Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS ANESTESI

SEORANG WANITA 23 TAHUN G1P0A0 HAMIL DENGAN


KARDIOMIOPATI PERIPARTUM DILAKUKAN TINDAKAN SECTIO
CECAREA TRANSPERITONEAL PROFUNDA DENGAN ANESTESI
EPIDURAL

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:
Na’ila Amira Salsabila
22010118220054

Pembimbing:
dr. Ilham Fauzi

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Na’ila Amira Salsabila


NIM : 22010118220054
Bagian : Anestesiologi RSDK-FK UNDIP
Judul kasus : Seorang Wanita 23 Tahun G1P0A0 dengan
Kardiomiopati PeripartumDilakukan Tindakan Sectio
Cecarea Transperitoneal Profunda dengan Anestesi
Epidural
Pembimbing : dr. Ilham Fauzi

Semarang, Agustus 2019


Pembimbing

dr. Ilham Fauzi


BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan, berasal dari bahasa Yunani an-“tidak, tanpa” dan


aesthetos-“persepsi, kemampuan untuk merasa) secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes pada tahun 1846.

Pemilihan anestesi untuk tindakan operatif tergantung pada banyak faktor,


termasuk pemilihan dokter, status pasien medis, jenis dan kompleksitas prosedur,
durasi prosedur, kemampuan fasilitas, pilihan pasien, dan kontraindikasi.
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya,
mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya yaitu obat yang
relatif murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang
adekuat dan kemampuan dalam mencegah respons stress secara lebih sempurna.
Anestesi regional semakin banyak digunakan karena pengaruh sistemik
yang minimal, juga dapat menghasilkan efek analgesi adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna. Namun, anestesi regional hanya
dapat menghilangkan rasa nyeri pada sebagian regio tertentu di tubuh.
Anestesi lokal atau regional dibagi menjadi anestesi epidural dan anestesi
spinal. Kedua teknik ini memiliki perbedaan baik dalam hal lokasi dan teknik
insersi, mekanisme obat yang diberikan sampai menimbulkan efek serta
komplikasi yang ditimbulkan.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI REGIONAL
Anestesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu “an”
dan “esthesia”, dan bersama-sama berarti “hilangnya rasa sakit atau hilangnya
sensasi”. Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai
kehilangan rasa secara patologis pada bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi
dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes (1809-1894) untuk proses
eterisasi Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri
sewaktu pembedahan.2
Anestesi lokal/ regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya,
mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif murah,
pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna.2
a. Mekanisme Kerja
Infiltrasi anestesi di sekitar saraf, menyebabkan keluarnya Ca2+ dari
reseptor dan anestesi lokal akan menempati reseptor tersebut sehingga terjad
blokade gerbang Na+. Selanjutnya terjadi hambatan konduksi Na+ dan depresi
kecepatan induksi, sehingga tidak dapat mencapai nilai potensial dan tidak
terjadi potensial aksi.2
b. Jenis
i. Anestesi Spinal
Anestesi spinal (intratekal) didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi
lokal secara langsung ke adalam cairan serebrospinalis di dalam ruang
subarakhnoid. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2
dan di atas vertebra sakralis 1. Batas atas ini dikarenakan adanya ujung
medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra sakralis
yang tidak memungkinkan dilakukan insersi. Anestesi lokal biasanya
diberikan dalam bolus tunggal.2

ii. Anestesi Epidural


Anestesi epidural (ekstradural) merupakan pemberian obat anestesi
lokal ke dalam rongga potensial di luar duramater. Rongga ini dimulai dari
perbatasan kranioservikal pada C1 sampai membrana sakrokoksigea di
mana secara teoritis anestesi epidural dapat dilakukan di setiap daerah
tersebut.Dalam praktik, anestesi epidural dilakukan apda tempat di dekat
akar saraf yang menginervasi daerah pembedahan, misalnya epidural
lumbal untuk operasi daerah pelvis dan ekstremitas bawah, dan epidural
thorakal untuk operasi daaerah abdomen atas. Injeksi obat anestesi lokal
dapat berupa bolus tunggal atau dengan kateter untuk injeksi intermitten
atau infus kontinyu. Untuk membantu mengidentifikasi rongga epidural,
dapat digunakan teknik loss of resistance ataupun hanging drop.2
iii. Perbedaan Anestesi Spinal dan Epidural
Anestesi spinal Anestesi epidural
Tempat insersi Hanya vertebra lumbal (di Sakral, lumbal, thorak,
bawah L2/3) dan servikal
Tempat injeksi Ruang subarakhnoid (LCS) Ruang epidural
Dosis obat Kecil Besar
Onset Cepat Lebih lambat
Blok motorik Kuat Sedang
Komplikasi Henti jantung, PDPH, spinal Intoksikasi lokal
tinggi, total spinal anestetik, hematom
epidural
Analgesia Tidak Ya, dengan kateter
postop

c. Obat Anestesi Regional


Berdasar struktur kimianya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu ester-
amide dan amide-amide. Perbedaan penting antara anestetik lokal ester dan
amid adalah efek samping yang ditimbulkan dan mekanisme metabolisme
metabolitnya, dimana golongan ester kurang stabil dalam larutan, lebih mudah
dipecah oleh kolinesterase plasma, waktu paruh sangat pendek, sekitar 1
menit. Golongan ini antara lain prokain, kokain, kloroprokain, dan tetrakain.
Sedangkan golongan amid sedikit dimetabolisir dan cenderung terjadi
akumulasi dalam plasma. Ikatan amid dipecah dengan cara hidrolisir terutama
di hepar. Penderita penyakit hepar berat lebih banyak mengalami reaksi-reaksi
yang merugikan. Eliminasi waktu paruh sekitar 2-3 jam. Bentuk amid lebih
stabil dan larutan dapat disterilkan dengan autoklaf. Golongan ini antara lain
lidokain, mepivakain, bupivakain, etidokain dan ropivakain.2 Dikenal 3
macam anestesi lokal yang lazim digunakan di Indonesia yaitu prokain,
lidokain, bupivakain. Perbedaan ketiga jenis anestetik tersebut terlihat pada
tabel di bawah ini.2
Prokain Lidokain Bupivakain
Golongan Ester Amide amide
Onset 2 menit 5 menit 15 menit
Durasi 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis max 12 6 mg/kgBB 3 mg/kgBB
mg/kgBB
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 3 10
Bupivacain sering digunakan sebagai anestesi spinal maupun epidural.
Pemberian bupivacain dengan kombinasi fentanyl dapat memperkecil dosis
bupivakain untuk mencapai kedalaman anestesi yang adekuat. Fentanyl
merupakan opoid lipofilik dimana memberikan efek mempercepat onset dan
mempersingkat durasi obat dengan insiden depresi nafas yang lebih sedikit.
Pada penelitian Jaishri dkk menyatakan bahwa kombinasi bupivacaine dan
fentanyl dapat mengurangi terjadinya mual, meningkatkan stabilitas
hemodinamik, dan meningkatkan durasi analgesi pasca operasi.3
Obat anestesia lokal yang ideal mempunyai mula kerja yang cepat,
durasi kerja dan juga tinggi blokade dapat diperkirakan sehingga dapat
disesuaikan dengan lama operasi, tidak neurotoksik, serta pemulihan blokade
motorik pascaoperasi yang cepat sehingga mobilisasi dapat lebih cepat
dilakukan. Beberapa faktor yang dianggap akan memengaruhi penyebaran
obat anestesia lokal antara lain karakteristik obat anestesia lokal (barisitas,
dosis, volume, konsentrasi, dan juga zat aditif), teknik (posisi tubuh, tempat
penyuntikan, barbotase, serta tipe jarum), dan juga karakteristik pasien (usia,
tinggi, berat badan, tekanan intraabdomen, kehamilan, dan anatomi dari tulang
belakang). Faktor yang dianggap paling berperan adalah barisitas dan juga
posisi tubuh. Barisitas obat sangat menentukan penyebaran obat anestesi lokal
dan ketinggian blokade.4, 5
Barisitas ialah rasio densitas obat anestesia lokal terhadap densitas
cairan serebrospinal (1,003–1,009). Densitas tersebut didefinisikan sebagai
berat dalam gram dari 1 mL cairan pada temperatur tertentu.4,5,6 Densitas
cairan serebrospinal tidak seragam, tetapi bervariasi bergantung pada usia,
jenis kelamin, kehamilan, dan juga penyakit penyerta tertentu. Densitas cairan
serebrospinal lebih rendah pada wanita dibandingkan dengan laki-laki, pada
wanita hamil dibandingkan dengan tidak hamil, dan wanita premenoupause
dibandingkan dengan wanita pascamenopause dan pria. Secara teori perbedaan
ini akan menyebabkan perubahan barisitas obat anestesia lokal pada kelompok
pasien yang berbeda, akan tetapi perbedaan tersebut tidak terlalu besar dan
mungkin tidak bermakna secara klinis.4, 5
Obat anestesi lokal disebut hipobarik bila mempunyai densitas ±3
(tiga) standar deviasi (SD) di bawah densitas cairan serebrospinal.6,10
Penyuntikan obat jenis hipobarik pada posisi duduk akan menyebar ke arah
sefalad. Pada posisi miring (posisi lateral) atau berbaring penyebaran obat
hipobarik sangat ditentukan oleh bentuk vertebra dan penyebaran ke arah
kaudal. Contoh obat anestesi lokal hiperbarik adalah bupivakain 0,5% yang
dicampur dengan aquadest untuk mencapai larutan 0,25%.4,5
Anestetik lokal hiperbarik adalah obat yang memiliki densitas ±3
(tiga) standar deviasi (SD) di atas densitas dari cairan serebrospinalis. Hal ini
menyebabkan distribusi obat anestesia lokal jenis hiperbarik akan sangat
dipengaruhi oleh posisi pasien yang berhubungan dengan gaya gravitasi. Pada
saat penyuntikan dengan posisi duduk, obat anestesia lokal hiperbarik tersebut
menyebar ke daerah kaudal, apabila pasien berbaring dengan kepala ke arah
bawah maka obat anestesia lokal akan menyebar ke arah sefalad, namun pada
posisi miring (posisi lateral) obat anestesia lokal hiperbarik dapat menyebar ke
arah sefalad. Contoh obat anestesi local hiperbarik adalah bupivakain 0,5%
yang dicampur dengan dextrose 10% untuk mencapai larutan 0,25% serta
ropivakain 1% yang dicampur dengan dextrose 10% untuk mencapai larutan
0,5%.4, 5
Obat anestesia lokal isobarik adalah obat lokal anestesia yang
mempunyai densitas yang sama dengan cairan serebrospinalis dan tidak ada
efek gaya gravitasi atau posisi tubuh. Contoh obat anestesi local isobarik
adalah bupivakain 0,5% yang dicampur dengan NaCl 0,9% untuk mencapai
larutan 0,25% serta ropivakain 1% yang dicampur dengan NaCl 0,9% untuk
mencapai larutan 0,5%4, 5
Obat anestesia lokal hiperbarik menyebabkan pemendekan waktu
blokade sensorik dan juga motorik jika dibandingkan dengan isobarik.
Namun, obat anestesi lokal hiperbarik mampu menghasilkan mula kerja dan
juga pemulihan lebih cepat, penyebaran yang lebih luas, serta tingkat
keberhasilan lebih dapat diandalkan jika dibandingkan dengan isobarik.4
Bupivakain 0,5% hiperbarik merupakan anestetik lokal golongan
amino amida yang paling banyak digunakan pada teknik anestesi spinal.
Penambahan obat adjuvan, seperti opioid, ketamin, klonidin, dan juga
neostigmin sering dilakukan untuk memperpanjang lama kerja anestesi spinal.
Penambahan adjuvan opioid dapat memperpanjang durasi kerja obat anestesi
tanpa menunda waktu pulih pasien dan penambahan klonidin akan
meningkatkan kualitas analgesi serta mengurangi kebutuhan analgetik
pascaoperasi.5
Penelitian yang membandingkan anestetik lokal golongan amida
antara artikain isobarik dan hiperbarik didapatkan bahwa anestetik lokal
artikain hiperbarik memiliki mula kerja pada dermatom T10 yang lebih cepat
serta lama kerja blokade motorik yang lebih cepat dibandingkan dengan
artikain isobarik.5
Penelitian yang membandingkan anestetik lokal antara golongan
ropivakain isobarik dan hiperbarik didapatkan hasil bahwa hiperbarik
memberikan efek blokade saraf spinal dengan mula kerja yang lebih cepat dan
lama kerja yang lebih pendek bila dibandingkan dengan isobarik.5
Pada penelitian yang membandingkan efek volume serta barisitas
bupivakain intratekal didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan onset kerja
antara larutan hiperbarik dan isobarik, sedangkan lama kerja pada golongan
hiperbarik lebih pendek.5
Penelitian pengaruh barisitas obat anestesi lokal yang dihubungkan
dengan sedasi pada pasien varicose vein surgery yang dilakukan spinal
anestesia ternyata didapatkan hubungan antara ketinggian blokade dan skala
sedasi. Pemakaian anestesi lokal golongan hiperbarik dengan ketinggian rata-
rata blokade pada T5 hanya memerlukan penambahan obat sedasi lebih sedikit
dibandingkan dengan golongan isobarik dengan ketinggian blokade rata-rata
pada T10.5
d. Teknik Anestesi
i. Persiapan
Perlengkapan yang harus dipersiapkan sebelum melakukan blok epidural/
spinal antara lain:
 Monitor standar :EKG, tekanan darah, pulse oksimetri
 Obat dan alat resusitasi: oksigen, bagging, suction, set intubasi
 Terpasang akses intravena untuk pemberian cairan dan obat-obatan
 Sarung tangan dan masker steril
 Perlengkapan desinfeksi dan doek steril
 Obat anestesi lokal untuk injeksi epidural/spinal dan untuk infiltrasi
lokal kulit dan jaringan subkutan
 Obat tambahan untuk anestesi epidural seperti narkotik dsb, serta NaCl
0,9%
 Syringe, kateter, jarum epidural/ jarum spinal
 Kasa penutup steril2
ii. Pengaturan Posisi Pasien
Ada dua posisi pasien yang memungkinkan dilakukannya insersi
jarum/ kateter epidural, yaitu posisi lateral dengan lutut ditekuk ke perut dan
dagu ditekuk ke dada. Posisi lainnya adalah posisi duduk fleksi dimana
pasien duduk pada pinggir troli dengan lutut diganjal bantal. Fleksi akan
membantu identifikasi prosesus spinosus dan memperlebar celah vertebra
sehingga dapat mempermudah akses ke ruang epidural. Penentuan posisi ini
didasarkan pada kondisi pasien dan kenyamanan ahli anestesi.2
iii. Teknik Insersi
Pada anestesi epidural dengan menggunakan panduan teknik loss of
resistance sebuah jarum “Touhy” diinsersikan sampai ujungnya tertancap
pada ligamentum flavum. Ligamentum ini akan memblok ujung jarum dan
menimbulkan tahanan kuat terhadap injeksi udara maupun larutan NaCl
0,9% dari sebuah suit yang dilekatkan pada jarum. Bila jarum dimasukkan
lebih dalam, ligamentum akan ditembus dan tahanan akan hilang seketika
sehingga udara atau NaCl 0,9% dapat diinjeksikan dengan mudah. Ini
merupakan pertanda telah dicapainya ruang epidural dan anestesi lokal dapat
disuntikkan atau kateter dapat diinsersikan.
Pada anestesi spinal menggunakan jarum spinal ukuran 22-29 dengan
pencil point atau tappered point insersi dilakukan dengan menyuntikkan
jarum sampai ujung jarum mencapai ruang subarachnoid yang ditandai
dengan keluarnya cairan cerebrospinalis. Pemakaian jarum dengan diameter
kecil dimaksudkan untuk mengurangi keluhan nyeri kepala pasca pungsi
dura (PDPH).2
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. AR
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Ruang : Obstetri
No. CM : C727224
Tgl Operasi : 01 Agustus 2019
Tgl MRS : 31 Juli 2019

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama:
Sesak Nafas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
± 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak nafas. Sesak
napas dirasakan semakin lama semakin memberat. Sesak napas memberat
dengan aktivitas. Sesak napas berkurang saat pasien istirahat dengan
berbaring. Pasien mual (+) muntah (+) muntahan berupa makanan yang
dikomsumsi pasien., demam (-), keluar air dari jalan lahir (-).Karena sesak
napas semakin dirasakan, pasien ke IGD RSUP Dr. Kariadi.
± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak nafas.
Sesak napas dirasakan semakin lama semakin memberat. Sesak napas
memberat dengan aktivitas. Pasien selanjutnya di bawa ke IGD RSDK dan
dirawat selama 2 hari. Pasien dipulangkan setelah diberi obat oematangan
paru. Pasien datang dengan demam (-) mual (-) muntah (-) muntah, keluar
air dari jalan lahir (-)
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat sakit jantung (+)
Riwayat operasi (-)
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat asma (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat kencing manis (-), darah tinggi (-), kelainan darah (-).
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang ibu rumah tangga, sudah menikah. Pembiayan dengan
BPJS NON PBI. Kesan sosial ekonomi kurang.
F. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi:
Batuk (-), pilek (-), demam (-), sesak napas (-), gangguan / kelainan darah
(-)
Riwayat peyakit jantung : ada
Riwayat alergi obat dan makanan : tidak ada
Riwayat kejang : tidak ada
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat kencing manis : tidak ada
Riwayat darah tinggi : tidak ada
Riwayat operasi sebelumnya : tidak ada

G. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sesak
Kesadaran : kompos mentis
TV : TD : 110/70 mmHg T : 36,70C
N : 88 x/menit RR : 22x/menit
BB : 84 kg
TB :163 cm
ASA : II
Kepala : mesosefal
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : discharge (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : sianosis (-), perdarahan gusi (-), Mallampati II
Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
Leher : pembesaran nnll (-), deviasi trachea (-)

THORAX
Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V, 2 cm medial LMCS
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : simetris, statis, dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Cembung gravid, BU (+) N
Ekstremitas : Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary refill <2”/<2” <2”/<2”
Punggung : Tegak, Lurus, Skoliosis (-), tidak terdapat luka/jejas pada
tempat yang akan di insersi anestesia

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan Ket

Hematologi
Hemoglobin 8 g/dL 12,00-15,00
Hematokrit 25,7 % 35-47
Eritrosit 3.09 106/µL 4,4-5,9
MCH 25.9 Pg 27,00-32,00
MCV 83.2 fL 76-96
MCHC 31.1 g/dL 29,00-36,00
Leukosit 9,8 103/µL 3,6-11
Trombosit 298 103/µL 150-400
RDW 15,6 % 11,60-14,80
MPV 10 fL 4,00-11,00
Glukosa Sewaktu 81 mg/dL 80-160
Aalbumin 3.3 g/dL 3,4-5.0
SGOT 33 U/L 15-34
SGPT 27 U/L 15-60
Ureum 12 mg/dL 15-39
Kreatinin 0,48 mg/dL 0.60-1.30
Elektrolit
Natrium 134 mmol/L 136-145
Kalium 4.1 mmol/L 3.5-5.1
Chlorida 104 mmol/L 98-107
Calcium 2.10 mmol/L 2.12-2.52
Magnesium 0.70 mmol/L 0.74-0.99
Plasma Prothrombin
Time (PPT)
Waktu Prothtombin 25.9 detik 9.4-11.3
PPT Kontrol 83.2 detik
Partial
Thromboplastin Time
(PTTK)
Waktu 9,8 detik 27.7-40.2
Thromboplastin
APTT Kontrol 298 Detik

J. DIAGNOSIS
a. Diagnosis preoperasi:
Kardiomiopati Peripartum
b. Pemeriksaan yang berkaitan dengan anestesi:
Adanya kelainan jantung Kardiomiopati Peripartum
K. TINDAKAN OPERASI
Sectio Cecarea Transperitoneal Profunda

L. TINDAKAN ANESTESI
Jenis anestesi : Regional Anestesi
Risiko anestesi: Ringan
ASA : II
i. Premedikasi:
O2 3 lpm
Lidocaine 2% 1 ampul
Fentanyl 1 ampul
ii. Anestesi:
Dilakukan regional anestesi: regional anestesi
Posisi puncture: duduk fleksi
Level: setinggi lumbal 2-3
Obat : Bupivacain HCl 0,5%
Volume : 4 cc
Maintenance : O2 3 lpm
Mulai anestesi : 08.00 WIB
Selesai anestesi : 09.15 WIB
Lama anestesi : 75 menit
iii. Terapi cairan
BB : 84 kg
EBV: 65cc/kgBB x 84= 5460 cc
Jumlah perdarahan : 250 cc
% perdarahan : 250/5460x100% = 4,5%
Kebutuhan cairan :
Maintenance = 2 x 84 = 168 cc
Stress operasi = 6 x 84 = 504 cc
Defisit puasa = 6 x 168 = 1.008 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi :
Jam I : M + SO + ½ DP = 168 + 504 + 504 = 1176 cc
Jam II : M + SO + ¼ DP = 168 + 504 + 252 = 924cc
Cairan yang diberikan :
- NaCl 2000 cc
Waktu Keterangan HR Tensi SpO2
(x/menit) (mmHg)
08.00 Pre-oksigenasi 120 110/80 100
08.15 Anestesi mulai 120 110/80 100
08.30 Operasi mulai 120 110/80 100
08.45 Operasi 120 110/80 100
08.45 Operasi selesai 120 110/80 100
08.45 Anestesi selesai 120 110/80 100

1. Pemakaian obat/bahan/alat :
I. Obat suntik:
Bupivacain HCl 0,5% I amp
Lidocaine 2% I amp
Fentanyl I amp
Tramadol I amp
II. Obat inhalasi : O2 3 L/menit  250 L
III. Cairan : Ringer Laktat 2 botol
IV. Alat/lain-lain : Spuit 3 cc III
Spuit 5 cc III
Spuit 10 cc II
Jarum spinal I
Lead EKG III
Nasal canule I
2. Pemantauan di Recovery Room
a. Beri oksigen 3 lpm nasal kanul
b. Bila Bromage Score ≤ 2, pasien boleh pindah ruangan.
c. Bila mual (-), muntah (-), pasien boleh makan perlahan
3. Perintah di ruangan :
a. Bila terjadi kegawatan menghubungi anestesi (8050)
b. Pengawasan tanda vital setiap setengah jam selama 24 jam
c. Program cairan RL 20 tetes/menit selama 24 jam
d. Program injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam i.v selama 2 hari
e. Jika terjadi mual diberi injeksi antiemetik
f. Jika menggigil diberi cairan dan selimut hangat, cairan hangat
g. Jika tensi kurang dari 90/60 mmHg beri injeksi efedrin 10 mg/cc
h. Pasien risiko jatuh
i. Post operasi rawat RR beri oksigen 3 lpm nasal kanul
j. Bila sadar penuh, mual (-), muntah (-), pasien boleh makan perlahan
k. Bila bromage score ≤ 2 boleh pindah ruang

Anda mungkin juga menyukai