Anda di halaman 1dari 10

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

JOURNAL READING
The Effect of Needle Type, Duration of Surgery and Position of the Patient
on the Risk of Transient Neurologic Symptoms

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Anestesi dan Reanimasi
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan

Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr.Ranjan Kumar Sp.An

Disusun Oleh :
Faraida Jilzani
1410221046

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN

LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING
The Effect of Needle Type, Duration of Surgery and Position of the Patient
on the Risk of Transient Neurologic Symptoms

Diajukan Sebagai Tugas untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan


Klinik di Departemen Anestesi dan Reanimasi
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan

Disusun Oleh:
Faraida Jilzani
1410221046
Dipresentasikan Pada Tanggal:
Juni 2015

Menyetujui,
Pembimbing

Dr. Ranjan Kumar, Sp. An

EFEK TIPE JARUM, DURASI PEMBEDAHAN, DAN POSISI PASIEN


TERHADAP RESIKO TRANSIENT NEUROLOGIC SYMPTOM (TNS)

Abstrak
Latar belakang : Insidensi TNS setelah anestesi spinal dengan lidokain
dilaporkan cukup tinggi sekitar 40%.
Tujuan : Penelitian prospektif klinis ini dilakukan untuk mengetahui insidensi
kejadian TNS pada pasien yang menjalani anestesi spinal dengan dua jenis jarum yang
berbeda, pada dua posisi pembedahan yang berbeda.
Pasien dan Metode : Penelitian klinis dengan RCT ini diikuti oleh 250 pasien
(ASA I-II), yang merupakan kandidat pembedahan dengan posisi supine atau
litotomi. Berdasarkan

tipe jarum

(Sprotte atau

Quincke)

dan anestesi

lokal (lidokain dan bupivakain) semua pasien dibagi menjadi 4 kelompok secara
acak. Setelah dilakukan anestesi spinal dengan posisi duduk, kemudian posisi
berubah

menjadi

supine

atau

litotomi,

sesuai

dengan

prosedur

pembedahan. Pasien diamati komplikasi dari anestesi spinal pada lima hari
pertama post pembedahan. Tujuan akhir primer penelitian ini adalah melihat
insidensi TNS diantara 4 kelompok. Tujuan kedua adalah mengevaluasi efek
posisi pasien, tipe jarum, dan durasi pembedahan terhadap munculnya TNS
setelah anestesi spinal.
Hasil : TNS lebih sering muncul pada anestesi spinal dengan menggunakan
lidokain

(P=0,003). Efek

dari

tipe jarum

tidak

begitu

signifikan

(P=0,7). Berdasarkan analisis multivariat, durasi pembedahan secara signifikan


lebih rendah pada kejadian TNS (P=0,04). Juga, resiko TNS meningkat pada
pembedahan dengan posisi litotomi (P=0,00).
Kesimpulan : Berdasarkan dari hasil penelitian ini, anestesi spinal dengan
lidokain, dan posisi pembedahan secara litotomi meningkatkan resiko TNS.
Kata kunci : manifestasi neurologis, anestesi, lokal

LATAR BELAKANG
Setelah anestesi spinal, banyak komplikasi neurologi yang mungkin terjadi. Low
back pain, menjalar ke daerah bokong dan ekstremitas bawah, merupakan gejala
mayor dari komplikasi neurologi. Nyeri bersifat sementara dan biasanya menetap
24-48 jam. Tahun 1993, Schenideret.al. menerbitkan laporan kasus yang mendeskripsikan
kasus pertama dari manifestasi klinis yang sekarang ini dikenal sebagai
TNS. Diantara anestetik lokal yang digunakan pada anestesi spinal, lidokain
merupakan obat yang sering digunakan. Dengan demikian, Resiko tinggi
terjadinya TNS dihubungkan dengan obat ini. Faktor resiko yang menyebabkan
gejala ini belum diketahui. Beberapa penelitian telah meneliti efek posisi pasien
dikombinasikan dengan tipe jarum terhadap timbulnya gejala TNS.
TUJUAN
Penelitian ini, mengevaluasi insidensi TNS pada 4 kelompok tergantung tipe obat anestesi
dan jarum. peneliti juga mengevaluasi efek posisi pasien dan durasi pembedahan
terhadap terjadinya TNS setelah anestesi spinal.
PASIEN DAN METODE
Penelitian RCT double-blind ini mengevaluasi 250 kandidat pasien pembedahan
elektif dari Januari 2011 sampai Desember 2011. Disetujui oleh Komite Etik
Fakultas Kedokteran Universitas Tehran dan randomisasi didapatkan dengan sistem komputer
dan teknik amplop tertutup. Semua pasien berusia antara 18-60 tahun dengan skor
ASA I atau II. Subjek yang mengalami penyakit neuromuskular, stenosis kanal
spinal atau penyakit diskus vertebra, fraktur femur, atau fraktur pelvis, diabetes
melitus, obesitas, dan mereka yang pernah mengalami komplikasi setelah anestesi
spinal dieksklusikan dari penelitian. Tahapan penelitian dijelaskan kepada pasien
dan informed consent tertulis didapatkan dari semua pasien. Semua kasus secara acak
dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan tipe jarum (25 Sprotte atau Quincke)
dan anestetik lokal (lidokain atau bupivakain). Pada kelompok satu dan dua, 1,5-2
mL lidokain 5% hiperbarik (OrionPharma) digunakan untuk anestesi spinal dan kelompok
ketiga dan keempat menggunakan 2,5-3 mL bupivakain 0,5% isobarik (MYLAN) untuk
tujuan sama.

Berdasarkan tipe jarum Sprotte,62 pasien menerima lidokain, dan 62 lainnya mendapat
bupivakain. Menggunakan jarumQuincke, bupivakain diinjeksikan pada 63 pasien dan
lidokain pada 63 pasien lainnya. Setelah dilakukan EKG, pengukuran tekanan
darah non invasif, pulse oxymetry, dan infus 8 mL/kgBB normal salin, anestesi
spinal dilakukan posisi duduk pada L2-L3 atau L3-L4 oleh anestesiolog yang
sama. Dosis

anestetik

yang

digunakan

berdasarkan

tinggi badan pasien.

Hipotensi intra-operatif (berkurangnya MAP lebih dari 20% batas) diobati dengan
injeksi 5-10 mg efedrin dan infus RL 200 mL. Bradikardi (denyut jantung
<50kali/menit) diobati dengan menambahkan 0,5 atropin, dan hipotensi (TD
sistolik <90mmHg) dengan menambahkan 5 mg efedrin. Berdasarkan tipe pembedahan,
operasi dilakukan dalam posisi supine atau litotomi. Semua kasus berjalan dalam
hari pertama post operasi. Komplikasi neurologi dimonitor setiap 8 jam selama
dua

hari pertama

post

operasi, dan

setiap 24

jam untuk

tiga

hari berikutnya. Selama kontrol post operasi, pasien diminta melaporkan apapun gejala
yang mengikuti,

sesuai dengan perkembangan gejala TNS sebagai berikut;

nyeri bilateral atau unilateral, mati rasa, hiperalgesia di punggung; munculnya


nyeri pada pinggang,bokong, pinggul, atau regio anterior atau posterior

tungkai

atau paha. Keparahan nyeri dinilai dengan Skala Visual Analog (VAS).Semua
pasien dirawat di rumah sakit minimal 48 jam setelah operasi. Gejala TNS dan komplikasi
lainnya dipantau oleh spesialis bedah saraf tanpa mengetahui posisi pembedahan pasien
dan tipe obat dan jarum yang digunakan untuk anestesi spinal.Pemeriksaan tambahan
dilakukan pada pasien yang mengeluh TNS, seperti MRI dan infeksi, hanya dilakukan jika
terjadi defisit neurologi atau tanda-tanda infeksi ditemukan oleh spesialis bedah saraf
menggunakan pemeriksaan fisik yang mendetail untuk menyingkirkan etiologi lain. Pada
pasien

dengan

VAS

lebih

dari

tiga,

dilakukan pemberian

petidin

dan NSAID. Setelah dirawat, pasien dikunjungi selama tiga hari berturut-turut dan
gejala

TNS

dievaluasi. Besar

sampel

penelitian

dihitung

menggunakan perhitungan berdasarkan laporan Hampl et. al. (2) pada insidensi
terjadinya TNS setelah anestesi spinal

menggunakan lidokain. Untuk mendeteksi

perbedaan anatara perlakuan,tingkat signifikan 95% (=0,05), dengan power 80%


(=0,2),

dan

pasien dibutuhkan

dengan
untuk

asumsi
setiap

20% perbedaan
kelompok.

insidensi,

Model

Cox

kira-kira 60
proposional

hazard digunakan untuk analisis multivariat dan analisis statistic

menggunakan

SPSS 11. Insidensi munculnya TNS pada setiap kelompok menggunakan analisis X2 test dan
data kelompok menggunakan angka mean SD dan persentase.Perbedaan signifikan jika
nilai P <0,05.
HASIL
250 pasien dengan mean usia 46,4 15, terdiri dari 45 wanita dan 205 lakilaki,yang ikut dalam penelitian ini. Karakteristik demografik dan faktor resiko
penting,terutama posisi pasien selama pembedahan, usia, jenis kelamin, dan
durasi prosedur,tidak berbeda signifikan antara empat

kelompok (Tabel 1). Tipe

pembedahan, posisi pasien selama prosedur pembedahan, dan durasi pembedahan


ditunjukkan pada Tabel 2.

99 kasus

(39,6%) dilaporkan terjadi

gejala TNS

pada kunjungan post operasi. Tabel 3 menggambarkan insidensi TNS berdasarkan tipe
anestesi lokal dan jenis jarum, dan Tabel 4 menggambarkan insidensi TNS pada empat
kelompok penelitian.

77 pasien dilaporkan mengalami nyeri lumbosakral (pada

ekstremitas bawah dan bertambah dengan posisi duduk). 22 kasus sisanya, nyeri
tajam dan berat, yang sering berlokasi di paha.Kebanyakan pasien melaporkan nyeri
pada skala 6 atau 7 berdasarkan VAS. Skor VAS pasien yang bertahan dengan TNS
dibandingkan antar kelompok dan tidak ada perbedaan signifikan (P=0,25). Dari
125 pasien yang dianestesi dengan lidokain, 85 mengalami LBP, dan nyeri
neurogenik pada bokong dan paha. Mayoritas yang menunjukan gejala ini cukup
berat hingga memerlukan terapi analgetik.

Nyeri berkurang pada saat pemulangan

pasien. Namun,12 kasus mengalami nyeri yang


memerlukan NSAID

tambahan

secara signifikan lebih

rendah

berkepanjangan

hingga

setelah pemulangan. Rata-rata lama pembedahan


pada

pasien

yang

bertahan

dari

TNS (5312 menit) dibandingkan dengan mereka yang tanpa TNS post operasi (69
10 menit). Kebanyakan pasien yang mengalami TNS post operasi mendapatkan
lidokain dan dengan posisi pembedahan litotomi. Kombinasi faktor ini (yaitu
lidokain dan litotomi) secara signifikan meningkatkan resiko komplikasi
(P=0,002) dibandingkan dengan kombinasi bupivakain dan posisi supine. Tabel 5
menunjukan analisis multivariat dari faktor terkait yang berbeda.

DISKUSI
Beberapa faktor yang terkait dengan perkembangan LBP dan komplikasi neurologi setelah
anestesi spinal. Tipe obat yang digunakan untuk anestesi, merupakan faktor yang
penting, terutama jika obat tersebut adalah lidokain. Resiko komplikasi neurologi
setelah injeksi obat lain dilaporkan lebih rendah dibandingkan lidokain. Pada

penelitian ini, insidensi efek samping neurologi dengan lidokain signifikan lebih
besar dibandingkan dengan bupivakain. Temuan ini konsisten dengan laporan
sebelumnya dimana 39,6% dari total kasus yang dianestesi dengan lidokain atau
bupivakain mengalami TNS dalam penelitian ini. Insidensi ini cukup tinggi tinggi
jika dibandingkan dengan yang dilaporkan dari literatur sebelumnya. Berdasarkan
laporan sebelumnya, munculnya gejala neurologi pada 10-40% pasien setelah
anestesi spinal dengan lidokain. Pasien kami yang menjalani pembedahan dengan posisi
litotomi, mungkin secara tidak signifikan bertanggung jawab terhadap kejadian
TNS. Solusio lidokain yang berbeda (1%, 2%, dan 5%) digunakan untuk anestesi
spinal dan semuanya dilaporkan menginduksi TNS. Mekanisme pasti gejala
ini belum bisa dijelaskan.
Pertama kalinya tahun 1993, Schneider et. al. melaporkan munculnya TNS setelah
anestesi spinal. Setelah munculnya nyeri post

anestesi

pada

bokong

menyebar

sampai ekstremitas bawah pada empat pasien yang mendapatkan anestesi dengan
lidokain 5% dan dekstrose 7,5%, mereka menyarankan osmolaritas lidokain yang tinggi
mungkin bertanggung jawab terhadap gejala ini, tetapi investigasi lanjut
menggunakan konsentrasi yang berbeda, gagal menunjukan efek signifikan lain
terhadap resiko TNS. Dari 112 operasi yang dilakukan dengan posisi litotomi, 82
kasus mengalami LBP dan parestesia pada ekstremitas bawah, sedangkan angka
LBP lebih rendah pada pembedahan dengan posisi supine. Posisi pembedahan
masih merupakan faktor resiko independen untuk munculnya TNS setelah analisis
multivariat. Lordosis spinal normal diatur menggunakan prosedur yang dilakukan
dengan posisi supine, sementara lordosis lumbal menurun pada posisi litotomi dan
bagian lumbal kolum spinal diluruskan selama operasi. Otot, tendon, sendi, dan
saraf

kauda

ekuina secara

signifikan

tertarik

dengan posisi ini.

Hal ini

kemudian meningkatkan resiko LBP pada periode post operasi.


Faktanya munculnya TNS dipengaruhi oleh multi faktor dan parameter lain, selain
tipe obat yang diinjeksikan untuk anestesi spinal, dapat menambah atau mengurangi
gejala ini. Tidak ada perbedaan signifikan yang tampak antara kasus dilihat dari tipe
jarum yang digunakan untuk anestesi spinal. Distribusi obat di ruang subaraknoid
identik pada kedua jenis jarum. Jarum Quincke lebih sering menyebabkan trauma

dura dibandingkan dengan jarumSprotte. Berbeda


efek trauma

dura

pada nyeri

kepala

dengan laporan

post pungsi dura,

sebelumnya

intensitas trauma dura

tampaknya tidak signifikan menjadi faktor terkait dengan munculnya TNS setelah
anestesi spinal. Berdasarkan data peneliti, durasi pembedahan yang memanjang
tidak meningkatkan resiko munculnya TNS. Faktanya,dursi

pembedahan

lebih

rendah yang signifikan pada kasus yang mengalami TNS. Ini diketahui setelah
analisis multivariat nilai P adalah 0,044 (mendekati 0,05) dan temuan ini tidak
konsisten

dengan

hasil

laporan

sebelumnya,

kami

memilih

mengintepretasikannya dengan perhatian. Sudah pasti lebih banyak penelitiandibutuhkan


untuk menilai hubungan antara durasi pembedahan dan munculnya TNS. Anestesi
spinal dengan lidokain melibatkan lebih banyak resiko untuk munculnya TNS
post

operasi

dibandingkan

dengan

bupivakain. Juga,

resiko

meningkat

dengan posisi litotomi. Insidensi TNS tidak berbeda secara signifikan dilihat dari
tipe jarum yang digunakan untuk anestesi.

Anda mungkin juga menyukai