Anda di halaman 1dari 34

Bagian Ilmu Kesehatan Anestesi Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Februari 2020


Universitas Pattimura

KOMBINASI ANESTESI SUBARACHNOID DAN ANESTESI UMUM PADA


PASIEN DENGAN PERITONITIS GENERALISATA + ABSES TUBOOVARIAL
DEXTRA + KISTA SALPINGX SINISTRA + ADHESI GRADE IV-PERLENGKETAN
DENGAN PERITONEAL PELVIC + APENDISITIS SUPURATIF

Oleh:
Nazliah Awwaliah Rustam Syarbin
NIM. 2018-84-077

Pembimbing:
dr. Ony W. Angkejaya, Sp.An.
dr. Fahmi Maruapey, Sp.An.

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Kesehatan Anestesi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura
Ambon
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, laporan kasus dengan judul “Anestesi Regional” dapat penulis
selesaikan tepat pada waktunya.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:


1. dr. Fahmi Maruapey, Sp.An dan dr. Ony W. Angkejaya, Sp.An sebagai
pembimbing yang dengan penuh ketulusan hati telah membimbing penulis,
sehingga dapat membuka cakrawala berpikir dan menambah pengetahuan
penulis menjadi lebih baik.
2. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan baik moril, maupun materil.
3. Kepada seluruh teman-teman sejawat yang dengan tulus memberikan semangat,
khususnya kepada teman-teman sejawat dalam Stase Anestesi.

Ambon, Fabruari 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………….ii

Daftar isi ………………………………………………………………….iii

Bab 1 Pendahuluan ……………………………………………………………...4

Bab 2 Isi …………………………………………………………………..6

2.1 Definisi Anestesi regional (RA) …………………………………………….6

2.2 Pembagian RA ………………………………………………………………6

2.3 Tahapan tindakan RA ……………………………………………………….19

2.4 Keuntungan dan kerugian RA ………………………………………………22

2.5 Blok Neuroaksial RA ……………………………………………………….23

2.6 Blok Perifer RA …………………………………………………………….49

Daftar pustaka …………………………………………………………………..52

3
BAB I
PENDAHULUAN

4
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. HP
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Naku
Golongan Darah :-
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan :-
Diagnosis Pre Operasi : Peritonitis umum ec suspek apendisitis perforasi
Diagnosis Post-Operasi : Peritonitis umum + apendisitis supuratif + adhesi grade IV +
abses tuboovarial dextra + hidrosalpingx sinistra +
perlengketan peritoneal-pelvic
Jenis Pembedahan : Laparatomi + apendektomi-salpingooverektomi bilateral-
adhesiolisis
Jenis Anestesi : SAB + Anestesi Inhalan +Anestesi intravena total
Tanggal MRS : 5 Februari 2020 (Pukul 20.30 WIT-di IGD)
Tanggal Operasi : 6 Februari 2020
Agama : Protestan
Suku/Bangsa : Indonesia

B. EVALUASI PRE-ANESTESI
1. ANAMNESIS
 Keluhan utama
Nyeri seluruh perut
 Anamnesis terpimpin
Keluhan dirasakan kurang lebih 1 minggu SMRS, namun memberat 1 hari SMRS.
Keluhan awalnya dirasakan pada perut kanan bawah kemudian menjalar pada seluruh

5
perut. Keluhan disertai perut kembung dan agak keras seperti papan. Selain itu juga, 2
hari SMRS, pasien mual-muntah sebanyak 2x dengan konsistensi cair berwarna putih.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Riw. Asma :-
Riw. Kejang :-

 Riwayat Penyakit Keluarga


Riw. DM :-
Riw. Hipertensi : -

 Riwayat Operasi & Anestesi


Tidak Ada

 Riwayat Alergi
Tidak ada

 Riwayat Obat-Obatan
Tidak ada

2. Pemeriksaan Fisik
 Status Gizi : Normal
 Keadaan Psikis : Baik.
B1 : A: bebas; B: spontan; RR: 20x/m reguler; Inspeksi: pergerakan dada
simetris ki=ka; Auskultasi: suara napas vesikuler ki=ka; SpO2: 99%

B2 : Akral hangat, kering, merah; TD:-mmHg; N:110x/m reguler, kuat


angkat; S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).

B3 : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+.

B4 : BAK (+) kateter

B5 : Inspeksi: datar, sikatriks (-) linea mediana abdomen. Palpasi: keras


seperti papan, nyeri tekan seluruh region abdomen, Auskultasi: BU
menurun
B6 : Fraktur (-), oedema (-).

6
3. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Jumlah Eritrosit : 4,04 x 106/mm3
Hemoglobin : 12,1 g/dL
Hematokrit : 35%
MCV : 87 m3
MCH :29,8 pg
MCHC : 34,4g/dL
RDW : 12,5 %
Jumlah Trombosit : 179.000/mm3
MPV : 8,4 m3
PCT : 0,151%
PDW : 16,8%
Jumlah Leukosit : 9.900/mm3
LED : - mm/jam
Hitung Jenis
Neutrofil : - %
Limfosit :25,3%
Monosit : -%
Eosinofil : 1%
Basofil : 0,5%
Masa perdarahan :-
Masa Pembekuan : -
Glukosa Sewaktu:148 mg/dL
Ureum : 21mg/dL
Kreatinin : 1 mg/dL
Asam Urat :-
Kolestrol Total : -
SGOT : 84 u/L
SGPT : 99 u/L
Bilirubin Total : -
Bilirubin Direk : -

7
Bilirubin Indirek : -
GGT : -
Protein Total : -
Elektrolit : -
Natrium : -
HBsAg : Tidak diperiksa
Anti HIV : Tidak diperiksa
 Foto Thorax PA: Tidak ada

4. Diagnosis
Pro-operatif
 Peritonitis umum ec suspek apendisitis perforasi
 PS ASA II
Post-operatif
 Peritonitis umum + apendisitis supuratif + adhesi grade IV + abses tuboovarial dextra
+ hidrosalpingx sinistra + perlengketan peritoneal-pelvic
 PS ASA II

5. Planning
 Pro laparatomi-apendektomi
 Stop intake oral 30 jam (Mulai puasa jam 04.00 WIT (5/2/2020)-10.00 WIT)
 Antibiotik, PPI (Proton pump inhibitor) profilaksis, dan analgesik
 Rencana Anestesi: SAB + Anestesi Inhalasi + TIVA

C. PRE-OPERATIF
 Diagnosa Pra Bedah: Peritonitis umum ec suspek apendisitis akut
 Jenis Pembedahan: Laparatomi + apendektomi-salpingooverektomi bilateral-
adhesiolisis
 Jenis Anestesi : SAB dengan Bupivacain 0,5%, General Anestesi dengan ETT
Intubasi menggunakan Isofluran 1,5%-Sevoflurane 2%, anestesi intravena total
dengan fentanil dan propofol
 Posisi: Supine
 Lama Anestesi: 340 menit ( 10.05-14.41)

8
 Lama Operasi: 35 menit (10.10-14.35)
 Premedikasi: Ceftriaxon 500 mg/iv (07.00 WIT), Omeprazol 40 mg (07.00 WIT), dan
ketorolac 30 mg/ml (07.00 WIT)

Tindakan Anestesi Regional dengan Sub Arachnoid Block


 Informed Consent
Pasien diposisikan pada posisi supine dan memastikan kondisi pasien.
 Memposisikan pasien dengan kondisi duduk, meluruskan punggung tapi tetap dalam
keadaan tidak tegang dan menundukkan kepala.
 Identifikasi ruang interspinosus L4-L5.
 Septik - aseptik pada lokasi anestesi dengan betadine-alkohol
 Insersi spinal cath no. 27 dengan introducer di area L3-L4
 Barbotage (+)  LCS (+), darah (-)
 Masukkan regimen anestesi dengan Bupivacain 0,5% 20 mg, kemudian dilakukan
pengecekan area sensoris, motoris dan tanda-tanda toksikasi pada pasien.

 Tindakan General anestesi dengan intubasi (pukul 11.45 WIT)


1. Scope : Stetoskop
2. Tube : ETT (Endo Tracheal Tube)
3. Airway : OPA (Oro Pharyngeal Airway)
4. Tape : Plester
5. Introducer : Stylets
6. Connector : Penyambung pipa dan peralatan anestesi
7. Suction : Penyedot dan tabung
 Obat-obatan :
1. Midazolam 2 mg
2. Fentanyl 50 mg
3. Propofol 100 mg
5. Isoflurane 1,5%
6. Sevoflurane 2 %

D. TEKNIK ANESTESI

9
1. Akses IV : Premedikasi diberikan fentanil 50 mg setelah 5 menit kemudian diberikan
midazolam 2 mg, kemudian diberikan propofol 100 mg, preoksigenasi selama 5 menit
2. Dilanjutkan dengan pemasangan face mask dan mulai berikan O2 dan isoflurane 1,5%
MAC selama 30 menit kemudian injeksi atracurium 3 mg
3. Intubasi: Ganjal bahu dengan batal, sniffing position, lepas face mask, masukkan
laringoskop ukuran 3,5 jenis non king-king, masukan ETT dengan ukuran no.7
4. Sambungkan ujung ETT dengan selang mesin anestesi, pastikan ETT sudah masuk ke
trakea dan periksa napas kanan kiri, fiksasi ETT dengan plester/tape, pasang OPA,
berikan O2 dan diberikan isoflurane 1,5%, kemudian sekitar 25 menit dihentikan lalu
diberikan sevoflurane 2%. Karena selama operasi sevoflurane habis, maka diganti
kembali menjadi isoflurane 1,5%.

E. INTRA OPERATIF
I. Keseimbangan cairan:
 Cairan masuk : PO (RL 1500 cc) DO (RL 2500 cc)
 Cairan keluar (Urin) : PO (200 cc) DO (900 cc)
 Defisit cairan karena puasa = 2 cc x 50 kg x 30 jam = 3000 cc
 Kebutuhan cairan durante operate dan trauma operasi 5 jam (4 cc/kgBB/jam)  4 cc
x 50 kg x 5 jam = 1000 cc
 Estimated Blood Volume (EBV) = 70 cc x 50 kg = 3500 cc
 Kehilangan darah sekitar 500 cc
500 𝑐𝑐
 = 14%
3500 𝑐𝑐

 Diganti dengan kristaloid dan koloid (Whole Blood)  (3x500 cc) + 350 cc = 1850 cc
 Kebutuhan cairan total = 3000 cc + 1000 cc + 1850 cc = 5.850 cc

II. Cairan yang sudah diberikan


1. Pra-anestesi = 1500 cc RL (di bangsal) + 1000 cc RL (guyur pra-anestesi karena
hipotensi TD 82/45 mmHg) = 2500 cc
2. Saat operasi = (5 x 500 cc RL) + (500 cc Sanbe Hest) + 350 cc WB = 3.350 cc
3. Total cairan = 2.500 cc + 3.350 cc = 5.850 cc
Jadi, kebutuhan cairan pasien ini sudah terpenuhi namun sedikit berlebih (+500 cc)
sehingga perawatan cairan di ruangan diperlukan saat pasien di bangsal, diperhatikan
kemungkinan terjadi overload cairan dan produksi urin.
 Kebutuhan Cairan Basal (M) :

10
o Kebutuhan cairan basal (rutin, rumatan) ialah :
4ml/kgBB/jam tambahkan untuk berat badan 10 kg pertama

2ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg kedua

1ml/kgBB/jam tambahkan untuk sisa berat badan

o Pada pasien ini BB= 11 kg maka diperoleh kebutuhan cairan basalnya adalah
sebagai berikut :
(4x 10kg) + (2x10 kg) + (1x30 kg) = 900 cc

 Kebutuhan cairan operasi (O) :


o Kebutuhan cairan operasi tergantung pada besar kecilnya pembedahan, 6-8
ml/kg untuk operasi besar, 4-6 ml/kg untuk operasi sedang, dan 2-4 ml/kg
untuk operasi kecil.
o Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan operasinya adalah sebagai berikut :
Operasi berat x Berat badan : 8 x 50 kg = 400 cc

 Kebutuhan cairan puasa (P) ;


Lama jam puasa x 90

30 x 90 = 2.700 cc (50%  1350 cc)

 Pemberian cairan jam pertama :


Kebutuhan cairan basal + kebutuhan cairan operasi + 50% kebutuhan cairan puasa

90 cc + 400 cc + 1.350 cc = 1.840 cc

11
Gambar 1. Laporan Intraoperatif

E. POST-OPERATIF

 B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 20 x/m, Rh (-), Wh (-).


 B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 105x/menit, TD: 112/62 mmHg, S1S2 reguler,
murmur (-), gallop (-).
 B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
 B4: BAK (+) kateter
 B5: BU (+) kesan menurun
 B6: edema (-), deformitas (-)
 Terapi:
• Awasi TTV tiap 15 menit selama 2 jam
• Head up 30o

12
• Ketorolac 3x30 mg/mL, Tramadol 3x50 mg/mL, Ondancetron 4 mg/2 mL,
Ranitidine 50 mg/2 mL
• Lain-lain sesuai terapi dari dokter Bedah-dokter Obgyn

BAB III
DISKUSI

13
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, pasien
awalnya didiagnosis dengan peritonitis umum ec suspek apendisitis supuratif, namun setelah
operasi pasien didiganosa dengan peritonitis umum, abses tuboovarial dextra, hidrosalpingx
sinistra, adhesi peritoneal-pelvic grade IV dengan PS ASA II. Menjelang operasi pasien
tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, dan sedikit kesakitan. Pasien telah berpuasa
dari pukul 10.00 WIT pada tanggal 5 Februari 2020, sehingga total lama puasa pasien sekitar
30 jam (terhitung sampai sesaat sebelum masuk ke ruangan operasi). Pasien telah
direncanakan untuk dilakukan SAB.

Saat di ruangan operasi, tekanan darah dan nadi sebelum diberikan pre-medikasi
berturut-turut adalah 93/60 mmHg dan 107x/menit. Selang beberapa saat, kemudian tekanan
darah pasien turun sekitar 82/45 mmHg (hipotensi) dan nadi 108x/menit (takikardi), CRT
(Capillaru Refill Time) memanjang, mukosa bibir kering, akral dingin dan basah, hal ini dapat
dikarenakan karena syok akibat puasa yang lama (> 6-8 jam (puasa pre-anestesi)) dan
peritonitis umum yang dialami pasien dimana pada peritonitis terjadi translokasi cairan dan
elektrolit ke dalam peritoneum sehingga terjadi kekurangan cairan dan elektrolit di dalam
darah dan sel. pasien kemudian diberikan ringer laktat (RL) 1000 cc (700 cc pertama tekanan
darah pasien naik sekitar 90/45 mmHg, kemudian dokter Anestesi mempertimbangkan untuk
melakukan SAB sambil melanjutkan guyur cairan RL sekitar 3 kolf (1500 cc RL). Dokter
anestesi memberikan pramedikasi fentanil 50 mg (sesuai dengan dosisnya 1-2 mcg/kgBB (50-
100 mcg)) sekitar pukul 10.00 WIT, kemudian diinduksi dengan propofol 100 mg (sesuai
dengan dosis induksinya 2-2,5 mg/kgBB (100-125 mg)) setelah diberikan fentanil tadi. Pasien
kemudian dilakukan SAB dengan posisi lateral decubitus dengan Bupivacaine o,5%
hiperbarik sekitar pukul 10.05 WIT.

Selain itu, juga diberikan efedrin 10 mg sekitar pukul 10.15 WIT. Tekanan darah
pasien masih sekitar 90 - < 100/40-60 mmHg dengan nadi sekitar 100-110x/menit. Tensi
pasien masih turun sekitar 80/60 mmHg lalu diberikan efedrin 10 mg sekitar pukul 10.20
WIT. Tensi pasien kembali lagi sekitar 90 - < 100/40-60 mmHg dengan nadi sekitar 100-
110x/menit. Pasien kemudian diberikan midazolam 2 mg (sesuai dosis maintenance 0,05-1
mg/kgBB (2-50 mg)), fentanil 50 mcg (dosis maintenance 1-2 mcg/kgBB (50-100 mcg).
Keduanya diberikan sekitar 10.50 WIT. Kurang lebih 2 jam waktu operasi, dokter anestesi
mempertimbangkan untuk melakukan anestesi umum dengan anestesi inhalasi. Hal ini
dipertimbangkan karena durasi kerja obat SAB sudah hampir selesai (120-180 menit).

14
Pasien kemudian diinduksi dengan propofol 50 mg dan dilakukan denitrogenisasi
ditambahkan dengan isoflurans 1,5% dengan oksigen. Saat refleks bulu mata hilang (tahap 3
pembedahan) sambil dilakukan kurerisasi yaitu diinjeksi juga atracurium 3 mg sebagai
relaksan otot sebelum dilakukan intubasi. Intubasi dilakukan menggunakan laringoskop no. 3
tipe non king-king dan ETT nomor 7 (sesuai dengan diameter ETT usia wanita dewasa sekitar
6,5-8,5 (28-30 F) dengan jarak sampai bibir sekitar 20-24 cm)), kemudian ciff
dikembangkan, lalu dihubungkan dengan connector dan diberikan dosis maintenance
isoflurans 1,5% (dosis normalnya 2-4%). Dosisnya sedikit dikurangi karena sebelumnya telah
diberikan analgesik dan sedatif/hipnotik sehingga diharapkan efek sistemik yang merugikan
dapat dikurangi pada pasien setelah operasi. Selang sekitar 30 menit, dokter anestesi
mengganti isoflurans dengan sevoflurans 2 % (dosis normalnya 2-4%) , namun selang sekitar
15 menit sevofluran habis kemudian diganti dengan isoflurans kembali dengan dosis volume
1,5%. Sekitar 1 jam operasi, kemudian pasien sedikit bergerak (motorik involunter) kemudian
diberikan lagi atracurium 1 mg sekitar jam 12.50 WIT. Tekanan darah pasien sempat turun
dalam selang waktu 30 menit sebelum diberikan sevoflurans jadi diberikan lagi efedrin 10 mg
sekitar jam 11.50 WIT. Selain itu juga, tekanan darah pasien naik kembali dan turun kembali
5 menit setelah pemberian atracurium kedua tadi. Kemudian berikan lagi efedrin 10 mg
sekitar jam 13.05 WIT.

Premedikasn pada pasien ini diberikan pada pasien ini bertujuan untuk Menimbulkan
rasa nyaman bagi pasien termasuk menghilangkan rasa khawatir, memberikan ketenangan
(sedatif), menciptakan amnesia, mengurangi rasa sakit (analgetik non/narkotik), mengurangi
kejadian mual dan muntah. Juga memudahkan atau memperlancar induksi (hipnotik / sedatif),
mengurangi jumlah obat-obat anestesi (hipnotik / sedatif), mengurangi sekresi kelenjar saliva,
membantu pengosongan lambung, mengurangi produksi asam lambung atau meningkatkan
pH asam lambung, serta menekan dan mencegah refleks-refleks yang tidak diinginkan. Selain
itu juga untuk vagolisis, pengurangan total kebutuhan anestesi,4 Selain itu pemberian
antibiotik profilaksis diperlukan, antibiotik pra-operasi IV harus diberikan dalam 60 menit
(idealnya dalam 30 menit) dari insisi kulit. Pemberian setelah sayatan kulit atau lebih dari 60
menit sebelum sayatan mengurangi efektivitas. Satu dosis umumnya cukup untuk profilaksis,
bila diperlukan. Dosis profilaksis kedua harus diberikan intra-operasi jika prosedur lebih lama
dari dua waktu paruh. Pada pasien ini diberikan ceftriaxone 500mg/IV. Ceftriaxone adalah
antibiotik spektrum luas yang dapat digunakan untuk mengatasi kuman gram-positif maupun
negatif. Obat ini merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga.5,6

15
Pada pasien ini diberikan induksi propofol 100 mg.. Mekanisme aksi pada saraf pusat
sistem melibatkan interaksi di berbagai reseptor neurotransmitter, terutama gamma-
aminobutyric acid A (GABA). Karakteristik pemulihan yang cepat, dan akumulasi propofol
yang relatif kecil bahkan setelah infus lama membuatnya menjadi pilihan untuk menginduksi
dan mempertahankan anestesi umum. Premedikasi dengan benzodiazepine atau opioid, atau
keduanya secara signifikan dapat mengurangi dosis induksi.7

Selain itu, pada pasien juga diberikan fentanyl 50 mcg (dosis 1-2µg/kgbb). Fentanyl
merupakan opioid utama yang digunakan dalam periode perioperatif untuk mencegah respon
terhadap stimulus nyeri seperti intubasi endotrakeal dan insisi bedah. Obat ini memiliki
potensi 1000x lebih kuat dibandingkan petidin dan 50-100x lebih kuat dari morfin. Mulai
kerjanya cepat, dengn durasi kerja pendek, obat ini dimetabolisme dalam hati menjadi
norfentanil dan hidroksipropionil fentanyl dan hidroksipropionil norfentanil, yang selanjutnya
dibuang melalui empedu dan urin. Efek analgesik berlangsung kira-kira 30 menit untu itu
hanya digunakan periopratif dan tidak untuk pasca operatif.5

Penggunaan pelumpuh otot misalnya atracurium diberikan sebelum dilakukan intubasi


untuk mencegah terjadinya spsme laringx setelah diberikan propofol. Selama operasi
berlangsung diberikan induksi inhalasi berupa Sevoflurane 2 % melalui mesin anestesi.
Sevoflurane dipiilih dengan pertimbangan bahwa obat ini relatif aman untuk anak karena
tidak mengiritasi saluran napas. Kerjanya yang cepat serta waktu pemulihan yang cepat
setelah pemberian dihentikan juga membuatnya menjadi lebih disukai. Induksi cepat tercapai
dengan pemberian sevofluran 2-4 %, pada pasien ini diberikan Sevoflurane 2 %. Selama
operasi berlangsung dilakukan pemantauan tanda vital berupa nadi , dan saturasi oksigen
setiap 5 menit secara efisien dan terus menerus, dan pemberian cairan intravena berupa RL.
Cairan yang diberikan adalah RL (Ringer Laktat) karena merupakan kristaloid dengan
komposisinya yang lengkap (Na+, K+, Cl-, Ca++, dan laktat) yang mengandung elektrolit untuk
menggantikan kehilangan cairan selama operasi, juga untuk mencegah efek hipotensi akibat
pemberian obat-obatan intravena dan gas inhalasi yang mempunyai efek vasodilatasi.

Setelah operasis selesai, hemodinasik pasien sudah membaik dan stabil . Hal ini
dilihat dimana tekanan darah pasien 112/62 mmHg, nadi 105x/menit, saturasi pasien 100%.
Ekstubasi dilakukan sesaat sebelum pasien ke ruang pemulihan dimana pasien sudah
teranestesi ringan detandai dengan napas spontan, dan pasien merespon saat dibangunkan,
dan tidak ada komplikasi saat intubasi. Sebelum ekstubasi, rongga mulut, faring-laring pasien

16
di-suction dari sekret dan cairan lainnya. Suction dilakukan sekitar jam 14.22 WIT.
Observasi pasien dilanjutkan di recovery room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital
meliputi nadi, respirasi dan saturasi oksigen. Hemodinamik pasien stabil saat di RR sampai
saat pasien dikembalikan ke ruangan dengan hasil skor Aldrete 9.

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abses tuboovarial, Hidrosalping, Apendisitis, dan Peritonitis


Abses ini dapat muncul setelah onset salpingitis, namun lebih sering akibat infeksi
adnexa yang berulang. Pasien dapat asimptomatik atau dalam keadaan septic shock. Onset
ditemukan 2 minggu setelah menstruasi dengan nyeri pelvis dan abdomen, mual, muntah,
demam, dan takikardi. Seluruh abdomen tegang dan nyeri. Leukosit dapat rendah, normal,
atau sangat meningkat. Diagnosa diferensial yaitu kista ovarium, neoplasma ovarium,
kehamilan ektopik, dan periapendiceal abses. Penatalaksanaan awal dengan antibiotik. Jika
massa tidak mengecil setelah dua atau tiga (2 3) minggu terapi antibiotik, merupakan indikasi
pembedahan. PID dapat didiagnosa dengan riwayat nyeri pelvis, sekresi cairan vagina, nyeri
tekan adnexa, demam, dan peningkatan leukosit.

17
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :
• Nyeri tekan perut bagian bawah
• Pada pemeriksaan pelvis dijumpai sekresi cairan mukopurulen,nyeri pada pergerakan
serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang bilateral
• Mungkin ditemukan adanya massa adnexa
Beberapa tanda tambahan adalah :
1. Suhu oral lebih dari 38ºC
2. Pemeriksaan Laboratorium
• Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit
Lebih dari 100.000 pada 50% kasus. Hitung leukosit mungkin normal, meningkat,
atau menurun, dan tidak dapat digunakan untukmenyingkirkan PID.
• Peningkatan eritrosit sediment rate digunakan untukmembantu diagnose namun tetap
tidak spesifik.
• Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.
•Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidyadigunakan untuk
mengkonfirmasi PID.
• Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih.

3. Pemeriksaan Radiologi
Transvaginal ultrasonografi: pemeriksaan ini memperlihatkanadnexa, uterus, termasuk
ovaroium. Pada pemeriksaan ini PID akut Nampak dengan adanya ketebalan dinding tuba
lebih darilima (5) mm, adanya septainkomplit dalam tuba, cairan mengisituba fallopi, dan
tanda cogwheel. Tuba fallopi normal biasanyatidak terlihat pada USG. • CT scan digunakan
untuk mendiagnosa banding PID. PenemuanCT scan pada PID adalah servisitis, ooforitis,
salpingitis, penebalan ligament uterosakral, dan adanya abses atau kumpulan cairan pelvis.
Penemuan CT scan tidak spesifik pada kasus PID dimana tidak ada bukti abses. • MRI jarang
mengindikasikan PID. Namun jika digunakan akanterlihat penebalan, tuba yang berisi cairan
dengan atau tanpa cairan pelvis bebas atau kompleks tubaovarian.
4. Prosedur Lain
Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID. Mengevaluasi cairan
di dalam abdomen dilakukan untukmenginterpretasi kerusakan. Pus menunjukkan adanya

18
abses tubaovarian, rupture apendiks, atau abses uterin. Darah ditemukan pada ruptur
kehamilan ektopik, kista korpus luteum, mestruasi
Hidrosalping adalah akumulasi cairan serous di dalam tuba fallopio, sering disebabkan
oleh piosalping; tuba mi membesar di dalam dinding, dan ujung fimbriated (hydrosalpinx).
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritoneum). Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendisitis supuratif Tekanan dalam lumen yang
terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding
apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks
menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan
fibrin. Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri
dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis
umum. Peritonitis adalah suatu kegawat daruratan yang merupakan komplikasi berbahaya
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka
tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan) tetapi kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing merupakan faktor-faktor yang memudahkan
terjadinya peritonitis. Tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan
menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan
diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

2.2. Anesthesia Regional – Subarachnoid Block


Anestesi ini diperkenalkan oleh August Bier (1898) pada praktis klinis, digunakan
dengan luas untuk, terutama operasi pada daerah bawah umbilicus. Anestesi spinal
merupakan tindakan anestesi dengan menggunakan obat anestesi lokal yang disuntikkan ke
ruang subarachnoid. Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus kutis  subkutis  ligamentum supraspinosum  ligamemtum Interspinosum 
ligamentum Flavum  ruang epidural  durameter  ruang subarachnoid

19
Tabel 1. Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal
Indikasi/Kontraindikasi/
Keterangan
Komplikasi
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rectum-perineum
Bedah obstetric-ginekologi
Indikasi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya
dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan
Pasien menolak
Infeksi pada tempat penyuntikan
Hipovolemia berat, syok
Indikasi Kontra Absolut Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
Tekanan intra cranial tinggi
Fasilitas resusitasi minimal
Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anesthesia
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat penyunikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Indikasi Kontra Relatif
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
Hipotensi berat
Bradikardia
Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Komplikasi Tindakan
Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Komplikasi Pasca
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Tindakan
Retensio urine
Meningitis

Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi tidur
lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan
blok subarachnoid:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.

20
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya L2-3, L3-4, atau
L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
4. Beri anestetik local pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23 G atau 25
G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan
menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc.
Tusukkan introdusersedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kea rah sefal, kemudian
masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah
resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.

2.1.1 Terapi Cairan


Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan
maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit
cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru.
Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Tabel 2. Perkiraan Cairan Maintenance Berdasarkan Berat Badan


Berat Badan Kadar
10 kg pertama 4 mL/kg/jam
10 kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20 kg + 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan
karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.

2.2 Durante Operasi


2.2.1 Premedikasi

21
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anesthesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludan dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan
- Mengurangi nyeri

Tabel 2.6 Jenis Premedikasi

Premedikasi Keterangan

Pasien dengan sepsis


Pasien usia tua

1. Premedikasi tanpa Pasien dengan masalah di airway


sedasi One daycare surgery
Pasien neurosurgical
Neonatus & infant < 6 bulan

Diberikan malam hari apabila ada indikasi


2. Premedikasi dengan
Pasien dengan operasi elektif
oral sedative
Pasien direncanakan regional anestesi

Pasien sehat yang akan dioperasi dengan kasus berat


3. Opioid Pasien dengan nyeri
Pasien dengan abortus

Untuk pasien < 6 bulan premedikasi diberikan secara


oral diazepam sirup 0,2 mg/kgBB
4. Pasien pediatric
Untuk pasien > 5 tahun oral diazepam 0,2 mg/kgBB
atau oral midazolam 0,5 – 0,7 mg/kgBB

22
Ranitidine 150 mg
5. Pasien obstetric
Anti emetic

Termasuk di dalamnya morbid obese


Pasien obstetric
Pasien dengan riwayat hernia diafragmatika
Pasien dengan esofagitis
6. Pasien dengan risiko
regurgitasi dan aspirasi ↓
Diberikan H2 reseptor antagonis (ranitidine
cimetidin), proton pump inhibitor (omeprazole),
antasida (sodium sitrat), gastrokinetic agent
(metoclopramide) diberikan bersama-sama

2.2.2 Pemakaian Obat Anestesi Lokal untuk Analgesia Spinal


Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003 -1,008.
Anestetik local dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anestetik local dengan
berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik local dengan berat jenis lebih
kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik local yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik local dengan dekstrosa. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Tabel 3. Anestetik Lokal yang Paling Sering Digunakan


Anestetik Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Lidokain (Xylobain, Lignokain)
2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
5% dalam dekstrosa 7,5% 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
Bupivakain (Markain)
0,5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0,5% dalam dekstrosa 8,25% 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3 ml)

2.2.3 Terapi Cairan


Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan
atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight
seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat

23
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.Cairan
dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan terutama
yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis
maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan
elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis
replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan
Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter
dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya
memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi
cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante
operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume
darah yang hilang.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan estimated blood
volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi hanya apabila
kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang tepat untuk transfusi ditentukan
oleh kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang
dibutuhkan untuk menurunkan hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:
1. Estimate Blood Volume
Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada sumber yang
menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB dan wanita 65 cc/kgBB.
2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi
3. Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume darah normal
telah dicapai.
4. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit ≤ 30% dengan cara RBCVlost =
RBCVpreop – RBCV30%.
5. Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3.

Anestesi Umum (General Anesthesia)


Anestesi general atau biasa disebut dengan anestesi umum adalah teknik anestesi yang
digunakan untuk menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral dan disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel (dapat kembali sadar jika efek anestesi dihilangkan).
Komponen anestesia yang ideal terdiri analgesia, sedasi, relaksasi.1

24
Teknik pemberian anestesi general bermacam macam, dapat secara parenteral, inhalasi,
atau dapat pula per-rectal. Obat anestesi general yang diberikan secara parenteral dapat
berupa injeksi intravena (obat yang sering digunakan antara lain penthotal, ketamin, propofol,
etomidate dan golongan benzodiazepin), injeksi intramuskular (obat yang sering digunakan
adalah ketamin), dan per-rectal (obat yang sering digunakan adalah etomidate untuk induksi
anestesi pada pasien anak anak). Pemberian obat anestesi general dapat yang mana saja
tergantung kondisi, indikasi dan kontraindikasi pasien yang akan dilakukan anestesi.
Dikatakan anestesi general atau anestesi umum karena semua obat anestesi yang
dilakukan secara general anestesi akan memasuki peredaran darah (baik diberikan secara
parenteral, inhalasi ataupun perectal) dan akan didistribusikan ke seluruh tubuh, sehingga
efek anestesi (sedasi, analgesi dan atau relaksasi) akan mengenai seluruh bagian tubuh, mulai
dari sentral maupun perifer.

Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal


Sifat anestesi umum yang ideal adalah:
(1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik
(2) cepat mencapai anestesi yang dalam
(3) batas keamanan lebar
(4) tidak bersifat toksik
Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang
tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat inhalasi).
Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat
anastesi dalam SSP.5

Jenis-jenis anestesi umum1


1. Anestesi inhalasi
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan aktivitas
neuron berbagai area di dalam otak. Untuk mendapatkan reaksi yang secepat-cepatnya, obat
ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang kemudian diturunkan sampai
hanya sekadar memelihara keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran. Keuntungan
anestesi inhalasi dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat
lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas / uap yang
diinhalasi. Contoh obat-obat anestesi inhalasi Halothane, Enflurane, Isoflurane, Sevoflurane,
Desflurane, dan methoxyflurane merupakan cairan yang mudah menguap.
25
A. Isoflurane
Bau tidak enak. Termasuk anestesi inhalasi kuat dengan sifat analgetik dan relaksasi otot
baik. Daya kerja dan penekanannya terhadap SSP = Enflurane. Efek samping: hipotensi,
aritmia, menggigil, konstriksi bronkhi, meningkatnya jumlah leukosit. Pasca bedah dapat
timbul mual, muntah, dan keadaan tegang. Sediaan : Isoflurane 3-3,5% dlm O2; + NO2-O2 =
induksi; maintenance : 1%-2,5%. MAC : 1,2. Pada system kardiovaskuler, Isoflurane
menimbulkan depresi ringan pada jantung, curah jantung dipertahankan dengan
meningkatnya frekuensi jantung. Isoflurane dapat meningkatkan aliran darah pada otot
rangka, menurunkan tahanan vaskuler sistemik, dan menurunnya tekanan darah. Isoflurane
dapat menyebabkan iskemik miocard karena dilatasi arteri coroner normal yang
menyebabkan aliran darah mengalir ke a. coronaria dan menjauh dari a. coronaria yang
mengalami stenosis. Pada ginjal Isoflurane dapat menurunkan GFR dan produksi urin.
B. Sevoflurane
Merupakan halogenasi eter, cairan jernih, tidak berwarna, berbau enak, dan tidak
iritatif. . Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan Isoflurane. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas. Pada kardiovaskuler menimbulkan
depresi ringan kontraksi miokardium, penurunan tekanan vaskuler sistemi.. Sevoflurane dapat
memperpanjang interval QT. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti Isoflurane dan belum
ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan Sevoflurane cepat
dikeluarkan oleh badan. MAC : 2,0

Anestesi intravena
Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol mempunyai mula kerja
anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap senyawa gas inhalasi yang terbaru, misalnya
Desflurane dan Sevoflurane. Senyawa intravena ini umumnya digunakan untuk induksi
anestesi. Kecepatan pemulihan pada sebagian besar senyawa intravena juga sangat cepat.
Beberapa obat digunakan secara intravena (baik tunggal atau dikombinasikan dengan obat
lain) untuk menimbulkan anestesi, atau sebagai komponen anestesi berimbang (balanced
anesthesia), atau untuk menenangkan pasien di unit rawat darurat yang memerlukan bantuan
napas buatan untuk jangka panjang. Termasuk golongan ini adalah: barbiturate (thiopental,
methothexital); benzodiazepine (midazolam); opioid analgetik (morphine, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, remifentanil); propofol; ketamin, suatu senyawa arylcylohexylamine
yang dapat menyebabkan keadaan anestesi .
A. Fentanil dan droperidol
26
Analgetik dan anestesi neuroleptik. Aman diberikan pada pasien yang
mengalami hiperpireksia oleh karena anestesi umum lain. Fentanil: masa kerja pendek, mula
keja cepat. Droperidol: masa kerja lama & mula kerja lambat. Dosis fentanil: 50-
100mcg/kgBB iv. Dosis droperidol: 1,25 mg iv/im

B. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.. Dosis
bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4- 12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. . Pengenceran propofol
hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak <3 tahun
dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.

C. Ketorolac
Tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi. Terapi Ketorolac tromethamine
baik secara injeksi ataupun tablet hanya diberikan selama 5 hari untuk mencegah ulcerasi
peptic dan nyeri abdomen. Efek analgetik selama 4-6 jam setelah injeksi.

Golongan Hipnotik Sedatif


1. Diazepam
Merupakan obat golongan sedatif yang banyak digunakan sebagai premedikasi untuk
anak, karena berkhasiat menenangkan pada sekitar 80% kasus tanpa mendepresi nafas
dan sedikit sekali menimbulkan muntah.
2. Midazolam
Termasuk golongan benzodiazepin yang mudah larut dalam air dengan waktu kerja
sangat cepat dan lama kerja yang tidak terlalu lama Dapat diberikan secara parenteral
dan oral. Dosis : IM : 0,05 mg per kg BB Per oral : 7,5 – 15 mg, Per rectal : 0,35 –
0.45 mg per kg BB.
3. Promethazine (Phenergan)
Termasuk golongan antihistamin yang mempunyai efek sedasi cukup baik, dapat
diberikan secara peroral dengan dosis 1mg per kg BB. Dosis maksimal 30 mg.
27
4. Trimeprazine (Valergan)
Telah digunakan untuk premedkasi pada anak sejak tahun 1959, dalam bentuk larutan
dengan dosis 2 – 4 mg per kg BB per oral 2 jam sebelum induksi. Dengan dosis ini
cukup efektif untuk anak usia 2 – 10 tahun. Kerugian dari obat ini menimbulkan
takikardia post operatif, tetapi keuntungannya selain menimbulkan sedasi , juga
bersifat anti emetik.
5. Barbiturat
Terdapat dua sediaan yang sering digunakan untuk premedikasi yaitu Pentobarbitone
(Nembutal) dan Quinal Barbitone (Seconal) diberikan secara oral 1 ½ jam pra bedah
dengan dosis 2 – 5 mg per kg BB. Obat ini tidak pernah diberikan pada bayi dibawah
usia 6 bulan karena metabolismenya lama dan juga tidak dianjurkan untuk diberikan
secara intramuskular karena akan menimbulkan rasa sakit , nekrosis dan abses.

Intubasi Nasotrakeal

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung.
Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal.
Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu
tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum
laryngoskopi.
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi
maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari
pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan
jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang
dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko
terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak
memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal
intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan.
Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam
penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring.
Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii,
khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.8

28
Indikasi dan kontraindikasi intubasi nasotrakeal
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi
maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari
pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan
jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang
dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko
terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak
memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal
intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan
kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah
mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa
nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip
nasal, koagulopati, dan trombolisis.

Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi nasotrakea


Gambaran klasik yang benar adalah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala
dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan yang
umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.11,12

Gambar 1. Posisi Intubasi

Persiapan intubasi nasotrakeal

29
Sebelum dilakukan intubasi, terlebih dahulu dilakukan oksigenasi dengan
menggunakan orotracheal tube atau nasotracheal tube dan bag valve kurang lebih selama
30 detik. Untuk melakukan intubasi, perlu mengetahui teknik-teknik khusus. Berhasilnya
intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus setentang dengan
pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan pinggang selama
laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin.
Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen 100%.11,13
Persiapan untuk intubasi antara lain :
a. Jalur intravena yang adekuat
b. Obat‐obatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot
c. Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi
d. Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop dengan blade
yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylet
e. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsi
f. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit
anestesi yang berfungsi
g. Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan darah
noninvasive
h. Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada
kontraindikasi
i. Alat‐alat untuk ventilasi
j. Stetoskop

Cara Intubasi Nasotrakeal 11


Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung
yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang.
Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan
menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok
saraf dapat digunakan. Intubasi nasotrakeal biasanya dilakukan setelah pemberian
anastesi intravena dan pasien telah dilumpuhkan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke
dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin.
Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus
30
ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat
di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa
kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus
dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui
hidung berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko
masuk ke intrakranial.

Gambar 2. Memasukkan blade laringoskop

Penggunaan laringoskop untuk mempermudah under vision intubasi nasotrakeal


dan laringoskop harus diposisikan saat bagian ujung tube telah mencapai orofaring.
Kepala yang di ekstensikan mungkin bisa digunakan untuk membuat bagian
ujung dari trakeal tube lebih ke arah anterior. Kemajuan yang lebih jauh dari trakeal tube
mungkin bisa dipermudah dengan memflexikan posisi kepala dan leher, yang meluruskan
axis dari ujung tube terhadap trakea. Teknik alternatif yang bisa digunakan adalah
dengan memakai Margill forceps untuk memegang trakeal tube dan menuntunnya
menuju trakea, kemudia asisten mendorong tube.

Gambar 3. Peletakkan Nasotracheal tube

31
Dada dipastikan mengembung saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan
auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada
ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal yang
terlalu dalam akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan kiri, kadang
timbul wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama.
Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esophagus maka daerah epigastrium atau gaster
akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar
cairan lambung dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut
pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

BAB V
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran
 Hasil yang maksimal dari anastesi dapat dicapai dengan melakukan penilaian atau
kunjungan preanastesia agar dapat menentukan tindakan yang akan dilakukan,
serta jenis obat yang akan diberikan, selain itu juga dapat menekan timbulnya
komplikasi anastesi baik intra operatif ataupun pasca operatif.

32
 Persiapan dan penilaian pra anastesia yang baik dapat mengurangi angka
kesakitan intra-operasi dan pasca operasi, mengurangi biaya operasi, dan
meningkatkan kualitas hidup pasien pasca operatif.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat,R & de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta: EGC;


2010.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.
3. Hooda S. Anesthetic Considerations In Paediatric Patients Teena Bansal.
JMSA. 2013;26(2).
4. Dave NM. Premedication and Induction of Anaesthesia in paediatric patients.
Indian J Anaesth 2019;63:713-20
5. Hardman JG, Limbird LE. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi. Ed
10. Jakarta: EGC;2012.
6. Children’s Health Queensland and Health Service. Paediatric surgical
antibiotic prophylaxis guidelines. 2019
7. Chidambaran V, Costandi A, D’Mello A. Propofol: A Review Of Its Role In
Pediatric Anesthesia And Sedation. CNS Drugs. 2015 July ; 29(7): 543–563.
doi:10.1007/s40263-015-0259-6.
8. Mangku G, Gde T, Agung S. Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi.
Jakarta;2010.
9. Harless J, Ramaiah R, Bhananker SM. Pediatric Airway Management. Int J
Crit Illn Inj Sci. 2014 Jan-Mar; 4(1): 65–70
10. Ahmad R. Prinsip Dasar Pediatrik. 2016. Makassar: Hasanuddin University
Press;2016.
11. Morgan GE et al. 2013. Clinical Anesthesiology. 5th edition. New York: Lange
Medical Book. ASA. 2013.
12. Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew R, et
al. Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the American
Society of Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation 2003.
13. Billjudika RR, Sucandra MAK. Tatalaksana Anestesia Dan Reanimasi Pada
Pasien Pediatrik. 2016.

Anda mungkin juga menyukai