Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan
membutuhkan pengobatan operasi pada anak-anak dan dewasa di bawah umur
50 tahun, dengan puncak kejadian pada usia dekade kedua dan ketiga yaitu
usia 10-20 tahun. Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada
di negara berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan
pola makan di negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan
berserat. Di Amerika Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan lebih dari
40.000 rumah sakit tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi
apendisitis, dengan rasio laki-laki dibanding perempuan yaitu 1,4 : 1, dengan
resiko seumur hidup apendisitis yaitu pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada
perempuan. 1
Di Indonesia, insiden apendisitis akut jarang dilaporkan. Insidens
apendisitis akut pada pria berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya
218 dari keseluruhan 460 kasus. Pada tahun 2008, insiden apendisitis
mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi
‘junk food’ daripada makanan berserat. 1
Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka
diperlukan tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi
diagnosis apendisitis akut berkisar 76-92%.Pengobatan untuk apendisitis akut
adalah pembedahan, apendiktomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan
antibiotik perioperatif yang spektrum luas untuk menekan insiden infeksi luka
postoperasi dan pembentukan abses intraabdominal. Setiap tindakan
pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat, termasuk dalam
tindakan apendiktomi kasus apendisitis akut. 2

1
Ilmu Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
tatalaksana untuk me“matikan” rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa tidak
nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari
tatalaksana untuk mempelajari tatalaksana untuk menjaga atau
mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami “kematian”
akibat obat anestesi.1 Pilihan anestesi yang digunakan pada operasi
apaendisitis adalah anestesi regional (spinal atau epidural) atau anesthesia
umum melalui pipa endotrakea dan nafas kendali apabila ada permintaan
khusus dari pasien.Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu
bagian tubuh sementara pada impuls syaraf sensorik, sehingga impuls nyeri
dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik
dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi pasien tetap sadar Anestesi
spinal lebih disukai untuk bedah dari thorakal 10 kebawah dikarenakan onset
cepat, teknik sederhana, relatif mudah dilakukan dan menimbulkan relaksasi
otot yang sempurna dibandingkan dengan anestesi epidural.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Regional


2.1.1 Definisi Anestesi Regional
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls syaraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu
bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi pasien tetap sadar.1,2

2.1.2 Pembagian Anestesi Regional


- Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural
dan kaudal. Tindakan ini merupakan tindakan yang sering dikerjakan.
- Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal,
blok lapangan, dan analgesia regional intravena.1

2.1.3 Anestesi Spinal


Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarakhnoid)
ialah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke
dalam ruang subarakhnoid. Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada
ruang subarachnoid akan memblok konduksi impuls syaraf.3Untuk
mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis,
subkutis, Ligamentum Supraspinosum, LigamentumInterspinosum,
LigamentumFlavum, ruang epidural, durameter, dan ruang subarachnoid.2
Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh
cairan serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan
pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan
pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi atau analgesi spinal dilakukan pada
ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-
L5. 3

3
Gambar 1. Anestesi Spinal

Terdapat tiga bagian syaraf yaitu motor, sensori dan autonom.


Motor menyampaikan pesan ke otot untuk berkontraksi dan ketika di blok,
otot akan mengalami paralisis. Syaraf sensori akan menghantarkan sensasi
seperti rabaan dan nyeri ke sumsum tulang dan ke otak, sedangkan syaraf
atonom akan mengontrol tekanan darah, nadi, kontraksi usus dan fungsi
lainnya yang diluar kesadaran. Pada umumnya, serabut otonom dan nyeri
yang pertama kali diblok dan serabut motor yang terakhir. hal ini akan
memiliki timbal balik yang penting. Contohnya, vasodilatasi dan
penurunan tekanan darah yang mendadak mungkin akan terjadi ketika
serabut otonom diblok dan pasien merasakan sentuhan dan masih
merasakan sakit ketika tindakan pembedahan dimulai.2,4
Anestesi spinal merupakan pilihan anestesi pada daerah dibawah
umbilikus, misalnya repair hernia, ginekologi, operasi urogenital dan
operasi di daerah perineum dan genitalia. Anestesi spinal khususnya
diindikasikan pada pasien lanjut usia dan pasien dengan penyakit sistemik
seperti penyakit pernafasan, hepar, renal dan gangguan endokrin (diabetes
mellitus). Anestesi spinal dikontra-indikasikan bila peralatan dan obat
resusitasi tidak adekuat, gangguan perdarahan, hipovolemia, pasien
menolak, pasien tidak kooperatif, septikemia, deformitas anatomi,
penyakit neurologi.5

4
Pada dasarnya persiapan untuk anestesia spinal seperti persiapan
pada anestesi umum. Daerah sekitar tempat tusukan diperiksa, adakah
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga
tidak teraba prosessus spinosus. Selain itu juga harus dipersiapkan
informed consent, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang meliputi
hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT (paartial
thromboplastine time). Persiapan pre-operasi sangat penting dilakukan,
sehingga diharapkan pasien dipersiapkan semaksimal mungkin dan bila
terdapat penyulit dapat dilakukan medikasi pre-operasi.2,4
Pasien yang telah dijadwalkan untuk pembedahan elektif umumnya
berada dalam keadaan optimal baik fisik maupun mental dengan diagnosis
yang definitif dan penyakit lain yang kadang-kadang menyertainya sudah
terkendali dengan baik. Berbeda dengan penderita emergensi yang
memerlukan tindakan bedah darurat baik dengan anestesi umum atau
regional merupakan suatu tindakan yang penuh dengan risiko. Hal ini
disebabkan penderita datang secara mendadak dan pada umumnya berada
dalam keadaan yang kurang baik, waktu untuk memperbaiki keadaan
umum terbatas, kadang-kadang sulit untuk mengatasi penyakit lain dan
bahkan memperburuk keadaan. 2,4
Premedikasi pada anestesi spinal tidak perlu, namun pada pasien
tertentu, dapat diberikan benzodiazepine seperti 5-10 mg diazepam secara
oral yang diberikan 1 jam sebelum operasi. Agen narkotik dan sedatif
dapat digunakan sesuai keadaan. Pemberian anticholinergics seperti
atropine atau scopolamine (hyoscine) tidak perlu. Agen anestesi lokal
dapat berupa molekul berat (hyperbaric), ringan (hypobaric), dan beberapa
isobaric seperti LCS. Larutan hyperbaric cenderung menyebar kebawah,
sementara isobaric tidak dipengaruhi oleh arah. Hal ini akan lebih
memudahkan untuk memperkirakan dari pemakaian agen hyperbaric.
Agen isobaric dapat dijadikan hiperbarik dengan menambahkan dextrose.
Agen hypobaric pada umumnya tidak digunakan. 2,4
Semua pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi spinal,
sebelumnya harus mendapatkan cairan intravena. Volume cairan yang

5
diberikan disesuaikan dengan usia pasien dan luasnya blok. Seorang
dewasa muda, sehat yang akan dilakukan repair hernia membutuhkan
500cc. Pasien lanjut usia yang tidak mampu melakukan kompensasi
terhadap terjadinya vasodilatasi dan hipotensi maka minimal mendapatkan
1000cc. Jika direncanakan akan dilakukan blok tinggi, minimal 1000 cc.
Cairan yang digunakan yaitu normal saline atau larutan Hartmann's.
Dektrose 5% tidak segera dimetabolisme sehingga tidak efektif untuk
mempetahankan tekanan darah.1,4

2.1.4 Keuntungan dan Kerugian Anestesi Spinal


 Keuntungan : 2
- Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif
lebih murah,
- Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency,
lambung penuh) karena penderita sadar,
- Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi,
- Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi,
- Perawatan post operasi lebih ringan.
 Kerugian : 2
- Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional,
- Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif,
- Sulit diterapkan pada anak-anak,
- Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

2.1.5 Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal


Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4
kebawah (daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang
tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. 2
 Indikasi :
- Bedah ekstremitas bawah
- Bedah panggul
- Tindakan sekitar rektum perineum

6
- Bedah obstetrik-ginekologi
- Bedah urologi
- Bedah abdomen bawah
- Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan
 Kontra indikasi absolut:
- Pasien menolak,
- Infeksi pada tempat suntikan,
- Hipovolemia berat, syok,
- Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan,
- Tekanan intrakranial meningkat,
- Fasilitas resusitasi minim,
- Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
 Kontra indikasi relatif:
- Infeksi sistemik,
- Infeksi sekitar tempat suntikan,
- Kelainan neurologis,
- Kelainan psikis,
- Bedah lama,
- Penyakit jantung,
- Hipovolemia ringan,
- Nyeri punggung kronik.

2.1.6 Obat – Obatan


1. Bupivacaine (Marcaine) 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis
1.027, sifat hyperbaric (heavy), dosis 5-15 mg (1-3 ml). Bupivacaine
memiliki durasi kerja 2-3 jam.
2. Lidokain (lignocaine, xylocaine) 5% dalam dextrose 7,5% : berat jenis
1.033, sifat hyperbaric (heavy) dosis 20-50 mg (1-2ml), dengan durasi
45-90 minutes.
3. Cinchocaine (Nupercaine, Dibucaine, Percaine, Sovcaine). 0.5%
hyperbaric (heavy) sama dengan bupivacaine.

7
4. Amethocaine (Tetracaine, Pantocaine, Pontocaine, Decicain,
Butethanol, Anethaine, Dikain).
5. Mepivacaine (Scandicaine, Carbocaine, Meaverin). 4% hyperbaric
(heavy) sama dengan lignocaine.

2.1.7 Teknik Analgesia Spinal


Teknik anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi tidur
lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah (median) atau
paramedian. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi
dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya
obat.2,3
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

Gambar 2. Posisi duduk dan lateral decubitus3


2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko
trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3ml.
2. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik

8
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau
kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,
putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter. Posisi duduk sering dikerjakan untuk
bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik
hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
Penyebaran anastetik lokal tergantung:
1. Faktor utama:
- Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
- Posisi pasien
- Dosis dan volume anestetik local
2. Faktor tambahan
- Ketinggian suntikan
- Kecepatan suntikan/barbotase
- Ukuran jarum
- Keadaan fisik pasien
- Tekanan intra abdominal
Lama kerja anestetik lokal tergantung:
- Jenis anestetia lokal
- Besarnya dosis
- Ada tidaknya vasokonstriktor
- Besarnya penyebaran anestetik lokal

9
2.1.8 Komplikasi
- Hipotensi
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml
sebelum tindakan.
- Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat
blok sampai T-2.
- Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
- Trauma pembuluh saraf
- Trauma saraf
- Mual-muntah
- Gangguan pendengaran
- Blok spinal tinggi atau spinal total
- Nyeri tempat suntikan
- Nyeri punggung
- Nyeri kepala karena kebocoran likuor
- Retensio urine
- Meningitis. 2

10
2.2 APENDISITIS
2.2.1 Definisi
Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-
kira 10cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ilosekal.
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. 3
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis yang
merupakan penyebab nyeri abdomen akut tersering.5,6 Apendisitis akut
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen dan paling umum untuk bedah abdomen darurat.6

2.2.2 Epidemiologi
250,000-280,000 kasus baru dalam setahun didokumentasikan di
Amerika Serikat, dengan angka kematian 0,0002% dan morbiditas 3%
ketika diagnosis dan pengobatan tepat dan cepat.7 Insiden keseluruhan
kondisi ini adalah sekitar 11 kasus per 10.000 penduduk per tahun.2
Apendisitis dapat mengenai semua usia, tetapi yang paling umum pada
usia 10 sampai 20 tahun.4 Perforasi appendiks lebih sering terjadi pada
anak-anak, khususnya anak-anak muda dibandingkan pada orang dewasa.
Laki-laki lebih sering terkena usus buntu dibandingkan perempuan dengan
rasio 1: 1 sampai 3: 1.3

2.2.3 Anatomi
Apendiks merupakan organ yang memiliki panjang 5-10cm (2-4
inci) yang berpangkal di caecum pada kuadran kanan bawah. Meskipun
dasar usus buntu adalah sekum, namun ujung dapat terletak di panggul,
retrocecal atau ekstraperitoneal. Posisi anatomi usus buntu menentukan
gejala ketika usus buntu saat terjadi peradangan. apendiks mendapat aliran
darah dari arteri apendikularis yang merupakan cabang langsung dari arteri
ileocolica. Apendiks dipersarafi saraf parasimpatis berasal dari cabang
nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior, saraf sensoris
dari nervus torakalis X. Pertama serabut saraf visceral yang berhubungan

11
dengan usus buntu meradang, lalu ke wilayah periumbilikalis melalui
dermatom T10. Serat sensorik somatik dari lapisan peritoneal yang terlibat
dalam proses inflamasi, nyeri sering akan bergeser ke kanan perut bagian
bawah dan nyeri berpusat di lokasi peradangan.8

Gambar 3. Anatomi dan posisi apendiks7

Apendik dilapisi oleh epitel kolon yang khas yaitu epitel kolumner
dengan sel goblet. Submukosa mengandung folikel limfoid yang sangat
sedikit saat lahir. Jumlah ini secara bertahap meningkatkan ke puncak
sekitar 200 folikel pada usia 10-20 tahun dan kemudian menurun.
Apendiks dapat bertindak sebagai reservoir untuk flora usus yang dapat
membantu dalam pemulihan dari infeksi usus.4 Namun, fungsi ini tidak
penting bagi kehidupan dan menghilangkan apendiks dapat ditoleransi
dengan baik.6,8

2.2.4 Etiologi
Penyebab apendisitis adalah obstruksi.3,7 Pada anak-anak,
obstruksi dikarenakan hiperplasia limfoid dari folikel submukosa.
Penyebab hiperplasia ini kontroversial, tetapi disebutkan kemungkinan
akibat dehidrasi dan infeksi virus. Penyebab umum lainnya dari obstruksi
usus buntu adalah fekalith. Penyebab yang jarang termasuk benda asing,
infeksi parasit (misalnya nematoda) dan striktur inflamasi. Meskipun
radang usus buntu sangat umum, banyak yang tidak mengerti tentang
etiologi atau patofisiologi proses penyakit ini.8

12
2.2.5 Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang
disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai
dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan
asupan serat dalam makanan yang rendah. Pada stadium awal dari
apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini
kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada
permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang
bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis
lokal. Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor
yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
akut.9
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke
dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang
menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang
suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi
dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus
oleh omentum, abses lokal akan terjadi.9

2.2.6 Manifestasi Klinis


Apendisitis biasanya dimulai dengan rasa sakit di tengah perut
yang sifatnya hilang timbul.10 Dalam beberapa jam, rasa sakit berjalan ke

13
sisi kanan bawah, tempat terletaknya usus buntu yang menjadi konstan dan
parah.8 Penekanan daerah ini, batuk atau berjalan dapat membuat rasa
sakit lebih buruk.10 Rasa sakit dari persarafan visceral dari midgut dan
nyeri lokal disebabkan keterlibatan peritoneum parietal setelah proses
inflamasi.3 Diagnosis apendisitis sulit pada anak-anak karena gejala klasik
yang sering tidak hadir. Gejala umum lain yang sering muncul biasanya
kehilangan nafsu makan, mual dan kadang mengalami diare.6 Pasien
dengan apendisitis akut biasanya memiliki demam ringan. Perforasi harus
dicurigai bila suhu melebihi 38,3◦C. Radang selaput perut biasanya
berkembang dari perforasi ke rongga perut.3
Gejala khas yang hadir hanya pada 50-70% dari pasien. Gejala-
gejala klasik dikelompokkan ke dalam tabel evaluasi klinis (skala
alvarado). Gejala atipikal muncul di antara 20-30% pasien. Gejala ini
muncul karena varian dalam posisi anatomis apendiks cecal dan karena
perbedaan persepsi dan deskripsi nyeri oleh pasien.7
Tabel 1. Skala Alvarado3,7
Deskripsi Skor
Gejala Perpindahan nyeri dari ulu hati ke perut 1
kanan bawah
Mual – muntah 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam >37,5◦C 1
Laboraturium Leukositosis (>10.000/mm3) 2
Deviasi ke arah kiri (Netrofil >75%) 1
Total 10
Keterangan skor:
1 – 4 = sangat mungkin bukan apendisitis akut
5 – 7= sangat mungkin apendisitis akut
8 8 – 10 = pasti apendisitis akut

14
Gejala berdasarkan posisi apendiks:
- Retrocaecal / retrocolic (75%) – nyeri pinggang kanan, kaku otot, fleksi
hip dan eksaserbasi dari nyeri pada ekstensi hip (psoas sign).
- Subcaecal dan panggul (20%) – nyeri suprapubik dan frekuensi kencing
meningkat. Diare akibat iritasi rektum. Nyeri perut kurang, tapi dubur
atau nyeri vagina di sebelah kanan. Hematuria dan leukosit ditemukan
pada analisis urine.
- Sebelum dan sesudah ileum (5%) – tanda dan gejala kurang. Muntah
lebih menonjol dan diare dapat terjadi akibat iritasi ileum distal.

2.2.7 Diagnosis
Anamnesis akurat dan pemeriksaan fisik penting untuk mencegah
operasi yang tidak perlu dan menghindari komplikasi. Skor alvarado
awalnya digambarkan pada tahun 1986, adalah sistem penilaian yang
paling banyak dilaporkan untuk usus buntu akut. Namun, skor ini tidak
cukup akurat untuk mendiagnosa atau mengecualikan apendisitis.3
a. Anamnesis
Pasien yang datang ke instalasi gawat darurat dengan
apendisitis akutmengeluhkan sakit perut sebagai keluhan
utama.Nyeri yang konstan pada periumbilikalis atau epigastrium
secara tiba-tiba dan dapat memburuk dalam waktu beberapa
jam.Mual, muntah dan anoreksia terjadi lebih dari 50%
kasus.Setelah itu, nyeri melokalisasi di kuadran kanan bawah
dekat titik McBurney. Kegagalan untuk mengenali presentasi
lainnya apendisitis akut akan menyebabkan keterlambatan dalam
diagnosis dan peningkatan morbiditas pasien.3,10

Menurut Kartono (1995), massa apendiks dengan proses


radang aktif ditandai dengan: 6
1. Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih
tinggi,

2. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih


jelas terdapat tanda-tanda peritonitis;

15
3. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis
terdapat pergeseran ke kiri.

Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti massa yang


nyeri di regio iliaka kanan dan demam, mengarahkan diagnosis
pada massa atau abses apendikuler. Diagnosis didukung dengan
pemeriksaan fisik maupun penunjang. Kesalahan diagnosis lebih
sering pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini terjadi karena
perempuan, terutama yang masih muda, sering mengalami
gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan dapat berasal dari
genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis atau
penyakit. Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis yang
meragukan dilanjutkan dengan observasi penderita di rumah sakit,
dengan pengamatan setiap 1-2 jam

b. Pemeriksaan Fisik
Pasien sering memerah, lidah kering dan terkait faetor oris.
Demam >38◦C diserai takikardi. Pemeriksaan abdomen didapat
nyeri lokal dan kekakuan otot setelah nyeri terlokalisir di fossa
iliaka kanan. Adanya nyeri lepas, gerakan dan batuk memperburuk
rasa sakit pada fossa iliaca kanan.3,10 Pada perkusi akan terdapat
nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik normal,
peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak
membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau
sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik
usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan
terdapat nyeri pada jam 9-12. Status lokalis abdomen kuadran
kanan bawah:3,10,11
a. Nyeri tekan (+) Mc.Burney. Pada palpasi didapatkan titik
nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc.Burney dan
ini merupakan tanda kunci diagnosis.
b. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound
tenderness (nyeri tekan lepas) adalah nyeri yang hebat di

16
abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba
dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan
dan dalam di titik Mc. Burney.
c. Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus
abdominis. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh
lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale.
d. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian
kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang
dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
e. Blumberg sign (+) adalah nyeri pada daerah yang diberi
penekanan.
f. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus
psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

Gambar2. Sign apendisitis3 (A.Blumberg sign; B. Rovsing


sign; C.Psoas sign; D.Obturator sign)
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis dengan pergeseran kiri. Neutrofilia lebih besar
dari 75% akan terjadi pada sebagian besar kasus. Pengukuran C-

17
reactive protein (CRP) adalah yang paling mungkin meningkat
pada usus buntu jika gejala yang hadir selama lebih dari 12
jam.Kombinasi dari CRP, leukosit tinggi atau neutrophilia lebih
besar dari 75% meningkatkan kepekaan terhadap 97% - 100%
untuk diagnosis apendisitis akut.Urinalisis tidak normal di 19% -
40% dari pasien dengan apendisitis akut. Kelainan termasuk
piuria, bakteriuria dan hematuria.3

Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu


(Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan
atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu.
Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa
membantu dalam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu
atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul. Dikatakan
apendisitis bila diameter >6mm.

A B

C D
Gambar 3. USG (A.apendiks normal; B.apendisitis akut diameter 13mm; C.
apendisitis akut karena fekalit; D.perforasi apendisitis)1

18
A B

Gambar 4. CT Scan (A.apendiks 14mm; B.apendisitis akut)1

2.2.8 Tatalaksana
1. Resusitasi cairan
Pasien dengan radang usus buntu biasanya membutuhkan bolus
cairan sebelum operasi untuk menangkal dehidrasi.Berikan bolus
20ml/kgBB jika diperlukan. Namun, pasien ini perlu terus resusitasi cairan
sesuai dengan status cairan dan keparahan apendisitis..10
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan sebagai profilaksis pada usus buntu.
Antibiotik harus dihentikan setelah operasi pada pasien tanpa perforasi.
Pada pasien dengan dugaan apendisitis yang tidak menjalani operasi,
terapi antibiotik harus diberikan selama 3 hari sampai gejala klinis dan
tanda-tanda infeksi hilang. Daftar antibiotik yang dapat digunakan untuk
usus buntu antara lain : 11
a. Ampisilin-sulbaktam 200 mg/kg/hari IV / IM, bagi tiap 6 jam.
b. Piperacillin-Tazobactam 200-300 mg/kg/hari IV, bagi tiap 6-8 jam.
c. Tikarsilin-klavulanat 200-300 mg/kg/hari IV bagi tiap 4-6 jam, atau
3. Apendektomi
Operasi adalah satu-satunya pengobatan untuk radang usus buntu.
Ada dua teknik: laparotomi atau laparoskopi (buat luka kecil dan
menggunakan kamera untuk melihat ke dalam).Mencakup Mc Burney
insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan

19
transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting,
setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi,
diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk
mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada
ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi
ditutup.11

Gambar5. Laparoskopi apendektomi dan apendisitis

2.2.9 Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis dapat mengalami
perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perforasi, baik perforasi
bebas maupun pada bagian apendiks yang telah mengalami walling off
sehingga berupa masa yang terdiri dari kumpulan mesoapendik, apendik,
sekum dan lengkung usus yang disebut sebagai masa apendikuler.

2.2.10 Prognosis
Bila ditangani dengan baik, prognosis apendiks adalah baik. Secara
umum angka kematian pasien apendiks akut adalah 0,2-0,8%, yang lebih
berhubungan dengan komplikasi penyakitnya daripada akibat intervensi
tindakan Angka morbiditas terjadi pada 1,2% penderita apendisitis akut
dan 6,4% pada penderita apendisitis perforasi.11\

20
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. M
Umur : 24 tahun
Berat badan : 51 kg
Tinggi badan : 152 cm
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Salo Timur
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Tanggal masuk RS : 04-12-2019
No. RM : 059757

B. ANAMNESIS : Autoanamnesis
I. Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah memberat sejak 1 hari yang lalu.

II. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke UGD dengan keluhan nyeri hebat pada perut
kanan bawah yang bersifat menetap sejak 1 hari yang lalu. 7 hari yang
lalu, keluhan nyeri dirasakan pada daerah atas pusar, bersifat hilang
timbul namun tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan dirasakan
secara tiba-tiba tanpa ada faktor yang mendahului, nyeri yang dirasakan
tidak membaik dengan perubahan posisi, selain itu pasien juga
mengeluhkan mual namun tidak sampai muntah. 5 hari yang lalu..
Keluhan batuk, pilek, dan sesak nafas disangkal oleh pasien. Selain itu,
BAK dan BAB dalam batas normal.

21
III. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
- Riwayat penyakit DM : disangkal
- Riwayat penyakit alergi obat dan makanan : disangkal
- Riwayat penyakit asma : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

IV. Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
- Riwayat penyakit DM : disangkal
- Riwayat penyakit alergi : disangkal
- Riwayat penyakit asma : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
I. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Respirasi : 20 kali/menit
- Nadi : 68 /menit
- Suhu : 37,0C
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), pembesaran tonsil (-), gigi
palsu (-), gigi ompong (-)
Telinga : Discharge (-), deformitas (-)
Leher : Pembesaran tiroid dan limfe (-), JVP tidak meningkat
Thorax
Paru :

22
Inspeksi : bentuk dada normal, gerakan dada simetris kanan-kiri,
retraksi dinding dada (-)
Palpasi : vokal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba
Perkusi : batas jantung kanan di SIC 4 linea parasternalis dextra,
batas jantung kiri di SIC 4 linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi :BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
Ekstremitas :CRT < 2 detik, akral hangat, edema tungkai (-/-)
Genetalia : Tidak diperiksa

II. Status lokalis


Abdomen:
Inspeksi : Perut datar, darm countur (-), darm stefung (-), distensi (+)
Palpasi : Nyeri tekan Mc burney (+), psoas sign (+), obturator sign
(+), Rovsing sign (-)

Perkusi : Timpani, nyeri ketok abdomen regio iliaca dextra (+)


Auskultasi: Bising usus (+) normal
Alvarado skor : 8

D. PEMERIKSAAN LABORATURIUM
Tanggal 30November 2019
Pemeriksaan darah lengkap :

23
Hb : 13,6 g/dl
Leukosit : 9000 ul
Ht : 42,4 %
Trombosit : 319.000/ul
Eusinofil :2%
Basofil :0%
Neutrofil Stab :2%
Neutrofil Seg : 58 %
Lymfosit : 30%
Monosit :8%

E. DIAGNOSA KLINIS
Diagnosis praoperasi : Appendisitis akut
Diagnosis postoperasi : Post appendectomy
1. Status anastesi
Anestesi : Anestesi spinal
ASA I : Pasien sehat, tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol
atau mengonsumsi alkohol secara minimal
2. Tindakan
Dilakukan : Appendektomy
Tanggal : 05November 2019

3. Laporan anastesi
a. Persiapan Anestesi
- Informed concent
- Puasa (pengosongan lambung, penting untuk mencegah aspirasi isi
lambung karena regurgitasi. Untuk dewasa dipuasakan 6-8 jam
sebelum operasi).
- Pemasangan IV line

24
- Sudah terpasang jalur intravena menggunakan IV catheter ukuran 18
atau menyesuaikan keadaan pasien dimana dipilih ukuran yang paling
maksimal bisa dipasang.
- Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi O2.

b. Penatalaksanaan Anestesi
- Tanggal operasi : 05November 2019
- Jam rencana operasi : 10.00 WIB
- Mulai operasi : 10.20 WIB
- Selesai operasi : 11.10 WIB
- Lama Operasi : 50 menit
- Diagnosis prabedah : Appendisitis akut
- Diagnosis pascabedah : Appendisitis akut Post Appendectomy
- Macam operasi : Appendectomy
- Ahli bedah : dr. Am Dasmar, Sp.B
- Ahli anestesi : dr. Kiki Prayogi, M.Ked (An), SpAn
- Teknik anestesi : Spinal anestesi

Premedikasi :
- Ondansetron IV 1 ampul 4 mg
- Ketorolak IV 30 mg
Medikasi Intra Operatif:
- Bupivacain spinal15 mg
Medikasi Post Operatif :
- Ketorolac IV 30mg
- Dexametason
Teknik anestesi :
Pasien dalam posisi duduk, kepala menunduk, kemudian
menentukan lokasi penyuntikan di L3-L4, yaitu di atas titik hasil
perpotongan antara garis yang menghubungkan crista iliaca dekstra dan
sinistra dengan garis vertical tulang vertebra yang berpotongan di
vertebral lumbal IV.Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis

25
dengan kassa steril dan povidon iodine. Lalu dilakukan penyuntikkan di
titik L3-L4 paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan
menggunakan jarum spinal no. 27 G, kemudian jarum spinal dilepaskan
hingga tersisa kanulnya, lalu dipastikan bahwa LCS yang berwarna jernih
mengalir melalui kanul (ruang subarachnoid), kemudian obat anestesi,
yaitu Bupivacaine 12,5 mg disuntikkan dengan terlebih dahulu
melakukan aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang
subarachnoid. Setelah Bupivacain disuntikkan setengah volumenya
kembali dilakukan tindakan aspirasi LCS untuk memastikan kanul tidak
bergeser, lalu Bupivacaine disuntikkan semua.Setelah itu luka bekas
suntikan ditutup dengan kassa steril dan ditutup dengan plaster.Kemudian
pasien dibaringkan di meja operasi.
LCS keluar (+) jernih
Respirasi : Spontan
Posisi : Supine
Jumlah cairan yang masuk :
Kristaloid = 1500 cc (RL)
Perdarahan selama operasi = ± 60 cc
Pemantauan selama anestesi :
Mulai anestesi : 10.10 WIB
Mulai operasi : 10.20 WIB
Selesai operasi : 11.10 WIB
Tekanan darah, saturasi oksigen dan frekuensi nadi :
Waktu Tekanan darah Saturasi oksigen Nadi
10.20 105/75 mmHg 100% 65 x/ Menit
10.30 102/74 mmHg 100% 63 x / Menit
10.40 101/78 mmHg 100% 82 x/ Menit
10.50 96/68 mmHg 100% 75 x/ Menit
11.00 97/59 mmHg 100% 64 x/ Menit
11.10 122/81 mmHg 100% 82 x/ Menit

26
Skoring Aldrete :
Tanda Kriteria Nilai Saat Saat
masuk keluar
Aktivitas Dapat menggerakan ke-4 anggota badan sendiri/dengan 2 2 1
perintah
Dapat menggerakan ke-2 anggota badan sendiri/dengan 1
perintah
Tidak dapat menggerakan anggota badan 0
Respirasi Dapat nafas dalam dan batuk bebas 2 2 2
Dyspnoe atau nafas terbatas 1
Apnoe 0
sirkulasi TD ± 20 % dari pre anastesi 2 2 2
TD ± 20 % - 50 % dari pre anastesi 1
TD ± 50 % dari pre anastesi 0
kesadaran Sadar penuh 2 2 2
Dapat dibangunkan bila dipanggil 1
Tidak bereaksi 0
Saturasi >90 % dengan udara bebas 2 2 2
Memerlukan tambahan o2 untuk menjaga SpO2>90 % 1
SpO2 <90 % dengan tambahan O2 0
Skor ≥ 8 pasien diperbolehkan pindah dari ruang pemulihan total 10 9

F. Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

27
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pre Operatif


Persiapan anestesi dan pembedahan harus lengkap karena dalam
pemberian anastesi dan operasi selalu ada resiko. Persiapan yang dilakukan
meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien, dan persiapan obat
anestesi yang diperlukan. Penilaian dan persiapan penderita diantaranya
meliputi :
1. informasi penyakit ,
2. anamnesis/alloanamnesis kronologis penyakit,
3. riwayat alergi, riwayat sesak napas dan asthma, riwayat trauma, dan
riwayat operasi sebelumnya,
4. makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat anestesi),
5. Persiapan operasi yang tidak kalah penting yaitu informed consent,
suatu persetujuan medis untuk mendapatkan ijin dari pasien sendiri
dan keluarga pasien untuk melakukan tindakan anestesi dan operasi,
sebelumnya pasien dan keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai
risiko yang mungkin terjadi selama operasi dan post operasi. Setelah
dilakukan pemeriksaan pada pasien, maka pasien termasuk dalam
klasifikasi ASA I.

4.2 Intra Operatif


Pada beberapa kasus dapat diberikan premedikasi secara intravena
dengan ondansetron sebanyak 4 mg. Pemberian obat anti mual dan muntah
ini sangat diperlukan untuk mencegah adanya aspirasi dari asam lambung.
Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan umum pasien, jenis dan
lamanya pembedahan dan bidang kedaruratan. Pada pasien ini digunakan
teknik Regional Anestesi (RA) dengan Sub Arakhnoid Block (SAB), yaitu
pemberian obat anestesi lokal ke ruang subarakhnoid, sehingga pada

28
pasien dipastikan tidak terdapat tanda-tanda hipovolemia. Teknik ini
sederhana dan cukup efektif.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL 15 mg yang merupakan
anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan
menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh.
Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi saraf perifer jaringan tubuh,
bersifat reversibel. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang
(supine). Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak
dengan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari
perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang
punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan
pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol
dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan dengan arah
paramedian, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian
dipasang spuit 3 cc yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara
perlahan-lahan.
Pada pasien ini diberikan analgetik post operatif berupa ketorolac
30mg secara bolus IV dan tramadol 200mg yang dimasukkan ke dalam
futrolit 500mL 20 tetes permenit. Ketorolac adalah golongan NSAID
yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin. Ketorolac diberikan
untuk mengatasi nyeri akut jangka pendek post operasi, dengan durasi
kerja 6-8 jam.
Pada pasien ini berikan cairan infus RL (ringer laktat) sebagai
cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pasien
sudah tidak makan dan minum ± 11 jam, maka kebutuhan cairan pada
pasien dengan BB = 65 kg adalah :

Pemeliharaan cairan per jam: 2CC/KgBB/Jam


2cc x 51= 102 ml/jam
Pengganti defisit cairan puasa:
11 jam X 102 ml = 1122 ml

29
Kebutuhan kehilangan cairan saat pembedahan:

6 X 51 = 306 ml

Jumlah terapi cairan 1 jam pertama

= (50 % x defisit puasa ) + pemeliharaan + pendarahan operasi

= (50% x 1122) + 102 + 306

= 561 + 102 + 360

= 969 mL 2-3 kolf RL (kristaloid)

4.3 Post operatif


Setelah operasi selesai, pasien bawa ke ruang UPPA (unit perawatan
pasca anestesi). Pasien berbaring dengan posisi kepala lebih tinggi untuk
mencegah spinal headache, karena efek obat anestesi masih ada. Observasi
post operasi dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan vital sign
(tekanan darah, nadi, suhu dan respiratory rate), Oksigen tetap diberikan 2-3
liter/menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa ke ruangan.

30
BAB V

KESIMPULAN

Seorang perempuan usia 24tahun dengan diagnosis appendisitis


akutdilakukan apendektomi tanggal 05 November 2019. Tindakan anestesi yang
dilakukan adalah anestesi regional. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai
dengan indikasi anestesi regional. Anestesi dimulai 10.20 WIB dan selesai
anestesi 11.20WIB dengan durasi anastesi 60 menit. Anestesi spinal diperoleh
dengan cara menyuntikkan anastetik lokal kedalam ruang subarachnoid. Anestesi
spinal disebut juga sebagai analgesi atau blok spinal intradural. Induksi anestesi
dengan menggunakan Bupivacain 15 mg, serta oksigen 2-3 liter/menit. Untuk
mengatasi nyeri digunakan tramadol 200 mg.

Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan
kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional.Selama
durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif stabil sampai
operasi selesai.Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan
tidak didapatkan keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien
cukup stabil sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat biasa.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Dobson, Michel B. 2012. Penuntun praktis Anestesi. Prinsip terapi cairan


dan elektrolit. Jakarta : EGC
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Ed.2. Cet.V. Jakarta : Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2010
3. Guyton AC dan Hell JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.11.
Jakarta : EGC
4. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). Jakarta:Bagian Farmakologi FKUI.2006
5. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta 2014: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2014
6. Sjamsuhidayat R, W De Jong. Buku ajar ilmu bedah, edisi 3. Jakarta :
EGC 2010
7. Sudoyo W. A., Setiyohadi.B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Ed.5. Internal Publishing: Jakarta
8. Asdie Ahmad H. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. edisi 13
volume 4. Jakarta: EGC ; 2000
9. Snell R.S. 2007. Appendix. In: Clinical Anatomy by Regions. 8th ed.
Wolters Kluwer: Lippincott Williams & Wilkins
10. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Ikatan Dokter Spesialis Anestesi
Dan Reanimasi. Semarang 2002
11. Sabiston, DC. Buku Ajar Bedah Bagian 1.Jakarta:EGC.2009
12. Snell RS. Anatomi klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Ed.6. Jakarta :
EGC ; 2006

32

Anda mungkin juga menyukai