Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara


sementara dan biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Secara garis besar
anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat sementara akibat
pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral.
Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas
nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran1.
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh
sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna2. Anestesi regional memiliki berbagai
macam teknik penggunaan salah satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui
tulang belakang atau anestesi spinal1,3. Anestesi spinal adalah pemberian obat
antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid4. Anestesi spinal diindikasikan terutama
untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum dan
perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan
operasi ortopedi ekstremitas inferior1.
Anestesi spinal telah mempunyai sejarah panjang keberhasilan (>90% tingkat
keberhasilan). Prinsip yang digunakan adalah menggunakan obat analgetik lokal
untuk menghambat hantaran saraf sensorik untuk sementara (reversible). Fungsi
motoric juga terhambat sebagian. Dan pada teknik anestesi ini, pasien tetap sadar.[2]
Sejak anestesi spinal/ Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August
Bier (1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas untuk
menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah papila mamae kebawah.
Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam
ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.

1
Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang
minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari
analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta
membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.[1]

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah
vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari
vertebra thorakal 4.[1][3]
2.2 Indikasi
Indikasi anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah tubuh yang
dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila mamae kebawah ), dengan durasi
operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. [1][3]
Indikasi anestesi spinal4

1. Bedah ekstremitas bawah


2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektukm dan perineum
4. Bedah obstetri dan ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi
dengan anestesi umum ringan.
2.3 Kontra Indikasi
Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Hipovolemia ringan
Kelainan neurologis dan kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Nyeri punggung kronis

3
2.4 Struktur Anatomi Vertebra

Gambar 1 : Kolumna Vertebralis [4]

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai
mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari
tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung
semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai kemudian beban tersebut
ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca.

4
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan
di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan
masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.[4]
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid
adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis berjalan
mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen
akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina). Penting diperhatikan
bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1. [1][4]
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang
lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya
adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5[1][3][6]

Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis[5]

5
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
1. Kutis
2. Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
3. Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.
4. Ligamentum interspinosum
5. Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari
lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati
ligamentum dan masuk keruang epidural.
6. Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk.
Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
7. Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.

6
8. Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal.
Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan.
[1][4]

Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra[6]

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.
Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan
posterior.

7
Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis[7]

2.5 Persiapan Anestesi Spinal


Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi
anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
1. Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi
selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
2. Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis,atau
pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan masa

8
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah. [1][3][6][7]
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare),
dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set. [1][3][6]
Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal[7]

2.6 Obat-Obatan Pada Anestesi Spinal


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat anestesi
lokal. Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi lokal
bersifat reversible.

9
Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan
saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan
masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi lokal ini juga harus larut dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi lokal yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya
berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi lokal ini adalah
menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat
anestesi lokal adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas
membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya
akan dihantarkan ke pusat nyeri.[8]
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi. [8]
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.
1. Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dosis
20-50mg(1-2ml).
2. Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
3. Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).
Obat Anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.

10
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada sistem saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi lokal dapat menghambat impuls saraf.
Jika impuls pada sistem saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka
bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia.
Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia,
hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk
melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi lokal agar tidak masuk ke
pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi
pasien. Pada reaksi lokal dapat terjadi reaksi pelepasan histamine seperti gatal,
edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat
menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan
langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur,
bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan
darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama
saat menggunakan obat anestesi lokal. [2][8][11]
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi
spinal terdapat pada table dibawah ini.

11
Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal[11]

2.7 Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500
ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml

12
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik
biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis,
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan
serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke
dalam ruang arachnoid tersebut.[2][6][7]
Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi[7]

Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi[7]

13
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.[7]

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial[7]

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan


monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric
pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat,
kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu diperhatikan lagi
adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan darah bisa turun drastis
akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belum diberikan loading
cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan keadaan umum pasien.
Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat.[7]

14
Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris[7]

2.8 Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Spinal


Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya adalah :
1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi.
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik

15
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.[3]
2.9 Masalah Klinis Pada Anestesi Spinal
Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi
spinal, berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat
melakukan anestesi spinal :
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada cairan
yang keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih 30 detik,
kemudian coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum didapatkan
LCS, dapat dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan pada
jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan
berhenti, lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat
penusukan mengenai vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam, atau
diarahkan sedikit lebih medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks saraf.
Segera cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari tempat
tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah saat
dilakukan penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah
menjadi sempit. Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien
melakukan ekstensi saat menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai
kulit.[7]

16
2.10 Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal
Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return.
Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang
sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest
pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti
jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun
hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,
Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg
diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4mg IV. [2][6][7]
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul
dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan
jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat
dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi

17
yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi
penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting
yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau
bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari
blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan.
Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran.
Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya
menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan
akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan
pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang,
pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada
sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan
pengobatan yang cepat dan tepat. [2][6][7]
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari sistem respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :
 Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-
paru normal.
 Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
 Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
 Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.[2]

18
4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang
bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. Untuk
menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau
diberikan ranitidine. [2][6][7]
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.
Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada
anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti
ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko
untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi
pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya
muncul dalam 6 –48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering
disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri
kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila
pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih
dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic,
dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan
terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan
kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika
terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam
epidural untuk menghentikan kebocoran. [2][6][7]

19
6. Komplikasi Sistem Neurologi
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini
muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas
nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik
dan biasanya akan menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul
setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen
atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai
dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat
yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic
yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa
minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit
sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini
terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda
spinal. Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang
lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke
korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum
pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal
intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang
berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang
subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah
besar di area lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom
spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah
kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah
korda spinal. Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalah efek sekunder dari
nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam
korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri:
kekurangan suplai darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah

20
dari arteri-arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri
karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti
vena mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya
sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal
menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi
kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior
atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul
setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara hematogen
yang berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada
pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran
bakteri ke medulla spinalis. Maka penggunaan anestesi spinal padapasien dengan
bakteremia merupakan kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri punggung
yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh karena itu,
tidak diperbolehkan jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami
infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi
komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dan drainase jika perlu. [2][6][7]
7. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling
akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf
pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan
 Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
 Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
 Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.

21
Pengobatan
 Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
 Hidrasi adekuat.
 Hindari mengejan.
 Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood patch
yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang epidural. Cara
ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu beberapa jam)
pada lebih dari 90% kasus.[2]
Komplikasi juga dapat dibagi menjadi beberapa kategori yaitu komplikasi
akibat ketinggian blokade saraf, lokasi jarum penyuntikkan, dan toksisitas obat15.
a. Ketinggian blokade saraf
Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac arrest
dan retensi urin. Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis lebih dari anestetik
lokal, kegagalan untuk mengurangi dosis pada pasien-pasien yang rentan terhadap
penyebaran berlebih anestetik lokal (usia tua, hamil, obesitas dan pendek),
peningkatan sensitifitas, penyebaran obat yang berlebih. Gejala awal yang muncul
berupa dispnea, rasa kebal atau kelemahan pada lengan, mual bisa dikarenakan
hipoperfusi otak, dan hipotensi ringan sampai sedang9. Jika penyebaran anestetik
lokal sampai pada cervical maka akan muncul gejala hipotensi berat, bradikardia,
gagal nafas. Bila timbul gangguan kesadaran dan apnea, maka penanganan airway
dan breathing berupa pemberian oksigen, intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan.
Selanjutnya penangan sirkulasi berupa pemberian cairan intravena, posisi
trendelenburg dan vasopresor15.
1. Hipotensi14
Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah hemodinamik.
Ketinggian dari blokade saraf akan meninggikan blokade simpatis, yang dapat dilihat
dari perubahan kardiovaskular terutama blokade simpatis T1-L2. Hipotensi dan
bradikardia adalah efek samping yang diakibatkan oleh denervasi simpatis. Faktor
risiko hipotensi antara lain hipovolemia, hipertensi preoperatif, ketinggian blokade

22
sensoris, usia diatas 40 tahun, obesitas, kombinasi anestesia umum dan regional.
Konsumpsi alkohol kronis, riwayat hipertensi, BMI lebih, ketinggian blokade
sensoris, kedaruratan pembedahan akan meningkatkan hipotensi setelah anestesi
spinal. Hipotensi terjadi berkisar 33% pada populasi non obstetri.
Dilatasi arteri dan vena pada anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi.
Dilatasi arteri tidak terjadi maksimal setelah blokade spinal dan otot polos pembuluh
darah akan tetap mempertahankan tonus otonom setelah denervasi simpatis. Karena
pertahanan tonus otonom masih ada tersebut, maka resistensi total pembuluh darah
perifer menurun hanya 15-18%, selanjutnya MAP menurun 15-18% bila cardiac
output tidak menurun. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, resistensi
pembuluh darah sistemik akan menurun sampai 33% setelah anestesi spinal.
Sebaliknya setelah anestesi spinal akan terjadi dilatasi vena yang maksimal
bergantung pada letak vena tersebut. Jika vena terletak dibawah atrium kanan,
gravitasi akan mempengaruhi pengisian darah vena perifer. Sedangkan jika vena
terletak diatas atrium kanan, maka aliran balik darah ke jantung akan meningkat.
Aliran balik vena ke jantung atau preload bergantung pada posisi pasien saat anestesi
spinal.
Sebagian besar pasien tidak mengalami perubahan denyut jantung yang
signifikan setelah anestesi spinal, namun usia muda < 50 tahun dan sehat atau ASA 1
mempunyai risiko tinggi untuk bradikardia. Penggunaan beta blocker juga
meningkatkan risiko bradikardia. Insidensi bradikardi pada populasi non obstetri
berkisar 13%. Serabut saraf simpatis yang mengatur denyut jantung keluar dari
segmen T1-T4 dan blokade pada serabut saraf ini akan menimbulkan bradikardia.
Penurunan aliran balik vena juga akan menyebabkan bradikardia karena tekanan
pengisian jantung berkurang dan memicu reseptor regangan intracardiac untuk
menurunkan denyut jantung. Maka dari itu, monitoring terhadap pasien dengan
anestesi spinal penting dan bila terjadi efek samping dapat ditangani dengan cepat
dan tepat.

23
2. Retensi urin15
Retensi urin terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot
kandung kemih dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin
bermanfaat pada pembedahan yang cukup lama. Penilaian postoperatif terhadap
retensi urin sangat berguna karena bila terdapat retensi urin yang lama merupakan
tanda adanya kerusakan saraf yang serius9.
b. Lokasi penyuntikkan
1. Nyeri punggung15
Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu repon
peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat berlanjut
lebih dari seminggu. Nyeri punggung ini bisa merupakan tanda awal dari komplikasi
hematoma spinal dan abses.
2. Postdural puncture headache15
Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati lubang
pada durameter. Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat kebocoran cairan
serebrospinal. Ketika pasien dalam posisi tegak akan ada traksi pada dura, tentorium
dan pembuluh darah yang menimbulkan nyeri. Gejala berupa nyeri kepala pada posisi
duduk atau berdiri dan berkurang bila berbaring, nyeri kepala bilateral, frontal, retro
orbita, oksipital dan menjalar ke leher. Onset nyeri ini 12-72 jam setelah prosedur.

3. Hematoma spinal15
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun faktor yang
meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian antikoagulan atau
penyakit yang berhubungan dengan koagulasi darah, penyuntikkan anestesi spinal
berulang kali. Perdarahan pada ruang subarachnoid akan mengompresi saraf dan
menimbulkan iskemia dan kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan cepat berupa
nyeri punggung dan tungkai bawah, hilang rasa dan kelemahan progresif, disfungsi
sfingter.
c. Toksisitas obat

24
1. Transcient neurological symptoms15
Gejala dan tanda berupa nyeri punggung bawah menjalar ke tungkai bawah.
Gejala umumnya timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan kembali menjadi
normal. Ini terjadi antara 1 sampai 24 jam dan bisa terjadi setelah beberapa hari.
Mekanisme pasti belum dapat diketahui namun secara teoritis bahwa lidokain lebih
neurotoksik pada serabut saraf tak bermielin dibandingkan anestetik lokal lainnya.
TNS lebih sering pada pasien dengan anestesi spinal dan posisi litotomi. Posisi ini
membuat peregangan pada serabut akar saraf lumbosacral, perfusi menurun dan
membuat saraf lebih mudah mendapatkan efek toksik dari anestetik lokal. Pecegahan
berupa pemakaian bupivakain sebagai alternatif lainnya.
2. Sindrom cauda equina15
Sindrom ini berhubungan dengan teknik kateter spinal dan lidokain 5%.
Sindrom cauda equina bersifat permanen dan berupa disfungsi sfingter, defisit
sensorik-motorik dan parese. Tingkat neurotoksisitas pada anestetik lokal yakni
lidokain = tetrakain > bupivakain > ropivakain.

25
BAB 3
KESIMPULAN
Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Anestesi ini bekerja setinggi papilla
mamae atau setinggi kurang lebih vertebra torakal 4. Prinsip yang digunakan adalah
menggunakan obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik untuk
sementara (reversible). Fungsi motoric juga terhambat sebagian. Dan pada teknik
anestesi ini, pasien tetap sadar.
Terdapat indikasi dan kontra indikasi yang terbagi dua yaitu kontraindikasi
absolut dan relative. Pada kontraindikasi relative anestesi tetap bisa dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal tertentu seperti kemungkinan komplikasi dan alternatif lain
jika tidak bisa dilakukan anestesi spinal. Seluruh persiapan wajib dicermati mulai dari
persiapan pasien, alat, obat anestesi lokal, obat emergensi yang harus disediakan jika
terjadi komplikasi, hingga kemungkinan untuk mengganti prosedur menjadi anestesi
umum seketika prosedur anestesi spinal tidak berjalan dengan baik. Saat penusukan
diperlukan ketelitian untuk menentukan lokasi suntikan, kemudian memperhatikan
pendekatan untuk melakukan penusukan serta memperhatikan factor yang
mempengaruhi anestesi.
Prosedur ini merupakan sebuah alternatif pada operasi dengan durasi singkat.
Pilihan ini menyediakan opsi yang memiliki komplikasi yang lebih sedikit ketimbang
melakukan prosedur anestesi umum diantaranya adalah waktu pemulihan pasca-
dilakukan posedur anestesi.

26
DAFTAR PUSATAKA

1. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug,


5, 2013] Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-
overview. Accessed on 2013 Oct 15
2. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 123
3. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 125-8
4. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book],
Vertebral Column, Section. Icon Learning Sistem, Rochester : Section #146.
5. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book],
Vertebral Column, Section. Icon Learning Sistem, Rochester : Section #154A
6. NYSORA – New York School of Regional Anesthesia, [Internet]
Subarachnoidal Block [Last Update Oct 4 2013], Available at
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-
techniques/landmark-based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html,
Accessed on 2013, Oct 15
7. University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal
block anesthesia. [Last Update Jan 2013]. Available at
http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm. Accessed on 2013, Oct, 15
8. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta; Balai Penerbit FKUI, 259-72.
9. Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of
Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last

27
Update on July 4 2011] Available at .http://totw.anaesthesiologists.org/wp-
content/uploads/2011/07/230-Neuraxial-adjuvants.pdf
10. Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in
Regional Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2,
161–70.
11. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical
Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and
Caudal Anesthesia; Appleton and Lange, 2005. California: McGraw-Hill
Publishing.

28

Anda mungkin juga menyukai