PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bangko
Ruangan : Bedah kelas 3
Diagnosis : Nefrolitiasis dekstra
Tindakan : Retrograde Intrarenal Surgery
BB/TB/IMT : 75 kg/ 168 cm/ 26.7
Golongan Darah :O
2
- Riwayat penyakit lain (-)
D. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Vital
- Kesadaran : composmentis, kooperatif.
- TD : 130/90 mmHg
- Suhu : 36,7 C
- RR : 20 x/menit
- Nadi : 86 x/menit
2. Kepala
a. Mata : conjunctiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks
cahaya (+/+), pupil bulat isokor
b. THT : sekret (-), concha hiperemis (-), deviasi septum (-), faring
hiperemis (-), serumen (+/+) minimal
c. Leher : Tidak ada pembesaran KGB, JVP 5 -2 cm H2O, deviasi
trakea (-), pembesaran tiroid (-)
3. Thorax
Paru
a. Inspeksi: simetris, retraksi dada (-)
b. Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (-), stem fremitus kanan = kiri
c. Perkusi: sonor (+/+) di kedua lapangan paru
d. Auskultasi: Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
a. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
c. Perkusi:
Batas jantung kiri bawah : ICS V linea midclavicula sinistra
Batas jantung kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dekstra
Pinggang Jantung : ICS III linea paratsternalis sinistra
d. Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
3
4. Abdomen
a. Inspeksi : Datar
b. Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar dan
lien tidak teraba
c. Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut, nyeri ketok
CVA kanan (+)
d. Auskultasi : bising usus (+) normal
5. Genitalia : Tidak diperiksa
6. Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
4
5. Pemeriksaan penunjang lain
EKG :
1. Irama sinus
2. Frekuensi 103 x/menit
3. Ritme : interval P-P reguler
4. Gelombang p: selalu diikuti kompleks QRS
5. PR interval: normal
6. Kompleks QRS normal
7. Interval QRS: normal
8. Segmen ST: isoelektrik, normal
9. Interval QT: normal
10. Gelombang T: normal
BNO-IVP
Tampak gambaran opak pada ginjal kanan, distribusi udara baik, psoas
simetris
Kesan : Nefrolitiasis dekst
5
III. Rencana Tindakan Anestesi
a. Diagnosis Pra Bedah : Nefrolitiasis Dekstra
b. Tindakan bedah : Retrogade Intrarenal Surgery
c. Status fisik ASA :12345E
d. Jenis/tindakan Anestesi : Anestesi Regional (Epidural)
V. Tindakan Anestesi
Jenis/tindakan anestesi : Epidural anestesi
Lokasi penusukan : L3-L4
Analgesia setinggi : T4-T5
Premedikasi : Ranitidin 50 mg, Ondansentron 4mg
Medikasi
Anastesi lokal : Bupivacaine HCL 0,5% (isobarik) 90 mg
Jumlah : 18 cc
Adjuvant : Fentanyl 100 mcg
Medikasi intra operasi : Efedrin 5mg (IV)
Jumlah cairan
Input (Kristaloid) : 3 kolf (1500 ml)
6
Output :Sulit dinilai
Perdarahan :Minimal
Kebutuhan cairan pada pasien
Kebutuhan cairan pada pasien
BB = 75 kg
Maintenance = 2 cc/KgBB/jam
= 2 cc x 75 Kg/jam
= 144 cc/jam
= 1008 cc
= 6 cc x 75 Kg/jam
= 450 cc/jam
Jam I = PP + SO + M
= 1098 cc
Jam II = PP + SO + M
= 846 cc
= 1944 cc
7
C. LAPORAN ANESTESI
Tanggal : 03 Januari 2017 Diagnosa : Nefrolithiasis
Nama : Tn. S dekstra
Umur : 45 th Jenis pembedahan :Retrogade
BB : 75 kg Intrarenal Surgery
Jenis kelamin : Laki-laki Ahli bedah : dr Hendra, SpU
Ruang : Bedah kelas 3 Ahli Anestesi: dr Panal Hendrik
Dolok Saribu
I. Keterangangan Pra Bedah
1. Keadaan Umum : Sedang
2. Kesadaran : Composmentis, kooperatif
TD : 130/90 mmHg RR : 20 x/menit
Suhu : 36,7 C Nadi : 96 x/menit
3. Pemeriksaan penunjang
EKG : Sinus rhytm
Foto thorax : Cor dan Pulmo normal
8
Laboratorium :
WBC : 7,5 x 109/L (4,0-10,0)
RBC : 5.10 x 1012/L (3,50-5,50)
HB : 14,6 g/dl (11,0-16,0)
HCT : 39.5 % (36,0-48,0)
PLT : 338 x 109/L (150-400)
BT : 3 menit (1-3)
CT : 5 menit (2-6)
4. Status Fisik : ASA 2 non EMG
9
SpO2 99 %
10..15 TD 120/80 mmhg
Nadi 92 x/menit
RR 20 x/menit
SpO2 99 %
10.30 TD 120/80 mmhg RL 500 cc
Nadi 94 x/menit
RR 21 x/menit
SpO2 99 %
V. Ruang Pemulihan
Masuk jam :10.40 WIB
Keadaan umum : Kesadaran CM, GCS : 15
Tanda vital : 120/80 mmHg, N: 87x/menit
Skoring Bromage
Gerakan penuh dari tungkai :0
Tak mampu ekstensi tungkai :1
Tak mampu flexi lutut :2
Tak mampu flexi pergelangan kaki : 3
Nilai skoring :1
Pindah ruangan : 11.15 WIB
10
C. Follow up
Tanggal 3 januari 2017
S : nyeri luka operasi, minum 150 cc, tidak ada makan
O : TD : 120/80 mmhg
HR : 82 x /menit
RR : 20 x/menit
T: 36,4C
Urine : 1500 cc
A : Post RIRS
P : IVFD RL20 tpm
Ceftriaxon 1x2 gr
OMZ 1x1
Ketorolac 3x1
Asam Tranexamat 2x500mg
11
Tanggal 5 januari 2017
S : tidak ada keluhan, pasien sudah bisa berjalan
O : TD : 130/90 mmhg
HR : 84 x /menit
RR : 20 x/menit
T: 36,5C
Abdomen: supel, bising usus (+)
A : Post RIRS hari kedua
P : IVFD RL 20 tpm
Ceftriaxon 1x2 gr
OMZ 1x1
Ketorolac 3x1
Asam Tranexamat 2x500mg
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Urolitiasis
3.1.1 Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis,
nefrolitiasis)1,2
3.1.2 Etiologi urolithiasis
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :1,2
a. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
b. Umur : penyakit ini paling banyak didapatkan pada usia 30-50 tahun.
c. Jenis Kelamin : jumlah pasien laki-laki 4 kali lebih banyak dibandingkan
dengan pasien perempuan (4:1).
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah geografi , iklim dan temperatur, asupan air,
diet, pekerjaan.
3.1.3 Patofisiologi urolithiasis
Secara teoritis, batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih, terutama
pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine),
yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan juga
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.2,3
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal, kemudian berada di kaliks ginjal,
pielum, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh
kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal
memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehinggga disebut batu staghorn.
Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal (penyempitan
infundibulum dan stenosis uteropelvik) akan mempermudah timbulnya batu ginjal.
Beberapa teori pembentukan batu adalah:1,2
13
1. Teori Nukleasi: Batu terbentuk didalam urine karena adanya inti batu
(nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang terlewat jenuh
(supersaturated) akan mengendap didalam nukleus itu sehingga akhirnya
membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran
kemih.
2. Teori Matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine
(albumin,globulin dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat
diendapkannya kristal-kristal batu.
3. Teori Penghambat Kristalisasi: Urine orang normal mengandung zat-zat
penghambat pembentuk kristal, antara lain magnesium, sitrat, pirofosfat,
mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu
berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu didalam saluran kemih.
3.1.4 Diagnosis Urolithiasis
Gambaran klinis pasien dengan urolitiasis :1,2
a. Nyeri; Batu pada traktus urinarius bagian atas seringkali mengakibatkan
nyeri. Karakter nyerinya tergantung pada lokasi. Nyeri kolik renal dan nyeri
renal non-kolik adalah 2 tipe nyeri dari ginjal. Nyeri kolik renal biasanya
disebabkan oleh peregangan pada collecting system of ureter. Sedangkan
nyeri renal non kolik disebabkan distensi pada kapsul renal.
b. Hematuria; Pasien seringkali mengeluh adanya gross hematuria secara
intermitten atau kadang-kadang urin pekat seperti teh (old blood).
c. Infeksi; Infeksi juga berperan dalam menimbulkan nyeri. Bakteri
uropatogenik dapat mengganggu peristaltic ureter melalui produksi
eksotoksin dan endotoksin. Inflamasi local akibat infeksi mengakibatkan
aktivasi kemoreseptor dan membetuk persepsi nyeri local.
d. Demam; Batu pada traktus urinarius yang menimbulkan demam dapat
merupakan kondisi medis emergensi. Tanda klinis sepsis bervariasi
termasuk demam, takikardi, hipotensi dan vasodilatasi kutaneus. Tenderness
pada CVA menandakan adanya obstruksi akut pada traktus urinarius bagian
atas. Dapat teraba massa akibat hidronephrosis ginjal. Pada kondisi ini
14
diperlukan pemasangan retrograde catether (double-J) atau jika gagal dapat
dilakukan nephrostomi.
e. Nausea dan vomitus; Obstruksi pada traktus urinarius bagian atas disertai
dengan nausea dan vomitus. Cairan intravena dibutuhkan untuk
mengembalikan ke kondisi euvolemia.1,2
Pemeriksaan Laboratorium pasien dengan urolitiasis :1,2
Darah rutin
Urine rutin (pH, Bj urine, sedimen urine): Menentukan hematuria,
leukosituria, dan kristaluria.
Kultur urine: Mmenunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
Faal ginjal (Ureum, Creatinin): Bertujuan untuk mencari kemungkinan
penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersiapkan pasien menjalani
pemeriksaan foto IVP.
Kadar elektrolit: Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran
kemih (antara lain kadar kalsium, oksalat, fosfat).
Pemeriksaan Radiologi pasien dengan urolitiasis :
i. BNO: Melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran kemih.
ii. Ultrasonografi (USG): Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya
batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow ),
hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. Dapat
menunjukkan ukuran , bentuk dan posisi batu. Dapat diketahui adanya batu
radiolusen dan dilatasi sistem ductus kolektivus.
iii. Intra-Venous Pielografi (IVP): Menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
iv. CT Scan: Teknik imaging yang paling baik untuk melihat gambaran semua
jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana terjadinya obstruksi.
v. Pemeriksaan Renografi: Merupakan alat uji fungsi ginjal manusia dengan
menggunakan teknologi nuklir. Berdasarkan renogram akan memberikan
informasi tentang keadaan fungsi ginjal meliputi respons vaskuler, kapasitas
uptake dan kemampuan mengeluarkan perunut.
15
3.1.5 Penatalaksanaan urolithiasis1,2
a. Konservatif
Batu pada saluran kemih dapat keluar spontan tanpa membutuhkan
intervensi. 40-50 % batu dengan ukuran 4-5mm keluar spontan. Sedangkan batu
ukuran >6mm hanya memiliki kemingkinan 5% keluar spontan.
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5
mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan
untukmengurangi rasa nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian
diuretikum dan minum banyak serta skipping supaya dapat mendorong batu
keluar. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan analgetik atau inhibitor
sintesis prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Terapi
konservatif hanya diberikan selama 6 minggu.
b. Relief of Obstruction
Pasien dengan batu obstruksi disertai demam dan infeksi merupakan
kondisi emergensi urologi yang membutuhkan drainase. Pielografi retrograde
ditujukan untuk traktus urinarius bagian atas kemudian diikuti dengan
pemasangan retrograde double J ureteral stent.1
c. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Batu dipecah dengan gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil
sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
d. Operatif
Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis, infeksi,
atau menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih lagi
yang berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal.
Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk
bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas (extended
pyelolithotomy).1
Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah
jika batu telah menimbulkan obstruksi dan infeksi. Jika terbentuk batu staghorn
otomatis akan terjadi penyumbatan pelvis renalis bahkan sampai ke kaliks
sehingga pengeluaran batu harus dilakukan segera.1
16
Pengangkatan seluruh batu merupakan tujuan utama untuk mengeradikasi
organisme penyebab, menggatasi obstruksi, mencegah pertumbuhan batu lebih
lanjut dan infeksi yang menyertainya. Pilihan operasi pada uretrolitiasis adalah :
a) Simple pyelolithotomy b) extended pyelolithotomy c) bivalve pyelolithotomy
d)PCNL (percutaneus nephrolithotomy) e) ESWL (ekstracoporeal shock wave
lithotripsi) f) RIRS (retrogade intrarenal surgery)1
RIRS (Retrogade Intra Renal Surgery) merupakan uretroskopi yang dapat
digunakan sebagai penegakkan diagnostik dan terapi pada batu di saluran kemih.
sebagai penegakkan diagnosis diindikasikan untung mengevaluasi hasil dari
filling defek yang terdapat dalam rontgen, gross hematuria yang tidak
terdiagnosis, ataupun hasil positif pada pemeriksaan sitologi pada traktus kemih
atas. Sebagai terapi diindikasikan untuk membuang batu saluran kemih bagian
atas ataupun benda asing, mengobati keganasan, mengobati striktur ataupu daerah
yang obtruksi. Kontraidikasi RIRS adalah jika pasien demam, terdapat penurunan
kesadaran dan jika terdapat tanda-tanda infeksi berat karena akan meningkatkan
resiko septikemia.12
3.2 Anestesi Epidural
3.2.1 Definisi
Anestesia epidural adalah salah satu bentuk dari anestesia regional dan
merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial, dimana penggunaannya
lebih luas dari padaanestesia spinal.5
Anestesia epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang
epidural (peridural, ekstradural). Ruang ini berada diantara ligamentum flavum
dan duramater.dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi local kedalam
ruang epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang terletak di bagian
lateral yang berasal dari medula spinalis dan melintasi ruang epidural. Anestetik
local melewati duramater memasuki cairan cerebro spinal sehingga menimbulkan
efek anestesinya. 4,5
Epidural blok dapat dilakukan melalui pendekatan lumbal, torak,servikal
atau sacral (yang lasim disebut blok caudal). Teknik epidural sangat luas
penggunaannya pada anestesia operatif, analgesia untuk kasus-kasus obstetri,
17
analgesia post operatif dan untuk penanggulangan nyeri kronis. Onset dari
epidural anestesia (10-20 menit), lebih lambat dibandingkan dengananestesi spinal
dan terbentuk secara segmental sedangkan kualitas blokade sensorik motorik juga
lebih lemah. Dengan menggunakan konsentrasi obat anestesi lokal yang relatif
lebihencer dan dikombinasi dengan obat-obat golongan opioid, serat simpatis dan
seratmotorik lebih sedikit diblok, sehingga menghasilkan analgesia tanpa blok
motorik. Halini banyak dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan dan
analgesia post operasi.5
Anatomi vertebra
3.2.2 Indikasi dan Kontra indikasi
18
4. Tambahan pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu
pasien,dapat mengurangi penggunaan analgesik opioid
5. Terapi nyeri punggung dengan pemberian injeksi analgesik dan
steroid ke dalam ruang epidural.
6. Terapi nyeri kronik atau gejala paliatif
Absolut :
Relatif :
Hipovolemia
Penyakit SSP
Nyeri punggung kronik.
Pasien yang mendapat obat penghambat platelet, termasuk aspirin,
dripiridamol, dan NSAID
19
khusus (tuohy) untuk pemandu memasukkan kateter ke ruang epidural. Jarum ini
biasanya ditandai setiap cm, jarum ini ukuran 17, mempunyai stylet, ujungnya
tumpul dengan lubang pada sisi lateral dan mempunyai dinding tipis yang dapat
dilalui kateter ukuran 20.
20
Identifikasi ruang epidural.
Ruang epidural teridentifikasi setelah ujung jarum melewati ligamentum
flavum dan menimbulkan tekanan negatif pada ruang epidural. Metode untuk
identifikasi ini dibagi dalam dua kategori : tehnik loss of resistance dan tehnik
hanging drop.
1. Loss of resistence tehnik (hilangnya resistensi)
Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik resistensi
rendah yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak 3ml. Setelah diberikan
anestetik lokal pada tempat suntikan, jarum epidural ditusukkan sedalam 1-2cm.
Kemudian udara atau NaCl disuntikkan perlahan-lahan secara terputus-putus
(intermiten) sambil mendorong jarum epidural sampai terasa menembus jaringan
keras (ligamentum flavum) yang disusul oleh hilangnya resistensi. Setelah yakin
ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test dose).
21
2. Hanging Drop tehnik (tetes tergantung)
Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada teknik ini
hanya menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada tetes
NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan-lahan
secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul
oleh tersedotnya tetes Nacl ke ruang epidural.Setelah yakin ujung jarum berada
dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test dose).
22
Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya bergantung
pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis dikurangi sampai 50% dan
pada wanita hamil dikurangi sampai 30% akibat pengaruh hormon dan
mengecilnya ruang epidural akibat ramainya vaskularisasidarah dalam ruang
epidural.
Pilihan tingkat block.
Anestesia epidural dapat dilakukan pada salah satu dari empat segmen
dari tulang belakang (cervical, thoracic, lumbar, sacral). Anestesia epidural pada
segmen sacralis biasanya disebut sebagai anesthesia caudal.
a. Midline approach.
23
Biasanya dipilih pada kasus dimana operasi atau penyakit sendi degeratif
sebelumnya ada kontra indikasi dengan median approach. Tehnik ini lebih mudah
bagi pemula, karena saat jarum bergerak kedalam ligamen dan perubahan
tahanan tidak terjadi, maka jarum masuk ke otot paraspinosus dan tahanan hanya
dirasakan bila jarum sampai pada ligamentum flavum.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutupi kain streril seperti pada mid
line approach. Jarum ditusukkan kira-kira 2-4 cm kelateral garis tengah pada
bagian bawah processus spinosus superior. Tusukan kulit dibuat dan jarum
epidura langsung diarahkan kecephalad seperti pada median approach dan
kemudian jarum dilanjutkan kearah midline. Setelah strukur dermal ditembusi
spoit dihubungkan dengan jarum dan selanjutnya jarum masuk masa otot
psraspinosus akan terasa tahanan minimal dan kemudian sampai ada peningkatan
tahanan yang tiba-tiba ketika jarum sampai pada ligamentum flavum. Jika jarum
telah melewati ligamentum flavum dan setelah loss of resiten teridentifikasi maka
jarum telah masuk kedalam ruang epidural.
Thoracic epidural anesthesia adalah tehnik yang lebih sulit dari pada
lumbar epidural anesthesia, dan kemungkinan untuk trauma pada medulla
spinalis adalah besar. OLeh karena itu, yang penting bahwa praktisi sepenuhnya
familiar dengan lumbar epidural anesthesia sebelum mencoba thoracic epidural
block.
a. Midline approach
24
dipertimbangkan selama mengidentifikasi ruang epidural. Jika didapatkan nyeri
yang membakar kemungkinan bahwa jarum epidural kontak langsung dengan
medulla spinalis harus dipertimbangkan dan jarum harus dengan segera
dipindahkan. Kontak berulang dengan tulang dan tidak didapatkan ligamentum
atau ruang epidural adalah indikasi untuk merubah pada pendekatan paramedian.
b. Paramedian approach.
Tehnik ini khusus dilakukan dengan pasien pada posisi duduk dan leher
difleksikan. Jarum epidural dimasukkan pada midline khususnya pada interspase
C5-C6 atau C6-C7 dan ditusukkan secara relatif datar kedalam ruang epidural
dengan memakai tehinik loss of resistence dan lebih sering dengan hanging drop.
Penempatan kateter.
25
o Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat
mengalami parasthesia yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu
yang singkat. Jika kateter tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter
harus ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-sama.
o Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran
kateter.
o Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian
belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter
telah masuk, kateter ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
o Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi
dapat dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal,
dan kemudian kateter diplester dengan kuat pada bagian belakang pasien
dengan ukuran yang besar, bersih dan diperkuat dengan pembalutan.
Uji keberhasilan epidural
Keberhasilan analgesia epidural:
- blok simpatis diketahui dari perubahan suhu
- blok sensorik dari uji tusuk jarum
- blok motorik dari skala Bromage
Melipat lutut Melipat jari
Blok tak ada ++ ++
Blok parsial + ++
Blok hampir lengkap - +
Blok lengkap - -
Skala bromage untuk blok motorik
3.2.4 Aktivasi Epidural
Jumlah (volume dan konsentrasi) dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan
untuk anestesi epidural relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan anestesi
spinal. Keracunan akan terjadi bila jumlah obat sebesar itu masuk intratekal atau
intravaskuler. Untuk mencegah timbulnya hal tersebut, dilakukan tes dose
epidural. Hal ini dibenarkan dengan menggunakan jarum ataupun melalui kateter
epidural yang telah terpasang. 8,9
26
Test dose dilakukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan injeksi ke
ruang subaraknoid atau intravaskuler. Test dose klasik dengan menggunakan
kombinasi obat anestesi lokal dan epineprin, 3 ml lidokain 1,5 % dengan 0,005
mg/mL epineprin 1:200.000. Apabila 45 mg lidokain disuntikan kedalam ruang
subaraknoid akan timbul anestesi spinal secara cepat. 15 g epineprin bila
disuntikan intravaskuler akan menimbulkan kenaikan nadi 20% atau lebih.
Beberapa menyarankan untuk menggunakan obat anestesi lokal yang lebih
sedikit suntikan 45 mg lidokain intratekal akan menimbulkan kesulitan
penanganan pada tempat tertentu, misalnya di ruang persalinan. Demikian juga,
epineprin sebagai marker injeksi intravena tidaklah ideal. False positif dapat
terjadi (kontraksi uterus sehingga menimbulkan nyeri yang berakibat
meningkatnya nadi) demikian juga false negatif (pada pasien yang mendapat
bloker). Fentanil telah dianjurkan untuk digunakan sebagai test dose intravena,
yang mempunyai efek analgesia yang besar tanpa epineprin. Yang lain
menyarankan untuk melakukan tes aspirasi sebelum injeksi dapat dilakukan
untuk mencegah injeksi obat anestesi lokal secara intravena. 8,9
3.2.5 Obat-Obatan Pada Anestesi Epidural
Obat-obat epidural dipilih berdasarkan efek klinis yang diharapkan,
apakah akan digunakan sebagai obat anestesi primer, untuk suplementasi pada
anestesi umum, atau untuk lokal analgesia. Antisipasi terhadap lamanya prosedur
akan memerlukan suntikan tunggal short atau long acting anestesi atau
membutuhkan pemasangan kateter. Umumnya penggunaan obat dengan durasi
kerja pendek sampai sedang pada anestesi menggunakan lidokain 1,5-2%, 3%
kloroprokain, dan 2% mevipakain. Obat dengan durasi kerja lama termasuk
bupivakain 0,5-0,75%, ropivakain 0,5-1%, dan etidokain. Hanya obat-obat
anestesi lokal yang bebas preservatif atau yang telah diberi label khusus untuk
epidural atau kaudal saja yang dianjurkan.8
Sesuai dengan kaidah bolus 1-2 mL per segmen, dosis ulangan melalui
kateter epidural dikerjakan dalam waktu yang tetap, berdasarkan pengalaman
praktisi terhadap penggunaan obat tersebut, atau apabila telah menunjukan regresi
blok. Waktu regresi dua segmen sesuai dengan karakteristik masing-masing obat
27
anestesi lokal dan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya
penurunan level sensoris sebanyak dua level dermatom. Bila telah terjadi regresi
dua segmen, boleh diberikan suntikan ulang sebanyak sepertiga sampai setengah
dari dosis inisial.8
Harus dicatat bahwa kloroprokain, suatu ester dengan onset yang cepat,
durasi yang pendek, dan toksisitas yang rendah, akan mungkin bertumpang tindih
dengan efek efek epidural dari opiat. Dulunya formulasi dari kloroprokain dengan
preservatif bisulfit dan EDTA tampaknya menjadi suatu permasalahan. Preparat
bisulfit menimbulkan neurotoksik bila disuntikan intratekal dengan volume yang
besar. Sedangkan formulasi EDTA menimbulkan nyeri pinggang yang berat
(diperkirakan karena terjadinya hipokalemia lokal). Saat ini preparat kloroprokain
sudah bebas preservatif dan tidak menimbulkan komplikasi tersebut.8
Bupivakain, yang merupakan salah satu anestesi lokal golongan amide
dengan onset yang lambat dan durasi kerja yang panjang, mempunyai potensi
menimbulkan toksisitas sistemik. Anestesi untuk pembedahan diijinkan untuk
menggunakan formulasi 0,5 % dan 0,75 %. Konsentrasi 0,75 % tidak dianjurkan
pada anestesi obstetri. Penggunaannya pada masa lalu dilaporkan menimbulkan
cardiac arrest sebagai akibat injeksi kedalam intravena. Kasulitan dalam
melakukan resusitasi dan tingginya angka kematian sebagai akibat ikatan dengan
protein yang sangat tinggi dan kelarutan bupivakain dalam lemak, mengakibatkan
akumulasi dalam sistim hantaran jantung sehingga timbul refractory re-entrant
arrhythmias. Konsentrasi yang sangat encer dari bupivakain (misal 0,0625%)
sering dikombinasi dengan fentanil dan digunakan untuk analgesia untuk
persalinan dan nyeri pasca operasi. S-enantiomer dari bupivakain :
levobupivakain, tampaknya berefek anestesi lokal pada konduksi saraf tetapi tidak
menimbulkan efek toksik secara sistemik. Ropivakain, kurang toksik
dibandingkan bupivakain, potensi, onset, durasi dan kualitas blok sama dengan
bupivakain.8
28
3.2.6 Kegagalan Anestesi Epidural
Tidak seperti anestesi spinal, yang mana hasil akhirnya sangat jelas, dan
secara teknis tingkat keberhasilannya tinggi, anestesi epidural sangat tergantung
pada subyektifitas deteksi dari loss of resistance (atau hanging drop). Juga, lebih
bervariasinya anatomi dari ruang epidural dan kurang terprediksinya penyebaran
obat anestesi lokal, karenanya membuat anestesia epidural kurang dapat
diprediksi.8
Kesalahan tempat penyuntikan obat anestesi lokal dapat terjadi dalam
sejumlah situasi. Pada beberapa dewasa muda, ligamentum spinalis lembut dan
perubahan resistensi yang baik tidak bisa dirasakan, dengan kata lain kekeliruan
dari loss of resistance tidak bisa dipungkiri. Demikian juga bila masuk ke
muskulus paraspinosus dapat menimbulkan kekeliruan loss of resistance.
Penyebab lain kegagalan anestesi epidural seperti injeksi intratekal, subdural, dan
injeksi intravena. Walaupun dengan konsentrasi dan volume yang adekuat dari
obat anestesi lokal telah dimasukkan kedalam ruang epidural, dan waktu yang
dibutuhkan telah mencukupi, beberapa blok epidural tidak berhasil.8
Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat kateter yang keluar
dari ruang epidural. Bila blok unilateral terjadi, masalah tersebut dapat diatasi
dengan menarik kateter 1-2 cm dan disuntikan ulang dimana pasien diposisikan
dengan bagian yang belum terblok berada disisi bawah. Bisa juga pasien
mengeluh akibat nyeri viseral pada blok epidural yang bagus. Pada beberapa
kasus (tarikan pada ligamentum inguinale dan tarikan spermatic cord), yang
lainnya seperti tarikan peritoneum. Pada keadaan ini diperlukan pemberian
suplementasi opioid intravena. Serat aferen visceral yang berjalan bersama nervus
vagus mengakibatkan semua hal ini.8
3.2.7 Faktor yang berpengaruh pada anestesia epidural10
1. Lokasi Injeksi
Pada injeksi lumbal, analgesia akan menyebar ke kaudal dan kranial
dengan delay pada segmen L5 dan S1 karena ukuran cabang saraf yang
besar.
29
Pada injeksi torakal, analgesia menyebar merata dari lokasi injeksi.
Thoraks bagian atas dan servikal bawah resistan terhadap blok tersebut
karena ukurancabang sarafnya yang besar. Ukuran ruang epidural pada
daerah torakal lebihkecil sehingga volume anestesi yang diperlukan tidak
terlalu besar.
2. Dosis
Dosis yang dibutuhkan untuk analgesia atau anestesia ditentukan
oleh beberapa faktor, tetapi pada umumnya dibutuhkan anestesia lokal
sebanyak 1-2ml/segmen. Penyebaran lokal anestesia di dalam ruang epidural
bervariasi,tergantung dari ukuran ruang epidural, dan terkadang obat tersebut
mengalir keluar ke ruang paravertebra. Semakin besar volume dari anestesia
lokal dengan konsentrasi rendah, semakin luas segmen yang diblok; tetapi
dengan kekuatan blok sensoris dan motoris yang lebih rendah. Posisi lateral
dekubitus,Tredelenburg, atau reverse. Tredelenburg dapat dilakukan untuk
mendapatkan blokade dermatome pada segmen yang diinginkan.
3. Usia, tinggi badan, dan berat badan
Semakin tua umur, semakin sedikit volume obat yang diperlukan
untuk mencapai level blok yang diinginkan, diduga akibat penurunan
ukuran dan compliance ruang epidural.
Tinggi badan pasien memiliki korelasi dengan volume obat, di
mana pasien yang lebih tinggi memerlukan volume obat yang lebih besar.
Hanya ada sedikit korelasi berat badan dengan volume obat
yangdiperlukan, meskipun pada pasien obesitas, ruang epidural dapat
terkompresi, sehingga lebih sedikit volume yang diperlukan. Keadaan
lainyang berhubungan adalah pasien dengan asites, tumor intra abdomen
yang besar, dan kehamilan tua.
4. Postur
Efek gravitasi selama pengaplikasian blok telah diketahui
mempengaruhi penyebaran obat dan area yang terblok. Pada posisi duduk,
lumbal bawah dan sakral cenderung lebih terblok, sedangkan pada posisi
lateral dekubitus (tiduran miring), cabang saraf pada sisi tersebut lebih terblok.
30
5. Penggunaan vasokonstriktor
Sistem kardiovaskular
Sistem respirasi
Biasanya tidak terpengaruh, kecuali pada tingkatan blok yang cukup tinggi
(mengenai persarafan muskulus interkostalis), sehingga dapatmenyebabkan
distress pernafasan.
Sistem gastrointestinal
Blokade pada saraf simpatis akan menyebabkan saraf parasimpatis (vagus dan
sakral) menjadi lebih dominan, dan mengakibatkan peristaltik aktif dan relaksasi
sfingter, serta kontraksi intestinal. Limfadenopati dapat terjadi (pembesaran 2-3
kali).
Sistem urogenital
Retensi urin sering terjadi pada anestesia epidural. Hipotensi berat dapat
mengurangi laju filtrasi glomerulus bila blokade saraf simpatis cukuptinggi untuk
menyebabkan vasodilatasi yang signifikan.Anestesia epidural dapat menurunkan
waktu intubasi, risiko depresi pernapasan, danrisiko infeksi paru-paru. Selain itu,
dalam prognosis pembedahan, penggunaan anestesiaepidural menurunkan lama
rawat inap dan menurunkan angka kematian dalam 30 hari.
Keuntungan Analgesia Epidural setelah Pembedahan5
31
Insidensi dari masalah respirasi post-operatif dan infeksi dada dapat
dikurangi
Insidensi infark miokardial (serangan jantung) post-operatif dapat
dikurangi
Respon stres terhadap pembedahan dapat dikurangi
Motilitas usus dapat ditingkatkan dengan cara blokade sistem saraf
simpatik.
Mengurangi kebutuhan akan transfusi darah
3.2.9 Efek Samping Analgesia Epidural7
Selain memblok saraf yang membawa nyeri, obat anestetik lokal di dalam
ruangepidural ternyata dapat memblok tipe saraf yang lain, tergantung pada
dosisnya.Bergantung pada jenis obat dan dosis yang digunakan, efek ini dapat
bertahan dari beberapa menit hingga beberapa jam. Epidural biasanya
menggunakan opiate fentanyl atau sufentanil, dengan bupivakain. Fentanyl adalah
opiate yang sangat kuat dengan potensi dan efek samping 80x morfin. Sufentanil
adalah opiate yang lain, 5-10x lebih poten dibandingkan fentanyl. Pemakaian
opioid dapat menyebabkan gatal yang parah dan bahkan depresi napas.
3.2.10 Komplikasi4
32
Hipoventilasi (Hati-hati keracunan obat)
Mual muntah
33
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pemeriksaan pra anestesi
Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang dari 24 jam sebelum operasi,
hal ini benar dilakukan karena perkenalan dengan keluarga penderita sangat
penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi
yang dilakukan. Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan
pasien secara umum, keadaan fisik dan mental penderita.4 Dimana didapatkan
keadaan pasien secara umum baik.
34
Pada operasi RIRS, biasanya menggunakan tekhnik anestesi umum
ataupun gabungan antara tekhnik spinal dan epidural, belum ada penelitian
mengenai operasi RIRS yang hanya menggunakan tekhnik anestesi epidural saja.
Teknik anestesi epidural memiliki keuntungan dibandingkan anestesi spinal yakni
obat dapat diberikan berulang melaui kateter, bekerja secara segmental, tidak
terjadi headache post op, hipotensi lambat terjadi, dan sedikit pengaruhnya
terhadap respirasi.13
Adapun beberapa keuntungan epidural anestesi dibandingkan general
anestesi yaitu jumlah perdarahan yang lebih sedikit, angka kejadian thrombosis
vena dalam lebih kecil, menghindari efek samping general anestesi seperti mual,
tenggorokan kering, gangguan kesadaran, dan sebagainya, serta kontrol nyeri
yang lebih baik.14
4.3 Tindakan premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan,
dengan tujuan melancarkan anastesia. Tujuan Premedikasi sangat beragaman,
diantaranya :4,11
- Mengurangi kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu Ranitidine 50 mg
(golongan antagonis reseptor H2 Histamin) tujuannya yaitu untuk mencegah
pneumonitis asam yang disebabkan oleh cairan lambung yang bersifat asam
dengan PH 2,5 dan untuk mengurangi sekresi asam lambung dengan cara
menghalangi histamin merangsang sekresi asam lambung Untuk meminimalkan
kejadian tersebut dipilihlah antagonis reseptor H2 Histamin.4 Pada pasien ini juga
diberikan ondansetron 4mg (golongan antiemetik) dan untuk mengurangi mual
35
dan muntah pasca pembedahan. Mekanisme kerja obat ini adalah
mengantagonisasi reseptor 5HT-2 yang terdapat pada Chemoreseptor Trigger
Zone di area postrema otak dan pada aferen vagal saluran cerna, Ondancentron
juga mempercepat pengosongan lambung, mual dan muntah pasca pembedahan.
Obat-obatan lainnya yang biasa dipakai sebagai anti emetik adalah dexamethasone
(4 mg I.V), droperidol (0.625 mg I.V), diphenhydramine (25 mg I.V) yang dapat
diberikan tunggal ataupun kombinasi.15
Dalam pemberian obat premedikasi pada pasien ini terdapat kesalahan
waktu pemberian obat. Obat premedikasi seharusnya diberikan di ruangan rawat
1-2 jam sebelum dilakukan induksi, namun pada pasien diberikan sekitar 15 menit
sebelum induksi epidural.Dosis pemberian ondansentron sudah tepat yakni 4 mg
sesuai dengan dosisnya berdasarkan berat badan pasien 75 kg yakni 0,05-0,2
mg/kgBB = 3.7515 mg, sedangkan dosis ranitidin 50mg kurang tepat
dikarenakan dosis ranitidin 1mg/kgBB = 75 mg (IV)
4.4 Induksi anestesi epidural
Anestesi epidural mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan
kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan
garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu
antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah.
Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum Touhy
ditusukkan dengan arah median, untuk mengenal ruang epidural digunakan
teknik. hanging drop. Jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada tetes
NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan-lahan
secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul
oleh tersedotnya tetes Nacl ke ruang epidural.Setelah yakin ujung jarum berada
dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test dose)
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah
ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang
(kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur
adrenalin 1:200.000
36
a. Tidak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum atau
kateter benar
Setelah diyakini posisi jarum dan kateter benar, suntikkan anestetik lokal
secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total.
37
Tabel 2. Dosis anestetik lokal untuk anestesi epidural14
Permasalah pada pasien ini terdapat pada dosis anestesi bupivacain yang
terlalu besar. Berdasarkan tabel diatas, dosis bupivacaine berdasarkan berat badan
untuk anestesi epidural adalah 0,2ml/kgBB pada pasien dengan berat badan 75kg
sebaiknya dosis 15 ml , sedangkan dosis yang diberikan 1,5 kali lipat dari dosis
anjuran yakni 18 ml.
38
dan 2, baik bekerja langsung maupun tidak langsung, efek tidak langsung yaitu
dengan merangsang pelepasan noradrenalin.
Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak 1500
ml (3 kolf) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang karena pasien sudah tidak makan dan minum 7 jam.
Diketahui :
o Berat badan : 75 kg
39
o Lama puasa : 7 jam
o Lama anestesi : 1 jam 30 menit
o Stress operasi : Sedang
Maintenance = 2 cc/KgBB/jam
= 2 cc x 75 Kg/jam
= 144 cc/jam
= 1008 cc
= 6 cc x 75 Kg/jam
= 450 cc/jam
Jam I = PP + SO + M
= 1098 cc
Jam II = PP + SO + M
= 846 cc
= 1944 cc
Karena pada pasien ini operasi sampai memakan waktu 1,5 jam, maka
pemberian 1500 cc kristaloid selama operasi belum memenuhi kebutuhan cairan
pasien
40
4.7 Ruang Pemulihan (RR)
Masuk ke ruangan resusitasi pada Jam 10.45, keadaan Umum cukup,
Kesadaran CM, GCS:15. Tanda Vital dalam keadaan belum stabil secara baik
(TD: 120/80 mmHg, N: 100 x/I, RR: 19 x/i Pernafasan baik)
Skoring Bromage
Gerakan penuh dari tungkai :0
Tak mampu eksttensi tungkai :0
Tak mampu flexi lutut :0
Tak mampu flexi pergelangan kaki : 1
Jumlah :1
Instruksi Anestesi :
- Monitoring tanda vital, kesadaran, dan perdarahan setiap 15 menit
- Tirah baring dengan bantal 1 x 24 jam
- Boleh makan dan minum secara bertahap bila tidak mual
- Terapi sesuai dokter spesialis urologi
Instruksi yang diberikan sudah tepat, perlunya obsevasi keadaan umum, vital
sign post operasi sangat penting untuk menilai apakah ada komplikasi yang terjadi
pasca pembedahan.
41
BAB V
KESIMPULAN
42
DAFTAR PUSTAKA
43
12. Sharma, D.K., Varshney, A.K. 2011. Retrograde Intra Renal Surgery (RIRS).
New Delhi: JIMSA.
13. Zeng, G., Zhao, Z., Yang, F. Et al. 2015. Retrograde Intrarenal Surgery With
Combined Spinal-Epidural vs General Anesthesia: A prospective
Randomized Controlled Trial. Guangzou: Journal Of Endourology
14. Brown, D.L. Epidural Anesthesia. Diakses 12 Januari 2017. Diunduh dari
URL : http://www.medbox.org>download
15. Medscape. Perioperative Medication Management. 2015.
http://emedicine.medscape.com/article/284801-overview#showall
44