Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

“TURP dengan Hipertensi”


Disusun Sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior SMF
Ilmu Anestesi di RSU Haji Medan

Disusun Oleh:
Pusparini 19360266

Pembimbing:
dr. M. Winardi S. Lesmana, M.Ked(An)., Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU ANASTESI


RSU HAJI MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “TURP dengan Hipertensi”. Penyusunan tugas ini di maksudkan untuk
mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang di berikan pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. M. Winardi S. Lesmana,
M.Ked(An)., Sp.An selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior SMF Ilmu
Anestesi serta dalam penyelesaian laporan kasus ini. Dalam penulisan laporan kasus
ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan datang.

Medan, September 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada
prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat
beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan
prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap
penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.

Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH (benign


prostatic hyperplasia) merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. 1 BPH dapat dialami
oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga
90% pada pria berusia di atas 80 tahun.

BAB II
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
a. Nama : Tn. El Ibrahim Ziraldo
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Umur : 64 tahun
d. Agama : Islam
e. Alamat : Jl. Kiwi 17
f. Pekerjaan : Wiraswasta
g. Status Perkawinan : Kawin
h. No RM : 00366346
i. Tanggal Masuk RS : 26 Juli 2021

2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Tidak bisa BAK
Telaah :
Pasien datang ke RSU Haji Medan dengan keluhan BAK tersendat-sendat.
Pasien berkata keluhan dirasakan sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu.
Sebelumnya pasien menggunakan kateter lebih kurang 10 hari, kemudian setelah
kateter dilepas keluhan kambuh lagi. Pasien juga megeluhkan nyeri perut bagian
bawah.

Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi


Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
Riwayat Alergi : Tidak ada
Riwayat Pengobatan : Tidak jelas

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Tinggi Badan : 160 cm
c. Berat Badan : 50 kg
Keadaan Gizi
a. IMT = BB/(TB)2
= 50/(1,60)2
= 19,53 kg/m2
Interpretasi Normoweight

1) B1 (Breath)
a) Inspeksi
Airway : Clear
Respiratory Rate : 20 x/menit
Jejas : (-)
Ketinggalan bernafas : (-)
Bentuk dada : Simetris
Retraksi iga : (-)
Retraksi sternokleidomastoideus : (-)
b) Palpasi
Nyeri tekan : (-)
Benjolan : (-)
c) Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru
d) Auskultasi : Suara nafas : vesikuler
Suara tambahan : (-)
2) B2 (Blood)
a) Inspeksi
Konjungtiva anemis : (-)
Muka pucat : (-)
b) Palpasi
Akral : Hangat
Tekanan darah : 156/90 mmHg
HR : 82 x/i
CRT : <2 detik
TVJ : R-2 cmH2O
Iktus kordis : Tidak teraba
c) Perkusi
Batas jantung : Kanan atas
� ICS II linea parasternalis dextra
Kiri atas
� ICS II linea parasternalis sinstra
Kanan bawah
� ICS IV linea parasternalis dextra
Kiri bawah
� ICS V, 2 jari kearah medial dari linea
midclavicularis sinistra
d) Auskultasi : Suara jantung dalam batas normal

3) B3 (Brain)
Sensorium : Compos mentis, GCS: 15
Reflex pupil : Isokor (+/+)
Reflex cahaya : (+/+)
Saraf cranial : TDP
Reflex fisiologis : TDP
Reflex patologis : TDP
a) Inspeksi
Luka dikepala : (-)
b) Palpasi
Benjolan : (-)
Fraktur : (-)
4) B4 (Bladder)
a) Inspeksi
Jejas : (-)
b) Palpasi
Ballottement : (-)
Distensi : (-)
c) Perkusi
Nyeri ketok CVA : (-)
d) Kateter : (+)
Warna urine : Kuning jernih
5) B5 (Bowel)
a) Inspeksi
Abdomen : Simetris
Pembesaran : (+), daerah suprapubis
b) Palpasi
Abdomen : Soepel
Nyeri tekan : (+) di region hypogastric (supra pubis)
Massa : (+)
c) Perkusi
Abdomen : Timpani
d) Auskultasi
Peristaltik usus : 8 x/i
6) B6 (Bone)
a) Inspeksi
Kemerahan : (-)
Luka : (-)
Deformitas : (-)
b) Palpasi
Edema : (-)
Fraktur : (-)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Haemoglobin 12,6 g/dl 13,2-17,3
Hitung eritrosit 3,96 10*6/uL 4,4- 5.9
Hitung leukosit 6.700 /Ul 4.000-11.000
Hitung trombosit 269.000 /uL 150.000-440.000
KIMIA KLINIK
Ureum 34.4 mg/dL 10-38
Kreatinin 0,33 mEg/dL 0.7-1.2
Glukosa Ad Random 137 mg/dL <200
5. PERAWATAN SELAMA DI RUANGAN
a. IGD
Tgl 26-07-2021
1) IVFD RL 40 gtt/ jam
2) Pasang kateter urine
3) Inj. Ranitidin 4 ml/ 12 jam
4) Konsul dr. Urologi -> Planning operasi TUR-P 27-07-2021
b. Bangsal
Tgl 26-07-2021
1) Puasa selama 6 jam
Tgl 27-07-2021
1) IVFD RL 18 gtt/jam
2) Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
3) Paracetamol tab 500 mg/8 jam
4) Persiapan Op
a) Persiapan rutin
Persiapan di ruang perawatan meliputi persiapan psikis dan persiapan fisik.
o Untuk persiapan psikis yang dapat dilakukan antara lain: pasien dan atau
keluarganya akan diberikan penjelasan agar mengerti perihal rencana
anestesi dan pembedahan yang direncanakan.
o Persiapan fisik yang dapat dilakukan antara lain
(1) Menghentikan kebiasaan seperti merokok, minum minuman keras
dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum anestesia atau
minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di poliklinik
(2) Tidak memakai prostesis atau aksesoris
(3) Tidak mempergunakan cat kuku atau cat bibir
(4) Program puasa untuk pengosongan lambung
(5) Pasien dimandikan pagi hari menjelang ke kamar operasi, pakaian
diganti dengan pakaian khusus kamar operasi.
b) Selain persiapan psikis dan fisik, juga dilakukan persiapan lain seperti
membuat surat persetujuan tindakan medis.
c. OK
Tgl 27-07-2021
1) Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS) adalah
mengevaluasi ulang status presen dan catatan medik pasien serta kelengkapan
lainnya.
2) Persiapan yang dilakukan di kamar operasi adalah:
a) Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan
b) Alat-alat resusitasi antara lain: alat bantu nafas, laringoskop, pipa jalan
nafas, alat hisap, defibrilator, dan lain-lain
c) Obat-obat anestesia yang diperlukan
d) Obat-obat resusitasi
e) Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, ekg, pulse oksimeter
f) Kartu catatan medik anestesi
Durante OP
1) Pre Medikasi: -
2) Jenis Anastesi: General Anestesi
3) Posisi Anastesi: Supine
4) Jenis Pembedahan: TUR-P
5) Mulai Anastesi: 08.40
6) Mulai Operasi: 09.00
7) Medikasi
a) Bupivacaine 20 mg
b) Ondansentrone 4 mg
c) Ketorolac 30 mg
d) Ranitidine 25 mg
e) Petydine 50 mg
8) Pemantauan selama anastesi
9) Selesai Operasi 10.10
10) Pemulihan Anastesia
d. Ruang Pemulihan (Post OP)
Tgl 27-07-2021
1) Pantau TTV
2) Irigasi dengan Nacl
3) Inj. Petidine 50 mg bila kesakitan
e. Bangsal
Tgl 27-07-2021
1) IVFD RL/DS 40 ggt/jam
2) Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam
3) Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
4) Pronalges Sup/5 jam

Kesan Anastesi
Laki-laki 64 tahun menderita Retensi urin + BPH dengan ASA II
Diagnosa Pra bedah
Retensi Urin e.c. BPH
Diagnosa Pasca Bedah
BPH + Cystitis
BAB III
RUMUSAN MASALAH

1. Permasalahan
Pre-OP
a. Mual dan muntah
1) Inj. Ranitidin 4 ml/ 12 jam
2) Turunkan tekanan darah 20% hingga 30% dari tekanan sebelum operasi (target
tekanan darah systole 126mmHg-144mmHg)
b. Hipertensi
c. Puasa 8 jam
Ganti Cairan dengan IVD RL 1-2cc/KgBB/8 jam puasa
Durante
a. Hipertensi
Dicegah dengan menggunakan agen-agen antihipertensi parenteral seperti β-
blocker, Metoprolol, esmolol, labetolol, Nicardipine, clevidipine, Nitroprusside,
Nitrogliserin, dan Hydralazine.
b. Sindroma TURP
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi
diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa
operator memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi
diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan
cairan non ionik lain selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi resiko
hiponatremia pada TURP, tetapi karena harganya cukup mahal beberapa klinik
urologi di Indonesia lebih memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi.
Post OP
Hipotermia
Dicegah dengan menghangatkan larutan irigasi atau larutan infus pada saat
post-op.
Nyeri setelah operasi
Dapat diberikan obat-obatan golongan opioid seperti fentanyl, 2.5–5 mcg/kg;
alfentanil, 15–25 mcg/kg; sufentanil, 0.5–1.0 mcg/kg; atau remifentanil, 0.5–1
mcg/kg.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pre-Operasi
1. Mual dan Muntah
Mual dan muntah merupakan gejala pengosongan lambung yang tidak tepat
atau adanya stimulasi kimia dari pusat muntah. Mual muntah disebabkan oleh
distensi abdomen, obat-obatan, makan atau minum sebelum peristaltic kembali. Mual
dapat disebabkan oleh impuls iritasi yang datang dari traktus gastrointestinalis,
impuls yang berasal dari otak bawah yang berhubungan dengan motion sickness,
atau impuls dari korteks serebri untuk memulai muntah. Bagaimanapun juga, muntah
kadang kadang terjadi tanpa sensasi prodromal dari mual, yang mengidentifikasi
bahwa hanya bagianbagian tertentu dari pusat muntah yang berhubungan dengan
sensasi mual.6
Vomitus atau muntah merupakan ekspulsi isi lambung yang disemburkan
keluar. Otot lambung memberikan kekuatan untuk menyemburkan isi lambung.
Bagian fundus lambung serta sfingter gastroesofageal mengadakan relaksasi dan
kontaksi diafragma serta otot dinding perut yang kuat meningkatkan tekanan intra
abdomen. Keadaan ini yang dikombinasikan dengan kontraksi annulus pilorik
lambung akan memaksa isi lambung masuk ke dalam esofagus. Kemudian
peningkatan tekanan intratorakal menggerakan isi lambung dari esofagus ke mulut. 7
Pada kasus ini, obat yang diberikan untuk mengurangi rasa mual dan muntah pasien
adalah ranitidin dengan dosis 4 ml per 12 jam dan lansoprazole dengan dosis 2x1.
2. Hipertensi
Hipertensi merupakan kelainan medis pra-operasi yang paling umum pada
pasien bedah, dengan prevalensi keseluruhan sebesar 20% hingga 25%. Hipertensi
kronis yang tidak terkontrol mempercepat aterosklerosis dan kerusakan organ.
Hipertensi merupakan faktor risiko utama dari penyakit jantung, otak, ginjal, dan
pembuluh darah. Komplikasi hipertensi termasuk IMA, gagal jantung kongestif,
stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer, dan diseksi aorta. Meski begitu, tekanan
darah sistolik dibawah 180 mmhg, dan tekanan diastolik dibawah 110 mmhg, belum
dikaitkan dengan peningkatan resiko perioperatif. Saat pasien datang dengan
tekanan darah sistolik lebih dari 180 mm hg dan diastolik lebih dari 110 mmhg,
dokter anestesi menghadapi pilihan untuk penundaan operasi agar memungkinkan
optimalisasi terapi antihipertensi oral dengan menambahkan risiko penundaan
pembedahan atau dapat melanjutkan dengan pembedahan dan mengendalikan
tekanan darah dengan agen intravena yang bekerja cepat. Β-blocker intravena
dapat digunakan untuk mengobati hipertensi pra operasi. Pasien dengan hipertensi
pra operasi lebih beresiko mengalami hipotensi intraoperatif. Hal ini sering terjadi
pada pasien yang diobati dengan angiotensin reseptor blocker (ARB) dan/atau
angiotensin converting enzyme II-inihibitor (ACEI).8
Meskipun kecemasan atau nyeri sebelum operasi dapat mengakibatkan
hipertensi pada pasien normal, pasien dengan riwayat hipertensi umumnya
menunjukkan peningkatan tekanan darah sebelum operasi. Pada pasien yang
memiliki hipertensi, obat golongan calcium channel blocker biasanya digunakan
untuk menurunkan tekanan darah. Hal ini dikarenakan, calcium channel blocker
(CCB) tidak mempengaruhi volume darah pasien. Obat-obata golongan lain, seperti
angiotensin converting enzyme II-inhibitor (ACEI), angiotensin reseptor blocker
(ARB), Β-blocker, dan diuretic, meskipun dapat menurunkan tekanan darah, namun
mempengaruhi volume darah pasien. Hal ini tentu saja sangat dihindari, kecuali
memang pasien tersebut memiliki kontraindikasi terhadap obat golongan CCB. 8
Pada kasus ini, obat-obatan yang diberikan oleh dokter penyakit dalam adalah
Candesartan dengan dosis 8 mg 1x1 (ARB) dan amlodipin dengan dosis 10 mg 1x1
(CCB).
3. Penggantian Cairan Pada Pasien Puasa Sebelum Di Lakukan Operasi
Puasa preoperatif pada pasien yang akan menjalani operasi bersifat elektif
merupakan suatu keharusan sebelum tindakan operatif, hal ini berguna untuk
mengurangi volume dan keasaman lambung serta mengurangi risiko regurgitasi
atau aspirasi yang lebih dikenal dengan Mendelson’s syndrome selama anestesi
terutama pada saat induksi. Sewaktu dilakukan induksi anestesi, refleks batuk dan
menelan akan dihambat, sedangkan makanan di dalam lambung meningkatkan
risiko aspirasi. Isi lambung sangatlah asam dengan pH sekitar 1,5–3,5, regurgitasi
sekitar 50 mL dari asam lambung dapat menyebabkan iritasi serta inflamasi di paru-
paru dan dapat mengganggu pertukaran gas sehingga pada akhirnya mengakibatkan
kematian. Puasa preoperatif pada pasien pembedahan elektif bertujuan untuk
mengurangi volume lambung tanpa menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi.
Sebuah panduan mempuasakan pasien sebelum operasi elektif diperkenalkan oleh
Lister sejak tahun 1883. Tindakan ini kemudian dibakukan oleh American Society of
Anesthesiologist (ASA) sejak tahun 1999 untuk mempuasakan pasien dari makanan
padat maupun cair, Puasa preoperatif yang disarankan menurut ASA adalah 6 jam
untuk makanan padat dan 2 jam untuk air putih.9
Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan kalori
yang dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah:
a. Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan
b. Untuk koreksi defisist puasa atau dehidrasi diberikan cairan kristaloid
c. Perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau transfuse.10
Untuk mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa,
fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik atau
dehidrasi.8
DURANTE
1. Hipertensi
Hipertensi intraoperatif dapat diobati dengan berbagai agen parenteral.
Penyebab yang mudah diperbaiki—seperti kedalaman anestesi yang tidak memadai,
hipoksemia, atau hiperkapnia—harus selalu disingkirkan sebelum memulai terapi
antihipertensi. Pemilihan agen hipotensi tergantung pada tingkat keparahan,
ketajaman, dan penyebab hipertensi; fungsi ventrikel dasar; detak jantung;
kehadiran dari penyakit paru bronkospastik; dan pengetahuan dokter anestesi
dengan setiap pilihan obat. β-blocker merupakan pilihan yang baik untuk pasien
dengan fungsi ventrikel yang baik dan detak jantung tinggi, tetapi kontraindikasi
relatif pada pasien dengan penyakit bronkospastik. Metoprolol, esmolol, atau
labetolol mudah digunakan selama operasi. Nicardipine atau clevidipine mungkin
lebih disukai daripada β-blocker untuk pasien dengan penyakit bronkospastik.
Nitroprusside tetap menjadi agen paling cepat dan efektif untuk pengobatan
hipertensi intraoperatif sedang sampai berat. Nitrogliserin mungkin kurang efektif,
tetapi juga berguna dalam mengobati atau mencegah iskemia miokard.
Fenoldopam, agonis dopamin, juga bermanfaat sebagai agen hipotensi; Selain itu,
meningkatkan aliran darah ginjal. Hydralazine menyediakan kontrol tekanan darah
berkelanjutan, tetapi juga memiliki onset yang tertunda dan bisa menyebabkan
refleks takikardia. Refleks takikardi tidak muncul pada penggunaan labetalol karena
kombinasi blockade α- dan β-adrenergik.8
2. Sindroma TURP
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan luas sinus vena di
prostat, berpotensi memungkinkan penyerapan sistemik dari cairan irigasi.
Penyerapan cairan dalam jumlah besar (2 L atau lebih) menghasilkan kumpulan
gejala dan tanda yang biasa disebut sebagai sindrom TURP. Sindrom ini muncul
secara intraoperatif atau pascaoperasi sebagai sakit kepala, kegelisahan,
kebingungan, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi, atau kejang, dan dapat terjadi
dengan cepat dalam waktu singkat. Manifestasinya terutama adalah kelebihan
cairan sirkulasi, intoksikasi air, dan, kadang-kadang, toksisitas dari zat terlarut dalam
cairan irigasi. Insidensi sindrom TURP kurang dari 1%. Larutan elektrolit tidak dapat
digunakan untuk irigasi selama TURP karena larutan tersebut membubarkan arus
elektrokauter. Air memberikan visibilitas yang sangat baik karena hipotonisitasnya
melisiskan sel darah merah, tetapi penyerapan air yang signifikan dapat dengan
mudah menyebabkan keracunan air akut. Irigasi air umumnya terbatas pada reseksi
transurethral tumor kandung kemih saja. Untuk TURP, larutan irigasi nonelektrolit
yang sedikit hipotonik seperti glisin 1,5% (230 mOsm/L) atau campuran sorbitol
2,7% dan manitol 0,54% (195 mOsm/L) paling sering digunakan. Solusi yang kurang
umum digunakan termasuk sorbitol 3,3%, manitol 3%, dekstrosa 2,5-4%, dan urea
1%.
Karena semua cairan ini masih hipotonik, penyerapan air yang signifikan tetap
dapat terjadi. Penyerapan zat terlarut juga dapat terjadi karena cairan irigasi berada
di bawah tekanan, dan tekanan irigasi yang tinggi (ketinggian botol) meningkatkan
penyerapan cairan. Penyerapan cairan irigasi TURP tergantung pada durasi reseksi
dan tekanan cairan irigasi. Kebanyakan reseksi berlangsung 45-60 menit, dan rata-
rata 20 mL/menit cairan irigasi diserap. Kongesti paru atau edema paru f l orid
dapat dengan mudah terjadi akibat absorpsi cairan irigasi dalam jumlah besar,
terutama pada pasien dengan cadangan jantung terbatas. Hipotonisitas cairan ini
juga menyebabkan hiponatremia akut dan hipoosmolalitas, yang dapat
menyebabkan manifestasi neurologis yang serius. Gejala hiponatremia biasanya
tidak berkembang sampai konsentrasi natrium serum menurun di bawah 120
mEq/L. Hipotonisitas yang nyata dalam plasma ([Na + ] <100 mEq/L) juga dapat
menyebabkan hemolisis intravaskular akut. Toksisitas juga dapat timbul dari
penyerapan zat terlarut dalam cairan ini. Hiperglisinemia yang ditandai telah
dilaporkan dengan larutan glisin dan dapat menyebabkan depresi peredaran darah
dan toksisitas sistem saraf pusat. Konsentrasi glisin plasma lebih dari 1000 mg/L
telah dicatat (normal adalah 13-17 mg/L). Glisin dikenal sebagai neurotransmitter
penghambat dalam sistem saraf pusat dan juga telah terlibat dalam kasus kebutaan
sementara yang jarang terjadi setelah TURP. Hiperamonemia, mungkin dari
degradasi glisin, juga telah didokumentasikan pada beberapa pasien dengan
toksisitas sistem saraf pusat yang ditandai setelah TURP. Kadar amonia darah pada
beberapa pasien melebihi 500 mol/L (normal adalah 5-50 mol/L). Penggunaan
larutan irigasi sorbitol atau dekstrosa dalam jumlah besar dapat menyebabkan
hiperglikemia, yang dapat ditandai pada pasien diabetes. Penyerapan larutan
manitol menyebabkan ekspansi volume intravaskular dan memperburuk kelebihan
cairan.
Pengobatan sindrom TURP tergantung pada pengenalan dini dan harus
didasarkan pada tingkat keparahan gejala. Air yang diserap harus dihilangkan, dan
hipoksemia dan hipoperfusi diobati. Kebanyakan pasien dapat dikelola dengan
pembatasan cairan dan pemberian furosemide intravena. Hiponatremia simtomatik
yang menyebabkan kejang atau koma harus diobati dengan salin hipertonik.
Aktivitas kejang dapat dihentikan dengan dosis kecil midazolam (2-4 mg). Fenitoin,
10-20 mg/kg secara intravena (tidak lebih cepat dari 50 mg/menit), juga harus
dipertimbangkan untuk memberikan aktivitas antikonvulsan yang lebih
berkelanjutan. Intubasi endotrakeal dapat dipertimbangkan untuk mencegah
aspirasi sampai status mental pasien menjadi normal. Jumlah dan kecepatan larutan
salin hipertonik (3% atau 5%) yang diperlukan untuk mengoreksi hiponatremia ke
tingkat yang aman harus didasarkan pada konsentrasi natrium serum pasien.
Kecepatan pemberian larutan garam hipertonik harus cukup lambat agar tidak
memperburuk kelebihan cairan sirkulasi.
Post OP
1. Hipotermia
Volume besar cairan irigasi pada suhu kamar dapat menjadi sumber utama
kehilangan panas pada pasien. Larutan irigasi harus dihangatkan sampai suhu
tubuh sebelum digunakan untuk mencegah hipotermia. Menggigil pasca
operasi yang berhubungan dengan hipotermia dapat mengeluarkan bekuan
darah dan meningkatkan perdarahan pasca operasi, serta menambah stres
fisiologis yang merusak pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner yang
hidup bersama.
2. Nyeri Setelah Oprasi
Dampak dari laparotomi dapat menimbulkan nyeri pada pasien pasca operasi,
Nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit
atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Secara farmakologi nyeri dapat
ditangani dengan pemberian obat-obatan golongan opioid.
Opioid mengikat reseptor spesifik yang terletak di seluruh sistem saraf pusat
dan jaringan lain. Meskipun opioid memberikan efek sedasi sedasi dan dapat
menghasilkan anestesi umum bila diberikan dalam dosis besar, pada prinsipnya
opioid digunakan untuk memberikan efek analgesia. Efek dari opioid bergantung
pada reseptor spesifik mana yang terikat (pada penggunaan opioid spinal dan
epidural, lokasi di neuraksis di mana reseptor berada) dan afinitas pengikatan obat.
Agonis-antagonis (misalnya, nalbuphine, nalorphine, butorphanol, dan pentazocine)
memiliki lebih sedikit efek daripada agonis penuh (misalnya, fentanyl) dan dalam
beberapa keadaan akan melawan tindakan agonis penuh. Berbagai macam opioid
efektif jika dikonsumsi secara oral, termasuk oxycodone, hydrocodone (paling
sering dalam kombinasi dengan asetaminofen), kodein, tramadol, morfin,
hidromorfon, dan metadon. Agen ini banyak digunakan untuk manajemen nyeri
rawat jalan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sinantyanta, H., Sujana, I.B.G. Management of Anesthesia in A Patient with


Cystoma Ovarian Permagna. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2013; 5(3): 225-231.
2. Sari, M.I., Subekti, B.E., Eduard. Pengelolaan Anestesi pada Pasien Neoplasma
Ovarium Kistik Berukuran Besar dengan Anemia Tanpa Komplikasi. J Agromed
Unila. 2017. 4(1): 81-85.
3. Munekage, Y., Hironori, T., Kiyomi, T., Ritsuo, H., Hidetaka, K. A giant ovarian
tumor causing anasarca and dyspnea successfully managed after preoperative
drainage. Gynecologic and Obstetric Investigation. 2015; 80:211-5.
4. Arini, F.N., Adriatmoko, W., Novita, M. The Alteration of Vital Sign as Students’
Anxiety Symptoms before Performing Tooth Extraction in Oral Surgery
Departement Dentistry University of Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan. 2017;
5(2): 323-330.
5. Wiknjosastro H. Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2005.
6. Hall, J.E. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 13th ed. Philadelphia
(PA): Elsevier, Inc.; 2016.
7. Kowalak, J.P. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2017.
8. Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. Clinical Anesthesiology. 5th ed. Lange
Medical Books/McGraw-Hill; 2013.
9. Hartanto, B., Suwarman, Sitanggang, R.H. Hubungan antara Durasi Puasa
Preoperatif dan Kadar Gula Darah Sebelum Induksi pada Pasien Operasi Elektif di
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal anastesi periopratif. 2016; 4(2).
10. Putu Diva Dharma Suta, P.D.D., Sucandra, I.M.A.K. Terapi Cairan. [Paper]. SMF
Ilmu Anestesi Dan Reanimasi. Fakultas Kedokteran. Denpasar: Universitas
Udayana; 2017.
11. Tjokrowinoto S. Perbedaan Tekanan darah Pasca Anastesi Spinal Dengan
Pemberian Preload dan Tanpa Pemberian Preload 20CC/KGBB Ringer Asetat
Maleat. Jurnal Media Medika Muda.
12. Ansyori, dan Rihiantoro, T. Preloading Dan Coloading Cairan Ringer Laktat Dalam
Mencegah Hipotensi Pada Anestesi Spinal. Jurnal Keperawatan. 2012. 8(2): 174-
179.

Anda mungkin juga menyukai