LAPORAN KASUS
ACUTE KIDNEY INJURY
Disusun Oleh :
dr. Alystha Gunawan
Pembimbing :
BAB 1
PENDAHULUAN
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut
(GGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi
yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens.1 Beberapa laporan dunia
menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada
pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia
berkisar 25% hingga 80%.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
mana saja. ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE
yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau
penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan
fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam-barkan prognosis gangguan ginjal,
seperti yang terlihat pada tabel 1.5,7
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,
atau >4 mg/dL >24 jam atau
dengan kenaikan anuria >12 jam
akut > 0,5 mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
bulan
AKI Prarenal
I . Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular Kerusakan jaringan
(pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran kemih (diuretik,
hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar)
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal/intrinsik
I . Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi aneurisma,
vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)
- Glomerulonefritis, vaskulitis
AKI Pascarenal
I . Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, kegana-san, darah
Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan tahun 2005-
2006, didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis (42%), disusul
dengan gagal jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik (PGK) (8%), luka bakar dan
8
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang
merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang
dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi
penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit
(pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai.
Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal
bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.4,9 Upaya
pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan
komplikasi.
Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan
disfungsi saraf otonom.
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan
urin residu pasca-berkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan
pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos
abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.4,13
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum
jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut
terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik,
seperti glome-rulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.4
Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria di-agnosis AKI (Cr serum, LFG dan UO)
dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara lain (1) sangat tergantung dari
usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang berat; (2) tidak spesifik dan tidak dapat
membedakan tipe kerusakan ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomeru-lus atau tubulus);
11
(3) tidak sensitif karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG
dan tidak baik dipakai sebagai parameter pemulihan. Penghitungan LFG menggunakan rumus
berdasarkan kadar Cr serum merupakan perhitungan untuk pasien dengan PGK dengan asumsi
kadar Cr serum yang stabil. Perubahan kinetika Cr yang cepat terjadi tidak dapat “ditangkap”
oleh rumus-rumus yang ada. Penggunaan kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh faktor
prarenal dan sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik. Keseluruhan keadaan tersebut
menggambarkan kelemahan perangkat diagnosis yang ada saat ini, yang dapat berpe-ngaruh
pada keterlambatan diagnosis dan tata laksanasehingga dapat berpengaruh pada prognosis
penderita. Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI
secara dini sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab AKI,
menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis AKI. Penanda biologis dari
spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni
penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus (kid-ney injury molecule [KIM]-1, Na+/H+
exchanger isoform 3), penanda kerusakan tubulus (cystatin C, α-1 mikroglobulin, retinol-
binding protein, NAG).14,16
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa IL-18 dan
KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI; NGAL, IL-18, GST-
π , dan γ-GST merupakan penanda potensial diagnosis dini AKI; NAG, KIM-1 dan IL-18
merupakan penanda potensial prediksi kematian setelah AKI. Tampaknya untuk mendapatkan
penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel pemeriksaan beberapa penanda bio-logis.14,16
Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang beredar di Indonesia.9
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa
AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I),
upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana opti-mal penyakit dasar untuk mencegah pasien
jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah
prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal,
dan meng-hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan
harus dilakukan secara rutin.4,17 Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal
12
perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga
pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara
cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur
secara serial, serta elektrolit urin dan serum.18
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Se-buah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (tabel 5).
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat-obatan
tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-
ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa
Tabel 5. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI (Dimodifikasi)12,19
Katabolisme
Variabel Ringan Sedang Berat
Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih
baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang
berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya
mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis.
Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk
pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien
oligouri, masa rawat inap), bahkan peng-gunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko
ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78).20,21 Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada peng-gunaan diuretik sebagai bagian dari tata
laksana AKI adalah:17,21
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi.
Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan
isotonik 250-300 cc dalam 15-30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih
dahulu.
14
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal.
Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari
12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis
dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan
lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan
ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat
menyebabkan toksisitas. 17,21
Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana
AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah
dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan
efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi
dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap
pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan
kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara
umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti
hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya
dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam
15
penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat
bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia
mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian
dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan
klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin
tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi)
untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25 Obat-obatan lain seperti agonis
selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk
penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada
tata laksana AKI.25
Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai
dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan komplikasi juga dapat dilakukan
dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia
(K>6,5 mEq/l), asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edemaparu, ensefalopati
uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia berat
(Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat didialisis.26
Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk menghentikan terapi pengganti ginjal.
Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi yang menjadi indikasi sudah teratasi.
KOMPLIKASI TATALAKSANA
Kelebihan cairan - Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari)
intravaskular
- Penggunaan diuretik
16
Hiperfosfatemia
Batasi asupan fosfat (800 mg/hari) § Beri pengikat fosfat (kalsium-
asetat karbonat, aluminium HCl)
2.5. Pencegahan
Mengingat terapi AKI yang belum sepenuhnya me-muaskan, maka pencegahan sangat
penting untuk dilakukan. Walaupun demikian sampai saat ini, tidak ada pencegahan umum
yang dapat diberikan pada seorang dengan penyakit dasar yang dapat menyebabkan
AKI,seperti usia lanjut dan seseorang dengan PGK. Pencegahan AKI terbaik adalah dengan
memperhatikan status hemodinamik seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan
dan mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat mengganggu kompensasi
ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik
tidak terbukti efektif mencegah terjadinya AKI.14,19,27
18
BAB 3
KESIMPULAN
Acute kidney injury merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan klasifikasi
RIFLE/AKIN, yang selain menggambarkan berat penyakit juga dapat menggambarkan
prognosis kematian dan prognosis kebutuhan terapi pengganti ginjal. Diagnosis dini yang
meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit, dan komplikasi AKI mutlak diperlukan. Tata
laksana AKI mencakup upaya tata laksana etiologi, pencegahan penu-runan fungsi ginjal lebih
jauh, terapi cairan dan nutrisi, serta tata laksana komplikasi.
19
Daftar Pustaka
1 . Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of mortality
of patients with acute renal failure: what the analysis of two databases does and does
not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.
2 Roesli RMA. Epidemiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RMA, Gondodiputro
RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung:
Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan
Sadikin; 2008.p.27-40.
3 . Waikar SS. Declining mortality in patients with acute renal fail-ure, 1988 to 2002. J
Am Soc Nephrol. 2006;17:1143-50.
4 . Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi-tor. Harrison’s principle of internal
medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-5
5 . Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and clas-sification: time for
change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87 .
6 . Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al. Acute
kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney
injury. Critical Care. 2007,11:R31.
7 . Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan
diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi.
2007;7(1):18-24.
8 . Bagshaw SM, George C, Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN criteria for
acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant. 2008;23:1569-74.
9.
20