Anda di halaman 1dari 4

Apa kejang dapat terjadi saat tidak demam ?

Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam,
usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu,
hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat
lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal (kejang akibat
toksik, trauma kepala) (Kusuma, 2010)
1. Faktor demam.
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,8oC aksila atau di atas
38,3oC rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang tersering
pada anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan penyebab terbanyak.
Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang (Fuadi, 2010).
Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat
celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga
meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen (Bahtera, 2006)
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak.
Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga menggangu fungsi
normal pompa Na+. Permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ meningkat,
sehingga menurunkan nilai ambang kejang dan memudahkan timbulnya bangkitan
kejang. Demam juga dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi
terganggu (Bahtera, 2006)
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar
38,9C-39,9C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37C-38,9C
sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas 40oC
(Fuadi, 2010).
2. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu (Fuadi, 2010):
1. Neurulasi
2. Perkembangan prosensefali
3. Proliferasi neuron
4. Migrasi neural
5. Organisasi
6. Mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi
neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-

tahun pertama paskanatal. Kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap
organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan
apabila mengalami bangkitan kejang, terutama fase

perkembangan organisasi

(Fuadi, 2010).
Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk asam
glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA
sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan
dibanding inhibisi (Bahtera, 2006).
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator,
berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di
hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu
oleh demam (Bahtera, 2006).
Anak pada masa developmental window merupakan masa perkembangan otak
fase organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini, apabila
anak mengalami stimulasi berupa demam, maka akan mudah terjadi bangkitan
kejang (Bahtera, 2006).
Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus terjadi pada
anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan kejadian paling sering pada
anak usia 18 sampai dengan 24 bulan (Fuadi, 2010).
3. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan

kejang

demam. Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan sekitar
60-80%.
Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka anaknya
beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai

riwayat pernah

menderita kejang demam maka resikonya meningkat menjadi 59-64%. Sebaliknya


apabila kedua orangtuanya tidak mempunyai riwayat kejang demam maka risiko
terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu
dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7% (Fuadi, 2010).
4. Faktor Prenatal dan Perinatal
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan
berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan diantaranya
hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan diantaranya trauma

persalinan. Hipertensi

pada

ibu dapat menyebabkan

aliran darah ke plasenta

berkurang sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas


dan BBLR. Komplikasi persalinan diantaranya partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dengan asfiksia sehingga akan terjadi hipoksia dan iskemia.
Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah hipokampus, rusaknya faktor inhibisi dan
atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai seperti demam (Fuadi, 2010).
5. Faktor Paskanatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf

pusat seperti

meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus
berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab
yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus
temporalis (Fuadi, 2010).
Selain infeksi, ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian kejang
demam pada anak sebesar 20,6%.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa demam merupakan faktor utama
timbulnya bangkitan kejang, tetapi banyak faktor lain yang menimbulkan kejang

Hubungan kejang bapak saat kecil dengan anak


Belum dapat dipastikan secara pasti sifat genetik terkait dengan kejang
demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila
salah satu orangtua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan
apabila kedua orangtua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi
59% - 64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orang tua tidak mempunyai riwayat
pernah menderita kejang demam maka resiko terjadi kejang demam hanya 9% (Fuadi,
2010).
PEMBERIAN DIAZEPAM PER REKTAL

Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase
akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat
diberikan secara intravena atau rektal (Lumbantobing, 1995). Jika diberikan
intramuskular absorbsinya lambat (Chamberlain, 1997). Dosis diazepam pada anak
adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi
pemberian tersebut sering gagal pada anak yang lebih kecil (Chamberlain, 1997). Jika
jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5
mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg
(Lumbantobing, 1995). Pemberian diazepam secara rektal aman dan efektif serta
dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam tidak tersedia, dapat
diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus,
50 mg untuk usia 1 bulan 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun.
Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk
mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke
aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek
terapinya

masih

kurang

bila

dibandingkan

dengan

diazepam

intravena.

(Lumbantobing, 1995)
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusuma, D., Yuana I., (2010), Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan Bangkitan
Kejang Demam, (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter
Spesialis 1, Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
2. Bahtera, T., (2006), Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP, Jawa
Tengah.
3. Fuadi, F., (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, (Tesis),
Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
4. Lumbantobing SM. Kejang demam. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 1995;152
5. Chamberlain JM, Altieri MA, Futterman C, Young GM, Ochsenchlager DW, Waisman Y.
A Prospective, randomized study comparing intramuscular midazolam with intravenous
diazepam for the treatment of seizures in children. Pediatr Emerg Care 1997; 13:92-4

Anda mungkin juga menyukai