Anda di halaman 1dari 16

ANESTESI SPINAL

Case Report Session

Oleh

Fitri Yolanda
(1310312069)

Preseptor : dr. Nasman Puar, Sp. An

BAGIAN ANESTESI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal
yang menghasilkan analgesia. Prosedur ini merupakan suatu anestesi yang efektif
dan bisa digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya prosedur ini
digunakan pada operasi bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum,
atau abdomen bawah.1
Prinsip yang digunakan adalah menggunakan obat analgetik lokal untuk
menghambat hantaran saraf sensorik untuk sementara (reversible). Fungsi motorik
juga terhambat sebagian dan pasien tetap dalam keadaan sadar.2
Anestesi spinal disebut juga sebagai analgesi/ blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat lokal anestesi ke
dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-
3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat
keberhasilan yang tinggi. Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam
tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah,
menjaga level optimal dari analisa darah, pasien tetap sadar selama operasi dan
menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif yang minimal.1

1.2 Batasan Masalah


Case report ini membahas mengenai anestesi spinal berdasarkan kasus yang
didapatkan di ruang operasi RSUP dr. M. Djamil Padang.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan case ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai
anestesi spinal.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan case report ini adalah dengan membandingkan teori yang
didapatkan dari berbagai literatur dengan pasien yang mendapatkan anestesi spinal
di ruang operasi RSUP dr. M. Djamil Padang pada tanggal 31 Maret 2017.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal
yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang
intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5
untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang
tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek
fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi
anestesi lokal diruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan
mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.3

Gambar 2.1. Anatomi Spinal Anestesi


2.2 Indikasi
Anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan di daerah tubuh yang dipersarafi
cabang T4 kebawah (daerah papilla mamae kebawah) dengan durasi operasi yang
tidak terlalu lama yakni sekitar 2-3 jam.1,6
2.3 Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di
daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan
intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati
seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup jantung serta
kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga menyebutkan kontraindikasi
kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan,
ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang
meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak.4

2.4 Obat Anestesi Spinal


Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian
sehari- hari, obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan
amino amida. Ikatan ester mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan
oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit
menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh
hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih banyak
menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan
tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine dan
etidocaine.4
Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain5% sudah
ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain
menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat
isobarik, hiperbarik atau hipobarik terhadap cairan serebrospinal. Barisitas
anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari posisi pasien.
Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar berlawanan
arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi. Setelah
disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan hukum
fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan
menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal,
kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan
kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal),
volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah
penyuntikan.5
Ropivakain adalah lokal anestesi golongan amida yang masa kerjanya
panjang yang dibentuk sebagai antiomer murni. Ropivakain mempunyai efek
anestesi dan analgetik, pada dosis tinggi dia mempunyai efek anastesi untuk
pembedahan sedangkan pada dosis rendah dia menghasilkan blok sensorik
(analgesia) dengan efek blok motorik yang terbatas dan non progresif.2
Ropivakain adalah anestesi lokal terbaru yang dapat menyebabkan kelemahan
motorik yang lebih sedikit melalui epidural tetapi tetap memberikan analgesi yang
efektif pada dosis 15 dan 22,5 mg tanpa efek samping yang bermakna.
Belakangan ini, ropivakain intratekal telah digunakan untuk memberikan analgesi
pada persalinan sebagai bagian dari teknik combined spinal epidural.2
Ropivakain seperti anestesi lokal lainnya menyebabkan blokade impuls yang
reversible sepanjang serabut saraf dengan mencegah masuknya natrium ke dalam
membran sel serabut saraf. Anestesi lokal juga mempunyai efek yang sama pada
membran yang lain seperti di otak dan jantung, jika jumlah dosis obat yang besar
mencapai sirkulasi sistemik dengan cepat maka akan terjadi gejala dan tanda
toksisitas.2
Konsentrasi plasma ropivakain tergantung pada dosis, rute pemberian, dan
vaskularisasi daerah suntikan injeksi.Ropivakain dapat menembus sawar plasenta
dan mencapai titik konsentrasi yang seimbang dengan cepat. Jumlah plasma
protein yang terikat pada janin lebih kecil dibandingkan pada ibu, sehingga
konsentrasi total diplasma lebih kecil pada janin daripada ibunya.2
Ropivakain terikat dengan sangat kuat (sekitar 92%) kepada serum protein ,
ropivakain dimetabolisme oleh mikrosomal hepatik sitokrom P450. Metabolit
utama adalah 2,6 pipecolyxylidide dan metabolit minor adalah 3’ dan 4’ hidroxy-
ropivakain.Ropivakain yang diekskresikan melalui urin, sebagian besar dalam
bentuk terkonjugasi.2
Ropivakain telah dilaporkan untuk menurunkan kemungkinan untuk
terjadinya toksisitas pada sistem saraf pusat, kardiotoksisitas dan depresi
neonatus serta menghasilkan blok motorik yang lebih minimal dibandingkan
bupivakain.2
2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Spinal
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain hiperbarik
pada Anestesi spinal: 5
1. Gravitasi: Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,003-
1,008. Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal
akan bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan
larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti
menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan
tempat injeksi.
2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula
spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin
banyak sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih
banyak dari pada yang pendek.
3. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen
menyebabkan bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga
pelebaran saluran-saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang
epidural akan menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke
ruang subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal
ke kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.
4. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan
mempengaruhi lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan
mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis
hiperbarik.
5. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia
yang dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih
memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4.
6. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih
besar jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan
cara mengedan.
7. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu
percobaan yang dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa
penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih
20 menit pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula
kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya
dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi
level blok sensoriknya.
8. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain
0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad
lebih tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5%
hiperbarik. Lama kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada
penambahan volume obat bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan
kardiovaskuler akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75%
hiperbarik.
6. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith
dikatakan tidak ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan
isobarik pada tubuh, sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan
dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa
mencapai level blok T4 pada posisi duduk hanya mencapai T8.
7. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring
(lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan
bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi
bawah mencapai T6,sedangkan pada sisi atas mencapai T7.
2.6 Masalah Klinis Pada Anestesi Spinal
2.7 Komplikasi Anestesi Spinal
Blokade dari channel natrium akan mempengaruhi potensial aksi dari
propagasi pada seluruh tubuh, oleh karena itu, tidak mengejutkan bahwa anestesi
lokal mempunyai kemampuan untuk toksisitas sistemik.Toksisitas sering
dihubungkan langsung kepada potensinya.Obat anestesi lokal campuran harus
dipertimbangkan untuk mempunyai efek toksik yang secara kasar lebih adiktif.
Sebuah larutan mengandung 50% dari dosis toksik lidokain dan 50% dosis toksik
dari bupivakain akan mempunyai kira-kira 100% efek toksik dari masing-masing
obat.3
Efek toksik neurologik
Sistem saraf pusat sebagian sangat peka dengan toksisitas obat anestesi lokal
dan menjadi penanda utama dari kelebihan dosis pada pasien sadar.Gejala awal
adalah mati rasa pada daerah bibir, lidah yang kelu, dan pusing.Tanda eksitatori
(misalnya: lelah,agitasi,gugup dan paranoia) sering disebabkan oleh depresi
susunan saraf pusat (misalnya: bicara yang tidak jelas, pusing dan tidak sadar).
Kedutan otot merupakan awal dari mulainya kejang tonik klonik.Gagal nafas
menjadi ikutannya.Reaksi eksitatori adalah sebuah hasil dari blokade selektif pada
jalur inhibisi.Obat anestesi lokal yang poten, highly lipid soluble menghasilkan
kejang pada konsentrasi darah yang rendah dibandingkan dengan obat anestesi
lokal yang kurang poten.Dengan meningkatkan aliran darah keotak dan paparan
obat, benzodiazepine dan hiperventilasi meningkatkan ambang batas dari kejang
yang disebabkan oleh obat anestesi lokal.Thiopental (1-2 mg/kg) secara cepat
dapat diandalkan untuk menghilangkan aktifitas kejang.Ventilasi dan oksigenasi
yang adekuat harus dijaga selama berlangsungnya kejang.
Efek toksik kardiovaskular
Pada umumnya, semua lokal anestesi mendepresi automatisasi otot jantung
dan menurunkan durasi daripada periode refraktori.Kontraktilitas otot jantung dan
velositas konduksi juga ditekan pada dosis yang lebih tinggi.Efek ini merupakan
hasil dari perubahan langsung pada membran otot jantung (misalnya: blokade
channel natrium jantung) dan menghambat sistem saraf autonom.Semua obat

8
anestesi lokal selain kokain menghasilkan relaksasi otot polos, yang mana
menyebabkan beberapa perubahan pada vasodilatsi arteri. Hal ini dikombinasikan
dengan bradikardi, blok jantung, dan hipotensi dapat menyebabkan terjadinya
gagal jantung. Toksisitas kardiovaskular utamanya membutuhkan sekitar tiga kali
dari konsentrasi pada darah yang dapat menyebabkan kejang.Aritmia jantung atau
gagal sirkulasi menjadi penanda awal pada overdosis anestesi lokal.Stimulasi
kardiovaskular yang sementara (takikardi dan hipertensi) dapat timbul lebih awal
dan menunjukkan eksitasi sisitem saraf pusat.
Suntikan bupivakain yang tidak disengaja kedalam intravaskular selama
anestesi regional menghasilkan reaksi toksik kardio yang berat, termasuk
hipotensi, blok jantung atrioventrikuler, irama idioventrikuler, dan aritmia yang
mengancam nyawa sepertitakikardi ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan,
hipoksemia, dam asidosis respiratorik merupakan faktor predisposisi. Penelitian
elektrofisiologis telah menunjukkan bahwa bupivakain dihubungkan dengan
perubahan yang bermakna pada depolarisasi dibandingkan lidokain.Isomer R (+)
pada bupivakain secara cepat memblok channel natrium dan berdisosiasi dengan
sangat lambat.Pada dosis tinggi channel kalsium dan kalium juga dapat
diblok.Resusitasi dari toksisitas kardiovaskular yang disebabkan oleh bupivakain
sering membutuhkan dosis vasopressor yang lebih tinggi seperti epinefrin,
norepinefrin dan vasopressin serta terapi yang lebih lama.Amiodaron dan
kemungkinan bretylium harus dipertimbangkan sebagai alternatif pilihan daripada
lidokain untuk menangani ventricular takiaritmia karena toksisitas anestesi
lokal.Isoproterenol dapat secara efektif membalikkan beberapa perubahan
karakter elektrofisiologis yang abnormal dari toksisitas bupivakain.
Hipotensi yang terjadi sering didefinisikan sebagai penurunan sebesar 20-
30% pada tekanan darah sistolik (dibandingkan dengan tekanan darah basal) atau
tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg.Karena aliran dara uterus dan
oksigenasi janin berhubungan langsung dengan tekanan arteri ibu hamil, hipotensi
menjadi efek samping yang harus segera ditangani.Kejadian hipotensi dapat
segera ditangani dengan penganjalan uterus, penambahan volum eintravaskular
dan pada beberapa kasus penggunaan vasopressor.Penangan harus lebih agresif
bila berkenaan dengan pola nadi janin dan bila ibu menunjukkan gejala.

9
Ropivakain, anestesi lokal golongan amida yang termasuk relatif baru,
memiliki efek fisiokimiawi yang sama seperti bupivakain, kecuali bahwa
ropivakain lebih sedikit larut dalam lemak sehingga mempunyai toleransi susunan
saraf pusat yang lebih baik. Waktu mulai dan durasi aksi sama tetapi ropivakain
menyebabkan blok motorik yang lebih sedikit, yang mana menunjukkan potensi
secara keseluruhan yang lebih rendah seperti yang ditemukan pada beberapa
penelitian. Yang paling penting untuk diketahui, ropivakain memiliki angka
terapeutik lebih besar karena kurang dari 70% dapat menyebabkan aritmia jantung
yang berat daripada bupivakain.2

10
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Jamal
No. MR : 851041
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia / tanggal lahir : 76 tahun/ 01-07-1942
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Jln. Sungai Buris, Pakan Rabaah,
Solok Selatan
Diagnosis : Fistel Vesikokutan
Rencana tindakan : Uretroscopy kp Sistostomy permanen
Rencana Anestesi : Anestesi spinal

3.2 Persiapan Pre-Operasi


Keluhan Utama :
BAK keluar dari luka operasi di bagian perut sejak 4 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Seorang pasien laki-laki usia 76 tahun datang ke RSUP dr. M. Djamil
Padang pada tanggal 27 Maret 2017 dengan keluhan BAK keluar dari luka
operasi di bagian perut sejak 4 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Penyulit Anestesi :


- Asma (-) - Angina Pektoris (-) - Penyakit Hati (-)
- DM (-) - Stroke (-) - Penyakit Ginjal (-)
- Alergi (-) - Hipertensi (-) - Kejang (-)
- Batuk/Pilek (-) - Demam (-) - Kelainan Kardiovaskular lain (-)

Riwayat obat yang sedang/telah digunakan :


- Antihipertensi (-)
- Anti rematik (-)
- Anti diabetik (-)

11
- Obat penyakit jantung (-)
- Obat anti nyeri (-)
Riwayat Operasi Dahulu :
- 13-01-14 : Uretrosurgery + TURP
- 12-08-15 : Uretroscopy + RA
- 13-07-16 : Uretrosistoscopy evaluasi + litotripsi batu buli + TURP

Riwayat Anestesi :
- 13-01-14 : anestesi spinal
- 12-08-15 : anestesi spinal
- 13-07-16 : anestesi spinal

Pemeriksaan Fisik
Airway : bebas
Breathing : 20 kali/menit
Circulation : akral hangat, refilling kapiler < 2 detik
TD : 120/60 Nadi : 65 kali/menit
Disability : kesadaran : CMC
GCS 15 : E4 M6 V5
Exposure : suhu afebris
Mata : konjungtiva tidak anemis
sklera tidak ikterik
Paru : inspeksi : simetris kiri dan kanan
palpasi : fremitus sama kiri dan kanan
perkusi : sonor kiri dan kanan
auskultasi : vesikuler, rh (-/-) wh (-/-)
Jantung : inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
palpasi : iktus kordis tidak teraba
perkusi : batas jantung normal
auskultasi : irama teratur, bising (-)

12
Abd : inspeksi : distensi (-)
palpasi : hepar dan lien tidak teraba
perkusi : timpani
auskultasi : bising usus (+) normal
Renal : BAK (+) : kateter (+)
Ekstremitas : luka (+), fraktur (-), deformitas (-), udem (-)

EKG : sinus rhythm


Ro. Thorax : cord dan pulmo dalam batas normal
Hasil Laboratorium
Hb : 11.9 mg/dl PT : 10.3s (12.1s)
Leukosit : 5.740 /mm3 APTT : 43.7s (35.1s)
Hematokrit : 37% Ureum : 38 mg%
Trombosit : 202.000 /mm3 Kreatinin : 1.6 mg%
Na : 142 mEq/dl GDS : 82mg/dl
K : 3.7 mEq/dl
Cl : 105 mEq/dl
ASA II

3.3 Laporan Intra-Operatif


Jenis anestesi : anestesi regional dengan teknik spinal
Obat : pre medikasi : midazolam 2 mg
ranitidine 50 mg
induksi : ropivacaine 30 mg
Teknik anestesi : sub-arachnoid block dengan spinocane no. 27G di vertebra
lumbal 3-4 paramedian. LCS (+) jernih, darah (-)
Respirasi : spontan
Posisi : lithotomic
Infuse : RL di tangan kiri no. 18G

13
Pemantauan intra-operatif
Waktu TD Nadi Keterangan
Mulai masuk RL 1
10.00 130/65 60
Mulai induksi anestesi spinal
10.15 145/80 70 Mulai operasi
10.30 140/80 75 Mulai masuk RL 2
Operasi selesai, kondisi pasien
10.45 128/68 70
stabil dan dipindahkan ke RR

3.4 Laporan Post Operasi


Pasien dipantau di ruangan recovery
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 126/80 mmHg
Nadi : 70 kali/menit
Nafas : 22 kali/menit
SaO2 : 100%

Broumage score (spinal anestesi) pada jam 11.00 wib : tidak mampu fleksi
lutut (2)
Medikasi post operasi
Analgetik : Tramadol 100 mg IV

14
BAB IV
DISKUSI

Pasien pada kasus ini merupakan seorang pria berusia 76 tahun yang akan
dilakukan uretroscopy kp sistostomy permanen. Pada pasien ini diberikan anestesi
regional dengan teknik spinal dengan keuntungan sebagai berikut :
1. Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam
keadaan sadar
2. Relaksasi otot lebih baik
3. Analgetik yang cukup kuat
Obat anestesi yang digunakan adalah ropivacaine 30 mg, karena mulai
kerjanya cepat, lebih kuat, dan lebih lama dibandingkan lidokain. Pada anestesi
spinal ini biasanya sering terjadi komplikasi hipotensi. Hipotensi dapat terjadi
pada sepertiga pasien yang menjalani anestesi spinal, dimana hal tersebut terjadi
karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac output
2. Penurunan resistensi perifer
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot
pernapasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami
kesulitan dalam bernapas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen
yang adekuat dan pengawasan terhadap depresi pernapasan yang mungkin bisa
terjadi. Pada pasien ini diberikan oksigen 2 liter/menit. Selama tindakan operasi,
diberikan cairan ringer laktat sebanyak 2 kolf selama ±1 jam operasi sebagai
cairan maintenance.
Setelah operasi dilaksanakan, pasien diberi obat anlalgetik yakni tramadol
100 mg IV. Obat ini merupakan obat analgetik opiat yang termasuk golongan
aminosikloheksanol. Selanjutnya pasien dipindahkan ke ruang recovery lalu
dinilai bromage scorenya. Hasil bromage score pasien didapatkan 2 sehingga
pasien boleh pindah ruangan.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Medscape reference (internet) Subarachnoid Spinal Block (Update on


Aug, 5,2013)Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-
overview. accessed on 2013 Oct 15.
2. S. Kristanto, Anestesi Regional; Anestesiologi-Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 123.
3. Hamburger AK, Salahadin A. Pain. In : Dunn Peter F, ed. Clinical
Anesthesia Procedures of Massachusetts. Massachusetts. 2007; p 686-710.
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pain Managament. In : Morgan GE,
editor. Clinical Anesthesiology, 4th ed. Lange Medical Books/McGraw-
Hill.2006;359-412.
5. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s
Clinical Anesthesiology, 5th Ed.United State of America: Lange Medical
Book/ Mc Graw-Hill Medical Publishing Edition; 2013; 825-842.
6. S. Kristanto, Anestesi Regional; Anestesiologi-Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 125-8.

16

Anda mungkin juga menyukai