Anda di halaman 1dari 26

MINI CLINICAL EXAMINATION

NY R 51 TAHUN DENGAN APENDISITIS AKUT POST APENDIKTOMI

Oleh:

Qurrotu Aini G4A015086


Wulan Zumaroh Azmi G4A016026
Gembong Satria Mahardhika G4A016083

Pembimbing:

dr. Iwan Dwi Cahyono, Sp. An

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017

HALAMAN PENGESAHAN

1
MINI CLINICAL EXAMINATION

Ny R 51 Tahun dengan Apendisitis Akut Post Apendiktomi

Disusun oleh:
Qurrotu Aini G4A015086
Wulan Zumaroh Azmi G4A016026
Gembong Satria Mahardhika G4A016083

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui,
Pada tanggal: Maret 2017

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Iwan Dwi Cahyono, Sp.An

I. PENDAHULUAN

2
Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita
yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan
intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Bersama-sama cabang kedokteran yang lain serta anggota masyarakat ikut aktif
mengelola bidang kedokteran gawat darurat.
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau
darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya, dalam penatalaksanaan
anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu
praanetesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan
anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi. Tahap
penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks. Apabila diagnosis
sudah pasti, maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif, yaitu
apendiktomi. Penundaan operasi dapat menimbulkan bahaya, antara lain abses
atau perforasi, bahkan sampai peritonitis. Apendisitis akut termasuk operasi
emergensi. Pada operasi emergensi, kondisi pasien harus dipersiapkan seoptimal
mungkin. Persiapannya sama seperti operasi elektif, namun segala sesuatunya
dilakukaan saat itu juga.

II. LAPORAN KASUS

3
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 03 Juni 1965
Alamat : Kotayasa Rt 006 Rw 001 Sumbang
Agama : Islam
Diagnosis : Apendisitis Akut
Pro : Laparotomi Apendiktomi
DPJP Anestesi : dr. Mukhlis Rudi, Sp.An
No. CM : 02001544
Tanggal masuk RSMS : 23 Maret 2017
Tanggal Operasi : 24 Maret 2017

B. Anamnesis Pra Anestesi


1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Margono Soekarjo Purwokerto hari
Kamis tanggal 23 Maret 2017 dengan keluhan nyeri perut. Nyeri perut
dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, terutama di bagian
kiri atas dan kiri bawah. Pasien menyangkal adanya demam, mual dan
muntah. Buang air kencing dan buang air besar lancar. Setelah
mendapatkan penanganan awal di IGD, pasien kemudian dipindahkan ke
ruang rawat Edelweiss. Hari Jumat tanggal 24 Maret 2017, pasien
mengeluh nyeri perut kanan bawah. Nyeri perut dirasakan semakin nyeri
jika pasien bergerak. Pasien juga mengeluh mual dan sempat muntah 1x.
Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian anestesi dari bagian bedah untuk
dilakukan apendiktomi segera. Pasien sedang tidak batuk, pilek, dan
sesak nafas.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

4
Riwayat Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-), penyakit
Jantung (-), hepatitis (-), penyakit ginjal (-), anemia (-), stroke (-), alergi
obat (-), alergi makanan (-), mengorok (-), riwayat operasi (-).
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-), penyakit Jantung (-),
Gangguan Pembekuan Darah (-).
5. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Heart Rate : 86x/menit, kuat, isi cukup, reguler
Respiratory Rate : 18x/ menit
Suhu : 36.7 oC
6. Status Antropometri
Berat Badan : 69 kg
Tinggi Badan : 155 cm
BMI : 28.7 (Overweight)
7. Pemeriksaan Fisik
a. Airway : Clear (+), buka mulut 3 jari, Mallampati III, TMD 6 cm,
gigi palsu (-), gigi tanggal (+), gigi goyang (-), massa jalan nafas (-),
massa di leher (-)
b. Kepala/Leher: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), massa di
wajah (-), masa di leher (-), luka bakar (-), deviasi trakea (-).
c. Breathing/Thorak:
Spontan (+), RR 20x/ menit
Paru : SD ves +/+, wh -/-, rbk -/-, rbh -/-
Jantung : S1>S2, reguler, gallop (-), murmur (-)
d. Circulation
TD 100/70 mmHg, Nadi 80x/menit, kuat, isi cukup, reguler.
e. Abdomen
Inspeksi : Datar, distensi (-), darm contur (-), darm steifung
(-)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal

5
Palpasi : Nyeri tekan (+) regio kanan bawah, Mc burney sign
(+), rebound tenderness (+), rovsing sign (+), psoas
sign (+), obturator sign (+), defans muskuler (-)
Perkusi : Timpani
f. Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-),
parese (-/-), paralise (-/-)
g. Pemeriksaan Vertebrae
Tidak didapatkan kelainan
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 23/03/2017
Hb : 14.2 g/dL
Leukosit : 8050 U/L
Ht : 41 %
Eritrosit : 4,9 juta/L
Trombosit : 271.000
GDS : 136
SGOT : 34
SGPT : 62
Ureum : 34.4
Creatinin : 1.04
Assesment : ASA II E
Rencana Operasi : Laparotomi Apendiktomi
Rencana Anestesi : Regional Anestesi (Anestesi Spinal)
C. Laporan Anestesi Durante Operasi
1 Tanggal operasi : 24/3/2017
2 Jam mulai anestesi : 21.15 WIB
3 Jam selesai anestesi : 23.00 WIB
4 Kondisi prainduksi
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 100/90 mmHg
Heart rate : 60 x/menit, kuat, isi cukup, reguler
RR : 22 x/menit
Suhu : 360 C
5 Tehnik anestesia

6
Anestesi : Regional Anestesia (SAB)
Premedikasi : Ondansentron 1 ampul
Posisi pasien : Duduk
Area penyuntikan : L3-L4
Jarum : Spinocaine no 27
Obat anestesi : Bupivacaine (5mg/ml) 3 cc
Obat yang masuk : Efedrin 10 cc
Monitoring Durante Operasi
a Tekanan darah, SpO2 dan HR
Tabel I.1. Monitoring Durante Operasi
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR
21.00 120/80 100% 62
22.00 100/70 99% 76
23.15 100/60 100% 72

b Obat yang masuk


Ondansentron 1 ampul
Bupivacaine(5mg/ml)
Efedrin 10 cc
c Cairan yang masuk durante operasi
RL : 1000 ml
NaCl : 500 ml
d Perdarahan : 200 cc
e Urine : 150 cc
D Terapi Cairan
Rumus:
Maintenance = 2 x kgBB/jam
Pengganti Puasa (PP) = Puasa (jam) x M
Stress Operasi (SO) = 6cc/kgBB (operasi sedang)
Jam I = PP + M + SO
Jam II = PP + M + SO
Jam III = Jam II
Jam IV = M + SO
30 Menit = Jam I

7
EBV = Wanita 65 x BB
Perhitungan (BB= 69 Kg):
Maintenance (M) = 2 x 69 = 138 cc
Stress Operasi (SO) = 6 x 69 = 414cc
Pengganti puasa = 6 x 138 = 828cc
EBV = 65 x BB = 65 x 69 = 4.485 cc
Lama Operasi (2 jam 15 menit)
Input Cairan durante operasi
Jam I = PP + M + SO
= (828) + 138 + 414
= 414 + 552
= 966 cc
Jam II = PP + M + SO
= (828) + 138 + 414
= 207 + 552
= 759 cc
Output durante operasi
Jumlah perdarahan = 200 cc (4,4% EBV)
Urin output = 150 cc
Total output durante operasi = 350 cc

Tabel I.2. Keseimbangan Cairan Durante Operasi


Output Cairan Input Cairan
Perdarahan + urin output Durante operasi = 1500 cc
= 200 + 150 cc
Output cairan D.O. = 350cc Input cairan D.O. = 1000 cc

Kebutuhan durante operasi


1 jam 30 menit : 966 + 483
: 1449 cc

Total Cairan Output Total Cairan Input


350+1449 1500 cc
= 1799 = 1500cc
Balance Cairan: -299 cc

Perkembangan Pasien

8
24 Maret 2017 pukul 23.38 wib
Subject :
Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah bekas operasi (+), hilang timbul. Pasien
sudah BAK, pasien belum bias kentut.
Object :
Ku/ kes: baik / CM
TD : 110/60 mmhg
N: 89 x/menit
RR: 19 x/ menit
T: 36.0 C
Status lokalis
Abdominal
Terdapat luka bekas operasi di region umbilikalis dengan diameter 10 cm,
tertutup kassa (+), rembes (-), nyeri tekan (+), drain (+) darah di selang.
Assasment :
Post laparotomy appendiktomy.
Planing :
drip metronidazole 500 mg
injeksi tramadol 3x100 mg
Pantau perdarahan

25 Maret 2017 pukul 06.27 wib


Subject :
Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah bekas operasi (+), pasien belum bisa
kentut, pasien belum bisa mobilisasi.
Object :
Ku/ kes: baik / CM
TD : 100/60 mmhg
N: 79 x/menit
RR: 19 x/ menit
T: 36.0 C
Status lokalis

9
Abdominal
Terdapat luka bekas operasi di region umbilikalis dengan diameter 10 cm,
tertutup kassa (+), rembes (-), nyeri tekan (+), drain (+)
Assasment :
Post laparotomy appendiktomi h+1
Planing :
injeksi ceftriaxone 2x1
injeksi metronidazole 500 mg/ 8 jam
injeksi tramadol 3x100 mg
injeksi ondansentron 2x1 amp
RL 25 TPM
ganti balut tiap hari
diet tktp

26 Maret 2017 pukul 09.27 wib


Subject :
Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah bekas operasi (+), hilang timbul. Pasien
sudah BAK, pasien sudah bisa kentut, pasien sudah mobilisasi miring kanan
dan kiri
Object :
Ku/ kes: baik / CM
TD : 130/80 mmhg
N: 99 x/menit
RR: 18 x/ menit
T: 36.0 C
Status lokalis
Abdominal
Terdapat luka bekas operasi di region umbilikalis dengan diameter 10 cm,
tertutup kassa (+), rembes (-), nyeri tekan (+), drain (+)
Assasment :
Post laparotomy appendiktomi h+2
Planing :

10
injeksi ceftriaxone 2x1
injeksi metronidazole 500 mg/ 8 jam
injeksi tramadol 3x100 mg
injeksi ondansentron 2x1 amp
RL 25 TPM
ganti balut tiap hari
diet tktp

27 Maret 2017 pukul 06.02 wib


Subject :
Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah bekas operasi berkurang. Pasien sudah
BAK,BAB, pasien sudah bisa kentut, pasien sudah mobilisasi duduk dan
berjalan.
Object :
Ku/ kes: baik / CM
TD : 120/80 mmhg
N: 80 x/menit
RR: 18 x/ menit
T: 36.0 C
Status lokalis
Abdominal
Terdapat luka bekas operasi di region umbilikalis dengan diameter 10 cm,
tertutup kassa (+), rembes (-), nyeri tekan (+), drain (+)
Assasment :
Post laparotomy appendiktomi h+3
Planing :
injeksi ceftriaxone 2x1
injeksi metronidazole 500 mg/ 8 jam
injeksi tramadol 3x100 mg
injeksi ondansentron 2x1 amp
RL 25 TPM
ganti balut tiap hari

11
diet tktp

28 Maret 2017 pukul 06.33 wib


Subject :
Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah bekas operasi (+). Pasien sudah BAK,
BAB, pasien sudah bias kentut, mobilisasi duduk dan berjalan.
Object :
Ku/ kes: baik / CM
TD : 110/70 mmhg
N: 80 x/menit
RR: 20 x/ menit
T: 36.0 C
Status lokalis
Abdominal
Terdapat luka bekas operasi di region umbilikalis dengan diameter 10 cm,
tertutup kassa (+), rembes (-), nyeri tekan (+),
Assasment :
Post laparotomy appendiktomi h+4
Planing :
injeksi ceftriaxone 2x1
injeksi metronidazole 500 mg/ 8 jam
injeksi tramadol 3x100 mg
injeksi ondansentron 2x1 amp
RL 25 TPM
ganti balut tiap hari

29 Maret 2017 pukul 06.09 wib


Subject :
Pasien mengeluhkan nyeri pada daerah bekas operasi (+), hilang timbul. Pasien
sudah BAB,BAK, pasien sudah bisa kentut, pasien sudah mobilisasi jalan.
Object :

12
Ku/ kes: baik / CM
TD : 120/70 mmhg
N: 90 x/menit
RR: 20 x/ menit
T: 36.0 C
Status lokalis
Abdominal
Terdapat luka bekas operasi di region umbilikalis dengan diameter 10 cm,
tertutup kassa (+), rembes (-), nyeri tekan berkurang.
Assasment :
Post laparotomy appendiktomi h+5
Planing :
injeksi ceftriaxone 2x1
injeksi metronidazole 500 mg/ 8 jam
injeksi tramadol 3x100 mg
injeksi ondansentron 2x1 amp
RL 25 TPM
ganti balut tiap hari
Boleh pulang

III. LANDASAN TEORI

A. Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada
apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut yang

13
paling sering. Apendisitis akut merupakan penyebab paling
umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga
abdomen dan menjadi indikasi untuk dilakukan bedah
abdomen darurat (Mansjoer, 2000).
Apendisitis biasa disebabkan oleh adanya
penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid,
fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Feses yang
terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan
obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan
terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan.
Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama
mukus semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus. Pada saat ini terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Sumbatan menyebabkan nyeri sekitar umbilicus dan
epigastrium, nausea, muntah. invasi kuman E Coli dan
spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa,
lapisan muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum parietalis
terjadilah peritonitis lokal kanan bawah. Suhu tubuh
mulai naik .Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan
terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi
vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di area
kanan bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut dengan
apendisitis supuratif akut (Mansjoer, 2000).

14
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark diding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium
ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh pecah, akan menyebabkan apendisitis perforasi.
Bila proses tersebut berjalan lambat, omentum dan usus
yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga
timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut akan menyebabkan abses
atau bahkan menghilang. Pada anak-anak, karena omentum
lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks
lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di
daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan
dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke
kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat
bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia,
malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga
terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual,
dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada
keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa
jam nyeri abdomen bawah akan semakin progresif, dan
denghan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu
titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran
kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri.
Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda
Rovsing, psoas, dan obturatorpositif, akan semakin
meyakinkan diagnosa klinis (Mansjoer, 2000).
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang
terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut

15
kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di
perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan
muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri
berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan
daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika
penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam.
Demam bisa mencapai 37,8-38,8 Celsius. Pada bayi dan
anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian
perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu
berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa.
Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat.
Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok
(Mansjoer, 2000).
B. Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping
operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan
Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan
menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa
nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga,
obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu (Fendrick, 2008).
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi
lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat
anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh
karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka
pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang
dioperasi (Fendrick, 2008).
Macam-macam obat anestesi regional (Latief, 2001) :
1 Blok sentral (blok neuroaksial)

16
Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan
Kaudal.
a Anestesi spinal
Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke
dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal
antara lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi,
berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang
belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Lunn,
2004).
b Anestesi epidural
Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada
ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada
ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang
bersangkutan dan di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori
dermatom kulit (Mangku, 2010). Ruang epidural berada di antara
durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas berbatasan dengan
foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal. Anestesi
epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan penanggulangan
nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan tekanan
darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan
pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief,
2001).
c Anestesi kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena
ruang kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat
ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis
ditutupi oleh ligamentum sakrogsigeal tanpa tulang yang analog dengan
ligamentum supraspinosum dan ligamentum interspinosum. Ruang
kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong
dura (Latief, 2001).
2 Blok perifer (blok saraf)

17
Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah satu
teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena. Anestesi
regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit.
Melalui cara ini saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal.
Sehingga daerah yang dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan
operasi di lengan bawah memblok saraf brakialis. Untuk melakukan
anetesi blok perifer harus dipahami anatomi dan daerah persarafan yang
bersangkutan (Mangku, 2010)

C. Terapi Cairan
Keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit pada tubuh dikendalikan oleh

ADH, aldosteron dan atrial natriuretic peptide. Total cairan tubuh adalah 60%

BB yang terdiri dari cairan intasel 40% BB dan cairan ekstrasel 20% BB

(caira interstitial 15% BB dan intravaskuler 5% BB). Volume darah sendiri

adalah 8% BB yang didapatkan dari cairan intravaskuler 5% BB dan volume

sel darah merah 3% BB. Kompartemen cairan tubuh dipengaruhi oleh tekanan

onkotik dan tekanan hidrostatik. Tekanan hidrostatik ini akan yang akan

mendorong cairan intravaskuler keluar melalui kapiler menuju interstitial.

Sebaliknya tekanan onkotik akan menarik cairan dari interstitial ke

intravaskuler. Berdasarkan jenisnya cairan intravena dibagi menjadi 3 macam,

yaitu (Soenarjo and Heru, 2013):

1 Cairan kristaloid: NaCl 0.9%, Ringer laktat, Dextrose 5%

18
2 Cairan koloid: Albumin, koloid sintetik (dextran dan hetastarch), plasma

protein fraction (plasmanat)

3 Cairan khusus: mannitol 20%, sodium bikarbonat

Berdasarkan tujuan terapi cairan intravena dibagi menjadi tiga macam,

yaitu (Soenarjo and Heru, 2013):

1 Cairan rumatan (maintenance) yaitu cairan yang bersifat hipotonis,

missal: dextrose 5%, dextrose 5% dalam NS 0.25, dextrose 5% dalam NS

0.5.

2 Cairan pengganti (repalcement) yaitu cairan yang bersifan isotonis,

misal: ringer laktat, NaCl 0.9% dan koloid

3 Cairan khusus yaitu cairan yang bersifat hipertonis, misal: NaCl 3%,

mannitol 20% dan sodium bikarbonat.

Tujuan terapi cairan intrvena adalah untuk memulihkan volume

sirkulasi darah. Pada syok tujuan resusitasi cairan adalah untuk memulihkan

perfusi jaringan dan pengiriman oksigen ke sel (DO2) agar tidak terjadi

iskemik jaringan yang berakibat gagal organ. Volume cairan pengganti yang

diperlukan untuk mengembalikan volume sirkulasi darah ditentukan oleh

ruang distribusi cairan pengganti yang tergantung kadar koloid dan Na +

(Santry and Hasan, 2016).

Ketika mempertimbangkan kristaloid dibandingkan koloid, perbedaan

dalam keberhasilan tidak berbeda jauh namun untuk perbedaan pada risiko

toksisitas ginjal dan komplikasi perdarahan dengan HES tampak lebih

signifikan. Perbedaan kandungan klorida pada kristaloid tampaknya memiliki

efek fisiologis dan klinis yang penting pada pasien akut, khususnya terhadap

19
asidosis metabolik hiperkloremik dan cedera ginjal dan peran koloid tidak

jelas (John et al, 2008).

Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang


terjadi.

Tabel II. Derajat Dehidrasi (Latief et al., 2009)


Klinis Dehidrasi Ringan Dehidrasi Sedang Dehidrasi Berat
(5%) (5-10%) (>10%)
Keadaan Umum Baik, kompos Gelisah, rewel, Letargik, tak sadar
mentis lesu
Mata cekung, Normal Cekung Sangat cekung
kering
Air mata Ada Kering Kering sekali
Mulut atau lidah Lembab Kering Sangat kering,
kering pecah-pecah
Haus Minum normal Haus Tak bisa minum
Turgor Baik Jelek Sangat jelek
Nadi Normal Cepat Cepat sekali
Tekanan darah Normal Turun Turun sekali
Air kemih Normal Kejang, oligouri Kurang sekali

Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, pada


dewasa 2 ml/kgBB/jam. Pada anak-anak 4 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg
pertama, 2 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg kedua, dan 1 ml/kgBB/jam
tambahan untuk sisa berat badan. Salah satu tanda rehidrasi tercapai ialah dengan
adanya produksi urin 0,5-1 ml/kgBB.
1. Cairan Selama Pembedahan
Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan
penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang
selamaoperasi. Penggantian cairan tergantung pada besar kecilnya
pembedahan , yakni 6-8 ml/kgBB untuk bedah besar, 4-6 ml/kgBB untuk
bedah sedang, dan 2-4 ml/kg BB untuk bedah kecil. Cairan pengganti pada
anak, untuk bedah ringan 2 ml/kgBB, sedang 4 ml/kgBB dan berat 6
ml/kgBB.
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur
pembedahan dan perkiraan jumlah perdarahan. Pada perdarahan untuk
mempertahankan volume intravena dapat diberikan kristaloid atau koloid

20
sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada keadaan ini
perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah untuk
mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit pada level
aman, yaitu hemoglobin (Hb) 7 10 g/dl atau hematokrit (Ht) 21 30%.
Penggantian cairan akibat perdarahan berdasarkan berat-ringannya
perdarahan adalah sebagai berikut:
a. Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 15%, cukup
diganti dengan cairan elektrolit.
b. Perdarahan sedang, perdarahan 10 20% EBV, 15 30%, dapat
diganti dengan cairan kristaloid dan koloid.
c. Perdarahan berat, perdarahan 20 50% EBV, > 30%, harus diganti
dengan transfusi darah.
2. Terapi Cairan Paska Bedah
Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk:
a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung,
febris).
c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.
d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.
Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap,
yaitu kalori, protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi
elektrolit, vitamin dan trace element. Pemberian kalori sekitar 25
Kkal/kgBB/hari dengan protein 0,8 gram/kgBB/hari. Nutrisi
parenteral ini penting, karena pada penderita paska bedah yang tidak
mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75 125
gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan, infeksi dan
dehisensi luka operasi, terjadi penurunan enzim pencernaan yang
menyulitkan proses realimentasi.
3. Terapi Cairan Paska Bedah
Cairan infus dapat berupa cairan kristaloid, cairan koloid, atau
campuran keduanya. Jenis-jenis cairan tersebut adalah (Latief et al., 2009,
Barash, 2006; Sunatrio, 2000):

21
a. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES =
CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia
dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross
match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan
sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali
cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid
untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan
kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit. Beberapa
penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema
perifer dan paru. Penelitian lain menunjukkan pemberian sejumlah
cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat.
Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat
menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tabel II. Jenis Cairan Terapi (Barash, 2006).

b. Cairan Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau
biasa disebut plasma substitute atau plasma expander. Di dalam cairan
koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh

22
karena itu, koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat
terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita
dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar. Berdasarkan pembuatannya, terdapat dua jenis
larutan koloid:
1. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia
(5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau
plasenta 60 C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan
virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin
(83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hagemans factor fragments) seringkali
terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin.
Oleh sebab itu pemberian infus dengan fraksi protein plasma
seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
2. Koloid Sintesis yaitu:
a. Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul
40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul
60.000 - 70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media
sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander
yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi
Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi
mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah.
Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat
mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor
VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat
mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang
(Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

23
b. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul rata-rata 71.000,
osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan
46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8
hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan
dapat meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low
molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta
starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali
volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena
potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan
toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta
starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita
gawat.
c. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat
molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3
macam gelatin, yaitu:
1) Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
2) Urea linked gelatin
3) Oxypoly gelatin, merupakan plasma expanders dan banyak
digunakan pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golonganurea linked
gelatin.

24
DAFTAR PUSTAKA

Fendrick, A.M., Pan, D.E., Johnson, G.E., 2008. OTC Analgesics and Drug
Interactions: Clinical Implications. Osteopathic Medicine and Primary
Care. 2 (2).
John, R.H., Brohi, K., Dutton, R.P., Hauser, C.J., Holcomb, J.B., Kluger, Y., Jones,
K.M., Parr, M.J., Rizoli, S.B., Yukioka, T., Hoyt, D.B., dan Bouillon, B.
The Coagulopathy of Trauma: A Review of Mechanisms. The Journal of
Trauma, Injury, Infection and Critical Care. 2008; 748-754.
Latief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 41-49
Lunn JN., 2004. Farmakologi Terapan Anestesi Umum : Catatan Kuliah Anestesi.
Edisi 4.Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 4: 86-93.
Mangku G, Senapathi TGA., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi.
Jakarta: PT. Indeks.
Mansjoer. A. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3.
Jakarta : Media Aesculapius.

25
Santry, Heena P., and Hasan B.A.Fluid Resuscitation: Past, Present and The
Future. HHS Public Access. 2016; 33 (3); 229-241
Soenarjo and Heru D.J. 2013. Anestesiologi Edisi Kedua. Semarang: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP.
Trevor AJ, White PF.2008. General Anesthetics. In: Katzung BG, ed. Basic and
Clinical Pharmacology. 9th Ed. Toronto: McGraw-Hill Companies.: p 413-
4

26

Anda mungkin juga menyukai