Disusun Oleh:
NURFITRIYANA R HAMKA
N111 17 143
Pembimbing :
dr. Muhammad Rizal, Sp. An
1
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu "an” dan
"esthesia", dan bersama-sama berarti "hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”. Para
ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara
patologis bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi dikemukakan pertama kali Oliver
Wendell Holmes 1809-1894) untuk proses "eterisasi" Morton (1846), untuk
menggambarkan keadaan pengurangan nyeri sewaktu pembedahan. Anestesi secara
umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Pada dasarnya prinsip anastesi mencangkup 3 hal yaitu: anestesi dapat
menghilangkan rasa sakit (analgesia), menghilangkan kesadaran (sedasi) dan juga .
relaksasi otot (relaksan) yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar.
Tindakan anestesi adalah suatu tindakan medis, yang dikerjakan secara sengaja
pada pasien sehat ataupun disertai penyakit lain dengan derajat ringan sampai berat
bahkan medekati kematian. Tindakan ini harus sudah memperoleh persetujuan dari
dokter anestesi yang akan memperoleh persetujuan dari dokter anestesi yang akan
melakukan tindakan tersebut dengan mempertimbangkan kondisi pasien, dan
memperoleh persetujuan pasien atau keluarga, sehingga tercapai tujuan yang
diinginkan yaitu pembedahan, pengelolaan nyeri , dan life support yang berlandaskan
pada patient safety.
Anestesi umum adalah suatu keadaan menghilangkan rasa nyeri secara sendtral
disertai kehilangan kesadaran dengan menggunakan obat amnesia, sedasi, analgesia,
2
pelumpuh otot, atau gabungan dari beberapa obat tersebut yang bersifat dapat pulih
kembali.
Anestesi regional atau blok saraf adalah bentuk anestesi yang hanya sebagian
dari tubuh yang dibius (dibuat mati rasa) hilangnya sensasi di daerah tubuh yang
dihasilkan oleh anestesi untuk semua saraf yang dilewati persarafannya.
Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan sel akut
atau trauma (misalnya: kekurangan oksigen, perubahan suhu yang ekstrem, dan
cedera mekanis), di mana kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang
dapat menyebabkan rusaknya sel, adanya respon peradangan dan sangat berpotensi
menyebabkan masalah kesehatan yang serius.
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi pada pasien yang
dilakukan tindakan amputasi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SUBARACHNOID BLOCK
A. Definisi
Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena
deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok saraf yang
spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom.
Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur,
sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan
proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang
berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat
anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade dari
medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad. Serabut saraf
yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan kembalinya
fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat anestesi lokal
untuk memblokade saraf tersebut.
B. Indikasi
a) Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh
darah.
b) Operasi di daerah perineal: Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan urologi.
c) Abdomen bagian bawah: Hernia, usus halus bagian distal, appendik,
rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis
4
d) Abdomen bagian atas: Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi
spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua
pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.
e) Seksio Sesarea (Caesarean Section).
f) Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.
E. Anatomi
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5
sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan
menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi umumnya
dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir di vertebra S2.6.
Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi
medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut:
- Ligamentum supraspinosum.
5
- Ligamentum interspinosum.
- Ligamentum flavum.
- Ligamentum longitudinale posterior.
- Ligamentum longitudinale anterior.
6
a) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita
visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan
adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk
spinal anestesi.
b) Posisi pasien
- Posisi Lateral, Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut
dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
- Posisi duduk, Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis,
tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan
pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak
jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block.
- Posisi Prone, Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
c) Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian
kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
d) Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum,
semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi
sakit kepala (PSH = post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil.
Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung
jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan
spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter
sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi
stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi
bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus
dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan
reaksi benda asing (Meningismus).
Saat ini dikenal dua metode penusukan pada pasien yang akan dilakukan
spinal anastesi, metode itu adalah : needle beside needle / NBN dan needle through
7
needle / NTN yang biasanya digunakan terutama untuk kombinasi epidural dan spinal
anastesi / CSEA. Kombinasi anastesi ini umum dilakukan pada tindakan bedah pasien
sectio cesaria maupun bedah ekstremitas bawah. Kombinasi anastesi ini dapat
bertujuan untuk mengurangi efek nyeri postoperatif bedah dan memperpanjang durasi
anastesi intraoperatif.
Setelah injeksi obat anastesi spinal, perlu dilakukan penilaian untuk melihat
efek kerja dari obat spinal tersebut. Penilaian yang digunakan adalah dengan bromage
scale.
Tabel 1. Bromage Scale
9
dikombinasi dengan obat induksi yang lain, terbukti dengan hasil penelitian yang
dapat dilihat pada gambar diatas.
10
d) High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi termasuk
segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan
hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi. Level anestesi
tergantung dari volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan suntikan,
valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan
gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan
level anestesi juga akan semakin tinggi.
Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat anestesi lokal. Bila
kita mengaspirasi 0,1 ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1 ml
setelah semua obat anestesi lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum
masih ada di ruangan subarakhnoid.
Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga akan
menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan
menyebabkan turbulensi dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih
tinggi. Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.
Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan berat
jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan
hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik :
1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001- 1,002.
Perawatan Selama pembedahan perlu memperhatikan beberapa hal seperti :
a) Posisi yang enak untuk pasien.
b) Kalau perlu berikan obat penenang.
c) Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.
d) Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.
e) Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing.
f) Berikan oksigen per nasal.
Perawatan Pasca pembedah perlu memperhatikan beberapa hal seperti :
a) Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah.
11
b) Minum banyak, 3 lt/hari.
c) Cegah trauma pada daerah analgesi.
d) Periksa kembalinya aktifitas motorik.
e) Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.
f) Cegah sakit kepala, mual-muntah.
g) Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan
tekanan darah dan frekuensi nadi.
I. Komplikasi
Beberapa komplikasi terkait pemberian anestesi spinal.
a) Sistem Kardiovaskuler
- Penurunan resistensi perifer
Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat
penurunan tonus vasokonstriksi simfatis.
Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous
return.
Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi,
yakni terjadinya vasokonstriksi.
- Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata
Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis. Bila
tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila
terjadi iskemia medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan
darah jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah dapat
dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat vasokonstriktor. 20 menit
sebelum dilakukan spinal anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15
ml/kgBB. Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin
25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian
intravena, dan 10-20 menit pada pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1
jam.
12
- Penurunan denyut jantung.
Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan
mempengaruhi myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesi pada
serabut saraf cardiac accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat
meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.
b) Sistim Respirasi
Bisa terjadi apnue yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat
sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan
dan vasopressor. Jarang disebabkan karena terjadi blokade motoris yang tinggi
(pada radix n.phrenicus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering,
maupun kesulitan bicara.
c) Sistim Gastrointestinal
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi,
hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimfatis
dan traction reflex (misalnya dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal).
d) Headache (PSH = Post Spinal Headache)
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya kebocoran
likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar
kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala
pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan
serebrospinal sampai 1- 2 minggu. Kehilangan cairan serebro spinal sebanyak
20ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini
pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan
menghilang dalam 4 hari.
Supaya tidak terjadi PSH dapat dilakukan pencegahan dengan :
- Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).
- Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga
jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
13
- Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal
ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan:
- Memakai abdominal binder.
- Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang
epidural tempat kebocoran.
- Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari. Kejadian post spinal
headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar
(no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak
yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.
e) Backache
Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal untuk
spinal anestesi.
f) Retensi urin
Penyebab retensi urin mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut : operasi di
daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang
subarachnoid, setelah anestesi fungsi vesica urinaria merupakan yang terakhir
pulih.
g) Komplikasi Neurologis Permanen
Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang menurunkan
kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas,
memakai syringedan jarum yang disposible, spinal anestesi dihindari pada pasien
dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. M
14
Umur : 66 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Alamat : Ds, losu
No. Rekam Medik : 535427
Tanggal Masuk IGD : 1 september 2021
B. S-O-A-P
1. Subjektif :
Keluhan Utama : Nyeri kaki sebelah kanan
Riwayat penyakit sekarang : Pasien masuk IGD RS Torabelo dengan
keluhan nyeri pada kaki kanan disertai kaki menghitam sejak 2 minggu yang
lalu. Kaki sulit digerakkan, jari jari masi bisa digerakan sedikit. Telapak kaki
sudah tidak dirasakan apabila tersentuh benda. BAK dan BAB lancar.
Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat penyakit jantung (-) disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi (+)
- Riwayat kolesterol (+) tidak berobat teratur
- Riwayat penyakit asma (-)
- Riwayat alergi obat dan makanan(-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat trauma atau kecelakaan (-)
- Riwayat merokok (-)
Riwayat penyakit keluarga :
- Riwayat penyakit DM : tidak ada
- Riwayat penyakit alergi : tidak ada
- Riwayat penyakit asma : tidak ada
- Riwayat penyakit darah tinggi : tidak ada
15
2. Objektif :
Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
B1 (Breath) : Airway :
- Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi intercostal (-),
Penggunaan otot bantu pernapasan (-), Pernapasan cuping hidung (-)
- Palpasi : Vocal Fremitus kiri-kanan sama
- Perkusi : Sonor pada kedua paru (-/-)
- Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
- RR : 18 x/menit.
B2 (Blood) :
- TD : 140/80 mmHg
- Nadi : 82 x/menit
- Inspeksi : Ictus cordis terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (S)
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : S1 dan S2 murni regular, bising (-)
B3 (Brain): Kesadaran :
- Mata : Mata cekung (-/-), Conjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor diameter ± 2.5 mm.
- Telinga : Discharge (-)
- Hidung : Discharge (-), epistaksis (-)
16
- Mulut : Sianosis (-) bibir kering (+), mukosa membran kering
(+), pembesaran tonsil (-), skor
Mallampati 2.
- Leher : simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran kelenjar
getah bening (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-).
B5 (Bowel) :
- Inspeksi : Cembung, tidak terdapat jejas
- Auskultasi : Bising usus peristaltik (+)
- Perkusi : Bunyi timpani, Ascites (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
17
Eritrosit 4.3 L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6 Juta/ul
Hematokrit 34.9 L: 40-54 P: 35-47 %
Trombosit 474.000 150.000-500.000 /mm3
Waktu
7” 4-12 m.det
pembekuan
Waktu
3” 1-4 m.det
perdarahan
3. Assesment
- Status fisik ASA II
- Observasi urin dan TTV
- Acc. Anestesi
- Diagnosis Nekrosis 1/3 distal cruris dextra + PAD+ Hiperkolesterol
4. Plan
Penatalaksanaan dari dokter spesialis bedah :
- IVFD Nacl 0.9% 20 tpm
- Farbion / 24 jam iv
- Omeprazole / 12 jam iv
- Ketorolac / 8 jam iv
- Atorvastati 1x1
- Amplodipin 10 mg 1x1
18
Persiapan pasien preoperatif :
IVFD RL 300 ml
Intra Operatif
Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : Nekrosis 1/3 distal cruris dextra + PAD+
Hiperkolesterol
b) Diagnosis post-bedah : Post amputasi transtibial dextra
c) Jenis pembedahan : amputasi below knee
d) Anestesiologi : dr. Muhammad Rizal, Sp.An
e) Ahli Bedah : dr. Mukhisal Aqni, Sp.B
f) Persiapan anestesi : Informed consent
g) Jenis anestesi : regional anastesi
19
h) Teknik anestesi : subarachnoid block
i) Premedikasi anestesi : Ranitidin 50 mg
Ondansentron 4 mg
Dexamethasone 10 mg
j) Induksi : Bupivacain 0,5% 15 mg
Fentanyl 25 mcg
k) Medikasi Tambahan : propofol 30ml
Fentanyl 50mg
l) Maintenance : O2 4 lpm. Efedrin saat TD <25%
m) Posisi : Supinasi
n) Respirasi : Spontan
o) Anestesi mulai : 14.00 WITA
p) Operasi mulai : 14.05 WITA
q) Lama Operasi : 2 jam 55 menit
r) Lama anastesi : 3 jam 15 menit
Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini digunakan
T Tubes
laryngeal mask airway ukuran 4
20
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
21
14.35 124/70 70 100
14.40 120/70 75 100
14.45 120/70 130 100
14.50 120/74 88 100
14.55 121/64 85 100
15.00 121/64 80 100
15.05 121/64 90 100
15.10 120/59 120 100
15.15 120/59 122 100
15.20 120/59 120 100
15.25 116/71 122 100
15.30 116/71 125 100
15.35 116/71 130 100
15.40 124/70 133 100
15.45 124/70 133 100
15.50 120/70 130 100
15.55 124/71 132 100
16.00 120/59 123 100
16.05 120/59 120 100
16.10 120/59 120 100
16.15 116/71 122 100 Propofol 30mg
Fentanyl 50 mcg
16.20 116/71 120 100
16.25 116/71 122 100
16.30 124/70 125 100
16.35 124/70 130 100
Terapi Cairan :
J. Pre operasi
BB: 65 Kg
Maintenance kebutuhan cairan per jam:
= 40 cc x kgbb/24 jam
= 40 cc x 65 kg/24jam
= 2600ml
= 108 cc/jam
22
Kebutuhan Cairan Pengganti Puasa 8 Jam :
= 8 Jam x 108cc/jam
= 864 cc
1. Defisit Cairan Puasa
= 864 cc
2. Estimate Blood Volume (EBV):
= 70 cc x BB
= 70 cc x 65 Kg
= 4,550 cc
Jumlah perdarahan = ± 300cc
% perdarahan = 300: 4550 x 100%
= 15,1%
3. Stress operasi:
Operasi Besar : 6 ml x BB
= 6 ml x 65 kg = 390 ml
4. Cairan pengganti defisit darah
= 300 cc
(Cairan diganti dengan kristaloid,
300 ml x 2 = 600 cc)
Total kebutuhan cairan selama operasi adalah
864 + 300 + 390 = 1.554 cc
Keseimbangan kebutuhan :
Cairan Masuk – (Kebutuhan total cairan operasi)
= 1000 – 1.554
= - 554 cc
Post operasi
23
Maintenence BB: 65 Kg
Kebutuhan cairan per jam:
= 40 ml x 65 kg
= 2600 ml / 24jam
= 108 cc/jam
Total cairan
Cairan masuk :
- Pre operatif : Kristaloid RL 500 ml
- Durante operatif : Kristaloid RL 1000 ml
Total input cairan : Kristaloid RL 500 ml + 1000 ml = 1500 ml
Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan : ± 300 ml
- Urin : ± 500 ml
Total output cairan : ± 800 ml
Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 1500 ml – 800 ml = 700 ml
K. Post Operatif
Pemantauan di Recovery Room :
a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. Pada pasien TD: 130/80 mmHg.
nadi: 72x/menit, respirasi: 20x/menit
b. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan analgetik
c. Bila Bromage Score ≤ 2 boleh pindah ruangan. Pada pasien didapatkan
skor 2
d. Mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum sedikit –
sedikit.
24
Gambar 5. Skor Bromage
Perintah di ruangan :
a. Awasi tanda vital : tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu
b. Bila mual atau muntah : injeksi Ondansetron 4 mg IV
c. Program cairan : infus RL 20 tetes/menit
d. Program analgetik : petidina 75 mg drips 15 tpm
25
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus ini, dilakukan tindakan bedah berupa Operasi amputasi.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik ASA dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk ASA II, karena pasien datang
dengan penyakit ringan yang di derita, score mallapati 2.
Tindakan amputasi below knee pada pasien Nekrosis 1/3 distal cruris dextra +
PAB + Hiperkolesterol dapat menggunakan anestesi umum dan regional. Jenis
anestesi yang dipilih pada pasien ini adalah regional anestesi dengan teknik SAB.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi di
daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari anestesi
umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang
minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga, serta
penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.
Saat preoperasi dijelaskan kepada pasien anastesi yang akan di lakukan serta
menjelaskan kepada keluarga resiko resiko dari teknik anastesi. Selain itu, meminta
pasien untuk puasa selama ± 8 jam sebelum dimulai operasi dan meminta pasien
untuk tidak memakai gigi palsu. Prosedur lain yang dilakukan adalah memasang
kateter dan memasang cairan infus dengan menggunakan transfusi set dan abocath
nomor 18 G dengan cairan RL pada tangan kiri.
Kesadaran pasien compos mentis dan sebelum dilakukan induksi pada pasien
disuntikan obat premedikasi berupa ondansentron 4 mg, dexamethasone 10 mg dan
26
Ranitidin 50 mg IV dengan tujuan penanganan mual dan muntah selama dan sesudah
operasi.
Pasien pada kasus ini dilakukan tindakan anastesi spinal. Pada anestesi spinal
terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut diantaranya
penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis
yang diderita pasien, dan peningkatan tekanan intrakanial. Sedangkan kontraindikasi
relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan dan lama operasi yang tidak diketahui.
Selain itu teknik ini dipilih karena selain lebih murah juga efek sistemiknya lebih
rendah dibanding anestesi umum.
27
Gambar 5. Teknik Anestesi Spinal
28
anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka
akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik),
obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan
berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain hyperbaric
0,5% dengan dosis 15 mg dan fentanyl 25 mcg . Bupivakain bekerja menstabilkan
membran neuron dengan cara menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus
yang diperlukan dalam memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang
berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf
yang terkena menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik,
nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati
dan melalui pernafasan (paru-paru).
Pada penelitian lainnya onset blok sensorik pada kelompok bupivakain
hiperbarik 0,5% 5 mg adjuvant morfin 100 μg dan klonidin 45 μg rerata 105 detik dan
pada kelompok kelompok bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg adjuvant morfin 100 μg
dan klonidin 45 μg adalah 63 detik, dengan nilai p = 0,000.7 Hal ini sesuai dengan
penelitian yang membandingkan bupivakain 5 mg dengan ajuvan fentanyl 25 μg dan
bupivakain 10 mg tanpa ajuvan.8 Pada penelitian lainnya yang membandingkan
bupivakain 7,5 mg dan bupivakain 10 mg dengan ajuvan fentanyl 20 μg tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan, tetapi hasil yang didapatkan serupa, yaitu
onset blok kelompok bupivakain 10 mg lebih cepat daripada kelompok bupivakain
7,5 mg.9 Satu penelitian menyatakan bahwa onset blok sensorik lebih cepat dengan
semakin bertambahnya dosis.10 Hal ini sejalan dengan teori di mana salah satu faktor
yang mempengaruhi ketinggian blok adalah volume (dosis) obat. Semakin besar
volumenya, semakin tinggi blok yang dicapai.
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan
pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf,
uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah.
29
Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan
obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi
lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar saraf di medula spinalis
(primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder)
dan traktus asenden dan desenden parenkim di medula spinalis. .
Pada pasien ini berikan cairan infus RL sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pasien sudah tidak makan dan minum ±
8 jam, maka kebutuhan cairan pada pasien ini :
L. Pre operasi
BB: 65 Kg
Maintenance kebutuhan cairan per jam:
= 40 cc x kgbb/24 jam
= 40 cc x 65 kg/24jam
= 2600ml
= 108 cc/jam
30
4. Stress operasi:
Operasi Besar : 6 ml x BB
= 6 ml x 65 kg = 390 ml
5. Cairan pengganti defisit darah
= 300 cc
(Cairan diganti dengan kristaloid,
300 ml x 2 = 600 cc)
Total kebutuhan cairan selama operasi adalah
864 + 300 + 390 = 1.554 cc
Keseimbangan kebutuhan :
Cairan Masuk – (Kebutuhan total cairan operasi)
= 1000 – 1.554
= - 554 cc
Post operasi
Maintenence BB: 65 Kg
Kebutuhan cairan per jam:
= 40 ml x 65 kg
= 2600 ml / 24jam
= 108 cc/jam
Total cairan
Cairan masuk :
- Pre operatif : Kristaloid RL 500 ml
- Durante operatif : Kristaloid RL 1000 ml
Total input cairan : Kristaloid RL 500 ml + 1000 ml = 1500 ml
Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan : ± 300 ml
31
- Urin : ± 500 ml
Total output cairan : ± 800 ml
Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 1500 ml – 800 ml = 700 ml
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis
Anestesiologi, Edisi II, BagianAnestesiologidanTerapiIntensif FK-UI, Jakarta,
Juni, 2001, hal ; 77-83, 161.
2. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor HK. 02 .02
tentang pedoman nasional pelayanan kedokteran anestesiologi dan terapi intensif.
2015
3. Alkhayarin M. Standard spinal anaesthesia then turned prone for lower
limb orthopaedic surgeries. International journal of anesthesiology & pain
medicine. 2018. Qatar
4. Zaidi M. A prospective study of recovery profile after subarachnoid block
in elderly versus young patients. Indian journal of anaesthesia. 2008. India
5. Veering B. Regional anasthesia : principles and practice of regional
anaesthesia. 2003. Edinbrugh
6. Abdelzaam E. A comparative study of intrathecal injection of bupivacain
alone or with fentanyl, clonidine, neostigmine in lower abdominal surgies.
Scientific research publishing. 2019. Egypt
7. Hutton M. Regional anaesthesia and outcomes. Elsevier BJA Education.
2018. Canada
8. Esa d.f, pharasari A,N. Dkk. Peripheral Arterial disease and
Cardiovascular Mortality in Type-2 Diabetes Mellitus. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia | Vol. 6, No. 2 | Juni 2019
9. Zulkifli M, Salahudin A, ahmad. Perbandingan Efektivitas Anestesi Spinal
Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Dosis 7,5 Mg dengan 5 Mg pada
Seksio Sesarea. Departemen Anestesiologi, Perawatan intensif, dan Manajemen
Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. 2019
33