OLEH :
INSTALASI ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR
PROVINSI JAWA TIMUR
2023
LEMBAR PENGESAHAN
Hari :
Tanggal :
Tempat :
Malang,
( ) ( )
BAB I
KONSEP MEDIS
1. Definisi
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) biasa juga dikenal dengan sebutan Hernia Diskus
Invertebralis atau yang umunya dikenal dengan sebutan saraf terjepit. Kowalak, Welsh, &
Mayer (2014). HNP adalah suatu ruptur atau dislokasi diskus invertebralis yang terjadi
ketika seluruh atau sebagian nukleus pulposus terdorong melalui diskus yang lemah atau
anulus fibrosus yang ruptur. Nukleus pulposus adalah bagian tengah diskus invertebralis
yang lunak dan menyerupai gelatin.
Mutaqqin (2008) mengatakan bahwa protrusi atau rupture nucleus biasanya
didahului dengan perubahan degenerative yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan
protein dalam polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nucleus pulpolus.
Perkembangan pecahan yang menyebar di annulus melemahkan pertahanan pada herniasi
nucleus (Mutaqqin, 2008).
HNP adalah keadaan ketika nucleus pulpolus keluar menonjol untuk kemudian
menekan kea rah kanalis spinalis melalui annulus fibrosis yang robek. HNP merupakan
suatu nyeri yang disebabkan oleh proses patologik di kolumna vertebralis pada diskus
intervetrebralis. Herniasi nukleus pulposus (HNP) merupakan penyebab utama nyeri
punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh), mungkin sebagai dampak
trauma atau perubahan degeneratif yang berhubungan dengan proses penuaan (Black, Joyce
M; Hawks, Jane Hokanson;, 2014).
Kowalak, Welsh, & Mayer (2014) menyebutkan bahwa sekitar 90% HNP terjadi di
daerah lumbal dan lumbosacral, sekitar 8 % terjadi di daerah servikal, dan sekitar 1%-2%
terjadi di daerah torakal. Pasien yang memiliki kanalis spinalis lumbal yang secara
kongenital berukuran sempit atau disertai pembentukan osteofit di sepanjang vertebra
mungkin lebih rentan terhadap kompresi radiks saraf dan menghadapi kemungkinan yang
lebih besar untuk memperlihatkan gejala neurologi.
Diskus invertebralis terdiri atas dua bagian yaitu bagian tengah yang lunak dan
bagian berbentuk cincin yang melingkarinya serta terbentuk dari jaringan fibrous yang liat.
Bagian tengah disebut nukleus pulposus sedangkan bagian yang melingkarinya disebut
annulus fibrosus. Nukleus pulposus beerja seperti peredam kejut (shock absorber) dengan
mendistribusikan stress mekanis pada tulang belakang yang terjadi ketika tubuh bergerak.
Stres fisik yang biasanya berupa gerakan berputar dapat merobek atau menimbulkan rupture
annulus fibrous sehingga terjadi HNP ke dalam kanalis spinalis. Tulang vertebra akan saling
mendekat dan materi diskus yang rupture dapat menimbulkan tekanan pada radiks saraf
sehingga timbul rasa nyeri dan mungkin pula kehilangan fungsi sensorik serta motorik.
HNP dapat terjadi pula bersama dengan degenerasi persendian invertebralis. Jika
diskus tersebut sudah mulai berdegenerasi maka trauma ringan sekalipun dapat
menimbulkan herniasi. Herniasi terjadi dalam 3 tahap yang meliputi:
1. Protrusi yaitu nukleus pulposus menekan anulus fibrosus
2. Ekstrusi yaitu nukleus pulposus menonjol keluar melalui anulus fibrosus sehingga
menekan radiks saraf
3. Sekuestrasi yaitu anulus pecah sehingga bagian tengah diskus meletup keluar dan
menekan radiks saraf
2. Etiologi
Nurarif & Kusuma (2005) mengatakan bahwa region lumbalis merupakan bagian
yang tersering mengalami HNP. Kandungan air diskus berkurang seiring bertambahnya usia.
Selain itu serat-serat menjadi lebih kasar dan mengalami hialinisasi, yang ikut berperan
menimbulkan perubahan yang menyebabkan herniasi nucleus pulposus melalui annulus
disertai penekanan akar saraf spinal. Umumnya herniasi kemungkinan paling besar terjadi
didaerah tulang belakang dimana terjadinya transisi dari segmen yang lebih banyak bergerak
ke yang kurang bergerak.
Menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2014) ada 2 penyebab utama HNP dapat
terjadi. Penyebab tersebut meliputi:
1. Trauma atau galur yang berat
2. Degenerasi persendian invertebralis.
3. Manifestasi Klinik
Menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2014) beberapa tanda dan gejala yang dapat
terjadi pada penderita HNP meliputi:
1. Nyeri punggung bawah yang hebat dan menjalar ke daerah bokong, tungkai, dan kaki.
Nyeri ini biasanya terasa hanya pada satu sisi (unilateral) dan disebabkan oleh kompresi
radiks saraf yang menginervasi daerah tersebut.
2. Nyeri mendadak pascatrauma yang mereda dalam waktu beberapa hari, tetapi kemudian
timbul kembali dalam selang waktu yang singkat disertai intensitas yang bertambah
secara progresif
3. Ilkialgia yang terjadi pascatrauma dan dimulai dengan nyeri tumpul di daerah bokong.
Manuver valsava, batuk, bersin, dan membungkuk dapat menambah rasa nyeri yang
sering disertai spasme otot akibat penekanan serta iritasi radiks nervus iskiadikus.
4. Kehilangan fungsi sensoris dan motorik di daerah yang dipersarafi oleh radiks nervus
spinalis yang terkompresi dan pada stadium lebih lanjut, kelemahan, serta atrofi otot-otot
tungkai.
4. Komplikasi
Menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2014) komplikasi pada HNP bergantung pada
intensitas dan lokasi herniasi yang spesifik. Komplikasi yang sering terjadi adalah sebagai
berikut:
1. Difisit neurologi
2. Masalah defekasi
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2014) beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosa HNP meliputi:
1. Tes mengangkat tungkai pada posisis ekstensi memperlihatkan hasil yang positif hanya
apabila pasien mengalami nyeri iskialgia (tungkai) posterior dan bukan nyeri punggung
2. Tes lasegue memperlihatkan resistensi dan rasa nyeri dan hilangnya refleks patella dan
tendo akiles. Keadaan ini menunjukkan kompresi radiks saraf spinalis
3. Foto rontgen vertebra dapat menyingkirkan kelainan yang lain, tetapi tidak dapat
menegakkan diagnosa HNP keran prolapses diskus yang nyata mungkin tidak tampak
pada foto rontgen yang normal.
4. Mielogram, CT Scan dan MRI akan memperlihatkan kompresi radiks saraf spinalis oleh
material diskus yang mengalami herniasi.
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) pemeriksaan penunjang terbagi beberapa antara
lain:
1. Pemeriksaan klinik, pada punggung, tungkai dan abdomen. Pemeriksaan rektal dan
vaginal untuk menyingkirkan kelainan pada pelvis.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto polos, posisi AP dan lteral dari vertebra lumbal dan panggul (sendi sakroiliaka).
Foto polos bertujuan untuk melihat adanya penyempitan diskus, penyakit
degenerative, kelainan bawaan dan vertebra yang tidak stabil (spondililistesis).
b. Pemakaian kontras, foto rotgen dengan memakai zat kontras terutama pada
pemeriksaan mielegrafi radikuografi, diskografi serta kadang-kadang diperlukan
venografi spinal.
c. MRI : merupakan pemeriksaan non invasive dapat emberikan gambaran secaara
seksional pada lapisan melintang dan longitudinal.
d. Scanning : scanning tulang dilakukan dengan menggunakan bahan radioisotip (SR
dan F) > Pemeriksaan ini terutama untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit
paget.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan urin untuk menyingkirkan kelainan-kelainan pada saluran kencing.
b. Pemeriksaan darah yaitu laju endap darah dan hitugn diferensial untuk menyingkirkan
adanya tumor ganas, infeksi dan penyakit reumatik.
6. Penatalaksanaan
Penanganan atau penatalaksanaan HNP menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2014)
meliputi:
1. Kompres hangat untuk mengurangi spasme otot dan membantu meredakan rasa nyeri
2. Program latihan untuk menguatkan otot-otot yang terkait dan mencegah kemunduran
lebih lanjut
3. Pemberian kortikosteroid seperti deksametason sebagai terapi awal jangka untuk jangka
waktu yang pendek, pemberian preparat antiinflamasi, seperti aspirin serta NSAID untuk
mengurangi inflamasi dan edema pada tempat yang mengalami cedera.
4. Pemberian obat-obat relaksan otot, seperti diazepam, metokarbamol, serta siklobenzaprin
untuk mengurangi spasme otot akibat iritasi radiks saraf, penyuntikan epidural obat
anestesi pada tingkat protrusi untuk meredakan rasa nyeri.
5. Pembedahan yang meliputi laminektomi untuk mengangkat diskus yang mengalami
ekstrusi, penyatuan tulang vertebra (fusi spinal) untuk mengatasi ketidakstabilan
segmentel atau keduanya untuk menstabilkan tulang belakang.
6. Imobilisasi atau branching dengan menggunakan lumbosacral brace atau korset.
7. Terapi diet untuk mengurangi berat badan.
8. Traksi lumbal, mungkin menolong tetapi biasanya resides.
9. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS).
A. PATHWAY
Nucleus pulpolus
keluar menonjol
nyeri
Ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer
Perubahan status kesehatan
Ansietas
BAB II
KONSEP DASAR GENERAL ANESTESI INTUBASI
2.1 Pengertian
Anestesi umum adalah menghilangkan kesadaran dengan pemberian obat-obatan tertentu,
tidak merasakan sakit walau diberikan rangsangan nyeri, dan bersifat irreversible.
Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi hilang, depresi fungsi neuromuskular,
dan juga gangguan kardiovaskular (ASA, 2019).
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang
dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general
anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi
yaitu pemasangan endotracheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief,
2007). Beberapa alasan yang digunakan sebagai dasar peilihan intubasi, sungkup, atau LMA
diantaranya adalah karena jenis tindakan pembedahan yang ekstensif maka mungkin
memerlukan intubasi. Operasi berlangsung singkat, tidak berisiko terhapat jalan napas,
mungkin cukup dengan memasang LMA atau sungkup.
Intubasi merupakan suatu proses memasukkan suatu tube yang disebut endotracheal tube ke
dalam jalan napas melalui mulut (orotracheal tube) atau hidung (nasotracheal tube) menuju
ke dalam trachea (Khany, 2008).
Adapun stadium anestesi diantaranya:
1. Stadium satu adalah adalah stadium analgesia atau disorientasi yang berlangsung antara
induksi sampai hilangnya kesadaran.
2. Stadium dua adalah stadium delirium / eksitasi yang dimulai dari hilangnya kesadaran
atau hilangnya reflex bulu mata sampai nafas teratur.
3. Stadium tiga adalah pembedahan (surgical) adapun dibagi menjadi empat plana
a. plana I
Ventilasi teratur, sifatnya toraco abdominal, mata terfiksasi / ekstrensik,
pupil miosis, reflex cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring / muntah
(-), tonus otot mulai menurun.
b. Plana II
Ventilasi teratur, sifatnya abdomino toracal, tidal volume menurun,
ferkwensi napas meningkat, pupil mulai midriasis, refleks cahaya menurun
dan refleks kornea (-).
c. Plana III
Ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena kelumpuhan syaraf
intercostals, lacrimasi (-), pupil melebar, refleks laring dan peritoneum (-),
tonus otot menurun.
d. Plana IV
Ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat (megap-megap).
4. Stadium empat adalah stadium paralisis/overdosis yang dimulai dari henti nafas {apnoe)
sampai dengan henti jantung (cardio arrest).
2.2 Tujuan Intubasi Endotracheal
Tujuan Intubasi Endotrachal :
1. Mempermudah pemberian anestesi
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar
dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan
melihat besarnya jari kelingkingnya.
4. Pipa orofaring atau nasofaring. →mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya
lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
5. Plester → memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
6. Stilet atau forsep intubasi. (McGill) → mengatur kelengkungan pipa endotrakheal
sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi
pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
7. Tampon (pack)
8. Salep mata atau penutup mata.
9. Kasa (jika perlu)
10. Gunting
11. Mesin Anestesi
Selalu pastikan mesin berguna dengan baik dengan cara :
a. Hubungkan kabel listik dengan sumber listrik.
b. Hubungkan pipa oksigen dari mesin anestesi dengan ”Outlet” sumber oksigen .
c. Pasang Currogated + bag sesuai kebutuhan.
d. Cek apakan ada kebocoran dengan cara tutup valve, kembangkan bag
e. flash O2 atau putar O2 10 lpm, lalu coba pompa bag dan cari apakah ada
kebocoran dari bag, sambungan, atau currogate
f. Soda lime ( bila warna sudah berubah harus diganti )
g. Vaporizer harus di cek apakan agent inhalasi sudah terisi
12. Suction
a. Sambungkan dengan sumber listrik
b. Cek Kelengkapannya meliputi: selang suction, tabung penampung
c. kateter suction dengan diameter 1/3 diameter ETT, ujungnya harus tumpul dan
lubang lebih dari satu.
d. Atur kekuatan penghisapan sesuai kebutuhan (Adult ≤ 200 mmHgpediatric ≤ 100
mmHg dan bayi ≤ 60 mmHg)
Tindakan anestesi dengan posisi telungkup sering diperlukan guna memfasilitasi akses
operasi pada berbagai tindakan bedah termasuk bedah saraf, antara lain pada tindakan
pembedahan tulang belakang. Selain perubahan fisiologis, dapat juga terjadi beberapa
komplikasi pada posisi telungkup yang harus mendapat perhatian khusus, sehingga diperlukan
pemahaman yang baik akan masalah ini.
Tindakan anestesi dengan posisi prone atau telungkup telah sejak lama dilaksanakan dan
dikembangkan guna memudahkan akses bedah. Namun, pelopor bedah tulang belakang pada era
tahun 1930 dan 1940 mengalami kendala, karenatidak ada upaya untuk menghindari kompresi
pada perut saat pasien berada dalam posisi telungkup.
Sebenarnya pada saat itu sifat valveless sistem vena telah dipahami dengan baik, yaitu
bahwa peningkatan tekanan intra-abdomen akan mendorong darah dari vena cava inferior (IVC)
masuk ke dalam pleksus vena ekstradural yang akan mengakibatkan pendarahan sehingga
mengganggu lapang pandang bedah
Tindakan anestesi dengan posisi telungkup yang dilakukan pada berbagai prosedur
bedah, harus dilaksanakan secara aman yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam atas
perubahan fisiologis dan resiko yang dapat terjadi. Sejumlah prosedur bedah yang memerlukan
posisi telungkup antara lain adalah pembedahan bagian belakang, pembedahan sinus pilonoidal
dan beberapa pembedahan di pergelangan kaki seperti repair tendo achilles.
Prosedur Anestesi :
Setelah pasien masuk ke kamar operasi lalu dipasang monitor standar yaitu tekanan darah
non-invasif kontinyu, saturasi oksigen, EKG. Namun EtCO2 tidak dipasang. Pasien diposisikan
terlentang dengan kepala slight head up, lalu dilakukan oksigenasi 7 L/menit melalui sungkup
muka selama 3 menit, kemudian diinduksi dengan memberikan fentanyl 100 mcg intravena
perlahan selama 2 menit, dan propofol
100 mg. Untuk fasilitasi intubasi diberikan atracurium 25mg, kemudian lidokain 1,5 mg/bb.
Setelah 90 detik kemudian dilakukan intubasi dengan pipa endotrakheal Non kinking nomor 7,5
dengan balon. Mata diberi salep dan ditutup dengan plester kertas 3 lapis. Selanjutnya dilakukan
pemasangan kateter urin Folley no.14 Fr, dan mulut di pasang ’packing’.
Perubahan posisi dilakukan secara bertahap yaitu pasien dimiringkan kanan atas perlahan
(90o) dipertahankan sesaat sambil dilakukan pengukuran tekanan darah dan bila hemodinamik
stabil/tidak mengalami hipotensi, maka dilanjukan ke posisi telungkup di atas meja yang telah
disiapkan untuk posisi tersebut.
Wajah diganjal dengan “donat” dengan memperhatikan mata jangan sampai tertekan, dan
posisi pipa endotrakhea jangan sampai terjepit dan terlipat. Ganjal diletakan dibawah dada dan
panggul sedemikian rupa agar gerakan nafas abdomen bebas. Kateter urin juga harus
diperhatikan dan diposisikan jangan sampai terlipat dan mudah dijangkau untuk diobservasi.
Kaki diposisikan sedikit fleksi dengan memberi ganjalan disekitar pergelangan kaki. Kedua
tangan di posisikan disamping badan dengan memberikan ganjalan disekitar lengan bawah.
Setelah selesai operasi posisi pasien dikemballikan dari telungkup ke terlentang secara
bertahap, yaitu meja operasi diposisikan sedikit lebih tinggi dari tempat tidur pasien, lalu meja
operasi dimiringkan kekanan sekitar 15-30o pasien ditahan kemudian dimiringkan kanan atas
perlahan (90o) ditunggu sebentar lalu diukur tekanan darah dan bila hemodinamik stabil/tidak
hipotensi dilanjukan untuk posisi terlentang.
Pembahasan
Anestesi dengan posisi telungkup pada beberapa prosedur tindakan pembedahan harus
dilakukan dengan aman, didasarkan pada pemahaman yang utuh atas resiko yang dapat terjadi.
Sejumlah prosedur yang memerlukan posisi telungkup antara lain adalah pembedahan bagian
belakang, pembedahan sinus pilonoidal dan beberapa pembedahan di pergelangan kaki seperti
repair tendo Achilles. Sangat penting untuk memahani perubahan fisiologis dan tentunya resiko
yang terjadi sehubungan dengan posisi telungkup ini.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi curah jantung, yaitu preload, afterload dan
kontraktilitas. Pada posisi telungkup terjadi kompresi vena kava inferior yang menyebabkan
penurunan aliran balik vena ke jantung yang selanjutnya akan mengurangi preload. Oleh sebab
itu, penurunan preload merupakan faktor yang paling berperan.
Posisi telungkup sering digunakan pada operasi spinal, hal ini menyebabkan terjadinya
perdarahan pada lapangan operasi, oleh karena itu, menurunkan tekanan langsung pada
abdomen merupakan factor penting. Keadaan ini dapat dicapai dengan merancang meja
operasi khusus atau meletakan bantalan di bawah dada dan di bawah pelvis. Peletakan bantal
ini harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai bagian belakang terlalu tegang.
Posisi telungkup klasik.
A. Meja yang rata dengan tangan pasien diatas kepala: Perhatikan di atas dada depan tepat di
bawah klavikula diberi bantal, lengan atas didukung ventrad dengan posisi sumbu melintang
dari dada. Siku dan lutut diberi penahan/bantalan; kaki difleksikan di paha.
B. Lengan dirapatkan sejajar dengan badan. Kepala ditahan dengan bantalan berbentuk
bagian muka.
C. kemudian terakhir, meja atas di fleksikan untuk meminimalkan lordosis pada lumbal.
Pemasangan straps pada gluteus harus agak keatas untuk menahan berat ekstremitas bawah di
atas meja yang diposisikan miring.
Perubahan sistem respirasi pada posisi telungkup mempunyai efek yang positif,
dengan syarat bahwa tekanan pada abdominal dihindari. Pada posisi telungkup terjadi
peningkatan Functional Residual Capatity (FRC) dan tekanan oksigen di arteri (PaO2), hal ini
menjadi alasan mengapa posisi telungkup sering digunakan di ruang intensif pada pasien
dengan penurunan fungsi paru, akibat Acute Lung Injury. Walaupun mekanisme perbaikan
fungsi ini masih belum jelas, namun terjadi perubahan yang baik pada ventilasi dan perfusi
(V/Q Math) dan juga terjadi perbaikan tekanan oksigen arteri (PaO2).
Daerah yang beresiko terjadi cedera tergantung pada tepatnya teknik posisi telungkup
yang sedang digunakan. Pertama, posisi telungkup yang sederhana menggunakan kasur
Montreal (meja operasi standar yang lembut dengan lubang untuk menghindari tekanan pada
perut) dan posisi 'tuck', yaitu pinggul dan lutut dilipat untuk memungkinkan akses yang
baik pada bedah daerah vertebra servikal atau toraks.
Tekanan langsung yang dapat menimbulkan kerusakan pada musculoskeletal seperti pada dahi,
hidung, dada, lengan, payudara dan alat kelamin, panggul (spina iliaka superior), lutut dan kaki
perlu dilakukan pencatatan dan dilindungi.
Kerusakan pada mata dapat disebabkan oleh dua mekanisme. Pertama karena tekanan
langsung pada mata, dimana posisi yang tidak benar menyebabkan berat kepala akan ditopang
oleh bola mata, dan akan mengakibatkan kerusakan sekunder sampai iskemia.
Pendapat kedua menyatakan, sebagai akibat dari perfusi yang buruk. Sama halnya
dengan bahwa tekanan perfusi serebral ditentukan oleh tekanan arteri rata-rata dikurangi
tekanan intrakranial, maka tekanan perfusi bola mata dapat juga didefinisikan sebagai tekanan
arteri rata-rata dikurangi Tekanan Intra Okuler (TIO). Oklusi pada drainase vena, atau
kenaikan umum dalam tekanan vena akan meningkatkan TIO. Demikian pula apabila posisi
kepala di bawah atau lebih rendah. Tekanan arteri rata-rata dapat diturunkan karena hipotensi
yang disengaja atau kompresi perut. Jika tekanan perfusi bola mata terlalu rendah, maka dapat
menyebabkan iskemik dan menimbulkan kerusakan mata.
Cedera tekanan langsung dapat terjadi pada kepala dan leher, dada, perut dan
pembuluh darah yang memasok aliran dadrah ke ekstermitas bawah dan atas. Pernah
dilaporkan pembengkakan pada lidah dan mulut yang dapat berpotensi menyebabkan
obstruksi jalan napas dan ekstubasi menjadi tertunda. Mekanisme ini dianggap karena adanya
obstruksi pada drainase vena di kepala dan leher akibat fleksi berlebihan pada leher yang
selanjutnya terjadi peningkatan tekanan hidrostatik yang juga menyebabkan edema.
BAB III
PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANESTESI
PENGKAJIAN PREANESTESI
Data Subyektif
Keluhan Utama : nyeri
Riwayat penyakit saat ini: pasien mengatakan nyeri punggung sudah 2 tahun lalu terasa dan
kadang terasa kebas pada kaki
Riwayat penyakit yang lalu: HT (-) DM (-)
Riwayat anestesi/ operasi terdahulu : tidak ada
Riwayat kebiasaan pasien (Perokok, alcohol, obat obatan) : merokok (+), alkohol (-)
Data Obyektif
a. Sistem Pernafasan (B1)
Jalan Nafas : Paten / Obstruksi
Sesak nafas : Ya / tidak, terpasang O2 : lpm
Artificial airway : Oro/Nasofaringeal tube/ ETT / Tracheocanule
RR : 18 x/menit
SpO2 : 99 %
Gigi : Palsu ( - ) Cakil ( - ) Tongos ( - ) Ompong ( + )
Buka Mulut : 3 jari
MALAMPATTI : 2
Jarak Mentothyroid : 6 cm
Gerak leher : Flexy / Ekstensi
Suara nafas : Vesikuler / Bronkovesikuler
Ronchi : Whezing :
Status ASA : 1 2 3 4 5
Jenis Operasi : Emergency/ Elektif
Pemeriksaan Penunjang
a. Data Penunjang Laboratorium
Darah Lengkap (3/4/2023)
NILAI RUJUKAN
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN DEWASA
NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 12,70 g/dL 13,4 – 17,3
Eritrosit (RBC) 3,94 juta 4,74 – 6,32
Leukosit (WBC) 8.78 10³/mm³ 5,07 – 11,10
Hematokrit 32,00 % 39,90 – 51,10
Trombosit (PLT) 378,00 10³/mm³ 185,00 – 398,00
MCV 87,70 µm³ 73,40 – 91,00
MCH 29,80 pg 24,20 – 31,20
MCHC 33,40 g/dL 31,90 – 36,00
RDW 12,50 % 11,30 – 14,60
PDW 10,6 fL 9 – 13
MPV 10,5 fL 7,2 – 11,1
P-LCR 24,1 % 15,0 – 25,0
PCT 0,34 % 0,150 – 0,400
NRBC Absolute 0,00 10³/ µL
NRBC Percent 0,0 %
Hitung Jenis
- Eosinofil 1,10 % 0,70 – 5,40
- Basofil 0,10 % 0,00 – 1,00
- Neutrofil 50,00 % 42,50 – 71,00
- Limfosit 42,40 % 20,40 – 44,60
- Monosit 5,30 % 3,60 – 9,90
- Eosinofil Absolut 0,17 10³/mm³ 0,04 – 0,43
- Basofil Absolut 0,01 10³/mm³ 0,02 – 0,09
- Neutrofil Absolut 2,90 10³/mm³ 2,72 – 7,53
- Limfosit Absolut 2,43 10³/mm³ 1,46 – 3,73
- NLR (Hematologi) 1,18
- Monosit Absolut 0,59 10³/mm³ 0,33 – 0,91
- Immature Granulosit
0,40 %
(%)
- Immature Granulosit 0,07 10³/µL
- Lain – lain
FAAL HEMOSTATIS
PPT
- Pasien 10,30 detik 9,4 – 11,3
- Kontrol 10,4 Detik
- INR 1.05 < 1,5
APTT
- Pasien 28,10 detik 24,6 – 30,6
- Kontrol 25,4 Detik
KIMIA KLINIK
FAAL HATI
ALBUMIN 4,24 G/DL 3,5-5,5
Kimia Klinik (4/4/2023)
NILAI RUJUKAN
JENIS PEMERIKSAAAN HASIL SATUAN DEWASA
NORMAL
KIMIA KLINIK
ELEKTROLIT
ELEKTROLIT SERUM
- Natrum (Na) 140 mmol/L 136 – 145
- Kalium (K) 2.94 mmol/L 3,5 – 5,0
- Klorida (Cl) 104 mmol/L 98 – 106
b. Foto rongen
Cor dan pulmo tak tampak kelainan
c. MRI
-Tampak penekanan pada discuss, oval 2 buah di level Vth 12-L1 ektradural level VL 1-
2 intradural, sugestif benign
Mild stenosis canalis spinali. Di VL3/4 dan 4/5 ec protruded disk VL 4/5, prodruded
disk di VL3/4 dan posterior buldging disk L4/5
Focal fatty marrow mass intraosseus corpus VL5 sisi superior sugestif benign susp
Dessicated disk sesuai psirmam III di L3/4,4/5
d. Ecg
Sinus rhytm
07.35 Terapeutik
2. Mengatur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
3. Mendokumentasikan hasil pemantauan
POST ANESTESI
Data Subyektif :-
Data Obyektif :
- KU : cukup, GCS : 456
- Terpasang NRBM 8 lpm
- Terdapat sputum
- TD: 130/78 mmHg
N: 90x/mnt
S: 35,8 °C
RR: 18x/mnt
SpO2: 99%
Aldrete Score
Nilai Warna: Kesadaran:
Merah muda (2) Sadar, siaga, dan orientasi (2)
Pucat (1) Bangun namun cepat kembali tertidur (1)
Sianosis (0) Tidak berespon (0)
Pernapasan:
Dapat bernapas dalam dan batuk (2)
Dangkal namun pertukaran udara adekuat (1)
Apneu atau obstruksi (0)
Sirkulasi:
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal (2)
Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal (1)
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal (0)
Aktivitas:
Seluruh ekstrimitas dapat digerakkan (2)
Dua ekstremitas dapat digerakkan (1)
Tidak bergerak (0)
Jika jumlahnya ≥ 8 pasien dapat dipindah ke ruangan, jika pindah ICU tanpa menilai
aldrette score
ANALISA DATA (POST ANESTESI)