Anda di halaman 1dari 5

ANESTESI UMUM VS ANESTESI SPINAL UNTUK LANSIA DENGAN FRAKTUR

PINGGUL
Tujuan:
Dorongan untuk meningkatkan perawatan fraktur pinggul. Hal tersebut untuk membandingkan
efikasi anestesi umum vs anestesi spinal untuk pasien dengan fraktur pinggul
Temuan terbaru:
Untuk memberikan gambaran terkait literatur yang dipublikasikan selama 24 bulan terakhir
Kesimpulan:
Sejauh ini, tidak ada bukti yang jelas untuk mengidentifikasi teknik anestesi terbaik untuk pasien
dengan fraktur pinggul. Namun, beberapa uji RCT berskala besar sedang berlangsung dan akan
menjadi penduan di masa depan.
Kata kunci: Anestesi umum, operasi fraktur pinggul, anestesi spinal

Pendahuluan
Fraktur pinggul merupakan kasus terbanyak pada populasi lansia. Menurut WHO dalam
‘World Report on Aging and Health’ mengungkapkan populasi lansia menurun secara signifikan
di Eropa, dan meningkat 2x lipat pada tahun 2050. Database pasien dengan fraktur pinggul yang
baru-baru ini diterbitkan oleh EuroHOPE di negara Eropa menunjukkan perbedaan prevalensi
fraktur pinggul yang signifikan. Prevalensi tertinggi dengan 1269/100.000 pasien dengan usia >50
tahun ditemukan di Italia, sedangkan angka kematian dalam 30 hari dan 1 tahun adalah 4,0 dan
19,7%. Hal ini juga diketahui bahwa pasien dengan beberapa komorbiditas memiliki risiko
kematian tertinggi. Hampir seluruh populasi pasien dengan fraktur pinggul (sampai 95%) yang
tiba di Rumah Sakit (RS) setidaknya datang dengan satu komorbiditas utama. Selain itu, faktor
risiko lainnya seperti tempat tinggal, gangguan fungsional dan kognitif, jenis kelamin laki-laki,
status gizi buruk, dan anemia berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Selain komplikasi
jantung dan paru-paru yang berat, delirium post operasi adalah komplikasi tersering pada lansia di
RS dan sangat berhubungan dengan fraktur pinggul, dan angka insidensinya sebesar 13%-50%.
Hal tersebut sangat berhubungan dengan prognosis pemulihan yang buruk, penyulit stress post-
trauma, depresi, dan meningkatnya mortalitas. Fraktur pinggul membutuhkan perawatan dan biaya
yang besar. Dibutuhkan perawatan yang berkualitas dan efektif. Tinjuan ini untuk membandingkan
efikasi anestesi umum vs anestesi spinal pada pasien dengan operasi fraktur oinggul dengan
menekankan literatur yang diterbitkan selama 24 bulan terakhir.
Ulasan
Perawatan anestesi pada operasi fraktur pinggul. Ulasan Cochrane yang diterbitkan tahun
2016, mengumpulkan hasil RCT, yang membandingkan antara anestesi umum dengan anestesi
spinal pada operasi fraktur pinggul. Tidak ada perbedaan mortalitas dalam satu bulan, gangguan
pernapasan, kardiovaskular, serebral, dan ginjal yang berat, serta lamanya perawatan antara kedua
anestesi tersebut. Hanya terdapat risiko deep venous thrombosis yang kurang pada kelompok yang
mendapat blok neuroaksial tanpa profilaksis anti-koagulan. Namun, bukti-bukti tersebut belum
cukup. Namun, dalam dekade terakhir, beberapa uji coba non-RCT telah diterbitkan. Baru-baru
ini dua meta-analisis telah dipublikasikan dalam penelitian prospektif dan retrospektif. Van
Waesbeghe et al melakukan tinjauan sistematis dan meta-analisis untuk membandingkan kedua
jenis anestesi tersebut pada operasi fraktur pinggul. Penelitian tersebut dilakukan di RS, dengan
menilai tingkat mortalitas dalam 30 hari, lamanya perawatan di RS, dan komplikasi post-operasi
lainnya yang dihubungkan dengan anestesi umum dan regional. Mereka menemukan rendahya
angka mortalitas di RS (OR 0,85; 95% CI: -0,75-0,85;p = 0,004) pada anestesi regional, tetapi
tidak ada perbedaan mortalitas dalam 30 hari (OR 0,09%;95% CI -0,94-1,04;p = 0,60). Lamanya
perawatan di RS secara signifikan lebih singkat (OR -0,26;95%;0,17;p = <0,001) dan insidensi
infark miokard (OR 0,90;95% CI;0,82-0,99;p=0,03), dan komplikasi respirasi (OR 0,50;95%
CI;0,28-0,87;p=0,02). O’Donrell et al menyimpulkan pada penelitiannya yang diterbitkan antara
Januari 2000 sampai Juni 2017, dengan rentan penelitian lebih lama dari penelitian Van
Waesbeghe (Januari 2010-Desember 2015). Mereka menemukan tidak ada perbedaan mortalitas
dalam 30 hari (OR 1,15;95% CI 1,01-1,30), prevalensi pneumonia (OR 1,10;95% CI 0,88-1,05),
delirium (OR 1,07;95% CI 0,75-1,58), atau gangguan ginjal (OR 0,94%;95% CI 0,54-1,64) pada
anestesi regional dibanding anestesi umum. Pada kedua meta-analisis, peneliti menunjukkan
perbedaan lamanya perawatan (rata-rata 0,03, 95% CI; e0,05-e0,02) pada anestesi regional.
Namun, perbedaan tersebut tidak signifikan secara klinis. Meskipun begitu, penelitian prospektif
termasuk dalam kedua meta-analisis, bukti tersebut terbatas pada data retrospektif yang sangat
heterogen dan risiko bias yang tinggi, yang terpenting, penelitian non-RCT dibatasi oleh bias yang
terseleksi. Pasien yang menerima anestesi regional lebih tua dan lebih sakit daripada pasien lansia
yang menerima anestesi umum. Penelitian non-RCT cenderung meremehkan manfaat sebenarnya
dari anestesi spinal. Selanjutnya, ada kesepakatan pada definisi dan hasil pada pasien dengan
fraktur pinggul. Saat ini, bukti yang cukup ada untuk membandingkan keefektifan kedua jenis
anestesi tersebut pada pasien fraktur pinggul. Dengan demikian, dibutuhkan penelitian RCT
lanjutan lainnya yang banyak.
Percobaan yang sedang Berlangsung terkait Jenis Anestesi pada Operasi Fraktur Pinggul
Semakin banyak penelitian RCT terkait keefektifan pada kedua jenis anestesi tersebut.
Percobaan RAGA-Delirium (perbandingan kedua anestesi terkait delirium post-operasi pada
lansia yang menjalani operasi fraktur pinggul) akan diacak pada 1000 pasien dengan usia >65
tahun. Hasilnya terdapat insidensi delirium post-operasi pada hari ke-7. Selain terdapat nyeri, juga
terdapat komplikasi lainnya, mempengaruhi kualitas hidupnya, dan hemat biaya. Penelitian
REGAIN (kedua jenis anestesi setelah promosi mandiri fraktur pinggul) merupakan penelitian
internasional, multisenter, penelitian RCT termasuk 1600 pasien ≥50 tahun mendapat anestesi
spinal atau anetesi umum. Hasil utamanya adalah kematian atau ketidakmampuan untuk berjalan
10 kaki di ruangan selama 60 hari. Penelitian iHOPE (menunjukkan hasil fraktur pinggul pada
pasien lansia) membandingkan kedua anestesi tersebut. Hal tersebut pragmatis, multisenter,
penelitian RCT termasuk 1032 pasien pada usia ±65 tahun dengan fraktur pinggul akut yang
mendapat operasi. Hasilnya adalah semua penyebab kematian atau onset baru komplikasi jantung
dan paru-paru dalam 30 hari post-operasi. Selebihnya, beberapa hasil sekunder lainnya, seperti
delirium post-operasi, depresi, kemampuan berjalan, nyeri kronik, kesehatan secara keseluruhan
dan kecacatan, kualitas hidup yang dinilai dalam 365 hari setelah dioperasi. Hasil penelitian
REGAIN dan iHOPE akan menjadi panduan perkembangan penelitian terkait selanjutnya.
Pilihan Anestesi untuk Operasi Fraktur Pinggul
Pilihan anestesi untuk anestesi umum juga dapat mempengaruhi hasil. Karena anestesi
xenon memiliki sifat neuroprotektif. Kelompok penelitian tersebut mengevaluasi efek insidensi
delirium dan hasil lainnya setelah operasi fraktur pinggul. Dalam hal ini, RCT dengan 124 pasien
yang diterapi dengan xenon dan 132 dengan sevoflurane. Anestesi xenon tidak secara signifikan
menurunkan insidensi delirium post-operasi setelah operasi.
Namun, jika sedasi diperlukan selama anestesi spinal, dexmedetomidin dapat
dipertimbangkan. Sebuah meta-analisis dengan analisis RCT menyimpulkan efikasi
dexmedetomidin dapat menurunkan insidensi delirium post-operasi pada pasien operasi.
Penggunaan dexmedetomidin intraoperatif dapat bermanfaat.
Prinsip Anestesi Umum untuk Operasi Fraktur Pinggul
Tidak masalah pilihan anestesinya untuk operasi, anestesi harus dilakukan oleh dokter
anestesi, yang dilatih untuk menghadapi tantangan perioperatif dalam perawatan trauma geriatrik.
Juga hipotensi intraoperatif haru dihindari selama operasi fraktur pinggul. Saat ini RCT berskala
kecil juga menilai tekanan darah intra-operatif secara ketat selama operasi tersebut pada lansia.
Secara pre-operatif, parameter Array harus dipertimbangkan European Society of
Anesthesiology saat ini telah memperbaharui panduan ‘Evaluasi pre-operatif pada pasien dewasa
dengan operasi elektif non-kardiak.’ Bagian ‘pasien geriatrik’ terdiri dari 10 tingkat rekomendasi
‘1B’ berdasarkan GRADE (Rekomendasi Assessment, Development, and Evaluation System)
status fungsional (Comprehensive Geriatric Assessment), tingkat independensi (Basal dan IDL),
komorbiditas (Charlson Comorbidity Index), evaluasi struktur pengobatan (Beers criteria),
gangguan kognitif, depresi, gangguan sensorik, evaluasi delirium, malnutrisi, dan kelemahan.
Tambahan, keputusan kapasitas pasien dan elisitasi pada tujuan perawatan pasien dan prioritas
perlu dievaluasi untuk di-informed consent. Selanjutnya, alat skrining yang valid untuk menilai
delirium post-operasi dalam kehidupan sehari-hari dan model risiko harus disertakan dalam
memprediksi hasilnya. Hasil ini mendukung klinisi terhadap optimalisasi pre-operatif
(komorbiditas, anemia, polifarmasi, dan suplemen nutrisi). Namun penilaian tersebut memakan
waktu dan tetap menjadi tantangan bagi klinisi karena sumber daya manusia (SDM) yang terbatas
dan kurangnya pendanaan dari sistem kesehatan. Selain itu, data terbaru menggarisbawahi bahwa
waktu menunggu sebelum fraktur pinggul berhubungan dengan risiko fraktur terhadap hasilnya.
Pincus et al mendemonstrasikan hasil penelitian kohort retrospektif pada orang dewasa dimana
waktu tunggu pre-operasi dalam ≥24 jam dihubungkan dengan risiko komplikasi dan mortalitas.
Selanjutnya, dosis anestesi harus sesuai usia, bertujuan untuk memfasilitasi remobilisasi
awal pasien, pemberdayaan ulang, dan rehabilitasi. Berdasarkan European Society of
Anesthesiology dan rekomendasi konsensus panduan delirium post-operasi direkomendasikan
untuk menghindari benzodiazepin pada lansia (Rekomendasi tingkat B) dan memonitor untuk
mencegah delirium post-operasi (Rekomendasi Tingkat A;ESA). Pada kedua jenis anestesi,
anestesi regional perlu dipertimbangkan. Sebagai tambahan, pemantauan 25% tekanan darah pre-
operatif dan MAP sangat penting untuk menghindari fase iskemik.

Kesimpulan
Pasien lansia dengan fraktur pinggul memiliki komorbiditas yang kompleks yang
dihubungkan dengan meningkatnya komplikasi post-operasi dan mortalitas untuk optimalisasi
perawatan pasien peri-operatif pada pasien fraktur pinggul yang membutuhkan tim multidisplin.
Hal ini termasuk risiko, menghindari benzodiazepin sebagai pre-medikasi dan pemantauan
anestesi. Sejauh ini belum ada RCT yang jelas menerangkan terkait efikasi kedua jenis anestesi
tersebut pada pasien dengan fraktur pinggul. Namun, sudah banyak penelitian RCT yang sedang
berlangsung dan akan menjadi panduan di masa depan. Kedua teknik tersebut memerlukan
pengelolahan hemodinamik yang tepat untuk menghindari dari komplikasi iskemik.

Anda mungkin juga menyukai