Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

DERMATITIS SEBOROIK

Oleh :

Bima Saphien Alpanacea, S.Ked

19360086

Pembimbing :

dr. Arif Effendi, Sp.KK

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN

RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:

DERMATITIS SEBOROIK

Bandar Lampung, Okterber 2020

Penyaji Pembimbing

Bima Saphien A, S.Ked dr. Arief Effendi, Sp. KK


SKENARIO KASUS

Bayi H usia 6 Bulan diantar ibunya dengan keluhan timbul bercak disertai sisik pada

kepala, dada dan punggung sejak lebih kurang 10 hari yang lalu. Os tidak mengeluh demam,

os pernah diobati dengan Visancort krim namun tidak membaik. Os memiliki riwayah HIV

yang didapat dari orang tuanya.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan status generalis tampak sakit sedang, kesadaran

komposmentis. Status dermatologis ditemukan di region scalp, periaurikula, dan aurikula

tampak plak berwarna sama dengan kulit, skin colour hingga eritem sirkomkripta multiple

konkluen berukuran multiple, tampak juga adanya skuama kering kasar selapis hingga

berlapis disertai plak hingga papul kecoklatan berminyak multiple, dislek hingga konkluen

berukuran lentikuler sampai dengan tubuler. Pada regio torako abdominal posterior tampak

plak eritem sirkomkripta multiple konkluen berukuran plakat ditemukan adanya papul

eritem dengan dasar eritematus sirkumkripta. Tampak skuama kering selapis berwarna putih

sirkomkripta multiple ukuran plakat


RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN BANDAR LAMPUNG

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

I. IDENTIFIKASI PASIEN

Nama : Bayi H

Umur : 6 Bulan

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Gedong Tataan, Bandar Lampung.

Pekerjaan :-

Suku bangsa : Jawa

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

II. ANAMNESIS

Aloanamnesis dilakukan terhadap ibu pasien pada hari kamis, 29 Oktober 2020 pukul

14.00 WIB.

Keluhan utama : Timbul bercak disertai sisik pada kepala, dada dan

punggung sejak lebih kurang 10 hari yang lalu

Keluhan tambahan :-

Riwayat penyakit : Sejak 10 hari yang lalu, Bayi H usia 6 Bulan diantar

ibunya dengan keluhan timbul bercak disertai sisik pada

kepala, dada dan punggung. Os tidak mengeluh demam, os

pernah diobati dengan Visancort krim namun tidak


membaik. Os memiliki riwayah HIV yang didapat dari

orang tuanya.

Pengobatan yang pernah didapat : Visancort Cream namun tidak ada perubahan

Penyakit lain yang pernah diderita : Os Menderita HIV ( didapat dari orangtuanya )

III. STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Status gizi : Cukup

Tanda vital :

a. Tekanan darah : Tidak diukur

b. Nadi : 84 x/menit

c. RR : 20 x/menit

d. Suhu : 36,3 C

Berat badan : 7 Kg

Tinggi badan : 70 cm

KULIT
Warna : Warna kulit sawo matang.
Rambut : Tumbuh rambut pada permukaan kulit kepala,

hitam, lurus, tidak mudahdicabut


Turgor : Normal
KEPALA
Bentuk : Normocephali
MATA
Konjungtiva : Anemis (-/-), Reflek cahaya (+/+), Perdarahan

(-/-)
Sklera : Normal, warna putih
Pupil : Isokor
TELINGA
Aurikula : Nyeri tekan tragus (-) Serumen (-)
Meatus akustikus : Serumen (-), edem (-), eritem (-)

eksternus
Membran tympani : Hiperemis (-), perforasi (-) 
HIDUNG
: Polip (-), pernafasan cuping hidung (-/-)
Mukosa : Hiperemis (-), perdarahan (-)
Septum nasal Deviasi (-)
MULUT
Stomatitis :(-)
Labium oris : Sianosis (-), kering (+) pecah pecah (+)
Lingua : Lidah kotor (-)
Gingiva : Gingivitis (-)
TENGGOROKAN
Faringitis : (-)
Tonsilitis : (-)
Tonsil : Hiperemis (-)
Dentis : Karies dentis (-)
LEHER
Bentuk : Tidak ada kelainan,
KGB : Tidak teraba membesar
THORAX
Inspeksi : Warna sawo matang pada permukaan dada,

jaringan parut (-), gerakan simetris


Palpasi : Vokal fremitus pada semua lapang paru (Dextra

= Sinistra)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Aukultasi :Suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-),

ronkhi (-/-)
JANTUNG
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba
Perkusi : DBN
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Permukaan cembung, warna sama dengan kulit

sekitar
Auskultasi : Bising usus meningkat
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Turgor kulit dalam batas normal, masa (-), Nyeri

tekan abdomen (-) Hepar tidak teraba, Limfa tidak

teraba
GENITALIA : Tidak dilakukan pemeriksaan
PERIANAL : Tidak dilakukan pemeriksaan
EKSTREMITAS
Superior : Simetris, kekuatan otot 5/5, gerakan bebas,

edema(-),CRT < 2detik, sensoris baik


Inferior : Simetris, kekuatan otot 5/5, gerakan bebas,

edema (-), CRT < 2 detik, sensoris baik.

IV. STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi : Regio scalp, periaurikula, dan aurikula

Efloresensi : tampak plak berwarna sama dengan kulit, skin colour hingga eritem

sirkomkripta multiple konfluen berukuran multiple, tampak juga adanya

skuama kering kasar selapis hingga berlapis disertai plak hingga papul

kecoklatan berminyak multiple, dislek hingga konkluen berukuran

lentikuler sampai dengan tubuler.

Lokasi : Regio torako abdominal posterior

Efloresensi : Tampak plak eritem sirkumkripta multiple konfluen berukuran plakat

ditemukan adanya papul eritem dengan dasar eritematus sirkumkripta.

Tampak skuama kering selapis berwarna putih sirkomkripta multiple

ukuran plakatlentikuler sampai dengan tubuler.


UKURAN LESI KONFIGURAS E.F.PRIMER EF SKUNDER
Pungtata Multipel Linier Makula Krusta
Milier Diskret / konfluen Anuler Papula Erosi
Guttata Gyrata Vasikel Ekskonasi
Lentikuler Kribformis Pustul Ulkus
Numularis Arsiner Bula Skuama
Plakat E F. KHUSUS Nodulus Likenifikasi
Tubuler Komedo Nodus Vegetasi
Terowongan Plak Sikatriks
Purpura Urtika Abses
Eksanterna Kista
Milia Tumor

V. LABORATORIUM

Tidak Dilakukan

VI. RESUME

Bayi H usia 6 Bulan diantar ibunya dengan keluhan timbul bercak disertai sisik

pada kepala, dada dan punggung sejak lebih kurang 10 hari yang lalu. Os pernah

diobati dengan Visancort krim namun tidak membaik. Os memiliki riwayah HIV

yang didapat dari orang tuanya.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan status generalis tampak sakit sedang, kesadaran

komposmentis. Status dermatologis ditemukan di region scalp, periaurikula, dan

aurikula tampak plak berwarna sama dengan kulit, skin colour hingga eritem

sirkomkripta multiple konkluen berukuran multiple, tampak juga adanya skuama


kering kasar selapis hingga berlapis disertai plak hingga papul kecoklatan berminyak

multiple, dislek hingga konkluen berukuran lentikuler sampai dengan tubuler. Pada

regio torako abdominal posterior tampak plak eritem sirkomkripta multiple konkluen

berukuran plakat ditemukan adanya papul eritem dengan dasar eritematus

sirkumkripta. Tampak skuama kering selapis berwarna putih sirkomkripta multiple

ukuran plakat

VII. DIAGNOSA BANDING

A. Dermatitis Atopik

B. Psoriasis

C. Skabies

VIII. DIAGNOSA KERJA

Dermatitis Seboroik

IX. PENATALAKSANAAN

A. Umum (Non Medikamentosa)

 Istirahat yang cukup

 Gunakan obat secara obat teratur

 Makan – makanan yang bergizi

 Tetap menjaga kebersihan dengan tetap mandi

B. Khusus (Medikamentosa)

 Oral

 Celestamine syrup ( Betametasone 0,25 mg, dexchlorpheneramine maleate 2

mg) diberikan setengah sendok the 3 kali sehari

 Topikal
 Anti jamur golongan azol misalnya mikonazole krim dioleskan 2 kali sehari

sehabis mandi tiap pagi dan sore hari.

 Kortikosteroid yaitu betamethasone krim dioleskan 2 kali sehari pagi dan

sore hari

X. PEMERIKSAAN ANJURAN

Pemeriksaan mikologi kerokan kulit

XI. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : Ad bonam

Quo ad Fungsionam : Ad bonam

Quo ad Sanationam : Dubia

Quo ad komesticam : Ad bonam

XII. FOLLOW UP

Follow up tidak dilakukan karena pasien tidak dirawat inap.


TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia

(2017), Dermatitis seboroik (DS) adalah kelainan kulit papuloskuamosa kronis yang

umum dijumpai pada anak dan dewasa. Penyakit ini ditemukan pada area kulit yang

memiliki banyak kelenjar sebasea seperti wajah, kulit kepala, telinga, tubuh bagian atas

dan fleksura (inguinal, inframammae, dan aksila). Dan ditandai dengan pruritik kronik
dengan eritema, sisik dan krusta berwarna kuning di beberapa tempat seperti kulit kepala

dan disertai pengelupasan sejumlah besar ketombe (Dorland, 2015).

EPIDEMIOLOGI

Dermatitis seboroik adalah inflamasi kronik yang dapat menyerang semua

kelompok etnik (Sampaio, A.L.S.B., dkk, 2011). Pada populasi umum, diperkirakan angka

kejadian DS berkisar 1-5% (Collins dan Hivnor, 2017).

Di Indonesia prevalensi dermatitis cukup tinggi (67,8‰), tertinggi di Provinsi

Kalimantan Selatan (113‰), diikuti Sulawesi Tengah (105,8‰), DKI Jakarta (99,9‰),

Nusa Tenggara Timur (99,9‰), Nanggroe Aceh Darussalam (98,7‰). Prevalensi

terendah terdapat di Provinsi Sulawesi Barat (25,7‰) sedangkan Lampung (40,3‰)

(RISKESDAS, 2007). Penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto

Mangunkusumo, divisi Dermatologi Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin pada tahun

2008-2013 tercatat insidensi dermatitis seboroik sebesar 20,12% dari seluruh kasus

dermatitis (Legiawati dkk., 2017).

Menurut usia dermatitis seboroik terbagi menjadi dua grup yaitu pada usia bayi

dengan bentuk yang dapat sembuh dengan sendirinya, dan pada usia dewasa dalam

bentuk yang kronis (Collins dan Hivnor, 2017). DS mempunyai 2 masa puncak yaitu

pada 2-10 minggu pertama kehidupan (bayi) dan pada dekade keempat sampai ketujuh

dari kehidupan (Astindari dkk., 2014).

Laki-laki lebih rentan terkena dermatitis seboroik dibanding perempuan pada

semua rentang usia yang menunjukkan adanya kemungkinan hubungan dermatitis

seboroik dengan hormon seks seperti androgen (Sampaio, A.L.S.B., dkk, 2011).
FAKTOR PENCETUS

1. Aktivitas kelenjar sebasea

Produksi sebum terbesar pada kulit kepala, wajah, dada, dan punggung.

Produksinya dikontrol oleh hormon androgen. Pada bayi, kelenjar sebasea teraktivasi

oleh hormon androgen dari ibu. Komponen sebum terdiri dari kompleks trigliserid,

asam lemak, wax ester, sterol ester, kolesterol, kolesterol ester dan squalene. Saat

disekresi, kandungan sebum yang terdiri dari trigliserid dan ester, akan dipecah

menjadi digliserida, monogliserida, dan asam lemak bebas, oleh mikroba komensal di

kulit dengan bantuan enzim lipase. Pada penderita DS, trigliserid dan kolesterol

meningkat, namun squalene dan asam lemak bebas kadarnya menurun dibandingkan

orang normal. Asam lemak bebas terbentuk dari trigliserid melalui aktivitas lipase

yang yang diproduksi oleh P. acnes, dan bakteri ini jumlahnya sedikit pada DS. Hal

ini menandakan bahwa terdapat ketidakseimbangan mikrobial dan penyimpangan

komposisi lipid pada permukaan kulit. Pada penderita HIV yang tidak menderita DS

terjadi peningkatan squalene. Peningkatan kadar squalene dan trigliserid ini

menunjukkan terjadinya peningkatan produksi sebum dan aktivitas kelenjar sebasea.

Namun aktivitas lipase dapat terhambat baik oleh virus HIV atau secara tidak

langsung dihambat oleh faktor yang berhubungan dengan infeksi HIV (Gayatri dan

Barakbah, 2011).

2. Metabolit yang dihasilkan oleh jamur Malassezia

Malassezia membutuhkan lipid sebagai "sumber makanan" untuk tumbuh dan

berproliferasi. Jamur ini mendegradasi sebum (trigliserid) dengan bantuan enzim


lipase menjadi berbagai asam lemak. Namun Malassezia hanya mengkonsumsi asam

lemak yang sangat spesifik, yaitu saturated fatty acid untuk pertumbuhannya,

sedangkan unsaturated fatty acid ditinggalkan di permukaan kulit. Bentuk metabolit

unsaturated fatty acid yang paling banyak dijumpai adalah asam oleat, dan metabolit

inilah yang diduga berperan pada pembentukan skuama pada DS (Gayatri dan

Barakbah, 2011).

3. Sensitivitas individu terhadap metabolit jamur Malassezia.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa penyebab terjadinya DS bukanlah

disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan jamur Malassezia, namun karena

abnormalitas dari respon host. Hal tersebut juga dibuktikan dengan peningkatan

insidensi penyakit ini pada penderita imunokompromais. Belum diketahui dengan

jelas mengapa faktor imun dapat berpengaruh. Parry dan Sharpe menemukan bahwa

DS disebabkan oleh respon inflamasi terhadap toksin atau mediator yang dihasilkan

oleh jamur Malassezia. Mereka menyimpulkan bahwa DS merupakan suatu respon

iritasi terhadap jamur Malassezia. Dengan adanya muatan jamur yang tidak jauh

berbeda antara individu normal dengan penderita DS, maka diduga penderita DS

mungkin mempunyai predisposisi imunologis untuk terjadinya DS, dan penderita

imunokompromais menunjukkan respon keradangan yang berlebihan terhadap jamur

tersebut (Gayatri dan Barakbah, 2011).

4. Mekanisme imunologis

Pada penderita HIV diperkirakan terjadi perubahan kadar sitokin yang

mengakibatkan DS. Kadar Interferon-α dan Tumor Necrosis Factor meningkat pada

penyakit infeksi HIV. Sitokin ini mengakibatkan perubahan metabolisme lipid,


meningkatkan kadar trigliserid dan kolesterol dalam serum. Perubahan metabolisme

lipid tersebut diduga dapat meningkatkan sensitivitas terhadap mediator inflamasi

yang dihasilkan oleh Malassezia. Pertumbuhan Malassezia furfur yang berlebihan

akan menimbulkan peradangan, tidak hanya disebabkan oleh produk metabolit jamur

tersebut pada epidermis atau adanya sel-sel jamur pada permukaan kulit. Tetapi

mekanisme timbulnya peradangan adalah melalui sel Langerhans dan aktivasi

limfosit T oleh Malassezia atau produknya. Saat Malassezia furfur berikatan dengan

serum, maka ikatan tersebut akan mengaktifkan komplemen melalui direct and

alternative pathway (Gayatri dan Barakbah, 2011).

ETIOPATOGENESIS

Dermatitis seboroik tidak terjadi hanya diakibatkan dari satu etiologi saja yang

muncul. Etiologi dermatitis seboroik yang disebutkan sebelumnya akan saling

berhubungan satu sama lain sehingga muncul dermatitis seboroik. Terdapat beberapa

urutan patofisiologi terjadinya dermatitis seboroik berdasarkan etiologi yang ada seperti

ditunjukkan pada gambar 2.1 dan dijelaskan di bawah yaitu : (Schwartz dkk., 2013)
Gambar 2.1. Patofisiologi dermatitis seboroik. Jamur Malassezia menginfiltrasi stratum korneum,
memicu inflamasi, proliferasi/diferensiasi, dan kerusakan barier epidermis (Schwartz
dkk., 2013).

1. Infiltrasi Malassezia sp. pada stratum korneum epidermis

Malassezia sp. adalah yeast komensal pada daerah kaya sebum. Malassezia sp.

dapat menginfiltrasi stratum korneum dari epidermis. Malassezia sp. akan memecah

komponen sebum, (trigliserida menjadi asam lemak yang tersaturasi spesifik dan

asam lemak yang tidak tersaturasi spesifik) hal tersebut akan menimbulkan gejala

inflamasi dan sisik yang merupakan rangkaian patofisiologi Malassezia sp.

berikutnya seperti ditunjukkan pada gambar 2.2 (Schwartz dkk., 2012).


Gambar 2.2. Peran Malassezia dalam terjadinya DS. Koloni jamur Malassezia sp. mengekspresikan
enzim lipase untuk menghidrolisis trigliserida kemudian menggunakan asam lemak
tersaturasi untuk berproliferasi dan menghasilkan asam lemak tidak tersaturasi
yang akan memenetrasi barier epidermis dan memicu reaksi inflamasi, hiproliferasi,
dan menimbulkan flakes (Schwartz dkk., 2013: 131)

2. Inisiasi dan perkembangan proses inflamasi

Tahap ini akan timbul gejala berupa eritema, gatal, panas, rasa terbakar,

teranggunya kualitas dari rambut. Pada proses ini, gejala yang timbul tergantung dari

tingkat keparahan. Inisisasi dari proses inflamasi diakibatkan oleh teraktifasinya

mediator inflamasi karena infiltrasi dari Malassezia sp. Pada stratum korneum, sitokin

yang teraktifasi antara lain : interleukin-1α, interleukin-1ra, interleukin-8, tumor

necrosis factor –α (TNF- α), dan Interferon γ dan juga pengeluaran histamin.

Sehingga mengakibatkan tanda-tanda yang lebih dominan pada kejadian dermatitis

seboroik seperti sisik tipis dan gatal (Schwartz dkk., 2013).

3. Proses kerusakan, proliferasi, dan diferensiasi pada epidermis

Setelah Malassezia sp. memicu pengeluaran mediator inflamasi, mulai terjadi

proliferasi dan diferensiasi serta kerusakan yang lebih parah dari sebelumnya pada

kulit kepala. Ketika Malassezia sp. berkembang terjadi pemecahan trigliserida yang

menimbulkan iritasi dan hiperproliferasi epidermis. Keratinosit yang terbentuk

menjadi tidak matang dengan jumlah nukleus yang lebih banyak. Nukleus yang

jumlahnya lebih banyak akan mengalami retensi pada stratum korneum.

Hiperproliferasi dari epidermis menyebabkan adanya gambaran sisik pada kulit

kepala atau dengan bentuk bergelung seperti debu disebut dermatitis seboroik

(Schwartz dkk., 2013).

4. Kerusakan barier epidermis secara fungsional dan struktural


Kerusakan barier pada epidermis dapat menyebabkan transpidermal water loss

yang dapat menimbulkan rasa kering pada kulit kepala. Peryataan ini amat bertolak

belakang, karena pada keadaan dermatitis seboroik biasanya kulit kepala terasa

lembab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dermatitis seboroik dapat terjadi pada

kulit kepala yang kering maupun berminyak. Selain itu pada proses ini juga terjadi

perubahan dari struktur lamelar yang dibentuk seramides menjadi struktur lemak yang

tidak terstruktur (Schwartz dkk., 2013).

KLINIS

Dermatitis seboroik bisa ditemukan pada usia bayi dan dewasa (Astindari dkk.,

2014). DS sering terjadi pada bagian tubuh, seperti: wajah (87,7%), kulit kepala (70,3%),

dada (26,8%), tungkai bawah (2,3%), anggota tubuh bagian atas (1,3%) dan tempat lain

seperti lipatan tubuh (5,4%) (Sampaio, A.L.S.B., dkk, 2011).

Gambar 2.3. Lokasi tubuh


yang terkena dermatitis seboroik (Sampaio, A.L.S.B., dkk, 2011).
Dermatitis seboroik memiliki karakteristik yang berbeda tergantung pada usia

penderita (Sampaio, A.L.S.B., dkk, 2011). Dermatitis seboroik pada bayi, lazim disebut

dengan dermatitis seboroik infantil. Kelainan ini terjadi pada bulan pertama, biasanya

pada minggu ketiga dan keempat, tersering pada 3 bulan pertama dan akan menghilang

dengan sendirinya tanpa terapi pada usia 8-12 bulan. Tempat predileksi dermatitis

seboroik infantil terutama mengenai kulit kepala, alis, bulu mata, lipatan nasolabial, bibir,

telinga, dada, leher, lipatan paha, dan lipat bokong, dengan atau tanpa disertai rasa gatal

(Hajar, S., 2015).

Lesi kulit pada fase awal akan berupa plak eritema berbatas tegas, disertai skuama

berminyak sehingga memberikan gambaran “oily looking skin” , kadang disertai krusta

pada puncak kepala. Kelainan ini berupa krusta meliputi seluruh kulit kepala, menebal,

basah dan melekat disebut “cradle cup”, “crusta luteal” atau “milk crust”. Lesi yang

meluas ke wajah, retroauricular, lipatan nasolabial, leher, tubuh, dan ekstremitas

proksimal biasanya lebih kecil, lonjong atau bundar dengan skuama lebih putih/kering.

Kelainam kulit pada lipatan leher, umbilikus, aksila, dan popok berupa eritema berbatas

tegas ditutupi skuama kuning berminyak. Bila terjadi infeksi oportunistik oleh candida,

lesi ini menjadi maserasi, dikelilingi lesi satelit, terdapat rasa gatal ringan, tidak terdapat

gangguan tidur ataupun menyusu (Hajar, S., 2015).

Dermatitis seboroik yang mirip Dermatitis seboroik infantil


dengan psoriasis pada wajah
Gambar 2.4 Dermatitis seboroik infantil (Astindari dkk., 2014).

Dermatitis seboroik infantil dapat meluas menjadi generalisata, namun keadaan

umum tetap baik dan perkembangan bayi tetap normal. Bila eritema dan skuama

bertambah parah, generalisata disertai pengelupasan kulit, perlu dipertimbangkan suatu

penyakit leiner. Penyakit leiner atau erythroderma desquamatikcum, adalah penyakit

akut jarang dijumpai, diduga sebagai defisiensi imun berkaitan dengan penyakit disfungsi

komplemen C5, terjadi gangguan fungsi opsonisasineutrofil terhadap sel ragi. Penderita

tampak sakit berat, ditandai dengan dermatitis seboroik infantil generalisata, anemia,

diare hebat, dan muntah (Hajar, S., 2015).

Pada orang dewasa, DS bersifat kronis dan bisa kambuh, biasanya terjadi eritema

ringan sampai sedang hingga menjadi papul, eksudatif dan / atau lesi skuamosa dengan

periode eksaserbasi yang berkaitan dengan stres dan kekurangan tidur. Lesi terdiri dari

makula atau plak tipis dengan batas yang jelas berwarna merah muda, kuning atau

eritematosa, biasanya halus, putih kering, bahkan dapat lembap atau berminyak dan

adanya sisik berwarna kekuning-kuningan. Gejala ini terbatas untuk dapat terjadi di area

tubuh yang kecil. Namun, telah dilaporkan gejala ini dapat menjadi generalisata dan

bahkan eritroderma. Faktor penyulit utama dalam lesi adalah infeksi bakteri sekunder,

yang meningkatkan eritema dan eksudat, ketidaknyamanan pada area tersebut, dan

limfadenomegali pada daerah yang terkena dampak. Lesi berkembang pada bagian tubuh

yang memproduksi sebum secara tinggi seperti kulit kepala, wajah, telinga luar, daerah

retroauricular dan presternal, kelopak mata dan lipatan tubuh (Sampaio, A.L.S.B., dkk,

2011).
Lesi pada kulit kepala mulai dari deskuamasi ringan (pityriasis simplex capillitii)

hingga honey-colored crusts yang benar-benar menempel di kulit kepala dan rambut,

yang mungkin atau tidak mungkin menjadi alopecia areata (pseudo tinea amiantacea).

Jika lesi pada wajah, mulai dari glabella, daerah malar, lipatan nasolabial, dan alis.

Keterlibatan kelopak mata mengarah ke blepharitis. Pada pria, area jenggot mungkin juga

berpengaruh terhadap lesi DS. Di bagian tubuh yang membentuk lipatan (aksila,

umbilikus, inguinal, inframammary dan daerah anogenital), lesi bisa menjadi lembab,

tampak maserasi dengan eritema di dasar dan sekitar lesi. Di area presternal, lesi

mungkin lebih eritematosa dan bersisik dengan pola arciform (psoriasiform) di

perbatasan lesi atau dalam bentuk kelopak bunga (sisik di atas luka) (Sampaio, A.L.S.B.,

dkk, 2011).

KLASIFIKASI

Menurut daerah lesinya, dermatitis seboroik ini di bagi menjadi tiga (Harahap,

M., 2015) :

1. Seboroik kepala

Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna

kekuning-kuningan sehingga rambut saling melengket; kadang-kadang dijumpai

krusta yang disebut Pityriasis Oleosa (Ptyriasis steatoides). Kadang-kadang

skuamanya kering dan berlapis-lapis dan sering lepas sendiri, disebut pitiriasis

sika (ketombe). Bisa pula jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok,

sehingga terjadi alopesia dan rasa gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga
(retro aurikularis), Bila meluas, lesinya dapat sampai ke dahi, disebut korona

seboroik. Dermatitis seboroik yang dijumpai pada kepala bayi disebut topi buaian

(Cradle Cap) (Harahap, M., 2015).

Menurut Hajar (2015), lesi dermatitis seboroik pada kulit kepala dapat

dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu:

a. Pityriasis sicca

Tipe lesi dermatitis seboroika yang kering, biasanya berawal dari bercak

yang kecil yang kemudian meluas ke seluruh kulit kepala berupa deskuamasi

kering, sering disertai rasa gatal, dan kadang-kadang disertai inflamasi ringan

dengan membentuk skuama halus (ketombe/Dandruff ). White Dudruff yang

asimptomatis pada kulit kepala disebut dengan Pityriasis sicca (Hajar, S., 2015).

b. Pityriasis steatoides

Tipe lesi dermatitis seboroik yang basah, ditandai oleh skuama yang

berminyak berwarna kuning disertai eritema ringan sampai berat dan akumulasi

krusta yang tebal. Pada tipe yang berat dapat disertai dengan erupsi

psoriasiformis, eksudat, krusta yang kotor serta bau yang busuk, dengan rasa gatal

pada kulit kepala dan lubang telinga. Keadaan ini dikenal sebagai lesi rekuren

kronis, dan disebut juga sebagai dermatitis seboroik klasik pachy dermatitis

seborrheic (James, W.D., dkk, 2016).

2. Seboroik muka

Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabial, dagu, dan lain-lain

terdapat makula eritem, yang di atasnya dijumpai skuama berminyak berwana

kekuning-kuningan. Bila sampai ke palpebra, bisa terjadi blefaritis. Sering


dijumpai pada wanita. Bila didapati di daerah berambut, seperti dagu dan atas

bibir, dapat terjadi folikulitis. Hal ini sering dijumpai pada laki-laki yang sering

mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik muka di daerah jenggot disebut sikosis

barbe (Harahap, M., 2015).

3. Seboroik badan dan sela-sela

Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframamma,

umbilikus, krural (lipatan paha, perineum, nates). Dijumpai ruam berbentuk

makula eritema yang pada permukaannya ada skuama berminyak berwarna

kekuning-kuningan. Pada daerah badan, lesinya bisa berbentuk seperti lingkaran

dengan penyembuhan sentral.

Di daerah intertrigo, kadang-kadang bisa timbul fisura sehingga

menyebabkan infeksi sekunder (Harahap, M., 2015).

Seboroik Kepala Seboroik Muka

Seboroik Badan Seboroik Ketiak


DIAGNOSIS

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (2017),

kriteria diagnostik dari dermatitis seboroik secara klinis terdiri:

1. Anamnesis

a. Pada bayi biasanya terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan. Sering disebut cradle

cap. Keluhan utama biasanya berupa sisik kekuningan yang berminyak dan

umumnya tidak gatal.

b. Pada anak dan dewasa, biasanya yang menjadi keluhan utama adalah kemerahan

dan sisik di kulit kepala, lipatan nasolabial, alis mata, area post aurikula, dahi dan

dada. Lesi lebih jarang ditemukan di area umbilikus, interskapula, perineum dan

anogenital. Area kulit yang kemerahan biasanya gatal. Pasien juga dapat

mengeluhkan dermatitis seboroik (Pitiriasis sika). Keluhan dapat memburuk jika

terdapat stressor atau cuaca dingin.

c. Pada bayi umumnya bersifat swasirna sementara cenderung menjadi kronis pada

dewasa.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pada bayi, dapat ditemukan skuama kekuningan atau putih yang berminyak dan

tidak gatal. Skuama biasanya terbatas pada batas kulit kepala (skalp) dan dapat

pula ditemukan di belakang telinga dan area alis mata. Lesi lebih jarang

ditemukan di lipatan fleksura, area popok dan wajah.

b. Pada anak dan dewasa dapat bervariasi mulai dari:


1. Dermatitis seboroik dengan skuama halus atau difus, tebal dan menempel

pada kulit kepala

2. Lesi eksematoid berupa plak eritematosa superfisial dengan skuama terutama

di kulit kepala, wajah dan tubuh

3. Di dada dapat pula menunjukkan lesi petaloid atau pitiriasiformis.

c. Apabila terdapat di kelopak mata, dapat disertai dengan blefaritis.

d. Dapat meluas hingga menjadi eritroderma

DIAGNOSIS BANDING

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (2017),

diagnosis banding dari dermatitis seboroik, ialah:

1. Pada bayi : dermatitis atopik, skabies, psoriasis

2. Pada anak dan dewasa : psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis kontak, impetigo,

tinea

3. Di lipatan : kandidiasis intertriginosa, kandidosis kutis

PENATALAKSANAAN

Pengobatan pada dermatitis seboroik tidak menyembuhkan secara permanen

sehingga terapi dilakukan berulang saat gejala timbul. Tatalaksana yang dilakukan antara

lain :

1. Sampo yang mengandung obat anti Malassezia, misalnya : selenium sulfida, zinc

pirithione, ketokonazol, berbagai sampo yang megandung ter dan solusio terbinafine

1%.
2. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurang jumlah sebum pada kulit dapat

dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun lunak. Pertumbuhan jamur

dapat dikurangi dengan krim imidazol dan turunannya, bahan antimikotik di daerah

lipatan bila ada gejala.

3. Skuama dapat diperlunak dengan krim yang mengandung asam salisilat atau fulfur.

4. Pengobatan simtomatik degan kortikosteroid topikal potensi sedang. Immunosupresan

topikal (takrolimus dan pimekrolimus) terutama untuk daerah wajah sebagai

pengganti kortikosteroid topikal.

5. Metronidazol topikal, siklopiroksolamin, talkasitol, benzoil peroksida dan salep

litium suksinat 5%.

6. Pada kasus yang tidak membaik dengan terapi konvensional dapat digunakan terapi

sinar ultraviolet-B (UVB) atau pemberian itrakonazole 100mg/hari per oral selama 21

hari.

7. Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi, pada dermatitis seboroik yang

luas dapat diberikan prednisolon 30mg/hari untuk respons cepat (Jacoeb, T.N.A.,

2015).

PROGNOSIS

Walaupun banyak perawatan untuk dermatitis seboroik, kekambuhan sangat

sering terjadi, biasanya kambuh selama bertahun-tahun. Pencegahan dermatitis seboroik

telah dikembangkan dan dapat membantu mengurangi tingkat keparahan penyakit,

diantaranya termasuk peningkatan gaya hidup, asupan nutrisi dan paparan sinar matahari

(Picardo dan Cameli, 2014).

Untuk prognosis dari dermatitis seboroik, ialah:


Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanactionam : dubia

Dermatitis seboroik pada bayi bersifat swasirna. Sementara pada dewasa bersifat

kronis dan dapat kambuh (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia,

2017).

Jawaban Pertanyaan Laporan Kasus Bima Saphien A ( Dermatitis Seboroik )

1. Jawaban pertanyaan Bima Apakah diperlukan obat anti fugal sistemik ? ( Hesti Riksawati
)
Tidak perlu, Penanganan Dermatitis Seboroik kulit kepala pada bayi lebih
sederhana, seperti keramas rutin dengan sampo bayi dan menyikat dengan lembut untuk
melepaskan sisik. Penggunaan petrolatum putih setiap hari dapat membantu melunakkan
skuama. Jika hal tersebut masih kurang membantu, maka dapat digunakan sampo
ketokonazol 2% sampai terjadi perbaikan gejala. Manfaat klinis krim anti inflamasi non
steroid yang memiliki sifat anti jamur terbukti dapat mengurangi sisik secara signifikan
dibandingkan plasebo.

2. Mengapa masalah belum teratasi dengan visancort cream ? ( Elisa Febrina )

Kandungan dari visancort cream adalah Hydrocortisone 10 mg, Cliquinol 10 mg,


Camphor 10 mg dimana diindikasikan untuk Dermatitis Kontak atau Atopik, Dermatitis
Ekzematous, Jerawat berisi nanah, Urtikaria, Neuro-dermatitis, Likhen Simplex khronik,
Pruritus, Folikulitis, Dermatosis bakterial & mikotik, Intertrigo. Sedangkan pada kasus
Dermatitis seboroik yang disebabkan oleh jamur maka akan lebih tepad bila digunakan
salp yang kandungannya anti jamur seperti ketokonazol cream 2% dan salp anti jamur
lainnya.

3. Mengapa prognosis quo ad sanationamnya dubia ? ( Fani Santika Hermawan )

Dermatitis seboroik pada bayi bersifat swasirna, Walaupun banyak perawatan


untuk dermatitis seboroik, kekambuhan sangat sering terjadi, biasanya kambuh selama
bertahun-tahun. Pencegahan dermatitis seboroik telah dikembangkan dan dapat
membantu mengurangi tingkat keparahan penyakit, diantaranya termasuk peningkatan
gaya hidup, asupan nutrisi dan paparan sinar matahari

DAFTAR PUSTAKA

Astindari, A., Sawitri, S. and Sandhika, W., 2014. Perbedaan Dermatitis Seboroik dan Psoriasis
Vulgaris Berdasarkan Manifestasi Klinis dan Histopatologi. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin, 26(1), pp.1-7.

Collins, C.D. dan Hivnor, C., 2017. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine (Edisi 8).
United States: The McGrawHill Companies.

Dorland, K.K., 2015. Edisi 29. EGC, Jakarta.

Gayatri, L., & Barakbah, J. 2011. Dermatitis seboroik pada HIV/AIDS. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit & Kelamin, 23(3), 229-33.

Hajar, S., 2015. Manifestasi Klinis Dermatitis Seboroik Pada Anak. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala, 15(3), pp.175-178.
Harahap, M., 2015. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates

Jacoeb, T.N.A., 2017. Dermatitis seboroik. In: Menaldi SLS, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin (7th ed). Badan Penerbit FKUI, pp.232-233.

James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M., Neuhaus, I.M., 2016. Andrews’ Diseases of the Skin
Clinical Dermatology (Edisi 12). Philadelphia: wB Saunders.

Legiawati, L., Yusharyahya, S.N., Sularsito, S.A. and Setyorini, N.D., 2017. Insidens Penyakit
Kulit di Divisi Dermatologi Geriatri Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo Tahun 2008-2013. PERDOSKI, pp.20-26.

Picardo, M., Cameli, N., (2014). Evidence-based dermatology. London: BMJ Publishing Group.

Sampaio, A.L.S.B., Mameri, Â.C.A., de Sousa Vargas, T.J., Ramos-e-Silva, M., Nunes, A.P. and
da Silva Carneiro, S.C., 2011. Continued Medical Education. An Bras Dermatol, 86(6),
pp.1061-74.

Schwartz, J.R., DeAngelis, Y.M. and Dawson Jr, T.L., 2012. Dandruff and seborrheic dermatitis:
A head scratcher. Practical Modern Hair Science, 1, pp.389-413.

Widaty, S., Soebono, H., Nilasari, H., Listiawan, M. Y., Siswati, A. S., & Triwahyudi Danang,
D. 2017. Panduan praktek klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia.
Jakarta: Perdoski.

Anda mungkin juga menyukai