Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

PENGELOLAAN ANASTESI PADA PASIEN TOTAL KNEE REPLACEMENT DENGAN


CHRONIC KIDNEY DISEASE

Oleh
Nico Aldrin Avesina
Redopatra Asa Gama
Tresa Ivani Saskia
Sarah Winda Baresti

Pembimbing
dr. Hartawan, Sp.An
dr. Yusnita Deborah, MD., Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANASTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Anestesiologi

adalah

ilmu

kedokteran

yang

awalnya

berprofesi

menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan.
Anestesi dapat dibagi menjadi anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum
adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat reversibel, dan anestesi regional adalah penggunaan obat analgetik lokal
untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian
tubuh bilokir untuk sementara (reversibel) serta fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya namun pasien tetap sadar.
Total Knee Replacement (TKR) adalah operasi ortopedik untuk penggantian
sendi lutut. Total knee replacement menggantikan sakit sendi lutut dan menghilangkan
permukaan bantalan yang rusak yang menyebabkan sakit. Prosedur total knee
replacement dilakukan lebih dari 500.000 operasidi amerika serikat. Pada tahun 2000
sampai 2006, rerata rasio pelayanan kesehatan TKR di amerika serikat meningkat dari
5.5 menjadi 8.7 per 1000 orang. Sejak tahun 2000 salah satu rumah sakit di Indonesia
melakukan operasi Total Knee Replacement terbanyak di kawasan Asia Tenggara.
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah keadaan terjadinya kerusakan ginjal
atau laju filtrasi glomerulus < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih. Chronic
Kidney Disease merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian
yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk dan memerlukan biaya perawatan
yang mahal. Pada negara berkembang, insidensi CKD diperkirakan sekitar 40-60
kasus per juta penduduk per tahun. Menurut suhardjono (2000), di Indonesia, jumlah
penderita PGK dianggarkan sekitar 50 orang per satu juta penduduk. Pada tahun 2006
menurut Sinaga (2007) terdapat sekitar 100.000 orang penderita gagal ginjal kronik di
Indonesia.
Pada laporan kasus ini kami akan membahas mengenai pengelolaan anestesi
pada pasien operasi total knee replacement disertai chronic kidney disease.
-

Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
2

1.

Bagaimana Pemilihan Teknik Anestesi pada pasien dengan operasi

2.

total knee replacement dengan chronic kidney disease?


Bagaimana Premedikasi, Induksi, dan Rumatan Anastesi pada pasien

3.

dengan operasi total knee replacement dengan chronic kidney disease?


Bagaimana Keadaan Pasca Anastesi Umum pada pasien dengan

4.

operasi total knee replacement dengan chronic kidney disease?


Bagaimana Instruksi Pasca Operasi asien pasien dengan operasi
totalknee replacement dengan chronic kidney disease?

Tujuan masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka didapatkan tujuan penelitian sebagai
berikut :
Untuk mengetahui pemilihan teknik anastesi pada pasien dengan operasi total

knee replacement dengan chronic kidney disease.


Untuk mengetahui Premedikasi, Induksi, dan Rumatan Anastesi pada pasien

dengan operasi total knee replacement dengan chronic kidney disease.


Untuk mengetahui Keadaan Pasca Anastesi Umum pada pasien dengan operasi

total knee replacement dengan chronic kidney disease


Untuk mengetahui Instruksi Pasca Operasi asien pasien dengan operasi
totalknee replacement dengan chronic kidney disease

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anastesi Regional
1. Definisi
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi disekitar
syaraf sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesi regional dibagi menjadi blok
sentral (blok spinal, epidural, dan kaudal) dan blok perifer (blok saraf seperti pleksus
brakialis, aksiler, analgesia regional intravena. Spinal anestesi adalah suntikan obat
anestesi kedalam ruang subarachnoid dan ekstradural epidural di lakukan suntikan
kedalam ekstradural.
Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional
yang

dilakukan

dengan

cara

menyuntikkan

obat

anestesi

lokal

ke

dalam

ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan


relaksasi otot rangka.
2. Indikasi
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila
mamae kebawah) seperti bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar
rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah,
bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan anestesi umum
ringan [1][3]
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu kontra
indikasi absolut dan relatif.
a. Kontra indikasi absolut :

Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa

menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.


Syok dan hipovolemi berat seperti dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. :
Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
4

Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.


Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa

menimbulkan komplikasi neurologis


Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan

fasilitas dan obat emergensi lainnya


Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,

keterampilan dokter anestesi sangat penting.


Pasien menolak.

b. Kontra indikasi relatif :

Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah


diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran

infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa

dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.


Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada pada

pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local hanya berkisar 90-120 menit, bisa

ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung : pertimbangkan jika terjadi komplikasi kearah jantung akibat

efek obat anestesi local.


Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya

hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan


Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat

membuat pasien tidak nyaman


Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal.

4. Struktur Anatomi Vertebra


Tulang vertebra terdiri dari 33 tulang: 7 vertebrae servikal, 12 vertebrae torakal, 5
vertebrae lumbal, 5 vertebrae sakral dan 4-5 vertebrae koksigeal yang menyatu pada
dewasa. Prosesus spinosus C2 teraba langsung dibawah oksipital. Prosesus spinosus C7
5

menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens. Garis lurus yang menghubungkan
kedua krista iliaka tertinggi akan memotong prosesus spinosus vertebrae L4 atau antara
L4-L5.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat kepala
dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan keluarnya
nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5)
memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh. Gambaran anatomi vertebra terlihat
pada Gambar 1.

Gambar 1 : Kolumna Vertebralis


Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid adalah lokasi
medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis berjalan mulai dari
foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen akhir medulla
spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi
konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang lazim
digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling terlihat
di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
6

3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5
NervusSpinalis.
Nervusspinalismeninggalkankanalisspinalismenembuskeduaforamenintervertebtralis,
danmempersarafikulityangdikenalsebagaidermatom.Perjalanannervusviscerallebih
kompleks,tergantungdansesuaidenganperekembanganakhirembrionikorgandaripada
posisiakhirdalamtubuh.Seringterjadi,tingkatanestesiauntukoperasiyangdikehendaki
lebih tinggi dari perkiraan dasar yangmenutupi dermatom sensoris,Contoh: anestesia
visceralabdomenbagianatasdibutuhkanpalingkurangtingkatspinalT4walaupuninsisi
kulit pada T6 atau lebih. Afferen simpatik kembali dari end organ melalui pleksus
prevertebra danganglionparavertebrasehinggamencapai medulaspinalis padasetiap
tingkat.
Tabel 1. Tingkat Minimum Dermatom Untuk anestesi spinal.
LetakOperasi
Ekstremitasbawah.

Yangdiperlukan
T12

Panggul.

T10

ProtatatauBulibuli.

T10.

Uterusvagina

T10

Testis.

T6.

Herniorapi.

T4.

Intraabdomen.

T4.

Saraf spinalis ada 31 pasang yaitu 8 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1
koksigeal.Padaspinalanestesi,paralysismotorikmempengaruhigerakanbermacamsendi
danotot.Ketinggiansegmentalanatomiksebagaiberikut:

Klavikula C3-C4

Ruang interkostal kedua T2

Garis puting susu T4-5

Arkus subkostalis T7-9

Umbilikus T10

Daerah ingunal L1

Perineum S1-4

Ketinggian segmental refleks spinal sebagai berikut :

Epigastrik T7-8
Abdominal T9-12
Kremaster L1-2
Lutut L2-4
Plantar, pergelangan kaki S1-2
Sfingter anus, refleks kejut S4-5

Untuk pembedahan ketinggian kulit sebagai berikut :

Tungkai bawah T12


Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli prostat T10
Testis ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen lain T4

Gambar 3 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.

Kutis
Subkutis : Ketebalannya

intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.


Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus

spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.

berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang

Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina
ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi mencengkeram
9

dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati ligamentum dan masuk

keruang epidural.
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk. Jarum

spinal harus maju sedikit lebih jauh.


Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus duramater

seperti saat menembus epidural.


Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal. Pada
ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan.

Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra

Medula spinalis berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinalis
dibungkus meningen (duramater, lemak, dan pleksus venosus) pada dewasa berakhir
setinggi L1, pada anak L2, dan pada bayi L3 dan sakus duralis berakhir setinggi S2.
Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang berasal dari pleksus arteria
koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Cairan jernih tak berwarna mengisi
ruang subarachnoid dengan jumlah total 100-150 ml, sedangkan yang dipunggung sekitar
25-45 ml.
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri dan vena
yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis posterior yang
memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior memperdarahi 2/3
bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang memperdarahi medulla,
berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks. Sistem vena yang terdapat di
medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan posterior.
10

Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis

5. Persiapan Anestesi Spinal


Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana dibanding
melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan karena terkadang
jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi menjadi lama, maka
sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
a. Persiapan pasien
Persiapan pasien dilakukan dengan:
-

Persiapan rutin dilaksanakan untuk memastikan bahwa penderita berada dalam


keadaan fisik dan fisiologis terbaik untuk menjalani anestesi dan pembedahan
Persiapan bedah dirancang untuk mengubah dan mengurangi pengaruh terhadap
penatalaksanaan amestesi pada setiap keadaan patologi yang tidak diharapkan
sehingga penderita menjadi lebih menderita.

Persiapan pasien dilakukan dengan:

Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi selama operasi
11

tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Tidak boleh memaksa pasien untuk

menyetujui anestesi spinal.


Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan
juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis,atau pasien terlalu
gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba, dan tanda-tanda klinis
penyakit yang dapat menjadi kontraindikasi atau memperberat dalam pelaksanaan

anestesi selama pembedahan.


Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah.
1. Persiapan alat
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan obatobatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare),
4.
5.
6.
7.
8.

dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G


Betadine, alkohol untuk antiseptic.
Kapas/ kasa steril dan plester.
Obat-obatan anestetik lokal.
Spuit 3 ml dan 5 ml.
Infus set.

Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal

2. Persiapan Obat-Obatan Pada Anestesi Spinal


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat anestesi local.
Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada
12

jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi local bersifat
reversible. Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan
saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan
masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut dalam air.
Anestetik regional pada pelaksanaannya juga diberikan obat-obatan premedikasi.
Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan sebelum dilakukan induksi
dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menimbulkan rasa nyaman pada pasien ( menghilangkan kekhawatiran, memberikan
ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesi)
2. Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari anestesi.
3. Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi.
4. Mengurangi timbulnya hipersalivasi, brakikardi, mual dan muntanh pascaanestesi.
5. Mengurangi stress fisiologis (takikardia, napas cepat, dll)
6. Mengurangi keasaman lambung.
Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi sebagai
berikut:
Analgetik narkotik
Morfin. Dosis premedikasi dewasa 5-10mg (0,1-0,2 mg/kgBB) intramuscular diberikan
untuk mengurangi kecemasan dan keteganagan pesien menjelang operasi, menghindari
takipnu pada pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan
dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta
kolik biliaris dan ureter. Kadang-kadang terjadi konstipasi, retensi urin, hipotensi, dan
depresi napas.
Petidin. Dosis premedikasi dewasa 50-75mg (1-1,5 mg/kgBB) intravena diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Dosis induksi 1-2
mg/kgBB intravena.

Barbiturat
Pentobarbital dan sekobarbital. Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa
adalah masa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1 mg/kgBB secara oral atau intramuscular.
13

Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan kurang menimbulkan


reaksi yang tidak diinginkan. Yang mudah didapat adalah fenobarbital dengan efek
depresan yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual
dan muntah.
Antikolinergik
Atropine. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelnjar ludah dan bronkus selalma 90
menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuscular bekerja setelah 10-15 menit.
Obat penenang (transquillizer)
Diazepam. Diazepam (valium ) merupakan golon gan benzodiazepine. Pemberian
dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi dewasa
10 mg intramuscular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15
mg. dosis sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena. Dosis
induksi 0,2-1 mg/kgBB intravena.
Midazolam. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam mempunyai awal dan lama
kerja lebih pendek. Belakangan ini midazolam lebih disukai dibandingkan dengan
diazepam. Dosis 50% dari dosis diazepam.
Antiemetik
Cendantron: berisi ondansentron HCl yang merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang
sangat selektif menekan mual dan muntah. Ondansentron HCl diberikan dengan tujuan
mencegah mual dan muntah setelah operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak
nyaman. Dosis ondansentron yaitu 0,05-0,1 mg/KgBB
Obat induksi pada regional anastesi terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local
yaitu golongan amid dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang
sama namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi
local ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat
utama kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang
nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.

14

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik
local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik local dengan berat
jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih
kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan:

Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat hyperbaric, dosis 2050mg(1-2ml).

Lidokaine 2% plain berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100mg(2-5ml)

Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.

Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,dosis 515mg(1-3ml).

Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia. Berikut adalah
beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus diperhatikan saat melakukan
anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi local,
menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan terjadi paresis
sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls saraf. Jika
impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka bisa terjadi
henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang
masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti
jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat
menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka memungkinkan
terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi

15

local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema. Apabila
tidak sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan
langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur, bisa
menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah.
Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama saat
menggunakan obat anestesi local.
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain atau adjuvant.
Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya pada anestesi spinal.
Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat
anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local dimetabolisme lambat di
dalam rongga subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada
pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan
memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat
menjadi lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset
terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid misalnya fentanyl
adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi local menjadi
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada
anestesi spinal menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat menambah
durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan
Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan
penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal
terdapat pada table dibawah ini.
Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

16

6. Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 23ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum
suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis,
subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum
flavum, epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.

17

10. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa kurang lebih 6 cm
Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan paramedian.
Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu tulang
belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis tengah dan
dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

18

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan monitoring. Tinggi


anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom di kulit. Penilaian
berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric pasien dimana pasien merasa
kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat
diberikan rangsang. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah
dan denyut nadi. Tekanan darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi
pada orang tua yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan
melihat monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit
menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat.

Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris

19

7. Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Spinal


Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya adalah:
Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis
yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.[3]
8. Penyebaran anestesi lokal tergantung pada
20

Faktor utama
- Berat jenis anestesi lokal (barisitas) terbagi menjadi isobarik (lidokain 2% plain
dan bupivakain 0,5% dalam air) dan hiperbarik (lidokain 5% dalam dekstrosa
-

7.5% dan bupivakain 0.5% dalam dekstrosa 8.25%)


Posisi pasien (kecuali isobarik)
Dosis dan volum anestesi lokal (kecuali isobarik)

Faktor tambahan
-

Ketinggian suntikan
Kecepatan suntikan/barbotase
Ujuran jarum
Keadaan fisik pasien
Tekanan intraabdominal

9. Masalah Klinis Pada Anestesi Spinal


Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi spinal, berikut
adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat melakukan anestesi
spinal :
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada cairan yang
keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih 30 detik, kemudian
coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum didapatkan LCS, dapat
dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan berhenti,
lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat penusukan mengenai
vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam, atau diarahkan sedikit lebih
medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks saraf. Segera
cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari tempat tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah saat dilakukan
penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah menjadi sempit.
Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien melakukan ekstensi saat
menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai kulit.
10. Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal
Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus diperhatikan. Sesuai
dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti. Beberapa komplikasi
tersebut diantaranya adalah :
a. Komplikasi Kardiovaskular
21

Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan
tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac
output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan
harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat
vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada
pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tibatiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien
dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah
penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek
bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi
dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara
cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia
spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati
dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena
aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4mg IV.
b. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis
yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah
hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati
bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi
arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling
sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi
darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel
lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan
terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic
interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran
darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini
tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan
henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang
22

lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen


bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke
kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen
yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
c. Komplikasi Sistem Respirasi
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan
jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament
dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma
suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang dalam
beberapa waktu yang singkat saja.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan anestesi
spinal adalah :

Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paruparu normal.

Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.

Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.

Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan tandatanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.

d. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang
bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. Untuk
menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau
diberikan ranitidine.

23

e. Komplikasi Sistem Neurologi


Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam
waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan
fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan
biasanya akan menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul
setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau
bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan
defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang
bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic yang
paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu
atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris
dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi
proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal. Iskemia
dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda
spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada
spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal
intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku
karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid.
Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area
lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri
anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan
motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal.
Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalah efek sekunder dari nekrosis iskemia
pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri.
Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan suplai darah ke
arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari arteri-arteri yang
terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang
berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi
aliran.

24

Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya sindrom
spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan
obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin
yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah
yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi
regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah.
f. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional.
Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada
analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen
merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan

Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).

Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.

Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.

Pengobatan

Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam

Hidrasi adekuat.

Hindari mengejan.

Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood patch
yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang epidural. Cara
ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu beberapa jam)
pada lebih dari 90% kasus.

B. Total Knee Replacement


1. Definisi
Operasi penggantian sendi lutut (total knee replacement atau TKR) adalah operasi
ortopedik yang cukup rumit, tetapi semakin banyak dilakukan. Penderita yang
mengalami kerusakan pada tulang sendi (seperti osteoarthtritis) kini dapat diatasi
dengan total knee replacement. Bahkan sejak tahun 2000, salah satu rumah-sakit di
25

Indonesia, telah melakukan operasi total knee replacement terbanyak di kawasan Asia
Tenggara.
Total Knee Replacement atau yang disingkat dengan TKR adalah prosedur bedah
yang dilakukan pada sendi lutut untuk mengganti bantalan tulang rawan pada sendi
lutut dengan bantalan buatan yang terdapat dari besi. Tindakan TKR dilakukan ketika
sendi lutut mengalami kerusakan yang amat berat akibat cedera olahraga ataupun
radang sendi. Tindakan ini diambil ketika sudah dilakukan pengobatan ataupun
penggunakan alat penyangga lutut namun sudah tidak efektif lagi.
Total knee replacement diberikaan untuk kondisi perkapuran stadium lanjut atau grade
IV, biasanya disertai dengan perubahan bentuk fisik dari kaki menyerupai huruf O
atau X. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah total knee replacement atau
mengganti sendi lutut menggunakan prothese. Meski lutut aritifisial tidak sempurna
seperti sebelumnya, tapi operasi itu akan memperbaiki kualitas hidup penderita
dengan hilangnya rasa nyeri, kekakuan sendi, dan bentuk sendi lutut yang bengkok.
Perbandingan lutut sebelum dioperasi dengan lutut sesudah dioperasi Total knee
replacement biasanya dilakukan pada penderita osteoarthritis berat. Sebagian besar
pasien yang mendapatkan lutut artifisial berusia di atas 50 tahun, tetapi bukan tidak
mungkin ada penderita yang usianya lebih muda karena mengalami kasus khusus.
Meski kerusakan sendi dapat diatasi dengan total knee replacement, tapi tindakan itu
mengandung risiko. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi setelah operasi
penggantian sendi adalah, nabloding (infeksi akibat dari pembalutan yang berlapislapis), atau thrombosis (pembekuan darah di sekitar bidang operasi), prothese lepas
(akibat infeksi atau tidak kuatnya phrotesa menanggung beban berat badan penderita
serta akibat dari aktivitas yang dilakukan penderita). Prothese dapat bertahan antara
15-20 tahun. Tapi dengan alasan tertentu, total knee ini tidak bisa dilakukan pada
orang yang sangat gemuk atau usianya yang masih terlalu muda. Jika prothese sampai
loose, hal itu akan berakibat rasa sakit. Meski dapat diganti, tetapi operasi yang kedua
hasilnya tidak sebaik operasi yang pertama.
Total Knee Replacement melibatkan 7-8 incisi di atas lutut, dan beristirahat di rumah
sakit selama 3-5 hari. Fase recovery berlangsung dari 1-3 bulan. Setelah dilakukan
operasi, biasanya pasien akan dapat berjalan kembali dan nyeri sendi berkurang secara

26

nyata. Keterbatasan aktifitas hanyalah pada penekukan sendi lutut yang ekstrim
misalnya, berjongkok atau duduk menekuk.
Total Knee Replacement umumnya memerlukan waktu operasi selama 1 sampai 3
jam. Setelah operasi, pasien dibawa ke ruang pemulihan, dimana organ-organ vital
dimonitor fungsinya. Ketika sudah stabil, pasien dibawa kembali ke bangsal. Resiko
total knee replacement termasuk hematoma di kaki yang dapat berjalan ke paru-paru
(emboli paru). Pulmonary emboli dapat menyebabkan sesak nafas, sakit dada, dan
bahkan syok. Risiko lainnya meliputi infeksi saluran kencing, mual dan muntah
(biasanya terkait dengan obat nyeri), nyeri lutut kronis dan kekakuan, perdarahan
sendi lutut, kerusakan saraf, cedera pembuluh darah, dan infeksi pada lutut yang
memerlukan operasi ulang.
Sebelum operasi, sakit pada sedi lutut harus dievaluasi secara hati-hati. Hal ini penting
untuk memastikan hasil yang optimal dari operasi. Setelah dilakukan Total Knee
Replacement, hindari aktivitas berikut :
1. Lari atau jogging
2. Latihan yang terlalu padat
3. Olah raga dengan perputaran (tennis, bola basket)
4. kontak sport (sepak bola)
2.

Indikasi
Indikasi utama adalah untuk mengurangi rasa sakit yang disebabkan oleh arthritis.
Tujuan sekunder untuk memperbaiki cacat, dan untuk mengembalikan fungsi. Lebih
khusus, canidates untuk total knee replacement perubahan degeneratif sendi lutut yang
telah parah.

3.

Tujuan
Tujuan total knee replacement yaitu :
1.
2.
3.
4.

Untuk membebaskan sendi dari rasa nyeri


Untuk menggembalikkan rentang gerak (ROM)
Untuk menggembalikkan fungsi normal bagi seorang pasien
Untuk membangun kembali akrivitas sehari-hari (ADL), dengan modifikasi yang
tetap menjaga ROM pasien.

4.
`

Rehabilitasi
Hari operasi
a. Deep breathing exercises
b. Active movement
Post-op hari 1
27

a.
b.
c.

Isometrik ekstremitas bawah termasuk hamstring, quasriceps dan gluteus.


Mengenakan immobilizer sendi lutut
Menahan beban setelah operasi dapat bersifat parsial atau penuh, tergantung

pada kebijaksanaan dokter bedah


Post-op hari 2
a. Berdiri di samping ranjang dengan lutut immobilizer dan parsial weightbearing untuk menahan beban pada ekstremitas
b. Active assisted ROM
Post-op hari 3 dan 4
a. Progresif isotonik dan isometrik untuk penguatan otot lutut dan pinggul
b. Berkonsentrasi pada gerak ekstensi lutu melalui latihan ekstensi lutut aktif
5. Manifestasi Klinik
1) Nyeri
Nyeri adalah gejala lutut yang paling sering ditemukan. Pada penyakit radang atau
kelainan degeneratif nyeri biasanya tersebar, tetapi pada kelainan mekanis dan
terutama setelah cedera, nyeri sering bersifat lokal-pasien dapat, dan harus,
menunjukkan tempat nyerinya.
2) Kekakuan
Kekakuan juga sering ditemukan, seperti halnya nyeri, dan dapat mengakibatkan
pincang.
3) Demormitas (kaki pengkar atau kaki bengkok)
Demormitas (kaki pengkar atau kaki bengkok) sering ditemukan tetapi, demormitas
itu sendiri jarang mengganggu. Demormitas unilateral, terutama kalau progresif, lebih
bermakna.
4) Pembengkaan
Pembengkaan dapat bersifat lokal atau tersebar. Kalau ada suatu cedera, penting untuk
ditanyakan apakah pembengkaan muncul dengan segera menunjukkan hemartrosis
atau setelah beberapa jam (ciri khas suatu meniscus yang robek).
5) Penguncian
Penguncian adalah suatu istilah yang berarti ganda: pasien sering menggunakannya
untuk menjelaskan kekakuannya. Tetapi, dalam istilah klinik berarti bahwa lutut
secara mendadak tidak dapat diluruskan sepenuhnya, meskipun fleksi masih dapat
dilakukan. Hal ini terjadi bila maniskus yang robek terperangkap di antara permukaan
articular. Dengan memutar-mutarkan lutut, pasien dapat membuka kuncinya;

28

pembukaan kunci yang mendadak merupakan bukti handal bahwa sebelumnya sesuatu
yang dapat bergerak telah menghalangi eksistensi penuh.
6) Pemberian Jalan
Pemberian jalan juga menunjukkan suatu kelainan mekanis, meskipun kelainan ini
dapat terjadi akibat kelemahan otot; bila kelainan ini terjadi terutama saat naik tangga,
sendi patelofemoral harus dikurangi. Ketidakstabilan yang cukup menyebabkan
pasien jatuh adalah petunjuk untuk dislokasi patela.
C. Chronic Kidney Disease
1. Definisi
Chronic kidney disease (CKD ) adalah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen
pada ginjal. Ginjal tidak mampu melakukan fungsinya untuk membuang sampah sisa
metabolisme dalam tubuh, mempertahankan keseimbangan cairan , elektrolit dan
asam basa dalam tubuh. CKD dapat berkembang cepat 2-3 bulan dan dapat pula
berkembang dalam waktu yang sangat lama 30-40 tahun.
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal atau
laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih.
Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan irreversible yang akan
berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal. Adanya kerusakan ginjal tersebut
dapat dilihat dari kelainan yang terdapat dalam darah, urin, pencitraan, atau biopsi
ginjal. CKD merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian
yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya perawatan
yang mahal.
2. Etiologi
CKD dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit dari ginjal itu sendiri
1. DM type 1 dan 2 menyebabkan kondisi diabetic nefrofathy dan merupakan
penyebabkan utama penyakit ginjal di Unted State
2. Hipertensi jika tidak terkontrol dapat mengakibat kerusakan pada ginjal
3. Glomerulonephritis adalah inflamasi dan kerusakan dari system filtrasi di ginjal dan
dapat menyebabkan gagal ginjal. Kondisi post infeksi dan LUPUS adalah penyebab
utama glomerulonephritis
4. Polycystic kidney diease adalah contoh penyebab yang sifatnya herediter dari CKD,
dimana ginjal mempunyai multiple cystic
5. Penggunaan analgetik seperti asetaminofen (Tylenol ) dan ibuprofen (motrin, advil )
secara reguler dan dalam waktu lama dapat menyebabkan neprophaty analgetic.
Beberapa jenis obat yang lain dapat pula menyebabkan kerusakan di ginjal
6. Artherosclerosis menyebabkan kondisi yang disebut ischemik neprophathy
29

7. obstruksi aliran urine oleh karena batu saluran kencing, pembesaran prostat, stuktur
atau cacer dapat menyebabkan kidney disease
8. Penyebab lain seperti : infeksi HIV, sickle cell disease, heroin abuse, amyloidosis,
batu gijal, chronic kidney infection, cancer
3. Batasan
Batasan yang tercantum dalam clinical practice guidelines on CKD menyebutkan
bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah satu dari kriteria
dibawah ini:
1. Kerusakan ginjal 3 bulan, yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau
fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan glomerular filtration rate (GFR), yang
bermanifestasi sebagai satu atau lebih gejala:
i) Abnormalitas komposisi urin
ii) Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
iii) Abnormalitas biopsi ginjal
2. GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa gejala kerusakan
ginjal lain yang telah disebutkan.
4. Klasifikasi
Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi
awal kerusakan ginjal dan penatalaksanaan, serta untuk pencegahan komplikasi CKD.
Stadium 1
>90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat
Stadium 2
60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
Stadium 3
30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang
Stadium 4
15-29 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat
Stadium 5
<15 (atau dialisis) Gagal ginjal
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan
didapatkan edema, hipertensi, hematuria, dan proteinuria. Anak dengan kelainan
kongenital sistem traktus urinarius, seperti renal dysplasia atau uropati obstruksi akan
ditemukan gagal tumbuh, gejala infeksi saluran kemih berulang, dan gejala
nonspesifik lainnya.
Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya asimtomatik dan gejala
klinis biasanya baru muncul pada CKD stadium 4 dan 5.
Ada beberapa gejala yang umum ditemukan pada pasien dengan CKD yaitu :
a.
b.
c.
d.

Fatigue dan lemah (akibat anemia dan akumulasi dari produk sisa metabolisme)
Loss of appetite, nausea & vomiting
Edema
gatal, mear, kulit pucat
30

e. Sakit kepala, peripheral neurophaty, gangguan tidur, gangguan status mental


f.
g.
h.
i.

(encephalopaty karena uremia)


Hipertensi
Edema pulmonal sehingga timbul sesak nafas
Nyeri sendi, tulang dan fraktur
Disfungsi seksual

Kerusakan ginjal yang progresif dapat menyebabkan:


a. Peningkatan tekanan darah aibat overload cairan dan produksi hormone vasoaktif
b.
c.
d.
e.

(hipertensi, edem paru dan gagal jantung kongestif)


Gejala uremia (letargis, perikarditis hingga ensefalopati)
Akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadaan fatal yaitu aritmia
Gejala anemia akibat sintesis eritropoietin yang menurun
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3)
Asidosis metabolik akibat penumpuan sulfat, fosfat, dan asam urat

6. Pemeriksaan Penunjang
Pada CKD stadium awal biasanya tanpa gejala, sehingga hanya pemerikasaan
penunjang seperti pemeriksaan laboratorium yang dapat menditeksi adanya masalah
tersebut. Adapun tes rutin yang dapat dilakukan untuk mengetahui perkembangan
CKD adalah :
a. Urine test : protein urin, sel darah merah dan kristal , kolesistokinin
b. Blood test : creatinin, ureum ,BUN, elektrolit ( K, P, Ca) asam basa, Hb
c. Ultrasound : untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal,
mengkaji aliran urin dalam ginjal
d. Pemeriksaan mikroskopis urin dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi
untuk mencari adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kast. Sebagian besar
anak dengan CKD memiliki banyak hyalin cast. Granular cast yang berwarna
keruh kecoklatan menunjukkan nekrosis tubular akut, sedangkan red cell cast
menunjukkn adanya suatu glomerulonephritis
e. Laju filtrasi glmerulus setara dengan penjumlahan laju filtrasi di semua nefron
yang masih berfungsi sehingga perkiraan GFR dapat memberikan pengukuran
kasar jumlah nefron yang masih berfungsi. Pemeriksaan GFR biasanya dengan
menggunakan creatinine clearance, akan tetapi untuk pemeriksaan ini kurang
praktis karena membutuhkan pengumpulan urin 24 jam.
f. Pencitraan : foto polos, USG, Ct Scan, MRI, retrogade atau anterogade pielografi,
dan pemeriksaan tulang.
g. Biopsi
7. Tatalaksana

31

Evaluasi dan penanganan pasien dengan CKD memerlukan pengertian konsep


terpisah namun saling berhubungan mengenai diagnosis, kondisi komorbid, derajat
keparahan penyakit, komplikasi penyakit dan risiko hilangnya fungsi ginjal serta
peyakit kardiovaskular.
-

Terapi dislipidemia
Terapi hipertensi
Terapi anemia
Terapi osteodistrofi renal = mengatasi hiperfosfateia dan pemberian hormon

kalsiterol.
Perhatikan diet
Terapi farmakologi : ACE inhibitor untuk memperlambat proses pemburukan

fungsi ginjal.
Pembatasan cairan dan elektrolit
Hemodialisis : indikasi absolut (perikarditis, ensfalopati, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten dan BUN >120 mg% dan kreatinin >10 mg%) dan indikasi elektif (LFG

5-8 ml/menit/1.73m2, mual, anoreksia, muntah dan astenia berat)


Transplantasi ginjal

32

BAB III
PEMBAHASAN

1. Paparan Kasus
1. Identitas
Nama

Safrudin

Umur

46 tahun

Jenis Kelamin

Laki-laki

Agama

Islam

Alamat

Menggala

Diagnosa Pre-Op

Osteoarthritis dengan CKD

Diagnosa Post-Op

PO Total knee replacement dengan CKD

Tanggal Masuk

5 Maret 2016 (10.15 WIB)

Tanggal Operasi

5 Maret 2016 (11.00 WIB)

Medical Record

285334

2. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama

Lutut kiri bengkak dan sakit

Keluhan Tambahan

Kaki sulit digerakan, dan nyeri saat digerakan atau berjalan

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RS. Jend. Ahmad Yani Metro dengan keluhan nyeri dan bengkak pada lutut
kirinya, nyeri dirasakan sudah lama dan semakin memberat. pasien memiliki riwayat
penyakit ginjal dengan riwayat melakukan hemodialisis sebelumnya. Pasien juga merasakan
pusing kepala semenjak beberapa hari sebelum kaki sakit.
4. Risalah Anastesi
Riwayat hipertensi

(+)

Alergi obat

(-)

Riwayat DM

(-)

Riwayat merokok

(+)

Riwayat asma

(-)

Konsumsi alkohol

(-)

(-)

Gangguan pembekuan darah (-)


33

Obat-obatan ginjal dan hipertensi


Riwayat operasi sebelumnya (+)

Gigi palsu/berlubang/goyang (+)

- Operasi sirkumsisi (regional anestesi)


- Operasi Cimino (regional anastesi)

- Terdapat gigi ompong (+)


Batuk/pilek

(-)

Konsumsi obat-obatan rutin (+)


5. Pemeriksaan Fisik Pre-Operatif
Primary Survey
Airway
Jalan nafas bersih, malampati 2, TMD 5 cm, buka mulut 3 jari, terdapat gigi ompong,
deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar thyroid (-)
Breathing
Nafas spontan, terdapat bunyi vesikuler pada kedua lapang paru, tidak terdapat
adanya wheezing pada kedua lapang paru, tidak terdengar rhonki pada kedua lapang
paru, ekspansi dinding dada simetris.
Circulation
S1/S2 reguler, sianosis (-), murmur (-/-) dan Capillary refill test kurang dari 2 detik
Disability
GCS 15, kesadaran compos mentis, dan keadaan umum baik
Secondary Survey
Keadaan Umum

Tampak sakit sedang

Kesadaran

Compos mentis, GCS : 15

Tekanan Darah

150/90 mmHg

Nadi

88 x/menit

Pernafasan

20 x/menit dengan SpO2 = 94%

Suhu

37.4oC

Tinggi Badan

166 cm

Berat Badan

50 kg

Kepala

Bentuk

Normocephal, simetris
34

Rambut

Hitam, penyebaran merata, tidak mudah rontok

Mata

Konjungtiva ananemis, sklera anikterik, reflek pupil (+),


isokhor, diameter 3 mm

Leher

Telinga:

Simetris, serumen (-/-), sekret (-/-)

Hidung

Simetris, sekret (-)

Mulut

Mukosa bibir lembab, sianosis (-)

Gigi

Tidak ada kelainan, hanya terdapat gigi ompong.

Lidah

Tidak ada kelainan

Tiroid

Tidak membesar

Trakea

Tepat pada sumbu vertikal tengah tubuh

TMD

5 cm

JVP

Dalam batas normal

ToraksPulmo
1.

Inspeksi

Ekspansi kanan = kiri, vocal fremitus kanan =


kiri

2.

Palpasi

Fremitus taktil kanan = kiri

3.

Perkusi

Sonor (+/+)

4.

Auskultasi

Suara napas vesikuler (+/+)


Rhonki (-/-). Wheezing (-/-)

Jantung
1.

Inspeksi

Ictus cordis tidak terlihat

2.

Palpasi

Ictus cordis teraba pada ICS IV sinistra dengan


axis linea midclavicula sinistra

3.

Perkusi

Batas jantung dalam batas normal

4.

Auskultasi

Bunyi jantung murni tanpa adanya murmur dan


gallops

Abdomen

1.

Inspeksi

tidak ditemukan adanya kelainan

2.

Palpasi

tidak terdapat nyeri pada bagian abdomen

3.

Perkusi

Timpani pada seluruh lapang abdomen

4.

Auskultasi

Bising usus (+)

Ekstremitas Superior

Sianosis (-/-), edema (-/-), nyeri sendi (-/-)


35

Inferior
Status Anestesi

Sianosis (-/-), edema (+/-), nyeri sendi (+/-)

ASA III

6. Pemeriksaan Penunjang Pre-Operatif


Hematologi
Eritrosit :3.09 juta/uL

Hemoglobin : 9.3 g/dL

Ureum : 126 mg/dL

Leukosit : 11.020/uL

Hematokrit : 26.5 %

Kreatinin: 10.25 mg/dL

Trombosit : 278 ribu/uL

GDS : 140 mg/dL

HbSAg : non reaktif

Pada tanggal 1 Maret 2016, pasien mendapat persetujuan oleh ahli bedah dan ahli
anastesi untuk menjalani operasi total knee replacement sesuai dengan keadaan dan
indikasi.
7. Tindakan Operasi
Rencana Operasi

Total Knee Replacement

Persiapan Operasi
1.

Persetujuan tindakan medis

2.

Pemeriksaan tanda-tanda vital dan keadaan umum

3.

Pemasangan infus maintenance cairan (RL 20 tpm)

4.

Pasien diminta puasa 6 jam sebelum operasi

5.

Pemberian obat-obatan premedikasi di ruang operasi

Durasi Operasi

2 jam 15 menit(11.00-13.15 WIB)

8. Rencana Tindakan Anaestetik


Rencana Anastesi

Regional anastesi, spinal - subarachnoid block

Sebelumnya, anastesi akan dilakukan secara regional dengan metode spinal subarachnoid
block, sehingga tindakan anaestetik dilakukan dengan obat-obatan dan dosis ideal serta
jumlah pengganti cairan sebagai berikut;
Premedikasi

Ondancentron 4 mg, dosis pada pasien 0.1 mg x 50 kg= 5 mg


36

Induksi

Decain spinal 5% 20 mg
Fentanyl 75 mcg, dosis pada pasien 1-2 mcg x 50 = 50-100 mcg

Pemeliharaan

O2 3 L/menit, nasal canul

Penunjang

Catapres, dosis 1-2 mcg

Cairan Durante Operasi


Maintenance

2 x 50 kg = 100 ml

Pengganti puasa

6 x 100 kg = 600 ml

Stress operasi

6 x 50 kg = 300 ml

Cairan
Maintenance (M)
Pengganti Puasa (PP)
Stress Operasi (SO)
Jumlah

Jam 1
100
300
300
700

Jam 2
100
150
300
550

Jam 3
100
150
300
550

Keterangan :
Pemberian jam 1 = PP+M+SO = 330+110+330 = 700 ml
Pemberian jam 2 = PP+M+SO = 165+110+330 = 650 ml
Pemberian jam 3 = PP+M+SO = 165+110+330 = 650 ml
Estimasi Blood Volume (EBV)
70 x 50 kg

3500 ml

2. Pembahasan
1. Bagaimana Pemilihan Teknik Anastesi pada Pasien?
Pada pasien dengan diagnosa awal osteoarthritis regio genue sinistra ini dilakukan teknik
anestesi spinal dikarenakan atas indikasi yang ada pada pasien. anestesi spinal dilakukan pada
ketinggian lumbal II-III dengan nald ukuran 25
Anestesi spinal adalah tindakan anaestetik dengan injeksi agen anestesia lokal ke dalam ruang
sub-arachnoid yang menghasilkan efek analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam
ruang ruang sub-arachnoid dilakukan pada regio lumbal intervertebrae lumbal II-III, III-IV,
IV-V.
37

Indikasi
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila
mamae kebawah) seperti bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar
rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah,
bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan anestesi umum
ringan [1][3]
Kontra Indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu kontra
indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :

Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa

menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.


Syok dan hipovolemi berat seperti dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. :

Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.


Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa

menimbulkan komplikasi neurologis


Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan

fasilitas dan obat emergensi lainnya


Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,

keterampilan dokter anestesi sangat penting.


Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :

Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah


diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran

infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa
dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.

38

Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak


membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada pada

pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local hanya berkisar 90-120 menit, bisa

ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung : pertimbangkan jika terjadi komplikasi kearah jantung akibat

efek obat anestesi local.


Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya

hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan


Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat

membuat pasien tidak nyaman


Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal.

Pada pasien ini tidak ditemukan adanya kontra indikasi.


Efek Kerja Anastesi Spinal - Sub-arachnoid
Efek anestesi sub-arachnoid dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam
ruangsubarakhnoid

lumbal.

Larutan

anestesi

lokal

bercampur

dengan

cairan

serebrospinallumbal setelah diinjeksikan, yang kemudian bekerja pada lapisan superfisial dari
korda spinalis, terutama pada serabut preganglionik yang meninggalkan korda spinal pada
ramianterior.
Spinal anestesi mempunyai beberapa keuntungan, antara lain;
1.
Perubahanmetabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat
2.
Komplikasi terhadapjantung, otak, paru umumnya minimal, mengingat agen
3.

anaestetik sub-arachnoid dapat menurunkan tekanan darah pasien.


Relaksasi otot maksimal pada daerah yang dipengaruhi oleh blok, dalam keadaan
pasien sadar sepenuhnya.

Selain keuntungan ada juga kerugian berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan
muntah, post dural puncture headache (PDPH), nyeri pinggang dan lainnya.
2. Bagaimana Premedikasi, Induksi, dan Rumatan Anestesi pada pasien ini ?
Pada pasien ini, diketahui bahwa selain pasien menderita osteoarthritis regio genue sinistra,
pasien

juga

mengalami

chronic

kidney

disease.

Hal

ini

menyebabkan

perlu

mempertimbangkan dosis obat-obatan, agen inhalasi dan jumlah cairan yang akan diberikan
pada pasien ini. teknik anestesi regional yang digunakan pada pasien ini memakai agen
anestesi decain spinal 5% (bupivacain)yang memiliki durasi kerja 1.5-2 jam dalam keadaan

39

ideal. oleh karena itu pembedahan seharusnya dilakukan dengan durasi operasi 1,5-2 jam,
agar tidak menambahkan obat yang diberikan pada pasien.
Pembedahan dilakukan dengan pemberian premedikasi yaitu ondancentron 4 mg. hal ini
digunakan untuk menekan efek muntah dari teknik anestesi regional SAB. kemudian
diberikan induksi dengan decain spinal 5% dengan dosis 20 mg dan fentanyl dengan dosis 75
mcg karena penambahan fentanyl dapat memperpanjang durasi efek anestesi. Selama proses
pembedahan, pasien diberikan pemeliharaan dengan O2 3 L/menit dengan nasal canul. Pada
proses pembedahan pasien diberikan analegesia dengan tramadol 100 mg dan ketorolac 30
mg.
Cairan Durante Operasi
Maintenance

2 x 50 kg = 100 ml

Pengganti puasa

6 x 100 = 600 ml

Stress operasi

6 x 50 kg = 300 ml

Cairan
Maintenance (M)
Pengganti Puasa (PP)
Stress Operasi (SO)
Jumlah

Jam 1
100
300
300
700

Jam 2
100
150
300
550

Jam 3
100
150
300
550

Keterangan :
Pemberian jam 1 = PP+M+SO = 330+110+330 = 770 ml
Pemberian jam 2 = PP+M+SO = 165+110+330 = 550 ml
Pemberian jam 3 = PP+M+SO = 165+110+330 = 550 ml
Estimasi Blood Volume (EBV)
70 x 50 kg

3500 ml

3. Bagaimana Keadaan Pasca Anastesi Umum pada Pasien ?


Bromage Score
Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca anestesi regional.
Bernilai 0 jika terdapat gerakan penuh tungkai
Bernilai 1 jika tak mampu ekstensi tungkai
Bernilai 2 jika tak mampu fleksi lutut
Bernilai 3 jika tak mampu fleksi pergelangan kaki
40

Jika nilai bromage score kurang dari sama dengan 2, pasien boleh pindah ke ruangan
4. Bagaimana Instruksi Pasca Operasi Pasien Ini ?
Posisi pasien :

Supine, kepala diposisikan lebih tinggi daripada kaki, dan tidur dengan
leher dan kepala bersandar pada bantal

IVFD

Ringer laktat sesuai jumlah kebutuhan cairan dari kondisi post-operatif

Observasi

Tanda vital tiap 15 menit, bila tekanan darah sistolik <90 mmHg, nadi,
suhu, respirasi dan berikan IVFD RL 20 tetes per menit.

Analgetik

Tramadol dan/atau ketorolac

Diet

Dipuasakan sesuai instruksi dokter ahli bedah

41

BAB IV
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari laporan kasus ini adalah :


1. Pada

pasien

ini

menggunakan

metode

anestesi

RA/SAB

(Regional

Anestesi/SubArachnoid Block).
2. Pada pasien ini digunakan obat-obatan anestesi, yaitu ; Premedikasi : Ondancentron 4 mg,
Induksi : Decain spinal 5% 20 mg, fentanyl 75 mcg, Pemeliharaan : O 2 3 L/menit,
Penunjang : Ketorolac 30 mg, Tramadol 100 mg.
3. Keadaan pasien pasca operasi dinilai dengan bromage skor pada pasien yaitu (2) tidak
mampu flexi lutut, kemudian pasien dipindahkan keruang ICU.
4. Pada pasien ini, pasca operasi disarankan untuk dilakukan perawatan di ICU (intensif care
unit) agar mempermudah pemantauan pasien.

42

Daftar Pustaka
Latif, SA., Suryadi KA., dan Dachlan M. R. 2008. Petunjuk praktis Anestesiologi edisi 2.
Bagian Anestesiologi dan terapi intensif. Jakarta: FKUI
Muhiman M, Latif SA, Basuki G. 1989. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan terapi
intensif. Jakarta :FKUI
Ganiswara SG, Setiabudi R, Suiyatna FD, Purwantyastuti. 2010. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: FKUI
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Clnical anesthesiology ed 4. New york:
Mcgrawhill

43

Anda mungkin juga menyukai