Anda di halaman 1dari 47

Referat

Case Report Sindroma Konus Medularis / Kauda Equina setelah Anestesi


Spinal Bupivakain 1% Berulang; Laporan Kasus dan Tinjauan Pustaka
Anatomi dan Fisiologi Cedera Medulla Spinalis pada Anestesi Regional

Oleh :

M. Arvin Arliando, S.Ked. 04054821719130

Tri Kurniawan, S.Ked 04054821719134

Yeni Intan Cahyati S.Ked 04084821820034

Pembimbing :

Dr. dr. Rose Mafiana, Sp.An, KNA, KAO, MARS.

DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2018


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Case Report Sindroma Konus
Medularis/Kauda Equina setelah Anestesi Spinal Bupivakain 1% Berulang; Laporan
Kasus dan Tinjauan Pustaka Anatomi dan Fisiologi Cedera Medulla Spinalis pada
Anestesi Regional” untuk memenuhi tugas referat yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran dan penilaian di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Rose
Mafiana, Sp.An, KNA, KAO, MARS. selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga
telaah ilmiah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, Juli 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani “an” yang berarti “ tidak, tanpa” dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 yang merupakan pemberian obat
untuk menghilangkan kesadaran secara sementara dan biasanya ada kaitannya dengan
pembedahan. Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi regional.1
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat sementara
akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral. Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan
bebas nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran.1 Anestesi regional semakin
berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang
ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal,
menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara
lebih sempurna.2 Anestesi regional memiliki berbagai macam teknik penggunaan salah
satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang belakang atau anestesi
spinal.1,3 Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang
subarakhnoid.4 Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas
inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan
ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas
inferior.1
Anestesi spinal telah mempunyai sejarah panjang keberhasilan (>90% tingkat
keberhasilan). Kemudahan dan sejarah panjang keberhasilan anestesi spinal
memberikan kesan bahwa teknik ini sederhana dan canggih.5 Namun demikian bukan
berarti bahwa tindakan anestesi spinal tidak ada bahaya. Salah sat contoh komplikasi
dari anestesi spinal adalah cedera pada neuraxis.6
Cedera pada neuraxis terkait dengan prosedur anestesi regional atau obat nyeri
yang akhirnya terkait dengan anatomi dan/atau kerusakan fisiologis pada sumsum
tulang belakang, ujung saraf tulang belakang, atau suplai darah mereka. Mekanisme
cedera terkadang dapat diidentifikasi, seperti pada kasus hematoma epidural atau abses,
tetapi bisa juga sangat sulit untuk menentukannya, sebagaimana dicontohkan oleh
sebagian besar kasus dugaan cedera vaskular tulang belakang.6
Beberapa komplikasi sekunder anestesi neuraksial adalah cedera mekanis
sumsum tulang belakang, ujung saraf tulang belakang, atau saraf tulang belakang saat
mereka keluar dari foramen intervertebralis. Cedera ke struktur ini mungkin melibatkan
jarum langsung atau trauma kateter atau lesi dalam kanalis vertebral yang menekan
struktur saraf dan dengan demikian menyebabkan cedera iskemik. Berbagai
mekanisme ini akhirnya menyebabkan hilangnya anatomi dan/atau fisiologis integritas
saraf dan dapat mengakibatkan cedera permanen.6,7
Kerusakan pada konus medullaris dan cauda equina sering terjadi dan telah
dilaporkan dalam literatur dengan implikasi medikolegal yang brlimpah. Tetapi hanya
segelintir kasus yang telah dikaitkan trauma jarum langsung selama anestesi
spinal/epidural. Mayoritas dari kasus ini disebabkan oleh adanya kompresi hematoma
di sekitar wilayah konus dan kauda pada pasien dengan antikoagulan. Kami
menyajikan sebuah kasus, dalam litigasi untuk malpraktek, trauma langsung
kewilayah konus medullaris/cauda equina yang disebabkan selama percobaan suntikan
analgesia tulang belakang berulang untuk nyeri pasca operasi berat.(Melloni)
Pada case report yang dibahas adalah mengenai Sindrom Kauda Equina setelah
Anestesi Spinal Buvikain 1% berulang. Permasalahan yang ada merupakan adanya
komplikasi dari penggunaan spinal anestesi yang diberikan dalam posisi duduk dengan
10 mg (1 ml) hiperbarik 1% bupivakain (konsentrasi yang tersedia di Italia) disuntikkan
melalui jarum Whitacre 25 g di lintasan L3-L4. Komplikasi yang dialami berupa
keluhan rasa sakit didaerah kaki seperti sengatan listrik hingga sensasi rasa terbakar
dan merupakan gejala dari cauda equina syndrom (CES).
Hasil yang baik akan dicapai apabila selain persiapan yang optimal juga disertai
pengetahuan tentang anestesi spinal mulai dari anatomi, fisiologi, farmakologi, dan
aplikasi dari anestesi spinal1,5. Maka dari itu tujuan referat ini adalah untuk membahas
sebuah kasus mengenai komplikasi dari tindakan anestesi regional berupa sindroma
cauda equina disertai tinjauan pustaka mengenai anatomi dan patofisiologi cedera
spinal cord yang berhubungan dengan anestesi regional dan pengobatan nyeri.
BAB II
LAPORAN KASUS

Pasien, wanita berusia 40 tahun dalam keadaan sehat, ASA 1, berat 80 kg, tinggi 162
cm, tes laboratorium, EKG dan sinar-X dada dalam batas normal, dijadwalkan untuk
hemorrhoidectomy di rumah sakit swasta. Spinal anestesi dengan mudah diberikan dalam
posisi duduk dengan 10 mg (1 ml) hiperbarik 1% bupivakain (konsentrasi yang tersedia di
Italia) disuntikkan melalui jarum Whitacre 25 g di lintasan L3-L4. Tanda-tanda vital tetap
stabil. Hemoroidektomi (Milligan Morgan) selesai dalam 30 menit dan pasien dikirim ke
ruangan sekitar 14 jam.
Selama beberapa jam berikutnya, dia mengeluh rasa sakit bertambah di daerah
perianal: dengan ketorolac 30 mg IM rasa nyeri dapat diatasi secara parsial; kemudian
pemberian 100 mg tramadol diikuti oleh sensasi aneh di sekitar bibir dan agitasi, tanpa efek
analgesia yang diinginkan. Sensasi ini dianggap sebagai suatu alergi dan semua pengobatan
lainnya dihentikan. Pada tengah malam pasien merasa gelisah dan merasa nyeri yang
sangat berat. Ahli anestesi on-call mengulangi pungsi lumbal, dimulai dengan pasien di
sisi kiri. Pungsi lumbal sulit dan berdarah. Selama tusukan, pasien mengeluh tusukan di
tulang belakang mirip dengan sengatan listrik. Kaki kirinya mulai gemetar (jerking). Ahli
anestesi kemudian mengubah postur pasien dari dekubitus lateral kiri ke posisi duduk dan
menyuntikkan 10 mg bupivakain 1% melalui Jarum Whitacre 25 g dengan tujuan
menghilangkan nyeri dan menghentikan hentakkan mioklonik yang cepat dari kaki kiri.
Pasien tertidur nyenyak.
Pada 2 jam kemudian pasien terbangun dan mengeluh sakit terasa ke seluruh kaki
kiri dengan sentakan dan sensasi terbakar dari tumit sampai ke daerah gluteal. Parestesia
dengan fasikulasi dan tremor dari seluruh kaki kiri telah dijelaskan. Selama hari-hari
berikutnya ambulasi bahkan dengan walker sangat sulit. Keluhan nyeri dan kejadian
Parestesia dan edema kaki dimasukkan dalam grafik keperawatan. Air seni dikumpulkan
melalui kateter kemih kiri in situ selama 6 hari. Buang air besar juga dirasakan sulit,
dibantu oleh enema dan pelunak kotoran. 7
Sehari setelah operasi, dari konsultasi neurologis ditemukan adanya nyeri, impotensi
fungsional dari kaki kiri dengan gerakan yang sulit, kesulitan dalam gerakan flekso-
ekstensi kaki kiri, Parestesia, dan Achilles dan refleks plantar yang tertekan. Hyperalgesia
dirasakan di sepanjang ekstremitas kiri. Ahli saraf mendiagnosis pada L4-L5 dan L5-S1
ditemukan radikulopati dan diberi obat prednisolon, ketorolak, gabapentin, dan diazepam.
RMN juga sangat penting dalam hal yang sama, tetapi MR hanya mencakup segmen mulai
dari L3 dan terus turun. Dari konsultasi fisioterapis didapatkan saran untuk latihan aktif
dan pasif. Pasien dipulangkan dari rumah sakit pada hari ke 14, dengan keadaan diuresis
dan buang air besar normal, berjalan dibantu oleh penopang.7
EMG dilakukan pada hari ke 38 dan 73 yang menunjukkan radikulopati L5-S1
dengan kerusakan besar pada S1. Pemeriksaan terakhir pada 6 bulan kemudian
menunjukkan perbaikan di area L5.7
Kemudian pada hari ke 45 dilakukan MRI 45 di institusi swasta (dengan potongan
sagital dan aksial), menunjukkan di interspace L1-L2, terdapat kavitas berisi cairan pada
paramedian yang kecil, panjang 17 mm, lebar 1,5/2mm, terlokalisasi pada asal CE, dengan
batas reguler. Isi tidak berubah setelah penggunaan gadolinium. Ahli radiologi mengaitkan
rongga dengan kantung cair.7
Pasien terus mengalami kesulitan berjalan, dan diketahui mengalami dispareunia dan
rasa sakit di sepanjang kaki kiri. Konsultasi antara ahli saraf dan ahli bedah saraf
memimpin rekomendasi analgesik terhadap allodynia dan konfirmasi L5-S1
lesi, yang diakhiri dengan diagnosis sindrom cauda equina (CES). Karena keparahan nyeri
setelah 8 bulan pasien membutuhkan penyisipan stimulator meduler yang menghasilkan
pereda nyeri yang baik. Sayangnya elektroda rentan terhadap dislodgement yang
membutuhkan pasien harus dioperasikan kembali dua kali untuk reposisi kawat.7
Pada konsultasi yang dilakukan dengan ahlis spesialis anestesi yang diperintahkan
oleh pengadilan pada Maret 2013, 19 bulan setelah anestesi spinal, pasien datang
dengan kaki kiri yang melengkung, mengalami kesulitan dalam berjalan khususnya saat
menaiki tangga. Kualitas tidur tergantung seriring dengan fungsi dari stimulator meduler.
Pasien juga tidak bisa melakukan dan melanjutkan pekerjaannya di mesin jahit/rajut karena
pasien tidak dapat duduk diam lebih lama dari 1,5-2 jam. Kaki kiri rentan mengalami
memar, terutama jika dia berbaring di sisi yang sama dengan waktu yang lama.
Dyspareunia membaik secara signifikan, terutama ketika stimulator meduler berfungsi.
Diuresis normal ; buang air besar dibantu dengan obat pencahar.7
Seluruh sisi kiri mengalami hipotrofik. Flexo-ekstensi dari pinggul dan lutut
hampir tidak mungkin dan kelenturan memprovokasi rasa sakit yang tajam. Rasa sakit
masih ada sifatnya konstan (tanpa adanya stimulator) sepanjang seluruh kaki kiri,terutama
di bagian posterior. Hypo / disesthesia terjadi di sepanjang posterior aspek paha dan kaki
termasuk situs gluteal kiri. Refleks patela adalah menurun, tidak ada Achilles dan plantar.
Jari kaki kiri tidak bisa dorsofleksi dan jari-jari kaki tidak bisa meregang.7
Setelah dilakukan pemeriksaan ulang dengan teliti terlihat pada gambar 1. Gambar
MRI, di tingkat L1, praktis dari aspek inferior dari intervertebral T12 ke lempeng atas
intervertebral L1, tampak area yang hyperdense, dengan panjang 22 mm, lebar hampir 2
mm, disertai dengan delaminasi dura secara inferior. Daerah ini seperti siring dan bisa
dikaitkan dengan bekas luka dari conum medullaris (CM), hal Ini akan mendukung
diagnosis akhir dari malasia anatomi dari konus yang menghasilkan gejala sindrom yang
menggabungkan cauda equina syndrome (CES) dan konus medullaris syndrome (CMS).7

Gambar 1. Gambaran MRI dari lesi


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Tulang belakang terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral Ada 7
cervical (berhubungan dengan tengkuk), 12 ruas vertebrae torakal, 5 ruas verbrae
lumbalis 5 ruas tulang Sakralis dan 5 ruas koksigeal yang bersatu satu sama lain
(Gambar 16–2). Tulang belakang secara keselruhan berfungsi sebagai tulang
penyokong tubuh terutama tulang-tulang lumbalis.selain itu tulang belakang juga
berfungsi melindungi medula spinalis yang terdapat di dalamnya.8
Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui radix
anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Masing–masing radix melekat
pada medulla spinalis melalui sederetan radices (radix-radix kecil), yang terdapat di
sepanjang segmen medulla spinalis yang sesuai. setiap radix mempunyai sebuah
ganglion radix posterior, yang axon sel–selnya memberikan serabut–serabutsaraf
perifer dan pusat.8
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping,
yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm
(seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar
tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis
vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan
melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap
vertebra yang berdekatan.8
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut: 8 pasang
saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang
saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co).8
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang
daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen
medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan
ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun
bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang
sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal
pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya
sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai.
Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih
bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda” karena penampakannya.7

Gambar 2. Medula Spinalis 9


Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari
medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla
spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh
substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis
terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan
sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat
saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-
berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla
spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan
masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang
disampaikannya.8
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal
dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat
mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang
terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis
sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea.
Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu
ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel
antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel
neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang
mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-
badan sel yang terletak di tanduk lateralis.8
Spinal cord pada umumnya berakhir setinggi L2 pada dewasa dan L3 pada
anak-anak. Fungsi dural yang dilakukan diatas segment tersebut berhubungan dengan
resiko kerusakan spinal cord dan sebaiknya tidak dilakukan. Secara anatomis dipilih
segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung bawah daripada medula
spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih
datar dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi interspace ini dicari
dengan menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan. Maka titik pertemuan dengan
segmen lumbal merupakan processus spinosus L4 atau L4-5.8

Neuron simpatis preganglion dan postganglion


Saraf simpatis berbeda dengan saraf motorik skeletal dalam hal berikut: setiap
jaras simpatis dari medula spinalis ke jaringan yang terangsang terdiri atas dua
neuron,yaitu neuron praganglion dan posganglion. Badan sel setiap neuron
preganglion terletak di kornu intermediolateral medula spinalis dan serabut-serabutnya
bejalan melewati radiks anterior medula menuju saraf spinal terkait8.
Gambar 2. Jaras saraf simpatis10
Di semua ketinggian medula, beberapa serabut postganglion berjalan kembali
dari rantai simpatis menuju saraf-saraf spinal melalui rami abu-abu.srabut simpatis ini
semuanya menrupakan serabut tipe C yang sangat kecil,dan serabut tersebut dengan
menggunakan saraf skeleta menyebar ke seluruh bagian tubuh. Serabut ini mengatur
pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot piloerktal rambut. Kira-kira 8 persen
serabut dan saraf skeletal adalah serabut simpatis, hal ini menunjukkan betapa
pentingnya serabut simpatis.9
Jaras simpatis yang berasal dari berbagai segmen medula spinalis tak perlu
didistribusikan ke bagian tubuh yang sama seperti halnya saraf-saraf spinal somatik
dari segmen yang sama. Justru saraf simpatis dari medula pada segmen T-1 umumnya
melewati rantai simpatis naik untuk berakhir di daerah kepala, dari T-2 untuk berakhir
di daerah leher dari T-3,T-4,T-5 dan T-6 di daerah thoraks, dari T-7,T-8, T-9,T-10,
dan T-11 ke abdomen, dan dari T-12, L-1 dan L-2 ke daerah tungkai. Pembagian ini
kuran lebih demikian dan sebagian besar tumpang tindih.Di medula adrenal serabut-
serabut saraf ini langsung berakhir pada sel-sel neuron khusus yang menyekresikan
epinefrine dan norepinefrine ke dalam aliran darah.8
Gambar 3. Target organ saraf simpatis dan parasimpatis10
Penting untuk mengingat struktur yang akan ditembus oleh jarum spinal
sebelum bercampur dengan CSF.9

 Kulit
 Lemak subcutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah
mengidentifikasi ruang intervertebra pada pasien kurus
 Ligament Supraspinosa
 Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis diantara
prosesus spinosus
 Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic yang
berjalan secara vertical dari lamina ke lamina.
 Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah
 Duramater
 Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang
dikelilingi oleh CSF. Injeksi dari anestesi local akan bercampur dengan CSF
dan secara cepat memblok akar syaraf yang berkontak.
Gambar 4. Sagital section through lumbar vertebra.9

Gambar 5. Dermatom tubuh.9


Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serabut saraf sensoris yang
berasal dari satu saraf spinal. Gambar 11 memperlihatkan segmen dermatom tubuh
yang penting untuk anestesi dalam pembedahan, efek anestesi spinal harus mencapai
segmen dermatom tertentu agar dapat memblok persarafan di daerah pembedahan
tersebut.9
Tabel 1. Ketinggian segmen dermatom dalam anestesi spinal untuk prosedur pembedahan1
Pembedahan Ketinggian segmen dermatom kulit
Tungkai bawah T12
Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli, prostat T10
Testis ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen atas T4
Paha dan tungkai bawah L1

2.2 Anestesi
Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam
ruang subarakhnoid di region antara lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4 dan 5
dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan blokade
saraf simpatis10. Beberapa nama lain dari anestesia spinal diantaranya adalah analgesia
spinal, analgesia subarakhnoid, blok spinal, blok arakhnoid, anestesi subarakhnoid dan
anestesi lumbal11. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.1,8
Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan
anestesia umum, khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah, perineum
dan ekstremitas bawah. Anestesia spinal dapat menumpulkan respons stress terhadap
pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan kejadian
tromboemboli postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien bedah
dengan risiko tinggi.1,11
Gambar 6. Pendekatan garis tengah dan paramedian (Jarum A dan B) dapat secara langsung mecederai spinal
cord, dimana kesalahan deviasi (Jarum C) dapat mengenai nervus spinalis atau ramus primer anterior maupun
posterior diluar foramen. Kesalahan pendekatan jarum lateral, contohnya, pendekatan trans foraminal (Jarum
D), dapat berpotensi mengenai nevus spinalis ataupun arteri spinalis. Catatan bahwa pendekatan transforaminal
adalah pendekatan tipikal yang digunakan pada level servikal ataupun lumbal, bukan pada level T6 yang seperti
diilustrasikan. Ilustrasi oleh Garry J. Nelson. 7

Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio vertebra.


Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit,
subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum
flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada diantara arakhnoid dan
piameter, sedangakan ruang antara ligamentum flavum dan durameter merupakan
ruang epidural.10,12
Anestetik lokal yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan memblok
impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan posterior yang
melewati cairan serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan tempat aksi kerja utama
pada anestesi spinal dan epidural, selain itu bisa bekerja pada serabut akar saraf spinal
dan akar ganglion dorsal. Dalam anestesi spinal konsentrasi obat lokal anestetik di
cairan serebrospinal memiliki efek yang minimal pada medula spinalis.12,13
Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang
subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada
daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal sedikit mengandung epineurium dan
impulsnya mudah dihambat, (2) daerah permukaan saraf yang terpajan akan
memudahkan absorpsi dari anestetik lokal. Oleh karena itu semakin jauh penyebaran
anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin menurun konsentrasi
anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3) lapisan lipid pada serabut
saraf, (4) aliran darah ke sel saraf.13 Absorbsi dan distribusi anestetik lokal setelah
penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak faktor antara lain dosis, volume dan
barisitas dari anestetik lokal serta posisi pasien.13 Selanjutnya obat memiliki akses
bebas ke jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada target lokal di membran
sel saraf serta sebagian kecil dosis dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal
di cairan serebrospinal ini tidak berikatan dengan protein terlebih dahulu.12
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi lokal
disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural dan kaudal)
dan menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang epidural. Injeksi
langsung anestesi lokal ke CSF untuk anestesi spinal memungkinkan dosis yang relatif
kecil dan volume anestesi lokal untuk mencapai blokade sensorik dan motorik.
Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi pada akar saraf memerlukan volume
dan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu, tempat suntikan untuk anestesi epidural
harus dekat dengan akar saraf yang harus diblok. Blokade transmisi saraf (konduksi)
dalam pada serabut saraf posterior akan menghambat somatik dan viseral, sedangkan
blokade serabut akar saraf anterior mencegah eferen motorik dan outflow otonom.5

2.2.1 Blokade somatik


Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan
tonus otot rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang
sangat baik. Blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan
viseral, sedangkan blokade motorik menghasilkan relaksasi otot rangka.
Pengaruh anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran
serabut saraf, apakah itu bermielin, konsentrasi yang dicapai dan lama kontak.
Akar saraf tulang belakang terdiri dari berbagai tipe serat saraf. Serat lebih
kecil dan bermielin umumnya lebih mudah diblokir daripada yang lebih besar
dan tidak bermielin. Fakta bahwa konsentrasi anestesi lokal menurun dengan
meningkatnya jarak dari level injeksi, menjelaskan fenomena blokade
diferensial. Diferensial blokade biasanya menghasilkan blokade simpatik
(dinilai oleh sensitivitas suhu) yang mungkin dua segmen lebih tinggi dari blok
sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua segmen lebih tinggi dari blokade
motoric.5

2.2.2. Blokade otonom


Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan
blokade dari simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa
dideskripsikan sebagai torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral.
Serabut saraf praganglion simpatis (kecil, serabut termielinisasi tipe B) keluar
dari spinal cord dari T1 sampai L2 dan bisa menyebabkan rantai simpatis ke
atas maupun ke bawah sebelum bersinap dengan posganglion sel pada ganglia
simpatik. Anestesi neuroaksial tidak memblok nervus vagus. Respon fisiologi
dari anestesi ini adalah menurunkan kerja simpatis.5
Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah yang
disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Tonus
vasomotor secara primer ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari
T5 dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari nervus
ini menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian darah
dan menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi
ateria dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Efek
dari vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan cara mengkompensasi
vasokonstriksi diatas blok. Blok simpatis yang tinggi tidak hanya
mengkompensasi vasokonstriksi tapi juga memblok serabut akselarator
jantung yang berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan oleh bradikardi
dan penurunan kontraktili jantung. Hal ini dapat diperbaiki dengan cara
meningkatkan venous return dengan meninggikan kepala.5
Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi.
Hal ini diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg pada
pasien sehat akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena.
Walaupun dengan usaha ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani
dengan tepat. Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat
dilakukan dengan cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan
simptomatik harus ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi diterapi
menggunakan vasopresor. Direct α-adrenergic agonis (seperti fenilefrin)
meningkatkan tonus vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar, yang
menyebabkan peningkatan aliran balik vena dan resistensi sistemik vaskular.
Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal
dengan blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang
berasal dari C3-C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal tidak
berubah, hanya ada sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan oleh
hilangnya kontribusi otot perut 'untuk ekspirasi paksa.6
Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan
neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf
aferen somatik dan viceral. Respon ini termasuk peningkatan hormon
adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin
melalui sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade
dapat menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini.6
Eliminasi anestetik lokal terjadi melalui penyerapan oleh pembuluh
darah dalam ruang subarakhnoid dan epidural. Penyerapan ini terjadi pada
pembuluh darah di piameter dan medulla spinalis. Laju penyerapan
berhubungan dengan luas permukaan pembuluh darah yang kontak dengan
anestetik lokal. Anestetik lokal yang mempunyai kelarutan lemak yang tinggi
akan meningkatkan absorpsi kedalam jaringan, sehingga mengurangi
konsentrasi. Anestetik lokal juga berdifusi ke dalam ruang epidural dan setelah
di ruang epidural akan berdifusi ke dalam pembuluh darah epidural10.
2.3. Cedera Medulla Spinalis Akibat Anestesi Regional

Cedera mekanis

Beberapa komplikasi anestesi neuraksial adalah sekunder terhadap cedera


mekanis saraf spinal, akar saraf spinal, atau saraf spinal yang keluar dari foramen
intervertebralis. Cedera terhadap struktur-struktur ini mungkin diakibatkan oleh
trauma langsung jarum atau kateter, atau lesi dalam kanalis vertebral yang menekan
struktur saraf, dan dengan demikian menyebabkan cedera iskemik. Berbagai
mekanisme ini akhirnya menyebabkan hilangnya anatomi dan/atau fisiologis integritas
saraf sehingga dapat mengakibatkan cedera permanen.6

Sumber : 2015 American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine.6

Trauma Spinal Cord Iatrogenik

Insidensi trauma saraf spinal yang berhubungan dengan jarum/kateter masih


belum diketahui, tetapi jelas langka. Anestesiologis melaporkan mungkin terdapat
data-data yang tidak dilaporkan, sedangkan data-data medikolegal mungkin
mengarahkan data-data ke arah yang sebaliknya. Misalnya, tercatat 6 (0,73%) cedera
saraf spinal langsung dari 821 klaim neuraksial dari data American Society of
Anesthesiologists (ASA) Closed Claims, yang tidak mempunyai jumlah total kasus.7
Sebaliknya, trauma jarum langsung hanya terdeteksi pada 9 dari 1,7 juta anestesi
neuraksial (0,0005%) selama periode 10 tahun di Swedia,12 dan hanya 1 kasus
dilaporkan pada survei tahun 2000 dari pusat rehabilitasi saraf spinal Perancis (dari
perkiraan 1 juta anestesi neuraksial dilakukan tahun tersebut).7
Tiga karakteristik anatomis dari neuraksis manusia berkontribusi terhadap
potensi cedera jarum atau kateter. Pertama, meskipun konus medularis biasanya
dideskripsikan berhenti di sela vertebra L1–2 pada dewasa (dan berakhir lebih bawah
dalam beberapa bulan pertama kehidupan), ujung dari konus medularis ini sangat
bervariasi dari T12 hingga L4. Dengan adanya variasi ini dan inakurasi dokter ahli
dalam menentukan sela vertebra mana yang sedang mereka palpasi, tidak mengejutkan
bahwa cedera jarum saraf spinal dilaporkan pada kasus dimana konus medularis
berhenti lebih bawah dari yang diharapkan. Memang, sebuah penelitian terbaru
menunjukkan bahwa pada 40% ibu melahirkan, tingkat vertebra yang diidentifikasi
dengan palpasi pada garis intercristal kenyataannya pada sela L3 atau lebih tinggi. 6
Ultrasonografi neuraksial mungkin dapat meningkatkan akurasi perkiraan
tingkat vertebra karena ultrasonografi neuraksial lebih akurat dari pada palpasi dalam
mengidentifikasi, terutama pada kasus-kasus seperti obesitas, skoliosis, atau operasi
tulang belakang sebelumnya.17 Kedua, ekspektasi untuk menemukan tahanan sebelum
menusukkan jarum ke ruang epidural tidak selalu terpenuhi pada individu-individu
diengan ligamentum flavum yang gagal menyatu pada garis tengah, yaitu suatu kondisi
yang lebih sering ditemukan pada toraks bagian atas (4-21% pada T3-4 dan di atas)
dan neuroaksis servikal (51-74%). Dysraphisms kongenital tak terduga juga dapat
berkontribusi terhadap cedera saraf spinal.7 Ketiga, rentang kesalahan selama
penusukan jarum berkurang secara signifikan saat seseorang menusukkan dari ruang
epidural posterior lumbar dengan dimensi 5 hingga 13 mm dari dorsal ke ventral, ke
posterior toraks 2 hingga 4 mm ruang epidural, ke rata-rata 0,4 mm ruang epidural
servikal posterior.6
Sumber : 2015 American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine6

Suatu lesi massa juga dapat menyebabkan cedera medula spinalis. Lesi
intradural atau lesi ekstradural bersaing untuk mendapatkan ruang dalam kanal spinal
dan dengan demikian berpotensi menurunkan tekanan perfusi saraf spinal (SCPP /
Spinal Cord Perfusion Pressure) dengan mekanisme menghambat aliran arteri,
menghambat aliran keluar vena, atau meningkatkan tekanan cairan serebrospinal
(CSF) ([SCPP = rata-rata tekanan arteri (MAP) - tekanan CSF saraf spinal]23; dalam
keadaan yang jarang terjadi, tekanan aliran vena langsung juga dapat berdampak SCPP
regional). Jika SCPP cukup berkurang, dapat menyebabkan iskemia saraf spinal yang
pada kasus lebih berat dapat terjadi infark. Hematoma dan abses epidural merupakan
komplikasi anestesi neuraksial atau teknik pengobatan nyeri yang biasa terjadi, dan
dapat menyebabkan konsekuensi lesi massa. Potensi untuk peningkatan tekanan
transien sekunder karena anestesi lokal berlebihan (khususnya pada bayi), jalan keluar
terkompromi dari anestesi lokal atau darah melalui stenosis foramen intervertebral
stenosis, atau lesi massa yang tidak biasa seperti tumor, granuloma dari pemberian
morfin kronis secara intrateka, lipomatosis epidural lipomatosis, kista sinovial, atau
ependimoma. Banyak kondisi-kondisi tersembunyi bagi pasien serta praktisi dan
menjadi relevan hanya ketika darah, nanah, atau anestesi lokal bersaing untuk
mendapatkan ruang dalam kanal vertebra yang terbatas. Adanya peningkatan volume
dalam kanal vertebra, apakah dengan cairan atau lesi massa, dapat memiliki efek
“penghambat Starling” pada pembuluh darah, membatasi masuknya darah ke dalam
dan keluar jaringan yang terkena. Lebih lanjut, pasien dengan stenosis tulang belakang
yang parah atau efek massa lainnya mungkin meningkatkan risiko aliran darah dan
jaringan terganggu ketika suatu tindakan bedah membutuhkan posisi tertentu seperti
lordosis ekstrim, litotomi, atau posisi fleksi lateral.6

Iskemia Spinal Cord dan Vascular Injury

Gangguan SCBF dapat terjadi dari berbagai mekanisme, termasuk trauma jarum
yang mempengaruhi pembuluh darah tulang belakang (Gbr. 2), lesi compressivemass
(Gambar 3), atau spasme vaskular (Gambar 4). aliran darah spinalis tali pusat juga
dapat dikompromikan dari aliran rendah menyatakan, seperti mungkin yang signifikan
terjadi dan berkepanjangan hipotensi sistemik, fenomena embolik, atau stenosis
vaskular. Frekuensi iskemia sumsum tulang belakang jelas langka dan kami
pemahaman terbatas. Artikel kami sebelumnya2 diulas secara ekstensif suplai darah
tali tulang belakang manusia. Sumsum tulang belakang dan cauda equina menerima
dua pertiga dari suplai darah mereka dari anterior arteri spinal, yang tidak dapat terluka
langsung oleh garis tengah atau jarum paramedian tanpa terlebih dahulu melintasi
sumsum tulang belakang (Gbr. 2).6
Gambar 7. Pendekatan dari garis tengah atau pendekatan paramedian dapat secara langsung
menyebabkan trauma arteri spinal posterior, sedangkan penyimpangan lateral yang tidak disengaja dari
jarum dapat menghubungi arteri cabang tulang belakang. Cedera langsung pada arteri spinal anterior
akan membutuhkan penempatan jarum atau katete melalui sumsum tulang belakang. Ilustrasi oleh Gary
J. Nelson. Direproduksi dengan izin dari Neal dan Rathmell, Komplikasi dalam Regional Anestesi dan
Obat Nyeri.6

Neurotoksisitas

Neurotoksisitas lebih mungkin terjadi bersamaan dengan gangguan fisik pada


barier darah-saraf spinal oleh jarum atau trauma kateter, atau dari kondisi iatrogenik
yang menyebabkan maldistribusi dan / atau overdosis anestesi lokal neuraksial. Bukti
klinis berasal dari laporan kasus pasien yang menderita cedera neuraksis yang
dianggap sekunder terhadap mekanisme neurotoksik, meskipun pasien tersebut
menerima dosis standar bius lokal spinal atau epidural tanpa adjuvan.6

Stenosis Spinal

Hematoma tulang belakang, abses, penyebaran tumor, lipomatosis epidural,


kista arachnoid spinal, ankylosing spondylitis, atau posisi bedah ekstrim seperti
hyperlordosis atau fleksi lateral ekstrim adalah penyebab mekanis yang dapat
berkontribusi terhadap perkembangan iskemia atau infark sumsum tulang belakang di
periode perioperatif. Literatur terbaru telah berfokus pada stenosis tulang belakang
degeneratif dan hubungannya dengan berbagai manifestasi cedera neuraksial dalam
manajemen anestesi regional. Stenosis tulang belakang degeneratif disebabkan oleh
osteoporosis dan / atau hipertrofi ligamentum flavum dan unsur kanal tulang belakang
yang secara efektif mengurangi saluran tulang belakang daerah potong lintang dan
mengurangi ruang sumsum tulang belakang dan akar saraf.6
Mekanisme serupa mungkin berkontribusi terhadap neurotoksisitas lokal
anestesi dengan menyebabkan maldistribusi dan/atau mengurangi bersihan relative
obat takterdilusi. Perubahan degenerative mungkin dapat meyebabkan penyempita
dari foramen vertebral, yang mengurangi keluarnya cairan dan mengakibatkan
peningkatan tekanan kanal vertebradan mengurangi aliran darah kesaraf secara
perlahan. Penyempitan spinal mempresntasikan keberatan penyakit yang berlanjut,
dari ringan dan insuqensional ke berat; 19% pasien pada usia 60an akan memiliki
stenosis spinal absolut (diameter anteroposterior canalis spinalis <1 cm). Meskipun
biasanya ditemukan saat pemeriksaan pencitraan untuk diagnosis nyeri tulang
belakang, ada beberapa pasien yang tidak terdiagnosa dan baru ditemukan saat
pemeriksaan cedera setelah anestesi neuraxial.6
Potensi stenosis spinal untuk menyebabkan atau memperburuk cedera neuraksial
dalam manajemen anestesi regional telah menjadi objek spekulasi selama beberapa
dekade. Namun, sinyal kuat pertama dari hubungan antara patologi tulang belakang
dan peningkatan risiko cedera neuraksial diidentifikasi di Moen. dkk '12 laporan
tentang hubungan antara stenosis tulang belakang dan cedera neuraksial pada 1,7 juta
anestesi neuraksial yang dilakukan di Swedia antara 1990 dan 1999. Dari 33 kasus
hematoma tulang belakang, sepertiga dikaitkan dengan koagulopati atau
tromboprofilaksis (dalam sepertiga dari kasus-kasus tersebut, thromboprophylaxis
diberikan sesuai dengan pedoman yang diterbitkan). Laporan ini membandingkan
kelangkaan ekstrem hematoma tulang belakang pada wanita muda yang menerima
anestesi neuraksial untuk persalinan (1: 200.000) versus 1: 22.000 kejadian hematoma
tulang belakang pada wanita lanjut usia yang menjalani perbaikan fraktur panggul atau
1: 3600 kejadian pada wanita lansia tersebut. menerima artroplasti sendi total. Selama
pencitraan diagnostik, 6 dari 33 kasus dicatat memiliki stenosis spinal atau spondilitis
ankilosa yang sebelumnya tidak terdiagnosis. Kondisi ini mungkin telah mengganggu
sirkulasi sumsum tulang belakang ke tingkat yang lebih besar pada kebanyakan wanita
lansia yang merupakan mayoritas dari kohort ini, dibandingkan dengan pasien
kebidanan yang lebih muda dengan kanal tulang belakang tanpa kompromi yang
mungkin akan mengalami tingkat gangguan sirkulasi yang lebih rendah dari hematoma
berukuran sama.7
Sejak publikasi Swedia, laporan konfirmasi telah muncul.13,43 Sebagai contoh,
analisis retrospektif anestesi neuraksial yang dilakukan pada pasien dengan pathal
canal spinal yang diketahui (stenosis spinal atau penyakit cakram lumbalis) mengamati
insidensi neuraksial 1,1%. , yang lebih tinggi dari yang diharapkan untuk pasien tanpa
kelainan saluran tulang belakang yang menjalani operasi serupa di institusi yang sama.
Sementara penelitian ini mengkorelasikan observasi dari penyelidikan sebelumnya
dan menunjukkan insiden yang lebih tinggi pada pasien dengan stenosis tulang
belakang yang diketahui dibandingkan dengan mereka dengan penyakit yang tidak
terduga, hal ini juga menunjukkan kesulitan dalam menetapkan patologi kanal tulang
belakang dan cedera neuraksial sebagai sebab dan akibat, dan bukan asosiasi. Laporan
kasus dan pencatatan besar tidak menyediakan kelompok kontrol anestesi umum dan
tidak dapat membedakan apakahhasil cedera yang diamati dari patologi saluran tulang
belakang yang mendasari, perkembangan penyakit, faktor bedah, posisi pasien, atau
kombinasi keduanya.
Dalam beberapa kasus, stenosis tulang belakang telah didiagnosis dan mungkin
merupakan indikasi untuk intervensi. Selain itu, stenosis spinal dapat berkontribusi
terhadap cedera neurologis dari pembedahan atau pemosisian bahkan tanpa adanya
teknik anestesi neuraxial.
Berdasarkan rincian yang diperoleh dari literatur terbatas tentang topik ini dan
sesuai dengan teori double-crush, kami percaya itu masuk akal untuk berspekulasi
bahwa pasien dengan stenosis tulang belakang sedang sampai berat mungkin lebih
rentan terhadap cedera jika ada kondisi hidup bersama seperti operasi neuraksial,
penyakit neurologis yang sudah ada sebelumnya, mucopolysaccharidosis, posisi
pasien nonneutral, atau kondisi yang diketahui atau tidak diketahui yang bersaing
untuk area cross-sectional terbatas dalam kanal tulang belakang. Meskipun dominan
stenosis tulang belakang telah dikaitkan dengan epidural dan gabungan teknik spinal-
epidural, hubungan dengan anestesi spinal juga telah dilaporkan. Sebagaimana dicatat
sebelumnya, kehadiran stenosis tulang belakang mungkin tidak diketahui oleh klinisi
dan pasien. Namun, pasien yang melaporkan klaudikasi neurogenik dengan gejala
yang berkembang dengan ambulasi cenderung memiliki stenosis berat, bahkan jika
tidak didiagnosis secara formal. Rekomendasi untuk stenosis spinal ditemukan pada
Tabel 2.6

Sumber : 2015 American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine.6

Kontrol Tekanan Darah Selama Anestesi Neuraxial


Iskemia atau infark sumsum tulang belakang yang berhubungan dengan anestesi
regional neurak upsial adalah kejadian yang sangat jarang yang dapat muncul sebagai
sindrom arteri tulang belakang anterior (ASAS), sindrom arteri tulang belakang
posterior, infark watershed, atau cedera yang tidak jelas yang konsisten dengan SCBF
yang sangat berkurang atau tidak ada. Untuk perspektif, hanya 10 dari 821 klaim
medikolegal untuk cedera neuraksial yang terdapat dalam database ASA Closed
Claims yang diduga berasal dari ASAS atau variasi iskemia sumsum tulang belakang.
Sebuah studi tentang hasil jangka panjang setelah iskemia sumsum tulang belakang
akut didokumentasikan bahwa hanya 1 dari 54 pasien telah benar-benar menerima
anestesi neuraksial. Hal ini tidak mengherankan, karena risiko tertinggi untuk infark
perioda medulla spinalis berhubungan dengan operasi tertentu, misalnya, aorta,
jantung, toraks, atau operasi tulang belakang. Walaupun autoregulasi SCBF
mencerminkan bahwa aliran darah otak, stroke tulang belakang tampaknya jauh lebih
jarang daripada perkiraan 0,1% insidensi stroke serebral perioperatif pada pasien yang
menjalani operasi noncardiac, nonneurologic. Iskemia dan infark medula spinal jarang
dilaporkan. bahkan setelah skenario klinis tekanan arteri rata-rata rendah
berkepanjangan (MAP), seperti selama cardiopulmonary bypass atau hipotensi yang
diinduksi ke MAP 60 mm Hg atau kurang. Sementara itu relatif jarang untuk survivors
dari cardiac arrest untuk mengembangkan cedera iskemik sumsum tulang belakang,
46% dari mereka yang meninggal karena serangan jantung atau episode hipotensi berat
bermanifestasi miokopati sumsum tulang belakang iskemik pada otopsi. Meskipun
harapan mietopati iskemik akan paling prevalen di daerah dangkal medulla spinalis
toraks (karena sumsum tulang belakang toraks secara klasik dipasok oleh arteri
meduler yang lebih sedikit daripada sumsum tulang belakang serviks atau
lumbosakral), 95% dari kasus pada p studi postmortem yang dicatat dengan jelas
terlibatsumsum tulang belakang lumbosacral, sedangkan hampir 50% kasus yang
dilaporkan dalam penelitian neuroradiologic terjadi pada tingkat serviks. 6
Meskipun anestesi lokal dan terutama adjuvant sering terlibat sebagai kontribusi
terhadap iskemia sumsum tulang belakang, pada 2008 kami meramalkan bahwa—
melekat pada sumsum tulang belakang yang dibius - tidak ada golongan senyawa yang
mengurangi SCBF di luar proporsi permintaan metabolik. Sebaliknya, penurunan
CMRO2 di luar proporsi aliran darah tidak dapat diandalkan untuk memprediksi
perlindungan serebral, dan mungkin memiliki kesamaan hubungan di sumsum tulang
belakang. Dengan demikian, baik anestetik lokal maupun adjuvan akan diharapkan
untuk mempengaruhi cedera tali pusat berdasarkan pelepasan SCBF dan tingkat
metabolisme, terlepas dari arah pelepasannya, sebagian karena besarnya pelepasan
akan menjadi kecil. Obat-obatan vasoaktif seperti epinefrin dan fenilefrin tidak
mempengaruhi SCBF, baik dikirimkan sebagai adjuvant intratekal atau dalam dosis
intravena yang sesuai secara klinis.6

Hipotensi Signifikan Selama Neuraxial Anestesi

Berkenaan dengan durasi hipotensi, sebuah penelitian case-control pada 48.241


pasien yang menjalani operasi nonkardiak, nonneurologik melaporkan bahwa pasien-
pasien yang MAP-nya adalah 30% atau lebih besar di bawah baseline preoperatif
memiliki risiko signifikan lebih tinggi stroke serebral iskemik perioperatif, yang juga
berkorelasi dengan durasi hipotensi. Selain itu, ada kemungkinan periode yang
berkepanjangan hipotensi derajat yang lebih rendah (atau, alternatifnya, hipoperfusi
jaringan lokal) mungkin juga signifikan, seperti disimpulkan dari pengamatan bahwa
beberapa pasien dengan ASAS timbul gejala seiring berjalannya waktu; artinya, tidak
semuanya ditemukan kelumpuhan flaksid mendadak.6
Singkatnya, petunjuk terbaru dari penasihat ini untuk menghindari hipotensi
yang signifikan (terutama dengan durasi yang berkepanjangan) selama blokade
neuraksial didasarkan pada bukti yang berkembang bahwa LLA aliran darah serebral
dan SCBF tampaknya lebih tinggi dari yang sebelumnya diterima. Selanjutnya, ada
peningkatan kesadaran bahwa rentang LLA serebral dan tulang belakang lebar pada
manusia, dan bahwa setidaknya sebagian kecil pasien dengan MAP "normal rendah"
dapat menunjukkan tanda-tanda iskemia sumsum tulang belakang atau cedera
berkelanjutan. Studi klinis besar yang secara langsung menghubungkan tekanan darah
rendah ke cedera sumsum tulang belakang masih kurang. Sebaliknya, kami hanya
memiliki asosiasi dikumpulkan dari laporan kasus atau diekstrapolasi dari studi
manusia yang terbatas tentang titik akhir pengganti, misalnya, mengukur LLA serebral
selama cardiopulmonary bypass atau pembalikan defisit elektrofisiologis selama
operasi tulang belakang akibat koreksi tekanan darah rendah
Meskipun ada kekhawatiran mengenai hipotensi yang berkepanjangan dan
bermakna sebagai faktor risiko dari cedera iskemik sumsum tulang belakang,
kelangkaan dan sifat cedera seperti itu membuat mustahil untuk membuat asumsi
tentang sebab dan akibat. Di sebagian besar kasus yang dilaporkan, tidak adanya
rincian klinis atau keberadaannya etiologi lain yang berpotensi mengaburkan
menghalangi penyebab dan efek. Beberapa studi menunjukkan keamanan relatif yang
dari hipotensi berkepanjangan pada manusia selama anestesi umum dan / atau
regional. Misalnya, studi klinis hipotensi yang diinduksi prostaglandin selama operasi
tulang belakang mencatat tidak adanya cedera tulang belakang selama MAP
dipertahankan pada 60 mm Hg MAP. Namun, dalam model yang berbeda, cedera otak
yang buruk atau cedera dan kematian sumsum tulang belakang leher telah diperkirakan
menjadi kausal terkait dengan hipotensi di sebaliknya pada pasien sehat yang
menjalani operasi bahu di BCP.65 Cedera ini sangat langka dan bisa dibilang termasuk
dalam yang stroke serebral perioperatif.51 Tiga seri penelitian dengan total sampel
lebih dari 9300 pasien yang dioperasi di BCP melaporkan tidak ada cedera serebral
atau cedera iskemik sumsum tulang belakang servikal meskipun kurang lebih separuh
pasien di kedua studi mengalami episode hipotensi (didefinisikan sebagai 30% hingga
40% pengurangan MAP baseline, sistolik tekanan <90 mm Hg, penurunan saturasi
oksigen otak, dan / atau MAP <66 mm Hg). Durasi hipotensi yang dialami oleh pasien
ini relatif terbatas (hanya 5% -7% waktu operasi [15–18 menit]). Laflam dkk
melaporkan dalam studi prospektif bahwa pasien yang dioperasikan di BCP sering
mengalami autoregulasi berkurang atas berbagai MAP (70 mm Hg; kisaran
interkuartil, 55-80 mm Hg), namun tidak menunjukkan bukti cedera otak. Secara
keseluruhan, hasil ini dapat ditafsirkan sebagai mendukung konsep cadangan fisiologis
yang melindungi sebagian besar pasien dari cedera, bahkan ketika periode terbatas dari
MAP rendah terjadi di otak atau tingkat sumsum tulang belakang leher sementara
dikerjakan di BCP.
Mungkin lebih banyak apropos untuk pasien yang menjalani anestesi regional
neuraksial, Sharrock dan rekan melaporkan pengalaman beberapa dekade dengan
anestesi epidural hipotensif total pada operasi artroplasti pinggul, di mana tujuan
mereka adalah untuk mengurangi kehilangan darah dan untuk meningkatkan
kepatuhan komponen prostetik acetabular. Pekerjaan mereka dapat diringkas sebagai
hipotensi yang diinduksi menjadi MAP dari 45 hingga 55 mm Hg yang biasanya
dipertahankan untuk 30 hingga 120 menit, tapi kadang-kadang lebih lama. Sharrock
dkk melaporkan bahwa rejimen ini tidak mempengaruhi fungsi ginjal, fungsi kognitif,
atau fungsi jantung, bahkan pada pasien usia lanjut dengan penyakit jantung iskemik
yang sudah ada sebelumnya dan / atau hipertensi. Dari yang sangat penting adalah
memahami bahwa Sharrock dan kolega rutin terlibat jauh selama intraoperatif lebih
banyak daripada menggunakan anestesi epidural padat untuk menginduksi hipotensi.
Regimen mereka termasuk perhatian cermat terhadap detail seperti menjaga posisi
tulang belakang netral, tekanan vena sentral, dan curah jantung. Dengan
memperhatikan untuk fungsi jantung, penggunaan infus epinefrin dosis rendah (1-4 pg
/ mnt) menjaga tekanan vena sentral, denyut jantung, volume curah jantung, dan indeks
jantung. Mereka melaporkan bahwa epinefrin lebih unggul untuk mempertahankan
parameter vital ini, daripada phenylephrine, yang mempengaruhi denyut jantung dan
cardiac index. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa, meskipun rendah
berkepanjangan Rejimen klinis MAP, Sharrock dan kawan-kawan mempromosikan ke
depan aliran darah dan menghindari afterload jantung yang berlebihan. 6
Untuk menempatkan argumen kami untuk meningkatkan kesadaran akan
tekanan darah selama anestesi neuraksial ke dalam perspektif, tingkat cedera saraf otak
dan tulang belakang selama semua operasi sangat rendah, bahkan di bawah berpotensi
"kondisi fisiologis stres" seperti BCP dan hipotensi yang diinduksi. Luas sekali
sebagian besar pasien tampaknya mentoleransi periode terbatas marginal hipotensi.
Kami tetap mengandaikan bahwa subset yang sangat kecil pasien tidak memiliki
cadangan fisiologis atau memiliki set yang lebih tinggi arahkan ke LLA masing-
masing, yang kami duga meningkatkannya kerentanan terhadap kejadian iskemik
spinal cord. Selanjutnya, posisi selain posisi terlentang netral dapat meningkatkan
kerentanan pasien ini untuk iskemia sumsum tulang belakang baru, apakah perubahan
posisi adalah hasil dari posisi bedah preinsisi atau perubahan dalam hubungan anatomi
lokal atau regional yang dihasilkan dari retraksi bedah. 6
Rekomendasi untuk kontrol tekanan darah selama anestesi regional neuraksial
dirangkum dalam Tabel 3
Tabel 3. Rekomendasi: Kontrol Tekanan Darah Selama Anestesi Neuraksial
Rekomendasi ini dimaksudkan untuk mendorong perawatan pasien yang
optimal, tetapi tidak dapat memastikan penghindaran hasil yang merugikan.
Seperti halnya rekomendasi praktis, ini dapat direvisi sebagai kemajuan
pengetahuan mengenai komplikasi spesifik.
 Anestesi lokal, adjuvan, dan kombinasi mereka memiliki efek variabel pada
SCBF. Pengurangan SCBF pada anestesi lokal dan adjuvan biasanya
mencerminkan penurunan dalam demand metabolik sekunder terhadap anestesi
sumsum tulang belakang. Tidak ada bukti bahwa epinefrin atau efedrin intravena
atau intratekal berdampak buruk pada SCBF. (Kelas I)
 Pemahaman kita tentang batas bawah autoregulasi SCBF telah berkembang baru-
baru ini, berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian LLA serebral.
Daripada LLA serebral yang diterima sebelumnya pada MAP 50 mm Hg pada
manusia, banyak ahli sekarang percaya LLA serebral pada orang dewasa yang
tidak dibius adalah 60 hingga 65 mm Hg MAP. Ada variabilitas LLA yang luas di
antara subjek. Hipertensi yang sudah ada sebelumnya merupakan prediktor dari
LLA yang buruk kecuali pada hipertensi ekstrim, misalnya, tekanan sistolik> 160
mm Hg. (Kelas II)
 Laporan kasus membuktikan subset yang sangat kecil dari pasien yang menderita
iskemia serebral atau spinal yang terkait dengan periode tekanan darah rendah
yang parah atau berkepanjangan. Kejadian langka ini sangat kontras dengan
kejadian perioperatif umum dari hipotensi relatif yang tidak menyebabkan iskemia
pada sumsum tulang belakang. Agaknya, cedera tidak bermanifestasi pada pasien
ini karena cadangan fisiologis itu ada antara LLA dan ambang tekanan darah di
bawah saat cedera neurologis terjadi. (Kelas III)
 Ketika LLA SCBF didekati, kondisi pasien tertentu dapat meningkatkan risiko
cedera. Kondisi seperti itu termasuk mengurangi kapasitas membawa oksigen
darah, gangguan SCBF dari obstruksi lesi anatomi, dan / atau peningkatan tekanan
CSF sumsum tulang belakang. (Kelas I)
 Dengan tidak adanya alasan kuat untuk mengelola pasien, kami menyarankan
bahwa tekanan darah selama anestesi neuraksial dipertahankan dalam rentang
normal atau setidaknya dalam 20% -30% dari MAP awal. Ketika MAP berjalan di
bawah parameter ini, kami merekomendasikannya tidak diizinkan untuk bertahan
pada level itu. Sementara parameter yang direkomendasikan ini arbitrary, mereka
disimpulkan berdasarkan populasi yang besar studi yang menghubungkan baik
derajat dan durasi hipotensi ke cedera otak, ginjal, atau miokardial perioperatif.
(Kelas II)
 Ketika anestesi atau analgesia neuraksial diikuti oleh blokade sensorik motorik
yang tak terduga atau berkepanjangan, luapan kelemahan atau perubahan sensorik
setelah resolusi blok awal, atau blokade saraf di luar distribusi yang diharapkan
dari prosedur yang dimaksudkan, ahli anestesi harus mengesampingkan penyebab
reversibel dengan cara yang bijaksana. Berdasarkan penilaian dokter, ini mungkin
memerlukan pengurangan atau penghentian infus anestesi lokal dan pemeriksaan
ulang pasien dalam satu jam atau segera neuroimaging untuk menlihat
kemungkinan proses kompresi (hematoma atau abses). Jika pencitraan dilakukan,
pencitraan resonansi magnetik lebih baik daripada CT, tetapi diagnosis tidak boleh
ditunda jika hanya CT tersedia. Namun, jika CT untuk menyingkirkan diagnosis
lesi kompresi, pencitraan resonansi magnetik berikutnya akan diperlukan jika
iskemia sumsum tulang belakang dicurigai. (Kelas I)
 Jika pencitraan menyingkirkan diagnosis adanya lesi massa yang dapat dioperasi
dan iskemia sumsum tulang belakang dapat dicurigai, praktisi harus memastikan
setidaknya tekanan darah normal atau pertimbangkan untuk merangsang tekanan
darah dalam rentang tinggi-normal. Kemanjuran modulasi tekanan CSF melalui
saluran lumbar dalam anestesi / intervensional iskemia medula spinalis terkait
nyeri tidak diketahui, tetapi teknik ini banyak digunakan untuk mengobati iskemia
tulang belakang terkait operasi dan tampak aman dalam pengaturan cedera
sumsum tulang belakang iskemik. (Kelas III)
 Peran kortikosteroid dalam anestesi tidak diketahui. Kortikosteroid mungkin
memiliki dampak setelah trauma sumsum tulang belakang langsung hasil dari
prosedur intervensi. Namun, manfaat untuk pasien ini harus diimbangi dengan
hiperglikemia terkait kortikosteroid; yaitu, hiperglikemia memperburuk otak (dan
mungkin medula spinalis) cedera iskemik. Kami tidak menyarankan penggunaan
kortikosteroid untuk perawatan iskemik sumsum tulang belakang. Diagnosis dan
pengobatan definitif paling baik dengan rekan neurologi atau bedah saraf. (Kelas
III)
Sumber : 2015 American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine.6

Prosedur Pengobatan Nyeri Transforaminal

Kami sebelumnya telah merinci keterkaitan bukti yang muncul penggunaan


partikulat steroid dengan cedera saraf katastropik saat diberikan untuk pengobatan
kondisi menyakitkan melalui rute transforaminal. Komplikasi yang dilaporkan
termasuk infark medula spinalis, kebutaan kortikal, kelumpuhan, dan kematian. 6
Sebagaimana dicatat dalam petunjuk tahun 2008, “mekanisme dugaan komplikasi ini
melibatkan jarum yang tidak disengaja ke dalam arteri kecil yang melintas foramen
intervertebral untuk bergabung dengan suplai arteri ke tulang belakang saraf atau
sirkulasi posterior otak. Ini bisa terjadi pada berbagai tingkat, termasuk arteri vertebral
anterior ke foramen intervertebral serviks atau medula spinal atau arteri radikular
dalam foramina pada tingkat variabel dalam serviks,6 bagian toraks, lumbar, dan sakral
dari tulang belakang (Gbr. 5). Injeksi selanjutnya dari preparat steroid partikulat dapat
menyebabkan oklusi arteriol distal di dalam sumsum tulang belakang atau otak dan
menyebabkan infark.104 Untuk sementara sejak pedoman praktis 2008, kolaborasi
antara Inisiatif FDA Amerika Serikat dan kelompok dengan perwakilan dari berbagai
spesialisasi dengan minat dan keahlian dalam mengobati gangguan tulang belakang
menyebabkan publikasi artikel yang mengulas bukti yang ada mengenai suntikan
transforaminal dan cedera saraf katastropik dan mengedepankan serangkaian pendapat
ahli dimaksudkan untuk meningkatkan keselamatan.6
Bukti tambahan telah muncul bahwa cedera traumatis langsung ke sumsum
tulang belakang dapat dan jarang terjadi selama teknik transforaminal servikal, 109.110
tetapi komplikasi neurologis kardinal dari prosedur ini adalah infark medulla spinalis,
batang otak, serebrum, atau cerebellum. Tinjauan tentang klaim yang telah
diselesaikan mengidentifikasi 9 kasus infark medula spinalis, Walaupun tumpang
tindih dengan laporan kasus yang dipublikasikan tidak dapat ditentukan. Literatur
melaporkan paraplegia mengikuti suntikan lumbar transforaminal juga telah didapat.
Steroid partikulat digunakan dalam semua kasus, dan mekanisme yang dicurigai dalam
cedera adalah suntikan steroid ke radiculomedullary arteri atau spasme arteri karena
terganggu oleh jarum.
Peran partikulat steroid sebagai agen penyebab dalam menghasilkan cedera
neurologis setelah injeksi intra-arterial telah lebih jauh diklarifikasi. Studi in vitro
mencatat bahwa methylprednisolone memiliki partikel terbesar, betametason yang
terkecil, dan deksametason tidak memiliki materi partikulat. Penelitian pada hewan
telah menunjukkan dengan jelas bahwa injeksi partikulat metilprednisolon ke dalam
arteri vertebralis atau arteri karotid internal dapat menyebabkan stroke serupa kepada
mereka yang terlihat dalam laporan kasus manusia yang dipublikasikan. Cedera seperti
itu tidak terjadi setelah injeksi dexamethasone steroid nonparticulate.
Bukti yang dikumpulkan kuat menunjukkan bahwa injeksi intraarterial dari
partikulat steroid adalah mekanisme yang mendasarinya beberapa komplikasi spinal
atau serebrovaskular dari suntikan transforaminal serviks. Dalam hampir semua
laporan kasus infark berikut injeksi steroid transforaminal serviks, partikulat steroid
digunakan. Sekarang ada bukti dari penelitian kecil menunjukkan efektivitas
30,131
deksametason tidak secara signifikan lebih rendah daripada steroid partikulat.
Penelitian lebih lanjut membandingkan partikulat, nonparticulate, dan injectates
lainnya sangat dibutuhkan, karena banyak praktisi masih sangat percaya bahwa
partikulat steroid dikaitkan dengan pereda nyeri dengan durasi yang lebih lama dari
yang disediakan oleh dexamethasone steroid nonpartikulat.6
Rekomendasi 2008 kami mengenai suntikan transforaminal telah dimodifikasi
untuk menyesuaikan dengan FDA Amerika Serikat. Rekomendasi yang direvisi ini
disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Rekomendasi: Teknik Injeksi Transforaminal


Rekomendasi ini dimaksudkan untuk mendorong perawatan pasien yang
optimal, tetapi tidak dapat memastikan penghindaran hasil yang merugikan.
Seperti halnya rekomendasi praktis, ini dapat direvisi sebagai kemajuan
pengetahuan mengenai komplikasi spesifik.
 Untuk menghindari injeksi langsung ke struktur kritis, posisi akhir jarum tidak
bergerak selama injeksi transforaminal seharusnya dikonfirmasi dengan
menyuntikkan media kontras di bawah fluoroskopi real-time dan / atau pencitraan
pengurangan digital, menggunakan tampilan anteroposterior, sebelum
menyuntikkan zat apa pun yang mungkin berbahaya bagi pasien. (Kelas III)
 Karena risiko neurologis katastrofik yang jauh lebih tinggi cedera yang terkait
dengan suntikan transforaminal servikal, partikulat steroid tidak boleh digunakan
dalam suntikan transforaminal servikal terapeutik. (Kelas III)
 Meskipun risiko cedera neurologis nyata lebih rendah ketika dilakukan pada level
lumbar, steroid nonparticulate (misalnya, deksametason) harus digunakan untuk
injeksi awal suntikan epidural transforaminal lumbal. (Kelas III)
 Steroid partikulat dapat dipertimbangkan dalam beberapa keadaan untuk suntikan
transforaminal lumbal, misalnya, setelah gagal untuk merespon pengobatan
dengan steroid nonparticulate. (Kelas III)
Sumber : 2015 American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine.6

Cauda Equina Syndrome


Mirip dengan keprihatinan yang muncul mengenai lesi massa patologis kanalis
tulang belakang, CES telah dikaitkan dengan stenosis tulang belakang. Dalam Moen
dan rekan-rekan studi tentang 1,7 juta anestesi neuraksial, ada 32 kasus CES, 9 di
antaranya terjadi pada pasien dengan stenosis tulang belakang yang tidak terdiagnosis
sebelumnya. Secara teori, yang ketat kanal tulang belakang, mungkin diperburuk oleh
posisi bedah yang ekstrim, mungkin menyebabkan iskemik sumsum tulang belakang
yang diinduksi tekanan atau berkurangnya vaskular, yang salah satunya mungkin
meningkatkan kerentanan CES terhadap neurotoksisitas anestesi lokal. Dari 18 kasus
CES terkait dengan anestesi spinal, 8 pasien menerima lidocaine 5%, 10 menerima
bupivacaine, dan 1 menerima campuran dari dua-duanya.
Dengan kekhawatiran yang lebih besar dari Moen dan rekan-rekannya12 studi
menyatakan bahwa 23 dari 32 kasus dikaitkan dengan tidak ada yang luar biasa dalam
hal diameter saluran tulang belakang, dosis anestesi lokal, trauma jarum potensial, atau
pencitraan abormalitas pasca cedera, semua yang menekankan etiologi tidak jelas dari
sindrom ini. Meskipun ada beberapa faktor risiko yang diketahui untuk pengembangan
CES, kami akan menawarkan 2 mekanisme spekulatif tambahan. Dengan tidak
mengabaikan faktor risiko yang diketahui, data dari studi observasi Prancis dan
laporan CES yang terkait dengan microcatheter terus menerus anestesi spinal sangat
mengarahkan bahwa CES dapat dihasilkan dari dosis supernormal anestesi lokal
intratekal dan / atau distribusi distribusi anestesi lokal dalam kantung intratekal
caudad. Berdasarkan pemahaman mekanisme yang terbatas cedera CES, kami
berspekulasi bahwa, di samping dosis supernormal dan maldistribusi anestesi lokal,
(1) subset yang sangat kecil dari manusia mungkin cenderung neurotoxicity dari klinis
dosis anestesi lokal yang tepat. Atau, kami berspekulasi bahwa (2) peradangan saraf
abnormal dapat terjadi sebagai respons terhadap paparan anestesi lokal, adjuvant,
trauma jarum, atau faktor-faktor lain yang tidak terkait dengan anestesi. Sedangkan
mayoritas kasus CES terjadi pada pasien tanpa faktor risiko yang diketahui atau tidak
ada teknik anestesi yang tidak tepat yang diidentifikasi, dokter disarankan untuk hati-
hati mempertimbangkan risiko terhadap manfaat anestesi subarachnoid pada pasien
dengan lumbar moderat hingga berat yang diketahui stenosis tulang belakang dan
untuk menghindari pendosisan ulang anestesi spinal yang gagal, parsial, atau
maldistributed (atau setidaknya tidak melebihi total dosis maksimum yang
direkomendasikan).138]
Gambar 8. Cauda equina mungkin sangat rentan terhadap neurotoksisitas anestesi lokal karena luas
permukaan yang besar diberikan oleh panjang jarak perjalanan akar saraf yang hanya menutupi myelin
sebagian atau tidak ada. Ilustrasi oleh Gary J. Nelson. Direproduksi dengan izin dari Neal dan Rathmell,
Komplikasi dalam Anestesi Regional dan Obat Nyeri.6

Neurotoksisitas Anestetik Lokal


Gejala neurologis transien setelah anestesi spinal subjek penyelidikan ilmiah
yang signifikan hampir 2 dekade lalu.139 Para ahli terus memperdebatkan etiologi TNS
dan apakah itu mewakili frustrasi neurotoksisitas. Pada saat petunjuk pertama kami,
beberapa penelitian laboratorium telah meneliti kemungkinan neurotoksisitas 2-CP,
tetapi hanya terdapat penelitian klinis terbatas untuk mengkonfirmasi atau membantah
apakah 2-CP mungkin memang bersifat neurotoksik pada manusia. Dalam beberapa
tahun terakhir, beberapa laporan telah menggambarkan penggunaan aman dari spinal
2-CP dengan dosis rendah (40-50 mg) dalam hal TNS, meskipun jumlah pasien terlalu
kecil untuk menilai keamanan secara keseluruhan untuk suatu peristiwa yang langka
seperti CES. Memang, sebuah studi yang membandingkan 2-CP dengan lidocaine
untuk reseksi prostat transurethral yang direlaksasi menggambarkan kasus CES yang
tidak lengkap (dikonfirmasi oleh penelitian konduksi saraf positif dan defisit
elektromiografi) yang diselesaikan sepenuhnya setelah beberapa minggu pada pasien
yang menerima 2-CP. Pemberian 2-CP Intrathecal tetap menjadi indikasi off-label di
Amerika Serikat; Namun, pada tahun 2013, solusi 2-CP 1% telah disetujui untuk
penggunaan intratekal di Eropa. Berdasarkan tidak adanya studi yang berpengaruh
tepat untuk kejadian yang langka ini, kami tidak dapat menawarkan rekomendasi
berkaitan dengan 2-CP dan CES intratekal. Namun, kami mengakui literatur penelitian
yang berkembang yang terbukti berisiko rendah dari TNS setelah dosis rendah
intratekal 2-CP.6
Arachnoiditis
Arachnoiditis tidak dibahas dalam petunjuk kami sebelumnya. Entitas yang
kurang dipahami ini menggambarkan reaksi inflamasi difus dari 3 lapisan meningeal
yang bermanifestasi secara klinis di spektrum rasa sakit dan kecacatan ke hidrosefalus
dan kematian. Secara historis, arachnoiditis telah dikaitkan dengan infeksi, trauma,
perdarahan intratekal, media kontras, hipertonik neuraksial saline, dan multiple back
surgery. Dua etiologi potensial terutama berkaitan dengan anestesi regional bagi ahli
anestesi. Sementara reaksi alergi, peradangan, atau idiosinkrasi terhadap anestesi lokal
telah disebut-sebut sebagai etiologi faktor untuk arachnoiditis, studi yang cukup besar
menunjukkan bahwa asosiasi ini ada, sangat jarang. Perhatian juga telah ditujukan
terhadap peran disinfektan kulit. Kekhawatiran yang terakhir berasal dari laporan
kasus dari arachnoiditis berat setelah dilakukan anestesi spinal atau epidural di mana
"mekanisme yang paling mungkin" melibatkan kontaminasi oleh chlorhexidine.
Banyak dari kasus yang disajikan dengan kesamaan yang luar biasa — sakit kepala
atau ekstremitas yang terbakar segera setelah injeksi anestesi lokal, dan dalam
beberapa hari kemudian oleh bukti peningkatan tekanan intrakranial dari
hydrocephalus yang membutuhkan shunting, diikuti beberapa minggu kemudian oleh
gangguan motorik dan sensorik progresif hingga paraplegia dan nyeri kronis.
Keterlambatan dalam gejala-gejala utama ini membingungkan identifikasi kasus-
kasus ini dengan mekanisme pengawasan anestesi tipikal, tetapi juga berpendapat
untuk mekanisme idiosinkratik itu mungkin berasal dari awal, reaksi peradangan
ringan dari meninges sebagai respons terhadap obat, disinfektan, atau pemicu lainnya.6
Peran chlorhexidine / alkohol campuran dalam etiologi arachnoiditis tidak jelas
dan tidak langsung. Banyak studi kontemporer menunjukkan keunggulan jelas
klorheksidin untuk tindakan asepsis kulit dibandingkan dengan povidone-iodine. Ini
telah menghasilkan American Society of Regional Anestesi dan Pain Medicine, ASA,
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, dan Royal College of Anaesthetists
merekomendasikan chlorhexidine sebagai desinfektan kulit pilihan. Sebuah studi
kohort retrospektif dari 12,465 anestesi spinal dimana 2% chlorhexidine glukonat
dalam isopropil alkohol digunakan untuk antisepsis kulit tidak menemukan
peningkatan risiko komplikasi neuraksial selama kontrol historis (57 kasus
berlangsung <30 hari; 0,04%; confifence 95% interval, 0,00% -0,08%). 157 Sebuah
studi in vitro neuronal manusia dan sel tikus Schwann menemukan bahwa klorheksidin
tidak lebih sitotoksik daripada povidone-iodine pada konsentrasi klinis yang
relevan.Selanjutnya, jumlah antiseptik yang dikeringkan dibawa oleh uungjarum dari
ruang kulit-ke-subarachnoid dihitung untuk menjalani pengenceran 1: 145,000.6

Berdasarkan keunggulan klorheksidin sebagai antiseptik dan kemungkinan yang


sangat rendah bahwa itu akan menyebabkan arachnoiditis dalam kondisi klinis normal,
panel penasehat terus berlanjut untuk merekomendasikannya sebagai disinfektan
pilihan untuk neuraksial dan teknik blok saraf perifer. Namun demikian, para praktisi
disarankan untuk memisahkan klorheksidin secara fisik dan temporal dari prosedur
pemblokiran itu sendiri. Ini berarti mengizinkan solusi untuk benar-benar kering
sebelum penempatan jarum (2-3 menit). Langkah-langkah harus diambil untuk
menghindari kontaminasi klorheksidin dari baki dan / atau obat-obatan yang ditujukan
untuk administrasi intratekal, seperti yang mungkin terjadi dari percikan atau
meneteskan desinfektan, pembuangan perangkat aplikator dekat area penyiapan blok,
atau menuangkan klorheksidin cair ke wadah yang bisa menjadi keliru untuk obat
lain.6
Rekomendasi mengenai CES, neurotoksisitas anestesi lokal, dan arachnoiditis
disajikan pada Tabel 5. 6
Tabel 5. Rekomendasi: CES, Neurotoksisitas Anestesi Lokal, dan Araknoiditis
Rekomendasi ini dimaksudkan untuk mendorong perawatan pasien yang
optimal, tetapi tidak dapat memastikan penghindaran hasil yang merugikan.
Seperti halnya rekomendasi praktis, ini dapat direvisi sebagai kemajuan
pengetahuan mengenai komplikasi spesifik.
 Pemberian dosis awal atau redosing anestesi lokal subarachnoid secara berlebihan
dari dosis maksimum yang direkomendasikan dapat meningkatkan risiko sumsum
tulang belakang atau neurotoksisitas saraf akar tulang belakang dan harus
dihindari. Selain itu, maldistribution (biasanya sakral) dari anestesi lokal harus
dikesampingkan sebelum redosing injeksi tunggal atau blok subarachnoid terus
menerus. (Kelas I)
 Analisis risiko-ke-manfaat dari teknik neuraksial seharusnya dipertimbangkan
pada pasien yang diketahui memiliki stenosis tulang belakang sedang hingga berat,
terutama jika di dalam wilayah vertebral yang akan dilakukan injeksi. (Kelas II)
 Insiden TNS setelah 40–50 mg intratekal 2-CP muncul sangat rendah. Jumlah
anestesi spinal 2-CP dilaporkan dalam literatur tidak cukup untuk menentukan
risiko CES atau manifestasi lain dari neurotoksisitas. (Kelas III).
 Penggunaan klorheksidin secara terpisah secara fisik dan temporer dari blok baki
dan instrumen selama prosedur neuraksial. Tunggu pembersih untuk benar-benar
kering pada kulit sebelum penempatan jarum (2–3 menit). Perawatan harus
diambil untuk menghindari jarum atau kateter terkontaminasi dari penyemprotan
atau penetesan klorheksidin, atau dari pembuangan perangkat aplikator, ke
permukaan kerja aseptik. (Kelas II)
Sumber : 2015 American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine.6
BAB IV
PEMBAHASAN

Risiko mengalami kelainan neurologis yang serius setelah dilakukan tindakan


spinal/epidural anestesi sangat bervariasi, antara 1/10.000 - 1/ 100.000, tergantung pada
ukuran sampel dan modalitas pengumpulan data. Calon studi cenderung pada angka yang
lebih tinggi: Auroy et al. menemukan pada 5 CES di atas 40640 regional, Phillips, 2/10440
anestesi saat melakukan studi retrospektif menyajikan insiden yang lebih rendah:
Horlocker et al. tidak menemukan CES di atas 4767 anesthesias, Moore 1/11574, DRipps
and Vandam 0/10098.7
Dari kasus terisolasi yang dilaporkan tidak dapat menjelaskan frekuensi utama dari
kelainan neurologis setelah dilakukan anestesi neuraksial, tetapi fakta kejadiannya tentu
jauh lebih tinggi dari pada yang dilaporkan karena klaim mediko-legal menyebutkan
banyak kasus yang gagal muncul di literatur ilmiah. Misalnya, Morisot dari Département
d'Anesthésie-Réanimation, Hospital Port Royal, Paris melaporkan antara 1983-89, dari 10
pasien yang menderita parah kelaianan saraf yang terjadi pada 28 pasien yang dilakukan
anestesi regional, tulang belakang, epidural, kaudal, dan diajukan dengan asuransi Prancis
terkemuka perusahaan.7
Kemudian ASA menyanggah klaim tersebut dalaman kasus dengan 670 lesi
neurologis, 105 terlokalisir di akar lumbosakral dan 84 ke medulla, pencatatan peningkatan
persentase dalam kerusakan meduler dari 8% antara 1980-1984 hingga 27% dari 1990-
1999. Sebagian besar lesi meduler (berupa paraplegia/quadriplegia. 93% kerusakan dari
akar saraf lumbosakral adalah dikaitkan dengan adanya tindakan anestesi spinal (37 kasus)
atau peridural (25 kasus). Faktor yang paling sering dikaitkan adalah parestesia yang
terjadi selama penyuntikan jarum: (24 kasus) atau injeksi anestesi lokal (8 kasus) atau
upaya berulang untuk mendapatkan blokade (14 kasus). Sebuah survei terbaru dari Inggris
memperkirakan frekuensi mayor kerusakan saraf sekitar 0,7-1,8/100.000 dengan anestesi
regional, tetapi data yang dilaporkan tidak mengarah langsung ke insiden CES.7
Salah satu dari perusahaan malpraktik yang penting di Inggris (MPS, Medical
Protection Society) melaporkan 54 kasus mayor kerusakan saraf, bedah 72% dan 28% non-
bedah. Dari 1 Januari 2003 hingga 31 Desember 2007 MPS menerima 63 kutipan untuk
SCE, 46 dari Inggris, tetapi tidak ada yang dikaitkan dengan tindakan anestesi spinal. Ini
akan menunjukkan bahwa insiden kerusakan serius dari tulang belakang akibata anestesi
bisa sangat rendah. Namun karena tidak ada data tentang total jumlah blok spinal/epidural
yang dilakukan dalam periode waktu yang sama, dan kerusakan yang dilaporkan
sebenarnya masih belum diketahui.7
Data dari Finlandia dan Swedia tentang klaim tertutup yang memberi
hasil bertentangan, mulai dari 1 CES, 5 paraplegia, 6 radiculopathies
di lebih dari 550.000 kasus dengan perkiraan yang lebih tinggi, karena dalam sampel
1.700.000 operasi, 1.260.000 tulang belakang dan 450.000 peridural, di
periode 1990-1999 127 ditemukan mengalami komplikasi neurologis, dengan 32
CES. Obat yang disalahkan adalah lidocaine 5% (8 kasus), bupivakain 0,5% (11
kasus-6 hiperbarik, 5 isobarik), dan mepivacaine (1 kasus). Menurut data-data ini, kelainan
neurologis yang lebih serius diperkirakan antara 1 / 20000-30000 setelah spinal, 1/25000
setelah epidural obstetrik, dan 1/3600 setelah analgesia non obstetrik. Statistik ini impresif;
Namun mereka merupakan data retrospektif dan dievaluasi yang diperoleh secara sukarela
dari rumah sakit yang berpartisipasi (85% tingkat respons dari semua institusi yang
dihubungi).7
Sebuah perkiraan risiko kontemporer berdasarkan dari pencarian Medline dan
publikasi berkualitas tinggi memperkirakan insiden CES setelah spinal pada
0,11/10.000. Laporan yang lebih baru dari Swiss termasuk dari klaim
dikumpulkan dari tahun 1987 hingga akhir tahun 2009; dalam 171 kasus, 54%
disebabkan oleh anestesi regional (9 kasus (5% dari total)) yang mengakibatkan
paraplegia, 7 (4% dari total) di CE. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam 12
kasus yang pertama injeksi gagal. Komplikasi yang terjadi setelah pemberian kedua - 6
selama blokade pleksus brakialis, 4 selama peridural, dan 2 selama spinal.7
Atribusi CES pada administrasi berulang bupivakain dijelaskan bahwa dalam 2 kasus
oleh Kubina et al. Pertama pasien menerima bupivacaine pada tulang belakang dengan
0,5% 3,6 ml, diikuti oleh tindakan general anestesi, sedangkan yang kedua melakukan
tindakan anestesi spinal/epidural : bupivacaine 0,5% 3,5 ml untuk operasi diikuti oleh infus
epidural kontinyu selama 42 jam. dengan bupivakain 0,25%. Gejala neurologis yang
bertahan juga telah dijelaskan oleh Chabbouh et al. dan Rohm dkk. melemparkan keraguan
yang serius tentang keamanan administrasi berulang dari konsentrasi yang lebih tinggi dari
bupivacaine.6
Kami memperkirakan bahwa dosis bupivacaine diberikan dalam kasus ini terlalu
tinggi. Untuk operasi perianal, blokade dari S2-S5 sudah cukup untuk memblok. Blok yang
konsisten diperoleh dengan konsentrasi bupivakain 0,4%. Dosis yang benar bervariasi dari
1,5 hingga 7,5 mg konsentrasi 0,5%, sementara 10 mg mencapai level T10. Dalam studi
penemuan dosis penulis telah diacak bupivakain hiperbarik 2-5 mg; dosis 3 mg ditemukan
cukup dalam 90% kasus. Oleh karena itu kami tidak dapat membantah bahwa dengan
administrasi kedua 10 mg bupivakain hiperbarik CSF tingkat bisa mengakibatkan
neurotoksisitas lokal karena CSF tinggi sejak bupivacaine 1% diberikan dua kali dalam
periode 11 jam.6
Apalagi konsentrasi seperti itu mungkin secara langsung bersifat neurotoksik, karena
dengan 0,75% sudah mampu mengakibatkan neurotoksisitas (CES) menurut penelitian
yang dilakukan padadomba. Neurotoksisitas bupivacaine telah ditunjukkan dalam banyak
makalah dan kerusakan tidak terbatas pada jaringan saraf, karena bupivacaine, dan anestesi
lokal lainnya, juga telah terlibat di dalamnya chondrotoxicity. Kerusakan yang dilakukan
pada kultur bovine chondrocytes sebanding dengan dosis/konsentrasi dan waktu
pemaparan.
Dalam garis sel neuroblastoma amida dan ester anestesi lokal menentukan lesi yang
sama pada konsentrasi yang lebih tinggi. Kekhawatiran atas bahaya konsentrasi anestesi
lokal yang lebih tinggi mungkin terjadi karena dasar larangan FDA terhadap konsentrasi
yang lebih tinggi dari bupivacaine - sementara masih dipasarkan di Italia, Yunani dan
Jerman. Takenami et al. menunjukkan bahwa kerusakan dari bupivakain melibatkan ujung
dari posterior dan posterior dari white matter, menunjukkan bahwa keruskana neuro-
fungsional secara umum mempengaruhi sistem sensorik, dan sistem motorik. Jika
pengamatan ini diperluas ke kasus kami, kasus tersebut dengan kerusakan yang ada pada
sistem sensorik dapat menjelaskan tingkat keparahan nyeri (allodynia) dialami oleh pasien
ini, pada saat yang sama dapat dijelaskan bahwa gangguan motorik relatif lebih kecil. Suatu
hubungan kausal berkontribusi dalam neurotoksisitas dapat dikaitkan dengan
malististribusi anestesi lokal yang terjadi dengan Whitacre jarum karena port samping dari
jarum tulang belakang jenis ini bisa memungkinkan konsentrasi LA yang lebih tinggi jika
port diarahkan secara kaudal dan injeksi dilakukan pada kecepatan lambat. Titik jarum
pensil bisa lebih rentan menyebabkan kerusakan jaringan saraf, untuk menyuntikkan
anestesi lokal mereka harus dimasukkan ke dalam CSF sedikit lebih dalam karena
lubangnya beberapa mm dari ujungnya dan dengan demikian menyebabkan kerusakan
dalam kasus penusukan saraf. 6
Dengan menggunakan jarum miring pendek, ada kemungkinan untuk terkena saraf
sedikit, tetapi dalam kerusakan, dalam kasus kontak, lebih konsisten dengan
memar dan lebih merusak dari pada yang lain. Ketika titik jarumnya tumpul, ahli anestesi
membutuhkan kekuatan yang lebih besar dan selama dapat mengalami risiko berikutnya
dari overshooting ke sempit ruang subdural dan karena itu lebih banyak kemungkinan
mengenai saraf atau conus jika penyisipannya terlalu tinggi. Ada juga kemungkinan dura
bisa diarahkan ke depan dan selama itu sebelumnya penetrasi membatasi ruang dan
meningkatkan kompresi. Kemampuan anestesi untuk mengidentifikasi dengan benar
lumbal interspace yang ditandai akurat kurang dari 30% dengan palpasi seperti yang telah
ditunjukkan oleh Broadbent dkk.. Tingkat penanda berkisar dari satu spasi di bawah untuk
empat ruang di atasnya di mana ahli anestesi telah mempercayainya. Penanda adalah satu
ruang lebih tinggi dari yang diasumsikan pada 51% kasus. Akurasi tidak terpengaruh oleh
posisi pasien (duduk atau lateral), meskipun hal tersebut terganggu oleh obesitas. Lokasi
CM lebih rendah dari tubuh L1 pada setidaknya 10% pasien. Variasi anatomi ini, bersama
dengan risiko tanpa sengaja memilih jarak yang lebih tinggi dari yang dimaksudkan untuk
injeksi intratekal, menyiratkan bahwa trauma sumsum tulang belakang lebih mungkin
ketika interspaces lebih tinggi. Untuk menghilangkan risiko palpasi yang salah dan lebih
rendah penghentian alurnya, Broadbent dkk. merekomendasikan ahli anestesi agar
berusaha untuk selalu memilih ruang bawah yang lebih rendah, saran yang diperkuat oleh
Reynolds. Garis interkristal oleh palpasi krista iliaka cenderung mengidentifikasi tingkat
yang lebih tinggi - L3 atau L3-4 tingkat tulang belakang dalam 77,3% kasus dan lebih
sering pada wanita dibandingkan pada laki-laki (85,7 vs 61,5%) dan pada pasien dengan
massa tubuh yang lebih tinggi indeks. Ada juga korelasi yang buruk dengan tingkat yang
diperoleh melalui Pencitraan RM yang mengidentifikasi L4 atau L4/l5 interspace lebih
baik, akurasi hanya dapat diperoleh dengan menggunakan fluoroskopi atau USG tetapi
semua makalah ini fokus pada perhatian dan perawatan sepenuhnya dalam pilihan ruang
yang tepat untuk anestesi spinal
Diagnosis banding antara CES dan CMS sulit ditentukan dan semuanya tidak
membantu dalam kasus ini, di mana tidak ada operasi pilihan untuk pengobatan, hanya
medis dan rehabilitatif. Dalam kasus yang dijelaskan, kami percaya komponen dari kedua
sindrom tersebut hidup berdampingan, karena lesi meduler meluas untuk beberapa
milimeter caudally dan lateral, berkontribusi untuk kedua motor neuron atas dan kerusakan
neuron motorik yang lebih rendah, dengan distribusi yang aneh di L5-S1. Parestesi yang
dialami pada penyuntikan jarum menunjukkan kontak dengan baik sumsum tulang
belakang atau ujung saraf dari cauda equina, dan memiliki telah terbukti meningkatkan
defisit neurologis secara signifikan untuk berikutnya.
Rajakulendran dkk. menyarankan mengikuti aturan emas dengan tidak
menyuntikkan anestesi lokal dalam kasus pasien yang mengeluh sakit atau parestesia
bahkan jika transien. Bagian dari anestesi harus sangat hati-hati dalam mengatur
keseimbangan rasio risiko/manfaat dan perawatan yang memadai yang diambil untuk
mentitrasi semua obat-obatan dan mempertimbangkan semua pilihan terapeutik; terbangun
dari tidur dengan panggilan malam dan tekanan waktu mengakibatkan penurunan
peringatan dan kewaspadaan yang diperlukan untuk pertimbangan dan intervensi yang
memadai, semuanya komponen yang ditekankan dalam ulasan yang ditulis oleh higly
berpengalaman penulis. Munculnya myoclonus adalah tanda konfirmasi impuls saraf saraf
atau tali pusat dan tidak dapat dikaitkan bupivacaine, karena itu muncul sebelum injeksi.
Kesimpulannya, kami percaya bahwa kerusakan awal disebabkan oleh tusukan langsung
dari konus medullaris sama dengan kasus yang dilaporkan oleh Hamandi dkk..
Penentuan yang salah dari interspace adalah kemungkinan faktor yang paling banyak
yakni yang menyebabkan trauma pada sumsum tulang belakang yang dibuktikan oleh
parestesi dan sentakan mioklonik dari kaki kiri bawah: yang tepat dengan mekanisme
cedera dan peran jarum, hiperbarikitas 1% bupivakain dan total dosis masih belum jelas.
Kemungkinan lainnya Penyebab termasuk memar conus, hematoma intramedulla
pembentukan dari perdarahan vaskular diikuti oleh cicatrization dan efek neurotoksik dari
agen yang disuntikkan atau kombinasi dari ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK


UNDIP. Semarang; 2010. 309.
2. Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal. Dalam:
Jurnal Anestesiologi Indonesia. Bagian anestesiologi dan terapi intensif FK
UNDIP/RSUP Dr.Kariadi. 2011; 3(1): 48-59.
3. McLure HA, Rubin AP. Review of local anaesthetic agents. Dalam: Anestesia.
Minerva anestesiologica. 2005; 71 (3): 59-74.
4. Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik lokal dan
anestesia regional. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002.
5. Liu SS, McDonald SB. Current issues in spinal anesthesia. Dalam: Review article
American Society of Anesthesiologist. Anesthesiology. 2001; 94 (5): 888-906.
6. Neal, JM. dkk. Anatomy And Pathophysiology Of Spinal Cord Injury Associated
With Regional Anesthesia And Pain Medicine: 2015 Update. Reg Anesth Pain
Med. American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine; 2015. P506-
525.
7. Melloni C, Golfieri R, Staffa F. Conus Medullaris/Cauda Equina Syndrome
Following a Repeated Bupivacaine. Journal of Anesthesia and Clinical Research:
2015(6):10
8. 1% Spinal Anesthesia- Analysis of a Case with Review of the Literature
9. Snell RS. Clinical Anatomy: 7th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2010
10. Guyton AC. Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 2008
11. Naiborhu FT. Perbandingan penambahan midazolam 1 mg dan midazolam 2 mg
pada bupivakain 15 mg hiperbarik terhadap lama kerja blokade sensorik anestesi
spinal [Tesis]. Medan: Fakultas Kedokteran USU; 2009.
12. Saleh A. Perbandingan efektivitas pemberian efedrin intramuscular dengan infus
kontinyu dalam mencegah hipotensi pada anestesi spinal [Skripsi]. Surakarta:
Fakultas Kedokteran UNSEMAR; 2009.
13. Aitkenhead A, Smith G, Rowbotham D. Texbook of anaesthesia. Fifth edition.
United Kingdom: Churchill livingstone elsevier; 2007.
14. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal anesthesia. 2013.
(Diakses dari http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-
techniques/landmark-based/3423-spinal-anesthesia.html).

Anda mungkin juga menyukai