BATUK
OLEH :
Wahyu Fathurrachman
I1011141057
PEMBIMBING :
dr. Ari Prabowo, Sp.P
BATUK
BAB I
ii
PENDAHULUAN
Batuk merupakan sebuah gejala penyakit yang paling umum. Satu dari sepuluh
pasien yang berkunjung ke praktek dokter setiap tahunnya memiliki keluhan
utama batuk. Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru
dari dengan cara pengeluaran sejumlah volume udara secara mendadak dari
rongga toraks melalui epiglotis dan mulut. Batuk tidak selalu berarti patologis
atau abnormal. Seperti telah dikemukakan di atas, sebagai mekanisme pertahanan
respiratorik, batuk diperlukan untuk membersihkan jalan napas dari mukus sekresi
respiratorik, pada orang dewasa mencapai 30 ml/hari.1,2
Melalui mekanisme tersebut dihasilkan aliran udara yang sangat cepat yang dapat
melontarkan keluar material yang ada di sepanjang saluran respiratorik, terutama
saluran yang besar. Dengan demikian batuk mempunyai fungsi penting sebagai
salah satu mekanisme utama pertahanan respiratorik. Mekanisme lain yang
bekerja sama dengan batuk adalah bersihan mukosilier (mucociliary clearance).
Batuk akan mencegah aspirasi makanan padat atau cair dan berbagai benda asing
lain dari luar. Batuk juga akan membawa keluar sekresi berlebihan yang
diproduksi di dalam saluran respiratorik, terutama pada saat terjadi radang oleh
berbagai sebab. Batuk juga merupakan salah satu gejala paling umum yang
menyertai penyakit pernafasan seperti asma, bronkitis, dan COPD (Chronic
Obstructive Pulmonary Disease). Ketiadaaan batuk dapat berbahaya dan fatal
untuk kesehatan, karena bisa jadi batuk merupakan gejala awal dari penyakit
pernafasan dan memudahkan dokter untuk mendiagnosis suatu penyakit.1,2
iii
dan intensif, batuk darah yang masif akan menyebabkan angka kematian yang
tinggi.3
iv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Batuk dalam bahasa latin disebut tussis yang berarti refleks yang terjadi secara
tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membersihkan saluran
pernapasan dari lendir yang menutup jalan nafas, iritasi, partikel asing dan
mikroba. Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari
trauma mekanik, melindungi sistem respirasi dengan membersihkan saluran nafas
baik volunter ataupun involunter. Batuk dikatakan fisiologis apabila jumlah batuk
seseorang perjamnya kurang dari 2 per satu jam.4
Daerah pada jalan napas yang peka terhadap rangsangan batuk ialah laring,karina,
trakea, dan bronkus utama. Batuk menjadi tidak fisiologis bila dirasakan sebagai
gangguan. Batuk merupakan gejala klinis dari gangguan pada saluran pernapasan.
Batuk bukan merupakan suatu penyakit, melainkan gejala. Penelitian
menunjukkan bahwa pada penderita batuk kronik didapat 628 sampai 761 kali
batuk/hari. Penderita TB paru jumlah batuknya sekitar 327 kali/hari dan penderita
influenza bahkan sampai 154.4 kali/hari.5
2.2 Epidemiologi
v
Gambar 2.1 Gambaran Epidemiologi Batuk Kronik di Seluruh Dunia
2.3 Etiologi
Batuk dapat diinisiasi oleh berbagai pemicu iritasi baik dari sumber eksogen
(asap, debu, asap, benda asing) atau dari asal endogen (sekresi mukosa saluran
nafas, isi lambung). Rangsangan ini dapat mempengaruhi reseptor batuk di
saluran nafas. Ketika batuk dipicu oleh sekresi saluran nafas atas (seperti
postnasal drip) atau isi lambung (seperti gastroesophageal refluks), faktor
etiologis yang mengakibatkan batuk mungkin tidak dapat dikenali, dan batuknya
bisa berlanjut. Selain itu, paparan bahan iritan yang berkepanjangan dapat memicu
radang saluran napas, yang dengan sendirinya dapat memicu batuk.7
Setiap gangguan yang mengakibatkan peradangan, penyempitan, infiltrasi, atau
kompresi saluran nafas dapat mengakibatkan batuk. Peradangan biasanya hasil
dari infeksi saluran napas, mulai infiksi virus, bakteri maupun mikroorganisme
lain. Asma merupakan penyebab umum batuk. Meskipun secara klinis, batuk
umumnya merupakan salah satu gejala asma, beberapa pasien datang dengan
batuk tanpa disertai mengi atau dyspnea, sehingga membuat diagnosis lebih sulit
("asma varian batuk"). Infiltrasi neoplasma pada saluran napas umumnya dapat
mengakibatkan batuk. Infiltrasi saluran napas seperti granuloma juga dapat
vi
memicu batuk, seperti yang terlihat dengan sarkoidosis endobronkial atau
tuberkulosis.5
Penyakit parenkim paru juga dapat mengakibatkan batuk termasuk penyakit paru
interstitial, pneumonia, dan abses paru. Gagal jantung kongestif juga dapat
mengakibatkan batuk, yang dapat terjadi akibat dari edema. Batuk yang tidak
berdahak juga dapat terjadi akibat penggunaan angiotensin-converting enzim
(ACE) inhibitor pada 5% hingga 20% pasien yang menggunakan obat-obat ini.
Onset biasanya berkisar antara 1 minggu hingga 6 bulan. Meski mekanismenya
tidak bisa dengan pasti, tetapi hal ini bisa terjadi mungkin karena adanya
akumulasi bradikinin atau zat P.
vii
2.4 Klasifikasi Batuk
Penyebab batuk yang paling umum dapat dikategorikan sesuai dengan durasi
batuk. Batuk akut (<3 minggu) paling sering disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan bagian atas (terutama flu, sinusitis bakteri akut, dan pertusis), tetapi
gangguan yang lebih serius, seperti pneumonia, emboli pulmonal, dan gagal
jantung kongesti. Batuk Subakut (antara 3 dan 8 minggu) biasanya pascainfeksi,
akibat dari peradangan saluran napas yang persisten atau postnasal drip, pertusis,
atau infeksi Mycoplasma atau Chlamydia spp.7
Bila berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi batuk kering dan batuk
berdahak. Batuk kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan untuk
membersihkan saluran nafas, biasanya karena rangsangan dari luar. Tenggorokan
terasa gatal, sehingga merangsang timbulnya batuk. Batuk ini mengganggu
kenyamanan, bila batuknya terlalu keras akan dapat memecahkan pembuluh
darah. Sedangkan batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena
mekanisme pengeluaran mukus atau benda asing di saluran nafas.3
Refleks batuk terdiri dari 5 komponen utama yaitu reseptor batuk, serabut saraf
aferen, pusat batuk, susunan saraf eferen, dan efektor. Batuk dimulai dari suatu
rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin
halus yang terletakak antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus, dan di pleura.
Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil,
dan sejumlah besar reseptor di dapat di laring, trakea, karina dan daerah
percabangan bronkus.3
viii
Serabut aferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang mengalirkan
rangsang melalui cabang n. Arnold dari n. Vagus. N. Trigeminus menyalurkan
rangsang dari sinus paranasalis, N. Glossopharingeal, menyalurkan rangsang dari
faring dan n. Phrenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma.8
Oleh serabut aferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula,
di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-
serabut eferen n. Vagus, n. Phrenicus, n. Intercostalis dan lumbar, n. Trigeminus,
n. Facialis, n. Hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari
otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma,otot-otot interkostal, dan lain-lain. Di
daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi.9,10
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :10
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring
dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
ix
2. Fase inspirasi
Katup glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abductor
kartilago aritenoidea.Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara
dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai
terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma,
sehingga dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya
udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu
akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme
pembersihan yang potensial.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adductor
kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik.Pada fase ini tekanan
intratoraks meninggi sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif.
Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka .Batuk
dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4. Fase ekspirasi/ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan
bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang
bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan
disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi
akibat getaran secret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.
x
Gambar 3. Proses batuk.
4. Apakah ini terkait dengan gejala sugestif postnasal drip ( cairan hidug
belebihan, pembersihan tenggorakan yang sering, atau gatal pada tenggorakan)
atau gastroesophageal refluks (Namun, tidak adanya gejala sugestif semacam itu
tidak membuat seseorang tidak masuk dalam salah satu dari diagnosa diatas.)
5. Apakah ada demam atau tidak? Jika ada dahak sekarang, apa karakternya?
6. Apakah pasien memiliki penyakit terkait atau faktor risiko penyakit (misalnya,
merokok, risiko faktor untuk infeksi HIV, riwayat lingkungan, pekerjaan)?
xi
7. Apakah pasien menggunakan ACE inhibitor?
Tes fungsi paru berguna untuk menilai kelainan fungsional pada paru yang
mengakibatkan batuk. Pengukuran arus puncak ekspirasi paksa dapat
menunjukkan karakteristik obstruksi aliran udara reversible seperti asma. Ketika
seseorang yang dicurigai asma akan tetapi laju alirannya normal, pengujian
dengan bronchoprovocation dengan methacholine atau inhalasi udara dingin
dapat menunjukkan hiperreaktivitas saluran udara ke sehingga mengakibatkan
bronkokonstriktif.
xii
Pertimbangan manajemen penting lainnya adalah pengobatan infeksi saluran
pernapasan, bronkodilator untuk obstruksi aliran udara, glukokortikoid inhalasi
untuk bronkitis eosinofilik, fisioterapi dada dan metode lain untuk meningkatkan
pembersihan sekresi pada pasien, dan pengobatan tumor endobronkial atau
interstisial penyakit paru-paru ketika terapi tersebut tersedia.
Gambar 4. Algoritma untuk pengelolaan batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu. Batuk yang
berlangsung antara 3 dan 8 minggu dianggap subakut; batuk yang berlangsung lebih dari 8 minggu
dianggap kronis. ACEI: angiotensin-converting enzyme inhibitor; CXR, chest x-ray; Hx, History;
PE, physical examination; Rx, treat.
xiii
Empat bentuk penatalaksanaan batuk adalah :
2.7.1 Hidrasi
Secara oral dengan sering minum air putih untuk membantu mengencerkan
dahak sehingga mudah dibatukkan, mengurangi iritasi, dan rasa gatal. Air
adalah diluent yang pertama berguna untuk mengencerkan cairan sputum.
2.7.2 Antitusif
a. Antitusif Perifer
Secara umum antitusif perifer merupakan obat golongan yang menekan batuk
dengan mengurangi iritasi lokal di saluran nafas, yaitu pada reseptor iritan
perifer dengan cara anastesi langsung atau secara tidak langsung mentupnya.
Obat anestesi lokal seperti benzonatas. Obat ini mengurangi batuk akibat
rangsang reseptor iritan di faring, tetapi hanya sedikit manfaatnya untuk
mengatasi batuk akibat kelainan saluran napas bawah. Obat anestesi yang
diberikan secara topikal seperti tetrakain, kokain dan lidokain sangat
bermanfaat dalam menghambat batuk akibat prosedur pemeriksaan
bronkoskopi
b. Antitusif Sentral
xiv
a. Golongan narkotik
Tetapi efek ini jarang terlihat pada dosis terapi untuk antitusif. Kodein
fosfat merupakan antitusif narkotik yang paling efektif dan salah satu
obat yang paling sering diresepkan. Obat ini diberikan 15-30 mg setiap
4-6 jam. Kodein ditolerir dengan baik dan sedikit sekali menimbulkan
ketergantungan. Disamping itu obat ini sangat sedikit sekali
menyebabkan penekanan pusat nafas dan pembersihan mukosiliar.
b. Antitusif Non-Narkotik
Dekstrometorfan
Obat ini tidak mempunyai efek analgesik dan ketergantungan. Obat ini
efektif bila diberikan dengan dosi 15- 30 mg setiap 4-6 jam, dosis
dewasa 10-20mg setiap 4 jam.
2.7.3 Mukolitik
xv
saluran napas melalui kateter atau bronkoskop memberikan efek segera, yaitu
meningkatkan jumlah sekret bronkus secara nyata.
2.7.4 Ekspektoran
xvi
2.7 Komplikasi Batuk
xvii
BAB III
KESIMPULAN
Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma
mekanik, kimia dan suhu dengan cara ekspirasi yang keras. Batuk juga merupakan
mekanisme pertahanan paru yang alamiah untuk menjaga agar jalan nafas tetap
bersih dan terbuka dengan cara mencegah masuknya benda asing ke saluran nafas
dan mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran
nafas.
Batuk dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman, gangguan tidur, mempengaruhi
aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup. Terutama batuk yang disertai
darah merupakan salah satu gejala yang penting pada penyakit paru. Oleh karena
batuk darah mempunyai potensi untuk terjadi kegawatan akibat perdarahan yang
terjadi, bila tidak segera ditangani secara tepat dan intensif, batuk darah yang
masif akan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Batuk darah ini harus
segera ditangani dan dicari penyakit yang mendasarinya dengan cepat dan tepat.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pengobatan simptomatik
diberikan apabila penyebab batuk tidak dapat ditentukan dengan tepat, bila batuk
tidak berfungsi dengan baik atau sangat mengganggu serta dikhawatirkan akan
menimbulkan komplikasi.
xviii
DAFTAR PUSTAKA
1. Chung, Kian Fan, and Ian D. Pavord. "Prevalence, pathogenesis, and causes of
chronic cough." The Lancet371.9621 2008: 1364-1374.
2. Phelan PD. Cough. Dalam: Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Penyunting
Respiratory illness in children. Oxford: Blackwell S Publications 1994.
3. Djojodibroto D. Respirologi. 2012. ECG :Jakarta.
4. Song, Woo-Jung, et al. The global epidemiology of chronic cough in adults: a
systematic review and meta-analysis. European Respiratory Journal, 2015.
5. Tabrani, Rab. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:TIM.
6. Culotta R, Taylor D. Diseases of the pleura. In: Ali J, Summer WR, Levitzky
MG, eds Pulmonary Pathophysiology 2nd ed. Newyork: Lange Medical
Books/McGrawhill; 2005; 194-212.
7. Alsagaff,Hood dkk. Buku Ajar Ilmu penyakit Paru . GRAMIK FK UNAIR.
2004 : 59-73
8. Culotta R, Taylor D. Diseases of the pleura. In: Ali J, Summer WR, Levitzky
MG, eds Pulmonary Pathophysiology 2nd ed. Newyork: Lange Medical
Books/McGrawhill; 2005; 194-212.
9. American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement by
the committee on Therapy, Am rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 – 474.
10. Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa Aksara.
Jakarta. p.19 – 20
xix