Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI

KURETASE ENDOMETRIOSIS PADA SEORANG WANITA 45


TAHUN DENGAN ANESTESI UMUM INTRAVENA

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian

Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :

Wulandari Ramadiyani

22010115210004

Pembimbing :

dr. Indrati Tyas

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2016

HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Wulandari Ramadiyani

NIM : 22010115210004

Fakultas : Kedokteran Umum

Judul : Kuretase Endometriosis Pada Seorang Wanita 45 Tahun


Dengan Anestesi Umum Intravena

Bagian/SMF : Ilmu Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas


Diponegoro Semarang

Pembimbing : dr. Indrati Tyas

Semarang, Mei 2016

Pembimbing

dr. Indrati Tyas

BAB I

1
PENDAHULUAN

Anestesi merupakan tahapan yang sangat penting dan strategis pada


tindakan pembedahan, karena pembedahan tidak dapat dilakukan bila belum
dilaksanakan anestesi. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi
lokal, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya
kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel
yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh
tubuh. Anestesi umum adalah tahapan yang sangat penting dan mempunyai risiko
jauh lebih besar dari prosedur pembedahan itu sendiri, karena anestesi yang dalam
akan mengancam nyawa pasien. Guna mencegah dua kejadian yang ekstrim
tersebut, harus dilakukan pemilihan anetsesi yang memenuhi kriteria ideal, yaitu
yang menghasilkan sedasi, analgesi, relaksasi, ketidaksadaran, dan aman untuk
sitem vital, serta mudah diaplikasikan.1
Anestesi umum yang dinyatakan cukup aman dan sering digunakan adalah
anestesi inhalasi, tetapi anestesi inhalasi memerlukan perangkat yang rumit,
mahal, dan tidak praktis untuk menangani kasus pembedahan di lapangan.
Anestesi inhalasi tidak dapat digunakan untuk penanganan presedur bronkoskopi
dan laringoskopi, serta menyebabkan polusi terhadap individu yang berada di
ruangan operasi. Anestesi inhalasi, seperti gas nitrogen oksida dan anestesi yang
diuapkan dengan halogen mengakibatkan pencemaran lingkungan dan penipisan
lapisan ozon. Mengatasi kelemahan anestesi inhalasi dan untuk mengatasi
permasalahan penggunaaan anestesi di lapangan, digunakan metode anestesi
intravena total (total intraveous anesthesia, TIVA). Anestesi intravena total
menggunakan anestetika secara intravena (IV) untuk induksi dan pemeliharaan
anestesi. Penggunaan mesin pompa infusi dengan komputer pada metode TIVA
menghasilkan jumlah infusi yang stabil dan akurat. Metode TIVA mirip dengan
penggunaan alat penguap (vaporizer) pada anestesi inhalasi sehingga anestesi
menjadi lebih stabil.1

2
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh
otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat obat ini akan diedarkan
ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target
organ masing-masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan
farmakodinamiknya masing-masing. Anestesi yang ideal akan bekerja secara
cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah
pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar
dengan efek samping yang sangat minimal.
Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting,
membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor
pembedahan yang akan dilaksanakan, pada populasi umum walaupun regional
anestesi dikatakan lebih aman daripada general anestesi, tetapi tidak ada bukti
yang meyakinkan bahwa teknik yang satu lebih baik dari yang lain, sehingga
penentuan teknik anestesi menjadi sangat penting.
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Ruang : Klinik Spesialis Obgyn
No. CM : C529952
Tgl Operasi : 26 April 2016
Tgl MRS : 18 April 2016
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama:
Nyeri perut bawah

3
B. Riwayat Penyakit Sekarang
1 tahun sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri perut kanan
bawah terutama saat awal siklus haid. Nyeri dirasa sangat hebat sehingga
tidak bisa melakukan aktivitas. Pasien juga mengeluhkan adanya
keputihan yang berwarna kekuningan.

2 hari sebelum masuk rumah sakit nyeri perut dirasa semakin memberat.
Kemudian pasien berobat ke Klinik Obsgyn RSUP Dr. Kariadi.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat kencing manis (-)
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat kelainan darah (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat operasi (+), SC 2 kali, MOW 10 tahun yang lalu

D. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat kencing manis (-), darah tinggi (-), kelainan darah (-).

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien seorang pegawai swasta, sudah menikah, suami seorang pegawai
swasta. Pembiayan dengan BPJS NPBI kesan sosial ekonomi cukup.

F. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi:


Batuk (-), pilek (-), demam (-), sesak napas (-), gangguan / kelainan darah
(-)

Riwayat alergi obat dan makanan : tidak ada


Riwayat kejang : tidak ada
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat kencing manis : tidak ada
Riwayat peyakit jantung : tidak ada
Riwayat darah tinggi : tidak ada
Riwayat operasi sebelumnya : SC 2 kali, MOW 10 tahun yang lalu
III. PEMERIKSAAN FISIK
4
Keadaan umum : baik
Kesadaran : kompos mentis
TV : TD : 110/70 mmHg T : 370C
N : 88 x/menit RR : 20x/menit
BB : 60 kg (normoweight, BMI=24,1)
TB : 155 cm
ASA :I
Kepala : mesosefal
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : discharge (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : sianosis (-), perdarahan gusi (-), Mallampati I
Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
Leher : pembesaran nnll (-), deviasi trachea (-)
THORAX
Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V, 2 cm medial LMCS
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : simetris, statis, dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Abdomen : sedikit membuncit, supel, timpani, hepar dan lien tidak
teraba
Ekstremitas : Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary refill <2/<2 <2/<2
Genitalia : PPV(+)
5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin ( Tanggal 18 April 2016)

Hb : 14,7 gr%
Ht : 43,7 %
Eritrosit : 4,7 juta /mmk
MCH : 31,1 pg
MCV : 92,6 fL
MCHC : 33,6 g/dL
Leukosit : 7500 /mmk
Trombosit : 230.000 / mmk
V. DIAGNOSIS
a. Diagnosis preoperasi:
P2A0

Suspek endometriosis

b. Pemeriksaan yang berkaitan dengan anestesi:


Tidak ada kelainan yang berkaitan dengan anestesi

VI. TINDAKAN OPERASI


Kuretase

VII. TINDAKAN ANESTESI


Jenis anestesi : General Anestesi

Risiko anestesi : Sedang

ASA :I

1. Premedikasi: Midazolam 3 mg
2. Anestesi:
Dilakukan general anestesi: intravena (TIVA)

Obat induksi: Ketamin 70 mg

6
Fentanyl 60 mcg

Maintenance : O2 2 lpm

Mulai anestesi : 10.00 WIB

Selesai anestesi : 10.10 WIB

Lama anestesi : 10 menit

3. Terapi cairan
BB : 60 kg

EBV : 70cc/kgBB x 60 = 4200 cc

Jumlah perdarahan : 10 cc

% perdarahan : 10/4200x100% = 0,2%

Kebutuhan cairan :

Maintenance = 2 x 60= 120 cc

Stress operasi = 6 x 60 = 360 cc

Defisit puasa = 6 x 120 = 720 cc

Total kebutuhan cairan durante operasi

Jam I : M + SO + DP = 110 + 360 +360 = 830 cc

Cairan yang diberikan :

- Ringer laktat 1000cc

Waktu Keterangan HR Tensi SpO2

(x/menit) (mmHg)
10.00 Pre-oksigenasi 89 110/70 100
10.00 Anestesi mulai 90 110/60 100
10.07 Operasi mulai 100 110/60 100
10.10 Operasi selesai 100 110/60 100
7
10.10 Anestesi selesai 89 110/70 100

4. Pemakaian obat/bahan/alat :
I. Obat suntik:
Midazolam I amp
Ketamin HCl 1 cc
Fentanyl I amp

II. Obat inhalasi : O2 ventilator 2 L/menit 10 L


III. Cairan : Ringer Laktat I botol
IV. Alat/lain-lain : Spuit 3 cc I
Spuit 5 cc I
Spuit 10 cc I
Infus set I
IV catheter I
Lead EKG III
Connecting I
5. Pemantauan di Recovery Room
a. Beri oksigen 3 L/menit nasal kanul
b. Bila Bromage Score 2, pasien boleh pindah ruangan.
c. Bila pasien sadar penuh, mual (-), muntah (-), peristaltik usus
(+) boleh makan dan minum bertahap
6. Perintah di ruangan :
a. Bila terjadi kegawatan menghubungi anestesi (8050)
b. Pengawasan tanda vital setiap setengah jam selama 24 jam
c. Program cairan RL 20 tetes/menit
d. Jika terjadi mual diberi injeksi antiemetik
e. Jika menggigil diberi selimut dan cairan hangat
f. Jika tensi kurang dari 90/60 mmHg beri injeksi efedrin 10 mg
10 bolus diencerkan
g. Pasien risiko jatuh
8
h. Post operasi rawat RR beri oksigen 3 lpm
i. Bila Aldrete score 8 boleh pindah ruang
j. Posisi tidur terlentang head up 30o

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANESTESI UMUM


Anestesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu an
dan esthesia, dan bersama-sama berarti hilangnya rasa sakit atau hilangnya
sensasi. Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai
kehilangan rasa secara patologis pada bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi
dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes (1809-1894) untuk proses
eterisasi Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri
sewaktu pembedahan.1
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible.1
2.1.1 Metode Anestesi Umum1
a. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk
induksi anestesia.

b. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia
maupun tindakan singkat.

c. Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap
(volatile agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika

9
tersebut tergantunug dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat
apabila dengan tekanan parsial yang rendah sudah mampu memberikan
anestesia yang adekuat.

2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum1


a. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam
alveolus adalah:

1) Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi,


semakin cepat kenaikan tekanan parsial
2) Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan
tekanan parsial
b. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih
besar daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:

1) Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus


dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap
jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
2) Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
3) Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
c. Faktor Jaringan
1) Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan
jaringan
2) Koefisien partisi jaringan/darah
3) Kecepatan metabolisme obat
4) Aliran darah dalam jaringan
d. Faktor Zat Anestetika

10
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat
anestetika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya
tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai
MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.1

2.2 ANESTESI UMUM INTRAVENA


TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat
anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi
inhalasi termasuk N2O.
Kelebihan TIVA:
1. Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam
dosis yang lebih akurat sesuai yang dibutuhkan.
2. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada
operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru.
3. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang
khusus.
4. Cepat menghasilkan efek hypnosis.
5. Mempunyai efek analgesi.
6. Disertai amnesia pasca anestesi.
7. Cepat dieliminasi oleh tubuh.
8. Dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya.
Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan
memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-
obat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik
narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan
sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia
regional.
Obat-obat anestetik intravena:
1. Ketamin HCl : hipnotik dan analgetik
2. Tiopenton : hipnotik
3. Propofol : hipnotik
4. Diazepam : sedatif dan menurunkan tonus otot
5. Deidrobenzperidol : sedatif
6. Midazolam : sedatif
7. Petidin : analgetik dan sedatif
11
8. Morfin : analgetik dan sedatif
9. Fentanil/sufentanil : analgetik dan sedatif
Indikasi Anestesi Intravena
1. Obat induksi anesthesia umum
2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)

2.2.1 Obat Obatan Yang Dipakai :


a) Propofol
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali
digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia
umum, pada pasien dewasa dan pasien anak anak usia lebih dari 3 tahun.
Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan
kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal
tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas
dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan
kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8.2,3 Propofol adalah 98% protein
terikat dan mengalami metabolisme hati untuk metabolit glukuronat, yang
akhirnya diekskresikan dalam urin.
Efek Klinis: propofol menghasilkan hilangnya kesadaran dengan cepat,
dengan waktu pemulihan yang cepat dan langsung kembali pada kondisi
klinis sebelumnya (sebagai hasil waktu paruh distribusi yang pendek dan
tingkat clearance tinggi). Propofol menekan refleks laring sehingga sangat
cocok untuk digunakan dengan perangkat LMA agar dapat dimasukkan
dengan lancar. Ada insiden rendah mual dan muntah pasca operasi dan
reaksi alergi atau hipersensitivitas. Karena propofol tidak signifikan
menumpuk setelah bolus ulangan, propofol sangat cocok untuk infus jangka
panjang selama operasi sebagai bagian dari teknik anestesi Total intravena
(Tiva) dan di ICU untuk obat penenang jangka panjang.4
12
Efek pada sistem kardiovaskuler
Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan
pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan
peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol mempunyai efek
mengurangi pembebasan katekolamin dan menurunkan resistensi
vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung tergantung
dari:
a) Pernafasan spontan mengurangi depresi jantung berbanding nafas
kendali
b) Pemberian drip lewat infus mengurangi depresi jantung berbanding
pemberian secara bolus
c) Umur makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung
Efek pada sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam
beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada
pemberian diprivan.
Dosis dan penggunaan
a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
b) Sedasi : 25 to 75 g/kg/min dengan I.V infus
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 g/kg/min IV
(titrate to effect), bolus iv 25-50mg.
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau
apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
e)Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi
yang minimal 0,2%
f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada
dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi
sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari
bakteri.2,3
Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%.
Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada
13
pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5
mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan
pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan
secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering
sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol
merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati hati pada
pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan
pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik
(thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah
dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat
jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi
subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.4
Propofol tidak diizinkan untuk digunakan pada anak-anak berusia kurang
dari 3 tahun. Ada laporan kematian tak terduga pada anak-anak karena
asidosis metabolik dan kegagalan miokard setelah penggunaan jangka
panjang di ICU.

b) Tiopenton5
Tiopental sekarang lebih dikenal dengan nama sodium Penthotal,
Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat anestesi
umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat
dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit
tiopenton sudah mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 10 menit
konsentrasi mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula.
Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek
sedasi dan hilangnya kesadaran.

Efek pada sistem saraf pusat


Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan
hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolisme
serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang tinggi akan
14
menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram. Thiopental turut menurunkan
tekanan intrakranial.
Efek pada mata
Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi thiopental
atau methohexital. Biasanya diberikan suksinilkolin setelah pemberian
induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke nilai sebelum
induksi.
Efek pada sistem kardiovaskuler
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output, dan dapat meningkatkan
frekuensi jantung, penurunan tekanan darah sangat tergantung dari
konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan karena efek depresinya
pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh
darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan
disritmia bila terjadi resistensi CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah
yang bersifat ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat
disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat.
Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat
vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi oleh
karena efek depresi langsung obat pada miokard.
Efek pada sistem pernafasan
Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2
menurun terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat
sampai menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik. Dapat juga
menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif berbanding propofol
sehingga menyebabkan laringospasme. Jarang menyebabkan bronkospasme.

Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk
menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil
dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.
Efek samping
15
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan
memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap
barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis
yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan
porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim d-aminoleuvulinic
acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan
kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V,
hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional
simpatis.

c) Ketamin5
Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh
Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anastesi dapat menimbulkan muntah muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk.
Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris
dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anestesia, dan sering
disebut dengan emergence phenomena.
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan
didistribusikan ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30 60 detik setelah
pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah
15 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek baru akan muncul
setelah 15 menit.

Efek pada susunan saraf pusat


Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan
mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata
berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-
kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti
16
gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek
anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin.
Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8
menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode
pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak
meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial.
Efek pada mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan,
terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada
pleksus koroidalis.
Efek pada sistem kardiovaskuler
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga
bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah
akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Efek pada sistem pernafasan
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi.
dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya,
sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.
Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular
apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak anak.
Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M.
Dosis induksi adalah 1 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 10 mg/Kgbb I.M,
untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk
mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu.
Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 15 menit dengan dosis
setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat untuk
menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 0,8 mg/kg IV atau 2
4 mg/kg IM atau 5 10 g/kg/min IV drip infus.
Efek samping
17
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur
pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah,
halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat
menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat
meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan
terjadinya nistagmus dan diplopia.
Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti
yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien
normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik penggunaanya
harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat,
misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan
intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi
intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap
obat obat simpatomimetik, seperti; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes
militus , PJK, dan lain-lain.2,3

d) Opioid
Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil
merupakan golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi.
efek utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang
digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi,
farmakokinetik dan efek samping.
Absorbsi cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin
intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil
sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan analgesia
dan sedasi dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-
anak (15-20 g/Kg) dan dewasa (200-800 g).
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang
rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga
onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil
18
dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus.6
Efek pada sistem kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas
otot jantung maupun tonus otot pembuluh darah. Tahanan pembuluh darah
biasanya akan menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis medulla,
tahanan sistemik juga menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin
karena adanya pelepasan histamin.
Efek pada sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan
frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun . PaCO2
meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2
menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan
depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas,
opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.
Efek pada sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan
lambung juga terhambat.
Efek pada endokrin
Fentanyl mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat
stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam
darah relatif stabil.3,4
1) Morfin5
Penggunaanya untuk premedikasi, analgesic, anastesi, pengobatan
nyeri yang berjaitan dengan iskemia miokard, dan dipsnea yang
berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri dan edema paru.
Dosis :
Analgesic : iv 2,5-15 mg, im 2,5-20 mg, Po 10-30 mg, rectal 10-
20 mg setiap 4 jam
Induksi : iv 1 mg/kg
Awitan aksi : iv < 1 menit, im 1-5 menit
Lama aksi : 2-7 jam

19
Efek samping obat :
Hipotensi, hipertensi, bradikardia, aritmia
Bronkospasme, laringospasme
Penglihatan kabur, sinkop, euphoria, disforia
Retensi urin, spasme ureter
Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah,
penundaan pengosongan lambung
Miosis
2) Petidin5
Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen
sedasi sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokardium walaupun
tidak seefektif morfin sulfat, untuk menghilangkan ansietas pada pasien
dengan dispnea karena acute pulmonary edema dan acute left ventricular
failure.
Dosis
Oral/ IM,/SK :
Dewasa :
Dosis lazim 50150 mg setiap 3-4 jam jika perlu,
Injeksi intravena lambat : dewasa 1535 mg/jam.
Anak-anak oral/IM/SK : 1.11.8 mg/kg setiap 34 jam jika perlu.
Untuk sebelum pembedahan : dosis dewasa 50 100 mg IM/SK
Petidin dimetabolisme terutama di hati
Kontraindikasi
Pasien yang menggunakan trisiklik antidepresan dan MAOi. 14
hari sebelumnya (menyebabkan koma, depresi pernapasan yang
parah, sianosis, hipotensi, hipereksitabilitas, hipertensi, sakit
kepala, kejang)
Hipersensitivitas.
Pasien dengan gagal ginjal lanjut
Efek samping obat
Depresi pernapasan,
Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi,

20
rasa mengantuk, koma, eforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan,
kejang,
Pencernaan : mual, muntah, konstipasi,
Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural,
Reproduksi, ekskresi & endokrin : retensi urin, oliguria.
Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia,
tremor otot, pergerakan yg tidak terkoordinasi, delirium atau
disorintasi, halusinasi.
Lain-lain : berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit
Peringatan: Hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati & ginjal krn
akan memperlama kerja & efek kumulasi opiod, pasien usia lanjut, pada
depresi sistem saraf pusat yg parah, anoreksia, hiperkapnia, depresi
pernapasan, aritmia, kejang, cedera kepala, tumor otak, asma bronchial.
3) Fentanil5
Digunakan sebagai analgesic dan anastesia
Dosis :
Analgesic : iv/im 25-100 g
Induksi : iv 5-40 g/ kg BB
Suplemen anastesi : iv 2-20 g/kg BB
Anastetik tunggal : iv 50-150 g/ kg BB
Awitan aksi : iv dalam 30 detik, im < 8 menit
Lama aksi : iv 30-60 menit, im 1-2 jam
Efek samping obat :
Bradikardi, hipotensi
Depresi saluran pernapasan, apnea
Pusing, penglihatan kabur, kejang
Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat
Miosis 4
4) Tramadol5
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat.
Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf
21
pusat sehingga menghambat sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri.
Disamping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmiter dari
saraf aferen yang sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri
terhambat. Tramadol peroral diabsorpsi dengan baik dengan
bioavailabilitas 75%. Tramadol dan metabolitnya diekskresikan
terutama melalui urin dengan waktu 6,3 7,4 jam.
Indikasi : Untuk pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri
pasca pembedahan.
Dosis : Dewasa dan anak di atas 16 tahun :
Dosis umum : dosis tunggal 50 mg Dosis tersebut biasanya cukup
untuk meredakan nyeri, apabila masih terasa nyeri dapat
ditambahkan 50 mg setelah selang waktu 4 6 jam.
Dosis maksimum 400 mg sehari.
Dosis sangat tergantung pada intensitas rasa nyeri yang diderita.
Penderita gangguan hati dan ginjal dengan bersihan klirens < 30
mL/menit : 50 100 mg setiap 12 jam, maksimum 200 mg sehari.
Dosis yang dianjurkan untuk pasien dengan cirrhosis adalah 50 mg
setiap 12 jam.
Efek samping
Efek samping yang umum terjadi seperti pusing, sedasi, lelah, sakit
kepala, pruritis, berkeringat, kulit kemerahan, mulut kering, mual,
muntah, dispepsia dan konstipasi.
e) Benzodiazepin5,6
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi
adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed),
diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa
propylene glycol.
Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik,
amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral.
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak
akan muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan
22
waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan
menyebabkan terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri.
Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus,
metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.
Efek pada sistem saraf pusat
Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan
mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah
otak dan laju metabolisme.
Efek pada sistem kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac
out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan
hemodinamik mungkin terjadi pada dosis yang besar atau apabila
dikombinasi dengan opioid
Efek pada sistem pernafasan
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal, depresi pusat
nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien
dengan retardasi mental.
Efek pada sistem saraf otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat
supraspinal dan spinal, sehingga sering digunakan pada pasien yang
menderita kekakuan otot rangka.

2.3 Klasifikasi ASA7


Klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiologist) merupakan
deskripsi yang mudah menunjukkan status fisik pasien yang berhubungan
dengan indikasi apakah tindakan bedah harus dilakukan segera/cito atau
elektif. Klasifikasi ini sangat berguna dan harus diaplikasikan pada pasien
yang akan dilakukan tindakan pembedahan, meskipun banyak faktor lain yang
berpengaruh terhadap hasil keluaran setelah tindakan pembedahan. Klasifikasi
ASA dan hubungannya dengan tingkat mortalitas tercantum pada tabel di
bawah ini.

23
Klasifikas Angka
Deskripsi Pasien
i ASA Kematian (%)
Kelas I Pasien normal dan sehat fisik dan mental 0,1
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan 0,2
tida ada keterbatasan fungsi
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik sedang 1,8
hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang 7,8
mengancam hidup dan menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas V Pasien yang tidak dapat hidup/ bertahan 9,4
dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi
Kelas E Bila operasi dilakukan darurat/ cito

2.4 Endometriosis
Endometriosis adalah suatu penyakit yang lazim menyerang wanita di usia
reproduksi. Penyakit ini merupakan kelainan ginekologis yang menimbulkan
keluhan nyeri haid, nyeri saat senggama, pembesaran ovarium dan infertilitas.8
Endometriosis terjadi ketika suatu jaringan normal dari lapisan uterus yaitu
endometrium menyerang organ-organ di rongga pelvis dan tumbuh di
sana. Jaringan endometrium yang salah tempat ini menyebabkan iritasi di
rongga pelvis dan menimbulkan gejala nyeri serta infertilitas.Jaringan
endometriosis memiliki gambaran bercak kecil, datar, gelembung atau flek-
flek yang tumbuh di permukaan organ-organ di rongga pelvis. Flek-flek ini
bisa berwarna
bening, putih, coklat, merah, hitam, atau biru. Jaringan endometriosis dapat tu
mbuh di permukaanrongga pelvis, peritoneum, dan organ di rongga pelvis, yan
g kesemuanya dapat berkembang membentuk nodul-nodul. Endometriosis bisa
tumbuh di permukaan ovarium atau menyerang bagian dalam ovarium dan
membentuk kista berisi darah yang disebut sebagai kista endometriosis kista
coklat. Kista ini disebut kista coklat karena terdapat penumpukan
darah berwarna merah coklat hingga gelap. Kista ini bisa berukuran kecil
24
seukuran kacang dan bisa tumbuh lebih besar dari buah anggur. Endometriosis
dapat mengiritasi jaringan di sekitarnya dan dapat menyebabkan perlekatan
(adhesi) akibat jaringan parut yang ditimbulkannya.8 Endometriosis terjadi
pada 10-14% wanita usia reproduksi dan mengenai 40-60% wanita dengan
dismenorhea dan 20-30% wanita subfertil. Saudara perempuan dan anak
perempuan dari wanita yang menderita endometriosis berisiko 6-9 kali lebih
besar untuk berkembang menjadi endometriosis.9

Endometriosis menyebabkan nyeri panggul kronis berkisar 70%. Risiko


untuk menjadi tumor ovarium adalah 15 - 20%, angka kejadian infertilitas
berkisar 30 - 40%, dan risiko berubah menjadi ganas 0,7-1%.
Endometriosis sekalipun sudah mendapat pengobatan yang optimum memiliki
angka kekambuhan sesudah pengobatan berkisar 30%.9

2.4.1 Gejala klinik


Penderita endometriosis bisa datang dengan keluhan nyeri panggul,
terutama bila datang haid, infertilitas, disparenia, perdarahan uterus abnormal,
rasa nyeri atau berdarah ketika kencing atau pada rectum dalam masa haid.
Gejala-gejala endometriosisi datangnya berkala dan bervariasi sesuai
datangnya haid tetapi bias menetap. Banyak penderita endometriosis yang
tidak bergejala, dan terdapat sedikit korelasi antara hebatnya gejala dengan
beratnya penyakit.
Adapun gambaran klinis endometriosis menurut Sarwono yaitu :
a. Nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan
selama haid (dismenore)
Dismenorea pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri waktu haid
yang semakin lama semakin hebat. Sebab dari dismenorea ini tidak diketahui
secara pasti tetapi mungkin ada hubungannya dengan vaskularisasi dan
perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid.
Jika kista endometriumnya besar dan terdapat perlengketan ataupun jika
lesinya melibatkan peritoneum usus, keluhan dapat berupa nyeri abdomen
bawah atau pelvis yang konstan dengan intensitas yang berbeda-beda.
b. Dispareunia

25
Merupakan keadaan yang sering dijumpai disebabkan oleh karena adanya
endometriosis di kavum douglasi.

c. Nyeri pada saat defekasi


Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid disebabkan oleh
karena adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.

d. Gangguan Haid (Polimenorea dan hipermenorea)


Gangguan haid dan siklusnya terjadi apabila kelainan pada ovarium
demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu.Menstruasi tidak teratur
terdapat pada 60% wanita penderita. Pasien mungkin mengeluhkan bercak
merah premenstruasi, perdarahan menstruasi dalam jumlah banyak
(menoragia), atau frekuensi menstruasi yang lebih sering dan banyak
mengeluarkan darah.

e. Infertilitas
Ada korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. 30%-40%
wanita dengann endometriosis menderita infertilitas. Factor penting yang
menyebabkan infertilitas pada endometriosis adalah apabila mobilitas tuba
terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya. Pada
pemeriksaaan ginekologik khususnya pemeriksaan vagina-rekto-abdominal,
ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat seperti butir beras
sampai butir jagung di kavum douglas dan pada ligamentum sakrouterinum
dengan uterus dalam posisi retrofleksi dan terfiksasi.

2.4.2 Diagnosis10
Secara klinis endometriosis sering sulit dibedakan dari penyakit radang
pelvis atau kista ovarium lainnya. Visualisasi endometriosis diperlukan untuk
memastikan diagnosis. Cara yang biasa dilakukan untuk menegakan diagnose
yaitu dengan melakukan pemeriksan laparoskopi untuk melihat luka dan
mengambil specimen biopsy. Pemeriksaan ultrasonografi pelvis bias
membantu untuk menilai massa dan bisa menduga adanya endometriosis.
Kadar antigen kanker 125 (CA-125) tinggi pada penderita endometriosis.
Adapun Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan yaitu :
26
a. Laparoskopi
Bila ada kecurigaan endometriosis panggul , maka untuk menegakan
diagnosis yang akurat diperlukan pemeriksaan secara langsung ke rongga
abdomen per laparoskopi. Pada lapang pandang laparoskopi tampak pulau-
pulau endometriosis yang berwarna kebiruan yang biasanya berkapsul.
Pemeriksaan laparoskopi sangat diperlukan untuk mendiagnosis pasti
endometriosis, guna menyingkirkan diagnosis banding antara radang panggul
dan keganasan di daerah pelviks. Moeloek mendiagnosis pasien dengan
adneksitis pada pemeriksaam dalam, ternyata dengan laparoskopi kekeliruan
diagnosisnya 54%, sedangkan terhadap pasien yang dicurigai endometriosis,
kesesuaian dengan pemeriksaan laparoskopi adalah 70,8%.
b. Pemeriksaan Ultrasonografi
Secar pemeriksaan, USG tidak dapat membantu menentukan adanya
endometriosis, kecuali ditemukan massa kistik di daerah parametrium, maka
pada pemeriksaan USG didapatkan gambaran sonolusen dengan echo dasar
kuat tanpa gambaran yang spesifik untuk endometriosis.

2.4.3 Penatalaksanaan10
Penanganan endometriosis terdiri atas pencegahan, observasi, terapi
hormonal, pembedahan dan radiasi.
a. Pencegahan
Bila disminorea yang berat terjadi pada seorang pasien muda,
kemungkinana bermacam-macam tingkat sumbatan pada aliran haid harus
dipertimbangkan.kemungkinan munculnya suatu tanduk rahim yang tumpul
pada rahimbikornuata atau sebuah sumbatan septum rahim atau vaginal harus
diingat.dilatasi serviks untuk memungkinkan pengeluaran darah haid yang
lebih mudah pada pasien dengan tingkat disminorea yang hebat.
Kemudian, adapula pendapat dari Meigs. Meigs berpendapat bahwa
kehamilan adalah pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-
gejala endometriosis memang berkurang pada waktu dan sesudah kehamilan
karena regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Maka dari itu
perkawinan hendaknya jangan ditunda terlalu lama dan diusahakan secepatnya
memiliki anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap

27
demikian tidak hanya merupaka profilaksis yang baik untuk endometriosis,
melainkan juga mrnghindari terjadinya infertilitas sesudah endometrium
timbul.selain itu juga jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau kerokan
saat haid, karena dapat mengalirkan darah haid dari uterus ke tuba fallopi dan
rongga panggul.
b. Observasi
Pengobatan ini akan berguna bagi wanita dengan gejala dan kelainan fisik
yang ringan. Pada wanita yang agak berumur, pengawasan ini bisa dilanjutkan
sampai menopause, karena sesudah itu gejala-gejala endometriosis hilang
sendiri. Dalam masa observasi ini dapat diberi pengobatan paliatif berupa
pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri.
c. Pengobatan Hormonal
Prinsip pertama pengobatan hormonal ini adalah menciptakan ingkungan
hormone rendah estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah
menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Keadaan yang asiklik mencegah
terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium
yang normal ataupun jaringan endometriosis. Dengan demikian dapat
dihindari timbulnya sarang endometriosis yang baru karena transport
retrograde jaringan endometrium yang lepas serta mencegah pelepasan dan
perdarahan jaringan endometriosis yang menimbulkan rasa nyeri karena
rangsangan peritoneum.
Prinsip kedua yaitu menciptakan lingkungan tinggi androgen atau tinggi
progesterone yang secara langsung dapat menyebabkan atrofi jaringan
endomeetriosis.
d. Pembedahan
Adanya jaringan endometrium yang berfungsi merupakan syarat mutlak
tumbuhnya endometriosis. Oleh krarena itu pada waktu pembedahan,harus
dapat menentukan apakah ovarium dipertahankan atau tidak. Pada
andometriosis dini, pada wanita yang ingin mempunyai anak fungsi ovarium
harus dipertahankan. Sebaliknya pada endometriosis yang sudah menyebar
luas pada pelvis, khususnya pada wanita usia lanjut. Umumnya pada terapi
pembedahan yang konservatif sarang endometriosis diangkat dengan
meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang sehat, dan perlekatan

28
sedapatnya dilepaskan. Pada operasi konservatif, perlu pula dilakukan
suspensi uterus, dan pengangkatan kelainan patologik pelvis. Hasil
pembedahan untuk infertile sangat tergantung pada tingkat endometriosis,
maka pada penderita dengan penyakit berat, operasi untuk keperluan infertile
tidak dianjurkan.

2.5 Kuretase11
Kuretase merupakan upaya untuk menyembuhkan rahim dari suatu
gangguan tertentu atau untuk pemeriksaan terhadap lapisan dalam rahim.
Kuretase adalah tindakan mengerok jaringan di lapisan dalam rahim.

Kuretase adalah cara membersihkan hasil konsepsi memakai alat kuretase


(sendok kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong harus melakukan
pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan
besarnya uterus. Gunanya untuk mencegah terjadinya bahaya kecelakaan
misalnya perforasi.

2.5.1 Indikasi Kuretase


Kuretase biasanya dilakukan untuk dua tujuan, yaitu:12

1. Diagnostik : jaringan endometrium untuk diagnosis histologi.


2. Terapeutik : pengangkatan jaringan plasenta setelah abortus atau
melahirkan, mengangkat polip uterus atau endometrium hiperplastik.
Indikasi kuretase:13,14
1. Abortus inkomplit
a. Abortus inkompletus adalah peristiwa pengeluaran sebagian hasil
konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu atau dengn berat
janin kurang dari 500 gr, dengan masih ada sisa jaringan tertinggal
dalam uterus. Pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis terbuka
dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium
uteri eksternum.
Ciri : perdarahan yang banyak, disertai kontraksi, serviks terbuka,
sebagian jaringan keluar.
b. Tindakan kuretase harus dilaksanakan dengan hati-hati sesuai
dengan keadaan umum ibu dan besarnya uterus.
29
2. Abortus septic
a. Sepsis akibat tindakan abortus yang terinfeksi (misalnya dilakukan
oleh dukun atau awam). Abortus septic adalah abortus yang disertai
penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum
(septicemia atau peritonitis)
b. Ciri : perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang membesar
dan lembut serta nyeri tekan, tampak lelah, panas tinggi,
menggigil, tekanan darah turun dan leukositosis
c. Tindakan kuretase dilakukan bila keadaan tubuh sudah membaik
minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat diberikan. Pada saat
tindakan uterus dilindungi dengan uterotonika.
3. Sisa plasenta (pasca persalinan)
4. Sisa selaput ketuban
2.5.2 Jenis Kuretase12
1) Kuretase Besi
Cara ini dapat dilakukan di bawah anesthesia umum atau blok
paraservikal. Sebelumnya, uterus harus diukur dan ditentukan posisinya
dengan pemeriksaan bimanual. Vagina dan serviks dibersihkan dengan larutan
antiseptik. Serviks dipegang dengan sebuah tenakulum atau klem Jacob.
Kavum uteri diukur dengan sonde uterus. Kanalis servikalis dikuretase dengan
sebuah kuret endoserviks. Kanalis servikalis dilebarkan dengan dilator Hegar
atau Pratt sampai ukuran yang cukup untuk dimasuki sebuah kuret dan forsep
polip. Polip endometrium, bila ada dikeluarkan. Dinding uterus kemudian
dikuret dengan cara yang sistematik dengan pengerokan ke arah bawah
sepanjang dinding anterior, dinding sisi, dan dinding posterior. Sebuah kuret
kecil mungkin berguna untuk area kornu.
2) Kuretase AVM
Kuretase jenis ini biasanya digunakan untuk mengeluarkan sisa jaringan
plasenta setelah abortus inkomplet atau setelah persalinan. Dilakukan di
bawah anesthesia umum, analgesik sistemik, atau anesthesia blok paraservikal.
Infus oksitosin intravena dianjurkan. Vagina dan serviks dibersihkan dengan
larutan antiseptik. Bibir serviks anterior dipegang dengan sebuah tenakulum.
Masukkan kanul isap, lalu aspirasi darah dan jaringan yang ada.

30
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien seorang wanita usia 45 tahun dilakukan operasi
berupa kuretase pada endometriosis, dilakukan dengan menggunakan anestesi
umum yaitu TIVA. Jenis anestesi yang dipilih untuk kasus ini adalah anestesi
intravena. Dikarenakan operasi yang akan dilakukan termasuk dalam operasi kecil
dan berlangsung singkat, sehingga penggunaan anestesi intravena ini menjadi
pilihan. Pasien merasa nyaman selama operasi dan pemulihan post operasi tidak
terlalu lama. Premedikasi pada pasien diberikan midazolam agar pasien tidak
cemas saat akan dilakukan prosedur operasi. Selain itu juga memberikan efek
amnesia anterograd selama operasi berlangsung.

Obat anestesi yang diberikan adalah Ketamin HCl sebanyak 1 cc yang


dikombinasi dengan fentanyl. Dilakukan induksi dengan ketamin 70 mg (dosis
induksi 1-2mg/kgBB). Obat anestesi yang bekerja cepat efek kerjanya dicapai
dalam waktu 30 detik. Dan diberikan fentanyl dengan dosis 1-2 mcg/kgBB, yang
mempunyai efek analgesia sangat kuat. Apabila diberikan intravena, maka dalam
waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran.

Pemberian terapi cairan disesuaikan berdasar kebutuhan cairan dan


kehilangan cairan pada waktu puasa, pembedahan, dan perdarahan. Proses
pembedahan pada kasus ini tergolong operasi sedang. Jumlah cairan yang
dibutuhkan pada operasi yang berlangsung selama kurang lebih 10 menit sebesar
200 cc dengan jumlah perdarahan 10cc dan volume urin keluar 10cc. Terapi cairan
yang diberikan adalah ringer laktat 200 cc.

Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik, pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan pasien dimonitor tanda-
tanda vital yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan sturasi oksigen.
Kemudian dilakukan penilaian Aldrete score yaitu salah satu indikator respon

31
motorik pasca anestesi. Jika score adalah lebih dari sama dengan 8 pasien boleh
keluar dari ruang pemulihan dan pindah ruangan.

BAB V

KESIMPULAN

Pada pasien ini dilakukan kuretase pada tanggal 26 April 2016 dengan
teknik anestesi yang di pakai adalah anestesi umum intravena. Dilakukan induksi
dengan ketamin sebagai obat sedatif, yang diberikan bersamaan dengan fentanyl.
Untuk maintenance selama operasi berlangsung O2 2 lpm. Pemberian cairan infus
RL untuk mengganti cairan intravaskular dan ekstrasel yang hilang selama
operasi. Perawatan post operatif dilakukan di Recovery Room dengan
pengawasan tanda vital, tanda-tanda perdarahan dan infus cairan sesuai dengan
kebutuhan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Prof,Dr, et al. Anestesiologi Edisi 2. Bagian anestesiologi dan terapi


intensif. 2013
2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Departement Farmakologi dan
Terapeutik Ed 5 farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru ; 2007
3. Mangku G,dkk. Buku ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan pertama.
Jakarta : Universitas Udayana Indeks ; 2010
4. Jaideep J Pandit. Intravenous Anaesthetic Drug. 2007. ANAESTHESIA AND
INTENSIVE CARE MEDICINE 9:4. Diunduh dari :
http://www.philippelefevre.com/downloads/basic_sciences_articles/iv-
anaesthetic-agents/intravenous-anaesthetic-agents.pdf
5. Omoigui, S. 1997. Obat-obatan Anastesia. EGC : Jakarta
6. Latief SA. Suryadi KA. Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi dan
Terapi Intensif Edisi 3. Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ;
2007
7. American Society of Anesthesiologists (ASA). Continuum of Depth of
Sedation Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia.
2014 [cited 2015 Desember 14]. Available from: https://www.asahq.org
8. Oepomo TD.2009. Concentration of TNF in the peritoneal fluid and serum o
f endometrioticpatients. http://www.unsjournals.com/DD0703D070302.pdf
9. NHS Evidence. 2009. Annual Evidence Update on Endometriosis
Epidemiology and aetiology.
http://www.library.nhs.uk/womenshealth/ViewResource.aspx?
resID=258981&tabID=290&catID=11472
10. Rayburn, F. William.2001. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta. Widya medika
11. Saifuddin, A. B., dkk. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
12. Taber, B. 1994. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:
EGC.
13. Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
14. Manjoer, A., dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Fakultas Kedokteran UI, Media
Aesculapius, Jakarta : 2002.

33

Anda mungkin juga menyukai