Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

AKUT KIDNEY INJURY


(AKI)

Untuk memenuhi laporan praktik Keperawatan Medikal Bedah IV


Periode 6 Maret 2017 – 11 Maret 2017
Ruang 26 i RSSA Malang

Oleh :
Ningrum Wahyu Setyowati
NIM. 1401100020

KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN MALANG
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN MALANG
2017
AKUT KIDNEY INJURY

A. PENGERTIAN
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48
jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) > 0.3 mg/dL (> 25 μmol/L) atau
meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama > 6 jam
(Molitoris et al, 2007).
Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan
ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan
(Eric Scott, 2008).
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit (Kasper et al, 2005).
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI
“klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease atau AoCKD). Dahulu, hal di
atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam,
sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada
berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan
membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas
kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit
yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003). Atas dasar hal
tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan
intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI.
Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman
masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal.
Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1)
kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar
kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis
mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang
seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal berdasarkan
kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker)
penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja (Roesli, 2007).
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi AKI bedasarkan kriteria RIFFLE terbagi menjadi 5 jenis yaitu:
Kategori Peningkatan Cr Serun Penurunan LFG Kriteria UO
Risk ≥ 1,5 kali nilai dasar > 25% nilai dasar < 0,5 ml/Kg/jam
selama ≥ 6 jam
Injury ≥ 2,0 kali nilai dasar > 50% nilai dasar < 0,5 ml/Kg/jam
selama ≥ 12 jam
Filure ≥ 3,0 kali nilai dasar > 75% nilai dasar < 0,3 ml/Kg/jam
atau ≥ 4 mg/dl dengan selama ≥ 24 jam atau
kenaikan akut ≥ 0,5 anuria selama ≥ 12
mg/dl jam
Loss Peurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dar 4 minggu
End Stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Klasifikasi AKI berdasarkan AKIN yaitu sebagai berikut:


Tahap Peningkatan Cr Serun Kriteria UO
1 ≥ 1,5 kali nilai dasar atau < 0,5 ml/Kg/jam selama ≥ 6
peningkatan ≥ 0,3 mg/dl jam
2 ≥ 2,0 kali nilai dasar < 0,5 ml/Kg/jam selama ≥ 12
jam
3 ≥ 3,0 kali nilai dasar atau ≥ 4 mg/dl < 0,3 ml/Kg/jam selama ≥ 24
dengan kenaikan akut ≥ 0,5 mg/dl, jam atau anuria selama ≥ 12
atau inisiasi terapi pengganti ginjal jam

(Sinto, 2010)

C. ETIOLOGI
Dalam Sinto (2010), etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan
patogenesis AKI, yaitu:
1. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal dengan angka kejadian 55%). AKI prarenal disebabkan
oleh perfusi glomerulus yang abnormal sehingga menurunkan LFG. Biasanya disebabkan
karena:
a. Hipovolemia, yang disebabkan oleh
 Kehilangan darah /plasma : perdarahan, luka bakar.
 Kehilangan cairan melalui gastrointestinal, kulit, ginjal (diuretik, penyakit ginjal
lain), pernafasan, pembedahan.
 Redistribusi dari intravaskuler ke ekstravaskuler (hipoalbuminemia, sindrom
kompartemen ketiga, pankreatitis, peritonitis, kerusakan otot yang luas, sindrom
distres pernafasan).
 Kekurangan asupan cairan.
b. Vasodilatasi sistemik
 Sepsis
 Sirosis hati
 Anestesi/blokade ganglion
 Reaksi anafilaksis
 Vasodilatasi oleh obat
c. Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung
 Renjatan kardiogenik,infark jantung
 Gagal jantung kongestif (disfungsi miokard, katup jantung)
 Tamponade jantung
 Distrimia
 Emboli paru
d. Kegagalan autoregulasi
 Vasokontriksi praglomerulus oleh karena sepsis, hiperkalsemia, sindrom
hepatorenal, obat-obat seperti inflamasi non steroid (AINS), adrenalin,
noradrenalin, siklosporin, dan ampoterisin B
 Vasodilatasi pascaglomerulus disebabkan oleh obat-obat penghambat
angiotensinconverting enzyme (ACE), dan antagonis reseptor AT1 angiotensin.

2. Penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
renal/intrinsik, dengan angka kejadian 40%). Banyak penyebab AKI renal yang
disebabkan karena berkurangnya aliran darah ginjal ke seluruh bagian atau sebagian
ginjal. Biasanya karena terjadi penyempitan atau stenosis arteri renalis sehingga
mengurangi aliran darah ke seluruh ginjal. Penyakit yang biasanya menyebabkan AKI
renal:
a. Nekrosis tubular akut
 Pasca iskemik: syok, sepsis, bedah jantung terbuka, bedah aorta
 Nefrotoksik:
1. Nefrotoksin eksogen: Antibiotik seperti aminoglikosida, amfoterisin B,
media kontrasteriodinasi, logam berat seperti sisplatin, biklorida merkuri,
arsen, siklosporin seperti takrolimus, pelarut seperti karbon tetraklorida,
etilene glikol, methanol.
2. Nefrotoksin endogen: pigmen intratubular seperti hemoglobin, myoglobin,
protein intratubular seperti mieloma multiple, kristal intratubular seperti
asam urat.
b. Penyakit vascular atau glomerulus ginjal primer
 Glomerulonefritis progresif cepat atau pascastreptokokus akut
 Hipertensi maligna
 Serangan akut pada gagal ginjal kronis yang terkait-pembatasan garam atau air
c. Nefritis tubulointerstisial akut
 Alergi beta laktam
 Infeksi

3. Penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal, dengan angka
kejadian 5%). AKI pascarenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup,
namun alirannya dalam saluran kemih terhambat. Obstruksi aliran ini akan
mengakibatkan kegagalan filtrasi glomerulus dan transfor tubulus sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan yang permanen, tergantung berat dan lamanya obstruksi.
Begitu terjadi hambatan aliran urin, terjadi kenaikan yang cepat tekanan hidrolik tubulus
proksimal, yang kemudian di kompensasi dengan vasodilatasi arteriol eferen ginjal yang
di mediasi oleh produksi prostaglandin, prostaksiklin dan prostaglandin E2. Biasanya
karena penyakit:
a. Obstruksi uretra: katup uretra, striktur uretra
b. Obstruksi aliran keluar kandung kemih: hipertrofi prostat, karsinoma
c. Obstruksi ureter bilateral/unilateral: intraureter (batu, bekuan darah), ekstraureter
(fibrosis retroperitoneal, neoplasma kandung kemih, prostat, atau serviks, cedera).
d. Kandung kemih neurogenik

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular seperti
yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:
Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular,
bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh medulla
ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi
pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan peningkatan endhotelial dan
kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang
menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi pembuluh dengan aktivasi leukosit dan
berpotensi terjadi inflamasi.
Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh
apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate
glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus menyebabkan
mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk meningkatkan
kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai hasil kerjasama
vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga menyebabkan mediator
vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi endothelial-leukosit
(Bonventre, 2008).

E. TANDA DAN GEJALA


Menurut, Sinto (2010) tanda dan gejala dari AKI adalah:
1. Tanda awal: oliguria, azotemia, dan (jarang terjadi) anuria
2. Demam dan menggigil, yang mengindikasikan infeksi, komplikasi umum dari AKI
3. Tanda selanjutnya: ketidakseimbangan elektrolit, asidosis metabolik, dan efek berat lain
saat pasien semakin uremik dan disfungsi ginjal mengganggu sistem tubuh lainnya:
a. Kardivaskular: hipertensi, hipotensi, aritmia, cairan berlebihan, gagal jantung,
edema sistemik, anemia, perubahan mekanisme penggumpalan
b. Sistem saraf pusat (centran nervous system – CNS) sakit kepala, mengantuk,
iritabilitas, konfusi, neuropati periferal, sawan, koma
c. Kutaneus: kekeringan, pruritus, pucat, purpura, beku uremik (jarang terjadi)
d. GI: anoreksia, mual, muntah, diare, atau konstipasi, stomatitis, pendarahan,
hematemesis, selaput lendir kering, napas uremik.
e. Respiratorik: respirasi kusmaul, edema pulmoner

F. KOMPLIKASI
Menurut Sinto (2010), pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan
secara konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan
pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast
yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast
eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan
pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI,
seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah


pemeriksaan urin residu pasca berkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung
dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto
polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum
jelas, namun penyebab pra dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut
terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik,
seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Kasper, 2005).

H. PENATALAKSAAN
Berikut merupakan penatalaksaan yang dapat diberikan pada pasien dengan AKI:
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Dharmeizar
(2008) seperti pada tabel berikut:
2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat-obatan
tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat
Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa
Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih
baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang
berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya
mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis.
Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada
pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada
penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah: (Dharmeizar, 2008)
a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan
dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan
pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah,
lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan
oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat,
dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau
tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut
dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi
cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22%
kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan
dapat menyebabkan toksisitas (Sinto, 2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga
dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan
manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena
bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah.
Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam (Sinto,
2010)
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata
laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin
dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-
ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya,
pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Respons dopamin juga sangat
tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta
abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga
beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal”
seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin
dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti
iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain.
Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk
pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki
hemodinamik dan fungsi ginjal (Sinto, 2010).
3. Dialisis
Menurut Sinto (2010), indikasi dialisis pada pasien dengan AKI adalah sebagai berikut:
a. Ekspansi volume yang tidak dapat dikelola dengan diuretik
b. Refrakter terhadap terapi medis hiperkalemia
c. Koreksi parah gangguan asam-basa yang refrakter terhadap terapi medis
d. Parah azotemia (BUN> 80-100)
e. Uremia

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Fokus Pengkajian (Dongoes, 2000)
a. Sistem Pernafasan (B1): Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas
amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah muda (edema paru).
b. Sistem Kardiovaskuler (B2): hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,
eklampsia, hipertensi akibat kehamilan), disritmia jantung, nadi lemah/halus,
hipotensi ortostatik(hipovalemia), DVI, nadi kuat, hipervolemia, edema jaringan
umum (termasuk area periorbital mata kaki sakrum), pucat, kecenderungan
perdarahan.
c. Sistem Persyarafan (B3): Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom
“kaki gelisah”, gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat
kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/ asama basa, kejang, faskikulasi
otot, aktifitas kejang.
d. Sistem Perkemihan (B4): Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi, poliuria
2-6 liter/hari (kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria 12-21 hari (fase
akhir), disuria, BAK ragu-ragu, BAK dengan dorongan, dan retensi
(inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung, diare atau konstipasi, riwayat
HPB, batu/kalkuli, perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat,
berawan. Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari).
e. Sistem Pencernaan (B5): Peningkatan berat badan (edema), penurunan berat badan
(dehidrasi), mual, muntah, anoreksia, nyeri uluhati. Perubahan turgor
kulit/kelembaban, edema (umum, bagian bawah).
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges dkk (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien AKI
adalah:
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
b. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan odema sekunder:
volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
c. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah.
d. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui
alkalosis respiratorik.
e. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.

3. Intervensi Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
 Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi
 Kriteria hasil: Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu
pengisian kapiler
 Intervensi:
1. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R/ Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
2. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin
angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
3. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
4. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

b. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder:


volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O
 Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan
 Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
 Intervensi:
1. Monitor status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan
dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
R/ Sebagai acuan penanganan efektif
2. Batasi masukan cairan
R/ Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon
terhadap terapi
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R/ Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan
cairan
4. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama
pemasukan dan haluaran
R/Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

c. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
 Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
 Kriteria hasil: Menunjukan BB stabil
 Intervensi:
1. Awasi konsumsi makanan / cairan
R/ Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
2. Perhatikan adanya mual dan muntah
R/ Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau
menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
3. Berikan makanan TKTP
R/ Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
4. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R/ Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
5. Berikan perawatan mulut sering
R/ Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam
mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
d. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui
alkalosis respiratorik
 Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
 Intervensi:
1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R/ Menyatakan adanya pengumpulan sekret
2. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R/ Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
3. Atur posisi senyaman mungkin
R/ Mencegah terjadinya sesak nafas
4. Batasi untuk beraktivitas
R/ Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


 Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga
 Kriteria hasil : Mempertahankan kulit utuh, menunjukan perilaku/ teknik untuk
mencegah kerusakan kulit
 Intervensi:
1. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya
kemerahan
R/ Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan
pembentukan dekubitus / infeksi.
2. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R/ Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas jaringan
3. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R/ Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
4. Ubah posisi sesering mungkin
R/ Menurunkan tekanan pada odema, jaringan dengan perfusi buruk untuk
menurunkan iskemia
5. Berikan perawatan kulit
R/ Mengurangi pengeringan , robekan kulit
6. Pertahankan linen kering
R/ Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
7. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan
tekanan pada area pruritis
R/ Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
8. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R/ Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada
kulit
DAFTAR PUSTAKA

Bonventre, Joseph, M.D., PhD. 2007. Pathophysiology of Cy. Nephrology rounds Volume 6
Issue 7.
Dharmeizar, Marbun, MBH. 2008. Makalah Lengkap The 8th Jakarta Nephrology &
Hypertension Course and Symposium on Hypertension. Jakarta: Pernefri.
Dongoes, M.E., Marly, F.M., & Alice, C.G. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan:
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson. J.L., 2005.
Harrison’s principle of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill Inc.
Molitoris BA, Levin A, Warnock DG, et al. 2007. Acute Kidney Injury Network. Improving
Outcomes From Acute Kidney Injury. J Am Soc Nephrol.
Roesli R. Kriteria “RIFLE” Cara yang Mudah dan Terpercaya untuk Menegakkan Diagnosis
dan Memprediksi Prognosis Gagal Ginjal Akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):18-
24.
Schrier, R.W., Wang, W., Poole B., Mitra, A. 2004. Acute renal failure: definitions,
diagnosis, pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest.
Scott, Eric. 2008. Identifying Acute Kidney Injury In High Risk Patients. Scotland: AGE
Health MR Publication.
Sinto, Robert, Ginova, Nainggolan. 2010. Acute Kidney Injury :Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 6p Nomor: 2 Pebruari 2010

Anda mungkin juga menyukai