Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

“Plasenta Akreta”
Disusun Sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior SMF Ilmu
Anestesi di RSU Haji Medan

Disusun Oleh:
Imam Mulyadi
19360250

Pembimbing:
dr. M. Winardi S. Lesmana, M.Ked(An)., Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU ANASTESI RSU


HAJI MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2021

KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “Plasenta Akreta”. Penyusunan tugas ini di maksudkan untuk
mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang di berikan pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. M. Winardi S. Lesmana,
M.Ked (An)., Sp.An selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior SMF Ilmu
Anestesi serta dalam penyelesaian laporan kasus ini. Dalam penulisan laporan kasus ini,
penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan datang.

Medan, November 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kematian perinatal yang tinggi masih menjadi masalah kesehatan di


seluruh dunia. Setiap tahun diperkirakan empat juta bayi meninggal pada bulan
pertama setelah dilahirkan dan dua pertiganya meninggal pada tujuh hari pertama
kehidupannya (angka kematian neonatal dini). Angka kematian neonatal dini
merupakan indikator status kesehatan suatu negara yang mencerminkan kualitas
kontrol ibu hamil selama kehamilan. Angka kematian neonatus dini di negara
berkembang sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan negara maju. Angka kematian
perinatal di Indonesia masih tinggi yaitu 73 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini
merupakan angka tertinggi, dibandingkan angka kematian perinatal negara
ASEAN lain. Penyebab kematian neonatal dini yang tersering adalah asfiksia,
sepsis, prematuritas dan berat badan lahir rendah (Patel, 2015).
Pelayanan di bidang obstetri terutama pada kasus gawat janin merupakan
sesuatu yang sangat penting. Keterlambatan waktu evakuasi janin dari dalam
rahim ke luar rahim akan memperpanjang lamanya hipoksia (kekurangan oksigen)
pada janin dan dapat berakibat terjadinya asfiksia berat atau mungkin kematian
janin saat masih di dalam rahim, kematian saat lahir (still birth) atau kematian
perinatal (Patel, 2015).
Idealnya, pada kasus gawat janin diperlukan waktu sesegera mungkin
melahirkan janin untuk mengatasi kekurangan oksigen (hipoksia) (Sanjaya, 2008).
Pentingnya penatalaksanaan pada kasus gawat janin melatarbelakangi laporan
kasus ini. Pada laporan ini akan dibahas mengenai plasenta akreta dan obesitas
pada sectio caesaria dan histerektomi.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
a. Nama : Ny. Nursiska. S
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Umur : 35 tahun
d. Agama : Islam
e. Alamat : Dusun Lhok Mukminin Lhouksemawe Aceh
f. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
g. Status Perkawinan : Kawin
h. No RM : 00366637
i. Tanggal Masuk RS : 14 November 2021

2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Perdarahan Pervaginam
Telaah :
Pasien datang ke RSU Haji Medan dengan keluhan perdarahan vaginam.
Keluhan mules tidak dirasakan oleh pasien. Riwayat persalinan G2P1A0 dengan
HPHT 10/11/2020

Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi


Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
Riwayat Alergi : Tidak ada
Riwayat Pengobatan : Tidak jelas

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Tinggi badan : 155 cm
c. Berat badan : 75 kg

Keadaan Gizi

a. IMT = BB/(TB)2

= 75/(1,55)2

= 31,25 kg/m2

Interpretasi Obesitas

1) B1 (Breath)
a) Inspeksi
Airway : Clear
Respiratory Rate : 22 x/menit
Jejas : (-)
Ketinggalan bernafas : (-)
Bentuk dada : Simetris
Retraksi iga : (-)
Retraksi sternokleidomastoideus : (-)
b) Palpasi
Nyeri tekan : (-)
Benjolan : (-)
c) Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru
d) Auskultasi : Suara nafas : vesikuler
Suara tambahan : (-)

2) B2 (Blood)
a) Inspeksi
Konjungtiva anemis : (+)
Muka pucat : (+)
b) Palpasi
Akral : Hangat
Tekanan darah : 160/80 mmHg
HR : 78 x/i
CRT : <2 detik
TVJ : R-2 cmH2O
Iktus kordis : Tidak teraba
c) Perkusi
Batas jantung : Kanan atas
� ICS II linea parasternalis dextra
Kiri atas
� ICS II linea parasternalis sinstra
Kanan bawah
� ICS IV linea parasternalis dextra
Kiri bawah
� ICS V, 2 jari kearah medial dari linea
midclavicularis sinistra
d) Auskultasi : Suara jantung dalam batas normal

3) B3 (Brain)
Sensorium : Compos mentis, GCS: 15
Reflex pupil : Isokor (+/+)
Reflex cahaya : (+/+)
Saraf cranial : TDP
Reflex fisiologis : TDP
Reflex patologis : TDP
a) Inspeksi
Luka dikepala : (-)
b) Palpasi
Benjolan : (-)
Fraktur : (-)
4) B4 (Bladder)
a) Inspeksi
Jejas : (-)
b) Palpasi
Ballottement : (-)
Distensi : (-)
c) Perkusi
Nyeri ketok CVA : (-)
d) Kateter : (+)
Warna urine : Kuning jernih

5) B5 (Bowel)
Abdomen : TDP (Pemeriksaan Ginekologi)
Pembesaran : (+)
Nyeri tekan : (-)
Peristaltik usus : 8 x/I, BU normal
DJJ : 136x/min
His : (+)

6) B6 (Bone)
a) Inspeksi
Kemerahan : (-)
Luka : (-)
Deformitas : (-)
b) Palpasi
Edema : (+)
Fraktur : (-)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Haemoglobin 9,3 g/dl 11,7-15,5
Hematokrit 29,9 % 37 - 45
Hitung eritrosit 3,47 10*6/uL 4,4- 5.9
Hitung leukosit 8.400 /Ul 4.000-11.000
Hitung trombosit 236.000 /uL 150.000-440.000
INDEX ERITROSIT
MCV 86 fL 80
MCH 27 pg 26-34
MCHC 31 g/dL 32-36
HITUNG JENIS LEUKOSIT
Eosinofil 3 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
Neutrofil seg 77 % 53-75
Monosit 5 % 4-8
Limfosit 16 % 20-45

EKG

Hasil : Sinus takikardia


Normal ECG

Foto Thorax
Sinus costophrenicus normal. Diafragma normal
Jantung : Besar dan bentuk normal
Paru : Corakan broncho vesicular normal
tak tampak kelainan aktif spesifik dan pathologic
kesan : Cor/Pulmo dalam batas normal

USG TAS
Hasil : plasenta previa trombosis suspek akreta

5. PERAWATAN SELAMA DI RUANGAN


a. IGD
Tgl 14-11-2021
1) IVFD RL 20 gtt/jam
2) Pasang kateter urine
3) Inj. Ranitidin 4 ml/ 12 jam
4) Konsul dr. Obstetri-Ginekologi
a) Nifedipin tab 1x1
b) Pantau DJJ/8 jam
c) Rencana USG Abdomen
d) Bedrest Total

b. Bangsal
Tgl 14-11-2021
1) Puasa selama 6 jam
2) IVFD RL 18 gtt/jam
3) Inj. Ceftriaxone 1 amp/8 jam
4) Inj. Transamin 500 mg/8 jam
5) Paracetamol tab 500 mg/8 jam
6) Transfusi 2 bag PRC
7) Nifedipin 10% (Apabila His muncul)
8) Persiapan Op
a) Persiapan rutin
Persiapan di ruang perawatan meliputi persiapan psikis dan persiapan fisik.
o Untuk persiapan psikis yang dapat dilakukan antara lain: pasien dan atau
keluarganya akan diberikan penjelasan agar mengerti perihal rencana
anestesi dan pembedahan yang direncanakan.
o Persiapan fisik yang dapat dilakukan antara lain
(1) Menghentikan kebiasaan seperti merokok, minum minuman keras
dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum anestesia atau
minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di poliklinik
(2) Tidak memakai prostesis atau aksesoris
(3) Tidak mempergunakan cat kuku atau cat bibir
(4) Program puasa untuk pengosongan lambung
(5) Pasien dimandikan pagi hari menjelang ke kamar operasi, pakaian
diganti dengan pakaian khusus kamar operasi.
b) Selain persiapan psikis dan fisik, juga dilakukan persiapan lain seperti
membuat surat persetujuan tindakan medis.

c. OK
Tgl 15-11-2021
1) Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS) adalah
mengevaluasi ulang status presen dan catatan medik pasien serta kelengkapan
lainnya.
2) Persiapan yang dilakukan di kamar operasi adalah:
a) Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan
b) Alat-alat resusitasi antara lain: alat bantu nafas, laringoskop, pipa jalan
nafas, alat hisap, defibrilator, dan lain-lain
c) Obat-obat anestesia yang diperlukan
d) Obat-obat resusitasi
e) Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, ekg, pulse oksimeter
f) Kartu catatan medik anestesi

Durante OP
1) Pre Medikasi: -
2) Jenis Anastesi: General Anestesi
3) Posisi Anastesi: Supine
4) Jenis Pembedahan: Sectio Caesaria + Histerektomi
5) Mulai Anastesi: 08.45
6) Mulai Operasi: 08.55
7) Medikasi
a) Bupivacaine 20 mg
b) Sevoflurane 1%
c) Propofol 10 cc
d) Fentanyl 2 mL
e) Ranitidine
f) Neostigmin
g) Dexamethasone
8) Pemantauan selama anastesi
9) Selesai Operasi 09.45
10) Pemulihan Anastesia

d. ICU (Post OP)


Tgl 15-11-2021
1) Pantau TTV
2) Irigasi dengan Nacl
3) Inj. Petidine 50 mg bila kesakitan

Kesan Anastesi
Perempuan 35 tahun menderita plasenta akreta +Obesitas dengan ASA III
Diagnosa Pra bedah
Plasenta Akreta + Previous SC + KDR + AH + Anemia
Diagnosa Pasca Bedah
Post Caesarian Histerektomi a/i Plasenta Akreta + Anemia
BAB III
RUMUSAN MASALAH

1. Permasalahan
Pre-OP
a. Puasa
Puasa 8 jam > Hidrasi > 8x2cc/kgbb = 800cc dalam waktu 30 menit sebelum OP

b. Anemia
HB 10 > Tranfusi PRC 1-2 bag

c. Plasenta Akreta
Terjadi perdarahan masif > pastikan terpasang 2 line infus dan lancer, pemberian
resusisatsi bila terjadi sesak seperti airway management dan cairan menjadi
perdarahan (HES 6% sebagai persiapan darah)

d. Obesitas
Sulit diidentifikasi > bagian tulang belakang > bila perlu dengan bantuan USG
guide
Obesitas > Sulit bernafas > tekanan abdomen menekan paru > tinggikan kepala
pasien > jangan sampai terjadi hypoxia
Px hamil terjadi perubahan fungsi kardiopulmonal pasien mudah terjadi desaturasi
>beri oksigen dan persiapan airway management
Pasien hamil asam lambung meningkat, ph lambung <2.5 > berikan antasida
sebelum op + inj ranitidine 50mg iv

e. Kehamilan
Insiden yang lebih tinggi dari kegagalan intubasi pada pasien hamil

dibandingkan dengan pasien bedah tidak hamil karena edema saluran napas →

laringoskopi dengan bantuan video mengurangi insiden intubasi trakea yang

sulit atau gagal.


f. Hipertensi Gestasional

Kondisi dimana pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi yang tidak

disertai dengan proteinuria → beri Nifedipine 10 mg

g. Perempuan hamil → PH lambung 2,5 → cegah mendelson syndrome → pilihan

terbaik RA → bila GA → RSI → beri antasida dan inj. Ranitidine

h. Perempuan hamil → volume plasma darah meningkat → HB ↓ →proteinurin →

resiko ekstravasasi ↑ → jangan berikan kristaloid → berikan koloid atau tranfusi

darah

i. Perempuan hamil → cegah supine hypotension syndrome → ganjal perut pasien

ke arah kiri

Durante
a. Pembiusan
Pasien mual muntah dan gelisah > desaturasi > beri bantuan ventilasi > pantau
hemodinamik

b. Pendarahan
Pendarahan hebat > diputuskan > COR HES 6% 500cc > Awitan GA ETT
Kelas pendarahan > Kelas II menurut EBV
65 x 100 = 6500 > 30% x6500 = 1950cc > ganti HES 6% dan transfuse Whole
Blood
Hemodinamik tidak stabil > Pemberian airway
Pantau oksigen dan hemodinamika post op > persiapan rawat ICCU

Post OP
a. Rawat ICCU
- Rawat ICU > pantau airway bila stabil dan pernapasan baik ekserbasi di
ICCU
- Nyeri Post OP > Inj. Petidine golongan narkotik
- Pasien cemas > inj. Sedatif
- Pasien demam > Beri antipiretik
- Pneumonia > Rawat bersama dengan dokter paru
- Pendarahan > Cek HB > Bila HB dibawah 8 transfusi PRC (Primary Red
Cell) 1-2 bag
- Bila pasien sakit kepala > Tirah baring > Beri PCT
BAB IV
PEMBAHASAN

Pre-Operasi
1. Puasa
Puasa preoperatif pada pasien yang akan menjalani operasi bersifat
elektif merupakan suatu keharusan sebelum tindakan operatif, hal ini berguna
untuk mengurangi volume dan keasaman lambung serta mengurangi risiko
regurgitasi atau aspirasi yang lebih dikenal dengan Mendelson’s syndrome
selama anestesi terutama pada saat induksi. Puasa preoperatif pada pasien
pembedahan elektif bertujuan untuk mengurangi volume lambung tanpa
menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Sebuah panduan mempuasakan
pasien sebelum operasi elektif diperkenalkan oleh Lister sejak tahun 1883.
Tindakan ini kemudian dibakukan oleh American Society of Anesthesiologist
(ASA) sejak tahun 1999 untuk mempuasakan pasien dari makanan padat
maupun cair,2 tetapi puasa yang berlebihan dapat menyebabkan komplikasi
perioperatif yang berbahaya.
Puasa preoperatif yang disarankan menurut ASA adalah 6 jam untuk
makanan padat dan 2 jam untuk air putih.2 Namun, pada praktiknya instruksi
puasa yang sering diterima pasien adalah puasa sejak tengah malam tanpa
melihat jadwal operasinya sehingga puasa preoperatif pada pasien operasi
elektif cenderung lebih lama daripada yang disarankan. Puasa preoperatif yang
lebih lama akan berdampak pada kondisi pasien preoperatif serta pascaoperatif.
Puasa preoperatif yang lama menyebabkan resistensi insulin sehingga
memengaruhi kenaikan gula darah, terutama jika lebih dari yang dianjurkan 6–
8 jam dan sering kali selama 10–16 jam.3 Puasa mulai tengah malam juga
mengakibatkan berbagai tingkatan dehidrasi bergantung pada durasi puasa.4
Efek samping puasa yang terlalu lama termasuk rasa haus, lapar, sakit kepala,
rasa tidak nyaman, dehidrasi, hipovolemia, dan hipoglikemia. Respons
metabolik terhadap pembedahan dan trauma akan mengakibatkan peningkatan
laju metabolisme dan keadaan hipermetabolisme.
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan
output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam
rentang normal. Kadar elektrolit yang biasanya dilakukan pemeriksaan di
antaranya adalah kadar natrium serum (normal : 135 -145 mmol/l), kadar
kalium serum (normal : 3,5 – 5 mmol/l) dan kadar kreatinin serum (0,70 – 1,50
mg/dl).

2. Plasenta Akreta
Plasenta akreta adalah plasenta yang melekat secara abnormal pada
uterus, dimana villi korionik berhubungan langsung dengan miometrium tanpa
desidua diantaranya. Desidua endometrium merupakan barier atau sawar untuk
mencegah invasi villi plasental ke miometrium uterus. Pada plasenta akreta,
tidak terdapat desidua basalis atau perkembangan tidak sempurna dari lapisan
fibrinoid. jaringan ikat pada endometrium dapat merusak barier desidual,
misalnya skar uterus sebelumnya, kuretase traumatik, riwayat infeksi
sebelumnya dan multiparitas.
Pada kala III persalinan plasenta belum lahir setelah 30 menit dan
perdarahan banyak, atau jika dibutuhkan manual plasenta dan terkadang sulit
untuk dilakukan. Plasenta akreta dapat menimbulkan terjadinya perdarahan
obsetri yang masif, sehingga dapat menimbulkan komplikasi seperti
dissaminated intravascular coagulopathy, memerlukan tindakan histerektomi,
cedera operasi pada ureter, kandung kemih, dan organ visera lainnya, adult
respiratory distress syndrome, gagal ginjal, hingga kematian. Jumlah darah
yang hilang saat persalinan pada wanita dengan plasenta akreta rata-rata 3000
– 5000 ml. Dibeberapa senter, plasenta akreta menjadi penyebab utama
dilakukannya histerektomi cesarian.
Plasenta akreta idealnya diterapi dengan histerektomi total
perabdominal. Pencegahan komplikasi idealnya membutuhkan pendekatan
multidisipliner. Pasien sebaiknya dikonsul sebelum operasi dan disediakan
darah untuk persiapan transfusi.

3. Anemia
Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi
dan pendarahan akut bahkan keduanya saling berinteraksi. Pendarahan
menyebabkan banyak unsur besi yang hilang sehinggga dapat berakibat pada
anemia. Cara pencegahan anemia
Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan yang bergizi
seimbang dengan asupan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Zat besi dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi daging (terutama daging
merah) seperti daging sapi. Zat besi juga dapat ditemukan pada sayuran
berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung, buncis, kacang polong, serta
kacang-kacangan. Selain itu, diimbangi dengan pola makan sehat dengan
mengonsumsi vitamin serta suplemen penambah zat besi untuk hasil yang
maksimal.

4. Obesitas
Durasi aksi obat anestesi lokal secara umum berhubungan dengan larutan
lemak. Hal ini dikarenakan obat anestetik yang larut dalam lemak akan
berakumulasi (menumpuk atau tertimbun) dalam jaringan lemak yang akan
berlanjut dilepaskan dalam periode waktu lama. Ini biasanya terjadi pada pasien
dengan obesitas.
Pada pasien dengan obesitas, seringkali operator mengalami kesulitas
untuk memasukan alat bantu pernafasan melalui trakea. Hal ini diakibatkan
perubahan struktur anatomi leher pada orang dengan obesitas jika dibandingkan
dengan orang normal pada umumnya. Selain itu, obesitas menurunkan
Functional Residual Capacity (FRC), meningkatkan kerja pernapasan, dan
membuat pasien rentan terhadap trombosis vena dalam. Hal ini dapat diatasi
dengan cara intubasi dilakukan oleh operator yang sudah berpengalaman dan
terlatih, serta memberikan preoksigenasi yang adekuat (Morgan, 2013).
Pada pasien dengan obesitas, resiko terjadinya aspirasi meningkat.
Aspirasi daripada isi lambung sendiri meskipun jarang ditemui namun dapat
menimbulkan efek yang fatal. Apalagi pada kasus yang dihadapi, pasien juga
sedang mengalami kehamilan yang mana hal ini tentu semakin meningkatkan
faktor resiko terjadinya aspirasi. Banyak pendekatan yang dapat digunakan
untuk mengurangi potensi aspirasi perioperatif. Hal ini meliputi Sellick’s
Manuver (menahan tekanan krikoid) dan Rapid Sequence Induction. Karena
risiko aspirasi dan hipoventilasi, pasien obesitas biasanya menjalani anestesi
umum yang berdurasi pendek. Penggunaan bronkoskop optical fiber atau video
laringoskopi dianjurkan (Morgan, 2013).
Obesitas memiliki sedikit efek klinis pada tingkat penurunan konsentrasi
anestesi alveolar dan waktu bangun, bahkan lama setelah prosedur operasi.
Secara teoritis, simpanan lemak yang lebih besar akan meningkat relative
volume distribusi untuk obat yang larut dalam lemak (misalnya, benzodiazepin,
opioid) dibandingkan dengan orang kurus dengan berat badan yang sama.
Namun, volume distribusi, misalnya, fentanil atau sufentanil sangat besar
sehingga obesitas memiliki pengaruh yang minimal. Obat yang larut dalam air
(misalnya, NMB) memiliki volume distribusi yang jauh lebih kecil, yang
peningkatannya dipengaruhi minimal oleh lemak tubuh (Morgan, 2013). Pasien
yang mengalami obesitas juga beresiko mengalami Perioperative pulmonary
complications lebih tinggi dibandingkan pasien pada umumnya.

5. Kehamilan
Aspirasi pulmonal dari isi lambung dan kegagalan intubasi endotrakeal
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu yang berhubungan dengan
anestesi umum. Semua pasien harus menerima profilaksis terhadap pneumonia
aspirasi dengan 30 mL natrium sitrat 0,3 M 30-45 menit sebelum induksi. Pasien
dengan faktor risiko tambahan predisposisi mereka untuk aspirasi juga harus
menerima ranitidine intravena, 50 mg, atau metoklopramid, 10 mg, atau keduanya, 1-
2 jam sebelum induksi; faktor-faktor tersebut termasuk obesitas morbid, gejala
refluks gastroesofageal, jalan napas yang berpotensi sulit, atau persalinan bedah
darurat tanpa periode puasa elektif. Premedikasi dengan omeprazol oral, 40 mg, pada
malam hari dan pagi hari juga tampaknya sangat efektif pada pasien berisiko tinggi
yang menjalani operasi caesar elektif. Meskipun antikolinergik secara teoritis dapat
mengurangi tonus sfingter esofagus bagian bawah, premedikasi dengan glikopirolat
(0,1 mg) membantu mengurangi sekresi saluran napas dan harus dipertimbangkan
pada pasien dengan kemungkinan kesulitan jalan napas. Antisipasi kesulitan intubasi
endotrakeal dapat membantu mengurangi insiden kegagalan intubasi. Pemeriksaan
leher, mandibula, gigi geligi, dan orofaring sering membantu memprediksi pasien
mana yang mungkin mengalami masalah. Prediktor yang berguna untuk kesulitan
intubasi termasuk klasifikasi Mallampati, leher pendek, mandibula yang surut, gigi
insisivus rahang atas yang menonjol, dan riwayat kesulitan intubasi.
Insiden yang lebih tinggi dari kegagalan intubasi pada pasien hamil
dibandingkan dengan pasien bedah tidak hamil mungkin karena edema saluran
napas, gigi penuh, atau payudara besar yang dapat menghalangi pegangan
laringoskop pada pasien dengan leher pendek. Posisi kepala dan leher yang tepat
dapat memfasilitasi intubasi endotrakeal pada pasien obesitas: elevasi bahu, fleksi
tulang belakang leher, dan ekstensi sendi atlantooksipital. Berbagai bilah
laringoskop, pegangan laringoskop pendek, setidaknya satu tabung
stilettedendotrakeal ekstra (6 mm), forsep Magill (untuk intubasi hidung), saluran
udara masker laring (LMA), LMA intubasi (Fastrach), bronkoskop serat optik, video-
bantuan laringoskop (GlideScope atau StortzCMAC), kemampuan untuk ventilasi jet
transtrakeal, dan mungkin Combitube esofagus-trakea harus tersedia. Ketika potensi
kesulitan dalam mengamankan jalan napas dicurigai, alternatif untuk induksi urutan
cepat standar dengan laringoskopi konvensional seperti anestesi regional atau teknik
serat optik terjaga, harus dipertimbangkan. Kami telah menemukan bahwa
laringoskopi dengan bantuan video telah sangat mengurangi insiden intubasi trakea
yang sulit atau gagal di institusi kami. Lebih-lebih lagi. Tanpa adanya gawat janin,
pasien harus dibangunkan, dan intubasi sadar, dengan anestesi regional atau lokal
(infiltrasi), dapat dicoba. Pada keadaan gawat janin, jika ventilasi tekanan spontan
atau positif (dengan masker atau LMA) dengan tekanan krikoid dimungkinkan,
pelahiran janin dapat diupayakan. Dalam kasus seperti itu, zat volatil kuat dengan
oksigen digunakan untuk anestesi, tetapi setelah janin dilahirkan, nitrous oxide dapat
ditambahkan untuk mengurangi konsentrasi zat volatil; sevoflurane mungkin
merupakan agen volatil terbaik karena mungkin paling kecil kemungkinannya untuk
menekan ventilasi. Ketidakmampuan untuk ventilasi pasien setiap saat mungkin
memerlukan krikotirotomi atau trakeostomi segera.

6. Hipertensi gestasional
Hipertensi gestasional adalah tekanan darah tinggi yang terjadi pada masa
kehamilan. Biasanya penyakit ini dimulai ketika kehamilan memasuki usia 20
minggu. Sama seperti hipertensi pada umumnya , hipertensi gestasional juga sering
muncul tanpa gejala. Umumnya hipertensi gestasional dapat hilang dalam waktu 12
minggu setelah melahirkan. Namun hal ini dapat meningkatkan resiko untuk terkena
tekanan darh tinggi di masa mendatang. Pada kasus yang parah hipertensi gestasional
dapat menyebabkan berat bayi lahir rendah, asfiksia,atau kelahiran premature.
Beberaapa wanita dengan hipertensi gestasional juga mengalami preeklamsia.
Berdasarkan jurnal U.S National Institute of Health, hipertensi pada kehamilan
dapat menyebabkan 6-8% morbiditas dan mortilitas (kesakitan dan kmematian) pada
ibu dn janin yang cukuf signifikan.
Beberapa masalah yang timbul akibat hipertensi gestasional menyebabkan aliran
darah menuju plasenta berkurang. Jika plasenta tidak mendapat cukup oksigen dan
lebih sedikit nutrisi. Hal ini dapat mmemperlambat pertumbuhan bayi (pembatasan
pertumbuhan intrauterin), menyebabkan berat badan lahir rendah atau kelahiran
premtur. Ketika bayi lahir premature dapat menyebabkan masalah pernafasan,
peningkatan resiko infeksi dan komplikasi lain untuk bayi.

7. Mencegah mendelson syndrome


Mendelson’s syndrome atau aspirasi isi lambung yang terdiri dari asam lambung
dan sisa makanan, merupakan salah satu penyulit anestesi yang dapat dihindari.
Aspirasi merupakan resiko dari tindakan anestesia yang dapat terjadi pada saat
intubasi, pasca intubasi, selama anestesi dan pasca bedah. Walaupun angka
kematiannya relatif rendah, namun ketidaktepatan penanganan akan menambah
morbiditas.
Volume dan derajat keasaman asam lambung menentukan keparahan akibat
aspirasi. Aspirasi dapat dicegah dengan puasa pra pembedahan, pemberian obat-
obatan seperti antasida dan injeksi ranitidine untuk mengurangi volume dan
keasaman lambung dan melakukan teknik anestesi yang tepat. Tindakan segera yang
dilakukan setelah diduga terjadi aspirasi adalah tindakan suportif dengan
memposisikan kepala pasien lebih rendah dari tubuhnya (head down), pembersihan
jalan napas, diberikan oksigen 100% dengan PPV. Dengan melakukan obervasi
keadaan klinis dalam 2 jam setelah aspirasi, ditentukan apakah pasien perlu
dilakukan tindakan lanjutan di ruang perawatan intensif. Terapi oksigen dan
pemberian bronkodilator disesuaikan dengan keadaan klinis dari pasien tersebut.
Pemberian antibiotika dilakukan apabila pasien sudah dinyatakan pneumonia.
Pemberian kortikosteroid hanya bermanfaat apabila aspirat asam lambung pHnya
berkisar antara 1,5-2,5.

8. Mencegah supine hypotension syndrome


Supine hypotension syndrome disebabkan oleh karena penekanan pada aorta dan
vena kava inferior oleh uterus yang gravid, dapat bermanifestasi yaitu sebagai
takikardia, pucat, berkeringat, mual, serta hipotensi dan pusing. Pada posisi supine
terjadi obstruksi vena kava inferior yang hampir lengkap pada kehamilan aterm.
Darah kembali dari ektremitas bawah terjadi melalui vena vertebra intraoseus, vena
paravertebralis, dan vena epidural. Akan tetapi, kembalinya darah melalui kolateral
lebih sedikit daripada yang terjadi melalui vena kava inferior, menyebabkan
penurunan tekanan atrium kanan.
Pada posisi supine juga aorta tertekan oleh uterus yang dalam keadaan hamil dan
pada aterm, posisi left lateral decubitus (posisi miring ke kiri) menyebabkan
peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis dan aktivitas vagal daripada posisi supine
atau right lateral decubitus berkurang.
Wanita hamil aterm dengan posisi supine mengalami 10–20% penurunan stroke
volume dan curah jantung. Wanita aterm mengalami bradikardia dan penurunan
tekanan darah bila dibaringkan dalam posisi supine sampai 15%. Untuk
terjadihipotensi dan bradikardia membutuhkan waktu beberapa menit, serta
bradikardia umumnya didahului oleh satu periode takikardia. Posisi lateral penuh
mengurangi penekanan aortokaval, tetapi posisi ini tidak memungkinkan dilakukan
seksio sesarea. Pada kebanyakan kasus posisi dilakukan miring ke kiri 150 supaya
dapat dilakukannya pembedahan. Pada posisi miring 150, aorta dan vena kava masih
tertekan, jadi sebagian kecil wanita masih mengalami SHS.
DURANTE
1. Pembiusan
Pre medikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anastesi dengan tujuan
untuk melanjarkan induksi, rumatan dan bangun dari anastesinya diantaranya
untuk meredakan kecemasan dan ketakutan yang meyebabkan gelisa. Pemilihan
obat medikasi yang digunakan harus selalu dengan memperhatikan umur pasien,
berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat hospitalisasi sebelumnya
(terutama anak), riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya, riwayat
penggunaan obat tertentu yang kemungkinan dapat mempengaruhi pada
perjalanan anestesi, perkiraan lamanya operasi, jenis operasi, dan rencana obat
anestesi yang akan digunakan. Obat obat medikasi yang di berikan pada pasien
ini seperti Bupivacaine 20 mg, Sevoflurane 1%, Propofol 10cc, Fentanyl 2 Ml,

2. Pendarahan
Plasenta akreta idealnya diterapi dengan histerektomi total perabdominal.
Penting untuk meminimalkan jumlah perdarahan dan yakin bahwa
perdarahan yang terjadi diganti secara benar dan adekuat. Karena perdarahan
yang terjadi sering dalam jumlah yang banyak, penggantian dengan packed red
blood cells, beresiko menimbulkan Disseminated intravaskular coagulopathy.
Oleh karenanya faktor koagulasi harus diberikan secara adekuat dan cepat.
Anemia umum terjadi setelah operasi . Strategi untuk membatasi
perkembangan anemia salah satunya dengan pemberian transfusi darah.
Pemberian transfusi pasca bedah dianjurkan diberikan setelah pasien sadar,
untuk mengetahui sedini mungkin reaksi transfusi yang mungkin timbul. Pada
periode paska bedah, terutama pasien yang sudah atau sedang memperoleh
transfusi darah, segera lakukan evaluasi status hematologi dan pemeriksaan faal
hemostasis untuk mengetahui sedini mungkin setiap kelainan yang terjadi
Tujuan pemberian transfusi darah pasca bedah yaitu untuk mengoreksi
komponen darah yang belum terpenuhi selama operasi, dan mengisi volume
sirkulasi.
Untuk kelas pendarahan pada pasien ini adalah kelas 2 dimana
kehilangan darahsekitar 1950 cc dengan persentae kehilangan darah sekitar 30
%.

Post OP
1. Nyeri Setelah Oprasi
Untuk mengatasi nyeri pasca operasi dapat dilakukan teknik farmakologi dan non
farmakologi, teknik farmakologi mencakup berbagai jenis obat yang di berikan
pada pasien ini mengatasi nyeri dengan inj. Petidine 50 mg.
2. Rawatan ICU
Pasien ini di rawat ICU dengan tujuan :
1) Mempertahankan jalan napas dengan mengatur posisi, memasang suction dan
memasang mayo/ gudel
2) Mempertahankan ventilasi/ oksigenasi dengan pemberian bantuan napas
melalui ventilator mekanik atau nasul kanul
3) Mempertahankan sirkulasi dara
4) Observasi keadaan umum dengan mengetahui kesadaran dan hemodinamik,
observasi vomitus untuk mengetahui muntahan mungkin saja terjadi akibat efek
anestesi, dan monitoring drainase sangat penting untuk terkait dengan kondisi
perdarahan pasien.
5) Balance cairan harus seimbang untuk mencegah komplikasi lanjutan seperti
dehidrasi akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan dan mengakibatkan kerja
jantung menjadi berat
6) Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko cedera. Pasien post
anestesi biasa mengalami kecemasan, disorientasi
dan beresiko besar untuk jatuh.
DAFTAR PUSTAKA

Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. Clinical Anesthesiology. 5th ed. Lange
Medical Books/McGraw-Hill; 2013.
Patel N, 2015. Anesthesia for Cesarean Delivery-Department of Anesthesia Gujarat
Adana Instituteof Medical Science.
Sanjaya H. 2008.Meningkatkan Response Time di IRD dengan Emergency Code
Sebagai Implementasi Patient Safety. Indonesian Hospital Management Award.

Anda mungkin juga menyukai