
a) Pro Total Thyroidectomy + RND (Radical Neck Dissection)
b) Rencana anestesi : General Anesthesia
I.2. Persiapan Pre-Anestesi
Persiapan Pasien
a) Informed consent
b) Surat persetujuan tindakan anestesi
c) Pasien diminta untuk stop intake oral sebelum tindakan untuk
menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi
lambung yang akan membahayakan pasien
d) Pendataan kembali identitas pasien di kamar operasi
e) Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan
pasien
I.3. Anestesi Pre-Operatif
1. Diagnosa Pra Bedah : Multiple Tumor Regio Colli Sinistra Suspek
Maligna
c) Jenis Pembedahan : Total Thyroidectomy + RND (Radical Neck
Dissection)
7
2. Premedikasi :
a) Ceftriaxone 1x2gram/IV (07.00 WIT)
b) Ranitidine 2x1amp/IV (07.00 WIT)
3. Posisi : Supine
4. Jenis Anestesi : General anesthesia
I.4. Teknik Anestesi
1. Pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman.
2. Pasang alat pantau yang diperlukan
3. Siapkan alat-alat dan obat resusitasi
4. Siapkan mesin anastesi dengan system sirkuitnya dan gas anastesi yang
digunakan
5. Induksi dengan pentathol atau dengan obat hipnotik yang lain
6. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi (N2O+halotan/enfluran/
isofluran/ sevofluran)
7. Awasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan
napas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas
pasien
8. Pantau denyut nadi dan tekanan darah
9. Apabila operasi sudah selesai, hentikan gas/obat anastesi inhalasi dan
berikan oksigen 100% (4-8 liter/menit) selama 2-5 menit.
I.5. Anestesi Intra-Operatif
1. Medikasi : Fentanyl 250mcg, Propofol 135mg, Atrakurium 65mg,
Isoflurane 1,5%, Ephedrine 25mg,
2. Keseimbangan Cairan :
a) Cairan Masuk
PO : RL ± 400 cc
DO : RL ± 1000 cc, NaCl 0,9% ± 500cc
b) Cairan Keluar
PO : ± 100 cc
DO : ± 300 cc
I.6. Anestesi Post-Operatif
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.2. Epidemiologi
Menurut WHO sekitar 43% dari semua limfadenopati perifer di Negara
berkembang disebabkan oleh karena Tuberkulosis (TB). Prevalensi TB di
Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China yaitu hampir 700 ribu
kasus, dengan angka kematian masih tetap 27/100 ribu penduduk. Pada dewasa
penyebab massa pada leher yang juga sering adalah deposit massa sel ganas pada
kelenjar getah bening. Biasanya berasal dari suatu keganasan primer pada kepala
dan leher, paling sering dari Upper Aerodigestive Tract (UAT). Kebanyakan
pasien neoplasma ganas pada kepala dan leher sudah maengalami metastasis saat
didiagnosis (43% pada nodul regional yang berkaitan dan 10% metastasis jauh).
Insiden neoplasma ganas pada kepala dan leher di dunia lebih dari 550.000 kasus
per tahun dengan angka kematian sekitar 300.000 setiap tahunnya.1,2,3
Massa pada leher bisa juga disebabkan karena tumor primer meliputi
tumor pada kelenjar saliva dan tumor kelenjar tiroid (Thander&Jonas, 2004).
Tumor pada kelenjar saliva merupakan 6% dari semua kejadian tumor kepala dan
11
leher. Insiden tumor pada kelenjar saliva secara keseluruhan adalah 1,5 kasus per
100.000 penduduk di Amerika Serikat (Medscape, 2015). Tumor tiroid secara
klinis terdapat pada 4,7% pada populasi dewasa, angka kejadian keganasan pada
nodul tiroid adalah sebesar 5,12% pada pasien dengan nodul tunggal dan 3% pada
pasien dengan nodul multipel (Harahap, 2010). Data dari American Association of
Clinical Endocrinology/American Association of Endocrine Surgery (2001)
menunjukkan karsinoma tiroid merupakan keganasan endokrin yang sering
terjadi, yaitu sekitar 90% dari seluruh keganasan endokrin1,2,3
cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat.
Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus
celer; penderita akan mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard,
dan rangsangan saraf autonom dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung
berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi ventrikel. Pada saluran cerna
sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul polidefekasi dan
diare. Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita
sulit tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan
emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang
sangat menggangu. Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea
dan takipnea yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot
bagian proksimal, biasanya cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-
tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipicu oleh adanya
hipertiroidi tersebut. Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau
metrorhagia. Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan
antibodi terhadap reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga
mata. Jaringan ikat dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola
mata terdorong ke luar dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang
dapat menyebabkan kerusakan bola mata akibat keratitis. Gangguan gerak otot
akan menyebabkan strabismus.1,2,3
Terjadi peningkatan T3, T4 dan FT4, sedangkan TSH akan
menurun,sekitar 65 % terdeteksi TSH receptor antibody (TRAb) dan juga anti Tg
atau antithyroperoxidase meningkat tapi tidak spesifik. Sedangkan pada RAI pada
grave disease uptake dari iodine tinggi. Sedangkan MRI digunakan untuk melihat
grave opthalmopathy apakah mempengaruhi kekuatan otot extraocular. CT scan
dan USG juga dapat di gunakan.1,2,3
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan
tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil
(PTU) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid
jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan
terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan
13
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya
tanpakeluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan
karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea
bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin
tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti
menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan
stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher sewaktu menelan
trakea naik untuk menutuo laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena
terfiksasi pada trakea.1,2,3
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-
macam teknik operasinya antara lain:1,2,3
1. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar
disisakanseberat 3 gram
2. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus
3. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
4. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan
dansebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk
mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus
II.1.4. Patogenesis
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut
memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH
kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah
yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin
bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid
dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.1,2,3
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia
(goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit
Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan
penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma
non toksik (struma endemik).1,2,3
pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari
tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di
leher.1,2,3
II.1.5.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling
pertama dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak,
timbul tanda-tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan
atau tidak. Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah benjolan
tersebut benar adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya
terasa pada saat pasien diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka
benjolan akan ikut bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak
maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan lokasi, ukuran, jumlah nodul,
konsistensi, nyeri, mobilitas, dan kelenjar getah bening disekitar tiroid.1,2,3
II.1.5.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa:1,2,3
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui
kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik
radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar
normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk
T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl. Kadar T3 dan TSH sangat
membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di mana basal TSH
meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi
terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita
dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid
stimulating hormone antibody (TSA)
3. Pemeriksaan radiologis
a. Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau pembesaran
struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa
20
II.2 Pneumothorax
23
II.2.1 Defenisi
Gambar 1 Pneumothorax
II.2.2 Klasifikasi
1. Pneumothorax Spontan
Jenis ini merupakan bentuk pneumotoraks yang paling umum dalam
praktik klinis dan selalu sekunder pada patologi paru atau pleura. Tidak
ada penyebab yang jelas atau trauma sebelumnya. Penderita biasanya
berada pada kelompok usia 20-40 tahun dan dengan rasa sakit di dada
yang tajam, dan dyspnea. Pada pasien bronkitis kronis dan emfisema
yang berusia di atas 40 tahun, ada kerusakan dinding alveolar yang
progresif, dan dengan demikian tekanan intrapulmoner tinggi yang
dihasilkan oleh batuk dapat menghasilkan pneumotoraks spontan.
Pneumotoraks spontan diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :8,9
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
24
c. Hampir semua agen TIVA memilki onset yang cepat dan dapat
diprediksi dengan efek hangover yang minimal
d. Angka kejadian postoperative nausea and vomiting (PONV) yang
rendah
e. Tingkat toksisitas organ yang rendah
Metode pemberian obat hipnotik, analgesik dan relaksan otot yang
merupakan komponen dari TIVA dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu:10,11
a. Bolus intermitten
b. Infus kontinyu menggunakan syringe infusion pumps atau sejenisnya
c. Target controlled infusion system (TCI)
Bila pemberian obat menggunakan metode secara bolus intermitent
untuk memenuhi kedalaman anestesi yang diinginkan akan terjadi
fluktuasi konsentrasi obat. Sedangkan pada metode infus kontinyu dapat
mengurangi terjadinya fluktuasi konsentrasi obat ini dan juga dapat
mencegah terjadinya kekurangan ataupun kelebihan dosis selama
pemberian. Keuntungan lainnya berupa stabilitas hemodinamik yang
lebih baik, mengurangi penggunaan obat-obatan reversal, dan suport
ventilasi post operatif, mengurangi efek samping obat dan menurunkan
dosis total obat hingga 25-30% dari pada pemberian secara bolus, yang
akhirnya akan menghemat biaya. Sedangkan untuk target controlled
infusions (TCI), memungkinkan ahli anestesi dapat menentukan target
kadar obat anestetik yang dibutuhkan baik di dalam darah maupun lokasi
efek obat di otak (effect-site). target pada effect-site, sistem TCI
memanipulasi konsentrasi darah untuk memberikan konsentrasi effect-
site yang diinginkan secepat mungkin. Ketika target konsentrasi effect-
site meningkat, sistem TCI menghitung konsentrasi puncak yang optimal
dalam darah yang menyebabkan gradient konsentrasi antara darah dan
effect-site yang cukup untuk menghasilkan peningkatan konsentrasi
effect-site secara cepat, tetapi tidak melampaui target konsentrasi effect-
site.10,11
29
c) Ketamine
32
Intubasi esofagus
Aspirasi
Spasme bronkus
Setelah intubasi:
Spasme laring
Aspirasi
Gangguan fonasi
Edema glotis-subglotis
Infeksi laring, faring, trakea
7. Ekstubasi
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar.
Ekstubasi dikerjakan umumnya jika efek obat anestesia
sudah ringan dengan catatn tak akan terjadi spasme laring.
Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring dan faring
dari sekret dan cairan lainnya.
B. Obat-obatan anestesi inhalasi
Obat-obat anestesia inhalasi adalah obat-obat anestesia yang berupa
gas atau cairan yang mudah menguap, yang diberikan melalui
pernapasan pasien. Campuran gas atau uap obat anestesia dan oksigen
masuk mengikuti aliran udara inspirasi, mengisi seluruh rongga paru,
selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler paru sesuai dengan
sifat fisik masing-masing gas. Konsentrasi minimal fraksi gas atau up bat
anestesia di dalam alveoli yang sudah menimbulkan efek analgesia pada
pasien, dipakai satuan potensi dari obat anestesia inhalasi tersebut yang
populer disebut dengan "MAC" (minimal alveolar concentration).13,14
Anastetik inhalasi yang mum digunakan untuk praktek klinik adalah
N20, halotan, enflurane, isoflurane, destlurane, dan sevoflurane. Obat-
obat lainnya telah ditinggalkan karena efek sampingnya yang tidak
dikehendaki adalah: Ether, kloroform, etil-klorida, triklor-etilen,
metoksifluran.13,14
39
4. Isoflurane18,19,20
Karakteristik isoflurane merupakan halogenasi eter,
dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif.
Isofluran bersifat iritatif terhadap jalan napas sehingga pada sat
induksi inhalasi sering menimbulkan batuk dan menahan napas.
Penggunaan klinis: isoflurane digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum.
Disamping efek hipnotik isoflurane juga mempunyai efek
analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Karena efek
analgetik dan relaksasi otot ringan, maka penggunaan isofluran
harus dikombinasikan dengan bat lain untuk mendapat efek
analgetik dan relaksasi otot yang optimal. Isoflurane merupakan
anestetik pilihan dalam bedah saraf.
Kontraindikasi: tidak ada kontraindikasi khusus. Hati-hati pada
penderita hipovolemik.
5. Desflurane18,19,20
Karakteristik desflurane merupakan halogenasi eter yang
rumus bangun dan efek klinisnya sama dengan isoflurane.
41
II.3. Penggunaan Anestesi Umum Pada Pasien Dengan Tumor Regio Colli
II.3.1. Premedikasi
Premedikasi merupakan tindakan awal anestesi dengan pemberian obat
sebelum induksi anestesi untuk menghilangkan kecemasan, menghasilkan efek
sedasi, dan memfasilitasi pemberian anestesi terhadap pasien disebut premedikasi.
Tujuan dari premedikasi pada dasarnya terdiri dari dua, yaitu:21,22,23
1. Mempengaruhi pasien, yaitu dengan menimbulkan rasa nyaman,
menghilangkan rasa nyeri, dan mati ingatan atau amnesia
2. Membantu ahli anestesi, yaitu memudahkan atau memperlancar proses
induksi, mengurangi jumlah obat anestesi, mencegah efek samping dari
obat anestesi umum, mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, menekan
refleks vagus, mencegah muntah, dan aspirasi.
Premedikasi dapat diberikan dengan menggunakan satu atau kombinasi
dari dua obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari
premedikasi itu sendiri. Waktu adalah yang paling penting dalam pemberian
premedikasi dimana waktu yang tepat dalam pemberian premedikasi akan
menghasilkan manfaat yang besar. Secara umum waktu pemberian secara oral
adalah 60-90 menit sebelum pembedahan, bila diberikan secara intramuskular
dapat diberikan 30-60 menit sebelum induksi anestesi, dan jika diberikan secara
intravena dapat diberikan 5-10 menit sebelum pembedahan. Pada pembedahan
tiroid, pasien dapat diberikan short-acting opioid sebagai analgesik, seperti
fentanil, remifentanil, dan sufentanil dapat digunakan, namun ketersediaan obat
ini sangat terbatas, kecuali fentanil. Teknik anestesi menggunakan opioid terutama
dapat menurunkan minimum alveolar concentration (MAC) secara signifikan
memberikan respon tumpul pada trakea, dan pipa endotrakeal (PET). Opioid
43
diberikan dengan dosis tinggi, yaitu fentanil loading dose 3-10 mcg/kg iv,
sunfentanil loading dose 0,5-1,5 mcg/kg iv, diikuti dengan bolus intermiten atau
infus secara kontiyu. Untuk prosedur yang memberikan stimulasi tinggi, tetapi
dengan ketidaknyamanan yang minimal pasca operasi, seperti operasi laser pada
jalan nafas, opioid short-acting lebih direkomendasikan. Remifentanil dengan
loading dose 0,5-1,0 mcg/kg BB secara intravena, infus 0,1-0,3 mcg/kg BB/menit
melalui intravena. Pada pembedahan tiroid, penggunaan rutin glikopirolat, dan
atropin dapat diberikan sebagai bagian dari premedikasi karena dapat
menghambat sekresi mukosa jalan nafas sehingga menyebabkan sulit menelan,
dan kulit terasa kering. Pemeliharaan pada pasien dengan hipotensi terkendali
sedang (60-70 mmHg) bertujuan untuk menjaga kondisi pasien tetap optimal saat
operasi. Berbagai pendekatan farmakologis telah berhasil digunakan untuk
pemeliharaan pada pasien hipotensi. Penggunaan remifentanil sangat efektif pada
pasien hipotensi, dan berguna baik untuk teknik inhalasi, dan total intravena
anestesi (TIVA). TIVA, dan penggunaan propofol sebagai induksi anestesi telah
dikenal secara luas untuk prosedur pembedahan tiroid. Hal itu menunjukkan
karakteristik klinis yang sangat baik, dan tindakan farmakologis seperti sebagai
anti-muntah, onset, dan pemulihan yang cepat. Propofol sebagai obat pilihan
induksi anestesi dalam dosis 2 mg/kg BB. Pada pasien dengan kesulitan jalan
nafas dapat menggunakan suksinilkolin sebagai pilihan obat relaksasi otot, namun
umumnya penggunaan vekuronium yang paling sering digunakan untuk
pembedahan karena dapat menstabilkan fungsi kardiovaskuler. Aksi sinergis dari
penggunaan opioid sebagai analgesik, dengan kombinasi fentanil, dan propofol
sebagai komponen TIVA.21,22,23
dapat dilakukan anestesi umum atau analgesia regional, tergantung dari jenis
operasi yang akan dilakukan. Perlu diperhatikan juga dari faktor jenis kelamin,
faktor emosional, dan rasa malu yang lebih dominan terlihat pada pasien
perempuan merupakan pendukung pilihan anestesi umum, sebaliknya pada pasien
laki-laki dapat diberikan anestesi umum atau analgesia regional. Apabila
dilakukan anestesi regional pada pasien perempuan, dianjurkan untuk memberikan
tambahan obat sedatif terlebih dahulu. Untuk faktor dari status fisik, perlu
diperhatikan penyakit sistemik yang diderita pasien, komplikasi dari penyakit
primer, dan terapi yang sedang dijalaninya. Hal ini sangat penting, mengingat
adanya interaksi antara penyakit sistemik/pengobatan yang sedang dijalani dengan
tindakan/obat anestesi yang digunakan. Apabila dilihat dari jenis operasi, terdapat
4 masalah yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan pilihan anestesi, yakni
lokasi, posisi, manipulasi, dan durasi operasi. Pada umumnya, anestesi intravena
total digunakan terutama untuk prosedur pembedahan. Anestesi intravena total
dapat meningkatkan stabilitas hemodinamik dengan waktu pemulihan yang cepat,
dan penurunan postoperative nausea and vomiting (PONV). Prosedur anestesi
yang paling aman digunakan pada operasi daerah leher yaitu anestesi umum
dengan intubasi endotrakeal, dan preoksigenasi 100% dapat meningkatkan
fungsional volume residu.21,22,23
KESIMPULAN
benjoan pada leher yang dialaminya sejak 1 tahun yang lalu. Progresifitas
5cm x 10cm x 10cm, warna seperti kulit disekitarnya, dan terlihat ikut
massa pada daerah coli sinistra berukuran 5cm x 10cm x 10cm, teraba
keras dan padat, permukaan berbenjol, tidak dapat digerakan dari dasarnya
dan dapat tidak digerakkan dari kulit diatasnya (terfiksir) atau bersifat
immobile, tidak ada nyeri tekan, teraba hangat dan tidak bergerak ke atas
pembesaran KGB.
kenaikkan dan lainnya dalam batas normal. Pasien didiagnosa oleh dokter
suspek maligna.
leher, dan proses pembedahannya memakan waktu yang cukup lama. Jenis
47
48
yaitu fentanil yang merupakan agonis opioid poten. Obat ini dipilih karena
cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih
besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain)
induksi anastesia cepat. Obat ini didistribusi secara cepat dan dieliminasi
yang cepat. Obat ini bertujuan untuk memperkecil rasa nyeri. Sifat utama
yang tidak mudah terbakar. Isofluran merelaksasi otot rangka dengan lebih
untuk intubasi.
50
Pemberian obat ephedrine yang bekerja sebagai agonis alfa & beta
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 6.
Jakarta: InternaPublishing; 2017.
2. Sjamsuhidajat S, Prasetyono TOH, Rudiman R, et al. Buku ajar ilmu bedah
sistem organ dan tindak bedahnya. Ed 4. Jakarta: EGC; 2016.
3. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Buku ajar patologi robbins. Ed 9.
Philadelphia: Elsevier; 2013.
4. Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia. Protokol pelaksanaan kasus
bedah onkologi. Bandung: PERABOI; 2003.
5. Ayu R. Prinsip dasar Anestesi Pediatrik. Departemen Anestesiology dan
Terapi Intensif. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin;
2016.
6. Darsana IDGO. General Anastesi Face Mask (Ga Fm) pada Pasien Combutio
Grade II A. J Kedokt. 2019;5(1).
7. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi dan Terapi Intensif. 2015.
8. Okta IB, Subagiartha IM, Wiryana M. Perbandingan Dosis Induksi dan
Pemeliharaan Propofol Pada Operasi Onkologi Mayor yang Mendapatkan
Pemedikasi Gabapentin dan Tanpa Gabapentin. JAI (Jurnal Anestesiol
Indones. 2017;9(3).
9. Rehatta et al. Anestesiologi dan terapi Intensif. pertama. Jakarta: PT
Gramedia Pusaka Utama; 2019.
10. Aun T et al. Total intravenous anaesthesia using target controlled infusion.
Coll Anesthesiol Acad Med Malaysia. 2013;
11. Sear J. Total Intravenous Anesthesia. Anesthesiology. 2008;
12. Arvianto, Oktaliansah E, Surahman E. Perbandingan antara Sevofluran dan
Propofol Menggunakan Total Intravenous Anesthesia Target Controlled
Infusion terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan Pasien pada Ekstirpasi
Fibroadenoma Payudara. J Anestesi Perioper. 2017;5(1)
13. Mangku G, Senapathi TGA. Buku ajar ilmu anesthesia dan reanimasi.
Jakarta: Indeks.2017
iv
v
14. Veterini AS. Buku Ajar Teknik Anestesi Umum. Hamzah, Semedi BP,
editors. Universitas Airlangga; 2021
15. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestiologi. 2 nd ed.
Jakarta:Bagian Anestiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2012
16. PERKI. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut 2016.
Jakarta:PERKI. 2016
17. American College of Surgeons of Committee on Trauma. Advanced Trauma
Life Support Student Course Manual. 2018
18. American College of Surgeons of Committee on Trauma. Advanced Trauma
Life Support Student Course Manual. 2018
19. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail's Clinical
Anestesiology.5th. New York:Mc. Graw Hill. 2013
20. Gunawan SG, Setiabudy R, Editors. Farmakologi dan Terapi. 5 th Ed:Jakarta:
Badan Penerbit FKUI. 2011
21. Bacuzzi A, Donigi G, Baco AD, et al. Anaesthesia for thyroid surgery:
perioperative management. Int J Surg. 2008;6:82-5.
22. Lu IC, Lin IH, Wu CW, et al. Preoperative, intraoperative, and postoperative
anesthetic prospective for thyroid surgery. Gland Surg. 2017;6(5):469-75.
23. Bajwa SJS, Sehgal V. Anaesthesia and thyroid surgery: the never ending
challenges. Ind J End Met. 2013;17(2):228-34.