Oleh :
Pembimbing :
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Case Report Sindroma Konus
Medularis/Kauda Equina setelah Anestesi Spinal Bupivakain 1% Berulang; Laporan
Kasus dan Tinjauan Pustaka Anatomi dan Fisiologi Cedera Medulla Spinalis pada
Anestesi Regional” untuk memenuhi tugas referat yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran dan penilaian di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Rose
Mafiana, Sp.An, KNA, KAO, MARS. selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga
telaah ilmiah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi berasal dari bahasa Yunani “an” yang berarti “ tidak, tanpa” dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 yang merupakan pemberian obat
untuk menghilangkan kesadaran secara sementara dan biasanya ada kaitannya dengan
pembedahan. Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi regional.1
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat sementara
akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral. Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan
bebas nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran.1 Anestesi regional semakin
berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang
ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal,
menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara
lebih sempurna.2 Anestesi regional memiliki berbagai macam teknik penggunaan salah
satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang belakang atau anestesi
spinal.1,3 Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang
subarakhnoid.4 Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas
inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan
ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas
inferior.1
Anestesi spinal telah mempunyai sejarah panjang keberhasilan (>90% tingkat
keberhasilan). Kemudahan dan sejarah panjang keberhasilan anestesi spinal
memberikan kesan bahwa teknik ini sederhana dan canggih.5 Namun demikian bukan
berarti bahwa tindakan anestesi spinal tidak ada bahaya. Salah sat contoh komplikasi
dari anestesi spinal adalah cedera pada neuraxis.6
Cedera pada neuraxis terkait dengan prosedur anestesi regional atau obat nyeri
yang akhirnya terkait dengan anatomi dan/atau kerusakan fisiologis pada sumsum
tulang belakang, ujung saraf tulang belakang, atau suplai darah mereka. Mekanisme
cedera terkadang dapat diidentifikasi, seperti pada kasus hematoma epidural atau abses,
tetapi bisa juga sangat sulit untuk menentukannya, sebagaimana dicontohkan oleh
sebagian besar kasus dugaan cedera vaskular tulang belakang.6
Beberapa komplikasi sekunder anestesi neuraksial adalah cedera mekanis
sumsum tulang belakang, ujung saraf tulang belakang, atau saraf tulang belakang saat
mereka keluar dari foramen intervertebralis. Cedera ke struktur ini mungkin melibatkan
jarum langsung atau trauma kateter atau lesi dalam kanalis vertebral yang menekan
struktur saraf dan dengan demikian menyebabkan cedera iskemik. Berbagai
mekanisme ini akhirnya menyebabkan hilangnya anatomi dan/atau fisiologis integritas
saraf dan dapat mengakibatkan cedera permanen.6,7
Kerusakan pada konus medullaris dan cauda equina sering terjadi dan telah
dilaporkan dalam literatur dengan implikasi medikolegal yang brlimpah. Tetapi hanya
segelintir kasus yang telah dikaitkan trauma jarum langsung selama anestesi
spinal/epidural. Mayoritas dari kasus ini disebabkan oleh adanya kompresi hematoma
di sekitar wilayah konus dan kauda pada pasien dengan antikoagulan. Kami
menyajikan sebuah kasus, dalam litigasi untuk malpraktek, trauma langsung
kewilayah konus medullaris/cauda equina yang disebabkan selama percobaan suntikan
analgesia tulang belakang berulang untuk nyeri pasca operasi berat.(Melloni)
Pada case report yang dibahas adalah mengenai Sindrom Kauda Equina setelah
Anestesi Spinal Buvikain 1% berulang. Permasalahan yang ada merupakan adanya
komplikasi dari penggunaan spinal anestesi yang diberikan dalam posisi duduk dengan
10 mg (1 ml) hiperbarik 1% bupivakain (konsentrasi yang tersedia di Italia) disuntikkan
melalui jarum Whitacre 25 g di lintasan L3-L4. Komplikasi yang dialami berupa
keluhan rasa sakit didaerah kaki seperti sengatan listrik hingga sensasi rasa terbakar
dan merupakan gejala dari cauda equina syndrom (CES).
Hasil yang baik akan dicapai apabila selain persiapan yang optimal juga disertai
pengetahuan tentang anestesi spinal mulai dari anatomi, fisiologi, farmakologi, dan
aplikasi dari anestesi spinal1,5. Maka dari itu tujuan referat ini adalah untuk membahas
sebuah kasus mengenai komplikasi dari tindakan anestesi regional berupa sindroma
cauda equina disertai tinjauan pustaka mengenai anatomi dan patofisiologi cedera
spinal cord yang berhubungan dengan anestesi regional dan pengobatan nyeri.
BAB II
LAPORAN KASUS
Pasien, wanita berusia 40 tahun dalam keadaan sehat, ASA 1, berat 80 kg, tinggi 162
cm, tes laboratorium, EKG dan sinar-X dada dalam batas normal, dijadwalkan untuk
hemorrhoidectomy di rumah sakit swasta. Spinal anestesi dengan mudah diberikan dalam
posisi duduk dengan 10 mg (1 ml) hiperbarik 1% bupivakain (konsentrasi yang tersedia di
Italia) disuntikkan melalui jarum Whitacre 25 g di lintasan L3-L4. Tanda-tanda vital tetap
stabil. Hemoroidektomi (Milligan Morgan) selesai dalam 30 menit dan pasien dikirim ke
ruangan sekitar 14 jam.
Selama beberapa jam berikutnya, dia mengeluh rasa sakit bertambah di daerah
perianal: dengan ketorolac 30 mg IM rasa nyeri dapat diatasi secara parsial; kemudian
pemberian 100 mg tramadol diikuti oleh sensasi aneh di sekitar bibir dan agitasi, tanpa efek
analgesia yang diinginkan. Sensasi ini dianggap sebagai suatu alergi dan semua pengobatan
lainnya dihentikan. Pada tengah malam pasien merasa gelisah dan merasa nyeri yang
sangat berat. Ahli anestesi on-call mengulangi pungsi lumbal, dimulai dengan pasien di
sisi kiri. Pungsi lumbal sulit dan berdarah. Selama tusukan, pasien mengeluh tusukan di
tulang belakang mirip dengan sengatan listrik. Kaki kirinya mulai gemetar (jerking). Ahli
anestesi kemudian mengubah postur pasien dari dekubitus lateral kiri ke posisi duduk dan
menyuntikkan 10 mg bupivakain 1% melalui Jarum Whitacre 25 g dengan tujuan
menghilangkan nyeri dan menghentikan hentakkan mioklonik yang cepat dari kaki kiri.
Pasien tertidur nyenyak.
Pada 2 jam kemudian pasien terbangun dan mengeluh sakit terasa ke seluruh kaki
kiri dengan sentakan dan sensasi terbakar dari tumit sampai ke daerah gluteal. Parestesia
dengan fasikulasi dan tremor dari seluruh kaki kiri telah dijelaskan. Selama hari-hari
berikutnya ambulasi bahkan dengan walker sangat sulit. Keluhan nyeri dan kejadian
Parestesia dan edema kaki dimasukkan dalam grafik keperawatan. Air seni dikumpulkan
melalui kateter kemih kiri in situ selama 6 hari. Buang air besar juga dirasakan sulit,
dibantu oleh enema dan pelunak kotoran. 7
Sehari setelah operasi, dari konsultasi neurologis ditemukan adanya nyeri, impotensi
fungsional dari kaki kiri dengan gerakan yang sulit, kesulitan dalam gerakan flekso-
ekstensi kaki kiri, Parestesia, dan Achilles dan refleks plantar yang tertekan. Hyperalgesia
dirasakan di sepanjang ekstremitas kiri. Ahli saraf mendiagnosis pada L4-L5 dan L5-S1
ditemukan radikulopati dan diberi obat prednisolon, ketorolak, gabapentin, dan diazepam.
RMN juga sangat penting dalam hal yang sama, tetapi MR hanya mencakup segmen mulai
dari L3 dan terus turun. Dari konsultasi fisioterapis didapatkan saran untuk latihan aktif
dan pasif. Pasien dipulangkan dari rumah sakit pada hari ke 14, dengan keadaan diuresis
dan buang air besar normal, berjalan dibantu oleh penopang.7
EMG dilakukan pada hari ke 38 dan 73 yang menunjukkan radikulopati L5-S1
dengan kerusakan besar pada S1. Pemeriksaan terakhir pada 6 bulan kemudian
menunjukkan perbaikan di area L5.7
Kemudian pada hari ke 45 dilakukan MRI 45 di institusi swasta (dengan potongan
sagital dan aksial), menunjukkan di interspace L1-L2, terdapat kavitas berisi cairan pada
paramedian yang kecil, panjang 17 mm, lebar 1,5/2mm, terlokalisasi pada asal CE, dengan
batas reguler. Isi tidak berubah setelah penggunaan gadolinium. Ahli radiologi mengaitkan
rongga dengan kantung cair.7
Pasien terus mengalami kesulitan berjalan, dan diketahui mengalami dispareunia dan
rasa sakit di sepanjang kaki kiri. Konsultasi antara ahli saraf dan ahli bedah saraf
memimpin rekomendasi analgesik terhadap allodynia dan konfirmasi L5-S1
lesi, yang diakhiri dengan diagnosis sindrom cauda equina (CES). Karena keparahan nyeri
setelah 8 bulan pasien membutuhkan penyisipan stimulator meduler yang menghasilkan
pereda nyeri yang baik. Sayangnya elektroda rentan terhadap dislodgement yang
membutuhkan pasien harus dioperasikan kembali dua kali untuk reposisi kawat.7
Pada konsultasi yang dilakukan dengan ahlis spesialis anestesi yang diperintahkan
oleh pengadilan pada Maret 2013, 19 bulan setelah anestesi spinal, pasien datang
dengan kaki kiri yang melengkung, mengalami kesulitan dalam berjalan khususnya saat
menaiki tangga. Kualitas tidur tergantung seriring dengan fungsi dari stimulator meduler.
Pasien juga tidak bisa melakukan dan melanjutkan pekerjaannya di mesin jahit/rajut karena
pasien tidak dapat duduk diam lebih lama dari 1,5-2 jam. Kaki kiri rentan mengalami
memar, terutama jika dia berbaring di sisi yang sama dengan waktu yang lama.
Dyspareunia membaik secara signifikan, terutama ketika stimulator meduler berfungsi.
Diuresis normal ; buang air besar dibantu dengan obat pencahar.7
Seluruh sisi kiri mengalami hipotrofik. Flexo-ekstensi dari pinggul dan lutut
hampir tidak mungkin dan kelenturan memprovokasi rasa sakit yang tajam. Rasa sakit
masih ada sifatnya konstan (tanpa adanya stimulator) sepanjang seluruh kaki kiri,terutama
di bagian posterior. Hypo / disesthesia terjadi di sepanjang posterior aspek paha dan kaki
termasuk situs gluteal kiri. Refleks patela adalah menurun, tidak ada Achilles dan plantar.
Jari kaki kiri tidak bisa dorsofleksi dan jari-jari kaki tidak bisa meregang.7
Setelah dilakukan pemeriksaan ulang dengan teliti terlihat pada gambar 1. Gambar
MRI, di tingkat L1, praktis dari aspek inferior dari intervertebral T12 ke lempeng atas
intervertebral L1, tampak area yang hyperdense, dengan panjang 22 mm, lebar hampir 2
mm, disertai dengan delaminasi dura secara inferior. Daerah ini seperti siring dan bisa
dikaitkan dengan bekas luka dari conum medullaris (CM), hal Ini akan mendukung
diagnosis akhir dari malasia anatomi dari konus yang menghasilkan gejala sindrom yang
menggabungkan cauda equina syndrome (CES) dan konus medullaris syndrome (CMS).7
2.1 Anatomi
Tulang belakang terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral Ada 7
cervical (berhubungan dengan tengkuk), 12 ruas vertebrae torakal, 5 ruas verbrae
lumbalis 5 ruas tulang Sakralis dan 5 ruas koksigeal yang bersatu satu sama lain
(Gambar 16–2). Tulang belakang secara keselruhan berfungsi sebagai tulang
penyokong tubuh terutama tulang-tulang lumbalis.selain itu tulang belakang juga
berfungsi melindungi medula spinalis yang terdapat di dalamnya.8
Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui radix
anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Masing–masing radix melekat
pada medulla spinalis melalui sederetan radices (radix-radix kecil), yang terdapat di
sepanjang segmen medulla spinalis yang sesuai. setiap radix mempunyai sebuah
ganglion radix posterior, yang axon sel–selnya memberikan serabut–serabutsaraf
perifer dan pusat.8
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping,
yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm
(seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar
tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis
vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan
melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap
vertebra yang berdekatan.8
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut: 8 pasang
saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang
saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co).8
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang
daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen
medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan
ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun
bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang
sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal
pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya
sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai.
Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih
bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda” karena penampakannya.7
Kulit
Lemak subcutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah
mengidentifikasi ruang intervertebra pada pasien kurus
Ligament Supraspinosa
Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis diantara
prosesus spinosus
Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic yang
berjalan secara vertical dari lamina ke lamina.
Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah
Duramater
Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang
dikelilingi oleh CSF. Injeksi dari anestesi local akan bercampur dengan CSF
dan secara cepat memblok akar syaraf yang berkontak.
Gambar 4. Sagital section through lumbar vertebra.9
2.2 Anestesi
Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam
ruang subarakhnoid di region antara lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4 dan 5
dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan blokade
saraf simpatis10. Beberapa nama lain dari anestesia spinal diantaranya adalah analgesia
spinal, analgesia subarakhnoid, blok spinal, blok arakhnoid, anestesi subarakhnoid dan
anestesi lumbal11. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.1,8
Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan
anestesia umum, khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah, perineum
dan ekstremitas bawah. Anestesia spinal dapat menumpulkan respons stress terhadap
pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan kejadian
tromboemboli postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien bedah
dengan risiko tinggi.1,11
Gambar 6. Pendekatan garis tengah dan paramedian (Jarum A dan B) dapat secara langsung mecederai spinal
cord, dimana kesalahan deviasi (Jarum C) dapat mengenai nervus spinalis atau ramus primer anterior maupun
posterior diluar foramen. Kesalahan pendekatan jarum lateral, contohnya, pendekatan trans foraminal (Jarum
D), dapat berpotensi mengenai nevus spinalis ataupun arteri spinalis. Catatan bahwa pendekatan transforaminal
adalah pendekatan tipikal yang digunakan pada level servikal ataupun lumbal, bukan pada level T6 yang seperti
diilustrasikan. Ilustrasi oleh Garry J. Nelson. 7
Cedera mekanis
Suatu lesi massa juga dapat menyebabkan cedera medula spinalis. Lesi
intradural atau lesi ekstradural bersaing untuk mendapatkan ruang dalam kanal spinal
dan dengan demikian berpotensi menurunkan tekanan perfusi saraf spinal (SCPP /
Spinal Cord Perfusion Pressure) dengan mekanisme menghambat aliran arteri,
menghambat aliran keluar vena, atau meningkatkan tekanan cairan serebrospinal
(CSF) ([SCPP = rata-rata tekanan arteri (MAP) - tekanan CSF saraf spinal]23; dalam
keadaan yang jarang terjadi, tekanan aliran vena langsung juga dapat berdampak SCPP
regional). Jika SCPP cukup berkurang, dapat menyebabkan iskemia saraf spinal yang
pada kasus lebih berat dapat terjadi infark. Hematoma dan abses epidural merupakan
komplikasi anestesi neuraksial atau teknik pengobatan nyeri yang biasa terjadi, dan
dapat menyebabkan konsekuensi lesi massa. Potensi untuk peningkatan tekanan
transien sekunder karena anestesi lokal berlebihan (khususnya pada bayi), jalan keluar
terkompromi dari anestesi lokal atau darah melalui stenosis foramen intervertebral
stenosis, atau lesi massa yang tidak biasa seperti tumor, granuloma dari pemberian
morfin kronis secara intrateka, lipomatosis epidural lipomatosis, kista sinovial, atau
ependimoma. Banyak kondisi-kondisi tersembunyi bagi pasien serta praktisi dan
menjadi relevan hanya ketika darah, nanah, atau anestesi lokal bersaing untuk
mendapatkan ruang dalam kanal vertebra yang terbatas. Adanya peningkatan volume
dalam kanal vertebra, apakah dengan cairan atau lesi massa, dapat memiliki efek
“penghambat Starling” pada pembuluh darah, membatasi masuknya darah ke dalam
dan keluar jaringan yang terkena. Lebih lanjut, pasien dengan stenosis tulang belakang
yang parah atau efek massa lainnya mungkin meningkatkan risiko aliran darah dan
jaringan terganggu ketika suatu tindakan bedah membutuhkan posisi tertentu seperti
lordosis ekstrim, litotomi, atau posisi fleksi lateral.6
Gangguan SCBF dapat terjadi dari berbagai mekanisme, termasuk trauma jarum
yang mempengaruhi pembuluh darah tulang belakang (Gbr. 2), lesi compressivemass
(Gambar 3), atau spasme vaskular (Gambar 4). aliran darah spinalis tali pusat juga
dapat dikompromikan dari aliran rendah menyatakan, seperti mungkin yang signifikan
terjadi dan berkepanjangan hipotensi sistemik, fenomena embolik, atau stenosis
vaskular. Frekuensi iskemia sumsum tulang belakang jelas langka dan kami
pemahaman terbatas. Artikel kami sebelumnya2 diulas secara ekstensif suplai darah
tali tulang belakang manusia. Sumsum tulang belakang dan cauda equina menerima
dua pertiga dari suplai darah mereka dari anterior arteri spinal, yang tidak dapat terluka
langsung oleh garis tengah atau jarum paramedian tanpa terlebih dahulu melintasi
sumsum tulang belakang (Gbr. 2).6
Gambar 7. Pendekatan dari garis tengah atau pendekatan paramedian dapat secara langsung
menyebabkan trauma arteri spinal posterior, sedangkan penyimpangan lateral yang tidak disengaja dari
jarum dapat menghubungi arteri cabang tulang belakang. Cedera langsung pada arteri spinal anterior
akan membutuhkan penempatan jarum atau katete melalui sumsum tulang belakang. Ilustrasi oleh Gary
J. Nelson. Direproduksi dengan izin dari Neal dan Rathmell, Komplikasi dalam Regional Anestesi dan
Obat Nyeri.6
Neurotoksisitas
Stenosis Spinal