PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS ANESTESI
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. AR
Tempat/Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 01 Januari 1963
Agama
: Islam
Usia
: 53 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Alamat
: Jalan Panaikang Belakang BULOG
Tanggal Masuk RS : 06 November 2016
EVALUASI PRE-ANESTESI
1. Anamnesis (Autoanamnesis 07 November 2016)
a. Keluhan Utama
Nyeri pada tungkai kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 4 jam yang lalu. Pasien
sedang menyeberang jalan dan tiba-tiba motor datang dengan
kecepatan sedang dari arah samping. Betis kiri pasien terbentur keras
dengan motor. Pasien terjatuh kesisi kanan. Pasien mengaku pingsan
sesaat setelah kejadian, mual dan muntah disangkal. Setelah
kejadian, pasien dibawa ke RS Ibnu Sina, kaki kiri sakit bila
digerakkan. Ada perubahan bentuk pada bagian paha kiri, merah,
panas, dan terdapat luka lecet pada kaki kanan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
- Keadaan Umum
- Kesadaran
- Skala nyeri
- Tekanan Darah
- Nadi
- RR
- Suhu
- Tinggi Badan
- Berat Badan
: sakit sedang
: compos mentis
: 2/10 3/10
: 140/80 mmHg
: 92x/menit
: 18x/menit
: 37,0 0C
: 155 cm
: 60 kg
b. Generalisata
- Kepala
- Mata
- Telinga
- Hidung
- Mulut
- Gigi geligi
- Leher
- Thorax
Normocefali
RC +/+ isokor 3mm, CA-/- SI-/liang lapang
simetris, rhenorea -/mukosa lembab, sianosis (-)
Gigi palsu (-)
Simetris, massa (-), Nyeri (-)
Bentuk normal, tak ada kelainan, Retraksi
:
:
:
:
:
:
:
:
Paru
Kiri
DEPAN
Simetris saat statis dan
BELAKANG
Simetris saat statis dan
Kanan
Palpasi
Perkusi
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Auskultasi
Kiri
Kanan
dinamis
Simetris saat statis dan
dinamis
Fremitus taktil simetris
Fremitus taktil simetris
Sonor di seluruh lapang
paru
Sonor di seluruh lapang
paru
Batas paru-hati : ICS V
linea midclavicula
dekstra,
Peranjakan hepar 2 jari.
Suara dasar vesikuler
Wheezing (-/-) Rhonki
(-/-)
Suara dasar vesikuler
Wheezing (-/-) Rhonki
(-/-)
dinamis
Simetris saat statis dan
dinamis
Fremitus taktil simetris
Fremitus taktil simetris
Sonor di seluruh lapang
paru
Sonor di seluruh lapang
paru
d. Jantung
Pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Hasil
Iktus kordis tidak terlihat
Ictus cordis teraba pada ICS V, 1 cm medial dari garis midklavikula sinistra
Batas atas : ICS II linea sternal sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternal dekstra
Batas kiri : ICS V, 1cm medial linea midclavidula sinistra
Bunyi jantung I-II, murni dan reguler pada semua katup
e. Abdomen
Pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi
Hasil
Perut cembung
Dinding perut : supel (+), nyeri lepas (-), massa (-)
Hati : tidak teraba
Limpa : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Timpani
Bising usus (+) normal
Perkusi
Auskultasi
f. Punggung
Simetris, tidak ada kelainan
g. Anggota gerak
Ekstrimitas
: Akral hangat, nadi kuat, cepat, sianosis (-), CRT <
2s, terpasang bidai pada tungkai kiri.
h. Genital
Tidak dilakukan pemeriksaan
i. Status Lokalis
Ekstrimitas
: edema (+/-) di regio cruris sinistra, kalor (+), rubor
(+), dolor (+), immobile (+), deformitas (+).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. X-Ray Cruris Sinistra AP/Lateral (6/11/2016):
- Fraktur 1/3 tengah Os. Tibia Fibula Sinistra
b. Chest X-Ray (6/11/2016) :
- Cardiomegaly et Dilation Aortae
c. Laboratorium (6/11/2016) :
-
WBC
PLT
HCT
HGB
CT
BT
AST
SGPT
UREA
CREATININ
GDS
: 10,1 x 103/ml
: 186 x 103/ml
: 31,6 %
: 10,5 g/dL
: 12
:3
: 33 u/L
: 28 u/L
: 29 mg/dL
:0,9 mg/dL
: 158 mg/dL
III.
5. Diagnosa Kerja
Fraktur tertutup 1/3 tengah os. Tibia fibula sinistra
6. Rencana Tindakan Bedah
ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
7. Rencana Anestesi
Anestesi regional metode SAB
8. Persiapan
- Pasien dipuasakan 8 jam sebelum dilakukan tindakan
- Pemberian obat-obat premedikasi sesaat sebelum operasi
- Captopril 25 mg 0-0-1
LAPORAN ANESTESI
Tanggal operasi
: 08 November 2016
Mulai anestesi
: 08.15
Selesai
: 09.30
Lama anestesi
: 1 jam 30 menit
Intraoperatif
1. Tindakan Operasi : Open Reduction Internal Fixation
2. Tindakan Anestesi : Anestesi regional SAB
3. Posisi
: Supine
4. Prosedur anestesi :
- Persiapan : pasien berbaring dalam posisi supine, terpasang infus
dengan iv cateter no. 18 G di tangan kiri dengan cairan
maintenance RL. Terpasang monitor standar. Dipasang O2 via nasal
-
kanul.
Premedikasi : Injeksi dexametason 10 mg/iv; injeksi ranitidin 50
ketinggian.
- Maintenance O2 3 lpm, via nasal kanul
5. Tekanan Darah :
- Pasien masuk dengan tekanan darah 130/79 mmHg (08.05)
- Setelah induksi, tekanan darah berkisar 125/75 mmHg (08.15)
hingga operasi selesai (09.30)
6. Denyut Jantung
: 90 kali/menit
7. RR
: 16 kali/menit.
8. Keseimbangan Cairan
:
- Cairan masuk : kristaloid RL 1000 mL
- Blood loss
: 200 mL
-
Urine
: 400 cc
Post Operatif
1. Pasien masuk ruang pemulihan
2. Balance Tramadol 50 mg bolus, Tramadol 50mg drip
3. Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
- Kesadaran: compos mentis
- TD
: 130/80 mmHg
- Nadi : 82x/min
- SpO2 : 100 %
- RR
: 18 x/menit
- RL 500 mL/ 8 jam no. III
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I.
EVALUASI PRE-OPERATIF
Pasien trauma ortopedi cukup menantang bagi para ahli anestesi. Pasien
terdiri dari usia muda hingga pasien usia lanjut, yang memiliki faktor komorbid
yang beragam, dan bahkan pasien mungkin memiliki riwayat trauma yang
berpengaruh pada penatalaksanaan anestesi. Ahli anestesi berperan untuk
mengevaluasi
pasein
secara
menyeluruh,
dengan
fokus
pada
sistem
kardiovaskuler, respirasi, dan sistem organ mayor yang lainnya. Semua pasien
yang akan menjalani prosedur anestesi membutuhkan evaluasi pre-operatif
terlebih dahulu. Tujuan dari evaluasi pre-operatif ini adalah untuk mengetahui
adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan
jenis
operasi
yang
akan
di
gunakan,
melihat
kelainan
yang
juga
harus
dilengkapi
klasifikasi
status
fisik
pasien
berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik
tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal.
Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan
kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal
ini tercermin dalam inform consent.
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat
alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu
atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya
manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu
juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat
herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen
anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan
komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ
juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain
yang belum terdiagnosa.
paru-paru,
dan
system
musculoskeletal.
Pemeriksaan
yang
sehat
dan
asimtomatik
bila
history
taking
dan
prosedur
yang
akan
dilakukan
dan
resikonya.
merupakan ukuran umum keadaan pasien. Klasifikasi status fisik menurut ASA
adalah sebagai berikut :
ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan
dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang
tak terkontrol, asma bronkial, hipertensi tak terkontrol
ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi
mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih
besar. Misalnya operasi pada pasien koma berat
ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana
organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor
bagi yang membutuhkan.
II.
Anestesi Spinal
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesia
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarakhnoid di region antara lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4 dan 5
dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan
blokade saraf simpatis10. Beberapa nama lain dari anestesia spinal diantaranya
adalah analgesia spinal, analgesia subarakhnoid, blok spinal, blok arakhnoid,
anestesi subarakhnoid dan anestesi lumbal11. Teknik ini sederhana, cukup efektif
dan mudah dikerjakan4.
Prokain
Lidokain
Bupivakain
Golongan
Ester
Amida
Amida
Mula kerja
2 menit
5 menit
15 menit
Lama kerja
30-45 menit
45-90 menit
2-4 jam
Metabolisme
Plasma
Hepar
Hepar
Dosis maksimal 12
(mg/kgBB)
Potensi
15
Toksisitas
10
Anestetik lokal
Berat jenis
Sifat
Dosis
1.006
Isobarik
Hiperbarik
Isobarik
Hiperbarik
Lidokain
2% plain
5%
dalam 1.033
dekstrosa 7,5%
Bupivakain
0.5% dalam air
1.005
0.5%
dalam 1.027
dekstrosa 8.25%
2.3.1 Absorpsi2
Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksikan bergantung pada
aliran darah, yang ditentukan dari beberapa faktor dibawah ini:
1. Lokasi injeksi; kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya
vaskularisasi tempat suntikan: absorbsi intravena > trakeal > interkostal >
kaudal > paraservikal > epidural > pleksus brakialis > ischiadikus > subkutan.
2. Adanya vasokontriksi dengan penambahan epinefrin menyebabkan
vasokonstriksi pada tempat pemberian anestesi yang akan menyebabkan
penurunan absorpsi sampai 50% dan peningkatan pengambilan neuronal,
sehingga meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, da
meminimalkan efek toksik. Efek vaskonstriksi yang digunakan biasanya dari
obat yang memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan
kualitas analgesia dan memperlama kerja lewat aktivitasnya terhadap reseptor
adrenergik alfa 2.
2.3.2 Distribusi2
Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ dan ditentukan oleh faktorfaktor:
1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar,
ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat
(fase ), yang diikuti redistribusi yang lebih lambat (fase ) sampai perfusi
jaringan moderat (otot dan saluran cerna).
2. Koefisien partisi jaringan/darah ikatan protein plasma yang kuat cenderung
mempertahankan obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang
tinggi memfasilitasi ambilan jaringan.
3. Massa jaringanotot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal
karena massa dari otot yang besar.
2.3.3 Fiksasi13
Anestetik lokal berikatan dengan protein plasma dengan berbagai derajat.
Hal ini menunjukkan bahwa obat yang berikatan kuat dengan protein plasma
mengurangi toksisitasnya karena hanya sebagian kecil dari jumlah total plasma
yang bebas berdifusi ke dalam jaringan yang dapat menghasilkan efek toksik.
Namun obat yang berikatan dengan protein juga masih mampu berdifusi kedalam
plasma mengikuti gradien konsentrasi, karena bagian yang terikat protein
memiliki keseimbangan yang sama dengan yang terlarut dalam plasma. Dengan
demikian, ikatan dengan protein tidak berhubungan dengan efek toksisitas akut
obat.
kaudal.
Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah
penyuntikkan.
Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah penyuntikkan larutan
hiperbarik, anestetik lokal akan menyebar ke area T4-T8 dan
puncaknya akan mengikuti lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.
b. Faktor tambahan
1. Umur11
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid
dan epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang
membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan
hasil penyebaran obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak sehingga
level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama.
Sehingga dosis hendaknya dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah
melakukan penelitian pengaruh umut pada penyebaran obat analgetika
lokal, ternyata ada korelasi yang bermakna antara umur dan level
analgesia.
2. Tinggi badan
Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita
yang tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek11.
3. Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga
epidural yang akan mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman
4.
5.
6.
7.
Serabut
saraf
Mielin
Diameter
Fungsi
Kepekaan terhadap
blokade
A-alfa
++
6-22
Eferen
motorik, +
aferen
proprioseptik
A-beta
++
6-22
Eferen
aferen
motorik, ++
proprioseptik
A-gamma
++
3-6
Eferen kumparan ++
otot (spindle)
A-delta
++
1-4
+++
<3
Otonomik
preganglionik
++++
0.3-1.3
++++
Otonom
pascaganglionik
memiliki mula kerja yang relatif cepat, bupivakain memiliki mula kerja sedang,
sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat2.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten,
karena itu merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran yang
hidrofobik2,4. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan
meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul2.
2.7.Patofisiologi
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio
vertebra. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari
luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada
diantara arakhnoid dan piameter, sedangakan ruang antara ligamentum flavum dan
durameter merupakan ruang epidural11,13.
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan
posterior yang melewati cairan serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan
tempat aksi kerja utama pada anestesi spinal dan epidural, selain itu bisa bekerja
pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal. Dalam anestesi spinal
konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang
minimal pada medula spinalis13, 14.
Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang
subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada
daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal sedikit mengandung epineurium dan
impulsnya mudah dihambat, (2) daerah permukaan saraf yang terpajan akan
memudahkan absorpsi dari anestetik lokal. Oleh karena itu semakin jauh
penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin
menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3)
lapisan lipid pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel saraf 14. Absorbsi dan
distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak
faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari anestetik lokal serta posisi
pasien14. Selanjutnya obat memiliki akses bebas ke jaringan medula spinalis dan
bekerja langsung pada target lokal di membran sel saraf serta sebagian kecil dosis
dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini
tidak berikatan dengan protein terlebih dahulu13.
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi
lokal disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural
dan kaudal) dan menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang
epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF untuk anestesi spinal
memungkinkan dosis yang relatif kecil dan volume anestesi lokal untuk mencapai
blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi
pada akar saraf memerlukan volume dan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu,
tempat suntikan untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang harus
diblok. Blokade transmisi saraf (konduksi) dalam pada serabut saraf posterior
akan menghambat somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf
anterior mencegah eferen motorik dan outflow otonom6.
vasomotor secara primer ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari T5
dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari nervus ini
menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian darah dan
menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi ateria
dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Efek dari
vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan cara mengkompensasi
vasokonstriksi diatas blok. Blok simpatis yang tinggi tidak hanya
mengkompensasi vasokonstriksi tapi juga memblok serabut akselarator jantung
yang berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan oleh bradikardi dan
penurunan kontraktili jantung.
Hal ini dapat diperbaiki dengan cara
meningkatkan venous return dengan meninggikan kepala6.
Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal
ini diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg pada pasien
sehat akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun dengan
usaha ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat.
Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat dilakukan dengan
cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan simptomatik harus
ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi diterapi menggunakan
vasopresor. Direct -adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus
vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan
aliran balik vena dan resistensi sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan
efedrin adalah meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek
tidak langsung menghasilkan beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau
bradikardia bertahan meskipun intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus
diberikan segera6.
Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal
dengan blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang
berasal dari C3-C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal tidak
berubah, hanya ada sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan oleh
hilangnya kontribusi otot perut 'untuk ekspirasi paksa6.
Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan
neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf
aferen somatik dan viceral. Respon ini termasuk
peningkatan hormon
adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin melalui
sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade dapat
menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini6.
Eliminasi anestetik lokal terjadi melalui penyerapan oleh pembuluh darah
dalam ruang subarakhnoid dan epidural. Penyerapan ini terjadi pada pembuluh
arteri
pulmonal
serta
peningkatan
ventilasi
atau
4.
5.
6.
7.
8.
III.
lainnya.Absorbsi
deoxyhemoglobin
bervariasi
pada
setiap
gelombang
b. Nadi
nadi.
Anestesi
yang
terlalu
dalam
dapat
denyut
jantung.
Monitoring
nadi
akan
dan
tidak
vasokonstriksi.
c. Elektrokardiogram
EKG selama anestesi
efektif
dilakukan
pada
untuk
keadaan
memonitor
IV.
TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF
Terapicairanperioperatiftermasukpenggantiandeficitcairan,kehilangancairan
normaldankehilangancairanlewatlukaoperasitermasukkehilangandarah.
Kebutuhan Pemeliharaan Normal
Padawaktuintakeoraltidakada,deficitcairandanelektrolitdapatterjadidengan
cepatkarenaadanyapembentukanurinyangterusberlangsung,sekresi
gastrointestinal,keringatdaninsensiblelossesdarikulitdanparu.Kebutuhan
pemeliharaannormaldapatdiestimasidaritabelberikut:
TabelEstimasiKebutuhanCairanPemeliharaan
BeratBadanKebutuhan
10kgpertama4ml/kg/jam
1020kgkedua2ml/kg/jam
Masingmasingkg>20kg1ml/kg/jam
PadakeadaaninikehilangandarahdapatdigantidenganPackedredbloodcell.
EstimasivolumedarahdariTabel295.
Estimasivolumeseldarahmerah(RBCV)hematocritpreoperative(RBCV
preop).
Perkiraanjumlahdarahyanghilang=RBCVlostX3