Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

GOITER

Disusun oleh:
Maulita Zulfiani G4A020015

Pembimbing:
dr. Ferdi Wiweko Ardianto, M. Si. Med. Sp.B. FICS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
KEPANITERAAN KLINIK BEDAH
RST TK III 04.06.01 WIJAYAKUSUMA
PURWOKERTO

2021
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Goiter

Disusun oleh:
Maulita Zulfiani G4A020015

Referat ini telah dipresentasikan dan disahkan


sebagai salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Januari 2021


Pembimbing

dr. Ferdi Wiweko Ardianto, M. Si. Med. Sp.B. FICS

KATA PENGANTAR

2
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dapat
menyelesaikan referat yang dengan judul “Goiter” ini. Terima kasih yang sebesar-
besarnya juga penulis sampaikan kepada dr. Ferdi Wiweko Ardianto, M. Si. Med.
Sp.B. FICS selaku pembimbing penulis sehingga referat ini dapat terselesaikan.
Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada segenap konsulen di bagian
SMF Ilmu Bedah yang telah memberikan dukungan baik secara moral dan
keilmuan sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini.
Demikian penulis sampaikan, mohon maaf apabila terdapat kesalahan baik
dalam tutur kata maupun tulisan yang mungkin tidak berkenan. Penulis berharap
supaya referat ini dapat bermanfaat bagi para dokter, dokter muda, ataupun para
medis lainnya di bagian bedah.

Purwokerto, Januari 2021

Penulis

BAB I

3
PENDAHULUAN

Struma (goiter) berdasarkan patologis merupakan perbesaran


kelenjar tiroid atau merupakan suatu kelainan radang, hiperplasia atau
neoplasma, dimana secara klinik sulit dibedakan. (Tampatty, 2019).
Struma secara awam dikenal dengan istilah gondok merupakan
pembesaran kelenjar tiroid yang dapat berkaitan dengan gangguan primer
pada organ tiroid ataupun akibat stimulasi hormonal atau faktor lain
terhadap tiroid. Sekitar 27% dari keseluruhan pasien struma didunia berada
di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia (Armerinayanti, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian struma menurut Tampatty, (2019) penelitian
yang dilakukan di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 200 juta orang
menderita struma dari 800 juta orang yang mengonsumsi yodium dalam
jumlah yang sedikit. Hasil survei tentang struma di Indonesia masih sangat
kurang. Hasil penelitian tentang struma di Indonesia, menunjukkan
prevalensi pada hipertiroid pemeriksaan TSH (Thyroid Stimulating
Hormon) pada riskesdas 2007 mendapatkan 12,8 % laki-laki dan 14,7%
memiliki kadar TSH rendah yang menunjukkan kecurigaan adanya
hipertiroid. Namun menurut hasil Riskesdas 2013, hanya terdapat 0,4%
penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun atau lebih yang berdasarkan
wawancara mengakui terdiagnosis hipertiroid. Meskipun secara persentase
kecil, namun secara kuantitas cukup besar. Jika pada tahun 2013 jumlah
penduduk usia ≥15 tahun sebanyak 176.689.336 jiwa, maka terdapat lebih
dari 700 orang terdiagnosis hipertiroid (Kemenkes, 2015). Berdasarkan
tingginya kasus struma di Indonesia pasien sering menunjukkan keluhan
Pembesaran kelenjar limfe, nyeri tekan pada kelenjar tiroid, dan kesulitan
2 menelan. Penyebab utama dari pasien struma yaitu kekurangan yodium
selain itu disebabkan oleh penghambatan sintesa hormone oleh zat kimia
dan penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (Amin huda, 2016).
Tingginya struma memiliki komplikasi seperti penyakit jantung hipertiroid
dan Dermopati Graves. Penatalaksanaan struma menurut Tarwoto (2012)
meliputi pengobatan farmakologi, terapi radioiodine, dan pembedahan

4
berupa tiroidektomi. Pada tindakan tiroidektomi ukuran struma dan
hipertiroidisme merupakan dua faktor yang akan saling menguatkan
terjadinya resiko komplikasi seperti di lakukan tindakan Tiroidektomi
(Widodo, 2009).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
B. Klasifikasi
1. Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya goiter dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid
yang ditandai dengan kondisi hormon normal.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar
tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang.
Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang
cukup dari hormon.
c. Hipertiroidisme
Hipertiroidisme didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh
terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan.
Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya antibodi dalam darah
yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi
hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.
2. Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis goiter dapat dibedakan menjadi:
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik
dan struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah
kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan
menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis
sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik

6
teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik). Struma
diffusa toksik merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh
dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling
banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan
penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama
berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar
dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif. Meningkatnya kadar hormon
tiroid cenderung menyebabkan peningkatan pembentukan antibodi
sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai hasil
pengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi
bukan mencegah pembentuknya. Apabila gejala-gejala
hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa penderita
maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa
khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit
berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi
menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik.
Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik.
Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter
koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang
sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa
hormon oleh zat kimia. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid
teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodusa.
Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan
hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid
sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak
mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau

7
hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik
atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh
adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila
timbul perdarahan di dalam nodul. Struma non toksik disebut juga
dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas dinilai dari
prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka
yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang
diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai
Kemenkes adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-<
20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30
%.33
C. Epidemiologi
Sekitar 27% dari keseluruhan pasien struma didunia berada di
negara Asia Tenggara termasuk Indonesia (Armerinayanti, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian struma menurut Tampatty, (2019) penelitian
yang dilakukan di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 200 juta orang
menderita struma dari 800 juta orang yang mengonsumsi yodium dalam
jumlah yang sedikit. Hasil survei tentang struma di Indonesia masih sangat
kurang. Hasil penelitian tentang struma di Indonesia, menunjukkan
prevalensi pada hipertiroid pemeriksaan TSH (Thyroid Stimulating Hormon)
pada riskesdas 2007 mendapatkan 12,8 % laki-laki dan 14,7% memiliki
kadar TSH rendah yang menunjukkan kecurigaan adanya hipertiroid. Namun
menurut hasil Riskesdas 2013, hanya terdapat 0,4% penduduk Indonesia
yang berusia 15 tahun atau lebih yang berdasarkan wawancara mengakui
terdiagnosis hipertiroid. Meskipun secara persentase kecil, namun secara
kuantitas cukup besar. Jika pada tahun 2013 jumlah penduduk usia ≥15 tahun
sebanyak 176.689.336 jiwa, maka terdapat lebih dari 700 orang terdiagnosis
hipertiroid (Kemenkes, 2015).
D. Anatomi Kelenjar Tiroid
Glandula tiroid terletak di anterior dan lateral trakea. Di sekitarnya
terdapat 2 cartilago, yaitu cartilago tyroidea dan cartilago trachealis.

8
Glandula tiroid terbagi menjadi 2 lobus, yaitu lobus dextra et sinistra yang
dihubungkan oleh isthmus glandula thyroidea. Lobus thyroid dextra et
sinistra terletak sepanjang cartilago thyroidea sampai dengan cartilago
trachea 4-5. Isthmus glandula thyroidea terletak sepanjang cartilago
trachealis 2 - cartilago trachealis 3. Bisa terdapat variasi kongenital berupa
lobus pyramidalis dan ductus thyroglossus. Lobus pyramidalis (lobus
Lalouette), biasanya linea mediana atau lebih sering pada bidang paramedian
sinistra dengan basis pada isthmus dan apex pada linea mediana/paramedian,
menuju posterior os hyoid. Ductus thyroglossus persisten, yaitu saluran
penghubung glandula thyroid dengan foramen caecum lingua yang masih
patent.

Gambar 1. Anatomi Glandula Thyroid (Bodnar, et al., 2015)

Setiap lobus glandula thyroidea dilapisi oleh fascia propria (true


capsule) dan di superfisialnya terdapat fascia pretracheales (false capsule)
yang menutup seluruh permukaan superficial dan profundal glandula thyroid
dan parathyroid serta struktur laryng dan trachea di sekitarnya. Di posterior
oesophagus, fascia ini berhubungan dengan fascia buccopharyngeal. Fascia

9
pretracheale dan fascia buccopharyngeal disebut fascia cervicalis profunda.
Struktur dan perlekatan keduanya memungkinkan glandula thyroid bergerak
naik turun sesuai gerakan faring dan laryng, misal saat menelan.
Vaskularisasi glandula tiroid terdiri atas a. thyroidea superior, a.
thyroidea inferior, dan kadang-kadang a. thyroidea ima. Vena-vena dari
glandula thyroidea antara lain v. thyroidea superior, media, et inferior.
Inervasi glandula tiroid berasal dari ganglion cervicale superius, media, et
inferius. Ganglion cervicale superius terletak setinggi C1 – C2, ganglion
cervicale medius terletak di anterior a. thyroidea inferior setinggi cartilage
cricoidea dan proc. transversus vertebrae cervicalis IV, ganglion cervicale
inferius terletak di depan proc. transversus vertebrae cervicalis VII, tepat di
atas collum costae I, posterior terhadap a. vertebralis. Saraf-saraf tersebut
mencapai glandula thyroid melalui n. cardiacus, n. laryngeus superior, dan n.
laryngeus inferior, serta nervus-nervus sepanjang a. thyroidea (Snell, 2011).

10
Gambar 2. Fascia pada leher (Hansen, 2010)

11
Gambar 3. Vaskularisasi Arteri dan Vena Glandula Thyroidea

E. Fisiologi Kelenjar Tiroid


Hipotalamus mensekresi Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH). TRH
menstimulasi glandula hipofisis mensekresi Thyroid-Stimulating Hormone
TSH sehingga meningkatkan ambilan thyroid iodida (disimpan dalam lumen).
Iodinasi thyroglobulin membentuk monoiodotyrosine (MIT) and
diiodotyrosine (DIT). Molekul MIT dan DIT membentuk form
triiodothyronine (T3) atau thyroxine (T4), disimpan dalam bentuk koloid. T3
dan T4 dilepaskan ke aliran darah melalui endositosis dan fusi dengan
lisosom. Transporter hormon thyroid: thyroxine-binding globulin (TBG,
meningkat seiring dengan peningkatan hormon estrogen dan kehamilan),
transthyretin dan albumin. Efek hormone toroid adalah meningkatkan
metabolic rate (termogenesis dan meningkatkan konsumsi oksigen,
perkembangan saraf dan tulang (menstimulasi kondrosit, reabsorpsi tulang,
pertumbuhan jaringan saraf), meningkatkan aktivitas simpatik (meningkatkan
denyut dan kontraktilitas jantung), melepaskan hormon steroid, dan
menstimulasi eritropoesis (Martini, 2014).

F. Patofisiologi
Gambaran histopatologi goiter, sangat bervariasi tergantung dari
penyebab dan lamanya terjadi goiter. Pertama terjadi hiperplasia epitel
folikuler yang berbentuk sama (goiter difus) sehingga terjadi peningkatan

12
masa kelenjar tiroid. Bila kelainan ini menetap, arsitektur tiroid hilang
kesamaan bentuknya, kemudian berkembang area-area involusi dan fibrosis di
antara area-area fokal yang hiperplasia. Proses ini mengakibatkan nodul
multipel (goiter multinoduler). Dengan pemeriksaan skintigrafi, beberapa
nodul dapat merupakan ”hot nodule” dengan uptake isotop tinggi, atau ”cold
nodule”, uptake isotop rendah dibandingkan dengan jaringan tiroid normal.
Perkembangan nodul berhubungan dengan berkembangnya fungsi autonom
dan berkurangnya kadar TSH. Secara klinis, perjalanan penyakit goiter non
toksik terus berkembang, produksi nodul dan fungsi autonom, pada sebagian
kecil pasien dapat terjadi tirotoksikosis.

G. Etiologi
Penyebab goiter paling sering di seluruh dunia adalah defisiensi yodium.
Etiologi, antara lain:
a. Defisiensi yodium, disini mulai timbul goiter bilamana asupan yodium
kurang dari 50 mcg/hari
b. Kelebihan yodium, jarang terjadi goiter, kecuali bila didasari autoimun.
c. Goiterogen
 Obat-obatan, PTU, Lithium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
ekspektoran yang mengandung yodium
 Makanan, sayuran genus Brassica (mis. kobis, lobak), ganggang laut,
ketela pohon, rumput liar yang mengandung bahan goiterogen
d. Dishormonogenesis, biasanya penyakit ini diturunkan
e. Radiasi leher dan kepala: dapat menyebabkan nodul jinak maupun ganas

H. Faktor Resiko
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Genetik
4. Merokok
5. Stres
6. Obat-obatan

13
7. Lingkungan
I. Diagnosis
1. Anamnesis
Kelenjar tiroid umumnya tumbuh ke depan karena lokasinya di sebelah
anterior trakea. Bila kelenjar tiroid membesar, kelenjar tiroid melingkari
trakea dan mendesak trakea dan esofagus, atau kadang-kadang meluas
sampai ke mediastinum.
a. Pola pertumbuhan goiter
 Tanyakan kapan mulai timbul dan apakah ada pembesaran
cepat akhir-akhir ini
 Bila akhir-akhir ini ada pertumbuhan nodul atau salah satu
lobus sangat cepat mungkin suatu keganasan
 Goiter jarang sekali cepat membesar dan sakit, bila terjadi
maka mungkin ada perdarahan
b. Keluhan obstruksi
 Kompresi pada trakea, biasanya tanpa keluhan, sampai lubang
trakea benar-benar sempit
 Terjadi dispneu dan stridor, khususnya bila melakukan
aktivitas. Pada pasien dengan goiter intra toraks terjadi
dispneu dan stridor khususnya pada malam hari.
 Bila terjadi perdarahan pada goiter, maka akan timbul sesak
nafas mendadak
 Esofagus terletak di belakang kelenjar tiroid, bila tertekan
menyebabkan kesulitan menelan terutama makanan padat dan
disfagi.
 Penekanan nervus rekuren laringeus menyebabkan disfungsi
pita suara, ini menyebabkan suara serak
 Penekanan pada aliran darah vena di lubang masuk toraks oleh
goiter di daerah mediastinum, menyebabkan wajah memerah
dan dilatasi vena leher di atas toraks.
c. Asupan yodium: tanyakan dengan cermat asal tempat tinggal apakah
di daerah endemik, riwayat defisiensi yodium dalam dietnya, asupan

14
yodium yang berlebihan yang berasal dari obat-obatan, pemakaian
suplemen kesehatan dan ganggang laut.
d. Riwayat radiasi: cari apakah ada riwayat radiasi pada daerah leher
e. Riwayat keluarga dengan goiter: ini sangat penting untuk mencari
adanya faktor keturunan. Cari bentuk-bentuk dishormonogenesis yang
diturunkan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik lokalis kelenjar tiroid, catat bentuk, simetri
asimetri, ukuran besarnya; limfadenopati dan periksa fungsi tiroid.
a. Inspeksi pada leher untuk pembesaran kelenjar tiroid, seringkali
pembesaran tiroid hanya dapat dideteksi saat pasien menelan.
Isthmus tiroid biasanya terletak sedikit di bawah kartilago krikoid
trakea. Lobus tiroid melebar ke lateral dan bila membesar dapat
meluas sampai ke posterior muskulus sternokleidomastoideus.
Lebih dari 80% lobus kelenjar tiroid berbentuk piramid, dari
isthmus meluas ke superior.
Raba seluruh kelenjar, cari bila ada asimetri atau nodul yang
kadang ada pada kelenjar normal.
Derajad besarnya kelenjar tiroid, ditentukan dengan stadium:
Stadium 0 : tidak ada pembesaran tiroid
Stadium Ia : teraba pada pemeriksaan, tidak terlihat walaupun
leher ekstensi penuh
Stadium Ib : Goiter teraba pada pemeriksaan dan terllihat saat
leher ekstensi penuh
Stadium II : Goiter terlihat saat leher dalam posisi normal
Stadium III : Goiter cukup besar dan dapat terlihat dari jauh.
b. Pada pasien dengan sesak nafas atau batuk-batuk, cari
kemungkinan sumbatan pada trakea, atau deviasi trakea dari garis
tengah.
c. Periksa suara pasien, apakah ada suara serak.
d. Cari tanda-tanda sumbatan aliran darah vena dengan manuver
Pemberton, yaitu dengan mengangkat kedua tangan diatas kepala

15
sampai kedua tangan menyentuh sisi kepala yang berlawanan
selama satu menit. Positif bilamana wajah memerah atau
pelebaran vena-vena leher.
e. Pemeriksaan fisik untuk disfungsi tiroid, cari tanda-tanda
hipertiroid atau hipotiroid
3. Pemeriksaan Penunjang (Stefenson et al, 2006)
a. Uji fungsi tiroid: TSH, T4 bebas, T3 total
Tes fungsi tiroid adalah normal untuk struma difus tidak beracun.
Untuk struma multinodular, tes fungsi tiroid mungkin menunjukkan
T4 dan T3 normal, dengan TSH normal rendah (hipertiroidisme
subklinis) karena beberapa nodul perlahan mengarah ke gejala
otonom.

b. Kadar yodium urin


c. Pencitraan: USG, CT Scan, MRI, Barium Meal bila ada gangguan
menelan, Skintigrafi tiroid.
 Jika ada kekhawatiran yang signifikan mengenai deviasi
trakea, kompresi atau ekstensi substernal dan CT scan aksial
harus dilakukan.
 Ultrasonografi harus dilakukan bahkan jika terdapat banyak
nodul. Direkomendasikan bahwa nodul berukuran 1 sampai
1,5 cm, yang memiliki gambaran sonografi yang
mencurigakan seperti mikrokalsifikasi dan hipervaskuler
intranodular harus diambil. Ultrasonografi tidak membedakan
lesi jinak dari lesi ganas, ultrasonografi dapat memberikan
dasar yang akurat. Sonogram dapat mengidentifikasi jumlah,
ukuran, dan bentuk nodus serviks yang mengelilingi dan jauh

16
dari tiroid. Sonografi juga dapat berguna dalam skrining tiroid
untuk lesi kecil pada pasien dengan kanker tiroid metastatik
dan untuk evaluasi tiroid pada pasien dengan riwayat radiasi
kepala dan leher.
d. Aspirasi jarum halus, bila ada nodul.
Aspirasi jarum halus (FNA) melalui panduan ultrasound sangat
dianjurkan sebagai prosedur diagnostik pilihan untuk evaluasi nodul
tiroid.
e. Spirometri untuk menilai adanya obstruksi jalan napas
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dari 15% sampai 45%
pasien dengan struma serviks yang besar atau struma substernal
mungkin asimtomatik. Sebagai catatan, pasien mungkin asimtomatik
namun memiliki bukti radiografi kompresi trakea dan bukti obstruksi
jalan napas pada pemeriksaan spirometri. Jika pasien dengan struma
menunjukkan gejala, mereka mungkin datang dengan batuk kronis,
dispnea nokturnal, tersedak, dan kesulitan bernapas pada posisi leher
yang berbeda atau dalam posisi berbaring. Beberapa seri pembedahan
menunjukkan bahwa sekitar 20% pasien dengan struma serviks dan
retrosternal datang dengan gangguan saluran napas akut, hingga 10%
membutuhkan intubasi.

J. Tatalaksana
1. Struma non toksik (Lee, 2012)
a. struma mungkin stabil selama beberapa tahun atau dapat tumbuh
perlahan. Nodul dalam struma multinodular juga dapat mengalami
pembesaran yang cepat dan menyakitkan akibat perdarahan.
Peningkatan ukuran yang begitu cepat dapat dikaitkan dengan nyeri
dan peningkatan gejala regional, termasuk gangguan saluran napas.
b. Semua pasien yang bergejala, semua pasien dengan bukti radiografi
yang signifikan dari obstruksi jalan napas, dan semua pasien dengan
struma substernal menjadi indikasi pembedahan.
c. Indikasi pembedahan lainnya termasuk masalah kosmetik dan semua

17
struma substernal, karena jaringan substernal merupakan jaringan
abnormal, yang tidak tersedia untuk pemeriksaan fisik rutin,
pemantauan, atau FNA.
d. Selama operasi untuk struma, identifikasi saraf tentu saja diperlukan
seperti pada semua kasus tiroidektomi. Mungkin perlu menggunakan
pendekatan superior dengan identifikasi saraf pada titik masuk laring
setelah diseksi kutub superior dan kemudian diseksi retrograde saraf.
e. Seri bedah multipel menunjukkan bahwa sternotomi untuk struma
serviks dan substernal yang besar jarang diperlukan. Operasi yang
diperlukan untuk struma serviks dan substernal berkisar dari
lobektomi hingga tiroidektomi total. Tiroidektomi subtotal, mungkin
jarang dilakukan tergantung pada temuan paratiroid intraoperatif
untuk mempertahankan jaringan paratiroid. Insiden karsinoma
(biasanya karsinoma papiler intrathyroidal kecil) pada struma
multinodular adalah sekitar 7,5%.
2. Struma toksik (Lee, 2012)
a. Penanganan berupa pembedahan atau yodium radioaktif, obat
antitiroid dianggap hanya sebagai pengobatan pendahuluan
sebelum pengobatan bedah atau radioablatif yang lebih pasti.
b. Pembedahan dengan cepat dan pasti memperbaiki hipertiroidisme
dan berhubungan dengan morbiditas yang rendah
c. Pembedahan sangat cocok untuk nodul toksik, di mana satu daerah
tiroid dapat direseksi dengan mempertahankan jaringan normal
kontralateral. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pembedahan
memiliki risiko hipotiroidisme yang lebih rendah daripada ablasi
yodium radioaktif.
d. Penatalaksanaan endokrinologis pra operasi sangat penting untuk
mengembalikan pasien ke keadaan eutiroid untuk menghindari
badai tiroid perioperatif. Eutiroidisme biasanya diperoleh dengan
obat antitiroid yang digunakan selama 6 minggu sebelum operasi
dengan atau tanpa penghambat beta-adrenergik.
Obat Antitiroid

18
 Propylthiouracil (PTU) dan methimazole:
o Memblokir pengorganisasian yodium dan sintesis TH
dan memblokir konversi perifer T4 menjadi T3.
o PTU diberikan q3d; methimazole qd.
o Pemberian selama 6 sampai 8 minggu sampai kondisi
eutiroid.
o Efek sampingnya termasuk ruam, demam, reaksi seperti
lupus, dan penekanan sumsum tulang (0,3% -0,4%
kasus), yang dapat pulih jika terdeteksi lebih awal. PTU
dikaitkan dengan gagal hati terutama pada anak-anak
sehingga methimazole dianggap sebagai terapi lini
pertama untuk hipertiroidisme.
o Kontraindikasi pada kehamilan dan menyusui.
 Iodida
o Larutan kalium iodida dan Lugol menghambat
pengorganisasian dan mencegah pelepasan TH.
o Diberikan sebelum operasi untuk menurunkan
vaskularisasi kelenjar tiroid.
o Efek antitiroid bersifat sementara, dengan pelarian
dalam waktu 2 minggu, dan disebut efek Wolff-
Chaikoff.
o Iodida dosis tinggi yang berkepanjangan, terutama
dalam keadaan struma nodular toksik, dapat
menyebabkan hipertiroidisme.
 Penghambat beta-adrenergik
o Contohnya termasuk propranolol atau nadolol.
o Memblokir efek TH perifer (jangan mengubah
produksi TH).
o Berguna dalam pengendalian gejala saat
pengobatan lain dimulai dan juga dalam bentuk
hipertiroidisme sementara yang terkait dengan

19
tiroiditis (lihat nanti).
o Kontraindikasi pada pasien dengan asma, penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), gagal jantung,
diabetes tergantung insulin, bradiaritmia, dan
mereka yang memakai penghambat oksidase
monoamine.
e. Pembedahan total pada graves disease lebih direkomendasikan
untuk membuat pasien menjadi hipotiroid daripada memberikan
reseksi yang tidak adekuat sehingga menyebabkan hipertiroidisme
berulang.
f. Bedah untuk nodul toksik:
 Reseksi bagian kelenjar yang terkena, (lobektomi).
 Pada struma multinodular toksik, yang terbaik adalah
mempertimbangkan informasi skintilografi dan sonografi
dalam menyusun rencana pembedahan untuk struma
multinodular toksik karena hot area kelenjar mungkin tidak
sesuai dengan daerah nodularitas yang nampak.
3. Guideline penatalaksanaan nodul tiroid (Lee, 2012) :
a. Pasien yang ditemukan memiliki nodul tiroid lebih dari 1-1,5 cm
harus menjalani anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, dan
pengukuran serum TSH.
b. Jika TSH rendah, maka pemindaian I123 atau Tc99, jika serapan
meningkat seragam atau "hot" kemudian evaluasi dan obati untuk
hipertiroidisme.
c. TSH normal atau tinggi, lanjutkan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
d. Jika tidak ada nodul yang terlihat secara sonografis dan TSH tinggi
maka evaluasi dan obati hipotiroidisme; jika TSH normal maka tidak
ada pemeriksaan lebih lanjut.
e. Jika pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan nodul posterior, nodul
lebih besar dari 1-1,5 cm, atau nodul lebih besar dari 50% kistik maka
FNA yang dipandu USG harus dilakukan.
f. Hasil FNA:

20
 Nondiagnostik / tidak adekuat: ulangi FNA dengan panduan
USG dalam 3 bulan, jika tidak adekuat lagi, kemudian follow
up atau pembedahan.
 Ganas: pembedahan
 Tidak pasti: Jika dicurigai karsinoma maka pembedahan; Bila
mencurigai adanya neoplasia maka lakukan pemeriksaan I123,
untuk menentukan nodul panas, nodul dingin dilanjutkan ke
pembedahan.
 Jinak: Direkomendasikan bahwa nodul yang ditemukan jinak
pada FNA dan mudah teraba untuk diikuti secara klinis dengan
interval 6-18 bulan. Nodul jinak yang tidak mudah teraba
harus diikuti dengan USG pada interval tindak lanjut yang
sama. Jika ada bukti pertumbuhan nodul jinak, ulangi FNA
dengan panduan USG dianjurkan.
g. Kista yang berukuran kurang dari 4 cm dapat disedot dan berpotensi
ditekan, dengan pembedahan disediakan untuk pembentukan kista
berulang. Kista yang lebih besar dari 4 cm harus direseksi.
4. Tiroidektomi (Lee, 2012)
a. Sayatan tiroid dibuat, biasanya selebar 1 atau 2 jari di atas
manubrium sternum dengan cara melengkung, dalam lipatan kulit
normal. Flap kulit subplatismal diangkat ke atas setinggi tiroid.
b. M. Omohyoid dikenali di garis tengah, dan m. sternohyoid (lebih
medial) diangkat dalam satu lapisan dari permukaan ventral lobus
tiroid.
c. Melalui diseksi tumpul, lobus dibedah dan dimobilisasi. Saat ini
dilakukan, kelenjar tiroid ditarik ke medial, dan otot ditarik ke
samping. Vena tiroid tengah harus diikat, memberikan eksposur
lateral dari lobus tengah

21
d. Kutub inferior dibedah dengan mata pisau untuk mengidentifikasi
paratiroid inferior, yang biasanya terletak dalam 1 cm inferior atau
posterior kutub inferior tiroid. Paratiroid inferior seringkali berada di
dalam tanduk tirotimik paling atas (timus atas)
e. Nervus Laryngeus Reccurent (RLN) dapat diidentifikasi melalui
pendekatan lateral pada level midpolar tepat di bawah ligamentum
Berry dan titik masuk laring atau medial tuberkulum Zuckerkandl.
RLN diidentifikasi sebagai struktur putih seperti gelombang dengan
garis vaskular yang khas. Percabangan ekstralaring dapat terjadi
pada sekitar sepertiga pasien di atas titik persimpangan RLN dan
arteri tiroid inferior. Di sebelah kanan, RLN lebih miring ke samping
daripada di sebelah kiri. Stimulasi saraf dapat digunakan untuk
memfasilitasi identifikasi saraf. Titik masuk laring ditunjukkan oleh
kornu inferior dari tulang rawan tiroid. Kemungkinan RLN tidak
berulang di sebelah kanan harus dipertahankan. Pembesaran struma
pada kelenjar tiroid dapat secara signifikan merusak posisi RLN,
seperti halnya penyakit paratrakeal nodal peri-RLN.
f. RLN harus diidentifikasi secara visual dalam semua kasus dan
dikonfirmasi secara elektrik melalui pemantauan saraf.
g. Cabang distal arteri tiroid inferior dan superior harus selalu
ditempatkan sedekat mungkin dengan tiroid untuk mengoptimalkan
pemeliharaan paratiroid. Jika paratiroid menjadi hitam akibat diseksi

22
atau memiliki pedikel vaskular yang meragukan, paratiroid dapat
dibiopsi, dipastikan sebagai paratiroid, dan kemudian dicincang dan
ditempatkan ke dalam beberapa kantong otot di otot
sternokleidomastoid (SCM).

h. Retraksi ke bawah dan lateral dari kutub superior memungkinkan


diseksi dalam interval antara tulang rawan tiroid secara medial dan
kutub superior secara lateral (ruang krikotiroid). Pembuluh kutub
superior kemudian diikat setinggi kapsul tiroid.
i. Cabang eksternal SLN dapat, dalam sekitar 20% kasus, terkait erat
ke pembuluh kutub superior setinggi kapsul tiroid dan oleh karena
itu rentan cedera.
j. Dalam kasus di mana sebagian lobus dibiarkan di tempatnya untuk
menjaga jaringan paratiroid, bagian posterolateral lobus tiroid yang
harus dibiarkan in situ.

23
BAB III
KESIMPULAN

1. Goiter merupakan keadaan patologis dimana muncul pembesaran abnormal


pada jaringan tiroid.
2. Etiologi dari goiter terbanyak adalah defisiensi yodium.
3. Goiter secara klinis dapat dibagi menjadi 2, yaitu dari goiter toksik dan non
toksik.
4. Diagnosis goiter meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan lokalis yang
sesuai, serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratoris
hormone dan pemeriksaan pencitraan.
5. Tatalaksana goiter meliputi pengobatan medikamentosa dan non
medikamentosa berupa tindakan tiroidektomi

24
DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda, H. K. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Edisi Revisi Jilid 1.


Jogjakarta: Mediaction.

Armerinayanti, N. W. (2016). Goiter Sebagai Faktor Predisposisi Karsinoma


Tiroid . Warmadewa Medical Journal.

Kemenkes, K. K. (2015). Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid. 3 dan 6.

Lee, K.J. 2012. Esenssial Otholaryngology Head and Neck Surgery 10 th Ed. New
York: McGraw Hill

Svensson J, Ericsson UB, Nilsson P, Olsson C, Jonsson B, Lindberg B, Ivarsson


SA. Levothyroxine Treatment Reduces Thyroid Size in Children and
Adolescents with ChronicAutoimmune Thyroiditis. J Clin Endocrinol
Metab. 2006, 91: 1729–34.

Tampatty, G. T. (2019). PROFIL PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI PADA


PASIEN STRUMA DIBAGIAN/SMF RADIOLOGI FK UNSRAT RSUP
PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2018-
JUNI 2018.

Tarwoto, N. S. (2012). KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH Gangguan Sistem


ENDOKRIN. Jakarta Timur : Trans Info Media, Jakarta.

Widodo, A. d. (2009). Komplikasi Tiroidektomi. Journal Universitas Airlangga,


128-130.

25

Anda mungkin juga menyukai