Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara


sementara dan biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Secara garis besar
anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat sementara
akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral. Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan
bebas nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran.1 Anestesi regional
semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan
yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang
minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon
stress secara lebih sempurna.2 Anestesi regional memiliki berbagai macam teknik
penggunaan salah satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang
belakang atau anestesi spinal.1,3 Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik
lokal ke dalam ruang subarakhnoid.4 Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk
bedah ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum,
bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan operasi
ortopedi ekstremitas inferior.1
Pemberian anestesi untuk bedah ortopedi membutuhkan pemahaman akan
pentingnya pengaturan posisi khusus (mengurangi resiko trauma saraf perifer),
pengetahuan mengenai adanya kemungkinan kehilangan darah yang banyak di
dalam operasi dan teknik untuk mengurangi dampak dari kejadian ini, serta
pengenalan tentang pentingnya analgesia post operasi dan ambulasi yang cepat
(Horlocker TT, Wedel DJ: Anesthesia for orthopaedic surgery. In Barash PG,
Cullen BF, Stoelting RD [eds]: Clinical Anesthesia, pp 1112-1128. Philadelphia,
Lippincott Williams and Wilkins, 2006). Banyak prosedur bedah ortopedi yang
menggunakan bantuan anestesi regional, yang memberikan tidak hanya anestesi
pada intra operatif tetapi juga penanganan nyeri post operasi. Pasien yang akan
menjalani operasi ortopedi mempunyai resiko untuk trombosis vena dalam. BAB
40 PENANGANAN ANESTESI UNTUK BEDAH ORTOPEDI
(TERJEMAHAN DARI BARASH P.G, CULLEN F.B, STOELTING R.K.
CHAPTER 40 ANESTHESIA FOR ORTHOPAEDIC SURGERY
IN HANDBOOK OF CLINICAL ANESTHESIA, FOURTH EDITION.

PHILADELPHIA : LIPPINCOTT WILLIAMS AND WILKINS


COMPANY. P : 659-76)

BAB II
LAPORAN KASUS ANESTESI

I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. AR
Tempat/Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 01 Januari 1963
Agama
: Islam
Usia
: 53 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Alamat
: Jalan Panaikang Belakang BULOG
Tanggal Masuk RS : 06 November 2016

EVALUASI PRE-ANESTESI
1. Anamnesis (Autoanamnesis 07 November 2016)
a. Keluhan Utama
Nyeri pada tungkai kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 4 jam yang lalu. Pasien
sedang menyeberang jalan dan tiba-tiba motor datang dengan
kecepatan sedang dari arah samping. Betis kiri pasien terbentur keras
dengan motor. Pasien terjatuh kesisi kanan. Pasien mengaku pingsan
sesaat setelah kejadian, mual dan muntah disangkal. Setelah
kejadian, pasien dibawa ke RS Ibnu Sina, kaki kiri sakit bila
digerakkan. Ada perubahan bentuk pada bagian paha kiri, merah,
panas, dan terdapat luka lecet pada kaki kanan.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Pasien memiliki riwayat hipertensi terkontrol (konsumsi Captopril
d.
e.
f.
g.
h.

25mg). Riwayat diabetes dan asma dibantah.


Riwayat Penyakit Keluarga
Terdapat riwayat hipertensi. Tidak ditemukan adanya riwayat asma.
Riwayat Alergi
Tidak ada
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol.
Riwayat Operasi Sebelumnya
Tidak ada
Riwayat Anestesi
Tidak ada

2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
- Keadaan Umum
- Kesadaran
- Skala nyeri
- Tekanan Darah
- Nadi
- RR
- Suhu
- Tinggi Badan
- Berat Badan

: sakit sedang
: compos mentis
: 2/10 3/10
: 140/80 mmHg
: 92x/menit
: 18x/menit
: 37,0 0C
: 155 cm
: 60 kg

b. Generalisata
- Kepala
- Mata
- Telinga
- Hidung
- Mulut
- Gigi geligi
- Leher
- Thorax

Normocefali
RC +/+ isokor 3mm, CA-/- SI-/liang lapang
simetris, rhenorea -/mukosa lembab, sianosis (-)
Gigi palsu (-)
Simetris, massa (-), Nyeri (-)
Bentuk normal, tak ada kelainan, Retraksi

:
:
:
:
:
:
:
:

sela iga (-)


c. Paru- Paru
Pemeriksaa
n
Inspeksi

Paru
Kiri

DEPAN
Simetris saat statis dan

BELAKANG
Simetris saat statis dan

Kanan
Palpasi
Perkusi

Kiri
Kanan
Kiri
Kanan

Auskultasi

Kiri

Kanan

dinamis
Simetris saat statis dan
dinamis
Fremitus taktil simetris
Fremitus taktil simetris
Sonor di seluruh lapang
paru
Sonor di seluruh lapang
paru
Batas paru-hati : ICS V
linea midclavicula
dekstra,
Peranjakan hepar 2 jari.
Suara dasar vesikuler
Wheezing (-/-) Rhonki
(-/-)
Suara dasar vesikuler
Wheezing (-/-) Rhonki
(-/-)

dinamis
Simetris saat statis dan
dinamis
Fremitus taktil simetris
Fremitus taktil simetris
Sonor di seluruh lapang
paru
Sonor di seluruh lapang
paru

Suara dasar vesikuler


Wheezing (-/-) Rhonki
(-/-)
Suara dasar vesikuler
Wheezing (-/-) Rhonki
(-/-)

d. Jantung
Pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

Hasil
Iktus kordis tidak terlihat
Ictus cordis teraba pada ICS V, 1 cm medial dari garis midklavikula sinistra
Batas atas : ICS II linea sternal sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternal dekstra
Batas kiri : ICS V, 1cm medial linea midclavidula sinistra
Bunyi jantung I-II, murni dan reguler pada semua katup

e. Abdomen

Pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi

Hasil
Perut cembung
Dinding perut : supel (+), nyeri lepas (-), massa (-)
Hati : tidak teraba
Limpa : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Timpani
Bising usus (+) normal

Perkusi
Auskultasi

f. Punggung
Simetris, tidak ada kelainan
g. Anggota gerak
Ekstrimitas
: Akral hangat, nadi kuat, cepat, sianosis (-), CRT <
2s, terpasang bidai pada tungkai kiri.
h. Genital
Tidak dilakukan pemeriksaan
i. Status Lokalis
Ekstrimitas
: edema (+/-) di regio cruris sinistra, kalor (+), rubor
(+), dolor (+), immobile (+), deformitas (+).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. X-Ray Cruris Sinistra AP/Lateral (6/11/2016):
- Fraktur 1/3 tengah Os. Tibia Fibula Sinistra
b. Chest X-Ray (6/11/2016) :
- Cardiomegaly et Dilation Aortae
c. Laboratorium (6/11/2016) :
-

WBC
PLT
HCT
HGB
CT
BT
AST
SGPT
UREA
CREATININ
GDS

4. Klasifikasi Status Fisik


ASA PS Kelas II

: 10,1 x 103/ml
: 186 x 103/ml
: 31,6 %
: 10,5 g/dL
: 12
:3
: 33 u/L
: 28 u/L
: 29 mg/dL
:0,9 mg/dL
: 158 mg/dL

III.

5. Diagnosa Kerja
Fraktur tertutup 1/3 tengah os. Tibia fibula sinistra
6. Rencana Tindakan Bedah
ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
7. Rencana Anestesi
Anestesi regional metode SAB
8. Persiapan
- Pasien dipuasakan 8 jam sebelum dilakukan tindakan
- Pemberian obat-obat premedikasi sesaat sebelum operasi
- Captopril 25 mg 0-0-1
LAPORAN ANESTESI
Tanggal operasi
: 08 November 2016
Mulai anestesi
: 08.15
Selesai
: 09.30
Lama anestesi
: 1 jam 30 menit
Intraoperatif
1. Tindakan Operasi : Open Reduction Internal Fixation
2. Tindakan Anestesi : Anestesi regional SAB
3. Posisi
: Supine
4. Prosedur anestesi :
- Persiapan : pasien berbaring dalam posisi supine, terpasang infus
dengan iv cateter no. 18 G di tangan kiri dengan cairan
maintenance RL. Terpasang monitor standar. Dipasang O2 via nasal
-

kanul.
Premedikasi : Injeksi dexametason 10 mg/iv; injeksi ranitidin 50

mg/iv; injeksi ondansetron 4 mg/iv.


Loading cairan kristaloid RL 150 cc.
Prosedur SAB : pasien posisi LLD, identifikasi interspace L3 L4,
asepsis dan desinfeksi dengan betadine dan alkohol 70%, skin
wheal dengan lidocaine 2% 40 mg. Insersi jarum spinocaine 25G
dengan paramedia approach, LCS (+) mengalir, darah (-). Injeksi
bupivacaine 0.5% 12,5 mg + Clonidine 30 mcg. Posisi supine. Cek

ketinggian.
- Maintenance O2 3 lpm, via nasal kanul
5. Tekanan Darah :
- Pasien masuk dengan tekanan darah 130/79 mmHg (08.05)
- Setelah induksi, tekanan darah berkisar 125/75 mmHg (08.15)
hingga operasi selesai (09.30)
6. Denyut Jantung
: 90 kali/menit
7. RR
: 16 kali/menit.

8. Keseimbangan Cairan
:
- Cairan masuk : kristaloid RL 1000 mL
- Blood loss
: 200 mL
-

Urine

: 400 cc

Post Operatif
1. Pasien masuk ruang pemulihan
2. Balance Tramadol 50 mg bolus, Tramadol 50mg drip
3. Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
- Kesadaran: compos mentis
- TD
: 130/80 mmHg
- Nadi : 82x/min
- SpO2 : 100 %
- RR
: 18 x/menit
- RL 500 mL/ 8 jam no. III

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I.

EVALUASI PRE-OPERATIF
Pasien trauma ortopedi cukup menantang bagi para ahli anestesi. Pasien
terdiri dari usia muda hingga pasien usia lanjut, yang memiliki faktor komorbid
yang beragam, dan bahkan pasien mungkin memiliki riwayat trauma yang
berpengaruh pada penatalaksanaan anestesi. Ahli anestesi berperan untuk

mengevaluasi

pasein

secara

menyeluruh,

dengan

fokus

pada

sistem

kardiovaskuler, respirasi, dan sistem organ mayor yang lainnya. Semua pasien
yang akan menjalani prosedur anestesi membutuhkan evaluasi pre-operatif
terlebih dahulu. Tujuan dari evaluasi pre-operatif ini adalah untuk mengetahui
adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan
jenis

operasi

yang

akan

di

gunakan,

melihat

kelainan

yang

berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi,


asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui
keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan
cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre
operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan
salah operasi.
Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi
tersebut

juga

harus

dilengkapi

klasifikasi

status

fisik

pasien

berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik
tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal.
Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan
kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal
ini tercermin dalam inform consent.
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat
alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu
atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya
manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu
juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat
herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen
anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan
komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ
juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain
yang belum terdiagnosa.

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.


Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang
tidak muncul pada history taking, sedangkan history taking membantu
memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus
diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang
sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan
darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway,
jantung,

paru-paru,

dan

system

musculoskeletal.

Pemeriksaan

neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa


diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi
regional.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada
pasien

yang

sehat

dan

asimtomatik

bila

history

taking

dan

pemeriksaan fisik gagal mendeteksi adanya abnormalitas. Namun,


karena legitimasi hukum banyak dokter yang tetap memeriksa kadar
hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi,
elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien.
Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah inform
consent. Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal
dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent
perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup
tentang

prosedur

yang

akan

dilakukan

dan

resikonya.

Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya untuk mengumpulkan


informasi yang penting dan inform consent, tetapi juga membantu
membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan pada interview yang
dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta
membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal
tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kecemasan yang
efektivitasnya sama dengan regimen obat premedikasi.

Pada kesimpulan evaluasi pre anestesi setiap pasien ditentukan kalsifikasi


status fisik menurut American Society of Anestesiologist (ASA). Hal ini

merupakan ukuran umum keadaan pasien. Klasifikasi status fisik menurut ASA
adalah sebagai berikut :

ASA 1 : Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain


penyakit yang akan dioperasi.

ASA 2 : Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan


sedang selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya diabetes mellitus
yang terkontrol atau hipertensi ringan

ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan
dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang
tak terkontrol, asma bronkial, hipertensi tak terkontrol

ASA 4 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa


selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronkial yang berat,
koma diabetikum

ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi
mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih
besar. Misalnya operasi pada pasien koma berat

ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana
organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor
bagi yang membutuhkan.

Untuk operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency) atau D


(darurat), mis: operasi apendiks diberi kode ASA 1 E

II.

AGEN DAN TEKNIK ANESTESI SPINAL

Anestesi Spinal
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesia
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarakhnoid di region antara lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4 dan 5
dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan
blokade saraf simpatis10. Beberapa nama lain dari anestesia spinal diantaranya
adalah analgesia spinal, analgesia subarakhnoid, blok spinal, blok arakhnoid,
anestesi subarakhnoid dan anestesi lumbal11. Teknik ini sederhana, cukup efektif
dan mudah dikerjakan4.

Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan


anestesia umum, khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah,
perineum dan ekstremitas bawah. Anestesia spinal dapat menumpulkan respons
stress terhadap pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan
kejadian tromboemboli postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas
pasien bedah dengan risiko tinggi11.

Farmakologi Obat Anestetik Lokal


Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik atau gabungan alkaloid
larut lemak dan garam larut air11. Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke
dalam dua macam, yakni golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain,
kloroprokain, ametokain, tetrakain dan golongan amida seperti lidokain,
mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain,
levobupivakain. Perbedaannya terletak pada kestabilan struktur kimia. Golongan
ester mudah dihidrolisis dan tidak stabil dalam cairan, sedangkan golongan amida
lebih stabil. Golongan ester dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudokolinesterase dan golongan amida dimetabolisme di hati4,12. Di Indonesia
golongan ester yang paling banyak digunakan ialah prokain, sedangkan golongan
amida tersering ialah lidokain dan bupivakain2,4.
Tabel 2. Jenis anestesi lokal2

Prokain

Lidokain

Bupivakain

Golongan

Ester

Amida

Amida

Mula kerja

2 menit

5 menit

15 menit

Lama kerja

30-45 menit

45-90 menit

2-4 jam

Metabolisme

Plasma

Hepar

Hepar

Dosis maksimal 12
(mg/kgBB)

Potensi

15

Toksisitas

10

Tabel 3. Anestetik lokal yang paling sering digunakan4

Anestetik lokal

Berat jenis

Sifat

Dosis

1.006

Isobarik

20-100 mg (2-5 ml)

Hiperbarik

20-50 mg (1-2 ml)

Isobarik

5-20 mg (1-4 ml)

Hiperbarik

5-15 mg (-3 ml)

Lidokain
2% plain

5%
dalam 1.033
dekstrosa 7,5%
Bupivakain
0.5% dalam air

1.005

0.5%
dalam 1.027
dekstrosa 8.25%

2.5.2 Mula Kerja


Mula kerja obat anestetik lokal dipengaruhi juga oleh (1) kelarutan dalam
lemak, dimana obat dengan kelarutan lemak yang lebih rendah biasanya memiliki
onset yang lebih cepat2,11. (2) Konsentrasi relatif bentuk larut lemak tidak
terionisasi dan bentuk larut air terionisasi, yang ditunjukkan oleh konstanta
disosiasi (pKa) menentukan awal kerja. Pengukurannya adalah pH dimana jumlah
obat bentuk yang terionisasi dan yang tidak terionisasi sama 2,4. Obat anestetik
lokal degan pKa mendekati pH fisiologis akan mempunyai konsentrasi bentuk tak
terionisasi lebih tinggi sehingga dapat melewati membran saraf dan
mengakibatkan mula kerja yang lebih cepat11. (3) Alkalinisasi obat anestetik lokal
mempercepat mula kerja, meningkatkan kualitas blok dan memperpanjang lama
blok dengan meningkatkan jumlah basa bebas yang tersedia4,11.

2.5.3 Lama Kerja


Lama kerja obat anestetik lokal dipengaruhi oleh (1) kelarutan dalam
lemak, obat dengan kelarutan dalam lemak yang tinggi akan memiliki kerja lebih
panjang sebab lebih lambat dikeluarkan dari sirkulasi darah2,4,11. (2) Ikatan dengan
protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja, obat dengan kelarutan lemak
yang tinggi juga mempunyai ikatan protein plasma yang tinggi terutama terhadap
alfa-1 asam glikoprotein dan sedikit terhadap albumin, sebagai konsekuensinya
eliminasi memanjang2,4,11. (3) Potensi dan lama kerja anestesi spinal berhubungan
dengan sifat individual obat anestesi dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi
sistemik, sehingga semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin
panjang lama kerja anestesi spinal tersebut. Potensi dan lama kerja dapat

ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat


berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak, karena hal ini akan
memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat anestesi regional 1. Pemilihan
obat lokal anestesi yang akan digunakan pada umumnya berdasar pada perkiraan
durasi dari pembedahan yang akan dilakukan dan kebutuhan pasien untuk segera
pulih dan mobilisasi10.

2.6. Beberapa anestetik lokal yang sering digunakan4.


1. Kokain
Hanya dijumpai dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan
nafas atas dengan lama kerja 20-30 menit.
2. Prokain
Digunakan untuk infiltrasi dengan konsentrasi 0,25-0,5%, penggunaan
untuk blok saraf degan konsentrasi 1-2%. Dosis 15 mg/kgBB dan lama
kerja 30-60 menit.
4. Lidokain
Konsentrasi efektif minimal 0,25%, penggunaan infiltrasi mula kerja 10
menit dan relaksasi otot cukup baik. Lama kerja sekkitar 1-1,5 jam
tergantung konsentrasi larutan. Larutan standar 1 atau 1,5% untuk blok
perifer. 0,25%-0,5% ditambah adrenalin 200.000 untuk infiltrasi, 0,5%
untuk blok sensorik tanpa blok motorik, 1,0% untuk blok motorik dan
sensorik, 2,0% untuk blok motorik pasien berotot, 4,0% atau 10% untuk
topikal semprot faring-laring (pump spray), 5,0% unutk jeli yang dioleskan
pada pipa trakea, 5,0% lidokain dicampur 5,0% prilokain untuk topikal
kulit, 5,0% hiperbarik untuk analgesia intratekal (subarakhnoid).
5. Bupivakain
Konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat dibanding
lidokain tetapi lama kerja sampai 8 jam. Setelah suntikan kaudal epidural,
atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit, kemudian
menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Untuk anestesia spinal 0,5% volum
antara 2-4 ml iso atau hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0,375% dan
pembedahan 0,75%.

2.3.1 Absorpsi2
Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksikan bergantung pada
aliran darah, yang ditentukan dari beberapa faktor dibawah ini:
1. Lokasi injeksi; kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya
vaskularisasi tempat suntikan: absorbsi intravena > trakeal > interkostal >
kaudal > paraservikal > epidural > pleksus brakialis > ischiadikus > subkutan.
2. Adanya vasokontriksi dengan penambahan epinefrin menyebabkan
vasokonstriksi pada tempat pemberian anestesi yang akan menyebabkan
penurunan absorpsi sampai 50% dan peningkatan pengambilan neuronal,
sehingga meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, da
meminimalkan efek toksik. Efek vaskonstriksi yang digunakan biasanya dari
obat yang memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan
kualitas analgesia dan memperlama kerja lewat aktivitasnya terhadap reseptor
adrenergik alfa 2.

2.3.2 Distribusi2
Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ dan ditentukan oleh faktorfaktor:
1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar,
ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat
(fase ), yang diikuti redistribusi yang lebih lambat (fase ) sampai perfusi
jaringan moderat (otot dan saluran cerna).
2. Koefisien partisi jaringan/darah ikatan protein plasma yang kuat cenderung
mempertahankan obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang
tinggi memfasilitasi ambilan jaringan.
3. Massa jaringanotot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal
karena massa dari otot yang besar.
2.3.3 Fiksasi13
Anestetik lokal berikatan dengan protein plasma dengan berbagai derajat.
Hal ini menunjukkan bahwa obat yang berikatan kuat dengan protein plasma
mengurangi toksisitasnya karena hanya sebagian kecil dari jumlah total plasma
yang bebas berdifusi ke dalam jaringan yang dapat menghasilkan efek toksik.

Namun obat yang berikatan dengan protein juga masih mampu berdifusi kedalam
plasma mengikuti gradien konsentrasi, karena bagian yang terikat protein
memiliki keseimbangan yang sama dengan yang terlarut dalam plasma. Dengan
demikian, ikatan dengan protein tidak berhubungan dengan efek toksisitas akut
obat.

2.3.4 Metabolisme dan ekskresi2


Metabolisme dan ekskresi dari lokal anestesi dibedakan berdasarkan
strukturnya:
1. Golongan ester
Metabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase (kolinesterase plasma).
Hidrolisa ester sangat cepat dan kemudian metabolitnya yang larut air
diekskresikan melalui urin.
2. Golongan amida
Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal P-450 di hati. Kecepatan
metabolisme tergantung kepada spesifikasi obat anestetik lokal. Metabolisme
lebih lambat dari hidrolisa ester. Metabolit diekskresi lewat urin dan sebagian
kecil diekskresikan dalam bentuk utuh.
2.4 Farmakokinetik dalam cairan serebrospinal
Setelah penyuntikkan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid
maka akan terjadi proses difusi obat ke dalam cairan serebrospinal sebelum
menuju target lokal sel saraf5. Selanjutnya obat akan diabsorbsi ke dalam sel saraf
(akar saraf spinal dan medulla spinalis)14. Ada empat faktor yang mempengaruhi
absorbsi anestetik lokal di ruang subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik
lokal, konsentrasi terbesar ada pada daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal sedikit
mengandung epineurium dan impulsnya mudah dihambat, (2) luas permukaan
saraf yang terpajan akan memudahkan absorpsi dari anestetik lokal, semakin luas
daerah sel saraf yang terpajan dengan anestetik lokal maka akan semakin besar
juga absorbsi anestetik lokal oleh sel saraf. Oleh karena itu semakin jauh
penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin
menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3)
lapisan lemak pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel saraf14,15. Absorbsi dan
distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak
faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari anestetik lokal serta posisi
pasien14.

Medula spinalis mempunyai dua mekanisme untuk absorbsi anestetik lokal


yakni (1) difusi dari dairan serbrospinal ke pia meter lalu masuk ke medulla
spinalis, dimana proses difusi ini terjadi lambat. Hanya area superfisial atau
permukaan dari medulla spinalis yang dipengaruhi oleh anestetik lokal. (2)
absorbsi terjadi ruang Virchow-Robin, dimana daerah piameter banyak dikelilingi
oleh pembuluh darah yang berpenetrasi ke sistem saraf pusat. Ruang VirchowRobin terhubung dengan celah perineuronal yang mengelilingi badan sel saraf di
medulla spinalis dan menembus sampai ke daerah terdalam medulla spinalis14.

Gambar 12. Ruang periarterial Virchow-Robin yang mengelilingi medulla spinalis14.

Kadar lemak juga menentukan absorbsi anestetik lokal. Semakin bermielin


memerlukan konsentrasi anestetik lokal yang lebih tinggi untuk dapat memblok
impuls, karena ada kadar lemak yang tinggi di selubung mielin tersebut14.
Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan serebrospinal
dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a. Faktor utama4
1. Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien.
Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan penyebaran lokal
anestetik di ruang subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh gravitasi serta
posisi pasien4,15. Larutan hipobarik ialah larutan yang lebih ringan dari
cairan serbrospinal bersifat melawan gravitasi, larutan isobarik ialah
larutan yang sama berat dengan cairan serbrospinal bersifat menetap pada
tingkat daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik ialah larutan yang lebih
berat daripada cairan otak bersifat mengikuti gravitasi setelah pemberian 14.
Larutan hiperbarik biasanya menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.
Contoh pengaruh barisitas dan posisi pasien terhadap penyebaran anestetik
lokal: 15

Posisi kepala kebawah maka larutan hiperbarik akan menyebar ke


arah cephalad, sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah

kaudal.
Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah

kaudal, sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah cephalad.


Posisi lateral maka larutan hiperbarik akan menyebar mengikuti posisi

lateral dan sebaliknya untuk larutan hipobarik.


Posisi apapun dengan larutan isobarik akan berada pada daerah sekitar

penyuntikkan.
Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah penyuntikkan larutan
hiperbarik, anestetik lokal akan menyebar ke area T4-T8 dan
puncaknya akan mengikuti lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.

Pada umumnya semakin jauh penyebaran lokal anestetik maka semakin


singkat durasi blok sensorik obat tersebut karena menurunnya konsentrasi
obat di daerah injeksi15.
2. Dosis dan volume anestetik lokal
Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal, maka
akan semakin tinggi juga area hambatan4,11.

b. Faktor tambahan
1. Umur11
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid
dan epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang
membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan
hasil penyebaran obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak sehingga
level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama.
Sehingga dosis hendaknya dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah
melakukan penelitian pengaruh umut pada penyebaran obat analgetika
lokal, ternyata ada korelasi yang bermakna antara umur dan level
analgesia.
2. Tinggi badan
Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita
yang tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek11.
3. Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga
epidural yang akan mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman

4.

5.

6.

7.

klinis mengindikasikan bahwa kegemukan berpengaruh sedikit terhadap


penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal11.
Tekanan intraabdomen
Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi
darah vertebral meningkat yang menyebabkkan berkurangnya isi cairan
serebrospinal. Akibatnya hasil anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi
seperti pada ibu hamil, obesitas, dan tumor abdomen11,13.
Anatomi kolumna vertebralis
Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat
anastetik lokal dalam cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada cairan
yang bersifat hiperbarik atau hipobarik pada posisi terlentang horizontal.
Penyuntikkan di atas L3 dengan posisi pasien supinasi setelah
penyuntikkan akan membuat penyebaran anestetik lokal kerah cephalad
dan mencapai kurvatura T411,13.
Tempat penyuntikkan
Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3
atau lumbal 3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan
tusukan pada lumbal 4-5 karena bentuk vertebral memudahkan obat
berkumpul di daerah sakral11.
Arah penyuntikkan
Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran oat akan
terbatas dibandingkan dengan penyuntikkan kearah cephalad18.

8. Barbotase atau kecepatan penyuntikkan


Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan
tingkat analgesia yang dicapai rendah11
2.5. Farmakodinamik
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio
vertebra. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari
luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada
diantara arakhnoid dan piameter, sedangkan ruang antara ligamentum flavum dan
durameter merupakan ruang epidural11,14.
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik. Lokasi target dari anestesi spinal
adalah akar saraf spinal dan medulla spinalis 5. Dalam anestesi spinal konsentrasi
obat lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang minimal pada
medula spinalis14.

2.5.1 Mekanisme obat anestetik spinal


Mekanisme aksi obat anestesi lokal adalah mencegah transmisi impuls
saraf atau blokade konduksi dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui
gerbang ion natrium selektif pada membran saraf2. Obat bekerja pada reseptor
spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf
terhadap ion natrium dan kalium, sehingga hasilnya tak terjadi konduksi saraf4.
Obat anestesi lokal setelah masuk cairan serebrospinal, berdifusi menyebrang
selubung saraf dan membran, tetapi hanya yang dalam bentuk basa yang bisa
menembus membran lipid ini. Ketika mencapai akson terjadi ionisasi dan dalam
bentuk kation yang bermuatan bisa mencapai reseptor pada saluran natrium.
Akibatnya terjadi blokade saluran natrium, hambatan konduksi natrium,
penurunan kecepatan dan derajat fase depolarisasi aksi potensial, dan terjadi
blokade saraf12.
Obat anestesi lokal juga memblok kanal kalsium dan potasium dan
reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat berbeda-beda. Tidak
semua serabut saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas
terhadap blokade ditentukan dari diameter aksonal dan derajat mielinisasi serta
berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain2. Pada umumnya, serabut saraf kecil dan
bermielin lebih mudah diblok dibandingkan serabut saraf besar tak bermielin 14.
Anestetik lokal lebih mudah menyekat serabut yang berukuran kecil karena jarak
propragasi pasif suatu impuls listrik melalui serabut tadi lebih pendek. Semakin
besar dan tebal suatu serabut saraf (misalnya, neuron motorik), nodusnya makin
terpisah jauh satu sama lain sehingga sulit diblokade 16. Diameter yang kecil dan
sedikit atau tidak memiliki mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi
lokal dan akan lebih mudah untuk diblok2,16. Sedangkan diameter yang besar dan
mielin yang tebal seperti pada saraf motorik akan lebih sulit untuk diblok. Saraf
simpatis dan sensoris mempunyai lebih sedikit mielin dibandingkan saraf
motorik16. Dengan demikian, sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal
mulai dari autonom, sensorik, dan motorik2.
Tabel 4. Klasifikasi serabut saraf4,17

Serabut
saraf

Mielin

Diameter

Fungsi

Kepekaan terhadap
blokade

A-alfa

++

6-22

Eferen
motorik, +
aferen
proprioseptik

A-beta

++

6-22

Eferen
aferen

motorik, ++

proprioseptik
A-gamma

++

3-6

Eferen kumparan ++
otot (spindle)

A-delta

++

1-4

Nyeri, suhu, rabaan

+++

<3

Otonomik
preganglionik

++++

0.3-1.3

Nyeri, suhu, rabaan

++++

Otonom
pascaganglionik

Serabut saraf C memerlukan konsentrasi obat anestesi lokal lebih sedikit


untuk memblok konduksi dibandingkan serabut tipe B dan serabut saraf tipe B
memerlukan konsentrasi lebih rendah daripada serabut saraf tipe A. secara umum
serabut saraf autonom terblok pertama kali dan serabut saraf motorik yang
terakhir12.
Secara umum tingginya blokade simpatis kira-kira 2-3 segmen lebih tinggi
daripada tingginya blokade sensorik dan tingginya blokade sensorik 2-3 segmen
lebih tinggi daripada blokade motorik. Hal ini dimungkinkan karena konsentrasi
obat anestesi lokal di dalam cairan serebrospinal semakin kearah cephalad
menjauh tempat injeksi akan berkurang, disamping serabut saraf bermielin
memerlukan paling tidak tiga nodus ranvier yang berurutan harus diblok secara
komplit untuk menghambat konduksi12. Maka dari itu, urutan hilangnya fungsi sel
saraf pada anestesi lokal sebagai berikut: (1) simpatis (vasomotor) berupa dilatasi
pembuluh darah arteri dan vena, (2) sensoris suhu dan nyeri, (3) sensoris raba dan
tekanan, (4) proprioseptif berupa kesadaran akan posisi tubuh, (5) fungsi
motorik14. Bila anestetik lokal ini telah habis bekerja, maka fungsi-fungsi ini akan
kembali dalam urutan terbalik yakni fungsi motorik akan kembali dulu, kemudian
sensasi raba dan nyeri, serta terakhir respon simpatis akan normal kembali seperti
tekanan darah16.
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi
dan lama kerja menjadi 3 grup. Grup I meliputi prokain, kloroprokain yang
memiliki potensi dan lama kerja yang singkat. Grup II meliputi lidokain,
mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang. Grup III
meliputi tetrakain, bupivakain, etidokain yang memiliki potensi kuat dan lama
kerja yang panjang. Anestesi lokal juga dibedakan berdasarkan pada mula atau
awal kerjanya seperti kloroprokain, lidokain, mepivakain, prilokain, etidokain

memiliki mula kerja yang relatif cepat, bupivakain memiliki mula kerja sedang,
sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat2.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten,
karena itu merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran yang
hidrofobik2,4. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan
meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul2.

2.7.Patofisiologi
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio
vertebra. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari
luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada
diantara arakhnoid dan piameter, sedangakan ruang antara ligamentum flavum dan
durameter merupakan ruang epidural11,13.
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan
posterior yang melewati cairan serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan
tempat aksi kerja utama pada anestesi spinal dan epidural, selain itu bisa bekerja
pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal. Dalam anestesi spinal
konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang
minimal pada medula spinalis13, 14.
Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang
subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada
daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal sedikit mengandung epineurium dan
impulsnya mudah dihambat, (2) daerah permukaan saraf yang terpajan akan
memudahkan absorpsi dari anestetik lokal. Oleh karena itu semakin jauh
penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin
menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3)
lapisan lipid pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel saraf 14. Absorbsi dan
distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak
faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari anestetik lokal serta posisi
pasien14. Selanjutnya obat memiliki akses bebas ke jaringan medula spinalis dan
bekerja langsung pada target lokal di membran sel saraf serta sebagian kecil dosis
dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini
tidak berikatan dengan protein terlebih dahulu13.
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi
lokal disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural

dan kaudal) dan menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang
epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF untuk anestesi spinal
memungkinkan dosis yang relatif kecil dan volume anestesi lokal untuk mencapai
blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi
pada akar saraf memerlukan volume dan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu,
tempat suntikan untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang harus
diblok. Blokade transmisi saraf (konduksi) dalam pada serabut saraf posterior
akan menghambat somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf
anterior mencegah eferen motorik dan outflow otonom6.

2.7.1 Blokade somatik


Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan
tonus otot rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang sangat
baik. Blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan viseral,
sedangkan blokade motorik menghasilkan relaksasi otot rangka. Pengaruh
anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran serabut saraf,
apakah itu bermielin, konsentrasi yang dicapai dan lama kontak. Akar saraf tulang
belakang terdiri dari berbagai tipe serat saraf. Serat lebih kecil dan bermielin
umumnya lebih mudah diblokir daripada yang lebih besar dan tidak bermielin.
Fakta bahwa konsentrasi anestesi lokal menurun dengan meningkatnya jarak dari
level injeksi, menjelaskan fenomena blokade diferensial. Diferensial blokade
biasanya menghasilkan blokade simpatik (dinilai oleh sensitivitas suhu) yang
mungkin dua segmen lebih tinggi dari blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan
dua segmen lebih tinggi dari blokade motorik6.

2.7.2. Blokade otonom


Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan
blokade dari simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa
dideskripsikan sebagai torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral.
Serabut saraf praganglion simpatis (kecil, serabut termielinisasi tipe B) keluar
dari spinal cord dari T1 sampai L2 dan bisa menyebabkan rantai simpatis ke atas
maupun ke bawah sebelum bersinap dengan posganglion sel pada ganglia
simpatik. Anestesi neuroaksial tidak memblok nervus vagus. Respon fisiologi dari
anestesi ini adalah menurunkan kerja simpatis6.
Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah yang
disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Tonus

vasomotor secara primer ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari T5
dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari nervus ini
menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian darah dan
menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi ateria
dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Efek dari
vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan cara mengkompensasi
vasokonstriksi diatas blok. Blok simpatis yang tinggi tidak hanya
mengkompensasi vasokonstriksi tapi juga memblok serabut akselarator jantung
yang berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan oleh bradikardi dan
penurunan kontraktili jantung.
Hal ini dapat diperbaiki dengan cara
meningkatkan venous return dengan meninggikan kepala6.
Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal
ini diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg pada pasien
sehat akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun dengan
usaha ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat.
Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat dilakukan dengan
cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan simptomatik harus
ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi diterapi menggunakan
vasopresor. Direct -adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus
vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan
aliran balik vena dan resistensi sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan
efedrin adalah meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek
tidak langsung menghasilkan beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau
bradikardia bertahan meskipun intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus
diberikan segera6.
Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal
dengan blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang
berasal dari C3-C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal tidak
berubah, hanya ada sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan oleh
hilangnya kontribusi otot perut 'untuk ekspirasi paksa6.
Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan
neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf
aferen somatik dan viceral. Respon ini termasuk
peningkatan hormon
adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin melalui
sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade dapat
menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini6.
Eliminasi anestetik lokal terjadi melalui penyerapan oleh pembuluh darah
dalam ruang subarakhnoid dan epidural. Penyerapan ini terjadi pada pembuluh

darah di piameter dan medulla spinalis. Laju penyerapan berhubungan dengan


luas permukaan pembuluh darah yang kontak dengan anestetik lokal. Anestetik
lokal yang mempunyai kelarutan lemak yang tinggi akan meningkatkan absorpsi
kedalam jaringan, sehingga mengurangi konsentrasi. Anestetik lokal juga
berdifusi ke dalam ruang epidural dan setelah di ruang epidural akan berdifusi ke
dalam pembuluh darah epidural10.
2.8. Efek samping obat anestetik lokal terhadap sistem tubuh4
1. Sistem kardiovaskular
- Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.
- Dilatasi arteriolar karena relaksasi otot polos.
- Dosis besar dapat menyebabkan disritmia atau kolaps sirkulasi.
- Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang
berat termasuk hippotensi, blok atrioventrikular, irama idioentrikular,
dan aritmia yang dapa mengancam jiwa seperti takikardia ventrikular
dan fibrilasi.
2. Sistem pernafasan
- Relaksasi otot polos bronkus
- Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal
-

atau depresi langsung pusat pengaturan nafas.


Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini
hanya berpengaruh kecil pada volume tidak karena adanya kompensasi
diafragma, tapi hal ini akan menimbulkan penurunan kapasitas vital
akibat penurunan signifikan dari expiratory reserve volume. Pasien ini
akan mengalami dispnea dan kesulitan untuk inspirasi maksimal serta
batuk. Blokade torakal juga memicu penurunan cardiac output dan
tekanan

arteri

pulmonal

serta

peningkatan

ventilasi

atau

ketidakseimbangan perfusi yang akan menyebabkan penurunan


tekanan oksigen arteri. Pasien dengan blokade torakal saat bangun
harus diberikan oksigen yang tinggi untuk membantu pernafasan13.
3. Sistem pencernaan14
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2. Akibat
blokade simpatis, maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan
sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual
dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko terjadinya karena
blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan riwayat mual

4.

5.

6.

7.

8.

III.

muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis


menyebabkan peningkatan peristaltik usus yang memicu mual. Dengan
demikian, atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade spinal
yang tinggi
Sistem saraf pusat
Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan
tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik
berupa tinitus dan pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti kurang istirahat,
agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi sistem saraf pusat misal
bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang, depresi pernafasan,
tidak sadar, koma.
Imunologi
Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan
derivat para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.
Sistem muskuloskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenerasi litik, edema, dan
nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu.
Ginjal dan hepar
Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi
vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun
sampai tekanan arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan
begitu, bila tidak terjadi hipotensi berat maka alirah darah ginjal serta urin
output masih dalam batas normal selama anestesi spinal. Sedangkan aliran
darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari hipotensi9.
Endokrin dan metabolisme
Anestesi spinal akan menghambat respon hormonal dan respon stres
metabolik yang berhubungan dengan pembedahan. Respon ini berupa
peningkatan ACTH, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopresin serta
renin angiotensin aldosteron.
MONITORING INTRA-OPERATIF
Yang perlu dimonitor selama operasi adalah tingkat kedalaman
anestesi, efektivitas kardiovaskuler dan efisiensi perfusi jaringans
erta perubahan respirasisecara praktis perlu diperhatikan tekanan
darah, nadi, respirasi, suhu warna kulit, keringat, cairan serta
kesadaran pasien.
a. Pulse oksimetri
Pulse oksimetri menggunakan dua gelombang cahaya :
merah (660 nm) dan infra merah (940 nm). Gelombang

cahaya ini ditransmisikan satu sisi sensor ke sisi sensor


cahaya yang

lainnya.Absorbsi

deoxyhemoglobin

bervariasi

cahaya dari oxy dan

pada

setiap

gelombang

cahaya. Pengukuran absorbsi dari gelombang cahaya ini


dikonversikan sebagai persentase saturasi oksigen.

b. Nadi

Monitoring frekuensi dan ritme nadi dapat dinilai dengan


monitor

nadi.

Anestesi

yang

terlalu

dalam

dapat

bermanifestasi dengan nadi yang bertambah lambat dan


melemahkan

denyut

jantung.

Monitoring

nadi

akan

berfungsi baik bila pembuluh darah dalam keadaan


vasodilatasi

dan

tidak

vasokonstriksi.
c. Elektrokardiogram
EKG selama anestesi

efektif

dilakukan

pada

untuk

keadaan

memonitor

perubahan frekuensi ritme jantung serta sistim konduksi


jantung.
d. Tekanan darah
e. Perdarahan
f. Produksi urin
g.

IV.
TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF
Terapicairanperioperatiftermasukpenggantiandeficitcairan,kehilangancairan
normaldankehilangancairanlewatlukaoperasitermasukkehilangandarah.
Kebutuhan Pemeliharaan Normal
Padawaktuintakeoraltidakada,deficitcairandanelektrolitdapatterjadidengan
cepatkarenaadanyapembentukanurinyangterusberlangsung,sekresi
gastrointestinal,keringatdaninsensiblelossesdarikulitdanparu.Kebutuhan
pemeliharaannormaldapatdiestimasidaritabelberikut:
TabelEstimasiKebutuhanCairanPemeliharaan
BeratBadanKebutuhan
10kgpertama4ml/kg/jam
1020kgkedua2ml/kg/jam
Masingmasingkg>20kg1ml/kg/jam

Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab:


40+20+5=65ml/jam
Preexisting Deficit
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan
menyebabkandefisitcairansebandingdenganlamanyapuasa.Defisitinidapat
diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya puasa.
Untuk70kg,puasa8jam,perhitingannya(40+20+50)ml/jamx8jamatau
880ml.Padakenyataannya,defisitinidapatkurangsebagaihasildarikonservasi
ginjal.Kehilangancairanabnormalseringdihubungkandengandefisitpreoperatif.
Sering terdapat hubungan antara perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan
diare.
Penggantian
Cairan
Intraoperatif
Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian
deficitcairanpreoperativesepertihalnyakehilangancairanintraoperative(darah,
redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena
tergantungdariprosedurpembedahandanperkiraankehilangandarah.Padakasus
kehilangan darah minimal dan adanya pergeseran cairan, maka maintenance
solutiondapatdigunakan.UntuksemuaproseduryanglainRingerLactatebiasa
digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus
digantikandengancairankristaloidataukoloiduntukmemeliharavolumecairan
intravascular(normovolemia)sampaibahayaanemiaberberatlebih(dibanding)
resikotransfusi.Padakehilangandarahdapatdigantidengantransfuseseldarah
merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 78 g/dL (hematocrit 21 24%).
Hb<7g/dLcardiacoutputmeningkatuntukmenjagaagartransportOksigentetap
normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang
berhubungan dengan jantung dan paruparu. Batas lebih tinggi mungkin
digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang terus menerus. Dalam
prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat kirakira 34 kali dari
banyaknyadarahyanghilang,dancairankoloiddenganperbandingan1:1sampai
dicapaiHbyangdiharapkan.
Tabel.PerkiraanVolumeDarahRataRata(AverageBloodVolumes)
UmurVolumeDarah
NEONATES
PREMATURE95ML/KG
FULLTERM85ML/KG
INFANTS80ML/KG
ADULTS
MEN75ML/KG
WOMAN65ML/KG

PadakeadaaninikehilangandarahdapatdigantidenganPackedredbloodcell.

Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan


perkiraanvolumedarah.Pasiendenganhematocritnormalbiasanyaditransfusi
hanyasetelahkehilangandarah>1020%darivolumedarahmereka.Sebenarnya
tergantung daripada kondisi pasien] dan prosedur dari pembedahan . Perlu
diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan hematocrit sampai 30%,
dapatdihitungsebagaiberikut:

EstimasivolumedarahdariTabel295.

Estimasivolumeseldarahmerah(RBCV)hematocritpreoperative(RBCV
preop).

Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga


volumedarahnormal.

Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika hematocrit


30%adalahRBCVlost=RBCVpreopRBCV30%.

Perkiraanjumlahdarahyanghilang=RBCVlostX3

Anda mungkin juga menyukai