PENDAHULUAN
Batuk kronik berulang pada anak cukup banyak dijumpai dalam praktek
sehari-hari. Pada pasien anak, gejala batuk yang kronik atau berulang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari, mengurangi nafsu makan, dan pada akhirnya
dapat mengganggu proses tumbuh kembang. Orang tua juga akan terganggu
terutama bila gejala batuk lebih sering dan lebih berat pada malam hari. Batasan
batuk kronik bermacam-macam, ada yang mengambil batas 2 minggu atau 3
minggu. Ada pula yang membagi batuk menjadi batuk akut, subakut, dan kronik.
Antara batuk kronik dan batuk berulang seringkali sulit dibedakan. Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) menganut batasan tersendiri yaitu batuk kronik berulang
(b.k.b) yang mencakup pengertian batuk kronik di dalamnya. Dua fungsi utama
batuk, pertama sebagai mekanisme pertahanan respiratorik; kedua sebagai gejala
yang mengindikasikan adanya gangguan/kelainan/penyakit di sistem respiratorik
umumnya, dan sebagian di luar sistem respiratorik. Batuk akan timbul bila
reseptor batuk terangsang. Pada anak, berbagai hal, keadaan, atau penyakit dapat
bermanifestasi sebagai batuk. Sebagian besar etiologi berasal dari sistem
respiratorik, sebagian kecil karena kelainan di sistem non-respiratorik. Untuk
mendeteksi etiologi batuk, pemahaman tentang mekanisme batuk termasuk lokasi
reseptor batuk sangat penting diketahui. Dengan pemahaman itu, kita akan tetap
ingat bahwa batuk kronik juga dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit di
luar sistem respiratorik. Pasien anak dengan batuk kronik dibagi menjadi dua
kelompok, tanpa kelainan dasar yang nyata serta anak relatif tampak sehat, dan
pasien dengan kelainan respiratorik yang nyata. Perlu pula diketahui etiologi yang
sering timbul pada berbagai kelompok umur anak. Langkah diagnostik dimulai
dari penggalian anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang yang relevan. Tata laksana batuk kronik pada anak ditujukan kepada
penyakit dasarnya.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Batuk adalah suatu refleks dari saluran napas bagian bawah terhadap
stimulasi iritan atau reseptor batuk pada mukosa saluran napas.2
Batuk dalam bahasa latin disebut tussis yang merupakan fungsi protektif
dari sistem pernafasan manusia. Refleks ini bertujuan untuk membantu
membersihkan saluran pernapasan dari lendir, iritan, partikel asing, maupun
mikroba. Namun, batuk juga merupakan gejala suatu penyakit.3
2
(KONIKA) V tahun 1981 di Medan dan Unit Kerja Koordinasi Respirologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) telah disepakati
bahwa BKB adalah keadaan klinis oleh berbagai penyebab dengan gejala
batuk yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan/atau batuk yang
berulang sedikitnya 3 episode dalam 3 bulan berturut, dengan atau tanpa
disertai gejala respiratorik atau non-respiratorik lainnya.1
2.3 Epidemiologi
Untuk menentukan etiologi batuk kronik berulang, faktor usia merupakan
petunjuk yang cukup penting, misalnya pada bayi sebagai penyebab utama
adalah GER (gastro-esophageal reflux) sedangkan pada anak yang lebih
besar, asma sebagai penyebab utama.6
3
Tabel 2. Diagnosis banding batuk kronik berulang pada anak.2
BATUK BERULANG
Reaktivitas bronkus; alergi (asma)
Drainase dari saluran napas bagian atas
Infeksi saluran napas yang sering dan berulang pada pasien dengan
imunodefisiensi
BATUK KRONIK
Hipersensitivitas reseptor batuk pasca infeksi
Asma
Sinusitis kronik
Bronkitis, trakeitis karena infeksi kronik. Biasanya pada perokok aktif
maupun pasif
Bronkiektasis, termasuk cystic fibrosis, primary ciliary dyskinesia,
immunodefisiensi
Aspirasi benda asing
Aspirasi berulang karena faring inkompeten, tracheolaryngoesophageal
cleft, fistula trakeoesofageal
Refluks gastro-esofagus
Pertussis
Tekanan pada traktus trakeobronkial (vascular ring, neoplasma, kelenjar
getah bening, kista paru-paru)
Trakeomalasia, bronkomalasia
Tumor endobronkial atau endotrakeal
Tuberkulosis endobrokial
Psikogenik
Iritan yang terinhalasi. Misalnya tembakau
Iritasi liang telinga luar
4
Tabel 3. Diagnosis banding batuk kronik berulang berdasarkan usia.1
Asma
Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan Asma sebagai
gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak peran sel, khususnya sel
mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi tersebut dapat
menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang
paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan
nafas terhadap berbagai rangsangan.9,10,11
5
Diagnosis klinis Asma dapat dipikirkan apabila ada gejala seperti sesak
napas atau kesulitan bernapas, batuk, dan mengi berulang. Gejala episodik
tersebut dapat terjadi setelah terpapar alergen atau iritan seperti asap rokok;
aktivitas fisik, dan perubahan musim. Riwayat penyakit atopi pada pasien
ataupun keluarganya juga sangat membantu dalam penegakkan diagnosis.12
Cough-variant Asthma (pasien Asma yang memiliki keluhan utama batuk
kronik) sering terjadi pada anak dan batuk lebih parah pada malam hari.10,11
Pemeriksaan fisik abnormal yang paling sering ditemukan pada pasien
Asma adalah wheezing saat auskultasi, yang menandakan adanya keterbatasan
aliran udara. Namun, pada beberapa pasien Asma, wheezing dapat tidak
terdengar atau hanya terdengar saat pasien melakukan ekspirasi paksa.10,11,12
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk pasien usia diatas 5 tahun
adalah pemeriksaan fungsi paru untuk melihat adanya keterbatasan aliran udara,
abnormalitas fungsi paru yang reversibel, dan membantu penegakkan diagnosis.
Instruksi kepada pasien untuk melakukan ekspirasi paksa sangat penting untuk
diperhatikan. Derajat volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) yang
mengindikasikan diagnosis Asma adalah ≥12% dan ≥200 mL dari nilai sebelum
pemberian bronkodilator. Pemeriksaan untuk melihat adanya keterbatasan aliran
udara adalah dengan rasio FEV1 dengan kapasitas vital paksa (FVC). Rasio
normal pada anak adalah 0.90, apabila hasilnya kurang dari nilai normal, hal itu
menandakan adanya keterbatasan aliran udara. Arus ekspirasi puncak (PEF) juga
bermanfaat untuk diagnosis dan monitor penyakit Asma.13
6
Bagan 1. Alur diagnostik Asma pada anak.12
Bronkitis
Bronkitis adalah peradangan (inflamasi) pada selaput lendir (mukosa)
bronkus (saluran pernafasan dari trakea hingga saluran napas di dalam paru-
paru). Peradangan ini mengakibatkan permukaan bronkus membengkak
(menebal) sehingga saluran pernapasan relatif menyempit. Bronkitis terbagi atas
2 jenis, yakni: bronkitis akut dan bronkitis kronis. Perlu diingat bahwa istilah
akut dan kronis adalah terminologi (istilah) berdasarkan durasi berlangsungnya
7
penyakit, bukan berat ringannya penyakit. Bronkitis akut pada umumnya ringan.
Berlangsung singkat (beberapa hari hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14
hari. Meski ringan, namun ada kalanya sangat mengganggu, terutama jika
disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan. Kebanyakan
bronkitis pada anak yaitu bronkitis akut yang terjadi pada anak < 2 tahun dengan
puncak 9-15 tahun, sedangkan bronkitis kronis dapat terjadi pada semua usia
namun lebih banyak > 45 tahun.14 Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak
dapat berwarna jernih, putih, kuning kehijauan, atau hijau. Selain batuk,
bronkitis akut dapat disertai gejala berikut ini:
Demam (biasanya ringan)
Sesak napas, rasa berat bernapas
Bunyi napas mengi
Rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada
Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi
saluran pernafasan lainnya. Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti
gejala–gejala infeksi saluran respiratori seperti rinitis dan faringitis. Batuk
biasanya muncul 3 – 4 hari setelah rinitis. Batuk pada mulanya keras dan
kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan
produktif. Karena anak–anak biasanya tidak membuang lendir tapi
menelannya, maka dapat terjadi gejala muntah pada saat batuk keras dan
memuncak. Pada anak yang lebih besar, keluhan utama dapat berupa produksi
sputum dengan batuk serta nyeri dada pada keadaaan yang lebih berat. 14,15
Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal.
Seiring perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai
macam ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing ataupun suara
kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologis biasanya normal atau didapatkan
corakan bronkial. Pada umumnya gejala akan menghilang dalam 10 -14 hari.
Bila tanda – tanda klinis menetap hingga 2 – 3 minggu, perlu dicurigai adanya
infeksi kronis. Selain itu dapat pula terjadi infeksi sekunder. 14,15
Bronkitis bakterial persisten (BBP) ditandai dengan adanya batuk
produktif kronik disertai resolusi dengan pemberian antibiotik yang adekuat
8
seperti Amoksisilin-klavulanat yang diberikan selama 2 minggu, namun
beberapa pasien membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beresolusi, yaitu
4-6 minggu. Apabila BBP tidak respon terhadap antibiotik, maka diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kondisi lain seperti
imunodefisiensi, fibrosis sistik, diskinesia silia primer, atau penyakit paru
supuratif kronik.16
Pertussis
Pertussis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh
Bordetella pertussis. Gejala klinis muncul setelah masa inkubasi, yaitu fase
kataral yang berlangsung selama 1-2 minggu. Pada fase ini pasien sangat
menular. Saat fase kataral hampir selesai, batuk lebih parah baik dari frekuensi
atau intensitas. Fase berikutnya adalah paroksismal yang berlangsung selama 3-6
minggu, yang ditandai dengan batuk ‘whoop’, muntah, sianosis, sampai apnea.
Gejala akan mereda saat fase konvalesen, yang dapat berlangsung hingga
beberapa bulan. Gejala klinis dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti usia, jenis
9
kelamin, dan status imunisasi. Frekuensi penderita Pertussis meningkat pada
anak yang terlalu kecil saat divaksin, anak usia muda, dan dewasa. Hal ini terjadi
karena imunitas terhadap Pertussis yang mulai menurun saat anak mulai besar.18
Pemeriksaan kultur dan polymerase chain reaction dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi infeksi B. pertussis, namun sensitivitasnya hanya tinggi pada
fase awal penyakit.18
Refluks gastro-esofagus
Refluks gastro-esofagus (GERD) merupakan kelainan esofagus yang
sering ditemukan. Pada refluks gastroesofagus terjadi pergerakan isi gaster
secara retrogard ke esofagus melalui sfingter esofagus distal. Walaupun
terkadang refluks ini sifatnya fisiologis, pada GERD fenomena ini terjadi dalam
episode yang sering dan persisten dan menyebabkan esofagitis atau gangguan
esofagus lain serta dapat menyebabkan sekuel gangguan pernafasan. Transient
Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR) merupakan mekanisme
primer yang menyababkan refluks, hal ini diatur oleh refleks vasovagal yang
serabut eferennya mengatur Lower Esophageal Sphincter (LER). Distensi gaster
(sehabis makan, penuh udara) merupakan stimulus utama terjadinya TLESR.
Faktor lain seperti obesitas, makanan dengan volume besar, batuk dan mengi
juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam gaster. Isi gaster (bersifat
asam) yang refluks ke esofagus dapat menyebabkan inflamasi dan dapat
menyebabkan gangguan pada saluran nafas bawah bila masuk ke laring dan
bronkus.19
Pada bayi, manifestasi klinisnya adalah tanda-tanda esofagitis (rewel, tidak
mau makan, tersedak), regurgitasi, dan menyebabkan gagal tumbuh. Gejala
hilang secara spontan pada usia 12-24 bulan. Pada anak yang lebih besar dapat
mengeluh nyeri perut dan dada. Gejala sistem respirasi berbeda pasa setiap usia.
Pada bayi gejala yang terjadi seperti apnea obstruktif atau stridor karena terjadi
komplikasi laringomalasia. Pada anak lebih tua gejala yang sering terjadi adalah
asma, laringitis dan sinusitis.19 Batuk pada GERD dapat terjadi karena beberapa
mekanisme; (1) regurgitasi isi lambung yang bersifat asam ke laringofaring
10
dapat menyebabkan inflamasi yang berpengaruh terhadap sensitisasi saraf
perifer yang mengatur batuk, (2) Batuk dapat terjadi karena stimulasi dari
“mikro” atau “silent” aspirasi, yang diakibatkan oleh aktivasi direk reseptor
batuk di trakeobronkial oleh refluks isi lambung, (3) Refluks esofagus distal
mengakibatkan batuk melalui stimulasi vagal, yang diketahui sebagai refleks
esofago-bronkial.20
Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik,
persisten atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-
perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen elastis, otot polos
brokus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Brokus yang terkena
umumnya adalah bronkus ukuran sedang, sedangkan bronkus besar umumnya
jarang. Etiologi bronkiektasis tersering adalah fibrosis sistik, yaitu penyakit
autosomal resesif dengan kelainan utama pada paru dengan gambaran umum
bronkiektasis. Bronkiektasis berhubungan dengan fibrosis kistik terjadi secara
sekunder karena terkumpulnya mukus pada jalan napas bagian atas dan
terjadinya infeksi kronis. Pada bronkiektasis dengan penyebab infeksi yang
merupakan penyebab tersering, dilatasi pada bronkus terjadi karena destruksi
pada dinding bronkus. Peradangan saluran napas terutama dimediasi oleh
neutrofil dan menghasilkan enzim seperti elastase dan matriks metaloproteinase.
Komponen dinding bronkus seperti tulang rawan, otot, silia dan jaringan elastis
hancur dan digantikan oleh jaringan fibrosa. Dinding bronkus yang telah terjadi
dilatasi banyak mengandung sekret purulen yang pengeluarannya terganggu
karena rusaknya silia sehingga dapat menyumbat aliran udara.21
Gejala klinis bronkiektasis pada anak adalah batuk kronik produktif yang
durasinya > 6 minggu, biasanya diantara infeksi virus (Apabila ada kecurigaan
aspirasi benda asing, harus dilakukan rontgen toraks setelah 2 minggu);
wheezing yang tidak respon terhadap terapi, resolusi parsial dari pneumonia
11
berat atau pneumonia berulang, crackles persisten, sesak napas, gangguan
pertumbuhan (failure to thrive).22
Post-nasal drip
Post-nasal drip dapat menyebabkan batuk kronik pada anak. Namun,
mekanismenya masih belum diketahui pasti. Beberapa peneliti mengatakan
bahwa sekret dari hidung atau sinus yang mengalir ke hipofaring dan laring
dapat menstimulasi reseptor batuk lokal. Pada penelitian yang dilakukan oleh
WJ Fokkens dapat diketahui dari 60% pasien sinusitis kronis atau polip yang
sering mengalami post-nasal drip, 74% nya mengalami batuk kronik.17
Post-nasal drip adalah gejala, bukan penyakit. Diagnosis bandingnya
sangat luas, termasuk rinitis alergika, rinitis vasomotor, infeksi virus atau
bakteri, dan polip hidung.17
12
Anomali trakeobronkial
Anomali trakeobronkial dapat menyebabkan batuk kronik.
Trakeobronkomalasia dapat berdiri sendiri atau bagian dari suatu sindrom,
seperti VACTERL. Trakeo-esofageal fistula (TOF) atau laryngeal cleft
menyebabkan batuk akibat aspirasi, terutama saat makan. Berbagai penyebab
kompresi saluran napas atau stenosis, termasuk di dalamnya coarctation of the
aorta, malformasi pembuluh darah juga dapat menyebabkan batuk kronik. Anak
akan mengalami batuk “seal-like” seperti menggonggong. Kompresi pada
trakea seperti vascular rings, kista, hemangioma, dan massa mediastinum juga
dapat menyebabkan batuk kronik. Seiring berjalannya waktu (seringkali dalam
tahun), kartilago trakea menjadi lebih kuat dan gejala batuk akan berkurang.7,17
Tuberkulosis
Diagnosis tuberkulosis harus dipikirkan pada pasien dengan batuk kronik
produktif, batuk darah, demam, penurunan berat badan, pasien yang tinggal di
lingkungan prevalensi tinggi TBC, dan pasien dengan resiko seperti
imunodefisiensi. Pemeriksaan fisik dan penunjang (rontgen toraks) anak dengan
TBC mungkin normal, karena itu pemeriksaan seperti sputum dan mantoux
dapat membantu diagnosis.23
13
Psikogenik
Batuk psikogenik memiliki karakteristik batuk kronik kering tanpa adanya
penyakit yang mendasari atau yang biasa disebut batuk “tic-like” (batuk kering
berulang yang menetap setelah infeksi saluran pernapasan yang tidak begitu
parah) atau terdengar seperti bunyi klakson (honking cough). Batuk biasanya
terjadi pada aktivitas siang hari dan menghilang saat tidur. Terapi seperti
pengalihan perhatian anak terhadap batuknya dan hipnosis dapat dilakukan.17
14
Tabel 5. Anamnesis untuk mengarah ke diagnosis batuk kronik.25
Anamnesis Contoh Kemungkinan diagnosis
Bagaimana batuk Sangat akut Aspirasi benda asing
pertama kali muncul?
Wheezing Asma
Aspirasi benda asing
Kompresi saluran napas
Trakeobronkomalasia
15
Imunodefisiensi
Diskinesia silia primer
Tuberkulosis
Bronkitis bakterial
persisten
16
menelan
Produktif, Aktivitas, Malam hari, Minggu- Bronkitis
crackles, infeksi musim dingin tahun bakterial
gangguan saluran persisten,
pertumbuhan napas Bronkiektasis
(Fibrosis
sistik),
diskinesia silia,
TBC
17
Pemeriksaan fisik dapat sangat membantu dalam menentukan penyebab
dari batuk kronik berulang. Tumbuh kembang dan status nutrisi pasien, jari tabuh,
postnasal drip, tanda-tanda alergi: geographic tongue, allergic shinners, Dennie
crease; kelainan pada toraks: asimetri, bentuk (pectus excavatum, pectus
carinatum), perkusi: hipersonor, redup, dan pada auskultasi dapat didengar ronki,
wheezing.26
Pemeriksaan penunjang seperti hematologi dapat ditemukan anemia yang
diakibatkan oleh hemosiderosis pulmonal atau eosinofilia yang menyertai asma
dan reaksi hipersensitivitas lainnya pada paru-paru. Infiltrat pada radiografi dada
dapat menunjukkan fibrosis sistik, bronkiektasis, benda asing, hipersensitivitas
pneumonitis, atau tuberkulosis. Apabila pasien dengan kemungkinan diagnosis
asma, dapat dipastikan dengan uji bronkodilator. Apabila batuk tidak respon
terhadap terapi, prosedur diagnostik spesifik lainnya dapat dilakukan, seperti
evaluasi imunologik dan alergi, radiologi dada dan sinus paranasal, esofagogram,
uji pada gastroesofageal refluks, tes mikrobiologi seperti rapid viral testing,
evaluasi morfologi silia, dan bronkoskopi. Pemeriksaan spesimen sputum dapat
membantu evaluasi batuk kronik berulang. Sputum eosinofilia menunjukkan
asma, bronkitis asmatik, atau hipersensitivitas pada paru-paru. Sel
polimorfonuklear pada sputum menunjukkan infeksi. Apabila tidak dilakukan
pemeriksaan sputum, eosinofilia pada sekret nasal juga dapat menunjukkan
penyakit atopi. Apabila kebanyakan sel di sputum adalah makrofag,
hipersensitivitas reseptor batuk paska infeksi dapat dipikirkan. Foto toraks perlu
dibuat pada hampir semua anak dengan batuk kronik untuk menyingkirkan
kelainan respiratorik bawah dan patologi kardiovaskular. Rontgen toraks mungkin
tidak diindikasikan jika gangguan tertentu ringan (asma). Namun, rontgen dada
yang normal tidak selalu menyingkirkan kelainan signifikan seperti bronkiektasis
sehingga pencitraan lebih lanjut mungkin diperlukan. Prevalensi tuberkulosis di
Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia; oleh karena itu skrining tuberkulosis
dengan uji tuberkulin perlu dilakukan pada anak-anak, terlebih dengan gejala
batuk kronik. Foto sinus paranasalis terindikasi pada pasien dengan sinusitis
18
disertai sekret purulen, batuk yang bertambah pada posisi telentang, nyeri daerah
frontal, dan nyeri tekan/ketuk pada daerah wajah.2,
19
Bagan 3. Alur diagnosis batuk kronik berulang pada anak.
2.6 Tatalaksana
Tatalaksana batuk kronik tergantung pada penyakit dasar sebagai
etiologinya. Pada keadaan infeksi bakteri maka pemberian antibiotik
merupakan pilihan utama sedangkan pada asma pemberian bronkodilator
sebagai obat utamanya, demikian juga yang lainnya. Namun pada keadaan
tertentu diperlukan pengobatan suportif lain seperti misalnya mukolitik,
fisioterapi, dan lain-lain. Secara garis besar tatalaksana batuk kronik dibagi
dalam 2 kelompok besar yaitu farmakologik dan non farmakologik.
20
a. Farmakologik
Tatalaksana farmakologi pada batuk dikenal sebagai obat utama
dan obat suportif. Yang termasuk obat utama adalah antibiotik,
bronkodilator, dan antiinflamasi, sedangkan yang termasuk suportif adalah
mukolitik dan antitusif. Pada batuk kronik dengan penyebab utama infeksi
bakteri maka pengobatan utamanya adalah antibiotik. Jenis antibiotik yang
diberikan tergantung dugaan etiologinya, misalnya pada faringitis yang
diduga bakteri maka pilihan utama adalah golongan penisilin sedangkan
pada rinosinusitis sebagai pilihan utama adalah kombinasi amoksislin dan
asam klavulanat.27 Pada pneumonia atipik pilihan utama adalah makrolid
dan lain-lain. Selain pilihan antibiotik yang berbeda juga perlu
diperhatikan lamanya pemberian antibiotik misalnya faringitis bakteri
cukup dengan 7 hari sedangkan pada rinosinusitis diberikan selama 3
minggu. Penyebab batuk kronik yang sering adalah asma sehingga
pengobatan utama pada saat serangan asma adalah bronkodilator dan
sehari-hari di luar serangan dapat diberikan long acting beta-2 agonist
(sebagai ajuvan terhadap obat pengendali utama yaitu steroid inhalasi).28
Selain pengobatan utama beberapa kasus diberikan obat suportif seperti
mukolitik dan antitusif.29 Cara kerja mukolitik ada beberapa mekanisme
yaitu meningkatkan ketebalan lapisal sol, mengubah viskositas lapisan gel,
menurunkan kelengketan lapisan gel, dan meningkatkan kerja silia. Selain
mukolitik beberapa keadaan dapat mempengaruhi kondisi tersebut di atas
yang dapat bekerja sama yaitu hidrasi yang cukup, obat-obat beta-2 agonis,
antitusif dan lain-lain. Selain bekerja dengan mekanisme tersebut di atas
mukolitik dapat pula memecah ikatan mukoprotein atau ikatan disulfid
dari sputum sehingga sputum mudah untuk dikeluarkan. Antitusif
merupakan obat suportif lain yang diberikan pada batuk kronik tetapi
penggunaan antitusif terutama bagi anak-anak harus dipertimbangkan
secara hati-hati. Pemberian antitusif justru akan membuat sputum tidak
dapat keluar karena menekan refleks batuk yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan sputum selain antitusif pun dapat menurunkan kerja silia.29
21
Antitusif perlu dipertimbangkan pada kasus pertusis yang dapat terjadi
apnea akibat batuk yang berat sehingga tidak dapat inspirasi karena
batuknya. Pada keadaan tersebut antitusif dapat diberikan tetapi secara
umum pemberian antitusif sedapat mungkin dihindarkan. Pada asma
pemberian antitusif merupakan kontraindikasi karena akan memperberat
keadan asmanya.22
b. Non farmakologik
Selain tatalaksana farmakologik diperlukan pula penatalaksanaan
non farmakologi seperti pencegahan terhadap alergen, pengendalian
lingkungan, dan hidrasi yang cukup.30 Pada penyakit yang hanya timbul
akibat adanya pajanan alergen maka faktor pencegahan terhadap alergen
merupakan hal yang harus dilakukan misalnya pencegahan terhadap asap
rokok, tungau debu rumah, atau makanan tertentu yang menyebabkan
alergi. Selain itu pengaturan lingkungan seperti kebersihan lingkungan dan
pengaturan suhu serta kelembaban merupakan hal yang perlu diperhatikan.
Dengan suasana lingkungan yang baik maka tatalaksana batuk kronik
menjadi lebih baik. Hidrasi yang cukup dapat berperan sebagai faktor yang
memudahkan terjadinya pengeluaran sekret lebih baik. Dengan hidrasi
yang cukup dapat mengubah ketebalan lapisan sol dan menurunkan
viskositas lapisan gel serta menurunkan kelengketan lapisan gel sehingga
proses pengeluaran sekret menjadi lebih mudah.30
22
BAB III
KESIMPULAN
Batuk kronik berulang adalah batuk dengan durasi 2 minggu atau lebih
dan/atau batuk yang berulang sedikitnya 3 episode dalam 3 bulan berturut,
dengan atau tanpa disertai gejala respiratorik atau non-respiratorik lainnya.
Untuk menentukan etiologi batuk kronik berulang, dapat didahului oleh
spekulasi etiologi yang paling sering di masyarakat (asma, GERD, dan infeksi
saluran napas atas atau bawah), kemudian dilakukan pendekatan diagnostik
dengan cara anamnesis mendalam, pemeriksaan fisik yang teliti, dan dari situ
dapat ditentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk membantu
menyingkirkan diagnosis banding dan menegakkan diagnosis kerja. Etiologi
yang jarang terdapat di masyarakat memang agak sulit untuk ditegakkan
diagnosisnya, sehingga pemeriksaan penunjang yang dapat menjadi gold
standart untuk penyakit tersebut harus dilakukan. Tatalaksana batuk kronik
tergantung dari penyakit yang mendasarinya dengan mempertimbangkan usia
sebagai faktor pertimbangan untuk mencari etiologi. Selain tatalaksana
farmakologik diperlukan tatalaksana non farmakologik untuk menunjang
tatalaksana secara komprehensif dalam penanganan batuk kronik.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Setyanto, DB. Batuk Kronik pada Anak: masalah dan tatalaksana. Sari
Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004: 64-70.
2. Kliegman RM, Stanton BF, Geme ST, Schor NF, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier; 2011; p. 376.
3. Guyton AC. Textbook of Medical Physiology 11th Edition. Philadephia:
Elsevier, 2006.
4. De Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax 2003; 58:
998-1003.
5. Irwin RS, Madison JM. The diagnosis and treatment of cough. N Engl J
Med 2000; 343: 1715-21.
6. Supriyatno B. Batuk Kronik pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Universitas Indonesia. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6,
Juni 2010.
7. De Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax 2003; 58:
998-1003.
8. Joseph J, Benich, Carek JP. Evaluation of the Patient with Chronic Cough.
American Family Physician. Volume 84, Number 8 October 15, 2011.
9. Levya ML, Fletcher MB, Pricec DB, Hausend T, Halbert RJ, Yawng BP.
International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines:
Diagnosis of respiratory diseases in primary care. Primary Care
Respiratory Journal (2006) 15, 20—34.
10. Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, Bousquet J, Drazen JM, FitzGeralde
M, et al. Global strategy for asthma management and prevention: GINA
executive summary. Eur Respir J 2008; 31: 143–178.
11. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and
prevention asthma in children. 2005.
12. Konsensus Nasional Anak Asma. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi,
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 –
66.
13. Pellegrino R, Viegi G, Brusasco V, et al. Interpretative strategies for lung
function tests. Eur Respir J 2005; 26: 948–968.
14. Sidney S. Braman. Chronic Cough Due to Acute Bronchitis :ACCP
Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest Journal.
2006;129;95S-103S.
15. Kliegman RM, Stanton BF, Geme ST, Schor NF, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier; 2011; p. 382.
16. Shields MD, Thavagnanam S. The Difficulty Coughing Child: Prolonged
Acute Cough in Children. Shields and Thavagnanam Cough 2013, 9:11.
17. Morice AH, Fontana GA, Sovijarvi ARA, Pistolesi M, Chung KF,
Widdicombe J. The diagnosis and management of chronic cough. Eur
Respir J 2004; 24: 481–492
18. Alberto E. Tozzi, Celentano LP, Atti LC, Salmaso S. Diagnosis and
Management of Pertussis. CMAJ. FEB. 15, 2005; 172 (4).
19. Orenstein S, Peters J, Khan S, Youssef S, Hussain Z. Gastroesophageal
Reflux Disease. In: Nelson Textbookof Pediatrics. Kliegman RM,
24
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. 18 th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2007.
20. Sylvester DC, Karkos PD, Vaughan C, Johnston J, Dwivedi RC, Atkinson
H, and Kortequee S. Review article: Chronic Cough, Reflux, Postnasal
Drip Syndrome, and the Otolaryngologist. International Journal of
Otolaryngology.
21. King PT. The Patophysiology of Bronchiectasis. International Journal of
COPD 2009:4 411–419.
22. McNamara D. Brochiectasis: rates still increasing among Pacific people.
BPJ issue 46.
23. Pottermore PK. Persistent cough in children. Nzfp vol 34 number 6,
December 2007.
24. Lubis HM. Batuk Kronik Berulang (BKB) pada Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Sumatera Utara. 2005.
25. Shields MD, Bush A, Everard ML, McKenzie S, Primhak R.
Recommendations for the assessment and management of cough in
children. Thorax 2008;63(Suppl III):iii1–iii15.
26. Chang AB, Landau LI, Asperen PP, Glasgow NJ, Robertson CF, Marchant
JM, et al. Cough in children: definitions and clinical evaluation Position
statement of the Thoracic Society of Australia and New Zealand. MJA
Volume 184 Number 8: 17 April 2006.
27. Jeffrey D, Kennedy DW. Treatment Options for Chronic Rhinosinusitis.
Proceedings of the American Thoracic Society Vol 8 2011.
28. Bousquet J, Clark TJH, Hurd S, Khaltaev N, Lenfant C, O'Byrne P, et al.
GINA guidelines on asthma and beyond. Allergy 2007: 62: 102–112.
29. American Academy of Pediatrics. Use of Codeine-and Dextromethorphan-
Containing Cough Remedies in Children. PEDIATRICS Vol. 99 No. 6
June 1997.
30. Department of Child and Adolescent Health and Development. World
Health Organization. Cough and Cold Remedies for the Treatment of
Acute Respiratory Infection in Young Children. WHO: 2001.
25