Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

TATALAKSANA BATUK PADA ASMA DAN PPOK

Disusun oleh:
M. Zainul Fikri 22004101034

Dosen Pembimbing:
dr. Dedy Sasongko, Sp.P

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM


KEPANITERAAN KLINIK MADYA
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2021
TATALAKSANA BATUK PADA ASMA DAN PPOK

Pendahuluan
Batuk merupakan upaya pertahanan paru terhadap berbagai rangsangan yang ada
dan refleks fisiologis yang melindungi paru dari trauma mekanik, kimia dan suhu. Batuk
menjadi patologis bila dirasakan sebagai gangguan. Batuk seperti itu sering merupakan
tanda suatu penyakit di dalam atau diluar paru dan kadang berupa gejala awal dari suatu
penyakit. Batuk merupakan gejala tersering penyakit pernapasan dan masalah yang
sering kali dihadapi dokter dalam praktik sehari-hari (Tamaweol et al., 2016).
Batuk adalah tindakan refleks dari saluran pernapasan yang digunakan untuk
membersihkan saluran napas atas. Batuk yang berlangsung selama lebih dari 8 minggu
disebut batuk kronis. Penyebab batuk bisa berasal dari kebiasaan merokok, paparan asap
rokok, dan paparan polusi lingkungan (Pavort et al., 2008). Penelitian berskala besar
menemukan bahwa prevalensi batuk pada negara USA sebanyak (18%) dari 1109 orang
batuk kronis yang disebabkan kebiasaan merokok. Survei berskala besar juga dilaporkan
di negara Sweden sebanyak (11%) batuk tidak produktif; (8%) batuk produktif; (38%)
batuk yang terjadi malam hari, dari ketiga hal tersebut diperoleh sebanyak 623 orang
(usia 31 tahun) yang disebabkan asma, rhinitis alergi, relux lambung, dan merokok
(Chung and Pavord, 2008). Data survey European Respiratory Society terhadap 18.277
subyek dengan usia 20-48 tahun, dimana dilaporkan batuk nokturnal sebanyak 30%,
batuk produktif 10% dan batuk non produktif 10%.
Beberapa penelitian telah dilakukan tentang hubungan antara batuk kronis
dengan polusi udara. Batuk kronis menjadi perhatian utama di negara berkembang,
sebagai tanda gangguan saluran pernafasaan, seperti tuberkolosis paru (TB). Gejala
batuk terus menerus yang berlangsung selama 2-3 minggu dapat diduga sebagai indikasi
penyakit TB di beberapa negara Asia Tenggara (Song et al., 2015).
Definisi Batuk
Batuk adalah proses eksipirasi yang eksplosif yang memberikan mekanisme
proteksi normal untuk membersihkan saluran pernafasan dari adanya sekresi atau benda
asing yang mengganggu. Batuk bukan penyakit, tetapi gejala atau tanda adanya
gangguan pada saluran pernafasan. Di sisi lain, batuk juga merupakan salah satu jalan
menyebarkan infeksi. Batuk yang berlebihan dan mengganggu merupakan keluhan
paling sering yang menyebabkan pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan
pengobatan.
Etiologi Batuk
Batuk seringkali disebabkan oleh infeksi virus, disertai dengan adanya eksaserbasi
asma atau penyakit paru obstruksi kronis, atau juga bisa karena pneumonia. Pada
kondisi lain juga dapat dipertimbangkan, tergantung gejala yang menyertainya, seperti
pulmonary embolism (PE), atau heart failure (HF). Tuberculosis (TB) juga dapat
dipertimbangkan sebagai diagnosis mengingat angka kasusnya yang tinggi dibeberapa
negara seperti di Indonesia, terlepas dari durasi gejalanya. Infeksi saluran nafas atas
juga termasuk penyebab yang sering, juga asma, GERD, bronkitis. Hal lain yang dapat
menjadi penyebab batuk adalah obat-obatan, entah batuk akut, subakut, maupun kronis.
Berdasarkan hal diatas, penyebab utama batuk dapat dikelompokkan jadi beberapa
kategori yaitu Infeksi, disease-related, dan medication-related cough.

Reflek batuk dapat dipicu oleh beberapa inflamasi atau reaksi


mekanis pada slauran pernafasan, dengan cara menghisap senyawa kimia
atau mekanis yang bersifat iritan, biasanya pada laring, carina, dan beberapa
tempat bronkus. Reseptor saraf sensori menilainya dengan rapidly adapting
receptors (RARs), slowly adapting receptors (SARs) atau C-Fibre receptors.
RARs distimulasi oleh asap rokok, senyawa asam, dan cairan basa (cairan
hipotonik, hipertonik, stimulasi mekanis, congesti paru, atelektasis,
bronkokonstriksi, dan pengurangan tahanan paru yang menyebabkan batuk.
C-fibre receptors sangat sensitive dengan senyawa kimia seperti
bradykinin (mediator sel yang keluar saat inflamasi), capsaidn (ekstrak cabai),
dan ion hydrogen, sering kali disebut chemosensor.7 
Gambar 1 : Etiologi batu
5

Diagnosis
Anamnesa memegang peranan sebesar 80% dalam menegakkan diagnosa
penyebab batuk yang menetap. Dalam anamnesa tentang batuk yang merupakan
keluhan utama penderita perlu ditanyakan mengenai lamanya batuk, frekuensi
serangan, waktu-waktu serangan, factor pencetus, apakah dimulai dengan bersin atau
tidak, dan sebagainya.
Batuk akut berdurasi kurang dari 3 minggu, umumnya disebabkan oleh
infeksi saluran pernapasan, aspirasi, atau inhalasi bahan kimia tertentu. Infeksi
saluran nafas dapat disebabkan oleh virus maupun bakteri, umumnya merupakan self
limiting disease atau yang berarti dapat sembuh total dengan sendirinya tetapi
membutuhkan waktu dalam 1 sampai 2 minggu untuk terbebas dari infeksinya. Batuk
akut dapat lanjut ke batuk subakut maupun kronis. Batuk dapat pula menjadi gejala
kondisi yang membahayakan, seperti emboli paru, gagal ginjal kronik, atau

pneumonia.8,10
Gambar 2 : Batuk akut
Batuk subakut berdurasi 3 – 8 minggu, biasanya merupakan sisa infeksi
trakea dan bronkus seperti pada pertusis atau sindrom tusif postviral. Batuk yang
merupakan sisa dari infeksi biasanya disebabkan oleh postnasal drip, iritasi saluran
nafas atas, akumulasi mucus, atau bronki hiperesponsif terkait asma. 8,10 Pertusis
adalah diagnosis penyakit yang penting pada batuk sub akut. Dikarenakan insiden
pertusis naik walaupun sudah tinggi tingkat imunisasinya. Banyak dari kasus pertusis
tidak terdiagnosis pada orang dewasa. Pada pasien pertusis, batuk bertambah parah 2
minggu atau lebih, jika diikuti dengan ISPA ataupun common cold. Jika batuk
muncul serangan dengan berat secara tiba-tiba atau muntah setelah batuk atau dengan
inspirasi stridor atau suara whoop, diagnosis pertusis harus ditegakkan. Usap
6

tenggorok dan kultur, jika positif tegak diagnosisnya. Often, the diagnosis must be
made on clinical grounds and then confirmed by serology. Pertusis memiliki 3 fase:
1. Fase awal. Batuk dan pilek dalam waktu 2 minggu pada malam hari.
2. Fase serangan. Batuk yang semakin memberat, banyak dahak, dan muntah
setelah batuk, suara whoop saat inspirasi terjadi dalam 2 minggu.
3. Fase konvalesen. Gejala berkurang dalam waktu 3 minggu atau lebih.1

Gambar 3 : Batuk Subakut


Batuk kronis berdurasi lebih dari 8 minggu, dapat disebabkan berbagai
etiologi penyakit kardiopulmonal, baik infeksi, inflamasi, neoplastik, maupun
kardiovaskular. Pada temuan pemeriksaan fisik dada dan foto toraks normal,
dicurigai terdapat asma tipe batuk, refluks esofageal, drainase nasofaringeal, atau
obat ACE-inhibitor I yang umumnya muncul setelah 1 minggu sampai 6 bulan
pemakaian. Terlepas dari penyebabnya, batuk biasanya memburuk ketika berbaring
pada malam hari, berbicara, atau aktivitas fisik kecuali pada pertusis dan asma.
7

Gambar 4. Algoritma Batuk Kronis

Patofisiologi Batuk
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea,
bronkus besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus
dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan
faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi
otot abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat,
sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru.
Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan
8

diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan


peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah
banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi
sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup
sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial.
Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar
antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain
menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal
volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya
sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat
fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat
dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga
udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot
adduktor kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini
tekanan intratoraks meninggi sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang
efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis
terbuka. Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi
mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4. Fase ekspirasi/ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan
bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang
bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan
disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya.Suara batuk sangat bervariasi
akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.
9

Gambar 5. Tahapan Batuk


Manajemen Batuk

Penanganan BKB umumnya terdiri atas terapi kausal, simtomatik dan


rehabilitasi. Bila didapatkan kelainan yang khas sebagai penyebab, misalnya pertusis,
tuberculosis, asma, bronkitis maka pengobatan langsung ditujukan pada kelainan yang
didapat. Pemberian antibiotika sebagai terapi kausalm hendaklah diberikan pada
kasus-kasus yang infeksi yang jelas sebagai factor penyebabnya.
Misalnya pada penderita pertusis dapat diberikan eritromisin dengan dosis 30-
50 mg/kgbb/hari atau golongan ampisilan 50-100 mg/kgbb/hari. Pada tuberculosis
diberikan terapi spesifik.

Terapi simtomatik umumnya terdiri atas obat-obatan :


1. Ekspektoran
2. Antitusif
3. Mukolitik
4. Antihistamin
5. Bronkodilator

Ekspektoran adalah obat-obat yang bekerja meningkatkan sekresi saluran


pernafasan. Ada yang bekerja melalui refleks lambung, menyebabkan iritasi pada
lambung. Lalu secara reflektoris melalui syaraf vagus meningkatkan sekresi kelenjar
saluran nafas yang kemudian yang dibatukkan. Sebagian besar ekspektoran bekerja
melalui cara ini. Ada juga yang bekerja dengan merangsang ujung syaraf kolinergik
pada kelenjer acini saluran nafas, dan ada pula yang langsung merangsang sel-sel
sekretori kelenjer saluran nafas. Selain itu ekspetoran dapat pula bekerja dengan
10

sebagai demulsen pada mukosa saluran nafas. Yang sering digunakan adalah
guafenesis dan gliseril guaiakolat. Guaiakol disamping sebagai ekspektoran juga
bekerja mengencerkan secret. Selain itu juga dikenal Ipecac, ammonium karbonat,
ammonium klorida, kalium yolida, garam sitrat dan lain-lain.
Anti tusif ialah obat yang bekerja menekan refleks batuk baik secara
sentral maupun periper pada reseptor batuk, contohnya dekstrometorfan hidrobromid
(non narcotic antitussive) dan kodein fosfat (narcotic antitussive). Antitusif digunakan
pada batuk non produktif (batuk kering), tidak boleh digunakan pada batuk supuratif
dan hipersekresi lendir.
Mukolitik adalah obat yang dapat mengurangi viskositas lendir yang kental
sehingga mudah dibatukkan, misalnya bromheksin, asetil sistein. Kadang-kadang
dapat menimbulkan dampak samping seperti, mual, munth, diare, rinorhoe, spasme
bronkus. Mukolitik dapat juga digolongkan sebagai ekspektoran, bekerja sebagai
“mucociliary clearance”.
Antihistamin sebagi obat batuk tergolong antitusif. Pada dosis yang efektif
terutama difenhidramin dapat menyebabkan mengantuk. Disamping itu juga dapat
mengeringkan secret. Pemakaian sedapat mungkin terbatas pada batuk sehubungan
dengan post nasal drip. Dari kelompok bronkodilator dikenal derivat teifilin dan
obatsimpatomik (adrenergik). Golongan teofilin menyebabkan peningkatan konsentasi
CAMP yaitu suatu relaksan ott polos, dengan menghambat kerja enzim fosfodieterase.
Golongan simpatomimetik menimbulkan bronkodilasi melalui rangsangan terhadap
reseptor beta-2 syaraf adrenergik. Bronkolidator yang ideal dari golongan
simpatomimetk ialah yang betul-betul hanya merangsang beta-2 adrenoreseptor. Obat-
obat yabg dapat dikatakan agak selektif merangsang beta-2 reseptor adrenergik dan
lazim dipakai pada pemgobatan asma dan/atau brokitis adalah salbutamol, terbulatin,
metaproterenol dan lain-lain.
11

Gambar. 4 Manajemen Batuk

Asma
Asma adalah suatu penyakit gangguan jalan napas obstruktif intermiten yang
bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan
respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan
penyempitan jalan nafas. Manifestasi klinis asma ialah sesak napas mendadak,
disertai fase inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan
diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan napas yang kumat-
12

kumatan. Pada beberapa penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau
berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin
meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat.

Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing


tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai
obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih
lemah atau tidak terdengar sama sekali. Batuk hampir selalu ada, bahkan seringkali
diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin kental dahak, maka keluhan
sesak akan semakin berat.

Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk
membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini
didapati juga pada pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah pernapasan cuping hidung yang sesuai
dengan irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat (takipneu), otot
bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada fase permulaan,
sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau
sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan memperberat sesak napas,
karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah.
Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130/menit,
karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam darah akibat respons hipoksemia.

Patofisiologi: Keterbatasan aliran udara pada asma bersifat recurrent dan


disebabkan oleh berbagai perubahan dalam jalan napas, meliputi:

Bronkokonstriksi: Kejadian fisiologis dominan yang mengakibatkan


timbulnya gejala klinis asma adalah penyempitan saluran napas yang diikuti
gangguan aliran udara. Pada asma eksaserbasi akut, kontraksi otot polos bronkus
(bronkokonstriksi) terjadi secara cepat, menyebabkan penyempitan saluran napas
sebagai respons terhadap paparan berbagai stimulus termasuk alergen atau iritan.
Bronkokonstriksi akut yang diinduksi oleh alergen ini merupakan hasil IgE-
dependent release of mediators dari sel mast, yang meliputi histamin, tryptase,
leukotrien, dan prostaglandin yang secara langsung mengakibatkan kontraksi otot
polos saluran napas.
13

Edema Jalan Nafas: Saat penyakit asma menjadi lebih persisten dengan
inflamasi yang lebih progresif, akan diikuti oleh munculnya faktor lain yang lebih
membatasi aliran udara. Faktorfaktor tersebut meliputi edema, inflamasi, hipersekresi
mukus dan pembentukan mucous plug, serta perubahan struktural termasuk hipertrofi
dan hiperplasia otot polos saluran napas.

Airway hiperesponsiveness: Mekanisme yang dapat memengaruhi airway


hyperresponsiveness bersifat multiple, diantaranya termasuk inflamasi, dysfunctional
neuroregulation, dan perubahan struktur, dimana inflamasi merupakan faktor utama
dalam menentukan tingkat airway hyperresponsiveness. Pengobatan yang diarahkan
pada inflamasi dapat mengurangi airway hyperresponsiveness serta memperbaiki
tingkat kontrol asma.

Airway Remodelling: Keterbatasan aliran udara dapat bersifat partially


reversible pada beberapa penderita asma. Perubahan struktur permanen dapat terjadi
di saluran napas, terkait hilangnya fungsi paru secara progresif yang tidak dapat
dicegah sepenuhnya dengan terapi yang ada. Airway remodeling melibatkan aktivasi
banyak sel yang menyebabkan perubahan permanen dalam jalan napas. Hal ini akan
meningkatkan obstruksi aliran udara, airway hyperresponsiveness dan dapat
membuat pasien kurang responsif terhadap terapi. Biopsi bronkial dari pasien asma
menunjukkan gambaran infiltrasi eosinofil, sel mast serta sel T yang teraktivasi.
Karakteristik perubahan struktural mencakup penebalan membran sub-basal, fibrosis
subepitel, hiperplasia dan hipertrofi otot polos saluran napas, proliferasi dan dilatasi
pembuluh darah, serta hiperplasia dan hipersekresi kelenjar mukus. Hal ini
menunjukkan bahwa epithelium mengalami perlukaan secara kronis serta tidak
terjadi proses repair yang baik, terutama pada pasien yang menderita asma berat.
14

Gambar 5. Faktor yang membatasi aliran udara pada asma akut dan persisten

Batuk dan Asma

Batuk merupakan gejala utama asma. Batuk pada asma dapat diklasifikasikan


ke dalam tiga kategori yaitu cough variant asthma (CVA), batuk-predominan asma,
dan batuk yang menetap meskipun diterapi dengan standar yang sama yaitu
kortikosteroid inhalasi dan bronkodilator. CVA adalah subtipe asma yang biasanya
muncul hanya berupa gejala batuk tanpa gejala lain seperti sesak dan mengi. Pada
subtipe batuk asma yang batuk predominan ditemukan batuk sebagai gejala yang
dominan namun juga dapat ditemukan gejala lainnya seperti dyspnea dan atau mengi,
gejala tersebut dapat ditemukan melalui riwayat pasien pada anamnesa maupun pada
pemeriksaan fisik. Subtipe ketiga adalah batuk yang terus menerus (persisten)
meskipun gejala lain seperti mengi dan sesak nafas sudah terkontrol dengan
pengobatan standar seperti kortikosteroid inhalasi (ICS) dan beta-agonis. 

Pada subtype ketiga (batuk yang menetap), ada dua subtype, pertama batuk
yang responsif terhadap obat anti mediator seperti antagonis reseptor leukotrien,
antagonis reseptor histamin H1 dan inhibitor sintesis tromboksan atau antagonis
reseptor. Mediator inflamasi diblok oleh agen tersebut dan kemudian memicu
munculnya batuk. Batuk pada subtipe ini dianggap sebagai manifestasi asma, yang
15

sulit disembuhkan dengan ICS dan bronkodilator. Subtipe lainnya adalah batuk


karena kondisi penyerta seperti penyakit refluks gastroesofageal
(GERD). Koeksistensi GERD dengan asma atau CVA cukup umum, dan batuk dapat
mereda dengan obat anti-refluks. Fenomena seperti itu dapat dijelaskan dengan
"cough-reflux self-perpetuating positive feedback cycle " yang mengarah ke
lingkaran setan batuk dan refluks. Pengukuran secara subjektif (cough scores and
visual analogue scale) dan sensitivitas refleks batuk adalah pengganti yang buruk
untuk frekuensi batuk objektif dan penilaian kualitas hidup terkait batuk menjadi
lebih tepat.

Pemeriksaan fisik Asma

Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan
cepat sampai sianosis dapat ditemukan pada pasien asma. Dalam praktek jarang
dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai
pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan penunjang

Spirometri adalah cara paling cepat dan sederhana untuk menegakkan


diagnosis asma adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator
hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergic beta. Peningkatan VEP atau KVP
sebanyak 20% menunjukkan diagnosis asma.

Uji provokasi bronkus. Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk


menunjukkan adanya hiperaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada
beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan
histamine, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik dan
bahkan dengan aqua destilata penurunan VEP sebesar 20% dianggap bermakna.

Pemeriksaan sputum. Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma,


sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronchitis kronik.
16

Pemeriksaan eosinofil total. Jumlah eosinofil total dalam darah sering


meningkat pada pasien asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma
dari bronchitis kronik.

X-Ray dada. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain


obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau
komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-
lain.

Analisis gas darah. Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat.
Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai
normokapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia
(PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis respiratorik.

Pengobatan Eksaserbasi Asma

Manajemen Pra-Rumah Sakit

Emergency Medical Service (EMS) dapat memberikan oksigen tambahan dan


SABA inhalasi kepada semua pasien eksaserbasi asma. EMS dapat memberikan
albuterol pada pasien eksaserbasi asma sesuai arahan medis setempat. EMS juga
harus menyediakan nebulizer, inhaler plus spacer/ruang penampung, atau keduanya
untuk pemberian β-2 agonis. Jika pengobatan β-2 agonis tidak memungkinkan,
epinefrin subkutan atau terbutalin juga dapat diberikan untuk eksaserbasi berat.

Saat memberikan pengobatan bronkodilator, personel EMS tidak boleh


menunda transportasi pasien ke rumah sakit. Perawatan dapat diulang saat membawa
pasien ke maksimal tiga perawatan bronkodilator selama satu jam pertama dan
kemudian satu per jam setelahnya. Semua personel EMS harus menerima pelatihan
tentang cara menanggapi tanda dan gejala obstruksi jalan napas yang parah dan
kegagalan pernapasan yang akan datang.
Batuk akibat asma dapat terjadi setelah berolahraga, setelah terpapar pemicu
tertentu, setelah tertawa, dan sering pada malam hari. Pemicu umum meliputi:

 Alergen luar ruangan, seperti serbuk sari dari rumput, pohon, dan gulma


17

 Alergen dalam ruangan, seperti bulu hewan peliharaan, tungau debu, dan jamur


 Obat-obatan atau bahan tambahan makanan tertentu
 Iritan di udara, seperti asap, polusi udara dan asap kimia, atau bau yang kuat,
seperti parfum
 Pilek, flu, atau penyakit lainnya
 Olahraga (walaupun penderita asma mendapat manfaat dari olahraga; jika asma
mencegah anda berolahraga maka Anda harus berbicara dengan dokter anda)
 Kondisi cuaca, seperti udara dingin, panas dan kelembapan, atau pola cuaca
yang berubah dengan cepat

Manajemen Batuk Pada Asma (Cough Variant Asthma)

Setelah diagnosis ditegakkan, pengobatan CVA (Cough Variant Asthma)


pada dasarnya sama seperti pada CA (Cough Asthma). Bronkodilator (short-acting
inhalasi 2 agonis atau teofilin) dapat digunakan terutama pada pasien dengan batuk
yang intermiten. Namun, seperti pada inflamasi saluran napas Cough Asthma
eosinofilik dan di CVA, ICS (Kortikosteroid inhalasi) adalah pengobatan lini
pertama di CVA terutama pada pasien yang memiliki batuk terus-menerus
(persisten). Tidak ada data yang saat ini menyatakan terkait pilihan terbaik ICS, baik
ditinjau dari dosis atau durasi yang harus digunakan untuk pengobatan CVA. Jika
monoterapi ICS tidak adekuat, obat lain yang dapat ditambahkan dan
dikombinasikan dengan ICS adalah agonis 2 kerja lama (LABA), teofilin lepas
lambat, atau reseptor antagonis leukotrien. 

Efektivitas monoterapi dengan pemberian obat antagonis reseptor leukotrien


telah diteliti memiliki efek anti-inflamasi. Kadang-kadang, untuk eksaserbasi akut
CVA, kortikosteroid oral jangka pendek bisa dipertimbangkan. Sebagian pasien
dengan CVA dapat semakin parah dengan gejala mengi dan berkembang menjadi
CA. Jika ICS tidak digunakan untuk menangani CVA, tingkat perkembangan
menjadi CA akan semakin besar, terbukti telah dilaporkan antara 30-40%
kejadian. Faktor-faktor yang dapat memprediksi perkembangan menjadi CA yaitu
AHR dan respon jalan napas maksimal yang berlebihan terhadap metakolin,
eosinofilia sputum, dan sensitifitas alergen. Pengobatan ICS sejak dini dapat
mengurangi risiko perkembangan menjadi CA. Menghindari alergen yang
18

kemungkinan dapat memperberat juga perlu diperhatikan. Sama halnya dengan CA,


batuk di CVA dapat kambuh kembali jika pengobatan dihentikan.

PPOK

Penyakit paru obstuksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang dikarenakan


hambatan pada saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan ini
bersifat progresif serta berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel
atau gas beracun dan berbahaya. PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversible
atau reversible parsial, bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi
paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran
gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati.

Tahun 2020 World Health Organization (WHO) memperkirakan penyakit


yang dapat menyebabkan kematian terbanyak nomor tiga ialah PPOK setelah
penyakit jantung koroner dan stroke. Data penderita PPOK di Amerika Serikat pada
tahun 2007 menunjukkan bahwa pada laki-laki sebesar 11,8% dan perempuan 8,5%
mengidap PPOK. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara
prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%) dari total
penduduknya.

Indonesia tidak ada data yang akurat tentang PPOK. Namun, hasil survei
penyakit tidak menular oleh Dirjen PPM & PL di lima rumah sakit propinsi di
Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan)
pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang
angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya
(2%). Hal tersebut menunjukkan bahwa PPOK cukup banyak kasus yang kita jumpai
dibandingkan penyakit saluran nafas non-infeksi lainnya.

Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan
partikel gas berbahaya. Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat irreversible dan
terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis,
metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
19

Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting dari


faktor penyebab lainnya.

Manajemen pada PPOK

Penatalaksanaan non-medikamentosa pada kasus ini berupa edukasi kepada


pasien dan keluarganya tentang penyakit yang ia derita seperti penyebab penyakit,
faktor pemberat dari penyakit, gejala, dan terapi obat-obatan sehingga pasien dapat
mengontrol dari penyakitnya tersebut serta mencegah agar tidak terjadinya
komplikasi dari PPOK. Sedangkan untuk terapi medikamentosa pada pasien ini ialah
pemberian salbutamol tablet 4mg 3x1, dexametason tablet 0,5mg 3x1, acetylcysteine
tablet 200 mg 3x1. Penatalaksanaan PPOK pada dasarnya dibedakan atas tatalaksana
kronik dan tatalaksana eksaserbasi, yang dimana masing-masing sesuai dengan
klasifikasi (derajat) beratnya.2 Secara umum, pemberian obatan-obatan pada PPOK
ialah :

a. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada
eksaserbasi digunakan oral atau sistemik. Seperti salbutamol, aminofilin,
teofilin, terbutalin. 13
b. Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk
penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif.
Pada eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.
c. Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental. Contohnya ialah
glyceryl guaiacolate, acetylcysteine.
d. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi. Contohnya seperti
dekstrometorfan.
e. Antibiotik
20

Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan


eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola
kuman setempat. Contoh antibiotik yang sering digunakan ialah penicillin.

Manajemen Batuk pada PPOK

Terdapat banyak sekali obat mukoaktif, seperti mukolitik, agen mukokinetik,


mukoregulator, dan ekspektoran. Pada manajemen PPOK dibutuhkan obat yang
mengandung antioksidan mengingat dalam pathogenesis PPOK terdapat keterlibatan
reactive oxygen species (ROS) yang dapat merusak jaringan-jaringan disaluran nafas.
Inilah kenapa rokok dan polusi menjadi dua penyebab tersering pada PPOK karena
keduanya memproduksi ROS dalam jumlah banyak. Ketika antioksidan tidak dapat
mengatasi metabolisme ROS dengan baik, membran sel, protein, glikosida, dan DNA
pada epitel saluran nafas menjadi rusak karena proses inflmasi kronik. Karena itulah
dibutuh obat antioksidan sekalgus mukoaktif untuk menangani symtom batuk pada
PPOK. Namun, tidak semua obat memiliki efek ekspektoran dan antioksidan. Kali
ini, akan dibahas 4 obat yang secara frekuensi lumayan sering digunakan dalam
praktik klinik dengan evidence of literature support, yaitu N-acetylcysteine (NAC),
carbocysteine, erdosteine, dan ambroxol. Obat tersebut yang sering diresepkan untuk
penyakit PPOK.

Gambar 6. Rangkuman Obat Mukoaktif


21

N-acetylcysteine (NAC)
Obat ini mengandung satu free thiol dan dapat memecah ikatan disulfida,
mendepolimerisasi penumpukan oligomer musin dan kemudian mengurangi
viskositas sputum. Fungsi secara keseluruhan NAC disejalaskan sebagai berikut11.

Aktifitas Mukolitik: NAC memecah ikatan yang tidak efisien dalam


glikopeptides musin untuk mengurangi viskositas sputum dan membuat ekspektorasi
sputum mudah. NAC juga dapat memutus DNA pada sputum, meningkatkan
produksi cairan liquid agar mudah dikeluarkan dan memudahkan jalannya udara.
NAC juga menghambat sekresi mukus dan hiperplasia sel, serta meningkatkan
produksi MUC5AC yaitu glikoprotein untuk mengikat pathogen disaluran
nafas. Selain itu, meningkatkan pemukulan silia, merangsang refleks vagus lambung-
paru untuk meningkatkan harapan12.

Khasiat Antioksidan: NAC memiliki sifat antioksidan secara langsung


maupun tidak langsung (Gambar 6). Fungsi langsung termasuk pengikatan thiol
terhadap radikal bebas, hidrogen peroksida dan hipoklorit untuk mereduksi ROS.
NAC juga mengikat glutathione peroxidase untuk mengurangi produksi lipid
peroksida. Fungsi tidak langsung termasuk sintesis glutathione dan pemeliharaan
tingkat glutathione yang memadai untuk mencegah kerusakan sel (Gambar 7).
Asupan oral 600 mg/d NAC untuk 5 d dapat secara signifikan meningkatkan kadar
glutathione bronchoalveolar lavage fluid (BALF), menunjukkan bahwa NAC
memainkan peran penting dalam antioksidasi tidak langsung
22

Gambar 7. Mekanisme Farmakologi NAC pada pasien PPOK.

Note: NAC dapat secara langsung memutus ikatan bisulfida dalam mucus untuk
menurunkan viskositas mucus, kemudian memperbaiki ciliary beating dan mucus
clearance. NAC membersihkan ROS melalui pengikatan antioksidan SH, memproses
khasiat untuk efek antioksidan, serta memiliki fungsi indirek yaitu memfasilitasi
penumpukan GSH. Penurunan ROS dan peningkatan GSH akan menurunkan
inflamasi saluran nafas dan produksi mucus. Semuanya berkontribusi dalam
memperbaiki fungsi paru dan menurunkan eksaserbasi akut PPOK.

Gambar 8. Sintesis GSH dari NAC dan metabolismenya.

Note: NAC mengalami deasetilasi dan mengikat cysteine. Reaksi antara cysteine
dengan glutamate akan menjadi glutamylcysteine dibawah aksi dari glutamilistein
sintetase. Kemudian, glutamilsistein dan glysin akan berikatan dan menghasilkan
GSH.

Inhibisi Inflamasi paru: NAC dapat menurunkan level H2O2 dalam udara
ekspirasi dan menurunkan NF-Kb sebagai mediator inflamasi paru. Tranduksi sinyal
23

dari redoks-sensitive cell juga dihambat untuk mengurangi kerusakan endotel saluran
nafas, memperbaiki ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan, lebih jauh lagi
dapat mencegah injuri saluran nafas.

Menurunkan patogenesitas mikroba: NAC dapat mereduksi adhesi


Haemophilus influenzae and Streptococcus pneumonia dari epitel orofaring,
menghambat kolonisasi bakteri dan pertumbuhannya, memperbaiki abilitas anti-
infeksi, dan menurunkan frekuensi eksaserbasi akut. NAC juga dapat menghambat
replikasi virus dan mereduksi titer virus melalui penurunan H2O2 sitosol sel dan
menyimpan cell sulfhydryl level.

Carbosistein

Mucoregulator: carbosistein adalah derivate thiol dari L-sistein dengan


mengikat radikal bebas dan memiliki khasiat anti-inflamasi. Obat ini menstimulasi
produksi sialomusin dengan viskositas yang rendah dan menurunkan produksi musin
high-viscosity untuk memperbaiki sputum clearance. Khasiat lain juga mengikat
ikatan disulfida melalui golongan karboksimetil untuk memperbaiki elastisitas
sputum dan viskositas untuk meningkatkan ciliary clearance.

Anti-inflamasi dan Antioksidan: Carbosistein tergolong obat yang kuat


dalam mengatasi hipoklorit dan radikal bebas. Obat ini secara signifikan dapat
menghambat produksi IL-8 dari neutrophil perifer. Juga dapat mengubah cantin
dehydrogenase ke xantin oxidase untuk meningkatkan efek antiinflamasi.

Antiseptik: Carbosistein dapat mereduksi kolonisasi bakteri dengan


menurunkan aksi adhesi dari molecule-1, khususnya untuk Streptococcus
pneumonia.

Erdostein

Regulasi Viskositas Mukus: terdapat tiga metabolit bebas thiol yang


diproduksi setelah mengonsumsi erdostein, dan metabolit thiol memutus ikatan
disulfide untuk merubah viskositas mucus dan meningkatkan kebersihan saluran
nafas selagi menunggu efek dari anti-tusifnya.
24

Anti-inflamasi dan antioksidan: menurunkan radikal bebas dan melindungi


aktifitas dari α1-antitrypsin untuk memaksimalkan efek anti-inflamasi dan
antibitiknya.

Antiseptik : Metabolit dari Erdostein secara signifikan dapat meningkatkan


sekresi rasio immunoglobulin A (IgA)/albumin dan lactoferun/albumin serta
memperbaiki penetrasi antibiotic kedalam mukosa saluran nafas, hal ini akan
mereduksi adhesi dari bakteri.

Ambroxol

Sama halnya dengan NAC, ambroxol meregulasi sekresi mucus dan


memperkuat efek anti-infmasi dalam dosis yang besar.

Regulasi Viskositas: Ambroxol menstimulasi sekresi serous dan


meningkatkan kedalaman permukaan cairan pada saluran nafas, mengencerkan
mucus dan sputum yang tebal. Juga memicu produksi surfaktan, melancarkan kerja
bulu getar silia dan memicu efek ekspektoran.

Anti inflmasi dan antibiotik; Ambroxol memiliki afinitas yang tinggi pada
jaringan paru. Dengan peningkatan produksi surfaktan, maka tekanan permukaan
alveoli dapat diturunkan sehingga nencegah adanya udara yang terperangkap dalam
alveoli. Pembersihan radikal bebas dan menginhibisi produksi leukotriene dan
histamine, juga dapat mengurangi inflamasi dengan makrofag dan neutrophil. Selain
itu, juga mengaktifkan system cytosolic glutathione untuk kemudian memproduksi
glutathione sehingga saluran nafas bersih dari hiperoksidasi sehingga dapat
menurunkan reaktifitas dan responsibilitas saluran nafas.

Antibakterial: kombinasi antibiotic dan ambroxol dapat meningkatkan


konsentrasi antibiotik pada jaringan pari dan membersihkan paru dari bakteri dan
infeksi.
25

Daftar Pustaka
1. Marsden PA, Smith JA, Kelsall AA, et al. A comparison of objective and
subjective measures of cough in asthma. J Allergy Clin
Immunol. 2008;122:5903–7. [PubMed] [Google Scholar
2. Ulrik CS. Outcome of asthma: longitudinal changes in lung function. Eur
Respir J. 1999;13:904–18. [PubMed] [Google Scholar]
3. Kuyper LM, Paré PD, Hogg JC, et al. Characterization of airway plugging in
fatal asthma. Am J Med. 2003;115:6–11. [PubMed] [Google Scholar]
4. Ordoñez C, Khashayar R, Wong H, et al. Mild and moderate asthma is
associated with airway goblet cell hyperplasia and abnormalities in mucin
gene expression. Am J Respir Crit Care Med. 2001;163:517–
23. [PubMed] [Google Scholar]
5. Niimi A, Torrego A, Nicholson A, et al. Nature of airway inflammation and
remodeling in chronic cough. J Allergy Clin Immunol. 2005;116:565–
70. [PubMed] [Google Scholar]
6. Smyrnios NA, Irwin RS, Curley FJ. Chronic cough with a history of
excessive sputum production. The spectrum and frequency of causes, key
components of the diagnostic evaluation, and outcome of specific
therapy. Chest.  1995;108:991–7. [PubMed] [Google Scholar]
7. Jinnai M, Niimi A, Ueda T, et al. Induced sputum concentrations of mucin in
patients with asthma and chronic cough. Chest. 2010;137:1122–
9. [PubMed] [Google Scholar]
8. PDPI. Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia
Revisi Juni. Jakarta: PDPI; 2003.
9. World Health Organization. Chronic obstructive pulmonary disease fact sheet
[internet]. Jeneva: WHO; 2015 [diakses tanggal 12 Maret 2017]. Tersedia
dari: http://www.who.int/respiratory/copd/en/
10. Oemiati R. Kajian epidemiologis penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).
Media Litbangkes. 2013; 23(2):82-8.
11. Mata M, Ruiz A, Cerda M, et al. Oral N-acetylcysteine reduces bleomycin-
induced lung damage and mucin Muc5ac expression in rats. Eur Respir
J.  2003;22(6):900–905. [PubMed] [Google Scholar]
12. Rogers DF. Mucoactive agents for airway mucus hypersecretory
diseases. Respir Care. 2007;52(9):1176–1193. Discussion 1193–1197.
[PubMed] [Google Scholar]
26

Anda mungkin juga menyukai