Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

GETA (GENERAL ENDOTRACHEAL ANESTESI) PADA PASIEN


YANG MENJALANI TONSILEKTOMI

Oleh :
Nur Afni Jusman, S.Ked
K1B1 21 011

PEMBIMBING
dr. Irham Adyputra, MARS, Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Nur Afni Jusman, S.Ked

NIM : K1B1 21 011

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Laporan Kasus : GETA (General Endotracheal Anestesi) pada pasien yang


menjalani tonsilektomi

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepanitraan klinik pada
Bagian Anestiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Maret 2022

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Irham Adyputra, MARS, Sp.An

2
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan dengan anestesi
lokal antara lain, pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat sedang pada
anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh adalah saraf
perifer, sedangkan pada anestesi umum yang terpengaruh ialah saraf pusat dan pada
anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran.1
American Society of Anesthesiologists (ASA) menjelaskan anestesi umum
sebagai “kehilangan kesadaran yang disebabkan oleh obat, meskipun pasien
menerima rangsangan, bahkan dengan rangsangan yang menyakitkan”. Anestesia
umum modern melibatkan pemberian kombinasi obat-obatan, seperti obat-obatan
hipnotik, obat penghambat neuromuskular, dan obat analgesik.2
GETA atau General Endotracheal Anesthesia merupakan suatu teknik anestesi
umum dengan melibatkan perlindungan pada jalan napas. Perlindungan jalan napas
tersebut dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakea (Endotracheal Tube/ ETT)
ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. ETT dapat digunakan sebagai
penghantar gas anestesi kedalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan
oksigenasi. Endotrachéal Tube sesuai dengan namanya adalah pipa kecil yang
dimasukkan kedalam trakea, tindakannya dinamakan Intubasi Endotrakea.1
Intubasi endotrakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea
antara pita suara dan bifurkasio trakea. Tindakan ini berguna untuk menjaga patensi
jalan napas oleh sabab apapun, mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, serta
mencegah terjadinya aspirasi dan regurgitasi.3 Intubasi endotrakea harus dilakukan
secara aman. Proses intubasi ini dapat menyebabkan trauma pada trakea dan juga
laring meliputi hematom, laserasi mukosa membran, laserasi otot pita suara, dan
subluksasi pada kartilago aritenoid.3
Tonsilektomi didefinisikan sebagai suatu tindakan bedah yang mengangkat
keseluruhan jaringan tonsil palatina, termasuk kapsulnya dengan melakukan diseksi
ruang peritonsiler di antara kapsula tonsil dan dinding muskuler tonsil. Tonsilektomi
mengurangi rekurensi pada pasien dewasa dengan faringitis streptokokus rekurendan
direkomendasikan untuk nyeri tenggorok berat yang rekuren pada dewasa.4

3
BAB II

IDENTIFIKASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 15 tahun
Tanggal Lahir : 16 November 2006
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 47 Kg
Tinggi Badan : 147 Cm
IMT : 21,75 kg/m2
Alamat : Betoambari, Baubau
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Status Pernikahan : Belum menikah
Tanggal Masuk : 18 Maret 2022
RM : 59 67 XX
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri tenggorokan
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke UGD RSU Bahteramas diantar oleh ibunya dengan keluhan
nyeri pada tenggorokan yang dirasakan seperti ada yang mengganjal dan dirasakan
terus menerus. Keluhan ini pertama kali muncul saat pasien duduk dibangku sekolah
dasar dan kembali kambuh lebih dari tiga kali dalam 2 bulan terakhir. Keluhan ini
disertai dengan nyeri saat menelan dan napas yang berbau. Pasien merupakan
rujukan dari RS Baubau. Pasien tidak menggunakan kacamata, tidak menggunakan
lensa kontak, tidak menggunakan alat bantu dengar, tidak memiliki gigi palsu, dan
gigi yang masih lengkap.
3. Riwayat penyakit penyerta : Tidak ada
4. Riwayat alergi makanan dan obat : Tidak ada
5. Riwayat operasi sebelumnya : Tidak ada

4
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum Sakit Sedang
Kesadaran Kompos Mentis
Tanda Vital Tekanan Darah : 110/70
mmHg
Nadi : 66x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,8 oC
VAS :3

Status Generalis

1. SISTEM RESPIRASI Napas Spontan , RR 20 x/menit, SpO2


99%,gerakan dada kanan dan kiri simetris,
bunyi napas vesikuler, simetris kanan dan
kiri, tidak ada rhonki, tidak ada wheezing.

MOANS : mask seal (-), obesitas (-), usia


> 40 tahun, gigi ompong (-), Stiff lungs (-)

LEMON:

1. Look external : trauma facial (-), gigi seri


besar (-), berkumis/berjenggot (-), lidah
besar (-).
2. Evaluate; buka mulut = 5 cm,
3. Malampati : 4
4. Obstruksi (-)
5. Gerakan leher : dalam batas normal
2.SISTEM TD: 110/70 mmHg, MAP : 83 mmHg
KARDIOVASKULER Nadi: 90x/menit regular kuat angkat, akral
teraba hangat, CRT < 2 detik

3.SISTEM GCS : 15 (E4V5M6), pupil : bulat isokor,


diameter 2,5 mm, reflex cahaya +/+, suhu :
5
CEREBROVASKULER 36,8 C, VAS : 3

4.SISTEM Tidak terpasang kateter, produksi urin sulit


UROGENITALIA dinilai

5.SISTEM Perut datar ikut gerak napas, distensi (-),


GASTROINTESTINAL peristaltik kesan normal, nyeri tekan (-),
DAN HEPATOLOGI perkusi tympani.

6.EKSTREMITAS Edem (-), fraktur (-)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium
Darah Rutin (11-03-2022)
Parameter Nilai Rujukan Satuan
WBC 9,76 4.0-10.0 103/uL
RBC 5,06 4.00-6,00 106/uL
HGB 13,5 12.0-16.0 g/Dl
HCT 39,4 37.0-48.0 %
MCV 77,9 80.0-97.0 fL
MCH 26,7 26.5-33.0 Pg
MCHC 34,3 31.5-35.0 g/dL
Kimia Darah (11-03-2022)
Parameter Nilai Rujukan Satuan
SGPT 7 <31 U/L
SGOT 19 <31 U/L
Creatinin 0,7 0,5-1,0 mg/dL
Ureum 20 15-40 mg/dL
Glukosa Darah 84 70-180 mg/dl
Sewaktu
Koagulasi (11-03-2022)
Masa Perdarahan 2’56” 1,0-3,0 Menit
Masa Pembekuan 6’19” 1,0-9,0 menit
6
D. DIAGNOSIS
Tonsilitis Kronik
E. RENCANA PEMBEDAHAN
Tonsilektomi
F. ASSESMENT ANESTESI
ASA PS 2
G. RENCANA ANESTESI
GETA
H. TATALAKSANA PERIOPERATIF
1. Preoperatif
a. Persiapan pasien :
1) Menjelaskan keadaan umum pasien saat ini pada pasien dan pada keluarga
pasien, menjelaskan mengenai komplikasi dan prognosis pada pasien
2) Pasien puasa sejak pukul 02.00 WITA- 10.00 WITA (8 jam sebelum
operasi dimulai)
3) Dilakukan pemasangan infus pada tangan kiri dengan cairan Ringer Laktat
24 tpm
4) Premedikasi : Inj. Ondancentron 8 mg, Inj. Ranitidine 25 mg, Inj.
Dexamethason 10 mg
b. Persiapan alat :
1) Monitor, Sphygmomanometer, Saturasi
2) Oksigen dengan ventilator
3) Meja operasi
4) Mesin anestesi dan perangkat anestesi umum
5) Perangkat intubasi endotracheal tube (ETT), yaitu
a) Laringoskop
b) Stetoskop
c) Endotracheal Tube (ETT) ukuran 7,0, 6,5 dan 6,0
d) Oropharyngeal Airway size 2, 3, dan 4
e) Hypafix
f) Stilet
g) Connector
h) Suction
7
i) Spoit
2. Intraoperatif
a. Medikasi
1) Sedasi analgesia : Inj. Fentanyl 100 mcg
2) Induksi : Propofol 100 mg
3) Muscle relaxant atau pelumpuh otot : Atracurium 30 mg
b. Preoksigenasi
Preoksigenasi O2 8 lpm selama 2 menit
c. Teknik Anestesi General Endotracheal Anesthesia
1) Posisikan pasien dalam posisi supine dengan leher ekstensi maksimal
2) Melakukan head tilt pada pasien dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop yang telah disambungkan dengan CMAC dipegang dengan
tangan kiri
3) Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan pandang
akan terbuka lalu dorong ke dalam rongga mulut.
4) Gagang di angkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula,
faring serta epiglotis.
5) Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat
sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan
berbentuk huruf V.
6) Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan
melewati pita suara akan dapat tampak dengan jelas.
7) Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa
balon dan tangan kiri memfiksasi.
8) Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
9) Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara
napas kanan dan kiri sama.
10) Monitoring : Airway, Breathing, Circulation, Exposure, Disability
11) Maintenance : Oksigen 4,0 lpm, Sevoflurane 2,0 Vol%

3. Post operatif
a. Operasi selesai, berikan ketorolac 30 mg
8
b. Monitoring pasien lanjutan di ruang pemulihan selama 2-4 jam setelah operasi
dengan observasi tanda-tanda vital, pemberian O2 (simple mask) 8 lpm dan
Head up 30o. Setelah kembali ke ruang perawatan pasien boleh makan dan
minum.

9
I. LAPORAN INTRAOPERATIF

10
11
BAB III
ANALISIS KASUS

Pasien datang ke UGD RSU Bahteramas diantar oleh ibunya dengan keluhan
nyeri pada tenggorokan yang dirasakan seperti ada yang mengganjal dan dirasakan
terus menerus. Keluhan ini pertama kali muncul saat pasien duduk dibangku sekolah
dasar dan kembali kambuh lebih dari tiga kali dalam 2 bulan terakhir. Keluhan ini
disertai dengan nyeri saat menelan dan napas yang berbau. Pasien merupakan
rujukan dari RS Baubau.
Pada kasus ini, pasien dilakukan tindakan tonsilektomi dengan teknik anestesi
general anestesi dengan intubasi. Penggunaan ETT lebih dipilih pada kasus ini
daripada penggunaan Laryngeal Mask Airway (LMA) karena ETT dapat sebagai
definitive airway dalam menjaga jalan nafas dan memudahkan akses dokter operator.
Pada pasien anak yang menjalani tonsilektomi, anestesi umum juga memiliki
keuntungan karena anak tidak akan menyadari prosedur atau mengalami rasa sakit
selama operasi.5,6
Untuk membantu dalam penilaian risiko perioperatif, klasifikasi ASA mulai
diperkenalkan pada tahun 1960-an oleh American Society of Anesthesiologist
sebagai deskripsi yang mudah yang menunjukkan status fisik pasien yang
berhubungan dengan indikasi apakah tindakan bedah harus dilakukan segera/cito
atau elektif. Pada kasus ini pasien dikategorikan dalam kategori status fisik ASA 2
yaitu pasien dengan gangguan sistemik ringan. Status fisik ini dapat dilihat dari
diagnosis pasien yang mengalami nyeri tenggorokan dan nyeri saat menelan yang
sering kambuh sehingga harus dilakukan operasi. Berdasarkan klasifikasi American
Society of Aanhesthesiologist (ASA) Physical Status (PS) dibedakan menjadi7 :
1. ASA PS 1 : Pasien normal sehat, tidak merokok, tidak ada atau penggunaan
alkohol minimal
2. ASA PS 2 : Seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan. Penyakit ringan
dengan tanpa batasan fungsional. Contohnya perokok hingga saat ini, pengguna
alkohol, kehamilan, obesitas (30 < BMI < 40), Diabetes Melitus, Hipertensi yang
terkontrol dengan baik, penyakit paru-paru ringan
3. ASA PS 3 : Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat. Keterbatasan
fungsional, satu atau lebih penyakit sedang hingga berat. Contohnya Diabetes

12
Melitus atau Hipertensi yang tidak terkontrol, PPOK, obesitas (BMI ≥ 40),
hepatitis aktif, ketergantungan atau penyalahgunaan alkohol, menggunakan
implan alat pacu jantung implan, pengurangan fraksi ejeksi sedang, End Stage
Renal Disease yang menjalani dialysis secara rutin, Post Conceptual Age bayi
prematur < 60 minggu, riwayat Miokard Infark (> 3 bulan), Cerebrovascular
Accident, Transient Ischemic Attack, atau Coronary Artery Disease/stent
4. ASA PS 4 : Seorang pasien dengan penyakit sistemik parah yang merupakan
ancaman terhadap kehidupan. Contohnya Miokard Infark baru (< 3 bulan),
Cerebrovascular Accident, Transient Ischemic Attack, atau Coronary Artery
Disease/stent, Iskemia Jantung berkelanjutan atau disfungsi katup berat,
pengurangan fraksi ejeksi yang berat, sepsis, Disseminated Intravascular
Coagulation, Acute Respiratory Distress Syndrome, atau End Stage Renal
Disease yang tidak menjalani dialisis secara teratur
5. ASA PS 5 : Seorang pasien yang hampir meninggal dan diperkirakan tidak akan
bertahan hidup tanpa operasi. Contohnya ruptur aneurisma perut / toraks, trauma
masif, perdarahan intrakranial dengan efek massa, iskemik bowel dengan
gangguan jantung yang signifikan atau disfungsi multipel organ/ disfungi sistem.
6. ASA PS 6 : Seorang pasien yang dinyatakan mati batang otak dan organnya
diambil untuk tujuan donor
7. Penambahan "E" yang menunjukkan operasi darurat. Darurat didefinisikan
sebagai ketika terdapat keterlambatan dalam perawatan pasien akan
menyebabkan peningkatan yang signifikan pada ancaman terhadap kehidupan
atau bagian tubuh.7
Pada pasien ini termasuk kedalam kategori sulit intubasi yang didapatkan
berdasarkan skor malampati pasien yaitu malampati 4 dimana ketika pasien
membuka mulut yang terlihat hanya palatum durum. Pemasangan intubasi tidak
selamanya berjalan dengan lancar, terdapat kondisi-kondisi tertentu di mana
proses intubasi sulit untuk dilakukan. Penilaian untuk kemungkinan adanya
kesulitan untuk laringoskopi dan intubasi dapat dinilai dengan kriteria LEMON.
Penilaian hambatan intubasi dapat dinilai dengan kriteria berikut7:
a. L (Look externally)
Evaluasi dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal -
hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi

13
seperti trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek,
mandibula yang kecil.

b. E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran
mandibula terhadap posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila kurang
dari 60 mm, kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka
mulut juga penting. Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan jarak
3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental direpresentasikan dengan 3 jari
pasien antara ujung mentum, tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid
dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2:
i) Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral
ii) Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat
lidah ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan
dengan peningkatan kesulitan.
iii) Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan
dasar lidah. Bila kurang dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari
dasar lidah, sehingga mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi
glottis.

Gambar 1. Rule 3-3-28

Setelah pasien tidak sadar, pasien dapat buka mulut lebih dari 3 jari dengan
dilakukannya head tilt, kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah ketika
laringoskopi didapatkan lebih dari 3 jari dan pada saat mengidentifikasi letak laring
berkaitan dengan dasar lidah didapatkan kurang dari 2 jari sehingga sedikit
menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.

14
c. Mallampati Score.

Gambar 2. Derajat Kesulitan Mallampati8


Mallampati Score digunakan untuk menilai derajat kesulitan intubasi
1) Derajat 1: tampak pilar faring, palatum molle, palatum durum, dan uvula.
2) Derajat 2: Tampak hanya palatum molle, palatum durum, dan uvula.
3) Derajat 3: Tampak hanya palatum molle dan palatum durum.
4) Derajat 4: Tampak hanya palatum durum.

d. O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai
akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi yaitu
muffled voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau
obstruksi) dan adanya stridor.

e. N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu kesulitan
dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto - oksipital
yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian
mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto -
oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi
Magill. Nilai normalnya adalah 35 derajat.

15
Kesulitan dalam laringoskopi atau intubasi dapat berupa ketidakmampuan
untuk mempertahankan jalan napas pasien, menghadapkan pasien pada risiko
komplikasi yang pada dasarnya terkait dengan hipoksia. Manajemen jalan napas
yang aman adalah ketika potensi masalah diidentifikasi sebelum operasi,
memungkinkan penerapan strategi, serangkaian rencana, yang bertujuan
mengurangi risiko komplikasi. Algoritma DAS (Difficult Airway Society) 2015
memberikan strategi untuk mengelola kesulitan jalan napas yang tidak terduga
dengan intubasi trakea.9

Gambar 3. Algoritma DAS (Difficult Airway Society) 2015

Selanjutnya yang harus dipantau adalah posisi pada pasien ini. Posisi
penting pada pasien anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan. Pada pasien posisi pasien terlentang (supine) dengan mengganjal bahu
agar kepala ekstensi maksimal, untuk memudahkan dokter dalam melakukan
pembedahan serta untuk meminimalisir pergerakan dari ETT.5

16
BAB IV

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa evaluasi intubasi


sulit sangat penting untuk dilakukan pada saat melakukan assesment anestesi preoperatif,
salah satunya dengan melakukan penilaian terhadap MOANS dan LEMON. Tindakan ini
merupakan metode standar untuk menilai potensial intubasi sulit pada pasien yang akan
dilakukan tindakan pembedahan. Hal ini penting dilakukan karena jika terjadi kegagalan
dalam mengelola saluran napas maka dapat menyebabkan kematian pada pasien yang
akan dilakukan pembedahan akibat adanya gangguan ventilasi dan oksigenasi.

Pada pasien ini ditemukan skor Mallampati kelas IV dimana hanya palatum durum
yang terlihat. Temuan ini termasuk dalam indikasi sulit intubasi, namun dengan adanya
peralatan seperti CMAC Video Laryngoscope dalam kasus ini sehingga tidak ditemukan
hambatan atau kesulitan yang bermakana yang dapat mempengaruhi selama tindakan
tonsilektomi.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo., Jatmiko H.D. 2013. Anestesiologi Edisi 2. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/ RS. Kariadi Semarang. 209–220.
2. Rehatta, N.M., Hanindito, E., Tantri, A.R., Redjeki, I.S., Soenarto, R.F., Bisri, D.Y.,
Musba, A.M., Lestari, M.I. 2019. Anestesiologi dan Terapi Intensif Edisi Pertama.
Buku Teks KATI-PERDATIN. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
3. Mutiara, G., Suwarman., Sitanggang, R.H. 2015. Perbandingan Ketepatan Pengukuran
Tekanan Balon Pipa Endotracheal Setelah Intubasi antara Metode Palpasi pada Pilot
Balon dan Teknik Melepas Spuit secara Pasif. Jurnal Anestesi Perioperatif 3(3): 155-
164.
4. Menteri Kesehatan Republik Indoneisa. 2018. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Tonsilitis. Balai Pustaka. Jakarta.
5. Sudadi, Yunita Widyastuti, Yudistira Tjokronolo. 2016. General Anestesi
Tonsilektomy Pada Pediatri. Jurnal Komplikasi Anestesi 4(1) : p.63-70
6. Michael D. Olson. Tonsillectomy. Mayoclinic. [serial on the internet] 2022. Available
at https://www-mayoclinic-org.translate.goog/testsprocedures/tonsillectomy/
7. Hurwitz E, Simon M, Vinta SR. Adding Examples to the ASA- Physical Status
Classification Improves Correct Assignment to Patiens. Anesthesiology. 2017;Vol
126(4).
8. Arvianti, Oktaliansah E, Surahman E. Perbadingan Antara Sevofluran dan Profopol
Menggunakan Total Intravenous Anesthesia Target Controlled Infusion Terhadap
Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan Pada Ekstirpasi Fibroadenoma Payudara. J
Anestesi Periopratif. 2017;Vol 5(1):24–31.
9. Kurniyanta, Putu. 2019. Laporan Kasus Kesulitan Pengelolaan jalan Napas.
Universitas Udayana : p.11-12

18

Anda mungkin juga menyukai