Oleh
Nico Aldrin Avesina
Redopatra Asa Gama
Tresa Ivani Saskia
Sarah Winda Baresti
Pembimbing
dr. Hartawan, Sp.An
dr. Yusnita Deborah, MD., Sp.An
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anestesiologi
adalah
ilmu
kedokteran
yang
awalnya
berprofesi
menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan.
Anestesi dapat dibagi menjadi anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum
adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat reversibel, dan anestesi regional adalah penggunaan obat analgetik lokal
untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian
tubuh bilokir untuk sementara (reversibel) serta fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya namun pasien tetap sadar.
Total Knee Replacement (TKR) adalah operasi ortopedik untuk penggantian
sendi lutut. Total knee replacement menggantikan sakit sendi lutut dan menghilangkan
permukaan bantalan yang rusak yang menyebabkan sakit. Prosedur total knee
replacement dilakukan lebih dari 500.000 operasidi amerika serikat. Pada tahun 2000
sampai 2006, rerata rasio pelayanan kesehatan TKR di amerika serikat meningkat dari
5.5 menjadi 8.7 per 1000 orang. Sejak tahun 2000 salah satu rumah sakit di Indonesia
melakukan operasi Total Knee Replacement terbanyak di kawasan Asia Tenggara.
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah keadaan terjadinya kerusakan ginjal
atau laju filtrasi glomerulus < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih. Chronic
Kidney Disease merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian
yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk dan memerlukan biaya perawatan
yang mahal. Pada negara berkembang, insidensi CKD diperkirakan sekitar 40-60
kasus per juta penduduk per tahun. Menurut suhardjono (2000), di Indonesia, jumlah
penderita PGK dianggarkan sekitar 50 orang per satu juta penduduk. Pada tahun 2006
menurut Sinaga (2007) terdapat sekitar 100.000 orang penderita gagal ginjal kronik di
Indonesia.
Pada laporan kasus ini kami akan membahas mengenai pengelolaan anestesi
pada pasien operasi total knee replacement disertai chronic kidney disease.
-
Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
2
1.
2.
3.
4.
Tujuan masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka didapatkan tujuan penelitian sebagai
berikut :
Untuk mengetahui pemilihan teknik anastesi pada pasien dengan operasi total
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anastesi Regional
1. Definisi
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi disekitar
syaraf sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesi regional dibagi menjadi blok
sentral (blok spinal, epidural, dan kaudal) dan blok perifer (blok saraf seperti pleksus
brakialis, aksiler, analgesia regional intravena. Spinal anestesi adalah suntikan obat
anestesi kedalam ruang subarachnoid dan ekstradural epidural di lakukan suntikan
kedalam ekstradural.
Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional
yang
dilakukan
dengan
cara
menyuntikkan
obat
anestesi
lokal
ke
dalam
Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa
pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local hanya berkisar 90-120 menit, bisa
ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung : pertimbangkan jika terjadi komplikasi kearah jantung akibat
menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens. Garis lurus yang menghubungkan
kedua krista iliaka tertinggi akan memotong prosesus spinosus vertebrae L4 atau antara
L4-L5.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat kepala
dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan keluarnya
nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5)
memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh. Gambaran anatomi vertebra terlihat
pada Gambar 1.
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5
NervusSpinalis.
Nervusspinalismeninggalkankanalisspinalismenembuskeduaforamenintervertebtralis,
danmempersarafikulityangdikenalsebagaidermatom.Perjalanannervusviscerallebih
kompleks,tergantungdansesuaidenganperekembanganakhirembrionikorgandaripada
posisiakhirdalamtubuh.Seringterjadi,tingkatanestesiauntukoperasiyangdikehendaki
lebih tinggi dari perkiraan dasar yangmenutupi dermatom sensoris,Contoh: anestesia
visceralabdomenbagianatasdibutuhkanpalingkurangtingkatspinalT4walaupuninsisi
kulit pada T6 atau lebih. Afferen simpatik kembali dari end organ melalui pleksus
prevertebra danganglionparavertebrasehinggamencapai medulaspinalis padasetiap
tingkat.
Tabel 1. Tingkat Minimum Dermatom Untuk anestesi spinal.
LetakOperasi
Ekstremitasbawah.
Yangdiperlukan
T12
Panggul.
T10
ProtatatauBulibuli.
T10.
Uterusvagina
T10
Testis.
T6.
Herniorapi.
T4.
Intraabdomen.
T4.
Saraf spinalis ada 31 pasang yaitu 8 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1
koksigeal.Padaspinalanestesi,paralysismotorikmempengaruhigerakanbermacamsendi
danotot.Ketinggiansegmentalanatomiksebagaiberikut:
Klavikula C3-C4
Umbilikus T10
Daerah ingunal L1
Perineum S1-4
Epigastrik T7-8
Abdominal T9-12
Kremaster L1-2
Lutut L2-4
Plantar, pergelangan kaki S1-2
Sfingter anus, refleks kejut S4-5
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
Kutis
Subkutis : Ketebalannya
spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina
ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi mencengkeram
9
dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati ligamentum dan masuk
keruang epidural.
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk. Jarum
Medula spinalis berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinalis
dibungkus meningen (duramater, lemak, dan pleksus venosus) pada dewasa berakhir
setinggi L1, pada anak L2, dan pada bayi L3 dan sakus duralis berakhir setinggi S2.
Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang berasal dari pleksus arteria
koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Cairan jernih tak berwarna mengisi
ruang subarachnoid dengan jumlah total 100-150 ml, sedangkan yang dipunggung sekitar
25-45 ml.
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri dan vena
yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis posterior yang
memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior memperdarahi 2/3
bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang memperdarahi medulla,
berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks. Sistem vena yang terdapat di
medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan posterior.
10
Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi selama operasi
11
tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Tidak boleh memaksa pasien untuk
jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi local bersifat
reversible. Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan
saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan
masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut dalam air.
Anestetik regional pada pelaksanaannya juga diberikan obat-obatan premedikasi.
Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan sebelum dilakukan induksi
dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menimbulkan rasa nyaman pada pasien ( menghilangkan kekhawatiran, memberikan
ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesi)
2. Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari anestesi.
3. Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi.
4. Mengurangi timbulnya hipersalivasi, brakikardi, mual dan muntanh pascaanestesi.
5. Mengurangi stress fisiologis (takikardia, napas cepat, dll)
6. Mengurangi keasaman lambung.
Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi sebagai
berikut:
Analgetik narkotik
Morfin. Dosis premedikasi dewasa 5-10mg (0,1-0,2 mg/kgBB) intramuscular diberikan
untuk mengurangi kecemasan dan keteganagan pesien menjelang operasi, menghindari
takipnu pada pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan
dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta
kolik biliaris dan ureter. Kadang-kadang terjadi konstipasi, retensi urin, hipotensi, dan
depresi napas.
Petidin. Dosis premedikasi dewasa 50-75mg (1-1,5 mg/kgBB) intravena diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Dosis induksi 1-2
mg/kgBB intravena.
Barbiturat
Pentobarbital dan sekobarbital. Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa
adalah masa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1 mg/kgBB secara oral atau intramuscular.
13
14
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik
local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik local dengan berat
jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih
kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan:
Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat hyperbaric, dosis 2050mg(1-2ml).
Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,dosis 515mg(1-3ml).
Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia. Berikut adalah
beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus diperhatikan saat melakukan
anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi local,
menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan terjadi paresis
sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls saraf. Jika
impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka bisa terjadi
henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang
masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti
jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat
menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka memungkinkan
terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi
15
local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema. Apabila
tidak sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan
langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur, bisa
menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah.
Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama saat
menggunakan obat anestesi local.
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain atau adjuvant.
Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya pada anestesi spinal.
Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat
anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local dimetabolisme lambat di
dalam rongga subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada
pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan
memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat
menjadi lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset
terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid misalnya fentanyl
adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi local menjadi
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada
anestesi spinal menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat menambah
durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan
Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan
penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal
terdapat pada table dibawah ini.
Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal
16
17
10. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa kurang lebih 6 cm
Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan paramedian.
Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu tulang
belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis tengah dan
dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
18
19
Faktor utama
- Berat jenis anestesi lokal (barisitas) terbagi menjadi isobarik (lidokain 2% plain
dan bupivakain 0,5% dalam air) dan hiperbarik (lidokain 5% dalam dekstrosa
-
Faktor tambahan
-
Ketinggian suntikan
Kecepatan suntikan/barbotase
Ujuran jarum
Keadaan fisik pasien
Tekanan intraabdominal
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan
tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac
output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan
harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat
vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada
pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tibatiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien
dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah
penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek
bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi
dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara
cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia
spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati
dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena
aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4mg IV.
b. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis
yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah
hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati
bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi
arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling
sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi
darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel
lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan
terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic
interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran
darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini
tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan
henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang
22
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paruparu normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan tandatanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.
d. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang
bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. Untuk
menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau
diberikan ranitidine.
23
24
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya sindrom
spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan
obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin
yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah
yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi
regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah.
f. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional.
Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada
analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen
merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan
Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
Pengobatan
Hidrasi adekuat.
Hindari mengejan.
Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood patch
yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang epidural. Cara
ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu beberapa jam)
pada lebih dari 90% kasus.
Indonesia, telah melakukan operasi total knee replacement terbanyak di kawasan Asia
Tenggara.
Total Knee Replacement atau yang disingkat dengan TKR adalah prosedur bedah
yang dilakukan pada sendi lutut untuk mengganti bantalan tulang rawan pada sendi
lutut dengan bantalan buatan yang terdapat dari besi. Tindakan TKR dilakukan ketika
sendi lutut mengalami kerusakan yang amat berat akibat cedera olahraga ataupun
radang sendi. Tindakan ini diambil ketika sudah dilakukan pengobatan ataupun
penggunakan alat penyangga lutut namun sudah tidak efektif lagi.
Total knee replacement diberikaan untuk kondisi perkapuran stadium lanjut atau grade
IV, biasanya disertai dengan perubahan bentuk fisik dari kaki menyerupai huruf O
atau X. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah total knee replacement atau
mengganti sendi lutut menggunakan prothese. Meski lutut aritifisial tidak sempurna
seperti sebelumnya, tapi operasi itu akan memperbaiki kualitas hidup penderita
dengan hilangnya rasa nyeri, kekakuan sendi, dan bentuk sendi lutut yang bengkok.
Perbandingan lutut sebelum dioperasi dengan lutut sesudah dioperasi Total knee
replacement biasanya dilakukan pada penderita osteoarthritis berat. Sebagian besar
pasien yang mendapatkan lutut artifisial berusia di atas 50 tahun, tetapi bukan tidak
mungkin ada penderita yang usianya lebih muda karena mengalami kasus khusus.
Meski kerusakan sendi dapat diatasi dengan total knee replacement, tapi tindakan itu
mengandung risiko. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi setelah operasi
penggantian sendi adalah, nabloding (infeksi akibat dari pembalutan yang berlapislapis), atau thrombosis (pembekuan darah di sekitar bidang operasi), prothese lepas
(akibat infeksi atau tidak kuatnya phrotesa menanggung beban berat badan penderita
serta akibat dari aktivitas yang dilakukan penderita). Prothese dapat bertahan antara
15-20 tahun. Tapi dengan alasan tertentu, total knee ini tidak bisa dilakukan pada
orang yang sangat gemuk atau usianya yang masih terlalu muda. Jika prothese sampai
loose, hal itu akan berakibat rasa sakit. Meski dapat diganti, tetapi operasi yang kedua
hasilnya tidak sebaik operasi yang pertama.
Total Knee Replacement melibatkan 7-8 incisi di atas lutut, dan beristirahat di rumah
sakit selama 3-5 hari. Fase recovery berlangsung dari 1-3 bulan. Setelah dilakukan
operasi, biasanya pasien akan dapat berjalan kembali dan nyeri sendi berkurang secara
26
nyata. Keterbatasan aktifitas hanyalah pada penekukan sendi lutut yang ekstrim
misalnya, berjongkok atau duduk menekuk.
Total Knee Replacement umumnya memerlukan waktu operasi selama 1 sampai 3
jam. Setelah operasi, pasien dibawa ke ruang pemulihan, dimana organ-organ vital
dimonitor fungsinya. Ketika sudah stabil, pasien dibawa kembali ke bangsal. Resiko
total knee replacement termasuk hematoma di kaki yang dapat berjalan ke paru-paru
(emboli paru). Pulmonary emboli dapat menyebabkan sesak nafas, sakit dada, dan
bahkan syok. Risiko lainnya meliputi infeksi saluran kencing, mual dan muntah
(biasanya terkait dengan obat nyeri), nyeri lutut kronis dan kekakuan, perdarahan
sendi lutut, kerusakan saraf, cedera pembuluh darah, dan infeksi pada lutut yang
memerlukan operasi ulang.
Sebelum operasi, sakit pada sedi lutut harus dievaluasi secara hati-hati. Hal ini penting
untuk memastikan hasil yang optimal dari operasi. Setelah dilakukan Total Knee
Replacement, hindari aktivitas berikut :
1. Lari atau jogging
2. Latihan yang terlalu padat
3. Olah raga dengan perputaran (tennis, bola basket)
4. kontak sport (sepak bola)
2.
Indikasi
Indikasi utama adalah untuk mengurangi rasa sakit yang disebabkan oleh arthritis.
Tujuan sekunder untuk memperbaiki cacat, dan untuk mengembalikan fungsi. Lebih
khusus, canidates untuk total knee replacement perubahan degeneratif sendi lutut yang
telah parah.
3.
Tujuan
Tujuan total knee replacement yaitu :
1.
2.
3.
4.
4.
`
Rehabilitasi
Hari operasi
a. Deep breathing exercises
b. Active movement
Post-op hari 1
27
a.
b.
c.
28
pembukaan kunci yang mendadak merupakan bukti handal bahwa sebelumnya sesuatu
yang dapat bergerak telah menghalangi eksistensi penuh.
6) Pemberian Jalan
Pemberian jalan juga menunjukkan suatu kelainan mekanis, meskipun kelainan ini
dapat terjadi akibat kelemahan otot; bila kelainan ini terjadi terutama saat naik tangga,
sendi patelofemoral harus dikurangi. Ketidakstabilan yang cukup menyebabkan
pasien jatuh adalah petunjuk untuk dislokasi patela.
C. Chronic Kidney Disease
1. Definisi
Chronic kidney disease (CKD ) adalah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen
pada ginjal. Ginjal tidak mampu melakukan fungsinya untuk membuang sampah sisa
metabolisme dalam tubuh, mempertahankan keseimbangan cairan , elektrolit dan
asam basa dalam tubuh. CKD dapat berkembang cepat 2-3 bulan dan dapat pula
berkembang dalam waktu yang sangat lama 30-40 tahun.
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal atau
laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih.
Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan irreversible yang akan
berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal. Adanya kerusakan ginjal tersebut
dapat dilihat dari kelainan yang terdapat dalam darah, urin, pencitraan, atau biopsi
ginjal. CKD merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian
yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya perawatan
yang mahal.
2. Etiologi
CKD dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit dari ginjal itu sendiri
1. DM type 1 dan 2 menyebabkan kondisi diabetic nefrofathy dan merupakan
penyebabkan utama penyakit ginjal di Unted State
2. Hipertensi jika tidak terkontrol dapat mengakibat kerusakan pada ginjal
3. Glomerulonephritis adalah inflamasi dan kerusakan dari system filtrasi di ginjal dan
dapat menyebabkan gagal ginjal. Kondisi post infeksi dan LUPUS adalah penyebab
utama glomerulonephritis
4. Polycystic kidney diease adalah contoh penyebab yang sifatnya herediter dari CKD,
dimana ginjal mempunyai multiple cystic
5. Penggunaan analgetik seperti asetaminofen (Tylenol ) dan ibuprofen (motrin, advil )
secara reguler dan dalam waktu lama dapat menyebabkan neprophaty analgetic.
Beberapa jenis obat yang lain dapat pula menyebabkan kerusakan di ginjal
6. Artherosclerosis menyebabkan kondisi yang disebut ischemik neprophathy
29
7. obstruksi aliran urine oleh karena batu saluran kencing, pembesaran prostat, stuktur
atau cacer dapat menyebabkan kidney disease
8. Penyebab lain seperti : infeksi HIV, sickle cell disease, heroin abuse, amyloidosis,
batu gijal, chronic kidney infection, cancer
3. Batasan
Batasan yang tercantum dalam clinical practice guidelines on CKD menyebutkan
bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah satu dari kriteria
dibawah ini:
1. Kerusakan ginjal 3 bulan, yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau
fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan glomerular filtration rate (GFR), yang
bermanifestasi sebagai satu atau lebih gejala:
i) Abnormalitas komposisi urin
ii) Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
iii) Abnormalitas biopsi ginjal
2. GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa gejala kerusakan
ginjal lain yang telah disebutkan.
4. Klasifikasi
Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi
awal kerusakan ginjal dan penatalaksanaan, serta untuk pencegahan komplikasi CKD.
Stadium 1
>90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat
Stadium 2
60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
Stadium 3
30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang
Stadium 4
15-29 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat
Stadium 5
<15 (atau dialisis) Gagal ginjal
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan
didapatkan edema, hipertensi, hematuria, dan proteinuria. Anak dengan kelainan
kongenital sistem traktus urinarius, seperti renal dysplasia atau uropati obstruksi akan
ditemukan gagal tumbuh, gejala infeksi saluran kemih berulang, dan gejala
nonspesifik lainnya.
Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya asimtomatik dan gejala
klinis biasanya baru muncul pada CKD stadium 4 dan 5.
Ada beberapa gejala yang umum ditemukan pada pasien dengan CKD yaitu :
a.
b.
c.
d.
Fatigue dan lemah (akibat anemia dan akumulasi dari produk sisa metabolisme)
Loss of appetite, nausea & vomiting
Edema
gatal, mear, kulit pucat
30
6. Pemeriksaan Penunjang
Pada CKD stadium awal biasanya tanpa gejala, sehingga hanya pemerikasaan
penunjang seperti pemeriksaan laboratorium yang dapat menditeksi adanya masalah
tersebut. Adapun tes rutin yang dapat dilakukan untuk mengetahui perkembangan
CKD adalah :
a. Urine test : protein urin, sel darah merah dan kristal , kolesistokinin
b. Blood test : creatinin, ureum ,BUN, elektrolit ( K, P, Ca) asam basa, Hb
c. Ultrasound : untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal,
mengkaji aliran urin dalam ginjal
d. Pemeriksaan mikroskopis urin dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi
untuk mencari adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kast. Sebagian besar
anak dengan CKD memiliki banyak hyalin cast. Granular cast yang berwarna
keruh kecoklatan menunjukkan nekrosis tubular akut, sedangkan red cell cast
menunjukkn adanya suatu glomerulonephritis
e. Laju filtrasi glmerulus setara dengan penjumlahan laju filtrasi di semua nefron
yang masih berfungsi sehingga perkiraan GFR dapat memberikan pengukuran
kasar jumlah nefron yang masih berfungsi. Pemeriksaan GFR biasanya dengan
menggunakan creatinine clearance, akan tetapi untuk pemeriksaan ini kurang
praktis karena membutuhkan pengumpulan urin 24 jam.
f. Pencitraan : foto polos, USG, Ct Scan, MRI, retrogade atau anterogade pielografi,
dan pemeriksaan tulang.
g. Biopsi
7. Tatalaksana
31
Terapi dislipidemia
Terapi hipertensi
Terapi anemia
Terapi osteodistrofi renal = mengatasi hiperfosfateia dan pemberian hormon
kalsiterol.
Perhatikan diet
Terapi farmakologi : ACE inhibitor untuk memperlambat proses pemburukan
fungsi ginjal.
Pembatasan cairan dan elektrolit
Hemodialisis : indikasi absolut (perikarditis, ensfalopati, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten dan BUN >120 mg% dan kreatinin >10 mg%) dan indikasi elektif (LFG
32
BAB III
PEMBAHASAN
1. Paparan Kasus
1. Identitas
Nama
Safrudin
Umur
46 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Agama
Islam
Alamat
Menggala
Diagnosa Pre-Op
Diagnosa Post-Op
Tanggal Masuk
Tanggal Operasi
Medical Record
285334
2. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
(+)
Alergi obat
(-)
Riwayat DM
(-)
Riwayat merokok
(+)
Riwayat asma
(-)
Konsumsi alkohol
(-)
(-)
(-)
Kesadaran
Tekanan Darah
150/90 mmHg
Nadi
88 x/menit
Pernafasan
Suhu
37.4oC
Tinggi Badan
166 cm
Berat Badan
50 kg
Kepala
Bentuk
Normocephal, simetris
34
Rambut
Mata
Leher
Telinga:
Hidung
Mulut
Gigi
Lidah
Tiroid
Tidak membesar
Trakea
TMD
5 cm
JVP
ToraksPulmo
1.
Inspeksi
2.
Palpasi
3.
Perkusi
Sonor (+/+)
4.
Auskultasi
Jantung
1.
Inspeksi
2.
Palpasi
3.
Perkusi
4.
Auskultasi
Abdomen
1.
Inspeksi
2.
Palpasi
3.
Perkusi
4.
Auskultasi
Ekstremitas Superior
Inferior
Status Anestesi
ASA III
Leukosit : 11.020/uL
Hematokrit : 26.5 %
Pada tanggal 1 Maret 2016, pasien mendapat persetujuan oleh ahli bedah dan ahli
anastesi untuk menjalani operasi total knee replacement sesuai dengan keadaan dan
indikasi.
7. Tindakan Operasi
Rencana Operasi
Persiapan Operasi
1.
2.
3.
4.
5.
Durasi Operasi
Sebelumnya, anastesi akan dilakukan secara regional dengan metode spinal subarachnoid
block, sehingga tindakan anaestetik dilakukan dengan obat-obatan dan dosis ideal serta
jumlah pengganti cairan sebagai berikut;
Premedikasi
Induksi
Decain spinal 5% 20 mg
Fentanyl 75 mcg, dosis pada pasien 1-2 mcg x 50 = 50-100 mcg
Pemeliharaan
Penunjang
2 x 50 kg = 100 ml
Pengganti puasa
6 x 100 kg = 600 ml
Stress operasi
6 x 50 kg = 300 ml
Cairan
Maintenance (M)
Pengganti Puasa (PP)
Stress Operasi (SO)
Jumlah
Jam 1
100
300
300
700
Jam 2
100
150
300
550
Jam 3
100
150
300
550
Keterangan :
Pemberian jam 1 = PP+M+SO = 330+110+330 = 700 ml
Pemberian jam 2 = PP+M+SO = 165+110+330 = 650 ml
Pemberian jam 3 = PP+M+SO = 165+110+330 = 650 ml
Estimasi Blood Volume (EBV)
70 x 50 kg
3500 ml
2. Pembahasan
1. Bagaimana Pemilihan Teknik Anastesi pada Pasien?
Pada pasien dengan diagnosa awal osteoarthritis regio genue sinistra ini dilakukan teknik
anestesi spinal dikarenakan atas indikasi yang ada pada pasien. anestesi spinal dilakukan pada
ketinggian lumbal II-III dengan nald ukuran 25
Anestesi spinal adalah tindakan anaestetik dengan injeksi agen anestesia lokal ke dalam ruang
sub-arachnoid yang menghasilkan efek analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam
ruang ruang sub-arachnoid dilakukan pada regio lumbal intervertebrae lumbal II-III, III-IV,
IV-V.
37
Indikasi
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila
mamae kebawah) seperti bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar
rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah,
bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan anestesi umum
ringan [1][3]
Kontra Indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu kontra
indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa
dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
38
pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local hanya berkisar 90-120 menit, bisa
ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung : pertimbangkan jika terjadi komplikasi kearah jantung akibat
lumbal.
Larutan
anestesi
lokal
bercampur
dengan
cairan
serebrospinallumbal setelah diinjeksikan, yang kemudian bekerja pada lapisan superfisial dari
korda spinalis, terutama pada serabut preganglionik yang meninggalkan korda spinal pada
ramianterior.
Spinal anestesi mempunyai beberapa keuntungan, antara lain;
1.
Perubahanmetabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat
2.
Komplikasi terhadapjantung, otak, paru umumnya minimal, mengingat agen
3.
Selain keuntungan ada juga kerugian berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan
muntah, post dural puncture headache (PDPH), nyeri pinggang dan lainnya.
2. Bagaimana Premedikasi, Induksi, dan Rumatan Anestesi pada pasien ini ?
Pada pasien ini, diketahui bahwa selain pasien menderita osteoarthritis regio genue sinistra,
pasien
juga
mengalami
chronic
kidney
disease.
Hal
ini
menyebabkan
perlu
mempertimbangkan dosis obat-obatan, agen inhalasi dan jumlah cairan yang akan diberikan
pada pasien ini. teknik anestesi regional yang digunakan pada pasien ini memakai agen
anestesi decain spinal 5% (bupivacain)yang memiliki durasi kerja 1.5-2 jam dalam keadaan
39
ideal. oleh karena itu pembedahan seharusnya dilakukan dengan durasi operasi 1,5-2 jam,
agar tidak menambahkan obat yang diberikan pada pasien.
Pembedahan dilakukan dengan pemberian premedikasi yaitu ondancentron 4 mg. hal ini
digunakan untuk menekan efek muntah dari teknik anestesi regional SAB. kemudian
diberikan induksi dengan decain spinal 5% dengan dosis 20 mg dan fentanyl dengan dosis 75
mcg karena penambahan fentanyl dapat memperpanjang durasi efek anestesi. Selama proses
pembedahan, pasien diberikan pemeliharaan dengan O2 3 L/menit dengan nasal canul. Pada
proses pembedahan pasien diberikan analegesia dengan tramadol 100 mg dan ketorolac 30
mg.
Cairan Durante Operasi
Maintenance
2 x 50 kg = 100 ml
Pengganti puasa
6 x 100 = 600 ml
Stress operasi
6 x 50 kg = 300 ml
Cairan
Maintenance (M)
Pengganti Puasa (PP)
Stress Operasi (SO)
Jumlah
Jam 1
100
300
300
700
Jam 2
100
150
300
550
Jam 3
100
150
300
550
Keterangan :
Pemberian jam 1 = PP+M+SO = 330+110+330 = 770 ml
Pemberian jam 2 = PP+M+SO = 165+110+330 = 550 ml
Pemberian jam 3 = PP+M+SO = 165+110+330 = 550 ml
Estimasi Blood Volume (EBV)
70 x 50 kg
3500 ml
Jika nilai bromage score kurang dari sama dengan 2, pasien boleh pindah ke ruangan
4. Bagaimana Instruksi Pasca Operasi Pasien Ini ?
Posisi pasien :
Supine, kepala diposisikan lebih tinggi daripada kaki, dan tidur dengan
leher dan kepala bersandar pada bantal
IVFD
Observasi
Tanda vital tiap 15 menit, bila tekanan darah sistolik <90 mmHg, nadi,
suhu, respirasi dan berikan IVFD RL 20 tetes per menit.
Analgetik
Diet
41
BAB IV
KESIMPULAN
pasien
ini
menggunakan
metode
anestesi
RA/SAB
(Regional
Anestesi/SubArachnoid Block).
2. Pada pasien ini digunakan obat-obatan anestesi, yaitu ; Premedikasi : Ondancentron 4 mg,
Induksi : Decain spinal 5% 20 mg, fentanyl 75 mcg, Pemeliharaan : O 2 3 L/menit,
Penunjang : Ketorolac 30 mg, Tramadol 100 mg.
3. Keadaan pasien pasca operasi dinilai dengan bromage skor pada pasien yaitu (2) tidak
mampu flexi lutut, kemudian pasien dipindahkan keruang ICU.
4. Pada pasien ini, pasca operasi disarankan untuk dilakukan perawatan di ICU (intensif care
unit) agar mempermudah pemantauan pasien.
42
Daftar Pustaka
Latif, SA., Suryadi KA., dan Dachlan M. R. 2008. Petunjuk praktis Anestesiologi edisi 2.
Bagian Anestesiologi dan terapi intensif. Jakarta: FKUI
Muhiman M, Latif SA, Basuki G. 1989. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan terapi
intensif. Jakarta :FKUI
Ganiswara SG, Setiabudi R, Suiyatna FD, Purwantyastuti. 2010. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: FKUI
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Clnical anesthesiology ed 4. New york:
Mcgrawhill
43