Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PELATIHAN PERAWAT ANASTESI DASAR

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA KLIEN DENGAN HNP LEVEL 1


VERTEBRA L 5 DENGAN GENERAL ANESTESI INTUBASI ENDOTRACEAL TUBE
POSISI PRONE
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR PROVINSI JAWA TIMUR

OLEH :

ADE SIGIT IRAWAN AMd. Kep


RSUD Dr. SAIFUL ANWAR PROVINSI JAWA TIMUR

INSTALASI ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR
PROVINSI JAWA TIMUR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA KLIEN HNP LEVEL 1VERTEBRA L5


DENGAN GENERAL ANESTESI INTUBASI ENDOTRACEAL TUBE POSISI PRONE
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR PROVINSI JAWA TIMUR

Telah disetujui pada:

Hari :
Tanggal :
Tempat :

Malang,

Peserta Pelatihan Pembimbing

( ) ( )
BAB I
KONSEP MEDIS
1. Definisi
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) biasa juga dikenal dengan sebutan Hernia Diskus
Invertebralis atau yang umunya dikenal dengan sebutan saraf terjepit. Kowalak, Welsh, &
Mayer (2014). HNP adalah suatu ruptur atau dislokasi diskus invertebralis yang terjadi
ketika seluruh atau sebagian nukleus pulposus terdorong melalui diskus yang lemah atau
anulus fibrosus yang ruptur. Nukleus pulposus adalah bagian tengah diskus invertebralis
yang lunak dan menyerupai gelatin.
Mutaqqin (2008) mengatakan bahwa protrusi atau rupture nucleus biasanya
didahului dengan perubahan degenerative yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan
protein dalam polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nucleus pulpolus.
Perkembangan pecahan yang menyebar di annulus melemahkan pertahanan pada herniasi
nucleus (Mutaqqin, 2008).
HNP adalah keadaan ketika nucleus pulpolus keluar menonjol untuk kemudian
menekan kea rah kanalis spinalis melalui annulus fibrosis yang robek. HNP merupakan
suatu nyeri yang disebabkan oleh proses patologik di kolumna vertebralis pada diskus
intervetrebralis. Herniasi nukleus pulposus (HNP) merupakan penyebab utama nyeri
punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh), mungkin sebagai dampak
trauma atau perubahan degeneratif yang berhubungan dengan proses penuaan (Black, Joyce
M; Hawks, Jane Hokanson;, 2014).

Kowalak, Welsh, & Mayer (2014) menyebutkan bahwa sekitar 90% HNP terjadi di
daerah lumbal dan lumbosacral, sekitar 8 % terjadi di daerah servikal, dan sekitar 1%-2%
terjadi di daerah torakal. Pasien yang memiliki kanalis spinalis lumbal yang secara
kongenital berukuran sempit atau disertai pembentukan osteofit di sepanjang vertebra
mungkin lebih rentan terhadap kompresi radiks saraf dan menghadapi kemungkinan yang
lebih besar untuk memperlihatkan gejala neurologi.
Diskus invertebralis terdiri atas dua bagian yaitu bagian tengah yang lunak dan
bagian berbentuk cincin yang melingkarinya serta terbentuk dari jaringan fibrous yang liat.
Bagian tengah disebut nukleus pulposus sedangkan bagian yang melingkarinya disebut
annulus fibrosus. Nukleus pulposus beerja seperti peredam kejut (shock absorber) dengan
mendistribusikan stress mekanis pada tulang belakang yang terjadi ketika tubuh bergerak.
Stres fisik yang biasanya berupa gerakan berputar dapat merobek atau menimbulkan rupture
annulus fibrous sehingga terjadi HNP ke dalam kanalis spinalis. Tulang vertebra akan saling
mendekat dan materi diskus yang rupture dapat menimbulkan tekanan pada radiks saraf
sehingga timbul rasa nyeri dan mungkin pula kehilangan fungsi sensorik serta motorik.

HNP dapat terjadi pula bersama dengan degenerasi persendian invertebralis. Jika
diskus tersebut sudah mulai berdegenerasi maka trauma ringan sekalipun dapat
menimbulkan herniasi. Herniasi terjadi dalam 3 tahap yang meliputi:
1. Protrusi yaitu nukleus pulposus menekan anulus fibrosus
2. Ekstrusi yaitu nukleus pulposus menonjol keluar melalui anulus fibrosus sehingga
menekan radiks saraf
3. Sekuestrasi yaitu anulus pecah sehingga bagian tengah diskus meletup keluar dan
menekan radiks saraf

2. Etiologi
Nurarif & Kusuma (2005) mengatakan bahwa region lumbalis merupakan bagian
yang tersering mengalami HNP. Kandungan air diskus berkurang seiring bertambahnya usia.
Selain itu serat-serat menjadi lebih kasar dan mengalami hialinisasi, yang ikut berperan
menimbulkan perubahan yang menyebabkan herniasi nucleus pulposus melalui annulus
disertai penekanan akar saraf spinal. Umumnya herniasi kemungkinan paling besar terjadi
didaerah tulang belakang dimana terjadinya transisi dari segmen yang lebih banyak bergerak
ke yang kurang bergerak.
Menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2014) ada 2 penyebab utama HNP dapat
terjadi. Penyebab tersebut meliputi:
1. Trauma atau galur yang berat
2. Degenerasi persendian invertebralis.

3. Manifestasi Klinik
Menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2014) beberapa tanda dan gejala yang dapat
terjadi pada penderita HNP meliputi:
1. Nyeri punggung bawah yang hebat dan menjalar ke daerah bokong, tungkai, dan kaki.
Nyeri ini biasanya terasa hanya pada satu sisi (unilateral) dan disebabkan oleh kompresi
radiks saraf yang menginervasi daerah tersebut.
2. Nyeri mendadak pascatrauma yang mereda dalam waktu beberapa hari, tetapi kemudian
timbul kembali dalam selang waktu yang singkat disertai intensitas yang bertambah
secara progresif
3. Ilkialgia yang terjadi pascatrauma dan dimulai dengan nyeri tumpul di daerah bokong.
Manuver valsava, batuk, bersin, dan membungkuk dapat menambah rasa nyeri yang
sering disertai spasme otot akibat penekanan serta iritasi radiks nervus iskiadikus.
4. Kehilangan fungsi sensoris dan motorik di daerah yang dipersarafi oleh radiks nervus
spinalis yang terkompresi dan pada stadium lebih lanjut, kelemahan, serta atrofi otot-otot
tungkai.

4. Komplikasi
Menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2014) komplikasi pada HNP bergantung pada
intensitas dan lokasi herniasi yang spesifik. Komplikasi yang sering terjadi adalah sebagai
berikut:
1. Difisit neurologi
2. Masalah defekasi

5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2014) beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosa HNP meliputi:
1. Tes mengangkat tungkai pada posisis ekstensi memperlihatkan hasil yang positif hanya
apabila pasien mengalami nyeri iskialgia (tungkai) posterior dan bukan nyeri punggung
2. Tes lasegue memperlihatkan resistensi dan rasa nyeri dan hilangnya refleks patella dan
tendo akiles. Keadaan ini menunjukkan kompresi radiks saraf spinalis
3. Foto rontgen vertebra dapat menyingkirkan kelainan yang lain, tetapi tidak dapat
menegakkan diagnosa HNP keran prolapses diskus yang nyata mungkin tidak tampak
pada foto rontgen yang normal.
4. Mielogram, CT Scan dan MRI akan memperlihatkan kompresi radiks saraf spinalis oleh
material diskus yang mengalami herniasi.

Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) pemeriksaan penunjang terbagi beberapa antara
lain:
1. Pemeriksaan klinik, pada punggung, tungkai dan abdomen. Pemeriksaan rektal dan
vaginal untuk menyingkirkan kelainan pada pelvis.

2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto polos, posisi AP dan lteral dari vertebra lumbal dan panggul (sendi sakroiliaka).
Foto polos bertujuan untuk melihat adanya penyempitan diskus, penyakit
degenerative, kelainan bawaan dan vertebra yang tidak stabil (spondililistesis).
b. Pemakaian kontras, foto rotgen dengan memakai zat kontras terutama pada
pemeriksaan mielegrafi radikuografi, diskografi serta kadang-kadang diperlukan
venografi spinal.
c. MRI : merupakan pemeriksaan non invasive dapat emberikan gambaran secaara
seksional pada lapisan melintang dan longitudinal.
d. Scanning : scanning tulang dilakukan dengan menggunakan bahan radioisotip (SR
dan F) > Pemeriksaan ini terutama untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit
paget.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan urin untuk menyingkirkan kelainan-kelainan pada saluran kencing.
b. Pemeriksaan darah yaitu laju endap darah dan hitugn diferensial untuk menyingkirkan
adanya tumor ganas, infeksi dan penyakit reumatik.
6. Penatalaksanaan
Penanganan atau penatalaksanaan HNP menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2014)
meliputi:
1. Kompres hangat untuk mengurangi spasme otot dan membantu meredakan rasa nyeri
2. Program latihan untuk menguatkan otot-otot yang terkait dan mencegah kemunduran
lebih lanjut
3. Pemberian kortikosteroid seperti deksametason sebagai terapi awal jangka untuk jangka
waktu yang pendek, pemberian preparat antiinflamasi, seperti aspirin serta NSAID untuk
mengurangi inflamasi dan edema pada tempat yang mengalami cedera.
4. Pemberian obat-obat relaksan otot, seperti diazepam, metokarbamol, serta siklobenzaprin
untuk mengurangi spasme otot akibat iritasi radiks saraf, penyuntikan epidural obat
anestesi pada tingkat protrusi untuk meredakan rasa nyeri.
5. Pembedahan yang meliputi laminektomi untuk mengangkat diskus yang mengalami
ekstrusi, penyatuan tulang vertebra (fusi spinal) untuk mengatasi ketidakstabilan
segmentel atau keduanya untuk menstabilkan tulang belakang.
6. Imobilisasi atau branching dengan menggunakan lumbosacral brace atau korset.
7. Terapi diet untuk mengurangi berat badan.
8. Traksi lumbal, mungkin menolong tetapi biasanya resides.
9. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS).
A. PATHWAY

Nucleus pulpolus
keluar menonjol

Menekan ke arah kanalis


spinalis melalui annulus
fibrosis yang robek

Penekanan pada Kompresi medulla spinal


jaringan bagian atas

Hilangnya sensasi perianal


Kelemahan motorik dan genetalia

Gangguan mobilitas fisik Inkontinensi urine

Perubahan suplai inflamasi


darah

nyeri

Ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer
Perubahan status kesehatan

Ansietas
BAB II
KONSEP DASAR GENERAL ANESTESI INTUBASI
2.1 Pengertian
Anestesi umum adalah menghilangkan kesadaran dengan pemberian obat-obatan tertentu,
tidak merasakan sakit walau diberikan rangsangan nyeri, dan bersifat irreversible.
Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi hilang, depresi fungsi neuromuskular,
dan juga gangguan kardiovaskular (ASA, 2019).
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang
dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general
anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi
yaitu pemasangan endotracheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief,
2007). Beberapa alasan yang digunakan sebagai dasar peilihan intubasi, sungkup, atau LMA
diantaranya adalah karena jenis tindakan pembedahan yang ekstensif maka mungkin
memerlukan intubasi. Operasi berlangsung singkat, tidak berisiko terhapat jalan napas,
mungkin cukup dengan memasang LMA atau sungkup.
Intubasi merupakan suatu proses memasukkan suatu tube yang disebut endotracheal tube ke
dalam jalan napas melalui mulut (orotracheal tube) atau hidung (nasotracheal tube) menuju
ke dalam trachea (Khany, 2008).
Adapun stadium anestesi diantaranya:
1. Stadium satu adalah adalah stadium analgesia atau disorientasi yang berlangsung antara
induksi sampai hilangnya kesadaran.
2. Stadium dua adalah stadium delirium / eksitasi yang dimulai dari hilangnya kesadaran
atau hilangnya reflex bulu mata sampai nafas teratur.
3. Stadium tiga adalah pembedahan (surgical) adapun dibagi menjadi empat plana
a. plana I
Ventilasi teratur, sifatnya toraco abdominal, mata terfiksasi / ekstrensik,
pupil miosis, reflex cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring / muntah
(-), tonus otot mulai menurun.
b. Plana II
Ventilasi teratur, sifatnya abdomino toracal, tidal volume menurun,
ferkwensi napas meningkat, pupil mulai midriasis, refleks cahaya menurun
dan refleks kornea (-).

c. Plana III
Ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena kelumpuhan syaraf
intercostals, lacrimasi (-), pupil melebar, refleks laring dan peritoneum (-),
tonus otot menurun.
d. Plana IV
Ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat (megap-megap).
4. Stadium empat adalah stadium paralisis/overdosis yang dimulai dari henti nafas {apnoe)
sampai dengan henti jantung (cardio arrest).
2.2 Tujuan Intubasi Endotracheal
Tujuan Intubasi Endotrachal :
1. Mempermudah pemberian anestesi
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut

2.3 Indikasi Intubasi Endotracheal


1. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan
lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
2. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di
arteri.
3. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial
toilet.
4. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
5. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
6. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada
kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu
pekerjaan ahli bedah.
7. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada
ketegangan.
8. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,
memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
9. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
10. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
11. Tracheostomni.
12. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
13. Operasi dengan posisi miring/ tengkurap
14. Operasi dengan resiko tinggi
15. Operasi dengan lambung penuh
16. Oerapi gangguan respirasi (obstruksi saluran nafas)

2.1 Kontra Indikasi Intubasi Endotracheal


Adapun kontra indikasi intubasi endotracheal sebagai berikut:
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
2.2 Jenis Intubasi Endotracheal
1. Intubasi Oral
Keuntungan : lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien dalam
keadaan emergency, resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih kecil
Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman.
2. Intubasi Nasal
Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada pasien
sadar, tidak akan tergigit
Kerugian : pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih sulit, dapat terjadi
kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering terjadi infeksi ( sinusitis

2.3 Persiapan Alat


1. Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :
Blade lengkung ( McIntosh ) → dewasa dan Blade lurus ( blade Miller ) bayi dan
anak-anak .
2. Stetoskop untuk mendengarkan suara nafas
3. Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya di
daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai
spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas,
kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa
tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas
adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon
karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan
dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 7,0 – 8,0 mm dan perempuan 6,5 –
7,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm atau 3x ukuran
ETT. Untuk intubasi nasal panjang pipa yang masuk
Pada anak-anak Rumus yang di pakai :

Diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)


Rumus lain: (umur + 2)/2
Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)

Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar
dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan
melihat besarnya jari kelingkingnya.
4. Pipa orofaring atau nasofaring. →mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya
lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
5. Plester → memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
6. Stilet atau forsep intubasi. (McGill) → mengatur kelengkungan pipa endotrakheal
sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi
pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
7. Tampon (pack)
8. Salep mata atau penutup mata.
9. Kasa (jika perlu)
10. Gunting
11. Mesin Anestesi
Selalu pastikan mesin berguna dengan baik dengan cara :
a. Hubungkan kabel listik dengan sumber listrik.
b. Hubungkan pipa oksigen dari mesin anestesi dengan ”Outlet” sumber oksigen .
c. Pasang Currogated + bag sesuai kebutuhan.
d. Cek apakan ada kebocoran dengan cara tutup valve, kembangkan bag
e. flash O2 atau putar O2 10 lpm, lalu coba pompa bag dan cari apakah ada
kebocoran dari bag, sambungan, atau currogate
f. Soda lime ( bila warna sudah berubah harus diganti )
g. Vaporizer harus di cek apakan agent inhalasi sudah terisi
12. Suction
a. Sambungkan dengan sumber listrik
b. Cek Kelengkapannya meliputi: selang suction, tabung penampung
c. kateter suction dengan diameter 1/3 diameter ETT, ujungnya harus tumpul dan
lubang lebih dari satu.
d. Atur kekuatan penghisapan sesuai kebutuhan (Adult ≤ 200 mmHgpediatric ≤ 100
mmHg dan bayi ≤ 60 mmHg)

2.4 Prosedur Tindakan Intubasi


1. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup
keras atau botol infus)→ kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop
berada dalam satu garis lurus.
2. Oksigenasi. Setelah dilakukan induksi anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% dilakukan selama 2-5 menit. Sungkup
muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan .
3. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan
lapangan pandang akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke dalam rongga mulut.
Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan bentuk huruf V.
4. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut
kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut.
Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan
kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan blade laringoskop dikeluarkan
selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
5. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.
Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara
nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa
suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama.
Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau
gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-
kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin
membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah
diberikan oksigenasi yang cukup.
6. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan.

2.5 Komplikasi Intubasi Endotracheal.


1. Ringan : Tenggorokan serak, kerusakan pharyng, muntah,aspirasi, gigi copot/ rusak.
2. Serius : Laryngeal edema, obstruksi jalan nafas, rupture trachea, perdarahan hidung,
fistula trcheoesofagal granuloma, memar, laserasi akan terjadi dysponia dan dyspagia,
bradi kardi, aritmia, sampai dengan cardiac arrest.
3. Penyulit:
a. Leher pendek
b. Fraktur servical
c. Rahang bawah kecil
d. Osteoarthritis temporo mandibula joint
e. Trismus
f. Ada masa difaring dan laring

2.6 Syarat Ekstubasi


1. Insufisiensi nafas (-)
2. Hipoksia (-)
3. Hiperkarbia (-)
4. Kelainan asam basa (-)
5. Gangguan sirkulasi ( TD turun tidak ada, perdarahan tidak ada )
6. Pasien sadar penuh
7. Mampu bernafas bila diperintah
8. Kekuatan otot sudah pulih .
9. Tidak ada distensi lambung
2.7 Komplikasi Setelah Ekstubasi
1. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara
sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
2. Gangguan refleks berupa spasme laring.
KONSEP ANESTESI DENGAN POSISI PRONE

Tindakan anestesi dengan posisi telungkup sering diperlukan guna memfasilitasi akses
operasi pada berbagai tindakan bedah termasuk bedah saraf, antara lain pada tindakan
pembedahan tulang belakang. Selain perubahan fisiologis, dapat juga terjadi beberapa
komplikasi pada posisi telungkup yang harus mendapat perhatian khusus, sehingga diperlukan
pemahaman yang baik akan masalah ini.

Tindakan anestesi dengan posisi prone atau telungkup telah sejak lama dilaksanakan dan
dikembangkan guna memudahkan akses bedah. Namun, pelopor bedah tulang belakang pada era
tahun 1930 dan 1940 mengalami kendala, karenatidak ada upaya untuk menghindari kompresi
pada perut saat pasien berada dalam posisi telungkup.

Sebenarnya pada saat itu sifat valveless sistem vena telah dipahami dengan baik, yaitu
bahwa peningkatan tekanan intra-abdomen akan mendorong darah dari vena cava inferior (IVC)
masuk ke dalam pleksus vena ekstradural yang akan mengakibatkan pendarahan sehingga
mengganggu lapang pandang bedah

Tindakan anestesi dengan posisi telungkup yang dilakukan pada berbagai prosedur
bedah, harus dilaksanakan secara aman yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam atas
perubahan fisiologis dan resiko yang dapat terjadi. Sejumlah prosedur bedah yang memerlukan
posisi telungkup antara lain adalah pembedahan bagian belakang, pembedahan sinus pilonoidal
dan beberapa pembedahan di pergelangan kaki seperti repair tendo achilles.

Prosedur Anestesi :

Setelah pasien masuk ke kamar operasi lalu dipasang monitor standar yaitu tekanan darah
non-invasif kontinyu, saturasi oksigen, EKG. Namun EtCO2 tidak dipasang. Pasien diposisikan
terlentang dengan kepala slight head up, lalu dilakukan oksigenasi 7 L/menit melalui sungkup
muka selama 3 menit, kemudian diinduksi dengan memberikan fentanyl 100 mcg intravena
perlahan selama 2 menit, dan propofol

100 mg. Untuk fasilitasi intubasi diberikan atracurium 25mg, kemudian lidokain 1,5 mg/bb.
Setelah 90 detik kemudian dilakukan intubasi dengan pipa endotrakheal Non kinking nomor 7,5
dengan balon. Mata diberi salep dan ditutup dengan plester kertas 3 lapis. Selanjutnya dilakukan
pemasangan kateter urin Folley no.14 Fr, dan mulut di pasang ’packing’.

Perubahan posisi dilakukan secara bertahap yaitu pasien dimiringkan kanan atas perlahan
(90o) dipertahankan sesaat sambil dilakukan pengukuran tekanan darah dan bila hemodinamik
stabil/tidak mengalami hipotensi, maka dilanjukan ke posisi telungkup di atas meja yang telah
disiapkan untuk posisi tersebut.

Wajah diganjal dengan “donat” dengan memperhatikan mata jangan sampai tertekan, dan
posisi pipa endotrakhea jangan sampai terjepit dan terlipat. Ganjal diletakan dibawah dada dan
panggul sedemikian rupa agar gerakan nafas abdomen bebas. Kateter urin juga harus
diperhatikan dan diposisikan jangan sampai terlipat dan mudah dijangkau untuk diobservasi.
Kaki diposisikan sedikit fleksi dengan memberi ganjalan disekitar pergelangan kaki. Kedua
tangan di posisikan disamping badan dengan memberikan ganjalan disekitar lengan bawah.

Setelah selesai operasi posisi pasien dikemballikan dari telungkup ke terlentang secara
bertahap, yaitu meja operasi diposisikan sedikit lebih tinggi dari tempat tidur pasien, lalu meja
operasi dimiringkan kekanan sekitar 15-30o pasien ditahan kemudian dimiringkan kanan atas
perlahan (90o) ditunggu sebentar lalu diukur tekanan darah dan bila hemodinamik stabil/tidak
hipotensi dilanjukan untuk posisi terlentang.

Pembahasan

Anestesi dengan posisi telungkup pada beberapa prosedur tindakan pembedahan harus
dilakukan dengan aman, didasarkan pada pemahaman yang utuh atas resiko yang dapat terjadi.
Sejumlah prosedur yang memerlukan posisi telungkup antara lain adalah pembedahan bagian
belakang, pembedahan sinus pilonoidal dan beberapa pembedahan di pergelangan kaki seperti
repair tendo Achilles. Sangat penting untuk memahani perubahan fisiologis dan tentunya resiko
yang terjadi sehubungan dengan posisi telungkup ini.

Perubahan fisiologis pada posisi telungkup dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular


dan sistem respirasi. Pada sistem kardiovaskuler terjadi penurunan curah jantung. Pada suatu
penelitian terjadi penurunan Cardiac Index (CI) rata-rata 24%, hal ini terutama disebabkan
karena menurunnya stroke volume dengan sedikit perubahan pada laju jantung. Pada sebagian
besar pasien, tekanan arteri rata-rata dipertahankan dengan meningkatkan resistensi vaskuler
sistemik dan resistensi vaskular pulmonal.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi curah jantung, yaitu preload, afterload dan
kontraktilitas. Pada posisi telungkup terjadi kompresi vena kava inferior yang menyebabkan
penurunan aliran balik vena ke jantung yang selanjutnya akan mengurangi preload. Oleh sebab
itu, penurunan preload merupakan faktor yang paling berperan.

Posisi telungkup sering digunakan pada operasi spinal, hal ini menyebabkan terjadinya
perdarahan pada lapangan operasi, oleh karena itu, menurunkan tekanan langsung pada
abdomen merupakan factor penting. Keadaan ini dapat dicapai dengan merancang meja
operasi khusus atau meletakan bantalan di bawah dada dan di bawah pelvis. Peletakan bantal
ini harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai bagian belakang terlalu tegang.
Posisi telungkup klasik.

A. Meja yang rata dengan tangan pasien diatas kepala: Perhatikan di atas dada depan tepat di
bawah klavikula diberi bantal, lengan atas didukung ventrad dengan posisi sumbu melintang
dari dada. Siku dan lutut diberi penahan/bantalan; kaki difleksikan di paha.

B. Lengan dirapatkan sejajar dengan badan. Kepala ditahan dengan bantalan berbentuk
bagian muka.
C. kemudian terakhir, meja atas di fleksikan untuk meminimalkan lordosis pada lumbal.
Pemasangan straps pada gluteus harus agak keatas untuk menahan berat ekstremitas bawah di
atas meja yang diposisikan miring.

Penurunan cardiac index dapat disebabkan peningkatan tekanan intratorakal yang


menyebabkan penurunan pengisian atrium, memicu peningkatan aktifitas simpatik melalui reflex
baroreseptor. Sesuai dengan teori ini, pada pasien dengan posisi telungkup, penurunan stroke
volume disertai dengan peningkatan aktifitas simpatik (peningkatan laju jantung, resistensi
vaskuler perifer dan kadar noradrenalin plasma). Penelitian lain menyatakan bahwa
bertambahnya penurunan aliran balik vena/venous return, pengembangan ventrikel kiri serta
mungkin juga akibatkan penigkatan tekanan intratorakal dapat memberikan kontribusi pada
penurunan curah jantung

Perubahan sistem respirasi pada posisi telungkup mempunyai efek yang positif,
dengan syarat bahwa tekanan pada abdominal dihindari. Pada posisi telungkup terjadi
peningkatan Functional Residual Capatity (FRC) dan tekanan oksigen di arteri (PaO2), hal ini
menjadi alasan mengapa posisi telungkup sering digunakan di ruang intensif pada pasien
dengan penurunan fungsi paru, akibat Acute Lung Injury. Walaupun mekanisme perbaikan
fungsi ini masih belum jelas, namun terjadi perubahan yang baik pada ventilasi dan perfusi
(V/Q Math) dan juga terjadi perbaikan tekanan oksigen arteri (PaO2).

Daerah yang beresiko terjadi cedera tergantung pada tepatnya teknik posisi telungkup
yang sedang digunakan. Pertama, posisi telungkup yang sederhana menggunakan kasur
Montreal (meja operasi standar yang lembut dengan lubang untuk menghindari tekanan pada
perut) dan posisi 'tuck', yaitu pinggul dan lutut dilipat untuk memungkinkan akses yang
baik pada bedah daerah vertebra servikal atau toraks.

Tekanan langsung yang dapat menimbulkan kerusakan pada musculoskeletal seperti pada dahi,
hidung, dada, lengan, payudara dan alat kelamin, panggul (spina iliaka superior), lutut dan kaki
perlu dilakukan pencatatan dan dilindungi.

Kerusakan pada mata dapat disebabkan oleh dua mekanisme. Pertama karena tekanan
langsung pada mata, dimana posisi yang tidak benar menyebabkan berat kepala akan ditopang
oleh bola mata, dan akan mengakibatkan kerusakan sekunder sampai iskemia.

Pendapat kedua menyatakan, sebagai akibat dari perfusi yang buruk. Sama halnya
dengan bahwa tekanan perfusi serebral ditentukan oleh tekanan arteri rata-rata dikurangi
tekanan intrakranial, maka tekanan perfusi bola mata dapat juga didefinisikan sebagai tekanan
arteri rata-rata dikurangi Tekanan Intra Okuler (TIO). Oklusi pada drainase vena, atau
kenaikan umum dalam tekanan vena akan meningkatkan TIO. Demikian pula apabila posisi
kepala di bawah atau lebih rendah. Tekanan arteri rata-rata dapat diturunkan karena hipotensi
yang disengaja atau kompresi perut. Jika tekanan perfusi bola mata terlalu rendah, maka dapat
menyebabkan iskemik dan menimbulkan kerusakan mata.

Cedera tekanan langsung dapat terjadi pada kepala dan leher, dada, perut dan
pembuluh darah yang memasok aliran dadrah ke ekstermitas bawah dan atas. Pernah
dilaporkan pembengkakan pada lidah dan mulut yang dapat berpotensi menyebabkan
obstruksi jalan napas dan ekstubasi menjadi tertunda. Mekanisme ini dianggap karena adanya
obstruksi pada drainase vena di kepala dan leher akibat fleksi berlebihan pada leher yang
selanjutnya terjadi peningkatan tekanan hidrostatik yang juga menyebabkan edema.
BAB III
PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANESTESI

Nama Pasien : Ny.A No.Register : 11568xxx


Umur : 40 tahun Dokter Operator : dr. ydi
Ruang Rawat : Parangtritis Asisten Operasi : dr. gitta
Diagnosa Medis : HNP Level1 v L5 Perawat Instrumen : sugeng
Tindakan : Decompression Perawat Sirkuler : Bagus
Tgl. Pengkajian :3/5/2023 Dokter Anestesi : dr. Ruddi H
Jam Mulai OP : 12.00 Perawat Anestesi : Ade
Tanggal Operasi : 04 April 2023
Jam Selesai OP. : 13.30

PENGKAJIAN PREANESTESI
Data Subyektif
 Keluhan Utama : nyeri
 Riwayat penyakit saat ini: pasien mengatakan nyeri punggung sudah 2 tahun lalu terasa dan
kadang terasa kebas pada kaki
 Riwayat penyakit yang lalu: HT (-) DM (-)
 Riwayat anestesi/ operasi terdahulu : tidak ada
 Riwayat kebiasaan pasien (Perokok, alcohol, obat obatan) : merokok (+), alkohol (-)
Data Obyektif
a. Sistem Pernafasan (B1)
Jalan Nafas : Paten / Obstruksi
Sesak nafas : Ya / tidak, terpasang O2 : lpm
Artificial airway : Oro/Nasofaringeal tube/ ETT / Tracheocanule
RR : 18 x/menit
SpO2 : 99 %
Gigi : Palsu ( - ) Cakil ( - ) Tongos ( - ) Ompong ( + )
Buka Mulut : 3 jari
MALAMPATTI : 2
Jarak Mentothyroid : 6 cm
Gerak leher : Flexy / Ekstensi
Suara nafas : Vesikuler / Bronkovesikuler
Ronchi : Whezing :

Riwayat Asthma : Ya / Tidak


Lain lain :
a. Sistem Kardiovaskuler (B2)
Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 99x/mnit
Suhu : 36,4 °C
CRT : <2’
Sirkulasi : S1 S2 Tunggal (reguler / irreguler) / extra systole / Gallop
Lain2 :
Konjungtiva : Anemis / Pink pale
Sianosis : Ya / Tidak
Perfusi : AKHM

b. Sistem Persyarafan (B3)


Keadaan Umum : Cukup
GCS : 456
Skala nyeri : -
Reflek pupil : Isokor / Anisokor / Miosis / Pint point / Midriasis
Reflek cahaya : + /+
Motorik : + +
- -
Plegi : Ya ( Tetra D S / Hemi D S ) Tidak
Parese : Ya ( Tetra D S / Hemi D S ) Tidak
Lain lain :

c. Sistem Perkemihan (B4)


Produksi urine : Spontan
Keluhan : Kencing menetes ( + ), Inkontinensia ( - ), Retensi Urine ( - )
Oliguri ( - ),Anuria ( - ), Hematuri ( -),
Disuria ( - ), Poliuria ( - ), tidak ada keluhan ( +)
Warna urine : kuning jernih
Kandung Kemih : Membesar / Tidak
Kateter : Terpasang / Tidak
Blass punctie : Terpasang / Tidak

d. Sistem Pencernaan (B5)


Mukosa bibir : Lembab / Kering
Abdomen : Supel / Distended / Nyeri tekan
Bising Usus : 12 x/menit
Terpasang NGT : Tidak / Ya
Terpasang Drain : Tidak /Ya
Diare : Tidak / Ya Frekuensi : tidak tentu
Lain-lain :

e. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)


Pergerakan sendi : Bebas / terbatas
Fraktur : Tidak / Ya lokasi : -
Kompartemen Syndrom : Tidak / Ya lokasi : -
Turgor : Baik / Kurang / Jelek
Hiperpigmentasi : Tidak / Ya
Dekubitus : Tidak / Ya
Ikterik : Tidak / Ya
Lain -lain : tidak ada
Keadaan Umum : Cukup
Tanda Vital : Tensi : 130/80 mmHg Nadi : 99x/mnt Suhu : 36,4 °C
RR : 18x/mnt SpO2 : 99%
TB / BB : 150 cm / 65 kg
Surat Persetujuan Operasi : Tidak ada / Ada
Protese dan Gigi Palsu : Tidak ada / Ada
Cat kuku dan Lensa Kontak : Tidak ada / Ada
Perhiasan : Tidak pakai / Pakai
Folley Catheter : Tidak ada / Ada produksi : cc ( Ditampung / Dibuang )
NGT : Tidak ada / Ada
Persiapan Skiren / Cukur : Tidak / Ya
Huknah / Gliserin : Tidak / Ya Jam : -
Persiapan darah : Tidak ada / Ada, Berapa kantong ( - )
Contoh darah : Tidak ada / Ada
IV line : Tidak ada / Ada ( TaKa)
Lokasi : Vena perifer / Central / Lain-lain ...............
Jenis Cairan : Kristaloid / Koloid / Darah Tetesan : 20 tpm
Terakhir makan & minum : Makan : 8 jam sebelum op Minum : 4 jam sebelum op
Obat yang telah dikonsumsi : Tidak ada / Ada Jenis : -
Alergi obat : Tidak ada / Ada Jenis : -
Obat Premedikasi : Tidak ada / Ada Jenis :

Status ASA : 1 2 3 4 5
Jenis Operasi : Emergency/ Elektif
Pemeriksaan Penunjang
a. Data Penunjang Laboratorium
Darah Lengkap (3/4/2023)
NILAI RUJUKAN
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN DEWASA
NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 12,70 g/dL 13,4 – 17,3
Eritrosit (RBC) 3,94 juta 4,74 – 6,32
Leukosit (WBC) 8.78 10³/mm³ 5,07 – 11,10
Hematokrit 32,00 % 39,90 – 51,10
Trombosit (PLT) 378,00 10³/mm³ 185,00 – 398,00
MCV 87,70 µm³ 73,40 – 91,00
MCH 29,80 pg 24,20 – 31,20
MCHC 33,40 g/dL 31,90 – 36,00
RDW 12,50 % 11,30 – 14,60
PDW 10,6 fL 9 – 13
MPV 10,5 fL 7,2 – 11,1
P-LCR 24,1 % 15,0 – 25,0
PCT 0,34 % 0,150 – 0,400
NRBC Absolute 0,00 10³/ µL
NRBC Percent 0,0 %
Hitung Jenis
- Eosinofil 1,10 % 0,70 – 5,40
- Basofil 0,10 % 0,00 – 1,00
- Neutrofil 50,00 % 42,50 – 71,00
- Limfosit 42,40 % 20,40 – 44,60
- Monosit 5,30 % 3,60 – 9,90
- Eosinofil Absolut 0,17 10³/mm³ 0,04 – 0,43
- Basofil Absolut 0,01 10³/mm³ 0,02 – 0,09
- Neutrofil Absolut 2,90 10³/mm³ 2,72 – 7,53
- Limfosit Absolut 2,43 10³/mm³ 1,46 – 3,73
- NLR (Hematologi) 1,18
- Monosit Absolut 0,59 10³/mm³ 0,33 – 0,91
- Immature Granulosit
0,40 %
(%)
- Immature Granulosit 0,07 10³/µL
- Lain – lain
FAAL HEMOSTATIS
PPT
- Pasien 10,30 detik 9,4 – 11,3
- Kontrol 10,4 Detik
- INR 1.05 < 1,5
APTT
- Pasien 28,10 detik 24,6 – 30,6
- Kontrol 25,4 Detik
KIMIA KLINIK
FAAL HATI
ALBUMIN 4,24 G/DL 3,5-5,5
Kimia Klinik (4/4/2023)
NILAI RUJUKAN
JENIS PEMERIKSAAAN HASIL SATUAN DEWASA
NORMAL
KIMIA KLINIK
ELEKTROLIT
ELEKTROLIT SERUM
- Natrum (Na) 140 mmol/L 136 – 145
- Kalium (K) 2.94 mmol/L 3,5 – 5,0
- Klorida (Cl) 104 mmol/L 98 – 106

b. Foto rongen
Cor dan pulmo tak tampak kelainan
c. MRI
-Tampak penekanan pada discuss, oval 2 buah di level Vth 12-L1 ektradural level VL 1-
2 intradural, sugestif benign
Mild stenosis canalis spinali. Di VL3/4 dan 4/5 ec protruded disk VL 4/5, prodruded
disk di VL3/4 dan posterior buldging disk L4/5
Focal fatty marrow mass intraosseus corpus VL5 sisi superior sugestif benign susp
Dessicated disk sesuai psirmam III di L3/4,4/5
d. Ecg
Sinus rhytm

ANALISA DATA (PRE ANESTESI)


Nama : Ny.A Tanggal : 03 Mei 2023
No. RM : 11568XXX OK : 603
NO DATA PENYEBAB MASALAH
1. DS: Kekhawatiran Ansietas (D.0080)
mengalami
- Mengatakan takut akan di
kegagalan
oprasi
DO:
Ansietas
- Ekspresi wajah pasien tampak
tegang dan bingung
- Td:135/80 mmhg
- N 100x/menit
- Rr 18x/menit
- Spo 99%
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama : Ny.A Tanggal : 03 Mei 2023
No. RM : 11568XXX OK : 603
N DIAGNOSA
LUARAN INTERVENSI
O KEPERAWATAN
1. Ansietas (D.0080) b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan ansietas menurun Reduksi Ansietas (I.09314)
kekhawatiran mengalami dengan kriteria hasil: Observasi
kegagalan Tingkat Ansietas (L.09093) 1. Monitor tanda-tanda
KH Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat ansietas (verbal dan non
Menurun Meningkat verbal)
Perilaku 5 4 3 2 1 Terapeutik
tegang 2. Dengarkan dengan penuh
Verbalisasi 5 4 3 2 1 perhatian
khawatir 3. Ciptakan suasana terapeutik
akibat untuk menumbuhkan
kondisi kepercayaan.
yang 4. Gunakan pendekatan yang
dihadapi tenang dan meyakinkan
Perilaku 5 4 3 2 1 5. Temani pasien untuk
gelisah mengurangi kecemasan
Edukasi
6. Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin dialami
7. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
8.Kolaborasi pemberian obat
ansietas
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI
Nama : Ny.A Tanggal : 03 Mei 2023
No. RM : 11568xxx OK : 603
No.
TGL/ TGL/
Dx. TINDAKAN KEPERAWATAN EVALUASI PPA
JAM JAM
Kep
1. 3/5/23 Observasi 4/4/23 S: Pasien mengatakan sudah lebih tenang
10.50 1. Memonitor tanda-tanda ansietas (verbal dan 07.00 O: Terlihat ekspresi wajah rileks dan tidak tegang
non verbal)
- Td:120/70 mmhg ADE
Terapeutik - N 98 x/menit
- Rr 18 x/menit
2. Mendengarkan dengan penuh perhatian
10.51 - Spo 99%
3. Menciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan. A: Masalah teratasi sebagian
4. Menggunakan pendekatan yang tenang dan
P: Lanjutkan induksi anestesi
meyakinkan
5. Menemani pasien untuk mengurangi
kecemasan
Edukasi
6. Menjelaskan prosedur pembiusan, termasuk
sensasi yang mungkin dialami
10.55 7. Melatih teknik relaksasi nafas dalam
Kolaborasi
8.Memberikan obat Midazolam 2mg saat induksi
INTRA ANESTESI
Anestesi mulai : 11.00 s/d 11.20 WIB
Pembedahan mulai : 12.00 s/d 15.00 WIB
Jenis pembiusan : General : a. Intubasi Endotracheal Tube
b. Laringeal Mask Airway (LMA)
c. Face Mask
d. Total Intravena Anestesi (TIVA)
Regional : a. Sub Arachnoid Block (SAB)
b. Epidural Block
c. Combined Subarachnoid-epidural (CSE)
d. Block Ganglion / saraf perifer
e. Kaudal
Lain – Lain :
Jenis Operasi : 1. Bersih 2. Bersih kontaminasi
3. Kotor 4. Kontaminasi
Golongan Operasi : 1. Khusus 2. Besar 3. Sedang 4. Kecil
Plate Diathermi : Lokasi : 1. Bokong 2. Tungkai kaki 3. Bahu
4. Tangan 5. Paha
Dipasang oleh : Sirkuler
Pemeriksaan sebelumnya : 1. Utuh 2. Menggelembung
Pemeriksaan sesudah : 1. Utuh 2. Menggelembung
Monitor Anestesi : 1. Tidak 2. Ya 3. Standby
Mesin Anestesi : 1. Tidak 2. Ya 3. Standby
Persiapan Statics : 1. Lengkap. 2. Belum Lengkap
Anestesi Dengan : 1. Induksi : propofol
2. Analgesik : Fentanyl
3. Maintenance : O2 + Isofluran +syring fentanyl, atracurium
Relaksasi dengan : Atracurium
Ukuran ETT & kedalaman : NK 7,0 / 20
Mode (Presure/Volume) : Volume Control
Teknik Anestesi : Intubasi sleep apnue ETT NK no 7.0 cuff+, tampon +
Stadium Anestesi : Stadium 3 Plana 3
Keseimbangan CairanLANCE CAIRAN 1 2 3
BB: 65Kg Hb: 12,7 Kristaloid 500 ml 1000 ml  1500 ml
EBV : 4225 ml Koloid -  - 500 ml
ABL : Input
1653 ml (Hb 10) Darah -  -  -
898 ml (Hb 8)
M : 105 ml Urine  100 ml 150 ml 300 ml

O : 260 ml Output Darah 10 ml 50 ml 100 ml

 M+O : 365 ml M+O  365 ml 730 ml 1095 ml


Defisit / Defisit / Defisit /
TOTAL Excess Excess Excess
+5 ml -30 ml +505 ml
ANALISA DATA (INTRA ANESTESI)

Nama : Ny.A Tanggal : 03 Mei 2023


No. RM : 11568xxx OK : 603
NO DATA PENYEBAB MASALAH
1. DS: - Efek agen farmakologis Pola Nafas Tidak
Efektif (D.0005)
DO: (anestesia)

- Terlihat kesadaran pasien Depresi otot pernafasan


menurun setelah diberikan
obat anestesia Penurunan kemampuan
- Terlihat nafas pasien apnea mempertahankan
setelah diberikan obat pernafasan yang
anestesi adekuat
- Terlihat ventilasi dibantu
ventilasi spontan
rebreathing bag dan
menurun
diberikan oksigen tekanan
positif Pola nafas tidak efektif
- Terlihat pasien terpasang
ETT NK NO 7.0
- TD: 110/80 mmHg
N: 75x/mnt
S: 36,4 °C
RR: 18x/mnt
SpO2: 100%
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama : Ny.A Tanggal : 03 Mei 2023
No. RM : 11568xxx OK : 603
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN LUARAN INTERVENSI
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Jalan Nafas (I.01011)
dengan efek agen farmaKologis selama 1x10 menit diharapkan pola napas Observasi
(anestesia) membaik dengan kriteria hasil: 1. Monitor pola napas (frekuensi,
Pola Nafas L.01004 kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
Kriteria Hasil
gurgling, mengi, wheezing,
1. Penggunaan otot bantu nafas menurun ronkhikering)
2. Pemanjangan fase ekspirasi menurun Terapeutik
3. Pemanjangan fase inspirasi menurun 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
4. Frekuensi nafas membaik dengan head-tilt dan chin- lift (jaw-
5. Kedalaman nafas membaik thrust jika curiga trauma servikal)
2. Melakukan pemasangan ETT
3. Berikan oksigen, jika perlu
Kolaborasi
1. Kolborasi untuk Memberikan obat-
obatan farmakologis bila perlu
Pemantauan Respirasi (I.01014)
Observasi
1. Monitor saturasi oksigen
Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI
Nama : Ny.A Tanggal : 03 Mei 2023
No. RM : 11568xxx OK : 603
TGL/ TGL/
TINDAKAN KEPERAWATAN EVALUASI PPA
JAM JAM
4/4/23 Manajemen jalan napas 4/4/23 S:-
Observasi
07.50 O:
1. Memonitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
07.30 usaha napas) - Terlihat pasien terpasang ETT NK No 7.0 ADE
2. Memonitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, - Terlihat kedalaman pernafasan pasien membaik
mengi, wheezing, ronkhikering) - Terlihat frekuensi nafas membaik dengan TD:
Terapeutik 110/80 mmHg
1. Mempertahankan kepatenan jalan napas dengan N: 88x/mnt
07.32 memasang ETT S: 36,4 °C
2. Memberikan oksigen RR: 18x/mnt
Kolaborasi SpO2: 99%
1. Berkolaborasi pemberian obat obat
farmakologis bila perlu
07.34 A: masalah teratasi sebagian
Pemantauan Respirasi
Observasi
P: Lanjutkan intervensi
1.Memonitor saturasi oksigen

07.35 Terapeutik
2. Mengatur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
3. Mendokumentasikan hasil pemantauan
POST ANESTESI
Data Subyektif :-
Data Obyektif :
- KU : cukup, GCS : 456
- Terpasang NRBM 8 lpm
- Terdapat sputum
- TD: 130/78 mmHg
N: 90x/mnt
S: 35,8 °C
RR: 18x/mnt
SpO2: 99%
Aldrete Score
Nilai Warna: Kesadaran:
Merah muda (2) Sadar, siaga, dan orientasi (2)
Pucat (1) Bangun namun cepat kembali tertidur (1)
Sianosis (0) Tidak berespon (0)
Pernapasan:
Dapat bernapas dalam dan batuk (2)
Dangkal namun pertukaran udara adekuat (1)
Apneu atau obstruksi (0)
Sirkulasi:
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal (2)
Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal (1)
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal (0)
Aktivitas:
Seluruh ekstrimitas dapat digerakkan (2)
Dua ekstremitas dapat digerakkan (1)
Tidak bergerak (0)
Jika jumlahnya ≥ 8 pasien dapat dipindah ke ruangan, jika pindah ICU tanpa menilai
aldrette score
ANALISA DATA (POST ANESTESI)

Nama : Ny.A Tanggal : 03 Mei 2023


No. RM : 11568xxx OK : 603
N
DATA PENYEBAB MASALAH
O
1. DS: - efek obat Kebersihan jalan
farmakologis nafas (l.01001)
DO:
- KU : lemah
- Terpasang NRBM 8 lpm hipersalivasi/sekresi
- Terdapat secret/sputum (+)
- TD: 136/78 mmHg
N: 88x/mnt kebersihan jalan
S: 36,8 °C nafas tidak efektif
RR: 20x/mnt
SpO2: 99%
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama : Ny.A Tanggal : 03 Mei 2023
No. RM : 11568xxx OK : 603
DIAGNOSA
NO LUARAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Kebersihan jalan nafas bd Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas (I.01011)
efek farmakologis keperawatan segera diharapkan Observasi
kebersihan jalan nafas meningkat 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
dengan kritereria hasil: 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi,
wheezing, ronkhikering)
1. Produksi sputum turun Terapeutik
2. Tidak terdapat bunyi nafas 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-
tambahan lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
3. Frekuensi nafas stabil 2. Berikan oksigen, jika perlu
Pemantauan Respirasi (I.01014)
Observasi
1. Monitor saturasi oksigen
Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
2. lakukan penghisapan secret dengan suction
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI
Nama : Tn.M Tanggal : 03 Mei 2023
No. RM : 11568xxx OK : 602
TGL/ TGL/
TINDAKAN KEPERAWATAN EVALUASI PPA
JAM JAM
4/4/23 Manajemen Jalan Nafas (I.01011) 4/4/23 S: -
Observasi
13.30 13.50 O:
1. Memonitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
usaha napas) - KU : cukup ADE
2. Memonitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, - Tidak terdapat suara nafas tambahan
mengi, wheezing, ronkhikering) - Terpasang NRBM 8 lpm
13.36 Terapeutik - TD: 130/68 mmHg
1. Mempertahankan kepatenan jalan napas dengan N: 89x/mnt
head-tilt dan chin- lift (jaw-thrust jika curiga S: 36,8 °C
trauma servikal) RR: 20x/mnt
2. Memberikan oksigen, jika perlu SpO2: 100%
Pemantauan Respirasi (I.01014)
Observasi A: masalah teratasi sebagian
13.40
1. Memonitor saturasi oksigen P: Lanjutkan intervensi
Terapeutik
1. Mengatur interval pemantauan respirasi sesuai
13.45
kondisi pasien
2. Melakukan penghisapan secret dengan suction
1.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses
keperawatan), Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih
bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan
untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;
Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
Kuliah ilmu penyakit dalam PSIK – UGM, 2004, Tim spesialis dr. syaraf RSUP
dr.Sardjito, yogyakarta.
McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi, By
Mosby-Year book.Inc,Newyork
PPNI. 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan
II. DPP PPNI. Jakarta

PPNI. 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II.


DPP PPNI. Jakarta

PPNI. 2019.  Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP


PPNI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai