Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN OPERASI


URETERORENOSCOPY DENGAN RIWAYAT
PENYAKIT DIABETES MELITUS
Disusun Sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior SMF Ilmu
Anestesi di RSU Haji Medan

Disusun Oleh:
Renaldy Firdaus

22360149

Pembimbing:
dr. M. Winardi S. Lesmana, M. Ked (An), Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU ANESTESI


RSU HAJI MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, atas rahmat
yang dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judul “Manajemen Anestesi Pada Pasien Operasi Ureterorenoscopy Dengan
Riwayat Penyakit Diabetes Melitus”. Penyusunan tugas ini di maksudkan untuk
mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang di berikan pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. M. Winardi S. Lesmana,
M. Ked(An)., Sp.An selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior SMF Ilmu
Anestesi serta dalam penyelesaian laporan kasus ini. Dalam penulisan laporan kasus ini,
penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan datang.

Medan, Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS


2.1 Identitas...............................................................................................................3
2.2 Anamnesa............................................................................................................3
2.3 Pemeriksaan Fisik...............................................................................................4
2.4 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................7
2.5 Perawatan Selama Di Ruangan.........................................................................10
2.6 Kesan Anestesi..................................................................................................14
2.7 Diagnosa Pra Bedah..........................................................................................14
2.8 Diagnosa Pasca Bedah......................................................................................14

BAB III RUMUSAN MASALAH


3.1 Permasalahan....................................................................................................15

BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Pre Operasi..........................................................................................................16
4.2 Durante Operasi..................................................................................................26
4.3 Post Operasi........................................................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cystitis adalah inflamasi kandung kemih yang paling sering disebabkan
oleh penyebaran infeksi dari uretra. Hal ini dapat disebabkan oleh aliran balik
urin dari uretra ke dalam kandung kemih. (Prabowo & Pranata, 2014). Cystitis
terjadi di seluruh dunia dan mempengaruhi Negara yang sedang berkembang dan
Negara miskin. Cystitis ini merupakan penyebab utama kematian dan
meningkatnya morbiditas pasien yang di rawat di rumah sakit.
Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia.
Dilaporkan dari Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa (Askandar
T, 2000). Dengan prevalensi DM sebesar 21,9%, maka diperkirakan pada tahun
2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah 13,7 juta. Selanjutnya, berdasarkan
pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194
juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM
21,9% maka diperkirakan terdapat 20,1 juta penderita diabetes. Suatu jumlah
yang sangat besar dan merupakan suatu masalah kesehatan yang perlu
mendapatkan perhatian yang serius dari seluruh tenaga kesehatan. WHO
memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Basuni Radi, 2005).
Untuk memfasilitasi operasi ini dilakukan Anestesi regional (epidural,
spinal, blok saraf perifer) yang mempunyai keuntungan dibandingkan dengan
anestesi umum yang dilakukan pada pasien dengan DM. Keuntungan ini
diantaranya bahaya aspirasi paru dapat dikurangi seminimal mungkin, karena
penderita tetap sadar, dan refleks proteksi tubuh seperti refleks laring masih utuh
disamping itu anestesi regional menurunkan respon neuro-endokrin terhadap
stress pembedahan utamanya refleks adreno kortikal, sehingga relatif aman
untuk penderita.Pada spinal anestesi dapat menghindari problem efek toksik
sistemik, tetapi bila direncanakan akan dilakukan blok spinal tinggi, status cairan
harus baik. Sedangkan kekurangannya adalah pada penderita hipovolemik dan

1
asidosis akan menurunkan volume distribusi obat lokal anestesi sehingga dapat
menyebabkan toksis pada dosis rendah.(Styttar,1991)

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
a. Nama : Chan Tjio Tjoe
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Umur : 70 tahun
d. Agama : Budha
e. Alamat : Jl. Kebon Sayur Dusun VIII Komplek Permai No. 9 B
f. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
g. Status Perkawinan : Kawin
h. No RM : 393396
i. Tanggal Masuk RS : 23 Maret 2023

2.2 ANAMNESA
Keluhan Utama : BAK seperti pasir
Telaah :
Pasien datang ke IGD RSU Haji Medan dengan keluhan nyeri pada saat buang air
kecil kurang lebih 2 minggu ini. Nyeri dirasakan pasien terus menerus di bagian
saluran kencing. Pasien mengatakan pada saat buang air kecil seperti pasir, pasien
juga mengatakan tidak ada darah yang keluar pada saat buang air kecil. Pasien
merasa nyeri pinggang. Demam (-), batuk (-), mual (+) , muntah (-). Pasien sudah
dipasang stand oleh dokter hasroni Sp.U.

BAK: sebanyak 2 kali sehari. Warna kuning keruh


BAB: sebanyak 1 kali sehari. Warna coklat konsistensi lunak
Riwayat Penyakit Dahulu : Asam Lambung dan Diabetes melitus tipe 2
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
Riwayat Alergi : Tidak ada
Riwayat Pengobatan : Metformin dan Omeprazole
Riwayat kebiasaan : sarapan pagi jam 11 siang

3
2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Present
a. Keadaan Umum
Kesan : tampak sakit ringan
b. Tanda Vital :
TD: 150/90 mmHg RR: 20x/i SpO2: 99%
HR: 88x/i T: 37°
c. BB : 60 kg
d. TB : 155 cm

Keadaan Gizi
IMT : BB/(TB)2
=60/(1,55)2  24 kg/m2
Kesan: Normoweight
1) B1 (Breath)
a) Inspeksi
Airway : Clear
Respiratory Rate : 20x/menit
Jejas : (-)
Ketinggalan bernafas : (-)
Bentuk dada : Simetris
Retraksi iga : (-)
Retraksi sternokleidomastoideus : (-)
b) Palpasi
Nyeri tekan : (-)
Benjolan : (-)
c) Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
d) Auskultasi : Suara nafas : vesikuler (+/+)
Suara tambahan : (-)

4
2) B2 (Blood)
Status Lokalisata
a) Inspeksi
Konjungtiva anemis : (-)
Muka pucat : (-)
b) Palpasi
Akral : Hangat
Tekanan darah : 150/90 mmHg
MAP : 90 mmHg
HR : 88 x/i
CRT : <2 detik
TVJ : R-2 cmH2O
Iktus kordis : Tidak teraba
c) Perkusi
Batas jantung : Kanan atas
 ICS III linea parasternalis dextra
Kiri atas
 ICS III linea parasternalis sinstra
Kanan bawah
 ICS IV linea parasternalis dextra
Kiri bawah
 ICS V, 2 jari kearah medial dari linea
midclavicularis sinistra
d) Auskultasi : Suara jantung dalam batas normal

5
3) B3 (Brain)
Sensorium : Compos mentis, GCS: 15
Reflex pupil : Isokor (+/+)
Reflex cahaya : (+/+)
Saraf cranial : TDP
Reflex fisiologis : TDP
Reflex patologis : TDP
a) Inspeksi
Luka di kepala : (-)
b) Palpasi
Benjolan : (-)

Fraktur : (-)

4) B4 (Bladder)
a) Inspeksi
Jejas : (-)
b) Palpasi
Ballottement : (-)
Distensi : (-)
c) Perkusi
Nyeri ketok CVA : (+)
d) Kateter : (-)
Warna urine : Kuning keruh

5) B5 (Bowel)
a) Inspeksi
Abdomen : simetris, datar
Pembesaran : (-)
b) Auskultasi

6
Peristaltik usus : 10 x/i, Bising usus normal
c) Perkusi
Abdomen : timpani
d) Palpasi
Abdomen : soepel
Nyeri tekan : (-)

6) B6 (Bone)
a) Inspeksi
Kemerahan : (-)
Luka : (-)
Deformitas : (-)
b) Palpasi
Edema : (-)
Fraktur : (-)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Haemoglobin 10.6 g/dl 11,7-15,5
Hematokrit 31.1 % 37-45
Eritrosit 3.46 10*6/uL 4.00- 5.00
Leukosit 15.40 Ribu/mm3 4-11
Trombosit 378 Ribu/mm3 0.150-0.400
INDEX ERITROSIT
MCV 90 fL 80-100
MCH 31 pg 26-34
MCHC 34 g/dL 32-36
HITUNG JENIS LEUKOSIT
Eosinofil 1 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
Neutrofil seg 78 % 50-70
Monosit 4 % 4-8

7
Limfosit 17 % 20-45
JUMLAH TOTAL SEL
T. Lymphosit 2.65 Ribu/uL 0.58-4.47
T. Basofil 0.00 Ribu/uL 0-0.1
T. Monosit 0.65 Ribu/dL 0-0.1
T. Eosinofil 0.07 /uL 0-0.61
T. Neutrofil 12.1 Ribu/uL 1.88-7.82
HEMOSTASIS
Masa Pendarahan 3 menit 1-3
Masa Pembekuan 6 menit 2-6
KIMIA KLINIK
Glukosa darah adrandom 230 mg/dl <200
ureum 57.2 mg/dl 10-38
Kreatinin 2.3 mg/dl 0.7-1.2
HbsAg Negative Negative
HIV Non reaktif Non reaktif

URINE PROFILE
Warna urine Kuning Kuning muda
Kejernihan Agak keruh Jernih
KIMIA
Ph 5.00 7.0 netral
Berat jenis 1.00 1.01-1.025
Protein urine Positif 1 Negatif
Redukksi Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
urobilinogen Negatif EU/DL Negatif
bilirubin Negatif Negatif
Nitrit urine Negatif Negatif
blood Pos 1 Negatif
Lekosit esterase 2+ Leu/ul Negatif
SEDIMEN
Eritrosit >100 LBP 0-3
Lekosit 3-7 LBP 0-3

8
Epitel 10-25 LPK 0-3

EKG

Interpretasi:
Normal sinus rhytm
Normal EKG

Foto thorax
Interpretasi:
Cor : kesan membesar
Pulmo : tak tampak infiltrat
Trachea di tengah
Hemidiagfragma kanan kiri tampak baik
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Tulang – tulang tampak baik
Soft tissue tampak baik

9
2.5 PERAWATAN SELAMA DI RUANGAN
IGD
Tgl 23 – 03 – 2023
1) IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
2) Lansoprazole 1 amp/12 j / iv
3) Farlosin 0.4 mg 1x1 malam
4) Monuril sachet 1x1
5) Metformin 500 mg 1x1
6) Konsul ke dr. urologi
7) Rencana operasi hari jumat tgl 24-03-2023 jam 08.00

Bangsal
Tgl 23 – 03 – 2023
1) IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
2) Inj. Ceftriaxone 1 gr sebelum operasi
3) Persiapan OP

 Persiapan rutin
Persiapan di ruang perawatan meliputi persiapan psikis dan persiapan fisik.
- Untuk persiapan psikis yang dapat dilakukan antara lain: pasien
dan atau keluarganya akan diberikan penjelasan agar mengerti
perihal rencana anestesi dan pembedahan yang direncanakan.
- Persiapan fisik yang dapat dilakukan antara lain:
a) Menghentikan kebiasaan seperti merokok, minum minuman
keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum
anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di
poliklinik.
b) Tidak memakai prostesis atau aksesoris.
c) Tidak mempergunakan cat kuku atau cat bibir.
d) Program puasa untuk pengosongan lambung.
e) Pasien dimandikan pagi hari menjelang ke kamar operasi,
pakaian diganti dengan pakaian khusus kamar operasi.

10
Selain persiapan psikis dan fisik, juga dilakukan persiapan lain seperti
membuat surat persetujuan tindakan medis.

OK
Tgl 24-03-2023
Pre OP
1) Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS) adalah
mengevaluasi ulang status presen dan catatan medik pasien serta kelengkapan
lainnya.
2) Persiapan yang dilakukan di kamar operasi adalah:
a) Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan
b) Alat-alat resusitasi antara lain: alat bantu nafas, laringoskop, pipa jalan
nafas, alat hisap, defibrilator, dan lain-lain
c) Obat-obat anestesi yang diperlukan
d) Obat-obat resusitasi
e) Alat pantau tekanan darah, nadi, suhu tubuh, EKG, dan pulse oksimeter
f) Kartu catatan medik anestesi

Durante OP
1) Pre Medikasi: Ranitidine 50 mg, ondansentron 4 mg

11
2) Jenis Anestesi: Regional Anestesi
3) Anestesi dengan: Bupivacain 0,5% 20 mg
4) Posisi Anestesi: Litotomi
5) tindakan : cystoscopy
6) teknik anestesi : SAB L3 – L4 spinoncan No. 25, 2X tusuk
7) Jenis Pembedahan: URS (Ureterorenoscopy)
8) Mulai Anestesi: 08.30 WIB
9) Mulai Operasi: 08.50 WIB
10) Medikasi
a) Bupivacain 0,5%
b) Asam tranexamat 500 mg
c) Fentanyl 25 mg
11) Pemantauan selama anastesi
12) Selesai Operasi 10.00 WIB

13) Pemulihan anestesi

12
Ruang pemulihan (Post OP)
Tgl 24-03-2023
1) Pantau TTV
2) O2 nasal canul 2L/i
3) Beri posisi nyaman

Bangsal (al ikhlas)


Tgl 24-03-2023
1) IVFD RL 33 gtt/i
2) Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
3) Inj ondansentron 4 mg/ 8 jam
4) Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam

Bangsal (al ikhlas)


Tgl 25-03-2023
1) IVFD RL 33 gtt/i
2) Inj ondansentron 4 mg/ 8 jam

Bangsal (al ikhlas)

13
Tgl 26-03-2023
1) IVFD RL 33 gtt/i
2) Inj ondansentron 4 mg/ 8 jam
3) Paracetamol 500 mg
4) Monuril 3g 1x1

Bangsal (al ikhlas)


Tgl 27-03-2023
1) IVFD RL 33 gtt/i
2) Inj ondansentron 4 mg/ 8 jam
3) Paracetamol 500 mg
4) Monuril 3g 1x1

2.6 Kesan Anestesi

Perempuan 70 tahun menderita cystitis + hematuria dengan ASA 3

2.7 Diagnosa Pra bedah

Cystitis

2.8 Diagnosa Pasca Bedah

Cystitis + hematuria + pyuria

14
BAB III
RUMUSAN MASALAH

3.1 Permasalahan
3.1.1 Pre Operasi
A. Diabetes melitus
Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu.
Gula darah pasien 230, lalu diberikan obat metformin untuk lini pertama dan
dikombinasikan dengan sulfonilurea, gula darah menjadi 185 mg/dl.
B. Puasa
Pasien diminta untuk puassa selama 8 jam sebelum operasi dilakukan. Selama
pasien puasa, diberikan carian IVFD RL 33 gtt/menit
C. Ureum
D. Kreatinin

3.1.2 Durante Operasi


A. Mual – mual pada saat operasi  diberikan ondansentron 4 mg
B. Dm  infus glukosa untuk pencegahan hipoglikemia

3.1.3 Post Operasi


1. Pantau TTV pasien
 Tekanan Darah 130/80 mmHg = pertahankan kecepatan infus
 Temp: 35.8°C  menggigil = berikan selimut penghangat
 Heart Rate: 105x/menit
2. Nyeri pasca OP
Nyeri pasca OP > pemberian analgetik > inj fentanyl

15
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pre Operasi


4.1.1 Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia.
Dilaporkan dari Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa (Askandar T,
2000). Dengan prevalensi DM sebesar 21,9%, maka diperkirakan pada tahun 2003
terdapat penyandang diabetes sejumlah 13,7 juta. Selanjutnya, berdasarkan pola
pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta
penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM 21,9%
maka diperkirakan terdapat 20,1 juta penderita diabetes. Suatu jumlah yang sangat
besar dan merupakan suatu masalah kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian
yang serius dari seluruh tenaga kesehatan. WHO memprediksi kenaikan jumlah
pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030
(Basuni Radi, 2005).
Fokus utama ahli anestesi adalah evaluasi prabedah dan terapi penyakit ini
untuk memastikan kondisi pasien yang optimal. Kunci untuk mengelola kadar
glukosa darah pra bedah pada pasien diabetik adalah menetapkan sasaran yang
jelas dan kemudian memantau kadar glukosa darah cukup sering untuk
menyesuaikan terapi guna mencapai sasaran tersebut (Sunatrio S,1996). Dari
uraian diatas maka penderita DM yang akan menjalani anestesi-operasi harus
disiapkan secara optimal, begitu juga pilihan tindakan anestesi yang akan
dilakukan harus dipertimbangkan secara matang untuk mendapatkan outcome
yang maksimal. Para ahli anestesi dan ahli bedah dituntut untuk mengetahui
patofisiologi perubahan sistem endokrin dan metabolik penderita diabetes mellitus
yang akan menjalani tindakan anestesipembedahan, dengan demikian diharapkan
dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitasnya.

16
A. Manajemen Prabedah
Setelah penderita terdiagnosis sebagai penderita DM maka diperlukan
penilaian dan persiapan pra bedah agar dicapai kondisi yang optimal untuk
dilakukan suatu tindakan anestesipembedahan. Salah satu yang dinilai adalah
bahwa pada seorang penderita DM diberlakukan penilaian umur fungsional yaitu
umur kronologis ditambah dengan lamanya orang tersebut menderita DM
(Sarodja,1999). Karena ada kemungkinan penyakit pembuluh darah yang
menyeluruh, baik makroangiopati maupun mikroangiopati dimana proses
makroangiopati melibatkan proses aterosklerosis dengan manifestasi penyakit
jantung koroner, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer. Faktor lain yang
mempengaruhi yaitu adanya disfungsi endotel yaitu suatu
ketidakseimbangan antara faktor relaksasi dan faktor konstraksi vaskuler,
antara antikoagulasi dan prokoagulasi, faktor proliferasi dan menghambat
proliferasi(Sarodja,1999). Dimana hal tersebut akan meningkatkan mortalitas dan
morbiditas anestesi-pembedahan. Seperti kita ketahui bahwa pembuluh darah
penderita diabetes jauh lebih tua dibandingkan dengan penderita non DM dari
umur kronologis yang sama. Pemeriksaan meliputi keadaan sirkulasi/jantung, faal
ginjal, keseimbangan elektrolit dan keadaan metabolik disamping pemeriksaan
laboratorium lainnya. Pemeriksaan kemungkinan adanya infeksi, keadaan
asidosis, bagaimana regulasinya dll, sehingga pasien dalam keadaan stabil/optimal
(Siti Chasnak S,2000).
Secara ringkas maka perlu diadakan suatu pendekatan lebih sistematis untuk
menilai keadaan klinis penderita.
1. Menentukan tipe diabetesnya
2. Penilaian beratnya penyakit ( DM )
(Siti Chasnak S,2000;Askandar T,2000)
* Umur dan onset DM
* Pengobatan yang sedang dijalani/ diperlukan ( diet, OAD, Insulin )
* Adanya kondisi yang menunjukkan ketidakstabilan DM, misalnya ketosis,
hipoglikemi berulang karena insulin.
* Masalah metabolik lainnya.

17
* Komplikasi-komplikasi target/ end organ misalnya polineuropati,
nefropati, penyulit jantung atau penyulit pembuluh darah perifer.
3. Penggolongan penderita DM dalam 3 kelas
(Siti Chasnak S,2000)
Kelas 1 : DM dengan terapi diet atau diet dan OAD.
Kelas 2 : DM dengan terapi insulin sampai 40 unit/hari
Kelas 3 : DM dengan terapi insulin lebih dari 40 unit/hari atau juvenile
DM.
Untuk pembedahan terencana sebaiknya kadar glukosa darah dapat diatur
antara 150 – 200 mg/ dL, adapula penulis yang mengatakan antara 110 – 180
mg/dL tanpa ketonuria serta kadar bikarbonat normal, atau antara 150 -250 mg/dL
(Askandar T,2000) , dan ada yang menganjurkan antara 100 – 200 mg/dL dengan
kadar glukosa darah lebih tinggi dari 250 mg/dL dapat menghambat fungsi lekosit
dan memudahkan terjadinya infeksi perioperatif (Sunatrio,1996;Siti Chasnak
S,2000;Askandar T,2000)
Penderita DM yang akan menjalani pembedahan elektif sebaiknya masuk
RS minimal 2 X 24 jam sebelumnya agar persiapan lebih optimal. Data
laboratorium terakhir yang diperlukan adalah kadar glukosa darah, elektrolit,
urinalisis, BUN, creatinin, EKG (Sunatrio,1996;Siti Chasnak S,2000;Askandar
T,2000). Pada penderita DM kelas I yang diterapi / terkontrol dengan diet atau
diet dan OAD tergantung pada macam pembedahannya apakah OAD perlu diganti
dengan RI. Bila setelah pembedahan penderita diharapkan dapat segera diberikan
intake peroral, maka OAD tidak perlu diganti dengan RI. Tetapi pada pembedahan
besar dimana beberapa hari intake harus melalui per infus maka OAD harus
segera diganti dengan RI. Pengantian ini perlu waktu untuk monitoring (Siti
Chasnak ,2000).
Bila didapatkan acetonuria tanpa glukosuria, hal ini kemungkinan
menggambarkan ketosis karena puasa, sehingga perlu diberi karbohidrat IV atau
peroral. Hal tersebut dapat dicegah dengan pemberian karbohidrat 100-150
gram/hari ( BB 70 kg ). Adapula yang mengatakan / menggunakan 50-75
gram/24jam pada hari pembedahan (Siti Chasnak ,2000).

18
Sedangkan pada penderita DM kelas 2 atau 3 bila penderita menggunakan
long acting insulin maka dilakukan penggantian dengan RI, dimonitor beberapa
hari untuk mendapatkan dosis yang sesuai. Bila ada gangguan elektrolit dan asam
basa harus dikoreksi dahulu (Siti Chasnak ,2000). Pada umumnya target
pengelolaan kadar glukosa darah pada penderita non critically ill atau dengan
prosedur pembedahan minor sampai sedang berkisar antara 120-200 mg/dL.
Sedangkan pada pembedahan mayor atau penderita critically ill batasannya lebih
ketat lagi yaitu antara 80-110 mg/dL, dan biasanya dikerjakan dalam setting
instalasi rawat intensif (Siti Chasnak , 2000).
Hasil pemeriksaan glukosa darah untuk penyesuaian dosis insulin, dalam hal
ini untuk menghindari hipoglikemia, dengan menggunakan tehnik sliding scale
sebagai berikut (Siti Chasnak ,2000;Askandar T,2000) :

B. Manajemen Intraoperatif
Tidak obat obat anestesi yang merupakan kontraindikasi, sebaliknya tidak
ada pula yang spesifik untuk penderita DM. Teknik anestesi dan pemilihan obat
anestesi sepenuhnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman para ahli
anestesi yang biasanya didasarkan atas jenis operasi, keadaan penderita dan risiko
yang ada. Anestesi regional (blok syaraf perifer, spinal atau epidural) untuk
prosedur pembedahan urologik, orthopedik, dan abdomen bagian bawah hanya
mempengaruhi gangguan ringan pada status metabolik dan dianjurkan pada

19
penderita DM. Obat-obat anestesi lokal biasanya tidak berpengaruh pada
metabolisme karbohidrat. Meskipun demikian anestesi umum biasanya dapat
diterima pada sebagian besar penderita DM (Askandar T, 2000). Teknik anestesi
terbukti mempunyai pengaruh terhadap kontrol metabolik pada penderita DM.
Dari penelitian Barker dkk (1995) yang membandingkan teknik anestesi lokal dan
umum pada pasien DM yang menjalani pembedahan katarak, didapatkan hasil
bahwa anestesi umum pada penderita DM dan kelompok kontrol menaikkan kadar
gula darah dan kortisol selama pembedahan, yang normal kembali dalam 4 jam
pasca bedah. Pada penderita dengan anestesi lokal hanya didapatkan perubahan
kecil pada keduanya. Respon insulin tidak didapatkan pada penderita DM yang
mendapat anestesi umum. Respon endokrin terhadap pembedahan ternyata tidak
terjadi pada anestesi spinal. (Siti Chasnak, 2000).

a) ANSTESI REGIONAL
Anestesi regional (epidural, spinal, blok saraf perifer) mempunyai
keuntungan dibandingkan dengan anestesi umum yang dilakukan pada pasien
dengan DM. Keuntungan ini diantaranya bahaya aspirasi paru dapat dikurangi
seminimal mungkin, karena penderita tetap sadar, dan refleks proteksi tubuh
seperti refleks laring masih utuh disamping itu anestesi regional menurunkan
respon neuro-endokrin terhadap stress pembedahan utamanya refleks adreno
kortikal, sehingga relatif aman untuk penderita.Pada spinal anestesi dapat
menghindari problem efek toksik sistemik, tetapi bila direncanakan akan
dilakukan blok spinal tinggi, status cairan harus baik. Sedangkan kekurangannya
adalah pada penderita hipovolemik dan asidosis akan menurunkan volume
distribusi obat lokal anestesi sehingga dapat menyebabkan toksis pada dosis
rendah.(Styttar,1991)

4.1.2 Puasa

Puasa preoperatif pada pasien yang akan menjalani operasi bersifat elektif
merupakan suatu keharusan sebelum tindakan operatif, hal ini berguna untuk
mengurangi volume dan keasaman lambung serta mengurangi risiko regurgitasi
atau aspirasi yang lebih dikenal dengan Mendelson’s syndrome selama anestesi

20
terutama pada saat induksi.1 Sewaktu dilakukan induksi anestesi, refleks batuk
dan menelan akan dihambat, sedangkan makanan di dalam lambung
meningkatkan risiko aspirasi. Isi lambung sangatlah asam dengan pH sekitar 1,5–
3,5, regurgitasi sekitar 50 mL dari asam lambung dapat menyebabkan iritasi serta
inflamasi di paru-paru dan dapat mengganggu pertukaran gas sehingga pada
akhirnya mengakibatkan kematian.1
Puasa preoperatif pada pasien pembedahan elektif bertujuan untuk
mengurangi volume lambung tanpa menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi.
Sebuah panduan mempuasakan pasien sebelum operasi elektif diperkenalkan oleh
Lister sejak tahun 1883. Tindakan ini kemudian dibakukan oleh American Society
of Anesthesiologist (ASA) sejak tahun 1999 untuk mempuasakan pasien dari
makanan padat maupun cair,2 tetapi puasa yang berlebihan dapat menyebabkan
komplikasi perioperatif yang berbahaya.3
Puasa preoperatif yang lebih lama akan berdampak pada kondisi pasien
preoperatif serta pascaoperatif. Puasa preoperatif yang lama menyebabkan
resistensi insulin sehingga memengaruhi kenaikan gula darah, terutama jika lebih
dari yang dianjurkan 6–8 jam dan sering kali selama 10–16 jam.3 Puasa mulai
tengah malam juga mengakibatkan berbagai tingkatan dehidrasi bergantung pada
durasi puasa.4 Efek samping puasa yang terlalu lama termasuk rasa haus, lapar,
sakit kepala, rasa tidak nyaman, dehidrasi, hipovolemia, dan hipoglikemia.
Respons metabolik terhadap pembedahan dan trauma akan mengakibatkan
peningkatan laju metabolisme dan keadaan hipermetabolisme.4

4.1.3 Ureum
Ureum adalah suatu molekul kecil yang mudah mendifusi ke dalam cairan
ekstrasel, tetapi pada akhirnya dipekatkan dalam urin dan diekskresi. Ekskresi
ureum dalam tubuh kira-kira 25 mg per hari (Widmann Frances K, 2005). Ureum
merupakan produk akhir dari metabolisme asam amino yang disintesa dari
ammonia, karbon dioksida dan nitrogen amida aspatat (Victor W Rdwell, 1999).
Ureum merupakan salah satu produk dari pemecahan protein dalam tubuh yang
disintesis di hati dan 95% dibuang oleh ginjal dan sisanya 5% dalam feses.
Pengukuran konsentrasi ureum darah, bila ginjal tidak cukup mengeluarkan ureum

21
maka ureum darah meningkat diatas kadar normal karena filtrasi glomerulus harus
turun sampai 50% sebelum kenaikan kadar ureum darah terjadi. Kadar ureum
darah meningkat merupakan salah satu indikasi kerusakan pada ginjal (Nursalam,
2006).

1. metanolisme ureum
Gugus amino dilepas dari asam amino bila asam amino itu didaur ulang
menjadi sebagian dari protein atau dirombak dan dikeluarkan dari tubuh, amino
transferase (transminase) yang ada diberbagai jaringan mengkatalisis pertukaran
gugusan asam amino antara senyawa-senyawa yang ikut serta dalam reaksi-reaksi
sintesis. Deminasi oksidatif memisahkan gugusan amino dari molekul aslinya dan
gugusan asam amino yang dilepaskan diubah menjadi ammonia. Ammonia diantar
ke hati dan dirubah menjadi reaksi-reaksi bersambung seluruh urea hampir
dibentuk di hati, dari katabolisme asam-asam amino dan merupakan produk
ekskresi metabolisme protein yang utama. Konsentrasi urea dalam plasma darah
terutama menggambarkan keseimbangan antara pembentukan urea dan
katabolisme protein serta ekskresi urea oleh ginjal : sejumlah urea dimetabolis
lebih lanjut dan sejumlah kecil hilang dalam keringat dan feses (Baron D. N,
1995). Nilai rujukan untuk ureum adalah 20 - 35 mg/dl (Urea FS, 2016).

2. faktor yang mempengaruhi kadar ureum dalam darah


Kadar ureum dalam darah dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya sebagai
berikut:
a. Asupan Protein dalam Tubuh
Ureum di dalam tubuh merupakan produk akhir dari metabolisme protein
yang diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk urin (Joyce L. K, 2014). Semakin
banyak asupan protein ke dalam tubuh, maka akan mengalami peningkatan kadar
ureum. Metabolisme ureum dilakukan pada organ ginjal, sehingga apabila asupan
protein seseorang terlalu tinggi dan tidak diimbangi dengan asupan gizi yang lain
maka ginjal akan bekerja keras untuk merombak protein tersebut menjadi asam
amino, sehingga kadar ureum dalam darah akan meningkat.

b. Kerusakan pada Ginjal

22
Kerusakan pada organ ginjal sering disebabkan karena menurunnya fungsi
ginjal. Fungsi ginjal menurun ditandai dengan peningkatan kadar ureum. Apabila
hanya 10% dari ginjal yang berfungsi maka pasien sudah berada pada tahap end-
stage renal disease (ESRD) yaitu penyakit ginjal tahap akhir. Ginjal yang rusak
tidak mampu menyaring ureum yang masuk, sehingga kadar ureum akan masuk
ke dalam aliran darah (Baradeno M, Mary dkk, 2009). Keadaan ini menyebabkan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga menyebabkan uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen
lain di dalam darah.

c. Dehidrasi
Dehidrasi adalah gangguan keseimbangan cairan dimana tubuh mengalami
kekurangan cairan tetapi tubuh mengeluarkan lebih banyak cairan. Ginjal
berfungsi memproduksi urin sehingga berkaitan langsung dengan cairan di dalam
tubuh. Tubuh membutuhkan cairan yang cukup untuk metabolisme, jika cairan di
dalam tubuh kurang maka darah dan tekanan darah terganggu. Dehidrasi
mempengaruhi kinerja ginjal menjadi lebih berat. Dehidrasi kronis akan
menyebabkan gangguan pada ginjal (Patrick D., 2006).

d. Konsumi Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar ureum dalam darah seperti,
Nefrotoksik, Diuretik {Hidroklorotiazid (Hydrodiuril)}, Asam etakrinat (Edecrin),
Furosemid (Lasix), Triamteren (Dyrenium), Antibiotik {Basitrasin, Sefaloridin
(dosis besar), Gentamisin, Kanamisin}, Kloramfenikol (Chloromycetin), Anti
hipertensif {Metildopa (Aldomet), Guanetidin (Ismelin)}, Sulfonamid,
Propranolol, Morfin, Litium karbonat, dan Salisilat (Joyce L. K, 2014)

4.1.4 kreatinin
Kreatinin merupakan asam amino yang diproduksi oleh hati, pankreas dan
ginjal. Kreatinin juga bisa diperoleh dari luar tubuh yaitu dari sumber makanan
seperti daging. Kreatin yang disintesis di hati akan berubah menjdi kreatinin dan
terdapat dalam hampir semua otot rangka yang berikatan dengan dalam bentuk
kreatin fosfat (creatin phosphate, CP), suatu senyawa penyimpan energi. Dalam

23
sintesis ATP (adenosine triphosphate) dari ADP (adenosine diphosphate), kreatin
fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase (creatin
kinase, CK). Seiring dengan pemakaian energi, sejumlah kecil diubah secara
ireversibel menjadi kreatinin, yang selanjutnya difiltrasi oleh glomerulus dan
diekskresikan dalam urin (Prayuda, 2016). Jumlah kreatinin yang dikeluarkan
seseorang setiap hari lebih bergantung pada massa otot total dari pada aktivitas
otot atau tingkat metabolisme protein walaupun keduanya juga menimbulkan
efek. Pembentukan kreatinin harian umumnya tetap, kecuali jika terjadi cedera
fisik yang berat atau penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan masif
pada otot (Riswanto, 2010). Menurut Banerjee A (2005), kreatinin merupakan
hasil metabolisme dari kreatin dan fosfokreatin. Kreatinin memiliki berat molekul
113-Da (Dalton).
Kreatinin difiltrasi di glomerulus dan direabsorpsi di tubular. Kreatinin
plasma disintesis di otot skelet sehingga kadarnya bergantung pada massa otot dan
berat badan. Menurut Siregar CT (2009) hasil akhir saat pembentukan kreatinin
pada saat energi dari pospat kreatinin yang didapatkan pada proses metabolisme
yang terdapat didalam otot rangka. Kreatinin merupakan sisa dari metabolisme
tenaga otot, yang seharusnya di saring oleh ginjal dan dimasukkan pada air seni.
Nilai normal kadar kreatinin serum pada pria adalah 0,7-1,3 mg/dL sedangkan
pada wanita 0,6-1,1 mg/dL (David C dan Dugdale, 2013).

1. metabolisme kreatinin
Kreatinin dalam urin berasal dari filtrasi glomerulus dan sekresi oleh
tubulus proksimal ginjal. Berat molekulnya kecil sehingga dapat secara bebas
masuk dalam filtrat glomerulus. Kreatinin yang diekskresi dalam urin terutama
berasal dari metabolisme kreatinin dalam otot sehingga jumlah kreatinin dalam
urin mencerminkan massa otot tubuh dan relatif stabil pada individu sehat (Levey,
2003).
Kreatin terutama ditemukan di jaringan otot (sampai dengan 94%). Kreatin
dari otot diambil dari darah karena otot sendiri tidak mampu mensintesis kreatin.
Kreatin darah berasal dari makanan dan biosintesis yang melibatkan berbagai
organ terutama hati. Proses awal biosintesis kreatin berlangsung di ginjal yang

24
melibatkan asam amino arginin dan glisin. Menurut salah satu penelitian in vitro,
kreatin secara hampir konstan akan diubah menjadi kreatinin dalam jumlah 1,1%
per hari (Wulandari W, 2015).

Kreatinin yang terbentuk ini kemudian akan berdifusi keluar sel otot untuk
kemudian diekskresi dalam urin. Pembentukan kreatinin dari kreatin berlangsung
secara konstan dan tidak ada mekanisme reuptake oleh tubuh, sehingga sebagian
besar kreatinin yang terbentuk dari otot diekskresi lewat ginjal sehingga ekskresi
kreatinin dapat digunakan untuk menggambarkan filtrasi glomerulus walaupun
tidak 100% sama dengan ekskresi inulin yang merupakan baku emas pemeriksaan
laju filtrasi glomerulus. Sebagian (16%) dari kreatinin yang terbentuk dalam otot
akan mengalami degradasi dan diubah kembali menjadi kreatin. Sebagian
kreatinin juga dibuang lewat jalur intestinal dan mengalami degradasi lebih lanjut
oleh kreatininase bakteri usus. Kreatininase bakteri akan mengubah kreatinin
menjadi kreatin yang kemudian akan masuk kembali ke darah (enteric cycling).
Produk degradasi kreatinin ialah 1-metilhidanton, sarkonsin, urea, metilamin,
glioksilat, glikolat, dan metilguanidin (Sireger CT, 2009).

Metabolisme kreatinin dalam tubuh ini menyebabkan ekskresi kreatinin


tidak benar-benar konstan dan mencerminkan filtrasi glomerulus, walaupun pada

25
orang sehat tanpa gangguan fungsi ginjal, besarnya degradasi dan ekskresi
ekstrarenal kreatinin ini minimal dan dapat diabaikan (Wyss, 2000).

4.2 Durante Operasi

4.2.1 Mual dan Muntah


Mual selama anestesi spinal biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral
atau tidak terhalanginya stimulus vagus usus. Biasanya mual adalah tanda awal
hipotensi. Bahkan blok simpatis mengakibatkan tak terhalangnya tonus
parasimpatis yang berlebihan pada traktus gastrointestinal.
Mual dan muntah umumnnya, dapat terjadi karena :

 Hiotensi
 Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik
usus
 Tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus
 Adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter
ductus biliaris
 Factor psikologis
 Hipoksia

Penanganan :

 Untuk menangani hipotensi : loading cairan kristaloid atau koloid 10-20


ml/kgBB kristaloid
 Pemberian bolus efedrin 5-10 mg IV
 Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia.
 Dapat juga diberikan anti emetik.
 Atropin dapat memperbaiki refleks mual dimana tekanan darah dan curah
jantung telah diperbaiki.

26
4.2.2 Diabetes Melitus

A. Pengendalian Metabolisme Selama Pembedahan

Yang memerlukan insulin :


 Semua pasien yang menggunakan insulin sebelum pembedahan perlu
meneruskan insulin selama tindakan.
 Pasien DM tipe 2 dengan diit dan OHO dan glukosa darah puasa >180 mg/dl,
HbAIC >10%. Yang kadang-kadang perlu insulin. Pasien DM tipe 2 dengan diit
dan OHO, glukosa darah puasa <180 mg/dl, HbAIC <10% lama pembedahan
<2jam ruang tubuh tidak dibuka boleh makan sesudah operasi.
 Metformin harus dihentikan 2-3 hari sebelum pembedahan untuk mencegah
asidosis laktat dan dapat diganti dengan sulfonilurea sementara.

B. Pemantauan Glukosa
Selama pembedahan konsentrasi glukosa harus ditetapkan:
1). Sebelum induksi anestesia;
2). 30 menit sesudah induksi;
3). Setiap 45 menit selama tindakan;
4). Pada akhir tindakan;
5). 30 menit sesudah sadar;
6). Setiap jam selama 6 jam atau sampai boleh makan.
Pemeriksaan glukosa lebih sering (tiap 30 menit) bila
glukosa >200 mg/dl dan tiap 15 menit jika <80 mg/dl
selama anestesia

C. Infus Glukosa
Tujuannya iaIah pengendalian konsentrasi glukosa dan pencegahan
hipoglikemiaa. Juga sebagai pemasok energi untuk menekan pembentukan

27
gliserol dan asam lemak serta mengurangi katabolisme protein, yang dapat
menghambat pemulihan.Laju infus 0,07-0,1 g glukosa/ kg/jam ternyata memadai.

D. Cara Pemberian Insulin


Para ahli mencatat 4 cara pemberian insulin pada anestesia dan pembedahan.
2. Infus insulin dan glukosa terpisah.
3. Infus glukosa - insulin - kalium kombinasi.
3. Secara intermiten bolus insulin kerja pendek i.v. atau subkutan.
4. Kombinasi insulin kerja pendek dan intermediet subkutan dengan dosis 30-50% di
bawah dosis sehari- hari bila pasien makan.Cara dengan infus lebih sering dipakai
dan terutama cara infus terpisah lebih luwes.

4.3 Post Operasi

4.3.1 Pantau TTV

Frekuensi pemantauan tanda-tanda vital pasca operasi setelah kembali ke

bangsal dari unit pemulihan telah menjadi subyek penyelidikan. Satu

28
pengamatan penelitian terhadap 250 pasien bedah menyarankan bahwa

pengambilan tanda vital 15 menit pengukuran, yang merupakan praktik umum di

beberapa rumah sakit, tidak diperlukan. penelitian serupa dari 766 pasien pasca

operasi mendukung pengurangan tanda vital awal ini pemantauan. Studi ini

merekomendasikan frekuensi pemantauan tanda vital untuk pasien kembali ke

bangsal sebagai berikut:

• setiap 15 menit × 1

• setiap 30 menit × 2

• setiap 60 menit × 1

• setiap 4 jam × 4

Kedua penelitian ini menemukan bahwa untuk sebagian besar pasien, tanda-

tanda vital tetap dalam batas normal batas selama periode pasca operasi, dan

bahwa hipotensi adalah yang paling umum masalah yang teridentifikasi. Namun,

tercatat bahwa penurunan frekuensi tanda vital pengukuran tertunda deteksi

masalah untuk dua pasien. Wawancara terstruktur yang dilakukan dengan 50

perawat terdaftar menemukan bahwa mereka melakukan Pengukuran tanda vital

30 menit selama 4 jam setelah keluar dari pemulihan unit dan percaya ini

ditentukan oleh kebijakan bangsal atau rumah sakit

4.3.2 Nyeri pasca operasi

Nyeri pasca operasi sedang hingga berat paling sering diobati dengan opioid

oral atau parenteral. Namun, pemberian opioid perioperatif dikaitkan dengan efek

samping (mual dan muntah, depresi pernapasan, pruritis, ileus, dan retensi urin)

yang mungkin memiliki efek samping yang signifikan pada pemulihan pasca

operasi. Menanggapi masalah ini, berbagai strategi hemat opioid telah semakin

29
diterapkan selama dua dekade terakhir untuk mengurangi kebutuhan opioid, dan

dengan demikian efek samping terkait opioid, sambil mempertahankan analgesia

yang memuaskan.

Opioid dengan durasi menengah hingga panjang, seperti hidromorfon 0,25–

0,5 mg (0,015–0,02 mg/kg pada anak) atau morfin 2–4 mg (0,25–0,05 mg/kg pada

anak), paling sering digunakan. Analgesia yang dikendalikan pasien juga dapat

berhasil digunakan pada pasien berusia 6-7 tahun, tergantung pada kematangan

mereka dan pada persiapan pra operasi. Opioid yang umum digunakan termasuk

morfin dan hidromorfon. Dengan interval penguncian 10 menit, dosis interval yang

direkomendasikan adalah morfin, 20 mcg/kg, atau hidromorfon, 5 mcg/kg. Seperti

pada orang dewasa, infus terus menerus meningkatkan risiko depresi pernapasan;

dosis infus kontinu yang khas adalah morfin, 0–12 mcg/kg/jam, atau hidromorfon,

0–3 mcg/kg/jam. Rute subkutan dapat digunakan dengan morfin. Analgesia yang

dikontrol oleh perawat dan yang dikontrol oleh orang tua tetap kontroversial tetapi

teknik yang digunakan secara luas untuk mengontrol nyeri pada anak-anak.

Seperti pada orang dewasa, infus epidural untuk analgesia pascaoperasi

sering terdiri dari anestesi lokal yang dikombinasikan dengan opioid. Bupivakain,

0,1-0,125%, atau ropivakain, 0,1-0,2%, sering dikombinasikan dengan fentanil, 2-

2,5 mcg/mL (atau konsentrasi morfin atau hidromorfon yang setara). Kecepatan

infus yang direkomendasikan tergantung pada ukuran pasien, konsentrasi obat

akhir, dan lokasi kateter epidural, dan berkisar dari 0,1 hingga 0,4 mL/kg/jam. Infus

anestesi lokal juga dapat digunakan dengan teknik blok saraf terus menerus, tetapi

ini kurang umum dibandingkan pada orang dewasa

30
31
DAFTAR PUSTAKA

1. Siti Chasnak, S, 2000, Perioperatif Penderita Diabetes Mellitus dalam Buku


Naskah Lengkap Kongres Nasional III Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi
Indonesia, Jakarta; hal. 219-228. International Agency for Research on Cancer.
Latest world cancer statistics Global cancer burden rises to 14.1 million new
cases in 2012: Marked increase in breast cancers must be addressed. Geneva:
WHO. 2013.
2. Radi, Basuni, Dr., SpJP; Peningkatan Kejadian Kardiovaskuler pada Penderita
Diabetes Mellitus; 2005; downloaded from www. harapankita.co.id.
3. Sarodja. Disfungsi Endotel pada Diabetes Mellitus. Dalam : Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ilmu Penyakit Dalam; 11 – 12 September 1999; Yogyakarta; 1999; P.
91 – 95.
4. Sunatrio, S., 1996, Penatalaksanaan Anestesi Pada Pasien Diabetes Mellitus,
Makalah Kursus Penyegaran dan Penambah Anestediologi, Jakarta, Hal. 1-17.
5. Styttar, MI., Tantra, A.H., Lami, B., 1991, Penatalaksanaan Anestesi Pada
Bedah Akut Penderita Ketoasidosis Diabetik, Makalah Kursus Penyegar dan
Penambah Anestesiologi, Jakarta, Hal.59-71.
6. Dagogo-Jack, Samuel, MD, FRCP, and K. George M.M. Alberti, DPhil, PRCP;
Management of Diabetes Mellitus in Surgical Patients; in Diabetes Spectrum
Volume 15, Number 1, 2002. pp. 44-48
7. Askandar T., 2000, Diabetes Mellitus AnestesiOperasi (Patofisioligo Organ)
Kumpulan Makalah Kongres Nasional III IDSAI, Jakarta, Hal. 219-228

Anda mungkin juga menyukai