Anda di halaman 1dari 19

REFARAT

BATUK

OLEH :
Wahyu Fathurrachman
I1011141057

PEMBIMBING :
dr. Ari Prabowo, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN PARU


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNTAN
RSUD DOKTER ABDUL AZIS
SINGKAWANG
2018
LEMBAR PERSETUJUAN
Telah disetujui Referat dengan judul :

BATUK

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Stase Minor Ilmu Kesehatan Paru

Pembimbing, Singkawang, Juli 2018

dr. Ari Prabowo, Sp.P Wahyu Fathurrachman

BAB I

ii
PENDAHULUAN

Batuk merupakan sebuah gejala penyakit yang paling umum. Satu dari sepuluh
pasien yang berkunjung ke praktek dokter setiap tahunnya memiliki keluhan
utama batuk. Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru
dari dengan cara pengeluaran sejumlah volume udara secara mendadak dari
rongga toraks melalui epiglotis dan mulut. Batuk tidak selalu berarti patologis
atau abnormal. Seperti telah dikemukakan di atas, sebagai mekanisme pertahanan
respiratorik, batuk diperlukan untuk membersihkan jalan napas dari mukus sekresi
respiratorik, pada orang dewasa mencapai 30 ml/hari.1,2

Melalui mekanisme tersebut dihasilkan aliran udara yang sangat cepat yang dapat
melontarkan keluar material yang ada di sepanjang saluran respiratorik, terutama
saluran yang besar. Dengan demikian batuk mempunyai fungsi penting sebagai
salah satu mekanisme utama pertahanan respiratorik. Mekanisme lain yang
bekerja sama dengan batuk adalah bersihan mukosilier (mucociliary clearance).
Batuk akan mencegah aspirasi makanan padat atau cair dan berbagai benda asing
lain dari luar. Batuk juga akan membawa keluar sekresi berlebihan yang
diproduksi di dalam saluran respiratorik, terutama pada saat terjadi radang oleh
berbagai sebab. Batuk juga merupakan salah satu gejala paling umum yang
menyertai penyakit pernafasan seperti asma, bronkitis, dan COPD (Chronic
Obstructive Pulmonary Disease). Ketiadaaan batuk dapat berbahaya dan fatal
untuk kesehatan, karena bisa jadi batuk merupakan gejala awal dari penyakit
pernafasan dan memudahkan dokter untuk mendiagnosis suatu penyakit.1,2

Batuk dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman, gangguan tidur, mempengaruhi


aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup. Batuk dapat juga
menimbulkan berbagai macam komplikasi seperti patah tulang iga. Pada keluhan
batuk yang disertai darah merupakan salah satu gejala yang paling penting pada
penyakit paru. Oleh karena batuk darah mempunyai potensi untuk terjadi
kegawatan akibat perdarahan yang terjadi, bila tidak segera ditangani secara tepat

iii
dan intensif, batuk darah yang masif akan menyebabkan angka kematian yang
tinggi.3

iv
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Batuk dalam bahasa latin disebut tussis yang berarti refleks yang terjadi secara
tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membersihkan saluran
pernapasan dari lendir yang menutup jalan nafas, iritasi, partikel asing dan
mikroba. Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari
trauma mekanik, melindungi sistem respirasi dengan membersihkan saluran nafas
baik volunter ataupun involunter. Batuk dikatakan fisiologis apabila jumlah batuk
seseorang perjamnya kurang dari 2 per satu jam.4

Daerah pada jalan napas yang peka terhadap rangsangan batuk ialah laring,karina,
trakea, dan bronkus utama. Batuk menjadi tidak fisiologis bila dirasakan sebagai
gangguan. Batuk merupakan gejala klinis dari gangguan pada saluran pernapasan.
Batuk bukan merupakan suatu penyakit, melainkan gejala. Penelitian
menunjukkan bahwa pada penderita batuk kronik didapat 628 sampai 761 kali
batuk/hari. Penderita TB paru jumlah batuknya sekitar 327 kali/hari dan penderita
influenza bahkan sampai 154.4 kali/hari.5

2.2 Epidemiologi

Batuk merupakan mekanisme pertahanan penting. Namun, batuk kronis


merupakan penyebab morbiditas yang signifikan, sangat mengganggu kualitas
hidup. Sebelumnya, batuk kronis dianggap sebagai konsekuensi dari berbagai
penyakit, seperti asma, bronkitis, rhinitis dan GERD,dan lain-lain. Dalam analisis
gabungan, prevalensi keseluruhan batuk kronis adalah 9,6%. Prevalensi regional
lebih tinggi di Oceania (18,1%), Eropa (12,7), Amerika (11%), Asia (4,4%) dan
Afrika (2,3%). Prevalensi gabungan menurut negara disajikan pada gambar 1.6

v
Gambar 2.1 Gambaran Epidemiologi Batuk Kronik di Seluruh Dunia

2.3 Etiologi

Batuk dapat diinisiasi oleh berbagai pemicu iritasi baik dari sumber eksogen
(asap, debu, asap, benda asing) atau dari asal endogen (sekresi mukosa saluran
nafas, isi lambung). Rangsangan ini dapat mempengaruhi reseptor batuk di
saluran nafas. Ketika batuk dipicu oleh sekresi saluran nafas atas (seperti
postnasal drip) atau isi lambung (seperti gastroesophageal refluks), faktor
etiologis yang mengakibatkan batuk mungkin tidak dapat dikenali, dan batuknya
bisa berlanjut. Selain itu, paparan bahan iritan yang berkepanjangan dapat memicu
radang saluran napas, yang dengan sendirinya dapat memicu batuk.7
Setiap gangguan yang mengakibatkan peradangan, penyempitan, infiltrasi, atau
kompresi saluran nafas dapat mengakibatkan batuk. Peradangan biasanya hasil
dari infeksi saluran napas, mulai infiksi virus, bakteri maupun mikroorganisme
lain. Asma merupakan penyebab umum batuk. Meskipun secara klinis, batuk
umumnya merupakan salah satu gejala asma, beberapa pasien datang dengan
batuk tanpa disertai mengi atau dyspnea, sehingga membuat diagnosis lebih sulit
("asma varian batuk"). Infiltrasi neoplasma pada saluran napas umumnya dapat
mengakibatkan batuk. Infiltrasi saluran napas seperti granuloma juga dapat

vi
memicu batuk, seperti yang terlihat dengan sarkoidosis endobronkial atau
tuberkulosis.5
Penyakit parenkim paru juga dapat mengakibatkan batuk termasuk penyakit paru
interstitial, pneumonia, dan abses paru. Gagal jantung kongestif juga dapat
mengakibatkan batuk, yang dapat terjadi akibat dari edema. Batuk yang tidak
berdahak juga dapat terjadi akibat penggunaan angiotensin-converting enzim
(ACE) inhibitor pada 5% hingga 20% pasien yang menggunakan obat-obat ini.
Onset biasanya berkisar antara 1 minggu hingga 6 bulan. Meski mekanismenya
tidak bisa dengan pasti, tetapi hal ini bisa terjadi mungkin karena adanya
akumulasi bradikinin atau zat P.

vii
2.4 Klasifikasi Batuk

Penyebab batuk yang paling umum dapat dikategorikan sesuai dengan durasi
batuk. Batuk akut (<3 minggu) paling sering disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan bagian atas (terutama flu, sinusitis bakteri akut, dan pertusis), tetapi
gangguan yang lebih serius, seperti pneumonia, emboli pulmonal, dan gagal
jantung kongesti. Batuk Subakut (antara 3 dan 8 minggu) biasanya pascainfeksi,
akibat dari peradangan saluran napas yang persisten atau postnasal drip, pertusis,
atau infeksi Mycoplasma atau Chlamydia spp.7

Batuk kronis (> 8 minggu) pada perokok meningkatkan kemungkinan orang


tersebut mendertita penyakit paru obstruktif kronik atau karsinoma bronkogenik.
Pada perokok yang memiliki radiografi toraks yang normal dan tidak
mengkonsumsi ACE inhibitor, penyebab batuk kronis yang paling umum adalah
postnasal drip, asma, dan gastroesophageal reflux.7

Bila berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi batuk kering dan batuk
berdahak. Batuk kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan untuk
membersihkan saluran nafas, biasanya karena rangsangan dari luar. Tenggorokan
terasa gatal, sehingga merangsang timbulnya batuk. Batuk ini mengganggu
kenyamanan, bila batuknya terlalu keras akan dapat memecahkan pembuluh
darah. Sedangkan batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena
mekanisme pengeluaran mukus atau benda asing di saluran nafas.3

2.5 Mekanisme Batuk

Refleks batuk terdiri dari 5 komponen utama yaitu reseptor batuk, serabut saraf
aferen, pusat batuk, susunan saraf eferen, dan efektor. Batuk dimulai dari suatu
rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin
halus yang terletakak antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus, dan di pleura.
Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil,
dan sejumlah besar reseptor di dapat di laring, trakea, karina dan daerah
percabangan bronkus.3

viii
Serabut aferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang mengalirkan
rangsang melalui cabang n. Arnold dari n. Vagus. N. Trigeminus menyalurkan
rangsang dari sinus paranasalis, N. Glossopharingeal, menyalurkan rangsang dari
faring dan n. Phrenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma.8

Oleh serabut aferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula,
di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-
serabut eferen n. Vagus, n. Phrenicus, n. Intercostalis dan lumbar, n. Trigeminus,
n. Facialis, n. Hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari
otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma,otot-otot interkostal, dan lain-lain. Di
daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi.9,10

Gambar 2. Reseptor batuk.

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :10

1. Fase iritasi

Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring
dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.

ix
2. Fase inspirasi

Katup glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abductor
kartilago aritenoidea.Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara
dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai
terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma,
sehingga dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya
udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu
akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme
pembersihan yang potensial.

3. Fase kompresi

Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adductor
kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik.Pada fase ini tekanan
intratoraks meninggi sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif.
Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka .Batuk
dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.

4. Fase ekspirasi/ekspulsi

Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan
bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang
bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan
disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi
akibat getaran secret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.

x
Gambar 3. Proses batuk.

2.6 Tata Laksana Batuk 7,11,12

Riwayat yang terperinci seringkali memberikan petunjuk, yang pentin untuk


menentukan penyebab batuk. Terutama pertanyaan penting seperti:

1. Apakah batuk merupakan batuk akut, subakut, atau kronis?

2. Berdasakan onsetnya , apakah ada gejala yang berhubungan dengan infeksi


saluran pernafasan?

3. Apakah musiman atau disertai dengan mengi?

4. Apakah ini terkait dengan gejala sugestif postnasal drip ( cairan hidug
belebihan, pembersihan tenggorakan yang sering, atau gatal pada tenggorakan)
atau gastroesophageal refluks (Namun, tidak adanya gejala sugestif semacam itu
tidak membuat seseorang tidak masuk dalam salah satu dari diagnosa diatas.)

5. Apakah ada demam atau tidak? Jika ada dahak sekarang, apa karakternya?

6. Apakah pasien memiliki penyakit terkait atau faktor risiko penyakit (misalnya,
merokok, risiko faktor untuk infeksi HIV, riwayat lingkungan, pekerjaan)?

xi
7. Apakah pasien menggunakan ACE inhibitor?

Pemeriksaan fisik secara generalista dapat mengarahkan diagnosis penyakit ke


arah sistemik atau penyebab batuk non-paru, seperti gagal jantung. Pemeriksaan
pada orofaring dapat membantuk untuk menegakkan apakah batuk disebabkan
oleh postnasal drip. Auskultasi dada dapat menunjukkan stridor inspirasi (indikasi
penyakit saluran penrfasan atas), rhonchi atau mengi ekspirasi (indikasi adanya
penyakit saluran napas bawah), atau inspiratory crackle (suatu indikasi yang
melibatkan parenkim pulmonal, seperti penyakit paru interstisial, pneumonia, atau
edema paru).

Toraks radiografi dapat sangat membantu mengkonfirmasi penyebab batuk.


Temuan potensial yang penting termasuk adanya lesi massa intratoraks, opafikasi
parenkim paru. Suatu daerah seperti sarang lebah mungkin menunjukkan
bronkiektasis, dan adenopati hilus simetis bilateral dapat menunjukkan
sarkoidosis.

Tes fungsi paru berguna untuk menilai kelainan fungsional pada paru yang
mengakibatkan batuk. Pengukuran arus puncak ekspirasi paksa dapat
menunjukkan karakteristik obstruksi aliran udara reversible seperti asma. Ketika
seseorang yang dicurigai asma akan tetapi laju alirannya normal, pengujian
dengan bronchoprovocation dengan methacholine atau inhalasi udara dingin
dapat menunjukkan hiperreaktivitas saluran udara ke sehingga mengakibatkan
bronkokonstriktif.

Jika ada sputum yang dihasilkan, pemeriksaan mikroskopik dapat memberikan


informasi yang berguna. Sputum yang purulen menunjukkan bronkitis kronis,
bronkiektasis, pneumonia, ataou abses paru. Darah dalam dahak dapat dilihat pada
gangguan yang sama, akan tetapi kehadirannya juga dapat terjadi pada tumor
endobronkial. Eosinofil terlihat pada pewarnaan sputum yang diinduksi pada
pasien asma bisa juga membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan gram
kultur dapat menunjukkan patogen infeksius penyebab penyakit, dan sitologi
dahak dapat memberikan diagnosis keganasan pulmonal

xii
Pertimbangan manajemen penting lainnya adalah pengobatan infeksi saluran
pernapasan, bronkodilator untuk obstruksi aliran udara, glukokortikoid inhalasi
untuk bronkitis eosinofilik, fisioterapi dada dan metode lain untuk meningkatkan
pembersihan sekresi pada pasien, dan pengobatan tumor endobronkial atau
interstisial penyakit paru-paru ketika terapi tersebut tersedia.

Gambar 4. Algoritma untuk pengelolaan batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu. Batuk yang
berlangsung antara 3 dan 8 minggu dianggap subakut; batuk yang berlangsung lebih dari 8 minggu
dianggap kronis. ACEI: angiotensin-converting enzyme inhibitor; CXR, chest x-ray; Hx, History;
PE, physical examination; Rx, treat.

xiii
Empat bentuk penatalaksanaan batuk adalah :

2.7.1 Hidrasi

Secara oral dengan sering minum air putih untuk membantu mengencerkan
dahak sehingga mudah dibatukkan, mengurangi iritasi, dan rasa gatal. Air
adalah diluent yang pertama berguna untuk mengencerkan cairan sputum.

2.7.2 Antitusif

Obat antitusif berfungsi menghambat atau menekan batuk dengan menekan


pusat batuk serta meningkatkan ambang rangsang batuk. Secara umum
berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di
perifer dan antitusif yang bekerja di sentral.

a. Antitusif Perifer

Secara umum antitusif perifer merupakan obat golongan yang menekan batuk
dengan mengurangi iritasi lokal di saluran nafas, yaitu pada reseptor iritan
perifer dengan cara anastesi langsung atau secara tidak langsung mentupnya.
Obat anestesi lokal seperti benzonatas. Obat ini mengurangi batuk akibat
rangsang reseptor iritan di faring, tetapi hanya sedikit manfaatnya untuk
mengatasi batuk akibat kelainan saluran napas bawah. Obat anestesi yang
diberikan secara topikal seperti tetrakain, kokain dan lidokain sangat
bermanfaat dalam menghambat batuk akibat prosedur pemeriksaan
bronkoskopi

b. Antitusif Sentral

Obat ini berkerja menekan batuk dengan meninggikan ambang rangsangan


yang dibutuhkan untuk merangsang pusat batuk dibagi atas seperti medulla
atau area yang lebih tingi. Obat ini terdiri dari dari golongan narkotik dan non-
narkotik.

xiv
a. Golongan narkotik

Opiat dan derivatnya mempunyai berbagai macam efek farmakologi


sehingga digunakan sebagai analgesik, antitusif, sedatif,
menghilangkan sesak karena gagal jantung dan anti diare. Diantara
alkaloid ini morfin dan kodein sering digunakan. Efek samping obat
ini adalah penekanan pusat nafas, konstipasi, kadang-kadang mual dan
muntah, serta efek adiksi.

Tetapi efek ini jarang terlihat pada dosis terapi untuk antitusif. Kodein
fosfat merupakan antitusif narkotik yang paling efektif dan salah satu
obat yang paling sering diresepkan. Obat ini diberikan 15-30 mg setiap
4-6 jam. Kodein ditolerir dengan baik dan sedikit sekali menimbulkan
ketergantungan. Disamping itu obat ini sangat sedikit sekali
menyebabkan penekanan pusat nafas dan pembersihan mukosiliar.

b. Antitusif Non-Narkotik

 Dekstrometorfan

Obat ini tidak mempunyai efek analgesik dan ketergantungan. Obat ini
efektif bila diberikan dengan dosi 15- 30 mg setiap 4-6 jam, dosis
dewasa 10-20mg setiap 4 jam.

2.7.3 Mukolitik

Retensi cairan yang patologis di jalan nafas disebut mukostasis. Obat-obat


yang digunakan untuk mengatasi keadaan itu disebut mukokinesis. Salah satu
obat ialah mukolitik.

Obat ini memecah rantai molekul mukoprotein sehinggaa menurunkan


viskositas mukus. Salah satu obat yang termasuk golongan ini adalah
asetilsistein. Asetilsistein adalah derivat H-Asetil dari asam amino Lsistein,
digunakan dalam bentuk larutan atau aerosol. Pemberian langsung ke dalam

xv
saluran napas melalui kateter atau bronkoskop memberikan efek segera, yaitu
meningkatkan jumlah sekret bronkus secara nyata.

Efek samping berupa stomatitis, mual, muntah, pusing, demam, dan


menggigil jarang ditemukan. Dosis yang efektif ialah 200 mg, 2-3 kali per
oral. Pemberian secara inhalasi dosisnya adalah 1-10 ml larutan 20% atau 2-
20 ml larutan 10% setiap 2-6 jam. Pemberian langsung ke dalam saluran
napas menggunakan larutan 10-20% sebanyak 1-2 ml setiap jam. Bila
diberikan sebagai aerosol harus dicampur dengan bronkodilator oleh karena
mempunyai efek bronkokonstriksi. Obat ini selain diberikan secara inhalasi
dan oral, juga dapat diberikan secara intravena. Pemberian aerosol sangat
efektif dalam mengencerkan mukus.

2.7.4 Ekspektoran

Ekspektoran ialah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari


saluran napas (ekspetorasi). Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan
stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara reflex merangsang sekresi
kelenjar saluran napas lewat N.vagus, sehingga menurunkan viskositas dan
mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini, ialah :

 Ammonium klorida Biasanya digunakan dalam bentuk campuran dengan


ekspektoran lain atau antitusif. Ammonium klorida dosis besar dapat
menimbulkan asidosis metabolik, dan harus digunakan dengan hati-hati
pada pasien dengan insufisiensi hati, ginjal, dan paru. Dosis ammonium
klorida sebagai ekspektoran padaorang dewasa ialah 300 mg (5 mL) tiap
2-4 jam.

 Gliseril guaiakolat Penggunaan obat ini hanya didasarkan pada tradisi


dan kesan subyektif pasien dan dokter. Efek samping yang mungkin
timbul dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan muntah. Obat ini
tersedia dalam bentuk sirop 100mg/5mL. Dosis dewasa yang dianjurkan
2-4 kali 200-400 mg sehari.

xvi
2.7 Komplikasi Batuk

Batuk dapat juga menimbulkan berbagai macam komplikasi seperti penyebaran


infeksi, cedera jalan nafas, pneumotoraks, patah tulang iga, hemoptysis.3

xvii
BAB III
KESIMPULAN

Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma
mekanik, kimia dan suhu dengan cara ekspirasi yang keras. Batuk juga merupakan
mekanisme pertahanan paru yang alamiah untuk menjaga agar jalan nafas tetap
bersih dan terbuka dengan cara mencegah masuknya benda asing ke saluran nafas
dan mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran
nafas.
Batuk dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman, gangguan tidur, mempengaruhi
aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup. Terutama batuk yang disertai
darah merupakan salah satu gejala yang penting pada penyakit paru. Oleh karena
batuk darah mempunyai potensi untuk terjadi kegawatan akibat perdarahan yang
terjadi, bila tidak segera ditangani secara tepat dan intensif, batuk darah yang
masif akan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Batuk darah ini harus
segera ditangani dan dicari penyakit yang mendasarinya dengan cepat dan tepat.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pengobatan simptomatik
diberikan apabila penyebab batuk tidak dapat ditentukan dengan tepat, bila batuk
tidak berfungsi dengan baik atau sangat mengganggu serta dikhawatirkan akan
menimbulkan komplikasi.

xviii
DAFTAR PUSTAKA

1. Chung, Kian Fan, and Ian D. Pavord. "Prevalence, pathogenesis, and causes of
chronic cough." The Lancet371.9621 2008: 1364-1374.
2. Phelan PD. Cough. Dalam: Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Penyunting
Respiratory illness in children. Oxford: Blackwell S Publications 1994.
3. Djojodibroto D. Respirologi. 2012. ECG :Jakarta.
4. Song, Woo-Jung, et al. The global epidemiology of chronic cough in adults: a
systematic review and meta-analysis. European Respiratory Journal, 2015.
5. Tabrani, Rab. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:TIM.
6. Culotta R, Taylor D. Diseases of the pleura. In: Ali J, Summer WR, Levitzky
MG, eds Pulmonary Pathophysiology 2nd ed. Newyork: Lange Medical
Books/McGrawhill; 2005; 194-212.
7. Alsagaff,Hood dkk. Buku Ajar Ilmu penyakit Paru . GRAMIK FK UNAIR.
2004 : 59-73
8. Culotta R, Taylor D. Diseases of the pleura. In: Ali J, Summer WR, Levitzky
MG, eds Pulmonary Pathophysiology 2nd ed. Newyork: Lange Medical
Books/McGrawhill; 2005; 194-212.
9. American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement by
the committee on Therapy, Am rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 – 474.
10. Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa Aksara.
Jakarta. p.19 – 20

xix

Anda mungkin juga menyukai