Anda di halaman 1dari 27

Case Report

PTERIGIUM STADIUM II-III OCULI DEXTRA ET SINISTRA

Oleh:
Raisa Mahmudah

0918011016

Arif Yudho Prabowo

0918011031

Eka Cania B

0918011040

Perceptor:
dr. H. Yul Khaizar, Sp. M.

SMF ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JEND. AHMAD YANI
METRO
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya
terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea (Khurana, 2007).
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Pasien yang
mengalami pterygium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik).
Kebanyakan gejala ditemukan saat pemeriksaan berupa iritasi, perubahan tajam
penglihatan, sensasi adanya benda asing atau fotofobia. Penurunan tajam
penglihatan dapat timbul bila pterygium menyeberang axis visual atau
menyebabkan meningkatnya astigmatisme.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik dokter muda di SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Jenderal
Ahmad Yani Kota Metro.

BAB II
CASE REPORT

2.1 IDENTITAS PASIEN


2

Nama

: Tn. MD

Umur

: 69 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Petani

Alamat

: Metro

Masuk RSAY

: 16 September 2014

2.2 ANAMNESA (Tanggal 16 September 2014)

Keluhan Utama

: Penglihatan semakin terasa kabur pada mata


kanan sejak 2 tahun.

Keluhan Tambahan

:Timbul selaput pada sudut mata yang semakin


lama

semakin

besar

disertai

perasaan

mengganjal dan sering merah serta berair jika


terkena angin pada kedua mata.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Mata RSAY Metro dengan keluhan penglihatan
kabur pada mata kanan sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan ini semakin terasa
bertambah sehingga mengganggu aktivitasnya. Pasien juga merasakan seperti ada
yang mengganjal pada kedua matanya sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan disertai
mata merah dan perih ketika terkena kena angin. Pasien mengatakan bahwa
terdapat selaput di sudut mata kanan bagian dalam sejak 2 tahun yang lalu.
Pasien mengaku selaput tersebut makin lama makin membesar dan menimbulkan
perasaan mengganjal. Selaput tersebut semakin lama semakin menganggu
penglihatan pasien. Keluhan ini sudah diderita pasien untuk kedua kalinya.
Pasien sudah pernah dioperasi 1 tahun yang lalu, tetapi kambuh lagi.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien dulu juga pernah mengalami penyakit serupa tahun 2 tahun yang lalu dan
sudah dioperasi 1 tahun yang lalu. Riwayat DM (-), HT (-) serta alergi (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga pasien ada yang menderita penyakit seperti ini yaitu anaknya.
Riwayat keluarga dengan kencing manis dan darah tinggi disangkal pasien.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 130/80 mmHg
Nadi
: 82 x/menit
Pernafasan
: 20 x/menit
Status Generalis
Kepala
- Bentuk
- Mata
- Hidung
- Telinga
- Mulut

: normochepal
: lihat status oftalmologi
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan

Status Oftamologis

Oculi Dextra
1

/2/60
Tidak dilakukan
Dalam batas normal
Edem(-), Spasme (-)
Edem(-), Spasme (-)
Dalam batas normal
Baik ke segala arah
Ortoforia, eksoftalmus (-)

Oculi Sinistra
Visus
Koreksi
Supersilia
Palpebra Superior
Palpebra Inferior
Silia
Gerak bola Mata
Bulbus Oculi

6/60
Tidak dilakukan
Dalam batas normal
Edem(-), Spasme (-)
Edem(-), Spasme (-)
Dalam batas normal
Baik ke segala arah
Ortoforia, eksoftalmus (-)
4

endoftalmus (-)
Injeksi konjungtiva (-),

endoftalmus (-)
Injeksi konjungtiva (-),

tampak selaput berbentuk

tampak selaput berbentuk

segitigadari nasal dan apex

Conjungtiva Bulbi

segitiga dari nasal dan apex

melewati limbus hingga

melewati limbus hingga tepi

tepi pupil 2mm


Hiperemi (-)

pupil 4mm
Hiperemi (-)

Hiperemi (-), Sikatrik (-)


Siliar injeksi (-)
Tampak bekas operasi 1

Conjungtiva Fornices
Conjungtiva
Palpebra
Sclera

tahun yang lalu dengan

Kornea

Hiperemi (-), Sikatrik (-)


Siliar injeksi (-)
Jernih, infiltrate (-), ulkus
(-)

jarak 4mm dari limbus


Kedalaman cukup, bening
Kripta (+) Warna: Coklat
Bulat, regular, sentral,
3 mm. Refleks cahaya
(+)
Shadow test (-)
Jernih
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
T (digital) normal
Dalam batas normal

Camera Oculi
Anterior
Iris
Pupil
Shadow test
Lensa
Fundus Refleks
Corpus Vitreum
Tensio Oculi
Sistem Canalis
Lakrimalis

Kedalaman cukup, bening


Kripta (+) Warna: Coklat
Bulat, regular, sentral,
3 mm. Refleks cahaya (+)
Shadow test (-)
Jernih
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
T (digital) normal
Dalam batas normal

2.4 Diagnosis Kerja


Pterigium Rekuren Stadium II-III Oculi Dextra et Sinistra
2.5 Diagnosa Banding
Pseudopterygium Oculi Dextra et Sinistra
Pinguekula Oculi Dextra et Sinistra
2.6 Penatalaksanaan
Non-medikamentosa
Lindungi mata dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
memakai kacamata hitam.
5

Medikamentosa

Antiobiotik dan antiinflamasi 3 kali sehari selama 5-7 hari


Pro-Operatif: Pterigium Ekstirpasi

2.7 Prognosis
Quo ad Vitam
Quo ad functionam
Quo ad Sanationam

: Bonam
: Dubia
: Dubia

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Mata


Menurut Skuta (2008) dan Fisher (2011), mata adalah suatu struktur sferis berisi
cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan-lapisan
tersebut adalah:
1. Sklera/kornea
2. Koroid/badan siliar/iris
3. Retina
4. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di
sebelah luar, sclera yang membentuk bagian putih.
5. Di anterior (ke arah depan), lapisan luar terdiri atas kornea transparan tempat
lewatnya berkas-berkas cahaya ke anterior mata.
6. Lapisan tengah di bawah sclera adalah koroid yang sangat berpigmen dan
mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk member makan retina.
7. Lapisan paling dalam di bawah koroid adalah retina, yang terdiri atas lapisan
yang sangat berpigmen disebelah luar dan sebuah lapisan saraf di dalam.
8. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor yang mengubah
energi cahaya menjadi impuls syaraf.

Gambar 1. Potongan melintang bola mata (Vaughan, 2002)


Struktur mata manusia berfungsi utama mengfokuskan cahaya ke retina.
Semuakomponen-komponen yang dilewati cahaya sebelum sampai ke retina
mayoritas berwarna gelap untuk meminimalisir pembentukan cahaya yang akan
difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan perubahan kimiawi pada sel
fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang impuls-impuls saraf ini dan
menjalarkannya ke otak (Fisher, 2011).
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea dilimbus (Voughan, 2010).
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata
dankelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola
mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan
forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus

sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut


membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang
bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior.
Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan
karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal.Pada bagian
lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus (Ang, 2006).

Gambar 2. Anatomi Konjungtiva


Menurut Ang (2006) dan Lang (2000), secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3
bagian:
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior
kelopakmata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi
konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam
kelopak mata.Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal,
tarsal, dan orbital.Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction
hingga konjungtiva proper.Punktum bermuara pada sisi medial dari zona
marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara
konjungtiva dengan sistem lakrimal.Kemudian zona tarsal konjungtiva

merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada


tarsus.Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen.Zona terakhir adalah
zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks.Pergerakan
bola mata menyebabkan perlipatan horizontal konjungtiva orbital, terutama
jika mata terbuka.Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.Konjungtiva
bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga
sclera di bawahnya dapat divisualisasikan.Konjungtiva bulbi melekat longgar
dengan sclera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak
ke segala arah.Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus
yang tertutup oleh kapsula tenon.Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi
menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.Lain
halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur
sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di
bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus
rektus.Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat
bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.
Konjungtiva

divaskularisasi

oleh

arteri

ciliaris

anterior

dan

arteri

palpebralis.Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak


vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaringjaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun di dalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan
pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus limfatikus.Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus.Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit (Voughan, 2010).
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan dan
avaskular. Sepertiga radius tengah disebut zona optik dan lebih cembung.Kornea
10

melenjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang, dan perbatasan antara


keduanya disebut limbus. Kornea terdiri atas lima lapisan dari lapisan terluar ke
lapisan dalam, yaitu epitel, membran Bowman, stroma, membran Descement,
dan endotel. Epitel (kira-kira 6 lapis) tidak mengandung lapisan tanduk sehingga
sangat peka terhadap trauma kecil.Membran Bowman merupakan selaput tipis
jaringan ikat fibrosa.Stroma merupakan lapisan yang paling tebal, yang terdiri
atas serabut kolagen yang tersusun teratur dan padat dan dilanjutkan dengan
membran Descement.Lapisan terdalam kornea ialah endotel yang terdiri atas satu
lapis endotel yang sel-selnya tidak bisa membelah (Hartono, 2007).

Gambar 3. Lapisan kornea


3.2 Pterigium
Definisi Pterigium
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.Pertumbuhan ini biasanya
terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea.Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea (Khurana, 2007).

11

Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan
berwarna merah. Pterigium sering mengenai kedua mata. Menurut Hamurwono
pterygium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan
berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan
puncak segitiga di kornea . Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron
yang artinya wing atau sayap (Ilyas, 2006).
Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dankering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang
seringmempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370
lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah
dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400(Laszuarni, 2009).
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2%
untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang
28-36 derajat. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya
meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk
daerah di bawah garis lintang utara ini (Fisher, 2011).
Pterigium relatif jarang di Eropa.Kebanyakan pasien berasal dari daerah dengan
garis

lintang

mengindikasikan

30-35

dari

bahwa

kedua
sinar

sisi

UV

equator.Distribusi
merupakan

faktor

geografis
risiko

ini
yang

penting.Pterigium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.Jarang sekali orang menderita pterigium umurnya di
bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi
yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi (Fisher, 2011).
Etiologi
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro
12

trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi
kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan
pterigium.Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterigium
merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan
banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya
berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan (Caldwel, 2012; Suharjo, 2007;
Voughan, 2010; Laszuarni, 2011).
Patofisiologi
Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen
suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa
adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta
akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada
sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis
tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi.Lapisan epitel dapat saja
normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia (Fisher,
2011).
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan
lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium.Orang
yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar
ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan
orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.Kelompok masyarakat yang
sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan
tukang kebun.Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial dan
termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter).

13

Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal.Penyebab dominannya


pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun
kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di
area tersebut.Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja
seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet
ke area nasal tersebut.Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki
bentuk yang menyerupai tumor.Karakteristik ini disebabkan karena adanya
kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti
selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia
dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan
pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada
kelainan degeneratf (Fisher, 2011).
a. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan

faktor

yang

penting

dalam

perkembanganterjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya


sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada
orang orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.
b. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen,
bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B
merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu
terjadinya

peningkatan

kolagenasi,

migrasi

seluler,

dan

angiogenesis.Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi


elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial.Kornea
menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler.
Faktor Risiko
Menurut Ilyas (2006), faktor risiko yang mempengaruhi antara lain:
a. Usia
14

Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui


pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.
b. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV.
c. Tempat Tinggal
Gambaran yang

paling mencolok

dari pterygium

adalah distribusi

geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali
lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
d. Jenis Kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
e. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan

secara

autosomaldominan.
f. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.
g. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah

dan

mikrotrauma

karena

partikel-partikel

tertentuseperti asap rokok, pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
pterygium.
Gejala Klinis
Pterygiumbiasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris,
karenakedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan
sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal
karena daerah nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Selain secara
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung (Kanskii, 2007).

15

Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara


bersamaanwalaupunpterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan
pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu
penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.Secara klinis muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yangmeluas ke kornea pada daerah
fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada
bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior
dari kepala pterygium(stokers line).
Pasien

yang

mengalami

pterygium

dapat

tidak

menunjukkan

gejala

apapun(asimptomatik). Kebanyakan gejala ditemukan saat pemeriksaan berupa


iritasi, perubahan tajam penglihatan, sensasi adanya benda asing atau
fotofobia.Penurunan tajam penglihatan dapat timbul bila pterygium menyeberang
axis visual atau menyebabkan meningkatnya astigmatisme.Efek lanjutnya yang
disebabkan membesarnya ukuran lesi menyebabkan terjadinya diplopia yang
biasanya timbul pada sisi lateral. Efek ini akan timbul lebih sering pada lesi-lesi
rekuren (kambuhan) dengan pembentukan jaringan parut. Pterigium dapat tidak
memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif, gatal, merah,
sensasi benda asing dan mungkin menimbulkan astigmat atau obstruksi aksis
visual yang akan memberikan keluhan gangguan penglihatan (Fisher, 2011;
Skuta, 2008).
Klasifikasi
Pterigium memiliki tiga bagian:
a. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri ataszona abu-abu pada kornea
yang

kebanyakan

terdiri

atas

fibroblast.

Area

ini

menginvasidan

menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron


line/Stockersline) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area korneayang kering.
b. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap,merupakan sebuah lapisan
vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.

16

c. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),
lembut,merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area
paling ujung.Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk
dilakukannya koreksi pembedahan (Solomon, 2010).

Gambar 4.Bagian-bagian pterigium

Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu:


1. Progresif pterygium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan
kepala pterygium (disebut cap pterygium).
2. Regresif pterygium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
Pembagian lain pterygium yaitu:
1. Tipe I: meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Tipe II: menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Tipe III: mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi
yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis

17

subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan


pergerakan bola mata.

Gambar 5.Stadium pterigium

Gambar 6.Derajat pterigium


Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, derajat pertumbuhan
pterygium dibagi menjadi:
1. Derajat 1: jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
3. Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)
18

4. Derajat 4: pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu


penglihatan.
Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal,
mata sering berair, ganguan penglihatan.Selain itu perlu juga ditanyakan adanya
riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada
daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan
riwayat trauma sebelumnya (Ardalan, 2010; Efstathios, 2009).
Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjuntiva.Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi
ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.Pterigium paling sering ditemukan
pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula
ditemukan pterigium pada daerah temporal (Jerome, 2012).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan histopatologik menunjukkan kerusakan epitel kornea dan membrane
bowman.Terdapat gambaran epitel yang ireguler dan degenerasi hialin dalam
stromanya.Kornea menunjukkan kerusakan pada lapisan bowman, biasanya
dengan perubahan inflamasi yang ringan.Lapis bowman kornea diganti oleh
jaringan hialin dan elastic.Epitelium dapat saja normal, tebal, atau tipis dan
biasanya menunjukkan displasia. Perubahan patologi yang terjadi terdiri dari
degenerasi elastoid kolagen, dan munculnya jaringan fibrovaskular sub epithelial
(Skuta, 2008).

19

Gambar 7.Histopatologi pterigium


Diagnosa Banding
Diagnosis

banding

pterigium

adalah

pinguekula

dan

pseudopterigium.

Pinguekulamerupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada


orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari,
debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan pinguekula adalah
bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang
bertumbuh besar, tetapi sering meradang (Ilyas, 2006).

Gambar 8.Pinguekula
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat.Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea,
sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan

20

sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea.Pseudopterigium


dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq.
Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9
(Khurana, 2007).

Gambar 9.Pseudopterigium

Tabel 1. Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium

Penatalaksanaan
Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati.Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik
21

dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi
atau mengalami kelainan pada kornea (INASCRS, 2011).
Operatif
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium.Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva
bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan.Tujuan
utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan
yang rendah.Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup
berat (INASCRS, 2011).
Menurut Nurwasis (2006), indikasi dilakukannya tindakan operatif pada
pterigium, yaitu:
1) Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2) Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3) Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4) Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Komplikasi
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah astigmat
karenapterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya
mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran dari pada
meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat.
Mekanisme pendataran dari meridian horizontal itu sendiri belum jelas. Hal ini
diduga akibat terbentuknya tear meniscus antara puncak kornea dan
peninggian pterigium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterigium adalah astigmat
with the rule dan irregular astigmat (Maheswari, 2007).
22

Komplikasi lain yang dapat disebabkan yaitu mata kemerahan, iritasi, luka
kronik dari konjungtiva dan kornea Komplikasi intra-operatif dapat terjadi
perforasi kornea atau sclera dan trauma pada muskulus rektus medial atau lateral.
Komplikasi post-operatif bisa terjadi infeksi, granuloma dan sikatriks kornea
(Drakeiron, 2009).
Prognosis
Pterigium

adalah

suatu

neoplasma

yang

benigna.Umumnya

prognosis

baik.Kekambuhandapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes


mata atau beta radiasi (Nurwasis, 2006).Eksisi pada pterigium pada penglihatan
dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baikdapat ditolerir pasien dan
disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidaknyaman,
kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya.
Pasiendengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi
dan graftingdengan konjungtiva/limbal autografts atau transplantasi membran
amnion pada pasien tertentu (Jerome, 2011).
Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan,
petani yangbanyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai
kacamata pelindung sinar matahari (Nurwais, 2006).

23

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki, 69 tahun, pekerjaan petani, datang dengan keluhan penglihatan kabur
pada mata kanan sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan ini semakin terasa bertambah
sehingga mengganggu aktivitasnya.Pasien juga merasa pada kedua matanya seperti
ada yang mengganjal sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan disertai mata merah dan perih
ketika terkena kena angin. Pasien mengatakan bahwa terdapat selaput di sudut mata
kanan bagian dalam sejak 2 tahun yang lalu yang makin lama makin membesar dan
menimbulkan perasaan mengganjal danmenganggu penglihatan pasien. Penyakit ini
sudah diderita pasien untuk kedua kalinya. Pasien sudah pernah dioperasi 1 tahun
yang lalu, tetapi kambuh lagi.
Pada pemeriksaan fisik mata, didapatkan VOD:

/2/60 dan VOS: 6/60 yang

menunjukkan ketajaman penglihatan pada kedua mata sudah berkurang. Pada


inspeksi mata didapatkan bahwa pada konjungtiva bulbi dextra dan sinistra bagian
nasal tampak selaput berwarna putih kemerahan berbentuk segitiga dari nasal dan
24

apex melewati limbus dan tepi pupil. Dari ciri-ciri tersebut, diagnosis mengarah pada
pterigium stadium II-III okuli dekstra.
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris) (Voughan, 2010). Pada pasien dapat
dirasakan penglihatan menjadi kabur disertai sensasi mengganjal disebabkan oleh
karena adanya penebalan pada konjungtiva bulbi dan sebagian kornea. Penebalan ini
diakibatkan adanya paparan sinar matahari (UV) dan iritasi kronik dari debu yang
dialami oleh mata.Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterigium akan berwarna merah(Ilyas, 2006). Oleh karena itu pada pasien ini disertai
oleh mata yang sering merah, perih dan berair.
Penatalaksanaan medikamentosa didasarkan pada mengurangi gejala yang muncul,
sehingga diberikan obat antiinflamasi dan antibiotik jika diperlukan. Tidak ada
pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk pterigium. Tujuan pengobatan
medikamentosa adalah untuk mengurangi peradangan. Bila terjadi peradangan dapat
diberikan steroid topikal. Tindakan pembedahan pada pterigium adalah suatu
tindakan bedah untuk mengangkat jaringan pterigium dengan berbagai teknik operasi.
Pembedahan pada pasien ini masih belum diperlukan karena tidak menggangu
penglihatan dan tidak menggangu aktivitas pasien. Selain itu, pasien sebelumnya
telah melakukan operasi terhadap keluhan yang sama pada mata tersebut sehingga
tindakan preventif agar tidak terjadi keluhan yang sama. Tindakan preventif yaitu
pasien disarankan untuk menggunakan kaca mata hitam guna menghindari faktorfaktor pencetusnya seperti sinar matahari langsung dan debu.

25

DAFTAR PUSTAKA

Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD.2010.Management of
Pterygium:Opthalmic Pearls.
Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD.2006.

Current Concepts and Techniques in

Pterigium Treatment.Curr Opin Ophthalmol.


Bruce James, Chris Chew, Anthony Bron. 2006. Lecture Notes Oftalmologi. Edisi
Kesembilan. Erlangga: Jakarta.
Ilyas, Sidharta. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 6. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.
Lang, Gerhad K. 2000. Conjungtiva.In: Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas.
Thieme Stutgart: New York.

26

Laszuarni.2009. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis


Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara: Medan.
Liang QF, Xu L, Jin XY, You QS, Yang XH and Cui TT. 2012. Epidemiology of
Pterygium in Aged Rural Population of Beijing, China. Chinese Medical Journal.
Nurwasis, dkk.2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bagian Ilmu Penyakit Mata.
Edisi III. Penerbit Airlangga: Surabaya.
Suhardjo, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi Pertama. Bagian Ilmi Penyakit Mata
FK UGM: Yogyakarta.
Vaughan, Daniel G. 2002. Oftalmologi Umum. Jakarta: Widya Medika
Voughan & Asbury. 2010. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC

27

Anda mungkin juga menyukai