Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS ANESTESI

Oleh : Wendy Wiharja


NIM : 07120100020
Pembimbing : dr. Rosalia AD, Sp.An, KIC

KEPANITRAAN KLINIK STASE ANESTHESIA


RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
PERIODE 1 DESEMBER 2014 3 JANUARI 2015

PENDAHULUAN
Pada kondisi pasien, tampak bahwa adanya sumbatan pada saluran digestive, yang
membuat kurangnya peristaltis pada usus dan menyebabkan timbulnya ileus obstruktif. Ileus
obstruktif sendiri dapat disebabkan oleh beberapa penyebab seperti : hernia, invaginasi/adhesi,
volvulus, dan strangulasi. Penyakit obstruksi pada kolon paling sering disebabkan oleh
karsinoma. Gejala yang ditimbulkan oleh pasien antara lain berupa gangguan faal pada usus
yakni mual, dan muntah, pendarahan saluran cerna bagian bawah, distensi/kembung, dan
biasanya muncul anemia. Obstruksi yang disebabkan oleh karsinoma akan menyebabkan
kelumpuhan mekanik otot usus secara total, sehingga tidak bisa hanya ditolong dengan NGT,
Puasa, maupun infus, dan membutuhkan suatu tindakan pembedahan, yang paling sering
mengunakan teknik laparotomi. 1
Eksplorasi laparotomi merupakan suatu tindakan operasi pada daerah abdomen, yang
dapat diaplikasikan pada bedah digestif maupun kandungan. Adapun tindakan bedah digestif
yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparotomi, yaitu: herniotomi, gasterektomi,
kolesistoduodenostomi,

hepateriktomi,

splenonotomi,

apendektomi,

dan

fistulektomi.

Sedangkan, tindakan bedah kandungan yang sering menggunakan teknik sayatan laparotomi
antara lain: histerektomi, eksenterasi pelvic, salphingo-coforektomi. 1
Teknik anestesi yang digunakan pada pembedahan eksplorasi laparotomi adalah dengan
teknik

General

anesthesia,

pertimbangan

dalam

penggunakan

teknik

anestesi

dan

penatalaksanaan di dalam ruang operasi berdasarkan kondisi jasmani pasien akan dibahas lebih
lanjut dalam bab pembahasan.

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN

Nama
Usia
Agama
Alamat
Status

: Ny. T
: 48 tahun
: Islam
: Jagakarsa
: BJPS

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 8 Desember 2014.

Keluhan utama
: Muntah sejak 1 hari SMRS
Keluhan tambahan : perut terasa begah, nyeri perut, nafsu makan menurun, sesak
napas.
Riwayat perjalanan penyakit sekarang
Pasien bernama Ny.T, berusia 48 tahun, datang ke UGD RSMC dengan keluhan
muntah muntah sejak 1 hari SMRS. pasien juga merasakan mual, terutama
setiap ada makanan atau minuman yang masuk ke dalam mulut pasien, sehingga
semenjak mual dan muntah ini pasien menjadi kehilangan nafsu makannya.
Pasien mengaku sudah muntah lebih dari 5 kali pagi ini, mual dan muntah
dirasakan sudah semenjak 4 hari SMRS, namun baru pagi ini bertambah parah.
Muntahan pasien bewarna hijau, tidak terdapat darah. Pasien juga mengaku
merasakan perutnya begah, seperti penuh dengan gas, pasien juga mengaku tidak
bisa buang angin sudah semjak 1 minggu SMRS. Semenjak awal sakit, pasien
mengaku merasakan nyeri pada ulu hatinya, nyeri besifat tajam dan perih,
kemudian beberapa hari SMRS, nyeri perutnya menyebar ke seluruh bagian perut,
dengan frekuensi yang terus-terusan. Pasien mengaku meminum obat-obatan
warung saat perutnya nyeri, namun tidak memperbaiki kondisi pasien. pasien
memiliki riwayat sakit maag, dan memiliki kebiasaan sering telat makan. Pasien
menyangkal adanya rasa pahit di lidah. Pasien juga mengaku adanya penurunan
nafsu makan semenjak 1 minggu SMRS, yang menurut pasien dikarenakan pasien
merasa mual setiap ada makanan atau minuman yang masuk dalam mulutnya.
Pasien juga merasakan adanya sesak napas, sesaknya timbul tiba-tiba tanpa

diawali oleh aktivitas terlebih dahulu, sesaknya tidak berubah seiring dengan
perubahan posisi. pasien menyangkal memiliki hipertensi, pasien menyangkal

memiliki penyakit DM, Asma (-), demam (-), penyakit jantung (-), alergi obat (-).
Riwayat penyakit terdahulu
Pasien pernah dirawat dengan keluhan keluar darah pada saat BAB, pada tanggal
3 April 2014, pada saat itu pasien di diagnosis menderita Anemia e/c melena, lalu
pada pasien di rawat dan mendapatkan terapi berupa : IVFD NaCl 0.9%, Inj.

Ceftriaxone, Inj. OMZ, Transfusi PRC, sucralfat sirup, antasida tab.


Riwayat penyakit keluarga
Hipertensi (-), DM (-), Keganasan (-), penyakit jantung (-), Asma (-)
Riwayat kebiasaan
Pasien mengaku tidak merokok, tidak meminum minuman beralkohol, dan tidak
menggunakan NAPZA.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran
TTV
Mata
THT
Leher
COR
Pulmo

Abdomen

Ekstremitas

: tampak sakit berat


: E3, M5, V4 ( GCS 12)/ CM
: Tekanan darah ( 140/90 mmHg), nadi 100x/mt REIC, laju
napas: 26x/mt, Suhu : 38 derajat C.
: Konjungtiva anemis (+/+), Sclera Ikterik (-/-), Reflek
cahaya (+/+).
: Tonsil T1/T1, Faring tenang tidak hiperemis
: tidak ada pembesaran KGB, JVP normal
: ictus cordis teraba pada ICS 5 garis MLCS, S1 S2 reguler,
Murmur (-), Gallop (-)
: gerakan 2 lapang dada simestris pada inspirasi dan
ekspirasi, pada perkusi ditemukan suara sonor, pada
palpasi tactile fremitus seimbang, pada auskultasi
ditemukan suara vesikuler, Rhonchi (-/-), Wheezing (-/-).
: pada inspeksi ditemukan perut tampak kembung dan
distensi, pada palpasi ditemukan hipertimpani, Pada
auskultasi ditemukan bising usus yang menurun,
pemeriksaan asites(-).
: akral hangat, CRT <2s, edema (-)

DIAGNOSIS KERJA
Dyspepsia
Anemia e/c Melena
Ileus Obstruktif dengan differential diagnosis berupa ileus paralitik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin
X-ray abdomen 3 posisi (lateral decubitus, erect position, supine position)
EKG
Cek Elektrolit
Hasil dari pemeriksaan penunjang
Tanggal 8 desember 2014
Darah Rutin :
1. Hemoglobin
: 8.9 gr/dl
2. Hematokrit
: 28%
3. Leukosit
: 7800 rb/ul
4. Trombosit
: 275.000 rb/ul
Elektrolit :
1. Na+ : 145 mmol/L
2. K+ : 2.35 mmol/L
3. Cl- : 100.9 mmol/L

Hasil EKG

Rate : 300/ 4 : 75-80 BPm


Rhytem : Sinus rhytem
Axis

: tidak ada deviasi axis

PR interval : normal, QRS complex : normal

ST- Segment : T-wave inverted Lead I, II, AvL, AVF, V2-V6 ( suspek antero-lateral
ischemia)
Hasil X-ray

Tampak adanya air fluid level dan herring bone ( Supek ileus Obstruktif )
PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan di UGD berupa:
1. IVFD Rl : D5% = 3:1 ( 30 GTT)
2. Inj. Ceftriaxone 2x1 Gr iv
3. inj Tramadol 3x100 mg iv
4. pemasangan NGT
5. pemasangan Kateter
6. Puasa
Pasien kemudiaan direncanakan untuk dilakukan operasi Eksplorasi Laparotomi

LAPORAN ANESTHESIA
Peri-operative: ( jam 14. 20 )
1. Pasien sudah dipasang IV line di tangan kiri dan diberi cairan RL dari UGD,
kemudian cairan di ubah menjadi widahaes, dan IV line juga dipasang di
tangan kanan.
2. Pasien juga dipasangkan tensimeter untuk mengukur tekanan darah di sisi
lengan kanan pasien, dan dipasang pulse oxymetry pada jadi telunjuk tangan
kiri pasien untuk mengukur saturasi oksigen
3. Tekanan darah ( 160/80 mmHg), Nadi : 100x/menit.
4. Pasien diberikan pre-oksigenisasi 2L, melalui face mask
5. Pasien diberikan pre-medikasi berupa: Myloz 2 mg, Fentanyl 100 mcg
6. Pasien kemudian diinduksi intravena dengan menggunakan : Safol 80 mg,
Roculax 30 mg.
7. Dilakukan intubasi Nasal menggunakan ETT nomer 6
8. Rumatan Anesthesia dilakukan dengan gas Anesthesia ( N2O : O2 :Enfluerene :
Halotane = 2L :2L : 2% Volume : 2% volume ).
9. Tekanan darah post induksi : 155/75 mmHg, dengan nadi 89x/menit.
10. Pasien diberikan : Ondancentrone 4 mg, Dexamethasone 5 mg, asam
Traneksamat 500 mg.
Operative :
1. jam 14.30 = TD ( 160/80 mmHg), Nadi 90x/menit
Operasi dimulai
2. Jam 14.35 = TD ( 160/80 mmHg), Nadi 85x/menit
Pasien diberikan Safol 10 mg iv
3. Jam 14.40 = TD ( 150/70 mmHg), nadi 80x/menit
4. jam 14.45 = TD ( 155/75 mmHg), nadi 80x/menit
5. Jam 14.50 = TD ( 155/75 mmHg), nadi 82x/menit
Pasien diberikan safol 10 mg iv

6. jam 14.55 = TD ( 140/70 mmHg), nadi 75x/menit


7. jam 15.00 = TD (145/70 mmHg), nadi 80x/menit
Pasien diberikan Roculax 10 mg iv
8. jam 15.05 = TD ( 140/70 mmHg), Nadi 80x/menit
9. jam 15.10 = TD ( 140/70 mmHg), Nadi 80 x/menit
2 kolf widahaes habis dan diganti dengan 2 kolf widahaes baru.
10. jam 15.15 = TD ( 135/60 mmHg), nadi 70x/menit
11. jam 15.20 = TD ( 145/75 mmHg), nadi 80x/menit
12. jam 15.25 = TD ( 140/70 mmHg), Nadi 80x/menit
13. jam 15.30 = TD ( 145/75 mmHg), nadi 80x/menit
14. jam 15.35 = TD ( 140/70 mmHg), Nadi 80x/menit
15. jam 15.40 = TD ( 135/60 mmHg), nadi 70x/menit
16. jam 15.45 = TD ( 145/75 mmHg), nadi 80x/menit
17. jam 15.50 = TD ( 140/70 mmHg), Nadi 80x/menit
18. jam 15.55 = TD ( 145/75 mmHg), nadi 80x/menit
1 kolf widahaes habis dan diganti dengan 1 kolf RL
Diberikan ketorolac 30 Mg secara drip
Diberikan tramadol 50 mg bolus IV
Diberikan penawar pelumpuh otot berupa prostigmine 5 mg
Dilakukan Ekstubasi
Kebutuhan cairan:
Operasi berlangsung selama 95 menit
BB : 60 Kg
Menurut anamnesa pasien tidak makan sejak 12 jam SMRS, kebutuhan
cairan pre-operasi : (4x 10 = 40 ml/jam ) + ( 2x10 = 20 ml/jam) + ( 1x40 =

40 ml/jam) = 100 ml/jam x 12 jam NPO = 1200 ml


Maintenance = (4x 10 = 40 ml/jam ) + ( 2x10 = 20 ml/jam) + ( 1x40 = 40
ml/jam) = 100 ml/jam x 1 jam 35 menit = 160-180 ml
Stress operasi = (operasi besar) = 8x 60 kg = 480 ml/jam ( 800-960 ml)
Penggantian cairan dari volume darah yang berkurang selama operasi :
3 ml x 100 ml = 300 ml

Total kebutuhan cairan : 2400 2600 ml

Pemberian Transfusi PRC 500 ml , 2 pack. Target HB > 10 gr/dl.


Pemberian pre-medikasi sebelum transfuse : furosemide 2x1 amp iv.
Pemberian ca-Gluconase setelah transfuse.
Jam 16. 15, pasien di pindahkan ke ruang perawatan pasca pembedahan
Post anesthetic Recovery ( Aldrette Score)
TIME ADM

10

15

Activity

Able to move 4 extremities


Able to move 2 extremities
Able to move 0 extremities

2
1
0

Respiration

Able to deep Breath and cough 2

10

10

Conciousnes
s
Color
Circulation

freely
Dypnea and limited breathing
Apnea
Fully awake
Arouseable on calling
Not responding
Pink
Pale, jaundiced,dusky, etc
cyanotic
BP +/- 20% of pre anesthetic
BP+/- 20-50% of pre-anestetic
BP >50 % of pre-anestetic

Score

1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0

PEMBAHASAN KASUS
Pasien bernama Ny.T, berusia 48 tahun, datang ke UGD RSMC dengan keluhan muntah
muntah sejak 1 hari SMRS. pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis (+/+). Pada
pemeriksaan Abdomen didapatkan perut tampak kembung dan distensi pada inspeksi, pada
palpasi ditemukan

hipertimpani, Pada auskultasi ditemukan bising usus yang menurun,

pemeriksaan asites(-). Pasien di diagnosis menderita ileus obstruktif dengan dd ileus paralitik
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan, Darah Rutin : Hemoglobin 8.9 gr/dl,
Hematokrit 28%, Leukosit 7800 rb/ul, Trombosit 275.000 rb/ul. Elektrolit : Na+ : 145 mmol/L,
K+ : 2.35 mmol/L, Cl- : 100.9 mmol/L. Hasil EKG menunjukkan adanya ischemia pada
anterolateral septal. Dari hasil x-ray abdomen 3 posisi didapatkan adanya gambaran air fluid
level yang menunjukkan adanya ileus obstruktif. Penatalaksanaan di instalasi UGD mencakupi :

pemasangan IVFD RL, inj ceftriaxone, pemasangan NGT, pemasangan Kateter. Pasien kemudian
direncanakan untuk dilakukan CITO eksplorasi Laparotomy.
Teknik Anesthesia yang digunakan pada pasien adalah General Anesthesia menggunakan
induksi Via Intravena. Biasanya beberapa sumber ada yang memberikan pandangan jika teknik
anesthesia yang digunakan adalah Spinal anesthesia ( Regional), namun mempertimbangkan
kondisi pasien yang membutuhkan penanganan dengan cepat dan segera, maka pasien
membutuhkan general anesthesia yang efek kerja nya lebih cepat ( efisiensi waktu), karena pada
spinal harus ditunggu pasien benar-benar merasa kebas dan tidak bisa diangkat kakinya baru bisa
di operasi. Teknik ekplorasi laparotomy pada pasien menggunakan sayatan vertical dengan
sayatan tinggi, sehingga memerlukan banyak regio pada abdomen yang harus ada di bawah
pengaruh anesthesia, sehingga membuat pemilihan spinal anesthesia lebih merugikan dibanding
general anesthesia, karena harus menginduksi pada lebih dari 1 regio. 2
Pada pasien terapi pemberian cairan menggunakan 4 tahapan yakni :
1. perhitungan cairan NPO ( nothing per-oral): menggunakan rumus kebutuhan cairan menurut
Holiday-segar, yakni 4-2-1. 4 ml pertama x 10 kg bb = 40 ml/Jam, lalu 2 ml kedua x 10 kg bb =
20 ml/jam, dan 1 ml terakhir x sisa bb = 1x40 ( 40 ml/jam ), jadi kebutuhan cairan karena NPO
adalah 100 ml/jam, menurut anamnesa pasien terakhir makan adalah 12 jam SRMS, maka cairan
yang harus dikejar adalah 100 ml/jam x 12 jam = 1200 ml. Disamping menggunakan rumus
Holiday-Segar, dapat juga menggunakan rumus ( 2 ml X BB x jumlah jam NPO), dengan
menggunakan rumus ini, didapatkan jumlah kebutuhan cairan NPO adalah 1440 ml 3, 4, 5
2. perhitungan maintenance cairan intra-operative, kembali menggunakan rumuh Holiday-segar,
didapatkan kebutuhan cairan adalah 100 ml/jam , lama operasi adalah 95 menit, maka pasien
membutuhkan kira-kira 160-180 ml 3,4,5
3. Perhitungan cairan stress (evaporative) pasca pembedahan jaringan, tebagi atas 3 kelas, yakni
ringan (0-2 ml/ kg/jam : contoh operasi seperti herniorrhaphy, FAM, soft tissue tumor resection),
sedang ( 2-4 ml/kg/jam : contoh seperti cholecystectomy, appendectomy, pembedahan batu
ginjal), berat ( 4-8 ml/kg/jam : contoh seperti eksplorasi laparotomi, bowel resection, organt
transplant, CABG). Pada pasien, jenis operasi masuk dalam kategori operasi berat, sehingga
perhitungan cairan untuk stress operative adalah 8ml x 60 kg = 480 ml. 3,4,5

4. perhitungan cairan untuk penggantian volume darah yang keluar, dari beberapa sumber,
didapatkan bahwa menggunakan konstanta 3cc x setiap cc darah yang keluar untuk RL, dan ratio
1: 1 untuk cairan Colloid. Pada pasien volume darah yang keluar sekitar 100 cc, maka cairan
yang dibutuhkan adalah : 3x100 = 300 ml ( RL ) dan 100 cc ( Colloid) 3,4,5
Total cairan yang dibutuhkan oleh pasien adalah : 2400-2600 ml.
Pemilihan cairan infus pada pasien adalah menggunakan cairan Colloid ( Wida-haes).
Pemberian cairan pada pasien mempertimbangkan sangat minimnya cairan di dalam
intravascular, dikarenakan pasien sudah tidak makan dan minum semenjak 12 jam SMRS, dalam
perhitungan, pasien sudah kekuranagan sekitar 1200-1440 ml, yakni >15% dari Volume cairan
tubuh. Yang dapat dikategorikan sebagai hypovolemic shock berat. Fungsi dari pemberian cairan
colloid adalah untuk meningkatkan tekanan oncotic di dalam intravascular sehingga meretensi
cairan agar tidak keluar ke dalam rongga interstisial. Penggunaan cairan ini sangat dibutuhkan
apabila transfuse darah masih belum tersedia. Di samping itu, colloid juga biasanya digunakan
pada kasus-kasus resusitasi cairan pasca burn atau hypoalbuminemia. Apabila pasien
membutuhkan transfusi cairan antara 3-4 Liter, maka biasanya cairan infuse akan
dikombinasikan antara crystalloid dan colloid.

Cairan Crystalloid lebih digunakan apabila terdapat gangguan elektrolit khususnya pada
Na+ dan Cl-. Cairan ini meningkatkan NaCl untuk dapat menarik air ke dalam intravascular,
sehingga dapat meningkatkan volume cairan dalam tubuh. Pada pasien Nilai Na+ dan Cl- nya
masih dalam batas normal, sehingga colloid lebih dipilih sebagai cairan infuse ketimbang
menggunakan cairan crystalloid. Di samping itu, penggunaan cairan crystalloid akan lebih
cenderung menghabiskan jumlah yang mencapai 3 sampai 4 kali lipat dibandingkan volume
cairan colloid yang digunakan untuk transfusi

Tabel penjelasan tanda-dan gejala hypovolemia. 8

sign
Mucous membrane
sensorium
Ortostatic changes
- in HR

Percentage fluid loss (%)


5% ( mild)
10% ( moderate)
dry
Very dry
normal
lethargic
none
present

15 % ( severe)
parched
Confused / apathy
Marked
Elevate > 15 bpm

-in BP

decrease> 10 mmhg

Urinary flow rate

Mildly decreased (80- Moderate

Pulse rate

100 cc)
normal

( 40-80 cc)
( 20-40 cc)/ anuria
Moderate increased 120-140 bpm or more

normal

( 100-120 bpm )
higher
Moderate decreased Severe decreased or

Blood Pressure

decreased Severely

( < 100/70 mmHg)

decreased

undetected ( < 90/60)

Dalam operasi, terutama operasi besar, perlu diperhatikan jumlah volume darah yang
boleh keluar. Rumus yang digunakan adalah RBCV lost = 30% dari RBCVpre-op. Pada laki-laki
dewasa jumlah darah rata-rata dalam tubuh adalah 75 ml/Kg, sedangkan pada wanita adalah 65
ml/Kg. Hematokrit pada pasien adalah 28%, maka RBCV Pre-op nya adalah : 65 x 60 = 3900 ml x
28% = 1097 ml . RBCV post-op = 30% dari RBCV pre-op (330 ml), maka volume darah maksimal yang
boleh kelaur adalah 330 mL pada pasien.8
Pada pasien tampak adanya kondisi hipokalemia, ( K+ = 2.35 mmol/L), hipokalemia
paling sering menyebabkan gangguan irama jantung, yakni arritmea. Pada fase akut, biasanya
akan menyebabkan kelainan pada repolarisasi dari ventrikel, sehingga akan menyebabkan
gambaran berupa T-flat atau T-inverted, dan ST segmen- Depresi. Penatalaksanaan hipokalemia
meliputi secara Per-oral melalui KSR tab, atau melalui intravenous potassium ( 10-20 mEq/jam).
Biasanya IV potassium hanya diberikan apabila timbul gambaran aritmea pada EKG pada saat
fase intra-operative. 9
Pembahasan medikasi anesthesia pada pasien 10
1. Mylos / Dormicum ( midazolam) : merupakan golongan benzodiazepine. Biasanya digunakan
sebagai premedikasi sebelum induksi. Dosisnya adalah 0.7-0.15 mg/kg bb. Mekanisme kerjanya
adalah inhibisi dari GABA receptor sehingga mengurangi membrane repolarisasi pada CNS, dan
menyebabkan efek sedasi. Antidotum : Flumezamil.
2. Fentanyl, merupakan golongan opiod. Termasuk obat obatan premedikasi, dosis yang biasa
diberikan adalah 2-150 mcg/kg. Mekanisme kerja nya adalah inhibisi dari reseptor rasa nyeri

alpha , gamma, dan Kappa pada CNS, sehingga dapat memberika sensasi analgetik yang kuat.
Antidotum : Naloxone
3. Safol, memiliki mekanisme kerja berupa inhibisi dari neurotransmitter eksitasi dan
polisinaptic reflex receptor pada spinal cord, sehingga dapat menurunkan awareness pada pasien
dan menyebabkan pasien masuk dalam kondisi tidak sadar. Merupakan obat untuk induksi
anesthesia, maupun sebagai obat maintenance. Dosis yang biasa digunakan 2-12 mg/kg BB.
4. Roculax, golongan NMBA, tipe non-depolarizing, merupakan muscle relaxant, dosis yang
biasa diberikan adalah 0.45 0l9 mg/kg bb.
5. Ondancentrone, anti emetic, dosis 4 mg- 8 mg
6. Dexamethasone, Glucocorticoid, mencegah reaksi alergi dan edema. Dosis 5 mg
7. Asam Traksenamat, merupakan golongan anti fibrinolitik, mencegah pembekuan darah, dosis
500 mg

DAFTAR PUSTAKA
1. American Society of Anesthesiologists (ASA). Continuum of Depth of Sedation
Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia. Amended October
21,

2009.

ASA

Web

site.

Available

at

http://www.asahq.org/publicationsAndServices/standards/20.pdf.
2. Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, et al. The incidence of awareness during
anesthesia: a multicenter United States study. Anesth Analg.
3. Jenkins K, Baker AB. Consent and anaesthetic risk. Anaesthesia.
4. American Society of Anesthesiologists (ASA). Standards for basic anesthetic monitoring.
Approved by ASA house of delegates October 21, 1986.
5. Shah A, Shelley KH. Is pulse oximetry an essential tool or just another distraction? The
role of the pulse oximeter in modern anesthesia care. J Clin Monit Comput.

6. Bergek C, Zdolsek JH, Hahn RG. Accuracy of noninvasive haemoglobin measurement by


pulse oximetry depends on the type of infusion fluid. Eur J Anaesthesiol.
7. Fischer SP. Development and effectiveness of an anesthesia preoperative evaluation clinic
in a teaching hospital. Anesthesiology.
8. Ezri T, Warters RD, Szmuk P, et al. The incidence of class "zero" airway and the impact
of Mallampati score, age, sex, and body mass index on prediction of laryngoscopy grade.
Anesth Analg.
9. Ramachandran SK, Nafiu OO, Ghaferi A, Tremper KK, Shanks A, Kheterpal S.
Independent predictors and outcomes of unanticipated early postoperative tracheal
intubation after nonemergent, noncardiac surgery. Anesthesiology.
10. Practice guidelines for preoperative fasting and the use of pharmacologic agents to reduce
the risk of pulmonary aspiration: application to healthy patients undergoing elective
procedures: a report by the American Society of Anesthesiologist Task Force on Preo

Anda mungkin juga menyukai