Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN KASUS

MENINGITIS BAKTERIALIS

Disusun Oleh :

dr. Farissa Utami

Pendamping :

dr. ....., Sp.N

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR.ADJIDARMO KABUPATEN LEBAK

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“Meningitis Bakterialis”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Internship Dokter Indonesia di RSUD Dr.Adjidarmo Lebak.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
dokter maupun perawat dan staf di RSUD Dr.Adjidarmo atas bimbingannya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan penulisan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat dan
dapat menambah pengetahuan, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Lebak, 24 Januari 2019

Penulis

2
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Kasus

Meningitis Bakterialis

Disusun oleh:

dr. Farissa Utami

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti program Dokter Internsip


Indonesia

Rotasi Ruangan RSUD DR. Adjidarmo

Rangkasbitung – Kab. Lebak

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan pada

Hari :

Tanggal :

Pembimbing

dr. Sp.N

3
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. K
Umur : 17 tahun 11 bulan 28 hari
Tanggal Lahir : 5 Desember 2000
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kp. Paju RT x/x Ds Kumpay
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 03 Desember 2018 pukul 11.30 WIB

B. ANAMNESIS : alloanamnesis
Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dibawa oleh keluarganya ke IGD dr. Adjidharmo
dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 2 hari SMRS, penurunan
kesadaran terjadi saat pasien di sekolah/pesantren. Pasien cenderung tidur dan
kurang respon saat dipanggil, kadang jika ditanya tidak nyambung, dan
mengamuk. Keluhan awalnya disertai disertai muntah-muntah yang
menyembur lalu pasien mulai tidak sadarkan diri. Pasien juga demam selama
kurang lebih 3 hari SMRS. Karena pasien tidak kunjung sadar dan mengamuk
maka keluarga membawa pasien untuk pergi ke rumah sakit.
Pasien tinggal di pesantren, keluarga tidak tahu kondisi pasien dengan
jelas sebelum pasien tidak sadar. Namun, dari keterangan temannya di
pesantren, pasien sering mengeluh nyeri bagian tengkuk/kepala bagian
belakang. Sakit kepala terasa tertusuk-tusuk dan berat pada leher sejak sekitar
1-2 minggu SMRS. Keluhan kejang disangkal. Batuk (-) Pilek (-) Sesak (-)

4
BAB dan BAK tidak terdapat keluhan. Keluar cairan dari telinga disangkal.
Infeksi gigi disangkal.
Selama ini tidak pernah pengobatan TB Paru, riwayat kontak TB di
keluarga (-) di pesantren (-). Riwayat imunisasi dikatakan lengkap. Riwayat
batuk lama disertai dengan demam dan keringat malam hari dan penurunan
berat badan disangkal, riwayat hidung tersumbat disertai nyeri pada daerah
pipi dahi atau di belakang mata disangkal. Riwayat bepergian disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal. Pasien memiliki
riwayat trauma kepala 1,5 tahun yang lalu, trauma kepala dikatakan oleh
keluarga menyebabkan pasien sempat koma, riwayat operasi kepala (-).
Riwayat penyakit kencing manis, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit jantung
disangkal. Riwayat kejang demam (-) riwayat epilepsi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Di keluarga pasien tidak ada yang pernah mengeluhkan seperti ini.
Riwayat tuberkulosis, darah tinggi, kencing manis disangkal.

Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya

C. PEMERIKSAAN FISIK
Saat di IGD (3 Desember 2018, 11.30)
• Keadaan umum : Tampak sakit berat, gelisah
• Kesadaran : E2M5V2
• Tanda-tanda Vital :
- Nadi : 110 x/menit
- Pernapasan : 20 x/menit
- Suhu : 40 0C
- TD : 100/70 mmHg

5
Saat di IGD (4 Desember 2018, 19.00)
• Keadaan umum : Tampak sakit berat, gelisah
• Kesadaran : E3M5V3
• Tanda-tanda Vital :
- Nadi : 119 x/menit
- Pernapasan : 24 x/menit
- Suhu : 38,6 0C
- TD : 100/70 mmHg
PEMERIKSAAN FISIK (Bangsal, 5 Desember 2018)
• Keadaan umum : Tampak sakit berat
• Kesadaran : E2M4V3
• Tanda-tanda Vital :
- Nadi : 70 x/menit, reguler.
- Pernapasan : 24 x/menit
- Suhu : 36,8 0C
- TD : 100/70 mmHg
STATUS GENERALIS
Kepala dan leher
- Kepala : Normochepal
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung : Normonasi, sekret (-/-), epistaksis (-/-).
- Telinga : Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-), darah (-/-).
- Mulut : bibir kering (+), bibir simetris, sianosis (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid (-).

Thoraks
Paru
- Inspeksi : simetris, retraksi dinding dada (-/-)
- Palpasi : tidak dapat dilakukan
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

6
Jantung
- Inspeksi : iktus kordis terlihat pada ICS 5 midclavikula sinistra
- Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS 5 midclavikula sinistra
- Perkusi : Batas kanan jantung ICS 4, linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung ICS 4, linea midclavikularis sinistra
- Auskultasi: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : bentuk datar
- Auskultasi: BU (+) normal pada 4 kuadran
- Perkusi : timpani pada seluruh abdomen, asites (-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), nyeri epigastrium (-), hepar, lien,
tidak teraba.
Ekstremitas
- Atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
- Bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

STATUS NEUROLOGIK
Kesadaran : E2M4V3

Rangsang Meningeal
- Kaku Kuduk : (+)
- Lasegue sign : tidak terbatas/ tidak terbatas
- Kernig sign : +/+
- Brudzinski I : (+)
- Brudzinski II : (+)
- Brudzinski III : (-)

SARAF KRANIAL
N.I (Olfaktorius) : KANAN KIRI

Daya pembau tidak dapat dilakukan tidak dapat dilakukan

7
N.II (Optikus) KANAN KIRI

Visus : tidak dapat dilakukan tidak dapat dilakukan

Lapang pandang : tidak dapat dilakukan tidak dapat dilakukan

Funduskopi : tidak dapat dilakukan tidak dapat dilakukan

N.III(Okulomotorius) KANAN KIRI

Ptosis : - -

Ukuran pupil : 2-3 mm 2-3 mm

Bentuk pupil : bulat(isokor) bulat(isokor)

Gerakan bola mata : Sulit dinilai


- Atas : - -
- Bawah : - -
- Medial : - -
Dolls eye : -
Refleks cahaya :
- Refleks cahaya direk + +
- Reflek cahaya indirek + +

N.IV (Trokhlearis) KANAN KIRI

Gerakan mata ke medial bawah susah dinilai susah dinilai

N.V(Trigeminus) KANAN KIRI

Menggigit belum dapat dinilai


Membuka mulut belum dapat dinilai
Sensibilitas belum dapat dinilai
Refleks kornea belum dapat dinilai

N.VI(Abdusens) KANAN KIRI

8
Gerak mata ke lateral sulit dinilai

N.VII(Fasialis) KANAN KIRI

Kerutan kulit dahi tidak dapat dinilai

Lipatan nasolabialis tidak dapat dinilai

Menutup mata tidak dapat dinilai

Mengangkat alis tidak dapat dinilai

Menyeringai normal

Daya kecap lidah 2/3 depan tidak dapat dinilai

N.VIII(Vestibulokokhlearis) KANAN KIRI

Tes bisik belum dapat dinilai

Tes rinne belum dapat dinilai

Tes weber belum dapat dinilai

Tes schwabach belum dapat dinilai

Past pointing test belum dapat dinilai

9
N.IX&X KANAN KIRI

Daya kecap lidah 1/3 belakang belum dapat dinilai

Uvula secara pasif sulit dinilai

Menelan belum dapat dinilai

Refleks muntah belum dapat dinilai

N.XI(Aksesorius) KANAN KIRI

Memalingkan kepala belum dapat dinilai

Mengangkat bahu belum dapat dinilai

N.XII(Hipoglosus)

Sikap lidah : belum dapat dinilai

Atrofi otot lidah : (-)

Fasikulasi lidah : (-)

MOTORIK
Kekuatan Otot : Lateralisasi (-)

SENSORIK
Nyeri : Ektremitas Atas : belum dapat dinilai

Ekstremitas Bawah : belum dapat dinilai

Raba : Ektremitas Atas : belum dapat dinilai


Ekstremitas Bawah : belum dapat dinilai

Suhu : Ektremitas Atas : belum dapat dinilai


Ekstremitas Bawah : belum dapat dinilai

FUNGSI VEGETATIF
Miksi : buruk
Defekasi : buruk

10
FUNGSI LUHUR
MMSE tidak dapat dilakukan

REFLEK FISIOLOGI
Reflek bisep : (+/+)
Reflek trisep : (+/+)
Reflek brachioradialis : (+/+)
Reflek patella : (+/+)
Reflek achilles : (+/+)

REFLEK PATOLOGIS
Babinski : (-/-)
Chaddock : (-/-)
Oppenheim : (-/-)
Gordon : (-/-)
 Dolls Eyes (-/-)
 Refleks Pupil (+/+)
 Nistagmus (belum dapat dilakukan)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
INDIKATOR HASIL NILAI NORMAL SATUAN

HEMATOLOGI tanggal 03 Desember 2018

Lekosit 13100 H 3,800 – 10,600 uL

Eritrosit 5.47 N 4,40 – 5,90.10 Jt/uL

Hemoglobin 15.30 N 13.20 – 17.30 g/dL

Hematokrit (Ht) 43.4 N 40.0 – 52.0 %

MCV 79.3 L 80.0-100.0 fL

MCH 28.0 N 26.0 – 34.0 Pg

11
MCHC 35.3 N 32.0 – 36.0 g/dl

Trombosit 182.000 N 150,000 – 400,000 /ul

HJL

Basofil 0N 0-1 %

Eosinofil 0L 2-4 %

Batang 0L 3-5 %

Segmen 95 H 50-70 %

Limfosit 4L 25-40 %

Monosit 1L 2-8%

HEMATOLOGI tanggal 11 Desember 2018 pukul 09.00

Lekosit 15530 H 3,800 – 10,600 uL

Eritrosit 4.02 N 4,40 – 5,90.10 Jt/uL

Hemoglobin 11.30 L 13.20 – 17.30 g/dL

Hematokrit (Ht) 34.2 L 40.0 – 52.0 %

MCV 85.1 N 80.0-100.0 fL

MCH 28.1 N 26.0 – 34.0 Pg

MCHC 33.0 N 32.0 – 36.0 g/dl

Trombosit 492.000 N 150,000 – 400,000 /ul

Elektrolit

Natrium 138 N 135-147 mEq/L

Kalium 3.8 N 3.5-5.0 mEq/L

Chlorida 102 N 95-105 mEq/L

12
HEMATOLOGI tanggal 11 Desember 2018 pukul 21.00

Lekosit 24040 H 3,800 – 10,600 uL

Eritrosit 4.15 L 4,40 – 5,90.10 Jt/uL

Hemoglobin 11.70 L 13.20 – 17.30 g/dL

Hematokrit (Ht) 34.8 L 40.0 – 52.0 %

MCV 83.9 N 80.0-100.0 fL

MCH 28.2 N 26.0 – 34.0 Pg

MCHC 33.6 N 32.0 – 36.0 g/dl

Trombosit 492.000 N 150,000 – 400,000 /ul

Ureum 50.08 H 20.00 – 40.00 mg/dL

Creatinin 1.05 N 0.62 – 1.17 mg/dL

SGOT 76 H < 50 U/L

SGPT 80 H < 50 U/L

GDS 87 70-140 mg/Dl

Elektrolit

Natrium 138 N 135-147 mEq/L

Kalium 3.8 N 3.5-5.0 mEq/L

Chlorida 102 N 95-105 mEq/L

KIMIA DARAH

FUNGSI HATI
SGOT 18 N < 50 U/L
SGPT 11 N < 50 U/L

DIABETES mg/dL
Glukosa Sewaktu 101 N 70-140

13
FUNGSI GINJAL
Ureum 31.46 N 20.00 – 40.00 mg/dL
Kreatinin 0.81 N 0.62 – 1.17 mg/dL

ELEKTROLIT
Natrium 140 N 135-147 mEq/L
Kalium 3.3 L 3.5-5.0 mEq/L
Clorida 99 N 119 mEq/L

KIMIA DARAH

ANALISA GAS
DARAH
- pH 7.49 H 7.37-7.45 U/L
- pCO2 24.2 L 33.0-44.0 mmHg U/L
- Kelebihan Base -2.0 N -2.0-3.0 mmol/L
(BE)
- Bikarbonat 19.0 L 23.0 – 29.0
(HCO3) mmol/L
- Total CO2 19.7 L
23.0 – 29.0
- Saturasi O2 99.3 H
mmol/L
- pO2 110.0 H
94.0-98.0%

71.0-104.0 mmHg

URINALISA

Warna Kuning Kuning

Kekeruhan Jernih Jernih

Berat Jenis 1,020 1,015-1,025

pH 6 4,80-7,40

14
Leukosit Esterase - Negatif

Nitrit - Negatif

Protein +2(100) Negatif

Glukosa - Negatif

Keton +2(40) Negatif

Urobilinogen - Negatif

Bilirubin - Negatif

Darah +3(250) Negatif

Sedimen <3/LPB

Eritrosit 1-2 <4/LPB

Leukosit 1-2 Negatif

Epitel +1

Silinder - Negatif

Bakteri - Negatif

Kristal Amorf+1 Negatif

Lain-lain - Negatif

15
2. Rontgen thorax
Tanggal 03/12/19

16
3. CT Scan Kepala tanpa Kontras
Tanggal 03/12/18

Expertise:
Dilakukan CT scan kepala potongan axial interval 5-10 mm, dimulai di daerah basis
sampai vertex, scanning tanpa memakai media kontras, HASIL :

17
- Jaringan lunak ekstra calvaria dan calvaria masih memberikan bentuk dan densitas
yang normal
- Sulci corticlis, fissura sylvii dan fissura interhemisfer besar dan bentuk masih tampak
normal
- Ruang subarachnoid masih tampak normal
- Bentuk dan posisi venrikel lateralis kanan dan kiri tampak simetris. Ukuran ventrikel
lateralis kanan dan kiri, ventrikel 3 dan 4 dalam batas normal
- Sisterna basalis dan ambiens dalam batas normal
- Daerah sela tursika dan juxtasella serta daerah ‘cerbellopontine angle’ kanan dan kiri
dalam batas normal
- Mastoid air cell dalam batas normal
- Sinus maksilaris, ethmoidalis, sphenoidalis dan frontalis dalam batas normal
- Bulus oculi dan ruang retrobulber dalam batas normal
Kesimpulan:
- CT Scan kepala tanpa kontras saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda adanya
perdarahan, lesi iskemik, SOL/neoplasma, malformasi vaskuler.

18
4. CT Scan Kepala dengan Kontras
Tanggal 13/12/18

E. RESUME
Pasien penurunan kesadaran sejak 2 hari SMRS, penurunan kesadaran terjadi saat
pasien di sekolah/pesantren. Pasien cenderung tidur dan kurang respon saat dipanggil,
kadang jika ditanya tidak nyambung, dan mengamuk. Keluhan awalnya disertai disertai
muntah-muntah yang menyembur lalu pasien mulai tidak sadarkan diri. Pasien juga demam
selama kurang lebih 3 hari SMRS. Pasien sering mengeluh nyeri bagian tengkuk/kepala
bagian belakang. Sakit kepala terasa tertusuk-tusuk dan berat pada leher sejak sekitar 2
minggu SMRS. Keluhan kejang disangkal. Keluar cairan dari kedua telinga disangkal,
infeksi gigi disangkal. Batuk (-) Pilek (-) Sesak (-) BAB dan BAK tidak terdapat keluhan.

19
Pasien memiliki riwayat trauma kepala 1,5 tahun yang lalu, riwayat operasi kepala (-
). Selama ini tidak pernah pengobatan TB Paru, riwayat kontak TB di keluarga (-) di
pesantren (-). Riwayat imunisasi dikatakan lengkap.
Riwayat penyakit kencing manis, penyakit ginjal maupun penyakit hati sebelumnya
disangkal.

Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan :
• Keadaan umum : Tampak sakit berat, gelisah
• Kesadaran : E2M5V2
• Tanda-tanda Vital :
- Nadi : 110 x/menit
- Pernapasan : 20 x/menit
- Suhu : 40 0C
- TD : 100/70 mmHg

RM : KK(+) L/K TT BI/BII/BIII +/+/-


Saraf otak : reflek cahaya direct/indirect (+/+), pupil bulat isokor diameter 2-3 mm
Motorik : lateralisasi (-)
Sensorik/vegetatif : sulit dinilai/buruk
Fungsi luhur : MMSE tidak dapat dilakukan
REFLEK FISIOLOGI
Reflek bisep : (+/+)
Reflek trisep : (+/+)
Reflek brachioradialis : (+/+)
Reflek patella : (+/+)
Reflek achilles : (+/+)

REFLEK PATOLOGIS
Babinski : (-/-)
Chaddock : (-/-)

20
Oppenheim: (-/-)
Gordon : (-/-)

F. DIAGNOSA
Meningitis bakterialis

G. DIAGNOSA BANDING
1. Meningitis virus
2. Meningitis tuberkulosis
3. Meningitis jamur

H. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
a. Cairan kristaloid: IVFD RL 500cc/8jam
b. Antibiotik broad spectrum: Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
c. Kortikosteroid: Inj. Deksametason 3x7.5 mg
d. Analgesik non opioid: Inj. Ketorolac 3x30 mg
e. Neuroprotektan: Inj. Citicolin 2 x 500 mg
f. Proton pump inhibitor: Inj. Omeprazole 1x40 mg
g. Antipiretik: Inj. Paracetamol 3x500 mg
h. Diuretik osmotik: Mannitol 3x150 cc
2. Non Farmakologi
a. Oksigen: O2 2-3 lpm nk
b. Head up 300
c. NGT
d. DC

I. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad malam
Quo ad Functionam : dubia ad malam
Quo ad Santionam : dubia ad malam

21
J. FOLLOW UP BANGSAL

Hari/ Subyektif Obyektif Assesment Rencana Terapi


Tanggal

6/12/180 Penurunan Ku/Kes: DK : Head up 300


08.30 kesadaran (-) TSS/E4M6V5 Cephalgia, TRM Diet BB TKTP
HP-1 kejang (-)
TD 100/70 mmHg (+) Aff O2
sesak (-) lemas
(+) demam (-) N 82 x/m DT : IVFD RL 500cc/8jam
nyeri kepala RR 22 x/m Meningen Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
(+)
T 36oC DE : Inj. Dexametason 3x7,5
VAS 5-6 Meningitis mg iv s/d 4 hari (H1)
Status Generalis dbn bakterial Inj. Omeprazole 1x40 mg
Status Neurologis: iv
N. III : pupil bulat, Inj. Ketorolac 3x30 mg iv
isokor, RC +/+, Inj. Citicolin 2x500 mg iv
diameter 3 mm ODS Inj. Paracetamol 3 x 500
N. VII : plica mg K/P
nasolabialis simetris Manitol stop (advis dari
N. XII : deviasi lidah Sp.A)
(-)
TRM: kaku kuduk (+),
kernig sign (+),
brudzinski I/II +
Gerakan abnormal:
tidak ada
Sensorik, fugsi luhur,
vegetatif, gait dan
keseimbangan : tidak
ada kelainan.
Motorik:
5555/5555/5555/5555
Sensorik dbn

22
7/12/180 Penurunan Ku/Kes: DK : Head up 300
08.30 kesadaran (-) TSS/E4M6V5 Cephalgia, TRM Diet BB TKTP
HP-2 kejang (-)
TD 110/70 mmHg (+) IVFD RL 500cc/8jam
sesak (-) lemas
(+) demam (-) N 84 x/m DT : Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
nyeri kepala RR 20 x/m Meningen Inj. Dexametason (H2)
(+) berkurang,
T 36oC DE : Inj. Omeprazole 1x40 mg
mual (-),
muntah (-) VAS 3-4 Meningitis iv
Status Generalis dbn bakterial Inj. Ketorolac 3x30 mg iv
Status Neurologis: Inj. Citicolin 2x500 mg iv
sama seperti PO. Paracetamol 3 x 500
sebelumnya
08/12/18 Penurunan Ku/Kes: DK : Head up 300
08.30 kesadaran (-) TSS/E4M6V5 Cephalgia, TRM Diet BB TKTP
HP-3 kejang (-)
TD 110/70 mmHg (+) IVFD RL 500cc/8jam
sesak (-) lemas
(+) demam (-) N 84 x/m DT : Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
nyeri kepala RR 20 x/m Meningen Inj. Dexametason 3x7,5
(+) berkurang,
T 36oC DE : (H3)
mual (-),
muntah (-) VAS 3-4 Meningitis Inj. Omeprazole 1x40 mg
Status Generalis dbn bakterial iv
Status Neurologis: Inj. Ketorolac 3x30 mg iv
sama seperti Inj. Citicolin 2x500 mg iv
sebelumnya PO. Paracetamol 3 x 500

09/12/18 Penurunan Ku/Kes: DK : Head up 300


08.30 kesadaran (-) TSS/E4M6V5 Cephalgia, TRM Diet BB TKTP
HP-4 kejang (-)
TD 110/70 mmHg (+) IVFD RL 500cc/8jam
sesak (-) lemas
(+) demam (-) N 84 x/m DT : Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
nyeri kepala RR 20 x/m Meningen Inj. Dexametason 3x7,5
(+) berkurang,
T 36oC DE : mg iv (H4)
mual (-),
muntah (-) VAS 3-4 Meningitis Inj. Omeprazole 1x40 mg
Status Generalis dbn bakterial iv
Status Neurologis: Inj. Ketorolac 3x30 mg iv

23
sama seperti Inj. Citicolin 2x500 mg iv
sebelumnya PO. Paracetamol 3 x 500

10/12/18 Penurunan Ku/Kes: DK : Head up 300


08.30 kesadaran (-) TSS/E4M6V5 Cephalgia, TRM Diet BB TKTP
HP-5 kejang (-)
TD 100/80 mmHg (+) IVFD RL 500cc/8jam
sesak (-) lemas
(-) demam (-) N 100 x/m DT : Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
nyeri kepala RR 22 x/m Meningen Inj. Dexametason 3x7,5
(+) berkurang,
T 37oC DE : mg STOP
mual (-),
muntah (-) VAS 3-4 Meningitis Inj. Omeprazole 1x40 mg
Status Generalis dbn bakterial iv
Status Neurologis: Inj. Ketorolac 3x30 mg iv
sama seperti Inj. Citicolin 2x500 mg iv
sebelumnya PO. Paracetamol 3 x 500
K/P

11/12/18 Cenderung Ku/Kes: DK : Head up 300


08.30 tidur, kejang (- TSS/E3M6V5 Cephalgia, IVFD RL 500cc/8jam
HP-6 ) demam (+)
TD 100/80 mmHg Penurunan Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
nyeri kepala
(+) N 90 x/m kesadaran, TRM s/d 7 hari
RR 22 x/m (+) Inj. Omeprazole 1x40 mg
T 37.8oC DT : iv
Meningen Inj. Ketorolac 3x30 mg iv
Status Generalis dbn DE : Inj. Citicolin 2x500 mg iv
Status Neurologis: Meningitis Inj. Paracetamol 3 x 500
Tanda Rangsang bakterial mg iv
Meningeal : kaku Cek DR ulang, Ureum,
kuduk (+), kernig sign Creatinin, SGOT, SGPT,
(+), brudzinski I/II + GDS, elektrolit
Lateralisasis (-), RP -
/+

24
11/12/18 Penurunan Ku/Kes: DK : Head up 300
20.00 kesadaran (+), TSB/E3M4V2 Penurunan Puasa
HP-6 kejang (-),
TD 120/60 mmHg kesadaran O2 3 lpm nk
demam (+)
N 100 x/m DT : IVFD RL 500cc/8jam
RR 20 x/m Meningen Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
T 40oC DE : s/d 7 hari
Meningitis Inj. Omeprazole 1x40 mg
Status Generalis dbn bakterial iv
Status Neurologis: Inj. Ketorolac 3x30 mg iv
Tanda Rangsang Inj. Citicolin 2x500 mg iv
Meningeal : kaku Inj. Paracetamol 3 x 500
kuduk (+), kernig sign mg  4x 500 mg
(+), brudzinski I/II + Inj. Dexametason 3x7,5
Lateralisasi (-), RP -/+ mg iv lanjutkan
Inj. Manitol 3x150 cc
Observasi TTV/jam

12/12/18 Penurunan Ku/Kes: DK : Head up 300


08.30 kesadaran (+), TSB/E3M4V2 Penurunan NGT tertutup
HP-7 kejang (-),
TD 110/70 mmHg kesadaran O2 3 lpm nk
demam (+)
N 110 x/m DT : IVFD RL 500cc/8jam
RR 20 x/m Meningen Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
T 38.5oC DE : s/d 7 hari
Meningitis Inj. Omeprazole 1x40 mg
Status Generalis dbn bakterial iv
Status Neurologis: Inj. Ketorolac 3x30 mg iv
Tanda Rangsang Inj. Citicolin 2x500 mg iv
Meningeal : kaku Inj. Paracetamol 4x 500
kuduk (+), kernig sign mg
(+), brudzinski I/II + Inj. Dexametason 3x7,5

25
Lateralisasi (-), RP -/+ mg iv
Inj. Manitol 3x150 cc
Ulsafat syr 3x1 C

13/12/18 Penurunan Ku/Kes: DK : CT Scan Kepala dengan


08.30 kesadaran (+), TSB/E3M3V2 Penurunan Kontras
HP-8 kejang (-),
TD 100/60 mmHg kesadaran Head up 300
demam (+)
N 110 x/m DT : NGT tertutup
RR 20 x/m Meningen O2 3 lpm nk
T 38.5oC DE : IVFD RL 500cc/8jam
Meningitis Inj. Ceftriaxon 1x2gr
Status Generalis dbn bakterialis Inj. Vancomycin 2 x 1 gr
Status Neurologis: dengan susp Inj. Metronidazole 3x500
Tanda Rangsang abses cereberi dd mg
Meningeal : kaku hidrosephalus Inj. Omeprazole 1x40 mg
kuduk (+), kernig sign iv
(+), brudzinski I/II + Inj. Ketorolac 3x30 mg iv
Lateralisasi (-), RP -/+ Inj. Citicolin 2x500 mg iv
Inj. Paracetamol 4x 500
mg
Inj. Dexametason 3x7,5
mg iv
Inj. Manitol 3x150 cc
Ulsafat syr 3x1 C

14/12/18 Penurunan Ku/Kes: DK : CT Scan Kepala dengan


08.30 kesadaran (+), TSB/E2M2V1 Penurunan Kontras  menunggu hasil
HP-9 kejang (-),
TD 100/60 mmHg kesadaran Head up 300
demam (+)
N 120 x/m DT : NGT tertutup
RR 20 x/m Meningen O2 3 lpm nk

26
T 40oC DE : IVFD RL 500cc/8jam
Meningitis Inj. Ceftriaxon 1x2gr
Status Generalis dbn bakterialis Inj. Vancomycin 2 x 1 gr
Status Neurologis: dengan susp Inj. Metronidazole 3x500
Tanda Rangsang abses cereberi dd mg
Meningeal : kaku hidrosephalus Inj. Omeprazole 1x40 mg
kuduk (-), kernig sign iv
(-), brudzinski I/II - Inj. Ketorolac 3x30 mg iv
Lateralisasi (-), RP -/+ Inj. Citicolin 2x500 mg iv
Inj. Paracetamol 4x 500
mg
Inj. Dexametason 3x7,5
mg iv
Inj. Manitol 3x150 cc
Ulsafat syr 3x1 C
14/12/18
11.30
Pasien dilaporkan apneu
S : Penurunan kesadaran (+), kejang (-), demam (+)
O:
Status Generalis :
Kesadaran: E1M1V1
TD -
N tidak teraba
RR –
CTR >2s
Akral dingin
RJP 5 siklus, dilanjutkan epinefrin 1 ampul  tidak ada respon
Pupil midriasis maksimal
EKG Flat
Pasien dinyatakan meninggal pukul 11.45 di depan keluarga dan perawat jaga

27
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Meningitis adalah peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk
duramater, arachnoid dan piamater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat
disebabkan oleh beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh
peningkatan kadar leukosit dalam likuor cerebrospinal (LCS).1
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan
piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid.2
B. EPIDEMIOLOGI
1. Meningitis Bakterial
Kejadian MB diperkirakan sekitar 5 sampai 10 kasus per 100.000 orang per tahun.
Meningitis bakteri jauh lebih umum di negara-negara berkembang dan di kawasan-
kawasan geografis tertentu, seperti di Afrika, dimana kejadian yang diduga adalah 70
kasus per 100.000 orang per tahun. Kejadian ditemukan paling tinggi pada bayi-bayi
yang berusia di bawah 1 tahun, dimana 7,1 kasus per 100.000 penduduk dilaporkan pada
tahun 2001, dibandingkan dengan hanya 1,8, 0,7 dan 0,7 per 100.000 orang yang berusia
1-4 tahun, 5-17 tahun dan 18-34 tahun, masing-masing.3
Kasus MB terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara dengan empat musim,
MB lebih banyak terjadi di musim dingin dan awal musim semi. MB lebih banyak terjadi
pada pria. Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan puncak kejadian pada
kelompok bayi, remaja, dan lansia. Tingkat insiden tahunan (per 100.000) MB sesuai
patogennya adalah sebagai berikut: Streptococcus pneumonia, 1,1; Neisseria
meningitidis, 0,6; Streptococcus, 0,3; Listeria monocytogenes, 0,2; dan Haemophilus
influenza, 0,2.1,2
2. Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling sering ditemukan
di negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia, dimana insidensi
tuberkulosis lebih tinggi terutama bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).4,5,6

28
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan
mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi
setiap 300 TB primer yang tidak diobati. CDC melaporkan pada tahun 1990 morbiditas
meningitis TB 6,2% dari TB ekstrapulmonal. Insiden meningitis TB sebanding dengan
TB primer, umumnya bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur,
status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang. Faktor
predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid,
keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus. Penyakit ini dapat
menyerang semua umur, anak-anak lebih sering dibanding dengan dewasa terutama pada
5 tahun pertama kehidupan. Jarang ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir
tidak pernah ditemukan pada usia dibawah 3 bulan.7
3. Meningitis Viral
Insidens meningitis viral di Amerika serikat yang secara resmi dilaporkan
berjumlah lebih dari 10.000 kasus, namun pada kenyataannya dapat mencapai 75.000
kasus. Kekurangan dalam pelaporan data ini disebabkan oleh gejala klinis yang tidak
khas dan inabilitas beberapa virus untuk tumbuh dalam kultur. Menurut data yang
dilaporkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), pasien rawat inap dengan
meningitis viral sekitar 25.000 – 50.000 tiap tahunnya.8
Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral termasuk enterovirus, mumps virus
mumps (gondongan), virus measles (campak), virus varicella zoster (VZV) dan HIV.
Gejala meningitis dapat timbul hanya pada 1 dari 3000 kasus. Mumps menyebabkan 10-
20% meningitis dan meningoencephalitis di bagian negara dimana akses vaksin sulit.
Insidens 20 kali lebih besar pada tahun pertama kehidupan. Pada neonatus lebih dari 7
hari, meningitis aseptik sering disebabkan oleh enterovirus. Vaksinasi mengurnagi
insidens dari meningitis oleh virus mumps, polio dan measles. Virus mumps dan measles
sering menyebabkan meningitis pada anak usia sekolah sampai kuliah. Enterovirus 1,3 –
1,5 kali lebih sering lebih sering menyebabkan meningitis pada laki-laki dibanding
perempuan, sedangkan virus mumps 3 kali lebih sering menyerang laki-laki dibanding
perempuan. Menurut WHO tahun 1997, meningitis enteroviral dengan sepsis merupakan
penyebab tersering ke-5 kematian pada neonatus. Diluar periode neonatal mortalitas
kurang dari 1%, begitu juga dnegan morbiditasnya.9

29
Meningitis virus lebih sering dijumpai pada anak daripada orang dewasa. Di negeri
tropis dan subtropis tingginya frekuensi meningitis virus tidak bergantung kepada musim
seperti pada negeri beriklim dingin yang angka kejadian tertingginya dijumpai pada
musim panas dan musim gugur.9
4. Meningitis Jamur
Meningitis jamur jarang ditemukan, namun dapat mengancam kehidupan.
Walaupun semua orang dapat terkena meningitis jamur, namun resiko tinggi terdapat
pada orang yang menderita AIDS, leukemia, atau bentuk penyakit imunodefisiensi (
sistem imun tidak mempunyai respon yang adekuat terhadap infeksi) lainnya dan orang
dengan imunosupresi (malfungsi dari sistem imun sebagai akibat obat-obatan).10
Penyebab tersering dari meningitis jamur pada orang dengan defisiensi imun seperti
HIV adalah Cryptococcus. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyebab tersering
meningitis di Afrika. Jamur lain yang dapat menyebabkan thrush, Candida, dapat
menyebabkan meningitis pada beberapa kasus, terutama pada bayi prematur dengan berat
lahir sangat rendah. (very low birth weight).10

C. ETIOLOGI
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri, virus,
parasit dan jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan likuor serebrospinal.
Meningitis juga dapat disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti pada penyakit AIDS,
keganasan, diabetes mellitus, cedera fisik atau obat – obatan tertentu yang dapat
melemahkan sistem imun (imunosupresif).10
Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur maupun parasit:10
1. Bakteri
Banyak faktor yang mempengaruhi etiologi penyakit meningitis bakteri. Beberapa
faktor yang mempengaruhi, antara lain usia, faktor-faktor risiko (seperti gangguan
imunitas, sinusitis, trauma kepala, dan sickle cell disease), serta variasi musim dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya meningitis bakteri. Hal ini penting diketahui untuk
pengambilan keputusan dalam terapi empirik. Keberhasilan penggunaan vaksin
Haemophilus influenza tipe b (Hib) secara luas selama beberapa tahun terakhir telah
merubah epidemiologi bakteri meningitis secara signifikan. Haemophilus influenza

30
merupakan organisme penyebab meningitis bakteri yang paling banyak ditemukan pada
seluruh kelompok umur dan secara signifikan telah mengalami penurunan dari 48%
menjadi 7% dari seluruh kasus. Pada kasus yang disebabkan oleh bakteri Neisseria
meningitidis masih menunjukkan persentase kejadian yang konstan yaitu pada 14% –
25%, pada beberapa kasus terjadi antara umur 2-18 tahun.10
Penyebab MB berdasarkan usia dan faktor risiko dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.11

Gambar 2.1 Penyebab MB berdasarkan usia dan faktor risiko11

2. Virus :
a. Virus Mumps
b. Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs, varicella-zoster,
Measles, and Influenza
c. Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya (Arboviruses)
d. Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic choriomeningitis virus),
disebarkan melalui tikus.
3. Jamur
Jamur yang menginfeksi manusia terdiri dari 2 kelompok yaitu, jamur patogenik
dan opportunistik. Jamur patogenik adalah beberapa jenis spesies yang dapat menginfeksi
manusia normal setelah inhalasi atau inflantasi spora. Secara alamiah, manusia dengan
penyakit kronis atau keadaan gangguan imunitas lainnya lebih rentan terserang infeksi
jamur dibandingkan manusia normal. Jamur patogenik menyebabkan histiplasmosis,
blastomycosis, coccidiodomycosis dan paracoccidiodomycosis.

31
Kelompok kedua adalah kelompok jamur apportunistik. Kelompok ini tidak
menginfeksi orang normal. Penyakit yang termasuk disini adalah aspergilosis,
candidiasis, cryptococcosis, mucormycosis (phycomycosis) dan nocardiosis. Infeksi
jamur pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan meningitis akut, subakut dan kronik.

Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat


disebabkan oleh pathogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh pathogen lain
seperti Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV.

D. PATOGENESIS
1. Meningitis Bakterial
Secara umum, infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:1
a. Aliran darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan
biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam
cairan otak.
b. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
c. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.
d. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
1) Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
2) Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.

Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung, penyebaran
hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui
perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vv. diploica, erosi fokus
osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca ventriculoperitoneal shunt atau prosedur
bedah otak lainnya).1 Risiko kolonisasi epitel nasofaring meningkat pada individu yang
mengalami infeksi virus pada sistem pernapasan atau pada perokok.1,2

32
Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut mengatasi
mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang. Bakteri kemudian
melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana bakteri relatif terlindungi dari
respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang dimilikinya.1
Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui
pleksus koroid atau kapiler serebral. Pada saat patogen memasuki sistem saraf pusat
melalui plexus choroideus atau area dengan perubahan sawar darah otak, terjadi peristiwa
yang bertahap, diawali dengan bermultiplikasinya bakteri di ruang subarachnoid. Adanya
komponen dinding sel bakteri memicu produksi sitokin termasuk interleukin-1, tumor
nekrosis faktor, dan prostaglandin E2, yang memicu peningkatan aliran darah ke otak.
Sitokin juga mengubah permeabilitas sawar darah otak dengan cara mengganggu
integritas tight junction sehingga menyebabkan terjadinya edema cerebral. Peningkatan
tekanan intrakranial menyebabkan peningkatan aliran darah dan edema sehingga terjadi
penurunan perfusi serebral. Proses inflamasi menyebabkan terjadinya vaskulitis dan
trombotik yang berkontribusi pada terjadinya iskemia serebral.12
Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel yang disebabkannya. Seluruh
area ruang subaraknoid yang meliputi otak, medula spinalis, dan nervus optikus dapat
dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar dengan cepat. Infeksi juga mengenai ventrikel,
baik secara langsung melalui pleksus koroid maupun melalui refluks lewat foramina
Magendie dan Luschka.1
Permeabilitas BBB yang meningkat menyebabkan kebocoran protein plasma ke
dalam CSS yang akan memicu inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di dalam
ruang subaraknoid. Eksudat akan menumpuk dengan cepat dan akan terakumulasi di
bagian basal otak serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan spinal. Selain itu,
eksudat akan menginfiltrasi dinding arteri dan menyebabkan penebalan tunika intima
serta vasokonstriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia serebral. Tunika adventisia
arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk sebagai bagian dari membran
araknoid. 12,13
Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses inflamasi
bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius). Selanjutnya, dapat terjadi
syok yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga dapat mengeksaserbasi iskemia

33
serebral. Selain itu, MB dapat menyebabkan trombosis sekunder pada sinus venosus
mayor dan tromboflebitis pada vena-vena kortikal. Eksudat purulen yang terbentuk dapat
menyumbat resorpsi CSS oleh villi araknoid atau menyumbat aliran pada sistem ventrikel
yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif atau komunikans yang disertai edema serebral
interstisial. Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial dan menyebabkan
neuropati kranial fokal.1

Gambar 2.2 Patofisiologi Meningitis Bakterial.15

2. Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis
primer, biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya selaput
otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui

34
pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang
kemudian pecah ke dalam rongga arachnoid (rich dan McCordeck). Kadang-kadang
dapat juga terjadi perkontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis. Pada pemeriksaan
histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningoensefalitis. Peradangan
ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama batang otak (brain stem) tempat
terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat
menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan mengakibatkan hidrocephalus serta
kelainan saraf pusat. Tampak juga kelainan pembuluh darah seperti Arteritis dan Phlebitis
yang menimbulkan penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi infark otak yang
kemudian mengakibatkan perlunakan otak.15
BTA masuk tubuh

Tersering melalui inhalasi. Jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplikasi

Infeksi paru / focus infeksi lain

Penyebaran hematogen

Meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif / dorman
Bila daya tahan tubuh menurun

Rupture tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarachnoid

MENINGITIS.

35
3. Meningitis Viral
Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya
virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke
dalam tubuh virus tersebut akan menyebar keseluruh tubuh dengan beberapa cara:16
a. Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.
b. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke
organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
c. Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama kali
masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke organ lain.
d. Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput lender dan
menyebar melalui system saraf.
Berikut contoh cara transmisi virus :16
a. Enterovirus : biasanya melalui rute oral-fekal, namun dapat juga melalui rute saluran
respirasi
b. Arbovirus : melalui artropoda menghisap darah, biasanya nyamuk
c. Virus limfositik koriomeningitis – melalui kontak dengan tikus dan sejenisnya
ataupun bahan eksresinya.
Pada umumnya, virus masuk ke sistem limfatik, melalui penelanan enterovirus;
pemasukan membran mukosa oleh campak, rubela, VVZ atau HSV; atau dengan
penyebaran hematogen dari nyamuk atau gigitan serangga lain. Ditempat tersebut, mulai
terjadi multiplikasi dan masuk alirann darah menyebabkan infeksi beberapa organ. Pada
stadium ini (fase ekstraneural) ada sakit demam, sistemik, tetapi tidak terjadi
multiplikasi virus lebih lanjut pada organ yang ditempati, penyebaran sekunder sejumlah
virus dapat terjadi. Invasi SSP disertai dengan bukti klinis penyakit neurologis. HSV-1
mungkin mencapai otak dengan penyebaran langsung sepanjang akson saraf. Kerusakan
neurologis disebabkan (1) oleh invasi langsung dan penghancuran jaringan saraf oleh
pembelahan virus secara aktif dan atau (2) oleh reaksi hospes terhadap antigen virus.
Kebanyakan penghancuran saraf mungkin karena invasi virus secara langsung,
sedangkan respon jaringan hospes yang hebat mengakibatkan demielinasi dan

36
penghancuran vaskuler serta perivaskuler dan (3) oleh reaksi aktivitas virus neurotropik
yang bersifat laten.17
4. Meningitis Jamur
Infeksi pertama terbanyak terjadi akibat inhalasi yeast dari lingkungan sekitar.
Pada saat dalam tubuh host Cryptococcus membentuk kapsul polisakarida yang besar
yang resisten terhadap fagositosis. Produksi kapsul distimulasi oleh konsentrasi fisiologis
karbondioksida dalam paru. Keadaan ini meyebabkan jamur ini beradaptasi sangat baik
dalam host mamalia. Reaksi inflamasi ini menghasilkan reaksi kompleks primer paru
kelenjar limfe (primary lung lymp node complex) yang biasanya membatasi penyebaran
organisme.17
Pada pasien lainnya dapat terbentuk lesi pulmonar fokal atau nodular.
Cryptococcus dapat dorman dalam paru atau limfenodus sampai pertahanan host
melemah. Cryptococcus neofarmans dapat menyebar dari paru dan limfenodus torakal ke
aliran darah terutama pada host yang sistem kekebalannya terganggu. Keadaan ini dapat
terjadi selama infeksi primer atau selama masa reaktivasi bertahun-tahun kemudian. Jika
terjadi infeksi jauh, maka tempat yang paling sering terkena adalah susunan saraf pusat.
Keadaan dimana predileksi infeksi ini terutama pada ruang subarakhnoid, belum dapat
diterangkan. Ada beberapa faktor yang berperanan dalam patogenesis infeksi
Cryptococcus neofarmans pada susunan saraf pusat. Jamur ini mempunyai beberapa
fenotif karakteristik yang dikatakan berhubungan dengan invasi pada susunan saraf pusat
seperti, produksi phenoloxidase, adanya kapsul polisakarida, dan kemampuan untuk
berkembang dengan cepat pada suhu tubuh host. Informasi terakhir mengatakan bahwa
melanin bertindak sebagai antioksidan yang melindungi organisme ini dari mekanisme
pertahanan tubuh host. Faktor karakteristik lainnya yaitu kemampuan kapsul untuk
melindungi jamur dari pertahanan tubuh terutama fagositosis dan kemampuan jamur
untuk hidup dan berkembang pada suhu tubuh manusia.17

37
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Manifestasi Klinis
Berdasarkan Perdossi, anamnesis yang didapat dari pasien meningitis bakteri
adalah sebagai berikut:18
a. Demam
b. Nyeri kepala
c. Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)
d. Penurunan kesadaran
e. Kejang
f. Kelemahan 1 sisi
g. Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus: nyeri kepala berat, muntah-
muntah, kejang.
h. Pada orang dewasa biasanya diawali dengan infeksi saluran pernapasan atas yang
ditandai dengan demam dan keluhan-keluhan pernapasan, kemudian diikuti gejala-
gejala SSP.
i. Pada Meningitis Mengingokokus seringkali diawali dengan gejala septikemia dan
syok septik, seperti demam, nyeri pada lengan dan/atau tungkai. Perlu diketahui
riwayat berpergian haji atau ada orang lain yang mengalami hal yang sama karena
penyakit ini dapat menyebabkan epidemi meningitis.
Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala.
Kadangkadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan
kesadaran seperti delirium, stupor, koma dapat juga terjadi. Nyeri kepala timbul akibat
inflamasi pembuluh darah meningen, sering disertai fotofobia dan hiperestesi, kaku
kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis.15
MB akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk;
tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran.Tanda Brudzinski dan Kernig
juga dapat ditemukan serta memiliki signifikansi klinik yang sama dengan kaku kuduk,
namun sulit ditemukan secara konsisten. Diagnosis meningitis dapat menjadi sulit jika
manifestasi awal hanya nyeri kepala dan demam. Selain itu, kaku kuduk tidak selalu
ditemukan pada pasien sopor, koma, atau pada lansia.1,2,19

38
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium, juga
karena terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf – saraf kranial VI, VII, dan IV adalah
yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena nekrosis
kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis vena kortikal. Vaskulitis
serebral menyebabkan kejang dan hemiparesis.1
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien meningitis yaitu:18
a. Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
b. Pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS (penurunan kesadaran),
c. Pemeriksaan kaku kuduk positif, pemeriksaan kekuatan motorik (hemiparesis).
d. Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus seperti papiledema.
e. Pada Meningitis Meningokokus sering diawali dengan tanda septicemia dan syok
septik, seperti kulit teraba dingin atau kebiruan pada bibir, terdapat papul sampai
ekimosis pada ekstremitas.

Pemeriksaan Rangsangan Meningeal2


1) Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan
tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu
tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi
dan rotasi kepala.
a. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada
sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh
mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut
tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai
spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

39
b. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya
dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan
fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I
positif (+) bilapada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.

c. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+)
bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut
kontralateral.

3. Pemeriksaan Penunjang

Gambar 2.3 Algoritma tatalaksana meningitis bakterial11,20

40
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospinal yang paling sering
dilakukan pada segala umur, dan relatif aman. Indikasi
1) Kejang atau twitching
2) Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3) Koma
4) Ubun-ubun besar membonjol
5) Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6) TBC milier
7) Leukemia
8) Mastoiditis kronik yang dicurigai meningitis
9) Sepsis
Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya
dan pada pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan
dilakukan pada meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis.
Cairan serebrospinal dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala
dan sakit pinggang. Pungsi lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan
intrakranial meninggi jinak (beningn intracranial hypertension) dan untuk
memasukkan obat-obat tertentu.
Kontra indikasi lumbal pungsi: 18
1) Papil edema
2) Penurunan keasadaran yang dalam dan progressif
3) Kecurigaan lesi desak ruang
4) Defisit neurologis fokal
Kontraindikasi relative:18
1) Infeksi pada daerah tusukan
2) Syok
3) Koagulopati
4) Trombosit < 50.000 g/dL
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah
sekitar tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya

41
proses desak ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan
pembekuan yang belum diobati. Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga
karena infeksi (meningitis) bukan kontraindikasi tetapi harus dilakukan dengan hati-
hati. Pada kasus tersebut, jika terdapat kontraindikasi perlu dilakukan pemeriksaan
imaging sebelum dilakukan lumbal pungsi
Hasil dari lumbal pungsi meningitis bakterial adalah pleositosis dominan sel
polimorfonuklear, peningkatan kadar protein, penurunan kadar glukosa, rasio
glukosa LCS: Darah < 0.4 18
Berikut ini adalah gambaran cairan serebrospinal menurut etiologinya :

Gambar 2.4 Hasil Pemeriksaan LCS berdasarkan etiologi

Gambar 2.5 Lumbal pungsi

42
b. Pemeriksaan radiologi :
1) X-foto dada : untuk mencari kausa meningitis
2) CT Scan kepala : dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial dan lateralisasi
Terdapat kontroversi tentang dilakukannya CT Scan sebelum pungsi lumbal,
mempertimbangkan adanya herniasi cerebral karena peningkatan interkranial.
Khususnya, pasien dengan defisit neurologi fokal atau kejang dan gangguan
kesadaran, seharusnya CT scan kepala terlebih dulu sebelum lumbal pungsi. Jika
tidak tersedia, maka terapi harus dimulai berdasarkan kecurigaan klinis tanpa
pemeriksaan LCS. Pada pasien tanpa gangguan fokal atau kejang dan kesadaran
normal, CT scan abnormal ditemukan kurang dari 3%, maka LCS dapat diambil
tanpa CT Scan terlebih dahulu21,22. Namun, CT Scan normal tidak menyingkirkan
peningkatan intrakranial dan kecurigaan herniasi.23
c. Pemeriksaan lain:18
1) Darah :
Darah lengkap, LED, leukosit, hitung jenis, biakan, kimia klinik (SE, SGOT,
SGPT, BUN, SK, Albumin), kadar elektrolite urine bila di curigai komplikasi
SIADH pada penderita meningitis.
2) Uji tuberkulin

4. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan Perdossi, kriteria diagnosis meningitis bakterial, yaitu:18
Tanda dan gejala klinis meningitis
Plus
• Parameter cairan serebrespinal (CSS) abnormal: predominansi PMN, rasio glukosa
CSS:darah < 0,4
Plus
• Didapatkannya bakteri penyebab di dalam CSS secara mikroskopis dan/atau hasil
kultur positif
ATAU
Gejala dan tanda klinis meningitis

43
Plus
• Parameter CSS abnormal: predominansi PMN, rasio glukosa CSS:darah < 0,4
Plus
• Kultur CSS negatif
Plus
• Satu dari hal berikut:
- Kultur darah positif
- Tes antigen atau PCR dari CSS menunjukan hasil positif
Dengan atau tanpa
• Riwayat infeksi saluran pernapasan atas yang baru
• Riwayat faktor predisposisi, seperti pneumonia, sinusitis, otitis media, gangguan
imunologi tubuh, alkoholisme, dan DM.
Sebagai diagnosis banding, berikut ini merupakan manifestasi klinis meningitis
tuberkulosis, meningitis virus, dan meningitis jamur.
1. Meningitis Tuberkulosis
Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun
selaput otak sudah terkena. Hal demikian terdapat pada tuberlukosis miliaris sehingga
pada penyebaran miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis
belum tampak.
Sebagian besar pasien dengan TB meningitis memiliki riwayat sakit kepala
dengan keluhan tidak khas selama 2-8 minggu sebelum timbulnya gejala iritasi
meningeal. Gejala nonspesifik meliputi malaise, anoreksia, rasa lelah, demam, mialgia
dan sakit kepala. Orang dewasa biasanya menunjukkan gejala klasik meningitis, yaitu
demam, sakit kepala dan kaku kuduk yang disertai defisit neurologis fokal, perubahan
perilaku dan penurunan kesadaran.24
Riwayat TB hanya didapatkan pada sekitar 10% pasien. Fototoraks yang
menunjukkan TB paru ditemukan pada 30-50% pasien. Sekitar 10% pasien TB
meningitis juga mengalami TB tulang belakang. Apabila TB meningitis tidak diobati
maka dapat menyebabkan kerusakan otak seperti gangguan mental, paralisis motorik,
kejang serta perilaku abnormal. 24

44
2. Meningitis Viral9
Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat meningitis dan dapat sembuh
alami tanpa pengobatan yang spesifik. Umumnya permulaan penyakit berlangsung
mendadak, walaupun kadang-kadang didahului dengan panas selama beberapa hari.
Gejala yang ditemukan pada anak besar ialah panas dan nyeri kepala mendadak yang
disertai dengan kaku kuduk. Gejala lain yang dapat timbul ialah nyeri tenggorok,
nausea, muntah, penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan punggung, fotophobia,
parestesia, myalgia. Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah terangsang dan menjadi
gelisah. Mual dan muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang didapati. Bila
penyebabnya Echovirus atau Coxsackie, maka dapat disertai ruam dengan panas yang
akan menghilang setelah 4-5 hari. Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk, tanda
Kernig dan Brudzinski kadang-kadang positif.
3. Meningitis Jamur
Gejala klinis dari meningitis jamur sama seperti meningitis jenis lainnya;
namun, gejalanya sering timbul bertahap. Sebagai tambahan dari gejala klasik
meningitis seperti sakit kepala, demam, mual dan kekakuan leher, orang dengan
meningitis jamur juga mengalami fotofobia, perubahan status mental, halusinasi dan
perubahan personaliti.9,10

F. TATALAKSANA
1. Meningitis bakterial
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Imaging radiologi tidak seharusnya menunda pemberian terapi antibiotik empiris, harus
dimulai sebelum CT scan kepala diindikasikan. Hal ini penting untuk memulai terapi
secepat mungkin, jika lambat dapat berhubungan secara signifikan kepada morbiditas dan
mortalitas.20
a) Antibiotik
Berikut ini merupakan terapi antibiotik pada meningitis bakterialis

45
Gambar 2.6 Terapi empirik pada meningitis bakterialis.19
Hal ini sesuai dengan terapi antibiotik empirik berdasarkan Perdossi:18
1) Neonatus, bakteri penyebab streptokokkus group B, listeria monocytogenes, E
Coli; antibiotika: Ampicillin + cefotaxime
2) 2 bulan - 18 tahun, bakteri penyebab N. meningitides, S. pneumonia, H.
Influenza; antibiotika Ceftriaxon atau cefotaxime, dapat ditambahkan
vankomisin
3) 18-50 tahun, bakteri penyebab S, Pneumonia, N. Meningitidis; antibiotika
Ceftriaxone dapat ditambahkan Vancomicyn
4) > 50 tahun, bakteri penyebab S. Pneumonia, L. Monocytogenes, bakteri gram
negative; Antibiotika Vancomicyn + ampicillin, + Ceftriaxone
5) Jika sudah ada hasil kultur, pemberian antibiotika spesifik disesuai dengan hasil
kultur

Gambar 2.7 Terapi antibiotik spesifik pada meningitis bakterial.19,25

46
Gambar 2.8 Terapi antibiotik beserta dosisnya pada pasien meningitis bakterial.26
Antibiotik paling sedikit selama 5 hari pada situasi nonepidemik atau jika
terjadi koma atau kejang yang bertahan selama lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan
di banyak negara maju menyarankan terapi antibiotik minimal 7 hari untuk
meningitis meningokokal dan haemofilus; 10-14 hari untuk terapi antibiotik pada
meningitis pneumokokal.27 Jika kondisi klinis pasien belum membaik dalam 48 jam
setelah terapi antibiotik dimulai, maka analisis CSS ulang harus dilakukan.11
b) Steroid
Dexamethasone 0.15 mg/KgBB (10 mg pada dewasa) setiap 6 jam selama 2-4
hari. Diberikan pertama 30 menit sebelum diberikan antibiotika. Terapi
dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna, terutama
pada meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat menurunkan respons inflamasi
di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko edema
serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis,
dan cedera neuron.19
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis
bakterial yang menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses
inflamasi, penurunan edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit
didapatkan kerusakan otak.8

47
Sejumlah pakar berpendapat pemberian dexamethasone harus dihentikan jika
hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MB bukan H. influenzae atau S.
pneumoniae, namun kelompok pakar lain merekomendasikan pemberian
dexamethasone apapun etiologi MB yang ditemukan.11 Pemberian dexamethasone
pada pasien MB dengan sepsis berat atau syok sepsis dapat meningkatkan
kesintasan.27 Pada penelitian lain, pemberian dexamethasone tidak menurunkan
angka mortalitas dan morbiditas secara bermakna.25,28
c) Menurunkan TIK
1) Head up 300
Meninggikan bagian kepala 30 derajat dan hiperventilasi untuk
mempertahankan PaCO2 berkisar antara 27 dan 30 mmHg.18
2) Manitol
Apabila didapatkan tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat
maka dapat diberikan manitol 20%, diberikan dengan dosis awal 1-1,5 g/kg berat
badan selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5 g/kg berat badan setiap 4-6
jam atau dengan menggunakan cairan hypertonic saline NaCl 3% 2 ml/KgBB
selama 30 menit atau Natrium - laktat 1.2 ml/kgBB selama 15 menit.
Ketidakseimbangan elektrolit yang umum terjadi adalah hiponatremia yang akan
menyebabkan peningkatan intrakranial.18
3) Hemikraniektomi dekompresi, pemasangan External Ventrikulo Drainage (EVD)
atau Ventriculoperitoneal shunt (VP) shunt dapat dilakukan pada kondisi
malignant intracranial hypertension.18 Pada pasien dengan pembesaran sistem
ventrikel ringan tanpa perburukan klinis, resolusi spontan dapat terjadi, sehingga
prosedur invasif dapat ditunda.27
d) Neuroprotektan
CPD-choline (Citicoline) diketahui mempunyai efek yang bervariasi terhadap
sistem saraf pusat, baik pada kelainan akibat jejas maupun proses degeneratif. Secara
umum citicoline mempunyai efek neuroprotektor karena adanya kemampuan
mensintesis fosfatidilkolin yang merupakan salah satu fosfolipid utama dari
membran sel serta meningkatkan choline yang merupakan sumber acetylcholine.
Neuroproteksi citicolin pada iskemia cerebral kemungkinan sebagian karena efek

48
pada Phospholipase 2 (PLA2), menurunkan hidrolisis phospholipid dan pelepasan
asam arakhnoid, sehingga membatasi pembentukan reactive oxidative stress (ROS).
Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya, senyawa pada citicolin memberikan
neuroproteksi pada beberapa model penelitian in vitro dan in vivo pada iskemik otak
akut dan kronik dan penyakit neurodegeneratif, termasuk hipoksia otak, iskemik dan
perdarahan intraserebral.
Dosis terapi sehari-hari citicoline pada manusia adalah 500 hingga 2000 mg, atau
sekitar 7-28 mg/kg pada orang dengan rata-rata berat badan 70 kg.29,30,31,32
e) Terapi simptomatis dan supportif
1) Antipiretik
Pemberian antipiretik (paracetamol, metamizole) sesuai dengan
kebutuhan penderita.18
2) Antikonvulsan
Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering muncul dan
terapi antikonvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun
setelah kejang, maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi.
Penatalaksanaan kejang dengan anti konvulsan sesuai dengan protokol status
epileptikus. Pada kondisi Status epilepsy Refrakter pasien dirawat di ICU
dengan menggunakan ventilator dan obat – obatan anestesi.18
3) Gastroprotektor
Proton pump inhibitor atau H2 bloker injeksi setiap 12 jam perlu
diberikan untuk mencegah stress induced gastritis.11
4) Cairan dan nutrisi
Kondisi pasien harus dipertahankan dalam status normoglikemia dan
normovolemia. Sehingga kebutuhan cairan dan nutrisi perlu diperhatikan.11
f) Profilaksis
Individu yang mengalami kontak dengan pasien meningitis meningokokal
harus diberi antibiotik profilaksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah
ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal atau rifampicin 2 x 600 mg selama 2 hari.
Profilaksis tidak dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus meningitis

49
meningokokal sudah lebih dari 2 minggu. Imunisasi S. pneumoniae, H. influenza dan
N.meningitidis diketahui menurunkan insiden meningitis secara bermakna.27
2. Meningitis Tuberkulosis
Penatalaksanaan segala bentuk TB sistem saraf pusat harus terdiri dari 4 obat
yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid pada dua bulan pertama dan
dilanjutkan dengan dua obat yaitu isoniazid dan rifampisin selama minimal 10 bulan.
Kortikosteroid (deksametason atau prednisolon) harus diberikan pada seluruh pasien TB
meningitis tanpa melihat derajatnya.24 Prednisone 2-3 mg/KgBB/hari (dosis normal),
20mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2-4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1
mg/KgBB/hari selama 1-2 minggu. Deksametason IV (terutama bila ada edema otak)
dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam, bila membaik dapat diturunkan sampai 4 mg setiap 6
jam.18

Gambar 2.9 Obat Anti Tuberkulosis pada Meningitis Tuberkulosis dan Resistensi Obat TB34

Rifampicin tidak menembus BBB dengan baik sebagaimana konsentrasinya di


LCS hanya 10-20% dari yang dicapai di plasma.33 Hal ini tidak menggambarkan jumlah
Rifampcin ‘aktif’; di plasma, sebagian besar Rifampicin terikat protein dan hanya bagian
yang tidak terikatlah yang aktif, sementara di LCS, hanya sedikit protein terikat. 10-20%
Rifampisin yang didapatkan di LCS dapat dibandingkan dengan kadar obat yang aktif
pada plasma. Sehingga banyak penelitian yang meneliti tentang efikasi dari Rifampicin

50
dengan dosis yang lebih tinggi pada Meningitis TB. Berdasarkan beberapa penelitian,
dosis 15 mg/kg tidak cukup tinggi dan sebaiknya dievaluasi untuk dosis yang lebih tinggi
pada Meningitis TB.34
3. Meningitis Viral
Kebanyakan meningitis viral jinak dan self-limited. Biasanya hanya perlu terapi
suportif dan tidak memerlukan terapi spesifik lainnya. Terapi simptomatik dengan
antipiretik, analgesik, dan antiemetik merupakan manajemen yang dibutuhkan pada
meningitis virus tanpa komplikasi. Keputusan untuk memulai terapi antibiotik sebagai
kemungkinan meningitis bakteri adalah sesuatu yang penting, terapi antibiotik empiris
harus dipertimbangkan.35
Asiklovir harus digunakan pada kasus yang dicurigai HSV (pasien dengan lesi
herpes), dan biasanya digunakan secara empiris pada kasus-kasus parah karena ensefalitis
atau sepsis. Terapi anti-HIV dimulai ketika anamnesis dan riwayat pasien sangat
mendukung adanya infeksi HIV dan atau dikonfirmasi oleh pemeriksaan yang
membuktikan infeksi tersebut. Gansiklovir untuk infeksi CMV pada beberapa kasus
parah dengan kultur CMV positif atau infeksi kongenital, atau pada pasien-pasien
immunocompromised.35
Pada keadaan tertentu antiviral spesifik mungkin diperlukan. Pada pasien dengan
defisiensi imun (seperti agammaglobulinemia), penggantian imunoglobulin dapat
digunakan sebagai terapi infeksi kronik enterovirus.35
4. Meningitis Jamur36
a. Candida
Terapi awal pilihan untuk meningitis Candida adalah amfoterisin B (0,7 mg /
kg / hari). Flusitosin (25 mg/ kg qid) biasanya ditambahkan dan disesuaikan untuk
mempertahankan tingkat serum 40-60 mcg / mL, di berikan selama 6-12 minggu,
bergantung dari efektivitas terapi dan adanya efek samping.Terapi Azole dapat
digunakan untuk follow-up terapi atau pengobatan supresi. Peniadaan material
prostetik (misalnya, shunts ventriculoperitoneal) adalah komponen penting dalam
terapi meningitis Candida yang berkaitan dengan prosedur bedah saraf.

51
b. Coccidioides immitis
Amfoterisin B merupakan drug of choice meningitis oleh coccidioides,
diberikan secara intravena dan intratekal. Dosis inisial intratekal 0,1 mg untuk 3 kali
suntikan pertama. Selanjutnya dosis ditingkatkan 0,25 – 0,5 mg 3-4 kali setiap
minggu. Efek samping pemberian secara intratekal seperti meningitis aseptic, nyeri
punggung dan tungkai. Mikonazol dapat diberikan secara intravena dan intratekal
pada pasien yang tidak dapat mentorelansi dosis tinggi dari Amfoterisin B.6
Referensi lain menyebutkan flukonazol oral (400 mg/hari) sebagai terapi untuk C.
immitis ataupun dengan dosis yang lebih besar flukonazol (1000 mg/hari) atau
dengan kombinasi flukonazol dan amfoterisin B.

G. KOMPLIKASI37,38
1. Hidrosefalus
2. Edema otak
3. Abses otak
4. Syok septik
5. Pnemonia (karena aspirasi)
6. Koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC)
Secara umum, komplikasi meningitis bakterial jika dibagi berdasarkan waktu adalah:
1. Komplikasi akut, yaitu peningkatan tekanan intrakranial, koma
2. Komplikasi kronis, yaitu gangguan kejiwaan, kejang berulang, defisit neurologis fokal,
abnormalitas serebrovaskular, tuli sensorineural, dan gangguan intelektualitas.

H. PROGNOSIS
Penderita meningitis dapat sembuh, sembuh dengan cacat motorik/mental atau
meninggal, hal ini tergantung dari :
1. Umur penderita
2. Jenis kuman penyebab
3. Berat ringan infeksi
4. Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan kuman terhadap antibiotika yang diberikan

52
6. Adanya dan penanganan penyulit
Individu yang memiliki faktor risiko prognosis buruk adalah pasien immunocompromised,
usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah leukosit CSS yang rendah, dan infeksi
pneumokokus.39 Gangguan fungsi kognitif terjadi pada sekitar 27% pasien yang mampu
bertahan dari MB.19

I. POST TRAUMATIC MENINGITIS


Meningitis setelah cedera kepala merupakan kasus yang jarang, dengan laporan
insiden 0.38-2.03%. Walaupun jarang, Post Traumatic Meningitis (PTM) menyebabkan
kondisi yang buruk. 40
Waktu antara trauma dan infeksi biasanya singkat, namun ada beberapa kasus yang
didiagnosis tahunan setelah trauma. Namun rata-rata interval trauma-infeksi pada penelitian
Plaisire et al. berkisar 2 minggu.40 Selain itu, jenis trauma yang menyebabkan meningitis
adalah fraktur kepala yang dapat dilihat dari gambaran radiologi pada 33-89% kasus.
Sedangkan berdasarkan penelitian lain, menggunakan CT Coronal, semua pasien meningitis
dengan trauma kepala ditemukan fraktur pada semua kasus yang sesuai dengan lokasi
robekan duramater ketika dilakukan operasi.41 Khasnya, fraktur kepala dengan robekan dura
menyebabkan fistula LCS. Hal ini selanjutnya menyebabkan masuknya mikroorganisme ke
dalam kompartemen cranial. Fistula LCS terdapat pada 16.5-80% kasus dan ketika ada, hal
ini merupakan penemuan penting karena sebagai portal infeksi. Ketika kebocoran LCS dapat
membaik secara spontan, pasien tetap berisiko PTM jika saja tidak ada proses penyebuhan
dura dan fraktur mungkin hanya tertutup dengan jaringan fibrous yang sangat kecil atau
parenkim otak.43

53
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien didiagnosa dengan meningitis bakterialis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang. Ditemukan gejala meningitis dari anamnesis, yaitu demam,
penurunan kesadaran, nyeri kepala, kaku leher, dan tanda peningkatan intrakranial yaitu muntah
proyektil sebelum pasien mengalami penurunan kesadaran. Pada pasien ini faktor risiko seperti
riwayat OMSK, rhinosinusitis kronik, infeksi gigi, TB disangkal, imunisasi dikatakan lengkap,
tidak ada riwayat bepergian ke daerah epidemis meningitis. Namun pasien pernah mengalami
trauma kepala sekitar 1,5 tahun yang lalu. Hal ini bisa menjadi faktor risiko meningitis.
Walaupun angka kejadian meningitis post trauma dilaporkan sangat langka yaitu insidensinya
0.38-2.03% dan waktu antara trauma dan meningitis bervariasi, mulai dari beberapa hari hingga
tahunan. Lebih spesifiknya mengenai trauma kepala pada pasien yaitu apakah trauma kepala
terbuka dan berat perlu digali lagi. Mengingat, khususnya fraktur kepala dengan robekan dura
menyebabkan fistula LCS. Hal ini selanjutnya menyebabkan masuknya mikroorganisme ke
dalam kompartemen cranial. Riwayat operasi kepala (-)
Saat masuk RS, pasien mengalami penurunan kesadaran. Pemeriksaan fisik pada pasien
ini didapatkan kesadaran saat masuk E2M5V2 (GCS 9) dengan TD 100/70 mmHg N 110 x/menit
RR 20 x/menit Suhu 400C. Tidak didapatkan adanya infeksi fokal seperti OMSK AD maupun
AS, rhinosinusitis kronik, TB Paru. Tanda rangsang meningeal, yaitu kaku kuduk, brudzinski I,
brudzinski II, dan kernig sign (+) pada pasien ini. Hal ini menguatkan diagnosis mengarah ke
meningitis. Tidak didapatkan lateralisasi, pemeriksaan nervus cranialis sulit dinilai karena pasien
mengalami penurunan kesadaran. Refleks fisiologis (+) normal, refleks patologis tidak
ditemukan kelainan.
Penurunan kesadaran akibat metabolik dapat dipertimbangkan seperti Ketoasidosis
Diabetekum (KAD), Sepsis, Ensefalopati Uremikum, Hipoksia Iskemik Ensefalopati maupun
Ensefalopati Hepatikum. Dari anamnesis keluarga pasien menyangkal adanya riwayat penyakit
kencing manis, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit dan penyakit jantung. Hasil lab kimia klinik
pada pasien pun tidak mengalami peningkatan yang berarti. Beberapa hari berikutnya dilakukan
pemeriksaan darah ulang, didapatkan ureum sedikit meningkat namun tidak signifikan SGOT
SGPT juga meningkat, namun dengan kadar yang tidak terlalu tinggi, seharusnya tidak

54
menyebabkan penurunan kesadaran. Hasil AGD menunjukkan adanya alkalosis respiratorik
terkompensasi sebagian. pH >4.45, paCO2 <35, HCO3-<22, BE <-2.
Terdapat beberapa jenis meningitis yaitu meningitis bakteri, meningitis virus,
meningitis tuberkulosis, dan meningitis jamur. Penegakkan diagnosis etiologi apakah pasien ini
meningitis bakteri, virus, tuberkulosis, ataupun jamur dapat ditegakkan secara pasti dengan
melakukan lumbal pungsi dan melakukan pemeriksaan makroskopis, mikroskopis, dan kultur
liquor cerebrospinal. Gold standard untuk diagnosis meningitis adalah lumbal pungsi, namun
ada beberapa kontraindikasi untuk dilakukan lumbal pungsi, yaitu papil edem, penurunan
keasadaran yang dalam dan progressif, kecurigaan lesi desak ruang, defisit neurologis fokal.

Pemeriksaan penunjang yang terlebih dulu dilakukan adalah CT Scan Kepala dengan
non kontras pada awal masuk. Hal ini untuk menyingkirkan adanya lesi pada intrakranial yang
menyebabkan penurunan kesadaran pada pasien. Hasilnya tidak menunjukkan tanda-tanda
adanya perdarahan, lesi iskemik, SOL/neoplasma, malformasi vaskuler. Setelah dilakukan CT
Scan kepala tanpa kontras, ini tidak dilakukan lumbal pungsi, karena keterbatasan fasilitas. Hasil
yang normal pada CT Scan Kepala tidak menyingkirkan diagnosis.

55
Kadar elektrolit pada pasien normal. Tidak terdapat hiponatremia seperti yang sering
didapatkan pada pasien meningitis. Jika terdapat hiponatremia, maka harus dikoreksi karena jika
tidak dikoreksi dapat memperparah peningkatan tekanan intrakranial.
Saat perawatan hari ke-6 di bangsal, kesadaran pasien kembali menurun, kemudian
dilakukan pemeriksaan CT Scan Kepala dengan kontras karena dicurigai terdapat komplikasi
abses cerebral atau hidrosefalus.
Walaupun tidak dilakukan lumbal pungsi untuk mendiagnosis meningitis beserta
etiologinya, dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan diagnosis
etiologi pada pasien ini, pada anamnesis tidak didapatkan riwayat batuk lama yang disertai
penurunan berat badan dan demam malam hari. Ini dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis
meningitis tuberkulosis. Meningitis viral lebih sering ditemukan pada bayi dan anak-anak,
sedangkan meningitis jamur kejadiannya jarang, biasanya ditemuka pada orang yang
immunocompromised. Selain itu, adanya demam tinggi lebih sering terjadi pada meningitis
bakterial. Pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis meningitis bakteri yaitu dari
pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis. Hal ini menunjukkan adanya infeksi,
dominasi neutrofil segmen menunjukkan kemungkinan infeksi bakteri.
Terapi yang diberikan pada pasien yaitu cairan kristaloid: IVFD RL 500cc/8jam,
antibiotik broad spectrum: Inj. Ceftriaxon 2x1 gr, Inj. Deksametason 3x7.5 mg, Inj. Ketorolac
3x30 mg, Inj. Citicolin 2 x 500 mg, Inj. Omeprazole 1x40 mg, Inj. Manitol 20% 3x150 cc, Inj.
Paracetamol 3x500 mg. Cairan dan nutrisi harus dipenuhi pada pasien agara tetap normovolemik
dan normoglikemi.
Pada pasien ini, pada hari perawatan pertama hingga ke-6 diberikan antibiotik
Ceftriaxon saja, hal ini mempertimbangkan karena hanya dengan antibiotik tunggal, pasien
sudah respon dilihat dari klinisnya kesadaran membaik, hingga sadar penuh dan tidak demam.
Kemudian, dosis yang digunakan adalah 2x1 gr, hal ini sesuai dengan teori bahwa antibiotik
pada pasien dengan kecurigaan meningitis bakterialis pada usia 18 tahun adalah ceftraxon dan
bisa ditambahkan vancomycin. Dosis yang digunakan pun sudah sesuai yaitu 2 gr/hari selama 7-
10 hari. Namun pada hari perawatan ke-6 di bangsal, pasien kembali demam dan penurunan
kesadaran. Kemudian ditambahkan antibiotik Vancomycin dan Metronidazole. Penambahan
Vancomycin sudah sesuai dengan teori.

56
Deksametason diberikan untuk menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid
yang secara tidak langsung dapat menurunkan risiko edema serebral, peningkatan tekanan
intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Dosis yang dianjurkan
adalah 0.15 mg/KgBB (10 mg pada dewasa) setiap 6 jam selama 2-4 hari. pada pasien ini
diberikan dexametason 3x7.5 mg. Jika dihitung berdasarkan berat badan dengan estimasi BB 50
kg, maka dosis Dexametason 7.5 mg masih sesuai, namun pemberiannya setiap 3x sehari kurang
sesuai teori.
Citicolin berfungsi sebagai neuroprotektan, sebagaimana patofisiologi dari meningitis,
terjadi iskemi pada cerebral, maka citicolin berfungsi menurunkan hidrolisis phospholipid dan
pelepasan asam arakhnoid, sehingga membatasi pembentukan reactive oxygen species (ROS).
Dosis yang diberikan sudah sesuai yaitu 500 mg hingga 2000 mg perhari.
Manitol 20% sebanyak 150 cc diberikan pada pasien untuk menurunkan tekanan
intrakranial, sediaan manitol 20% yang digunakan yaitu 100 gr dalam 500 cc. Sesuai teori,
diberikan dengan dosis awal 1-1,5 g/kg berat badan selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5
gr/kg setiap 4-6 jam. Sedangkan pasien ini mendapat terapi manitol 20% dengan dosis 3x30 mg
(150cc).
Pada pasien penurunan kesadaran, sering terjadi gastritis induced stress, atau stress
ulcer, maka dari itu Omeprazole sebagai Proton Pump Inhibitor berfungsi untuk mencegah
terjadinya ulkus yang kemudian akan memperparah kondisi. Ketorolac sebagai analgetik NSAID
terapi simptomatis pada pasien, karena pasien mengeluh nyeri kepala dengan VAS 5-6. Selain
itu, kondisi nyeri dan cemas dapat meningkatkan kebutuhan metabolisme otak, aliran darah otak,
dan tekanan intrakranial.
Prognosis pada pasien secara keseluruhan buruk, karena pada pasien terdapat gangguan
kesadaran dan relatif lamanya mendapatkan pengobatan.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Clarke C, Howard R, Rossor M, Shorvon S. 2009. Neurology: A queen square textbook.


London: Blackwell Publishing.

2. Ropper AH, Brown RH. 2005. Adam and Victor’s principles of neurology. 8th ed. New
York: McGraw-Hill.

3. Kumar, A. 2005. Bacterial meningitis. Department of Pediatrics and Human


Development Michigan State University. College of Medicine and En Sparrow Hospital.

4. Bidstrup, C., Andersen, P.H., Skinhøj, P., Andersen, A.B. 2002. Tuberculous meningitis
in a country with a low incidence of tuberculosis: still a serious disease and a diagnostic
challenge. Scand J Infect Dis; 34:811e4.

5. Keane, J. 2005. TNF-blocking agents and tuberculosis: new drugs illuminate an old topic.
Rheumatology (Oxford);44:714e20

6. Nicola, P., Susanna, E. 2012. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in


children. Department of Maternal and Pediatric Sciences. Università degli Studi di
Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore Policlinico. Via Commenda
9, 20122 Milan, Italy. Tuberculosis: 92; 377-383

7. Nofareni. 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi Terjadinya
Meningitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU; 1-13.

8. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian
Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.

9. Fenichel, GM. 2005. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier
saunders; h. 106-13.

10. Razonable, R.R et al. 2012. Meningitis. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview (diakses tanggal 01 Januari
2019).

11. Meisadona, G., Soebroto, A.D., Estiasari, R. 2015. Tinjauan Pustaka: Diagnosis dan
Tatalaksana Meningitis Bakterialis. Cermin Dunia kedokteran. Vol. 42 (1): 15-19.

12. Hoffman, O., Weber, J.R. 2009. Pathophysiology and treatment of bacterial meningitis.
Ther Adv Neurol Disord: 2(6) 401-412.

13. Pfeiffer, C. M., Avery, L. M. 2000. Central Nervous System Infections dalam: Textbook
of Therapeutics: Drug and Disease Management 7th Edition. 56-1
– 56-24. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,

58
14. Nau, R., Bruck, W. 2002. Neuronal injury in bacterial meningitis: mechanisms
and implications for therapy. Trends Neurosci 25: 38–45.

15. Prober, C.G. 2004. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman,
Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; h. 2038-47.

16. Pudjiadi, A.H et al. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jilid Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 189-96.

17. Thigpen, M.C., Whitney, C.G., Messonnier, N.E., Zell, E.R., Lynfield, R. et al. 2011.
Emerging Infections Programs Network. N Engl J Med; 364:2016-25.

18. Perdossi. 2016. Meningitis Bakterialis. Dalam: Panduan Praktik Klinis Neurologi.
Jakarta.

19. Van De Beek, D., De Gans, J., Tunkel, A.R, Wijdicks, E.F.M. 2006. Community-
acquired bacterial meningitis in adults. N Eng J Med.;354: 44-53.

20. Tunkel, A.R., Hartman, B.J., Kaplan, S.L., Kaufman, B.A., Roos, K.L. 2004. Practice
guidelines for management of bacterial meningitis. Clinical Infectious Diseases;39:1267-
84.

21. Joffe, A.R. 2007. Lumbar puncture and brain herniation in acute bacterial meningitis: a
review. J Intensive Care Med 22: 194_207.

22. Hasbun, R., Abrahams, J., Jekel, J. and Quagliarello, V.J. 2001. Computed tomography
of the head before lumbar puncture in adults with suspected meningitis. N Engl J Med;
345: 1727_1733.

23. Oliver, W.J., Shope, T.C. and Kuhns, L.R. 2003. Fatal lumbar puncture: fact versus
fiction _ an approach to a clinical dilemma. Pediatrics; 112: e174_e176.

24. Kemenkes RI. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta.

25. Bhimraj A. 2012. Acute community-acquired bacterial meningitis in adults: An evidence-


based review. Clev Clin J of Med.;79: 393-400.

26. Molyneux, E., Njiram’madzi. 2015. Prevention and Treatment of Bacterial Meningitis in
Resource Poor Settings. The Pediatric Infectious Disease Journal 34(4): 441-443.

27. Van De Beek D, Brouwer M, Thwaites G. 2012. Advances in treatment of bacterial


meningitis. Lancet;380: 1693-702.

59
28. Pokdi Neuroinfeksi Perdossi. 2012. Neuroinfeksi. Surabaya: Airlangga University Press.

29. Adibhatla RM, Hatcher JF, Dempsey RJ. 2002. Citicoline neuroprotective mechanism in
cerebral ischemic. J. Neurochemistry;80: 12-23.

30. Adibhatla RM, Hatcher JF. 2005. Cytidine 50-diphosphocholine (CDPcholine) in stroke
and other CNS disorders. Neurochem Res;30: 15–23.

31. Adibhatla, R.M., Hatcher, J.F. 2003. Citicoline Decreases Phospholipase A2 Stimulation
and Hydroxyl Radical Generation in Transient Cerebral Ischemia. Journal of
Neuroscience Research;73:308–315.

32. Cho HJ, Kim YJ. 2009. Efficacy and safety of oral citicoline in acute ischemic stroke:
drug surveillance study in 4,191 cases. Methods Find Exp Clin Pharmacol;31:171–6.

33. Donald, P.R. 2010. Cerebrospinal fluid concentrations of antituberculosis agents in adults
and children. Tuberculosis (Edinb);90:279–92.

34. Davis, A., Meintjes, G., Wilkinson, R.J. 2018. Treatment of Tuberculous Meningitis and
Its Complications in Adults. Curr Treat Options Neurol: 20:
35. Wan, Cordia. 2018. Viral Meningitis Medication. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1168529-medication#6 (diakses pada tanggal 24
Januari 2019)

36. Koppel BS. 2007. Bacterial, Fungal,& Parasitic infections of the Nervous System.
Dalam: Current Diagnosis and Treatment Neurology. USA; The McGraw-Hill
Companies. p403-08, p421-23.

37. Frank, B.A.I., Alikor, E.A.D. 2013. Long Term Neurological Complications of Bacterial
Meningitis in Nigerian Children. Niger J Paed; 40 (3): 295-298.

38. Lindvall, P., Ahlm, C., EriLCSon, M., Gotherfors, L., Naredi, S., Koskinen, L.O.D. 2004.
Reducing Intracranial Pressure May Increase Survival among Patients with Bacterial
Meningitis. Clinical Infectious Disease; 38: 384-90.

39. Fernandes D, Pereira J, Silvestre J, Bento L. 2014. Acute bacterial meningitis in the
intensive care unit and risk factors for clinical outcomes: Retrospective study. J Crit Care
29:347-50.

40. B Plaisier, C Yowler, W Fallon, M Likavec, J Anderson, M Malangoni. 2004. Post-


traumatic Meningitis: Risk Factors, Clinical Features, Bacteriology, and Outcome. The
Internet Journal of Neurosurgery:2(1).

60
41. Farrell VJ, Emby DJ. 1993. Meningitis following fractures of the paranasal sinuses:
Accurate, non-invasive localization of the dural defect by direct coronal computed
tomography. Surg Neurol;37:378-382.

42. Friedman JA, Ebersold MJ, Quast LM. 2001. Post-traumatic cerebrospinal fluid leakage.
World J Surg;25:1062-1066.

61

Anda mungkin juga menyukai