Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA GAGAL


GINJAL

PEMBIMBING :
dr. Lila, Sp.An, M.Kes

DISUSUN OLEH :
Hani Aqmarina
NIM : 030.10.120

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI


RUMAH SAKIT TNI AL MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 18 AGUSTUS 20 SEPTEMBER 2014
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan ............................................................................................. 2


BAB II Pembahasan ............................................................................................. 3
2.1.

Definisi

.................................................................................. 3

2.2.

Epidemiologi ................................................................................. 3

2.3.

Klasifikasi

2.4.

Anatomi dan Fisiologi ginjal .......................................................... 5

2.5.

Patofisiologi ................................................................................. 8

2.6.

Penatalaksanaan anestesi umum pada gagal ginjal

................................................................................. 4

...................... 9

2.6.1. Evaluasi preoperatif ......................................................... 9


2.6.2. Premedikasi

..................................................................... 11

2.6.3. Intaoperatif

..................................................................... 12

2.6.4. Postoperatif

..................................................................... 23

BAB III Kesimpulan ............................................................................................. 24


Daftar pustaka

............................................................................................. 25

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi adalah suatu tindakan menahan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Ada beberapa anestesi yang
menyebabkan hilangnya kesadaran sedangkan jenis lain hanya menghilangkan nyeri dari bagian
tubuh tertentu dan pemakainya sadar.1 Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.2 Saat pasien akan dianestesi, sangat penting
untuk memantau keadaan umum, status generalis dan tanda-tanda vital pasien karena sewaktuwaktu dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan secepatnya.1
Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anestesia yang setidaknya sebagian
tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal, modifikasi
dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Semua obat anestetik
baik abar (volatil) atau suntikan berpotensi mengganggu fungsi ginjal baik secara langsung atau
tidak langsung akibat perubahan tekanan darah sistemik, curah jantung, lepasan hormon anti
diuretik (ADH), jenis cairan infus yang sedang digunakan, gangguan sistem renin-angiotensinaldosteron.3
Referat ini akan

mendiskusikan tentang

pendekatan

dan perhatian

terhadap

penatalaksanaan anestesi umum pada pasien dengan gagal ginjal.

BAB II
2

PEMBAHASAN
GAGAL GINJAL
2.1.

DEFINISI
Gagal ginjal akut merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal
yang terjadi secara mendadak yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen dan non
nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguria.4
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.4
Kriteria penyakit ginjal kronik:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan manifestasi :
a. Kelainan patologis
b. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan , dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
Tabel . Kriteria Penyakit Ginjal Kronik.4

2.2.

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru
gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.4

2.3.

KLASIFIKASI GAGAL GINJAL


3

Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.4
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
(140 umur) x berat badan
LFG (ml/mnt/1,72m2) :

x 0,85 (pada perempuan)


72 x kreatinin plasma

Derajat

Penjelasan

LFG
(ml/mn/1,73m2

)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90
meningkat

Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan

60 89

Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang

30 59

Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat

15 29

Gagal ginjal

<

15

atau

dialisis
Tabel . Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit.4
Penyakit
Tipe Mayor
Penyakit Ginjal Diabetic
Diabetes Tipe 1 dan 2
Penyakit
Ginjal
non 1. Penyakit glomerular (penyakit autoimun,
Diabetic

infeksi sistemik, obat, neoplasma)


2. Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah
besar, hipertensi, mikroangiopati)
3.

Penyakit

tubulointerstisial

(pielonefritis

kronik, batu, obstruktif, keracunan obat)


4. Penyakit kistik
Penyakit pada transplantasi

(ginjal polikistik)
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
4

Penyakit recurrent (glomerular)


Transplant glomerulopathy
Kaslifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi. 4

Risk

Kriteria Laju Fitrasi


Kriteria Jumlah Urine
Peningkatan serum kreatinin <0,5 ml/kg/jam selama 6 jam

Injury

1,5kali
Peningkatan serum kreatinin <0,5 ml/kg/jam selama 12

Failure

2kali
jam
Peningkatan serum kreatinin <0,5 ml/kg/jam selama 24
3kali

atau

kreatinin jam atau anuria selama 12

355mol/l
jam
Gagal ginjal akut persisten;

Loss

kerusakan total fungsi ginjal


ESRD

selama lebih dari 4 minggu


Gagal ginjal terminal lebih

dari 3 bulan
Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiative Group.4

2.4.

ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL


Komponen vaskular

Arteriol aferen : membawa darah ke glomerolus

Glomerolus : suatu kuntum kapiler yang menyaring plasma bebas protein ke dalam
komponen tubulus

Arteriol eferen : membawa darah dari glomerolus

Kapiler peritubulus : mendarahi jaringan ginjal; terlibat dalam pertukaran dengan


cairan di lumen tubulus

Gambar 1. Nefron ginjal

Komponen tubular

Kapsula Bowman : mengumpulkan filtrat glomerolus

Tubulus proksimal : reabsorpsi dan sekresi tak terkontrol bahan-bahan tertentu terjadi

Ansa Henle : membentuk gradien osmotik di medula ginjal yang penting bagi
kemampuan ginjal untuk menghasilkan urin dengan konsentrasi garam

Tubulus distal dan duktus koligentes : reabsorpsi terkontrol beragam Na + dan H2O
serta sekresi K+ dan H+ terjadi disini; cairan yang meninggalkan duktus koligentes
adalah urin, yang masuk ke pelvis ginjal.

Komponen kombinasi vaskular/tubular

Aparatus jukstaglomerolus : menghasilkan bahan-bahan yang berperan dalam kontrol


fungsi ginjal.

Ginjal melakukan fungsi-fungsi spesifik berikut, yang sebagian besar membantu


mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal.
1) Mempertahankan keseimbangan H2O di tubuh
2) Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui regulasi
keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-fluks osmotik masuk
atau keluar sel, yang masing-masing dapat menyebabkan pembengkakan atau
penciutan sel yang merugikan.
3) Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk natrium (Na +),
klorida (Cl-), kalium (K+), kalsium (Ca2+), ion hidrogen (H+), bikarbonat (HCO3-),
fosfat (PO43-), sulfat (SO42-), dan magnesium

(Mg2+). Bahkan fluktuasi kecil

konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat berpengaruh besar. Sebagai
contoh, perubahan konsentrasi K+ CES dapat menyebabkan disfungsi jantung yang
mematikan.
4) Mempertahankan volume plasma yang tepat, penting dalam pengaturan jangka
panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran regulatorik ginjal
dalam keseimbangan garam (Na+ dan Cl-) dan H2O.
5) Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh yang tepat dengan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- di urin.
6) Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir (sisa) metabolisme tubuh,
misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk maka bahan-bahan
sisa ini menjadi racun, terutama bagi otak.
7) Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan, pestisida, dan
bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
8) Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel darah
merah.

9) Menghasilkan renin, suatu hormon enzim yang memicu suatu reaksi berantai yang
penting dalam penghematan garam oleh ginjal
10) Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.5
Ginjal adalah organ ekskresi pada sebagian besar produk sisa metabolisme termasuk
beberapa agen anestesi. Homeostasis, bergantung pada ginjal lebih dari organ lain di tubuh.
Cairan, elektrolit, dan keseimbangan asam-basa berkaitan secara langsung dengan fisiologi
ginjal. Tiga proses dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi glomerolus, reabsorpsi tubulus, dan
sekresi tubulus.6
Filtrasi adalah tahap pertama pada pembentukan urin. Lebih dari 500 ml darah masuk
ke ginjal per menit memproduksi sekitar 120 ml filtrat per menit. Sebagian besar filtrat
dipengaruhi oleh tekanan darah glomerolus, kapiler, dan permeabilitas dinding kapsula. Tiga
perbedaan tekanan yang menentukan keefektifan tekanan filtrasi, yaitu tekanan hidrostatik
glomerolus, tekanan osmotik koloid darah, tekanan hidrostatik kapsula.6
Tekanan osmotik koloid kapsula ketika terdapat penyakit ginjal mungkin menjadi
faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerolus yang memungkinkan molekul protein
difusi

secara mudah dan masuk ke dalam kapsula Bowmans. Tekanan hidrostatik

glomerolus juga dipengaruhi oleh perubahan tekanan darah sistemik akibat efek anestesi.
99% filtrat diabsorpsi melalui dinding tubulus yang berlekuk-lekuk, ansa Henle, dan duktus
kolektivus bagian distal. Air, glukosa, asam amino, sodium, klorida, bikarbonat, dan partikel
yang lainnya diabsorbsi. Osmosis, difusi dan transpot aktif terjadi pada fase ini. Lebih dari
80% reabsorpsi berlangsung pada tubulus proksimal. 6
Regulasi dari keseimbangan asam-basa adalah fungsi penting dari ginjal. Ginjal dapat
mengubah permeabilitas dari sel tubulus untuk mensekresi hidrogen dan ammonia. Hal ini
mengubah keasaman urin yang berlangsung terutama di tubulus distal. Potassium juga
diekskresikan di tubulus distal. Obat-obatan seperti penicilin dan para-aminohippuric acid
(PAH) juga disekresikan oleh tubulus. Sekresi tubulus dapat dinilai dengan mengukur jumlah
PAH yang diekskresikan di urin.Volume urin yang diekskresikan ditentukan oleh hormon
ADH dan aldosteron. Hormon-hormon ini meregulasi sejumlah air yang diabsorpsi oleh
tubulus distal. 6

2.5.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadinya kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
9

gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemi, gangguan keseimbangan elektolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal atau transplantasi
ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.4

2.6. PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA GAGAL GINJAL


2.6.1. Evaluasi Preoperatif
Tujuan dari persiapan preoperatif pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah untuk
mengidentifikasi kelainan yang sudah ada sebelumnya dalam rangka meminimalkan resiko dari
anestesi dan pembedahan. Hal ini memerlukan pendekatan yang melibatkan dokter anestesi,
dokter bedah dan dokter ahli ginjal. Karena gagal ginjal kronik melibatkan seluruh sistem organ,
maka penting untuk mengidentifikasi kelainan pada organ yang sudah ada sebelumnya.7
Beberapa hal yang harus di perhatikan pada preoperatif pasien dengan gagal ginjal
adalah:

Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus
dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya dibutuhkan.

Evaluasi fisik dan laboratorium harus difokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan.
Tandatanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan
volume intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat
pasien sebelum dan sesudah dialisis mungkin membantu.

Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis.

Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status
asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.

EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau
hipokalimia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi.

Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien


dibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi fraksi
10

dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan abnormal
pembuluh darah, dan cairan perikard adanya gesekan bisa tidak terdengar pada auskultasi
pada pasien dengan efusi perikard.

Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia
berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi diperkirakan.

Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan regional
anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat menentukan
keadekuatan dialisis.

Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi


insulin perioperatif.

Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati otonom pada beberapa
pasien bisa mempengaruhi pasien-pasien GGK untuk terjadinya aspirasi pada perioperatif

Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal.
Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk
mencegah toksisitas obat.8

2.6.2. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi. Obat-obatan untuk premedikasi
antara lain:
1) Barbiturat
Kini barbiturat jarang digunakan untuk premedikasi, kecuali phenobarbital yang
masih dipakai pada pasien epilepsi anak-anak dan dewasa. Sebanyak 24 persen
phenobarbital di eksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan.8
2) Belladonna Alkaloid (beserta substitusinya)
Sekitar 20-50 persen dosis atrofin ditemukan tanpa mengalami perubahan di urin
atau dalam bentuk metabolit aktif. Hal yang sama juga ditemukan pada glycopyrrolat.
Sehingga dapat terjadi akumulasi obat-obat tersebut pada pasien dengan gagal ginjal,
11

pada dosis tunggal tidak menyebabkan masalah klinis. Skompolamin hanya 1/10 yang
ditemukan dalam urin dalam bentuk atrofin . Karena efek terhadap sistem syaraf pusat
yang tidak menguntungkan, skopolamin sebaiknya tidak digunakan sebagai pengganti
atrofin atau glycopyrrolate saat dosis tinggi atau dosis ulangan obat anti muskarinik
diperlukan. Sebagai premedikasi skopolamin memuaskan untuk pasien gagal ginjal.8
3) Senyawa Phenothiazin dan Benzodiazepin
Phenothiazin dan derivat benzodiazepine dimetabolime di hepar sebelum
dieksresi. Sehingga, setiap peningkatan nyata durasi atau intensitas aksinya yang
berhubungan dengan pemberian adalah karena efek sistemik umum daripada efek spesifik
obat tersebut. Kerugian dari derivat phenotiazin adalah blokade alpha adrenergik,
sehingga dapat menyebabkan ketidak stabilan kardiovaskular pada pasien yang baru
menjalani dialisa yaitu terjadi hipovolemi.8

4) Opioid
Ikatan protein dengan morfin menurun sekitar 10% pada gagal ginjal. Masalah ini
tidak mengakibatkan suatu perubahan penting dalam fraksi bebas morfin, karena
biasanya ikatan protein hanya kecil (23-42%) dengan volume distribusi yang besar.
Morfin hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar menjadi bentuk inaktif yaitu
glukoronida, yang diekstresikan lewat urin.Sehingga pemberian pada pasien dengan
gagal ginjal terutama pada dosis analgesia tidak menyebabkan depresi yang memanjang.
Meskipun demikian, terdapat laporan depresi respirasi dan kardiovaskular pada pasien
dengan gagal ginjal pada pemberian morfin dosis tunggal 8 mg. Distribusi, ikatan protein
dan eksresi meperidin mirip dengan morfin. Akumulasi metabolit normeperidin dapat
menghasilkan efek eksitasi sistem syaraf pusat yaitu terjadinya konvulsi. Fentanyl juga
dimetabolisme dihepar, hanya 7 % dieksresi tanpa mengalami perubahan diurin. Ikatan
dengan protein plasma moderat (fraksi bebas, 19 persen) dan volume distribusinya besar.
Sehingga fentanyl cocok untuk premedikasi pada pasien dengan gagal ginjal.
12

Farmakokinetik dan farmakodinamik sufentanil dan alfentanil tidak berbeda secara


signifikan pada pasien dengan pengurangan fungsi ginjal dibandingkan dengan individu
normal.8
Promethazin, 12.5-25 mg intra muskular, berguna sebagai tambahan sedasi dan anti
emetika. Profilaksis untuk aspirasi diberikan H 2 blocker diindikasikan pada pasien mual,
muntah atau perdarahan saluran cerna. Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat
intravena juga berguna dalam mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan
menurunkan resiko aspirasi. Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus
dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.9
2.6.3. Intraoperatif

Posisi
Posisi pasien untuk prosedur pembedahan sering merupakan kompromi antara
posisi yang dapat ditoleransi pasien, struktural serta fisiologi dan apa yang diperlukan tim
pembedahan untuk dapat mengakses target anatomi pembedahan. Tubuh memberi respon
terhadap perubahan posisi adalah berdasarkan respon terhadap gravitasi. Sebagian besar
perubahan yang berhubungan dengan gravitasi adalah pada darah dan distribusinya
didalam sistem vena, paru dan arteri. Terdapat efek penting pada mekanik dan perfusi
paru yang berhubungan dengan gravitasi. Beberapa kondisi khusus selama operasi salah
satunya adalah posisi pembedahan dapat menyebabkan kegagalan pertukaran gas karena
menurunkan cardiac output sehingga menyebabkan hipoventilasi pada pasien yang
bernafas spontan dan juga dapat mengurangi kapasitas residual fungsional.8
Pada pasien nepherektomi posisi pasiennya adalah posisi Flank. Posisi flank
adalah posisi berbaring lateral dimana tungkai yang terletak dibawah di fleksikan dan
tungkai yang letak diatas flekstensikan. Pada pasien dengan nephrektomi kiri, posisi
pasien adalah dengan miring ke kanan dengan ekstremitas yang di fleksi lateral pada
pinggul adalah kanan.8
Jika ekstremitas bawah difleksikan lateral pada pinggul dan membiarkan
posisinya dibawah jantung, darah akan terkumpul pada pembuluh darah yang distensi
dari tungkai teruntai disebabkan gravitasi menginduksi peningkatan tekanan vena dan
13

akhirnya terjadi stasis vena. Membalut tungkai dan paha dengan pembalut adalah metode
yang umum untuk mengatasi penumpukan pada vena. Posisi fleksi pada ekstremitas
bawah di lutut dan pinggul dapat secara parsial atau seluruhnya menyumbat aliran darah
vena ke vena cava inferior yang disebabkan oleh angulasi pembuluh darah pada ruang
poplitea dan ligamentum inguinale atau oleh kompresi paha pada perut yang gemuk.8
Posisi tubuh pasien ke arah lateral akan mempengaruhi sistem pernafasan.
Ventilasi paru-paru pada bagian yang lebih rendah akan menurun sedangkan perfusi akan
meningkat sehingga menghasilkan ventilasi-perfusi yang tidak seimbang. Posisi ini juga
akan mempengaruhi compliance paru, volume tidal, kapasitas vital, dan kapasitas
residual fungsional. Masalah ini akan diperparah jika pasien memiliki riwayat penyakit
pernafasan.

Saturasi oksigen mungkin dapat menurun selama operasi namun dapat

diatasi dengan meningkatkan fraksi inspirasi oksigen atau dengan menerapkan sejumlah
tekanan positif ekspirasi akhir (Positive end expiratory pressure). Gravitasi menyebabkan
pergeseran struktur mediastinum mendorong dinding dada ke bawah sehingga
mengurangi volume paru dependen. Viscera abdomen mendorong diafragma ke arah sisi
bawah cephal jika aksis vertebra horizontal. Gangguan hepatik pada vena cava dan
pergeseran mediastinum dapat lebih menurunkan aliran balik vena dan cardiac output
sehingga menyebabkan perlunya pemantauan kardiovaskular selama pasien dalam posisi
seperti itu.10

Gambar 1. Posisi flank: posisi pasien pada pembedahan ginjal

Neuropati pada pleksus servikal, pleksus brachial, dan saraf peoneal umum
mungkin terjadi pada posisi lateral karena peregangan atau kompresi pada saraf ini. Maka
14

harus dihindari peregangan pada leher yang terlalu berlebihan dan posisi bahu harus
netral. Pasien sebaiknya diletakkan dimeja operasi dengan bantalan dipunggung dan
difiksasi untuk meyakinkan bahwa posisi pasien tidak berubah selama pembedahan.10

Gambar 2. Fiksasi tubuh pasien pada pembedahan ginjal

Monitoring
Pemantauan rutin parameter kardiovaskular dan pernapasan sangat penting karena
risiko masalah terjadi karena posisi pasien saat operasi. Pemantauan invasif tekanan
darah dan tekanan vena sentral dapat digunakan. Keputusan ini tergantung pada kondisi
pre-operasi pasien dan risiko operasi.10
Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara
menyeluruh. Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada
pasien yang hipertensi yang tidak terkontrol. Monitoring invasif yang agresif
diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal berat yang sedang
menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini mungkin memiliki tingkat morbiditas 10
kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa penyakit ginjal.10

Induksi

1) Obat-obat anastesi inhalasi


Agen-agen volatile
Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien-pasien dengan disfungsi renal
karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol
15

tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal.
Walaupun pasien dengan gangguan ginjal ringan dan sedang tidak menunjukkan
perubahan cepat atau distribusi, percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada
anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya
blood gas portion coefficient atau kurangnya MAC. Enflurane dan sevoflurane (dengan
<2 L/min aliran gas) disarankan tidak baik untuk pasien-pasien dengan penyakit ginjal
yang terjadi pada prosedur panjang karena potensi akumulasi fluoride.9
Nitrous Oxide
Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50%
pada pasien-pasien dengan gagal ginjal dalam tujuan untuk meningkatkan penggunaan
O2 arteri pada keadaan anemia. Rasionalisasi ini bisa dilihat hanya pada pasien anemia
berat (Hb <7 gr/dL), bahkan pada peningkatan O2 dissolved mungkin terlihat persentasi
yang signifikan dari O2 arteri terhadap perbedaan O2 vena.9
2) Obat-obat anastesi intravena
Propofol & Etomidate
Farmakokinetik baik propofol dan etomidate tidak mempunyai efeknya secara
signifikan pada gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan protein dari etomidate pada
pasien hipoalbuminemia bisa mempercepat efekefek farmakologi.9
Barbiturat
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal sering terjadi peningkatan sensitivitas
terhadap barbiturat selama induksi walaupun profil farmakokinetik tidak berubah.
Mekanismenya dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan
dengan protein yang berkurang. Asidosis bisa menyebabkan agen-agen ini lebih cepat
masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi non ion pada obat.9
Ketamin
Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa
metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial
akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak
diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.9

16

Benzodiazepin
Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di
urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa
terlihat pada pasien-pasien hipoalbuminemia. Diazepam seharusnya digunakan berhatihati pada gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit aktifnya.9
Opioid
Banyak opioid yang biasanya digunakan pada manajemen anestesi (morfin,
meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa
metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak terpengaruh
oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah, kecuali morfin dan
meferidin, akumulasi metabolit biasanya tidak terjadi pada agen-agen ini. Akumulasi
morfin

(morfin-6-glucuronide)

dan

metabolit

meperidine

pernah

dilaporkan

memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal.


Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejangkejang. Farmakokinetik yang sering digunakan dari agonis-antagonis opioid (butorphanol
nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal ginjal.9
3) Obat pelumpuh otot dan antogonisnya
Anastesi umum dengan pelumpuh otot biasa digunakan pada pembedahan ginjal
terbuka atau laparaskopi.
Succinyl choline
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium
kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol
sebaiknya digunakan .Walaupun penurunan level pseudocholinesterase pernah dilaporkan
pada beberapa pasien uremik yang mengikuti dialisis, perlamaan signifikan dari blokade
neuromuscular jarang terlihat.9
Cisatracurium, Atracurium, dan Mivacurium
Mivacurium tergantung secara minimal pada ginjal untuk eliminasi. Efek yang sedikit
memanjang dapat dilihat karena menurunnya pseudokolinesterase plasma. Cisatracurium
dan atracurium didegradasi di plasma oleh eliminasi enzim hidrolisis ester dan nonenzim
17

Hofmann. Agen-agen tersebut mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada
pasien-pasien dengan gagal ginjal.9
Vecuronium dan Rucoronium
Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat
dieliminasi di urine. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya di perpanjang
sedikit pada pasien-pasien renal insufisiensi. Rocuronium secara primer dieliminasi di hati,
tapi perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.9
Curare
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60%
dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin. Peningkatan efek pemanjangan dilihat
pada dosis berulang pada pasien-pasien dengan gangguan renal yang signifikan. Dosis lebih
rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk rumatan agar pelumpuh
otot optimal.9
Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, dan Doxacurium
Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun
pancuronium di metabolisme di hati menjadi metabolit intermediate yang kurang aktif,
eliminasi paruh waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi
neuromuscular harus dimonitor ketat jika obat-obat ini digunakan pada fungsi ginjal
abnormal.9
Metocurine, Gallamine & Decamethonium
Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan
harus dihindari penggunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.9
4) Obat Vasopressor dan Antihipertensi
Pasien dengan penyakit ginjal biasanya hipertensi dan beresiko terjadi ketidak
stabilan kardiovaskular selama operasi. Hipertensi dapat menjadi masalah terutama pada
nephrektomi bilateral yang dapat menyebabkan hipertensi yang tidak terkontrol 1. Lebih
18

dari 90 persen thiazid dan 70 persen furosemid dieksresi oleh ginjal dan durasinya
diperpanjang pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.8
Propranolol hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar dan esmolol di
biodegradasi oleh estarase di sitosil sel darah merah, sehingga efeknya tidak diperpanjang
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.8
Obat-obatan kalsium antagonis seperti nifedipin, verapamil dan diltiazem
dimetabolisme dihepar dan menghasilkan produk inert, dapat diberikan pada pasien
dengan insufisiensi ginjal. Metildopa mempunyai durasi panjang disebabkan dieksresi
dalam urin tanpa mengalami perubahan, mekanisme aksi metildopa adalah dengan
mengurangi kadar sentral dan perifer norepinephrin, berinteraksi dengan obat anastesi
sehingga menyebab kan pengurangan MAC (Minimum Alveolar Consentration).
Guantihidin dieksresi hampir sempurna oleh ginjal, sebagian besar dalam bentuk aktif,
pemberiannya dapat mengurangi kadar norepinephrin perifer tapi sentral tidak
terpengaruh, MAC tidak terpengaruhi juga.8
Selama anastesi, jika pengurangan tekanan darah diperlukan, beberapa obat dapat
dipakai dengan aman. Trimethapan (Arfonad) merupakan obat ganglionic bloking yang
diterminasi oleh enzim daripada di eksresi oleh ginjal. Nitrogliserin dapat dipakai karena
cepat dimetabolisme dengan kurang dari 1% dieksresi dalam urin dalam bentuk yang
tidak berubah. Sodium nitroprusida digunakan sebagai obat hypotensi pada tahun 1920an.
Sianida adalah suatu perantara metabolisme sodium nitoprusida dengan thiosianat
sebagai produk akhirnya. Mengingat toksisitas sianida sebagai komplikasi terapi sodium
nitroprussid telah dijelaskan. Thisianat juga potensial toksik, waktu paruh thiosuanat
normalnya lebih dari 4 hari dan memanjang pada gagal ginjal. Hipoksia, nausea, tinnitus,
spasme otot, disorientasi dan psycosis telah dilaporkan pada kadar thiosianan melebihi 10
mg/ 100 mL. Sehingga sodium nitroprussid sedikit diperlukan untuk pemberian lama
daripada trimethapan atau nitroglycerin. Hydralazin aksinya lebih lambat daripada ketiga
obat tadi, tetapi sering dipakai pada pengendalian tekanan darah sesudah operasi. Aksinya
diakhiri oleh hidroksilasi dan glukorondiase di hepar, 15 persen diekresi diurin tanpa

19

mengalami perubahan. Eliminasi waktu paruh hidralazine memanjang pada pasien


uremia, sehingga pada pemberiannya harus hati-hati.8
Pemberian dosis tunggal intravena labetolol 0,5 mg/ kg, volume distribusi, klirens
dan waktu paruh eliminasi sama pada pasien stadium terminal dengan orang normal.
Esmolol dimetabolime di sel darah merah yaitu oleh sitosol esterase.8
Jika diperlukan pemberian vasopressor dapat diberikan, obat yang menstimulasi
langsung alpha adrenergik seperti phenylephrin efektif. Sayangnya pemberian
vasopressor ini menyebabkan pengaruh terhadap sirkulasi ginjal. Meskipun obat-obat
beta adrenergik seperti isoproterenol mempertahankan perfusi ginjal dan otak tanpa
mengakibatkan vasokontriksi ginjal, tetapi juga meningkatkan irratabilitas myocardial.
Sehingga jika memungkinkan adalah dengan mengganti dengan volume darah. Jika tidak
adekuat obat stimulasi alpha adrenergik atau dopamin dapat digunakan.8
5) Obat-obat Psikotropik
Inhibitor monoamin oksidase kadang-kadang dipakai pada pasien dengan
penyakit ginjal untuk menetralkan depresi mental. Ketidak stabilan kardiovaskular dapat
terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat-obatan tersebut. Efek obat-obat tersebut
pada pasien uremia tidak diketahui.8
Pertimbangan umum untuk managemen nyeri pada nyeri urogenital adalah
prinsipnya sama dengan penanggulangan nyeri ditempat lain. Untuk nyeri akut non
maligna, managemen medis merupakan pilihan pertama. Pengobatan narkotik dan non
narkotik seperti asetaminopen, aspirin dan NSAID lainnya indikasi untuk mengendalikan
nyeri akut. Saat pemberian oral tidak memungkinkan, pemberian parenteral narkotik
dapat dipakai. Pasien dikontrol dengan anagesi epidural atau infus epidural terus menurus
mengahasilkan efek analgesi segmental dan mencegah atelektasik.8
Penggunaan narkotik lipofilik versus hydrofilik tergangung pada segmen kateter
epidural berada. Penggunaan analgesi intravena merupakan pilihan berikutnya. Meperidn
sebaiknya dihindari pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal sebab waktu paruh
20

normeperidin (metabolit meporidin dengan ambang batas kejang rendah dan menginduksi
eksitabiltas sistem syaraf pusat) panjang. Hydromorphan merupakan opiat semi sintetik
dianjurkan pada pasien dengan gagal ginjal karena tidak adanya metabolit. Efek
antiprostaglandin dari NSAID mempengaruhi pengaturan aliran darah ginjal pada pasien.
Sehingga pada pasien yang memerlukan NSAID dalam waktu panjang harus dimonitor
fungsi ginjalnya.8
Untuk mengendalikan nyeri kronik non maligna dan maligna melalui tekhnik
intervensi. Infus terus menurus opiat secara epidural menyebabkan fluktuasi kadar obat
dalam cairan serebrospinal minimal. Sebelum pemasangang cateter epidural, nyeri harus
ditangani secara agresif dengan morfin, methadon dan fentanyl transdermal.8
6) Obat-obat Reversal
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine &
pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal
memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas. Masalah-masalah
dengan tidak adekuatnya reversal dari blokade neuromuscular biasanya dihubungkan
dengan faktor-faktor lain.9

Pemeliharaan
Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek
minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan kompensasi
yang prinsipil dalam mekanisme anemia. Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan.
Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan karena mereka
memiliki efek yang sedikit pada cardiac output. Nitrous oxide harus digunakan secara
hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang lemah dan jangan digunakan pada
pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk pemberian
100% oksigen. Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari
normeperidine. Morfin boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan.9
Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal.
Ventilasi spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan
21

asidosis respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat
menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium di darah
yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva disosiasi
hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan
aliran darah otak.9

Terapi Cairan
Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan

penggantian cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan dengan
kehilangan cairan yang banyak atau pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik,
koloid, atau keduanya. Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang
membutuhkan banyak cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat
digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena intoleransi glukosa yang berhubungan
dengan uremia. Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells. Transfusi darah
tidak memiliki efek atau bisa berguna pada pasien gagal ginjal yang hendak menjalani
transplantasi karena transfusi mungkin dapat mengurangi ketidakcocokan setelah
transplantasi ginjal pada beberapa pasien.9
Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anestesia yang setidaknya sebagian
tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal, modifikasi
dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Efek sistemik
azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini. Observasi
terakhir mungkin bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat, penetrasi ke otak
lebih besar oleh karena perubahan pada sawar darah otak, atau efek sinergis dengan toxin
yang tertahan pada gagal ginjal.9
Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pasien dengan gangguan
ginjal, antara lain:
a) Muscle relaxants : Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium,Pipecurium,
Doxacurium, Alcuronium
b) Anticholinergics : Atropine, Glycopyrrolate
c) Metoclopramide
22

d) H2 reseptor antagonists : Cimetidine, Ranitidine


e) Digitalis
f) Diuretics
g) Calcium Channel antagonis : Nifedipine, Diltiazem
h) Adrenergic blockers : Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol
i) Anti Hipertensi : Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine,
Nitroprusside (Thiocyanate)
j) Antiarrhytmics : Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide
(Genetically determined)
k) Bronchodilators : Terbutalline
l) Psychiatric : Lithium
m) Antibiotics : Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin
n) Anticonvulsants : Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone.9
2.6.4. POSTOPERATIF
Tujuan management postoperative adalah pemeliharaan normovolemia, kestabilan
sistem kardiovaskular, oksigen tambahan untuk mengimbangi kadar hemoglobin yang
rendah, dan analgesik yang tepat.6 Operasi terbuka biasanya berhubungan secara
signifikan dengan nyeri postoperatif.10 Nyeri postoperatif biasanya ringan sampai
sedang.7 Analgesi yang bagus penting untuk mobilisasi awal dan mengurangi insidensi
komplikasi respirasi sesudah operasi. Infus dengan campuran dosis rendah anastesi lokal
dan opioid memberikan pengurangan nyeri yang terbaik, meskipun pemberian secara
bolus dapat juga dilakukan. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan
gagal ginjal dimana fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat dipakai dengan hatihari, pengurangan pada dosis dan interval waktu diantara dua dosis harus dibuat pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (biasanya 0,5 mg bolus dengan interval waktu 10
menit). NSAIDs harus dihindari pada pasien ini disebabkan potensial renal toxicity dan
erosi traktus gastrointestinal.10

23

BAB III
KESIMPULAN
Ginjal adalah organ ekskresi pada sebagian besar produk sisa metabolisme
termasuk beberapa agen anestesi. Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama
anestesia yang setidaknya sebagian tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi.
Semua obat anestetik baik abar (volatil) atau suntikan berpotensi mengganggu fungsi
ginjal baik secara langsung atau tidak langsung akibat perubahan tekanan darah sistemik,
curah jantung, lepasan hormon anti diuretik (ADH), jenis cairan infus yang sedang
digunakan, gangguan sistem renin-angiotensin-aldosteron. Dengan adanya kerusakan
ginjal, modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit
aktif.

24

DAFTAR PUSTAKA
1. Syuhada

N.

Anestesi

pada

pasien

dengan

penyakit

ginjal.

Available

at:

http://www.scribd.com/doc/167586764/Referat-anestesi-Pada-Pasien-Ginjal. Accessed on
September 7th, 2014.
2. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002.p.34-98.
3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Fisiologi Ginjal. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
2nd Ed. Jakarta: FKUI; 2009. p. 21.
4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata
M, Setiati S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta: InternaPublishing;
2010. p. 1035-40.
5. Sherwood L. Sistem Kemih. In: Yesdelita N, editor. Fisiologi Manusia: dari Sel ke
Sistem. 6th Ed. Jakarta: EGC; 2011. p. 554.
6. Kohl

JL.

Anesthesia

for

Patient

with

Renal

Failure.

Available

at:

http://www.aana.com/newsandjournal/Documents/renal_failure_1085_p431.pdf.
Accessed on September 7th, 2014.
7. Rang ST, West NL, Howard J, Cousins J. Anaesthesia for Chronic Renal Disease and
Renal Transplantation. EAU-EBU 2006. doi:10.1006/j.eeus.2006.08.005.
8. Roizen MF, Foss JF, Fischer SP. Preoperative evaluation. In: Miller RD,
editor. Anesthesia. 5th Edition. Philadelphia: Churchill-Livingstone; 2000.
9. GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,. Clinical
Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006. p: 742754
10. Hart,

E.

M.

2006.

Anaesthesia

for

Renal

Surgery. Available

at:

http://www.anaesthesiauk.com/. Accessed on September 7th, 2014

25

26

Anda mungkin juga menyukai