Anda di halaman 1dari 22

BAB III

PEMBAHASAN

Pendahuluan
Dengan adanya perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi,
akhir-akhir ini banyak sekali ditemukan masalah kesehatan yang muncul di
masyarakat. Dari hari kehari semakin banyak muncul berbagai macam
penyakit infeksi ataupun penyakit lainnya, salah satunya adalah penyakit
tonsilitis atau yang sering kita kenal dengan radang amandel. Tonsilitis
adalah inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel.
Organisme penyebabnya yang utama meliputi Streptococcus atau
Staphylococcus. (Shah, 2014). Tonsilitis merupakan peradangan yang terjadi
pada tonsil yang disebabkan oleh virus atau bakteri sehingga tonsil menjadi
bengkak, merah, melunak, dan memiliki bintik-bintik putih di permukaannya
(G. Z. Prasetya, Kusumastuti, & Kurniawati, 2018). Tonsilitis dibagi menjadi
2 tipe yaitu tonsilitis akut dan tonsilitis kronis (Palandeng, Tumbel, &
Dehoop, 2014).
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil atau amandel yang dapat
menyerang semua golongan umur. Tonsilitis akut sering menimbulkan
komplikasi. Bila tonsilitis akut sering kambuh walaupun penderita telah
mendapat pengobatan yang memadai, maka perlu diingat kemungkinan
terjadinya tonsilitis kronik. Faktor berikut ini mempengaruhi berulangnya
tonsilitis: rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu), cuaca,
pengobatan tonsilitis yang tidak memadai dan higiene rongga mulut yang
kurang baik. (Farokah, 2005)
Tonsilitis akut merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada saluran
napas
bagian atas, terutama pada anak – anak. Insiden tertinggi terjadi pada usia 4 –
5 tahun. Pada usia sekolah, insiden tertingginya adalah usia 6 – 12 tahun.
(Babaiwa, 2013)
Terdapat data mengenai prevalensi tonsilitis kronis di berbagai Negara, yaitu
di Islamabad, Pakistan pada tahun 1998-2007 terdapat 15.067 kasus atau
dengan prevalensi 22%. Di Amerika Serikat prevalensi tonsilitis kronis
sebesar 1,59%. Sedangkan menurut penelitian di Rusia mengenai prevalensi
dan pencegahan keluarga dengan tonsilitis kronis yang dilakukan pada 321
keluarga dan 335 anak-anak (umur 1-15 tahun) didapatkan data sebanyak 84
(26,3%) dari 307 ibu-ibu usia reproduktif didiagnosa tonsilitis kronis.
Namun, dari beberapa rumah sakit di Indonesia, jumlah kunjungan pasien
rawat jalan yang disebabkan penyakit tonsilitis pada dua tahun terakhir, yaitu
pada tahun 2012-2013 berjumlah sebanyak ±55.383 orang sedangkan pasien

1
rawat jalan yang disebabkan tonsillitis berjumlah ±37.835 orang (Ramadhan,
Sahrudin, & Ibrahim, 2017). Menurut Riskesdas 2013, prevalensi ISPA
selama tahun 2013 mencapai 25,0% dengan total kasus sekitar 2,33 juta (G.
Z. Prasetya et al., 2018).
Terdapat beberapa klasifikasi tonsilitis yaitu tosilitis akut, tonsilitis
membranosa dan tonsilitis kronik. Tonsilitis akut dibagi menjadi dua yaitu
Tonsilitis viral dan Tonsilitis
bakterial. Pada tonsilitis viral penyebab yang paling sering adalah Epstein
Barr virus, sedangkan tonsilitis bakterial disebabkan kuman grup A
Streptococcus. (Mal, 2010)
Gejala tonsilitis akut berupa nyeri tenggorokan yang semakin parah jika
penderita menelan dan nyeri sering kali dirasakan ditelinga karena
tenggorokan dan telinga memiliki
persarafan yang sama. Gejala lainnya berupa demam, tidak enak badan, sakit
kepala, mual dan muntah. (Dhingra, 2005)
Mengingat angka kejadian tonsilitis yang cukup tinggi di masyarakat serta
dampak yang cukup besar akibat dari infeksinya pada penderitanya, penulis
tertarik untuk membuat tulisan tentang tonsilitis ini. Diharapkan dengan
adanya tulisan ini dapat menjadi referensi sekaligus sebagai bahan bacaan
untuk memperluas wawasan tentang penyakit tonsilitis.

Definisi Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus,
bakteri, dan jamur yang masuk secara aerogen atau foodborn
(Rusmarjono, 2011). Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang
merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis disebabkan peradangan
pada tonsil yang diakibatkan oleh bakteri, virus, dan jamur. (Soepardi,
2012)

2
3.1.1 Jenis Tonsilitis
Tonsilitis dibagi menjadi 3 yaitu :
1 Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut adalah radang akut pada tonsil dikarenakan infeksi virus atau
bakteri terutama Streptococus hemoliticus (30%).1,3 Penyebab yang lain
adalah Staphilococcus sp dan Hemofilus influenza. Insidensi Tonsilitis akut
paling sering terjadi pada anak dengan usia terbanyak 5-10 tahun 1. Penyakit
ini menimbulkan keluhan awal yaitu berupa rasa nyeri di tenggorok terutama
pada waktu menelan sehingga biasanya anak menjadi rewel saat makan.
Demam pada anak nyeri kepala, lesu, nafsu makan berkurang, suara anak
terdengar seperti orang yang mulutnya penuh (Plummy voice), mulut berbau
busuk (foetor ex ore), dan ludah menumpuk dalam cavum oris akibat adanya
nyeri telan yang hebat (ptialismus). Selain itu dapat terjadi hiperemis serta
hipertrofi tonsil, udem, permukaan penuh detritus, istmus faucium tampak
menyempit. Palatum mole, arcus anterior dan posterior udem dengan
hiperemi. Pembesaran kelenjar limfe submandibulla dan cervical anterior.
Biasanya tonsilitis didahului oleh gejala prodormal dari rhinitis akut akibat
infeksi viral. Selain itu, yang menjadi faktor predisposisi adanya tonsilitis
adalah higienitas yang kurang baik, perubahan cuaca yang ekstrim, infeksi
pada oral dan nasal, sosial ekonomi kurang1,2.
a. Tonsilitis viral
Sebagian besar penyebab tonsilitis akut adalah virus. Virus yang paling
banyak menyebabkan tonsilitis adalah rhinovirus, corona virus,
adenovirus, parainfluenza, influenza, dan Epstein- Barr Virus. Gejala
tonsillitis viral lebih menyerupai rhinitis akut yang disertai rasa nyeri
pada tenggorok. Virus Eipstein Barr adalah virus yang paling banyak
menyebabkan tonsilitis eksudatif.1,2,5,6

b. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A streptococcus β
hemoliticus , Streptococcus viridans, streptococcus piogenes. 15-
30% tonsilitis bakterial yang menyerang anak usia dibawah 3 tahun
disebabkan oleh grup A streptococcus β hemoliticus 1,3. Infiltrasi
bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi
peradangan berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas
disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi

3
1 membentuk alur, rapuh, lembek, tidak mudah berdarah, dan hanya
terdapat pada tonsil maka disebut tonsilitis lakunaris4.

Gambar. 6 Tonsilitis akut virus dan bakteri


Tonsilitis akibat streptokokus biasa terjadi 2-5 hari. Tanda dan
gejala yang biasa muncul yaitu nyeri tenggorok yang diikuti
kesulitan menelan, demam sedang (38-40,5oC), Lemas, Nyeri kepala,
gejala pada gastrointestinal (napsu makan turun, mual, muntah dan
nyeri perut)pada 35-50% kasus1,5. Pasien anak biasa rewel dan
menolak bila diberi makan. Tonsilitis juga menyebabkan bengkak,
dan biasa juga disertai pembesaran kelenjar getah bening, sakit pada
sendi, sakit kepala, dan sakit pada telinga.
Gold Standart untuk diagnosis group A streptococcus β
hemoliticus adalah dengan kultur spesimen swab tenggorok1. Namun
di Indonesia, karena banyak fasilitas kesehatan yang belum memiliki
fasilitas untuk kultur spesimen, biasanya dalam penegakan diagnosis
hanya menggunakan kriteria klinis untuk menghindari pemakaian
antibiotik yang tidak perlu dalam terapi tonsilitis akut.3
Kriteria klinis yang biasa dipakai adalah kriteria Centor dan Mc
Isaac yaitu:6,7,8,9

Kriteria Skor
• Temperatur >380C +1
• Tidak ada batuk +1
• Pembesaran nnll cervical anterior +1
• Pembengkakan/ eksudat pada tonsil +1
4
• Usia 3-14 tahun +1
• Usia 15-44 tahun 0
• Usia >44 tahun -1
Kemudian total skor dari kriteria klinik digunakan untuk guideline
manajemen tonsilitis6,7,8,9
Skor Centor Guidelines
0 Tidak perlu di tes, Tidak perlu diobati
1 Tidak perlu di tes, tidak perlu diobati
2 Diterapi apabila rapid tes (+)
3 Diterapi apabila rapid tes (+)/ Terapi Empiris
4 Terapi Empiris

Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada tonsilla
palatina, yang terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya
infeksi maupun virus. Tonsilitis akut dapat dibagi menjadi :
 Acute superficial tonsilitis, biasanya disebabkan oleh infeksi virus dan
biasanya merupakan perluasan dari faringitis serta hanya mengenai lapisan
lateral.
 Acute folicular tonsilitis, infeksi menyebar sampai ke kripta sehingga
terisi dengan material purulen, ditandai dengan bintik – bintik kuning pada
tonsil
 Acute parenchymatous tonsilitis, infeksi mengenai hampir seluru
bagian tonsil sehingga tonsil terlihat hiperemis dan membesar,
 Acute membranous tonsilitis, merupakan stase lanjut dari tonsilitis
folikular dimana eksudat dari kripta menyatu membentuk membran di
permukaan tonsil.
(Dhingra, 2005)

5
Gambar 2.6. Gambaran Acute parenchymatous tonsilitis (Dhingra, 2005)

2. Tonsilitis Kronis
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap
sebagai akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran
tonsil membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid
dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil
yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis. Durasi
maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya
nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan
kadang dapat menetap. Tonsilitis kronis adalah suatu kondisi yang
merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi
tonsil yang berulang. (Pulungan, 2005)

Tonsilitis kronis timbul karena paparan menahun dari rokok,


beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Pada tonsilitis kronik akan timbul rasa tidak nyaman di tenggorok,
sakit telan ringan, lesu, kurang nafsu makan, sering mengantuk,

6
demam nglemeng, Tonsil edema, hiperemis, permukaan berbenjol-
benjol, kripte melebar
berisi detritus.1,2,3,10

Gambar 7. Tonsilitis
Kronik
3. Tonsilitis membranosa
a. Tonsilitis difteri
Tonsilitis difteri merupakan infeksi akut pada tonsil yang
sangat menular, disebabkan kuman corynebacterium diphteriae
ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan/
mukosa.1 Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia 2-5
tahun. Berdasarkan lokasi lesi dan komplikasi, maka secara klinis
dibedakan derajat penyakit, yaitu:
Difteri ringan : Difteri di tonsil atau faring atau laring
Difteri sedang: Difteri tonsil dan faring dan atau laring.
Difteri berat: Difteri ditambah dengan penyulit, bullneck dan difteri
terlambat berobat lebih dari 72 jam dengan lokasi dimanapun.
Dari anamnesis didapatkan riwayat demam subfebril 2-4 hari,
nyeri tenggorok, Pseudomembran (putih keabu-abuan) pada tonsil
yang tidak mudah lepas dan mudah berdarah. Gejala yang ditemukan
bervariasi mulai dari gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan, nafsu makan menurun, mual, muntah, demam ringan,
nyeri telan, perubahan suara, ngorok. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan membran putih yang melekat, berwarna putih kelabu dapat
menutup tonsil dan dinding tonsil, limfadenitis submandibula dan
7
sevikal, dapat timbul bullneck bila limfadenitis terjadi bersama
dengan edema jaringan lunak leher yang luas.
Terjadinya tonsilitis difteri dapat terjadi bersamaan dengan
adanya sekret hidung serosenguinus yang kemudian menjadi
mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Perluasan
difteri ke faring akan menimbulkan gejala obstruksi nafas dan
toksemia.Dari pemeriksaan fisik, anak dengan tonsilitis difteri
biasanya didapatkan demam tinggi, lemah, dan membran putih yang
mudah berdarah bila diangkat4.Masa inkubasi difteri 2-6 hari, cara
penularan difteri dapat melalui kontak langsung dan karier kronis.
Yang dimaksud dengan kontak adalah serumah/sepermainan >4 jam
selama 5 hari berturut-turut atau>24 jam dalam seminggu atau kontak
dengan sekret penderita. Sedangkam karier adalaha hasil lab positif
tetapi tidak ada manifestasi klinis.
Pencegahan difteri di negara berkembang menggunakan
imunisasi DPT yang dilakukan 3X pada usia 2, 4, 6 bulan dan booster
yang dilakukan pada usia 18 bulan, 5 tahun, 10 tahun, dan 18 tahun1,13

Gambar 8. Tonsilitis difteri


b. Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena streptococus hemoliticus yang
terdapat pada susu sapi.
c. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulsero membranosa)
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau
triponema yang didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut
yang kurang dan defisiensi vitamin C.
8
Penyakit ini ditandai dengan membran yang rapuh, tebal,
berbau dan tidak mudah berdarah. Pada hasil pengecatan kuman akan
didapatkan bakteri fisiformis gram positif dan spirilia gram negatif.

Gambar 9. Angina Plaut Vincent

3.1.2 Patofisiologi
Bakteri atau virus yang menular lewat droplet akan menginfiltrasi lapisan
epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan
reaksi inflamasi sehingga menyebabkan adanya tanda inflamasi akut karena
adanya infiltrasi leukosit polimorfonuklear seperti pembengkakan (rubor),
panas (kalor), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor), dan gangguan
fungsi organ (Fungsiolesa). Proses inflamasi tersebut menyebabkan adanya
proses vasodilatasi pembuluh darah yang akan meningkatkan metabolisme
tubuh sehingga energi yang dihasilkan dari glikogenesis dan pembentukan
ATP berkurang yang akan menyebabkan keluhan lesu, tidak nyaman, lemas.
Terjadinya inflamasi juga menyebabkan kerusakan sel atau jaringan sekitar
sehingga vasoaktif dan vasopresin terstimulus mengeluarkan bradikinin yang
mengaktifkan saraf parasimpatis, akibatnya akan terjadi nyeri. Demam yang
terjadi dikarenakan adanya netrofil darah yang melepaskan prostaglandin
yang akan merangsang hipotalamus untuk mengganggu sistem termoregulasi
tubuh serta menyebabkan vasokonstriksi vaskular. Pembengkakan pada tonsil
juga dapat terjadi karena proses inflamasi akut.
Ukuran tonsil dibagi menjadi 4 yaitu:
T0 : Tonsil sudah dioperasi

9
T1 :Batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior uvula

T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai


½ jarak pilar anterior-uvula
T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai
¾ jarak pilar anterior-uvula
T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau
lebih

Gambar 10. Ukuran tonsil


Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak
kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri,
dan epitel yang terlepas, suatu tonsilitis akut dengan detritus disebut dengan
tonsilitis folikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi
tonsilitis lakunaris.
Tonsilitis kronik terjadi karena proses peradangan berulang maka
epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan , jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kripte melebar dan akan diisi oleh detritus,
proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlengketan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula4.

10
3.1.3 Tata Laksana
Sebagian besar tonsilitis yang terjadi pada anak tidak membutuhkan
antibiotik, hanya pada tonsilitis bakteri yang diberi antibiotik. Untuk
menghindari pemakaian antibiotik yang tidak perlu, biasa digunakan kriteria
Centor dan Mc Issac dengan syarat usia anak harus lebih dari 3 tahun.6,7,8,9
Tabel 2. Kriteria Modifikasi
Kriteria Skor
Usia <35 bulan 20
35-59 bulan 6
>=60 bulan 2
Tanda Viral Tidak ada tanda 0
• Konjungtivitis, 1 tanda 7
batuk 2/lebih tanda 10
• Diare
• Eksantem
Tanda Bakterial Tidak ada Tanda 10
• Nnll membesar 1 Tanda -2
• Nyeri kepala 2/lebih tanda -4
• Petekie palatum
• Demam>38,50C
• Sakit perut
• Onset mendadak
(<12 jam)

Kemudian total skor yang didapatkan dimasukkan dalam kriteria pada


tabel dibawah ini. 8,9
Total Skor Diagnosis Mikrobiologi Terapi
Tidak terdapat diagnos
is
Mikrobiolo
gi 8/lebih Simtomatik
kurang dari Antibiotik
8
Terdapat diagnos
is
Mikrobiologi
8/lebih Tidak Simptomatik
5-7 Ya Antibiotik jika kultur (+)
<5 Tidak Antibiotik

11
Pada umumnya, tonsilitis membaik setelah 1 minggu. Istirahat, minum
cukup air, dan pengobatan simtomatis seperti ibuprofen atau parasetamol 10-
15 mg/kg BB tiap 4-6 jam apabila demam diatas 38 oC dapat membantu
keadaan anak menjadi lebih baik. Dapat diusulkan untuk berobat ke dokter
apabila terdapat gejala kurang minum, muntah, nyeri kepala, sesak, demam
tidak membaik meskipun diberi paracetamol. 1 terapi tonsilitis juga bisa
dengan tonsilektomi.
• Indikasi absolut tonsilektomi13,14
a. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan:
-Obstruksi saluran napas misal pada OSAS (Obstructive Sleep Apnea
Syndrome)
-Disfagia berat yang disebabkan obstruksi
-Gangguan tidur
-Gangguan pertumbuhan dentofacial
-Gangguan bicara
(hiponasal)
-Komplikasi
kardiopulmoner
b. Riwayat abses peritonsil.
c. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil unilateral.

d. Tonsilitis kronik atau berulang sebagai fokal infeksi untuk


penyakitpenyakit lain.

Indikasi relatif
a. Terjadi 7 episode atau lebih infeksi tonsil pada tahun sebelumnya, atau
5 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun pada 2 tahun sebelumnya
atau 3 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun pada 3 tahun
sebelumnya dengan terapi antibiotik adekuat.
b. Kejang demam berulang yang disertai tonsilitis.
c.Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian

12
terapi medis.
d. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus B-hemolitikus
yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik resisten β-laktamas
• Kontra indikasi Tonsilektomi13,14
1. Radang akut
2. Penyakit-penyakit perdarahan :
- Leukemia
- Hemofilia
- Anemia
- Hemoragia diastesa
3. KU : jelek
4. Epidemi polio
5. Kehamilan / menstruasi
6. Status asmatikus

3.1.4 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada tonsilitis akut adalah peritonsilar


abses, retrofaringeal abses, limfadenitis cervical, Sinusitis, mastoiditis dan
otitis media sampai sepsis. Sedangkan komplikasi dari infeksi akibat group A
streptococcus β hemoliticus adalah penyebaran infeksi ke organ ginjal
(glomerulonefritis pasca infeksi Streptococcus), sendi (artritis, demam akut
rematik), Jantung (endocarditis), dan vaskuler (plebitis). 1,2,3,4

3.1.5 Prognosis

Prognosis ditentukan dengan melihat respon terhadap antibiotik,


kepatuhan minum obat, asupan makan minum, dan istirahat cukup.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Government of western Autralia Department of Health child and


adolescent Health Servive. Tonsillitis. 2015.Available from:
http://kidshealthwa.com/api/pdf/651
2. Republic of Rwanda Ministry of Health. Pediatrics Clinical Treatment
Guidelines. (Internet) 2012 (cited 2015 October 20). Available from:
http://www.moh.gov.rw/fileadmin/templates/Clinical/Pediatrics-
NationalClinical-Treatment-Guideline-ok-version-after-
corrections.pdf.
3. Eliza Metcalfe. Ear, nose, and throath health in early Childhood.
Community Paediatric Review (Internet). 2014 (cited 2015 October
20); 22:2.
Available from:
http://www.rch.org.au/uploadedFiles/Main/Content/ccch/CPR_Vol22
_No 2.pdf
4. Rusmarjono. Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi
adenoid. Buku Ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok kepala
dan leher.
Edisi 6. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2008: 217-25
5. Stelter K. Tonsillitis and sore throat in children. GMS Curr Top
Otorhinolaryngol Head Neck Surg. NCBI. (Internet)2014;13.
Available From:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4273168/pdf/CTO-
1307.pdf
6. Imanuel Y, Dwi Lingga U, dan Yati S. McIsaac criteria for diagnosis
of acute group A-beta hemolytic streptococcal pharyngitis: Paediatric
Indonesia (Internet) 2013 (cited 2015 October 20);53:258-63
Available from: http://paediatricaindonesiana.org/pdffile/53-5-4.pdf
7. Andrew M, Victor N, Kenneth D. Large-Scale Validation of the
Centor and Mc Isaac Scores to predict group A Streptococcal
Pharyngitis. Harvard University (Internet) 2012 (cited 2015 October
20). Available from: http://nizetlab.ucsd.edu/Publications/Centor-
Validation.pdf.
8. Pierre R, dkk. Pharingitis in Low-Resource Setting: A Pragmatic
Clinical Approach to reduce Unnecessary Antibiotic Use. Pediatrics.
2006;118:6.
9. Laure J, Campos D, and Smeester P. Pragmatic Scoring System for
Pharyngitis in Low-Ressource Settings. Pediatrics. 2010;126:608–14.
10. Wantania JM. Infeksi respiratori akut.In: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, editors. Buku ajar respirologi anak. 1st ed. Jakarta: BP
IDAI; 2008:268-77.
11. IDAI. Rekomendasi Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun. 2014
12. Baugh. R, dkk. Clinnical Practice Guideline: Tonsillectmy in
Children. American Academy of otolaryngology. 2011

14
13. Sign. Management of Sorethroat and Indication for Tonsillectomy.
2010
14. Akpan A, Morgan R. Oral Candidiasis Review. Postgrad Med J
[Internet] 2015 [Cited 2015 October 20]; 78:455-9. Available from
http://pmj.bmj.com/content/78/922/455.full.pdf
15. Dangi Y, Soni M, Namdeo K. Oral Candidiasis:A review. [Internet]
2010[cited 2015 October 21]. Available from:
http://www.exodontia.info/files/Int_J_Pharmacy_Pharmaceutical_Scie
nces
_2010._Oral_Candidiasis_-_A_Review.pdf
16. J Investig Allergol Clin Immunol.[Internet]2010[cited 2015 October
20];20:Suppl 1:37-42. Available from:
http://www.jiaci.org/issues/vol20s1/9.pdf.
17. Schroer B, Pien Lily. Nonallergic rhinitis: Common problem, chronic
symptoms. Cleveland clinic Journal of Medicine [internet] 2012.
[cited 2015 oktober 20]; 79:4. Available from:
http://www.isdbweb.org/app/webroot/documents/file/4f9ac1eb98e92.
pdf.
18. Cettipane R, Leberman P. Unpdate on Non-Allergic Rhinitis. Brown
University School of Medicine .2012.
19. American Osteopathic College of Dermatology. Miliaria. [internet]
2013. .
[cited 2015 oktober 20] Available
from:http://www.aocd.org/?page=Miliaria
20. Al hilo.M, Saedy. S, Alwan. A. Atypicap Presentation of Miliaria in
Iraqi Patients Attending Al -Kindy Teaching Hospital in Baghdad: A
Clinical Descriptive Study. American Journal of Dermatology and
Venerology. 2012; 1(3):41-6

21. World health organization, 2013. Survailance of risk factors for


non-communicable diseases: the WHO stepiseapproach.summari.
Geneva.
22. Kurien M, Sheelans L, Bramhaathan, Thomas K.2003.Fine Needle
Aspiration in Chronic Tonsillitis : Reliable and Valid
Diagnosticktest.The Journal of Laryngology & Otology vol 117.

23.

24. World health organization, 2013. Survailance of risk factors for non-
communicable diseases: the WHO stepiseapproach.summari. Geneva.

25. Awan, dkk. 2009. Statistical Analysis of Ear, Nose, and Throat (ENT) Disease in
Pediatric Population at PIMS, Islamad: 10 Years Experience. Journal Medicascient.
Vol 17. No.2, p: 92-4.

15
26. Otvagin IV, 2007. The Analysis of the Occurrence of Chronic Disease of the
Upper Respiratory Tracts and the Organ Hearing among Population of Three Region
of the Central Federal Teritory. Vest Otorinolaryngology; (6): 38-40.

27. Khasanovet al.2006. Prevalence of Chronic Family Tonsilitis and Its Prevention.
Diambil dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17152473.

28. Farokah, Suprihati, suyitno, s.2007, HubuganTonsilitis kronik dengan prestasi


belajar pada siswa kelas II Sekolah Dasar di kota Semarang. Cermin Dunia
Kedokteran;155:87- 91.Depkes RI. 2013. Tonsilektomi pada anak dan dewasa.
Jakarta.

7. Dinkes Kota Kendari. 2016. Profil Dinas Kesehatan Kota Kendari Tahun2015, Kendari

8. Laporan Rekam Medis Puskesmas Puuwatu. 2016.

9. Soepardi, E.A. dkk. 2017. Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher,
Edisi 7. Jakarta : fkui

29.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Diphtheria berasal dari bahasa Yunani “diphtheria” yang berarti kulit,
merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheriae (Mustafa et al., 2016).

2. Etiologi dan Epidemiologi


Penyakit ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, kuman
gram positif yang hidup di saluran nafas atas yaitu hidung, faring, dan laring.
Difteri masih merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di negara
berkembang maupun negara maju. Hal ini disebabkan oleh globalisasi yang
memungkinkan perpindahan orang dari satu tempat ke tempat yang lain.
Penyakit ini mengenai usia 0-60 tahun. Pada tahun 2017, terjadi wabah difteri
di Indonesia terutama kelima pulau besarnya (Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Papua). Lima provinsi dengan angka kejadian tertinggi adalah Jawa
Timur, Jawa Barat, Banten, Aceh, dan Sumatera Barat. Sedangkan urutan
angka kematian tertinggi terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat,
Banten, dan Aceh (Tosepu et al., 2018).

16
Gambar 3 Peta distribusi difteri di pulau-pulau di Indonesia (Tosepu et al.,
2018).

Gambar 4 Kasus difteri di Indonesia dari Januari sampai November 2017


(Tosepu et al., 2018).

Gambar 5 Kematian akibat kasus difteri di Indonesia dari Januari sampai


November 2017 (Tosepu et al., 2018).

3. Corynebacterium diphtheriae

17
Domain Bacteria, filum Actinobacteria, ordo Corynebacteriales, famili
Corynebacteriaceae, genus Corynebacterium, spesies Corynebacterium
diphtheriae. C. diphtheriae adalah bakteri Gram-positif, aerobik, tidak
berspora, tidak berkapsul dan non-motil dengan panjang kurang lebih 2 
µm. C. diphtheriae adalah agen penyebab difteri pada saluran napas atas.
Beberapa tahun terakhir telah ditemukan bahwa terdapat strain yang
invasif. C. diphtheriae memiliki complex cell envelope architecture yang
terdiri dari peptidoglycan yang berhubungan dengan lapisan arabinogalactan
yang dilengkapi dengan mycolic acids dan glycolipids (Hoskisson, 2018).

Gambar 6 Pengecatan Methylene Blue pada kultur menunjukkan Chinese


Letter Pattern khas Corynebacterium diphtheriae (James, Thulaseedharan and
Mathews, 2017).

4. Patofisiologi dan Patogenesis


Ketika terjadi infeksi, C. diphtheriae berada pada lapisan superficial mukosa
respirasi dan akan menimbulkan reaksi inflamasi pada jaringan lokal.
Virulensi utama dari C. diphtheriae adalah eksotoksinnya yang poten yang
dapat menghambat sintesis protein pada sel mamalia tapi tidak pada bakteri.
Toksin diphtheria adalah rantai polipeptida tunggal yang tersusun dari 535
asam amino dan terdiri dari 2 subunit yang dihubungkan oleh ikatan disulfida
yaitu toksin A-B. Subunit B (bagian yang lebih tidak stabil) akan berikatan
dengan reseptor pada permukaan sel dan menyebabkan subunit A (bagian
yang lebih stabil) dapat mempenetrasi sel host dan menghambat sintesis
proteinnya. Proses inflamasi dan toksin tersebut akan menghasilkan
pseudomembrane (fibrin, leukosit, sel-sel mati, dll.). Penyebab paling sering
kematian akibat penyakit ini adalah sufokasi akibat aspirasi membran
(Mustafa et al., 2016).

5. Gejala dan Tanda


Gambaran klinik difteri dibagi dalam 3 golongan, yaitu
18
A. Gejala umum : Kenaikan suhu tubuh (biasanya subfebris), nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, dan nyeri menelan.
B. Gejala lokal : Tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin
lama makin meluas dan bersatu membentuk pseudomembrane yang dapat
meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus
sehingga dapat menyebabkan sumbatan jalan napas. Pseudomembrane
melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Bila
penyakit ini tidak ditangani dengan baik, infeksinya akan mengenai kelenjar
limfatik leher sehingga membengkak (bull neck/Burgemeester’s hals).
C. Gejala akibat eksotoksin : Kerusakan jaringan tubuh. Pada jantung dapat
terjadi miokarditis yang menyebabkan decompensation cordis. Pada saraf
kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.
Pada ginjal dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang ditandai dengan
adanya albuminuria (Soepardi, 2017).

6. Diagnosis
Berdasarkan kriteria klinis :
A. Penyakit saluran napas atas dengan gejala sakit tenggorokan
B. Demam derajat rendah (jarang di atas 39 derajat celcius)
C. Pseudomembrane abu-abu yang tebal dan melekat pada aspek posterior
faring. Pada kasus yang berat dapat meluas dan menutupi keseluruhan
tracheobronchial tree.
Diagnosis pasti dengan isolasi Corynebacterium diphtheria dari pengecatan
gram atau kultur specimen klinis dari tenggorokan atau pemeriksaan
histopatologi.
Klasifikasi kasus difteri :
A. Probable : Kasus dengan gejala klinis sesuai yang tidak terkonfirmasi
laboratorium dan tidak berhubungan secara epidemiologi dengan kasus
terkonfirmasi laboratorium.
B. Confirmed : Kasus dengan gejala klinis sesuai yang terkonfirmasi
laboratorium atau berhubungan secara epidemiologi dengan kasus
terkonfirmasi laboratorium (Mustafa et al., 2016).

7.  Probable: a clinically compatible case that is not laboratory-confirmed


and is not epidemiologically linked
7. Penatalaksanaan
Terapi farmakologis untuk tonsillitis difteri adalah :
A. Eritromisin oral atau injeksi 40mg/kg/hari dengan dosis maksimum 2g/hari
selama 14 hari
19
B. Procaine penisilin G setiap hari secara intramuskular 300.000 U/hari untuk
berat badan 10kg atau kurang dan 600.000 U/hari untuk berat badan lebih
dari 10kg selama 14 hari.
Penyakit ini biasanya tidak menular setelah 48 jam dilakukan pemberian
antibiotik. Eliminasi organisme bila 2 hasil negatif berturut-turut setelah
terapi selesai.
Pemberian DAT secara intravena atau intramuskular sangat efektif dan
merupakan gold standard untuk pengobatan difteri. DAT harus diberikan
sesegera mungkin setelah onset penyakit karena toksin yang telah berikatan
pada sel tubuh tidak reversibel. Pada kasus yang serius, pemberian sebaiknya
secara intravena. Keseluruhan dosis terapeutik harus diberikan pada satu
waktu. Jumlah antitoksin difteri yang direkomendasikan antara 20.000 sampai
100 000 unit. Dosis yang lebih besar boleh diberikan pada kasus yang berat
dengan interval yang lama sejak onset. Dosisnya sama untuk anak-anak dan
dewasa (Purwati and Putri, 2018).

Tabel 1 Dosis antitoxin difteri (Andrews et al., 2017).

Sebelum diberikan, antitoksin harus dihangatkan sampai 32-34 derajat celcius


dan dilakukan uji sensitisasi menggunakan metode Besredka sebagai berikut :
1. Injeksikan 0,1ml SC dan tunggu selama 15 menit. Bila tidak ada reaksi,
injeksikan lagi 0,25ml SC. Bila tidak ada reaksi setelah 15 menit, injeksikan
sisanya secara IM atau IV. Metode ini sangat mudah dan digunakan dengan
aman saat wabah di Afrika Selatan.
2. Bila pasien menunjukkan sensitivitas saat pengujian, jangan berikan
keseluruhan dosis. Lakukan desensitisasi menurut protokol CDC (Andrews et
al., 2017).

8. Komplikasi
Laringitis difteri dapat menjalar cepat dan menimbulkan gejala sumbatan.
Toksin dapat menyebabkan terjadinya miokarditis yang dapat menimbulkan
decompensatio cordis. Toksin juga dapat menyebabkan kelumpuhan otot
palatum mole, otot mata untuk akomodasi, serta otot faring dan laring
sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau, dan kelumpuhan otot-
otot pernapasan. Kerusakan ginjal juga dapat terjadi akibat toksin dan
ditandai dengan adanya albuminuria (Soepardi, 2017).

20
9. Prevensi
Tindakan pencegahan terutama dilakukan dengan imunisasi.

Tabel 2 Jadwal pemberian imunisasi hingga kelas 3 SD (Purwati and Putri,


2018).

Menurut penelitian, konsentrasi antibodi difteri 0,01 IU/mL dianggap sebagai


tingkat minimum yang diperlukan untuk perlindungan. Sedangkan tingkat
antibodi 0,1 IU/mL atau lebih tinggi memberikan perlindungan penuh. Kadar
1,0 IU/mL atau lebih tinggi dikaitkan dengan perlindungan jangka panjang
terhadap difteri (Purwati and Putri, 2018).
Perawatan bagi semua yang memiliki riwayat kontak dekat dengan pasien
terinfeksi bertujuan untuk memberikan imunitas jangka menengah dan
panjang terhadap penyakit tersebut. Perawatan tersebut berupa :
1. Identifikasi semua kasus probable (kontak dekat) berapapun usianya :
orang serumah (semua yang tinggal di rumah yang sama dan yang menginap
21
sejak 5 hari sebelum onset penyakit) dan semua orang dengan kontak dekat
(kurang dari 1 meter) untuk waktu yang lama (lebih dari 1 jam) selama 5 hari
sebelum onset penyakit (saudara atau teman yang mengunjungi rumah secara
rutin) serta tenaga medis yang terekspos sekret respirasi pasien tersebut.
2. Kumpulkan informasi kontak : nama, usia, nomor telepon dan cara untuk
follow up (telepon atau kunjungan rumah).
3. Beritahukan kepada kontak tentang wabah dan penyakit tersebut.
4. Nilai status vaksinasi difteri toksoid dari kontak dekat yang terekspos.
Berikan vaksinasi menurut strategi WHO (prioritaskan vaksinasi anak-anak).
 Tipe : Pentavalen (6 minggu sampai 6 tahun) atau Td(untuk 7
tahun ke atas)
 Jumlah dosis :
o Hanya 1 dosis bila ada bukti dokumen vaksinasi lengkap
o Tiga dosis : dengan interval 4 minggu antara dosis yang
diberikan.
5. Berikan antibiotik profilaksis

Tabel 3 Antibiotik profilaksis difteri (Andrews et al., 2017).

6. Tidak masuk sekolah atau bekerja sampai antibiotik 48 jam selesai


diberikan.
7. Menilai sendiri gejala dan tanda difteri selama 7 hari.
8. Bila seseorang mengalami gejala saluran napas segera mencari bantuan
medis ke pusat kesehatan (Andrews et al., 2017).

22

Anda mungkin juga menyukai