Anda di halaman 1dari 34

PORTOFOLIO KASUS MEDIK

ACUTE KIDNEY INJURY

E.C

INTOKSIKASI PUPUK UREA

Oleh

dr. AZDKIA YOLANDA PUTRI

PENDAMPING
dr.Tri Endang Wati
dr. Frans Otto Hasibuan

RUMAH SAKIT TINGKAT III

DR REKSODIWIRYO

PADANG

2019
iii
1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenaldengan gangguan


ginjal akut (GgGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom
dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan
insidens.1 Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara
0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit,
hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan
angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%.

Insidens di negara berkembang, khususnya di kom-unitas, sulit didapatkan


karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa
insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan
insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain
itu, juga disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya
populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya
jumlah prosedur transplantasi or-gan selain ginjal, intervensi diagnostik dan
terapeutik yang lebih agresif.1-3
2

1.2 Tujuan Penelitian


Sejalan dengan latar belakang di atas, portofolio ini dilaksanakan dengan
tujuan untuk mengetahui dan memahami tentang gangguan acute kidney injury
yang disebabkan intoksikasi pupuk urea.

1.3 Manfaat Penelitian

Diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut


diantaranya adalah sebagai berikut, yaitu : (1) bagi pembaca, bermanfaat untuk
menambah pengalaman pembaca mengenai manajemen acute kidney injury, (2)
bagi penulis, bermanfaat untuk menambah dan memperdalam wawasan khususnya
tentang manajemen acute kidney injury.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Kriteria Diagnosis

Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga


minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel,
diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/
tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. 4Penurunan tersebut dapat
terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI “klasik”) atau tidak normal
(acute onchronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagaigagal ginjal
akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan
batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai
kepus-takaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan
membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan
sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk
menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis
pasien.5,6
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initia-tive (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensivisdi Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney
diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut
beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata
mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi
penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang
seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal
4

berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda


biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di
mana saja. ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE
yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau
penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan
fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam-barkan prognosis gangguan ginjal,
seperti yang terlihat pada tabel 1.5,7

Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 20078

Kate- Peningkatan Penurunan LFG Kriteria UO


gori kadar Cr serum

Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,
atau >4 mg/dL >24 jam atau
dengan kenaikan anuria >12 jam
akut > 0,5 mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
bulan

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan


kegunaaan dalam aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan
perjalanan penyakit dan prediksi mortalitas.8
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi
nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE.
AKIN meng-upayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan
merekomendasikan (1) kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai
ambang definisi AKI karena dengan kenaikan tersebut telah didapatkan
peningkatan angka kematian 4 kali lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2)
5

penetapan batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut,


disepakati selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam kriteria
RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan kadar Cr serum;
(3) semua pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan
dalam AKI tahap 3; (4) pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai patokan
klasifikasi karena penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam
keadaan kritis. Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria
RIFLE secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3.
Kategori LE pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga
tidak dimasukkan dalam tahapan.6,7 Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat
pada tabel 2. Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan
modifikasi yang dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE gagal
menunjukkan peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN
dibandingkan dengan kriteria RIFLE.8

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN, 2005.8

Tahap Peningkatan kadar Cr serum Kriteria UO

1 >1,5 kali nilai dasar atau peningkatan <0,5 mL/kg/jam,


>0,3 mg/dL >6 jam
2 >2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
> 12 jam
3 >3,0 kali nilai dasar atau >4 mg/dL <0,3 mL/kg/jam,
dengan kenaikan akut > 0,5 mg/dL >24 jam atau
atau inisiasi terapi pengganti ginjal anuria >12 jam

2.2 Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis
AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit
yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih
6

(AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari


tempat terjadinya AKI.4,9 Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat
pada tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI (Dimodifikasi)4,10

AKI Prarenal

I . Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular Kerusakan jaringan
(pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran kemih
(diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar)

II. Penurunan curah jantung


- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik


- Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh:
barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
7

amphotericinB
- Hipoperfusi ginjal lokal
Stenosis a.renalis, hipertensi maligna

IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal


- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK
(penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin
(penggunaan OAINS, COX-2 inhibitor), vasokonstriksi arteriol aferen
(sepsis, hiperkalsemia,sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus,
radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. renalis

V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia

AKI Renal/intrinsik

I . Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi
aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)
8

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal


- Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)


- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemo-lisis, asam
urat, oksalat, mieloma)

IV. Nefritis interstitial


- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral,
jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik

V. Obstruksi dan deposisi intratubular


- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal

AKI Pascarenal
I . Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, kegana-san, darah
III. Obstruksi uretra
Striktur, katup kongenital, fimosis

Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan tahun 2005-2006,
9

didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis (42%), disusul dengan gagal
jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik (PGK) (8%), luka bakar dan gastroen-teritis akut
(masing-masing 3%).11

2.3 Pendekatan Diagnosis

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang
telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut
memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK.
Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain
riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis
(anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan
ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan
membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.4,9 Upaya
pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI,
dan penentuan komplikasi.

2.4 Pemeriksaan Klinis


Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan
UO dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan
penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat
ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular
venouspressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, penyakit hati
kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI
renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak
memperbaiki tanda AKI.
Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-
10

zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam


urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejaladan tanda
yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau
hipertensi maligna.4,9,12
AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostover tebra atau
suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih.
Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter
akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif dan pembesaran
prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat
pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan
pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI
prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang
transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif,
walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau
penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented“muddy brown”
granular cast, cast yang mengandung epiteltubulus yang dapat ditemukan pada
ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast
leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial.4,13
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel 4).
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah
ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga
mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin)
terakumulasi di dalam darah akibat vaso-konstriksi pembuluh darah ginjal dengan
fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin x
11

Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang dari
35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang
yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan
reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama
juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami
adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa
keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi
vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus
ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari
1%.13

Tabel 4. Kelainan Analisis Urin (Dimodifikasi)4,12,13


Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal

Urinalisis Silinder hialin Abnormal


Gravitasi spesifik >1,020 ~1,010
Osmolalitas urin (mmol/kgH20) >500 ~300
Kadar natrium urin (mmol/L) <10 (<20) >20 (>40)
Fraksi ekskresi natrium (%) <1 >1
Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35
Rasio Cr urin/Cr plasma >40 <20
Rasio urea urin/urea plasma >8 <3

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal


adalah pemeriksaan urin residu pasca-berkemih. Jika volume urin residu kurang
dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan
adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah
pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan,
MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.4,13
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab
renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil
disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal
12

non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glome-rulonefritis,


vaskulitis, dan lain lain.4

2.6 Peranan Penanda Biologis


Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria diagnosis AKI (Cr
serum, LFG dan UO) dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum
antara lain (1) sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan
fisik yang berat; (2) tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan
ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomeru-lus atau tubulus); (3) tidak
sensitif karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan
LFG dan tidak baik dipakai sebagai parameter pemulihan.
Penghitungan LFG menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr serum
merupakan perhitungan untuk pasien dengan PGK dengan asumsi kadar Cr serum
yang stabil. Perubahan kinetika Cr yang cepat terjadi tidak dapat “ditangkap” oleh
rumus-rumus yang ada. Penggunaan kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh
faktor prarenal dan sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik. Keseluruhan
keadaan tersebut menggambarkan kelemahan perangkat diagnosis yang ada saat
ini, yang dapat berpengaruh pada keterlambatan diagnosis dan tata
laksanasehingga dapat berpengaruh pada prognosis penderita. Dibutuhkan
penanda biologis ideal yang mudahdiperiksa, dapat mendeteksi AKI secara dini
sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab AKI,
menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis AKI. Penanda
biologis dari spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri
dari 3 kelompok yakni penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus (kid-
ney injury molecule [KIM]-1, Na+/H+ exchanger isoform 3),penanda kerusakan
tubulus (cystatin C, α-1 mikroglobulin, retinol-binding protein, NAG).14,16
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan
bahwa IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan
penyebab AKI; NGAL, IL-18, GST-π , dan γ-GST merupakan penanda potensial
diagnosis dini AKI; NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial
prediksi kematian setelah AKI. Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis
13

yang ideal, dibutuhkan panel pemeriksaan beberapa penanda bio-logis.14,16 Sampai


saat ini belum ada penanda biologis yang beredar di Indonesia.9

2.7 Tata Laksana


Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI
dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan
inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana
optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya.
Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia,
terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan
meng-hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran
cairan harus dilakukan secara rutin.4,17 Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan
dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup
berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara
ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin
dan serum.18

2.8 Terapi Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya


dan kondisi komorbid yang dijumpai. Se-buah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (tabel 5).

Tabel 5. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI (Dimodifikasi)12,19

Katabolisme
Variabel Ringan Sedang Berat

Contoh keadaan Toksik karena Pembedahan +/- Sepsis, ARDS,


klinis obat infeksi MODS
Dialisis Jarang Sesuai kebutuhan Sering
Rute pemberian Oral Enteral +/- pa- Enteral +/- pa-
nutrisi renteral renteral
14

Rekomendasi energi 20-25 kkal/kg 25-30 kkal/kg 25 - 30 kkal/kg


BB/hari BB/hari BB/hari
Sumber energi Glukosa 3-5 g/Glukosa 3-5 g/ Glukosa3-5 g/kg
kgBB/hari kgBB/hari BB/hari
Lemak 0,5-1 g/ Lemak 0,8-1,2
kgBB/hari kgBB/hari
Kebutuhan protein 0,6-1 g/kgBB/ 0,8-1,2 g/kgBB/ 1,0-1,5 g/kgBB/
hari hari hari
Pemberian nutrisi Makanan Formula enteral Formula enteral
Glukosa 50-70% Glukosa 50-70%
Lemak 10-20% Lemak 10-20%
AA 6,5-10% AA 6,5-10%
Mikronutrien Mikronutrien

2.9 Tatalaksana Komplikasi


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara
konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan
komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang
diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l),
asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edemaparu, ensefalopati
uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia
berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang
dapat didialisis.26 Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk
menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi
yang menjadi indikasi sudah teratasi.

Tabel 6. Tata Laksana Konservatif Komplikasi AKI4


KOMPLIKASI TATALAKSANA

Kelebihan cairan - Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari)
intravaskular
- Penggunaan diuretik

Hiponatremia - Batasi cairan (<1 L/hari)


15

- Hindari pemberian infus cairan hipotonik


Hiperkalemia - Batasi asupan K(<40 mmol/hari)
- Hindari suplemen K dan diuretik hemat K
- Beri resin potassium-binding ion exchange
- Dekstrosa 50% 50 cc + insulin 10 unit
- Natrium bikarbonat 50-100 mmol
- Salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg iv
- Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit

Asidosis Metabolik Batasi asupan protein (0,8-1 g/KgBB/hari)


Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar se-rum
bikarbonat plasma >15 mmol/L dan pH arteri >7,2)

Hiperfosfatemia Batasi asupan fosfat (800 mg/hari) § Beri


pengikat fosfat (kalsium-
asetat karbonat, aluminium
HCl)

Hipokalsemia Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10%


(10-20 cc)
Hiperurisemia Terapi kadar asam urat >15mg/dL

2.10 Pencegahan
Mengingat terapi AKI yang belum sepenuhnya me-muaskan, maka
pencegahan sangat penting untuk dilakukan. Walaupun demikian sampai saat ini,
tidak ada pencegahan umum yang dapat diberikan pada seorang dengan penyakit
dasar yang dapat menyebabkan AKI,seperti usia lanjut dan seseorang dengan
PGK. Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status hemodinamik
seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah penggunaan
zat nefrotoksik maupun obat yang dapat mengganggu kompensasi ginjal pada
seseorang dengan gangguan fungsi ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik
16

tidak terbukti efektif mencegah terjadinya AKI.14,19

Daftar Pustaka

1. Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of
mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two
17

databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.

2. Roesli RMA. Epidemiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RMA,


Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan
ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.27-40.

3. Waikar SS. Declining mortality in patients with acute renal fail-ure, 1988 to
2002. J Am Soc Nephrol. 2006;17:1143-50.

4. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi-tor. Harrison’s principle
of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.

5. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and clas-sification:
time for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87 .

6. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al.
Acute kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in
acute kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31.

7. Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk


menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal
Hipertensi. 2007;7(1):18-24.

8. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN


criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial
Transplant. 2008;23:1569-74.
18

9. Roesli RMA. Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli
RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan
gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.41-66.

10. Abuelo JG. Normotensive ischemic acute renal failure. N Engl J Med.
2007;357:797-805.

11. Roesli RMA, Martakusumah AH, Suryanto. Terapi dialisis pada penderita
sakit kritis dengan gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):12-17.

12. Markum HMS. Gagal ginjal akut. Dalam Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Ed 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. p.585-9.

13. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions,
diagnosis, pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest. 2004;114:5-14.

14. Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and outcomes of
acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:844-861.

15. Biesen WV, Vanholder R, Lameire N. Defining acute renal fail-ure: RIFLE
and Beyond. Clin J Am Soc Nephrol. 2006;1:1314–9.

16. Coca SG, Parikh CR. Urinary biomarkers for acute kidney injury:
perspectives on translation. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:481-490 .

17. Roesli RMA. Pengelolaan konservatif (suportif). Dalam Roesli RMA,


Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan
ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.79-96.
19

18 . Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrol-ogy & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.

19 . Gill N, Nally Jr JV, Fatica RA. Renal failure secondary to acute tubular
necrosis. Chest. 2005;128;2847-2863.

20 . Ho KM, Sheridan DJ. Meta-analysis of frusemide to prevent or treat acute


renal failure. BMJ. 2006;333(7565):420.

21 . Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar,


Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology &
hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI;
2008.p.9-10.

22 . Himmelfarb J, Joannidis M, Molitoris B, Schietz M, Okusa MD, Warnock D,


et al. Evaluation and initial management of acute kidney injury. Clin J Am Soc
Nephrol. 2008;3: 962-7.

23 . Sja’bani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam


Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology
& hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI;
2008.p.21-22.

24 . Loekman JS. Vasoactive drugs and the kidney. Dalam: Dharmeizar, Marbun
MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrol-ogy & hypertension
course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.13-17.

25 . Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure. Indian J Urol.
20

2000;16:175.

26 . Bellomo R, Ronco C. Indications and criteria for initiating renal replacement


therapy in the intensive care unit. Kidney Int. 1998; 53(66):S106-9.

27 . O’Leary MJ, Bihari DJ. Preventing renal failure in the critically ill:There are
no magic bullets-just high quality intensive care. Br Med J. 2001;322:1437-9.

PORTOFOLIO KASUS

Nama Peserta : dr. Azdkia Yolanda Putri


Nama Wahana : RS Tk III Reksodiwiryo Padang
Topik : Kasus Medik
21

Tanggal (Kasus) : 18 Oktober 2019


Nama Pasien : Ny. R
No RM : 24.51.56
Tanggal Presentasi : 20 November 2019
Nama Pendamping : dr. Tri Endangwati
dr. Frans Otto Hasibuan
Nama Narasumber : dr. Harnavi Harun,Sp.PD-KGH
Tempat Presentasi : RS Tk III Reksodiwiryo Padang
Objektif Presentasi :- Keilmuan
- Diagnostik
- Manajemen
Bahan Bahasan : Kasus
Cara Membahas : Presentasi dan diskusi

BORANG STATUS PORTOFOLIO KASUS INSTALASI GAWAT


DARURAT
No. ID dan Nama
dr. Azdkia Yolanda Putri
Peserta
No. ID dan Nama
RS Tk III Reksodiwiryo Padang
Wahana
Topik Acute Kydney Injury ec Keracunan Pupuk Urea
Tanggal (kasus) 18 Oktober 2019
22

Nama Pasien Ny R No. RM 24.51.56


Dr.Tri Endang Wati
Tanggal Presentasi 20 November 2019 Pendamping
dr. Frans Otto Hasibuan
Tempat Presentasi RS Tk III Reksodwiryo Padang
Objektif Presentasi
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
Perempuan 35tahun, nyeri ulu hati dan dada terasa terbakar sejak 2 hari
□ Deskripsi
yang lalu
Menegakkan diagnosisdanmengetahui penatalaksanaan kasus Acute
□ Tujuan
Kydney Injury
□ Kasus
Bahan Bahasan □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Audit

Cara Membahas
□ Diskusi□ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Data Pasien Nama : Ny R No. Reg : 24.51.56
Nama RS : RS Tk III Reksodwiryo Padang Telp : Terdaftar sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :

1. Diagnosis / Gambaran Klinis : Acute Kydney Injury ec Keracunan Pupuk Urea

2. Riwayat Pengobatan : Tidak ada


3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit : nyeri ulu hati dan dada terasa terbakar sejak 2 hari yang
lalu
4. Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan yang sama
5. Riwayat Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : -
7. Lain-lain : -
Daftar Pustaka : Terlampir di Daftar Pustaka
Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis : Acute Kydney Injury
2. Tatalaksana pasien Acute Kydney Injury

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subjektif :
• Nyeri ulu hati sejak 4 hari yang lalu, memberat 2 hari SMSR
• Dada terasa terbakar sejak 2 hari yang lalu
23

• Muntah (+), muntah 3x dalam sehari ini isi apa yang yang dimakan dan diminum. Os
muntah sejak 2 hari yang lalu
• Mual (+), demam (-)
• Mencret (-), BAB normal
• BAK sedikit sejak 4 hari yang lalu
• Riwayat termakan nasi yang air untuk memasak nasi bercampur dengan pupuk urea yang
telah larut sejak 4 hari yang lalu.
• Kerongkongan terasa pahit (+)
• Badan terasa lemas sejak 4 hari yang lalu
• Penurunan nafsu makan (+)
• Riwayat stroke (-), diabetes mellitus (-), Riwayat hipertensi (-)

2. Objektif :
a. Vital sign
 KU : sedang
 Kesadaran : CMC/GCS: E4M5V6
 Tekanan darah : 120/70
 Frekuensi nadi : 88 x/menit
 Frekuensi nafas : 20 x /menit
 Suhu : 37 0C
b. Pemeriksaan sistemik
 Kulit : Teraba hangat, pucat (+), ikterik (-), sianosis (-)
 Kepala: Normocephal, rambut hitam, mudah rontok (-).
 Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor 3/3 mm, refleks
cahaya +/+ normal.
 Telinga :Tidak ditemukan kelainan.
 Hidung: Tidak ditemukan kelainan.
 Mulut : Tidak ditemukan kelainan.
 Tenggorok: Tenggorokan terasa pahit
 Faring : Tidak ditemukan kelainan.
 Leher : Kaku kuduk (-), JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran kelenjar getah
24

bening
 Thoraks
Paru :
Inspeksi : normochest
Palpasi : fremitus kiri=kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung: Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat.


Palpasi : iktus tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi: irama teratur, bising tidak ada, gallop tidak ada.
 Abdomen
Inspeksi: tidak tampak membuncit (-), venektasi (-)
Palpasi :NTE (+)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
 Alat kelamin : tidak diperiksa
 Ekstremitas : akral hangat, refilling kapiler <2”
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin:
Hb : 11,3 gr/dl
Leukosit : 7.640/mm3
Ht : 32,8 %
Trombosit : 280.000/mm3
GDs : 101 mg/dl
Kesan: Normal.

3. Assesment(penalaran klinis) :
Telah dilaporkan suatu kasus seorang pasien perempuan berumur 35 tahun dengan
diagnosis kerja GERD ec keracunan pupuk urea. Dasar diagnosis pada pasien adalah dari
25

anamnesis didapatkannyeri ulu hati sejak 4 hari yang lalu, memberat 2 hari SMSR. Mual (+)
muntah 3x dalam sehari ini isi apa yang dimakan dan diminum. Os muntah sejak 2 hari yang
lalu. Dada terasa terbakar sejak 4 hari yang lalu. Os riwayat termakan nasi yang air untuk
memasak nasi bercampur dengan pupuk urea yang telah larut sejak 4 hari yang lalu.
Kerongkongan terasa pahit. Badan tampak lemas. Penurunan nafsu makan. BAK hanya
sedikit.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium (+). Pada pemeriksaan
jantungiktus cordis tidak terlihat dan tidak teraba, batas jantung dalam batas normal, irama
teratur, bising dan gallop tidak ada. Pada ekstremitasakral teraba hangat, refilling kapiler
<2”.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan hemoglobin 11,3gr/dl, leukosit 7.640/mm3,
hematokrit 32,8 %, trombosit 280.000/mm3, dan gula darah sewaktu 101 mg/dl.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dengan obat-obatan
serta pengobatan terhadap komorbid yang dijumpai.

4. Plan :
Diagnosis : GERD ec Keracunan Pupuk Urea
Pengobatan :
IVFD RL 1 kolf/ 8 jam
Inj Omeprazol 2x1 amp
Inj Ondansentron 2x1 amp
Sucralfate syr 3x1 cth

Pendidikan :
Kepada keluarga dijelaskan mengenai GERD ec keracunan pupuk urea, penyebab,
dan dasar pengobatannya. Dijelaskan juga kepada keluarga bahwa kondisi yang dialami
oleh pasien merupakan keadaan sedang. Prognosis penyakit ini dubia dan diperlukan
pengobatan sesegera mungkin untuk mencegah kerusakan dan komplikasi.
26

Follow Up

Tanggal/Jam Follow up

18/10/2019 S/ Nyeri ulu hati (+)

14.00 WIB NTE (+)

Dada terasa terbakar (+)

Pemeriksaan lanjutan & rawat

O/ KU: Sedang

KS: CM

TD: 110∕80mmHg

Nadi : 78x/ menit


27

RR : 22 x/ menit

Suhu : 36 º C

Laboratorim:
Hb : 11,3 gr/dl
Leukosit : 7.640/mm3
Ht : 32,8 %
Trombosit : 280.000/mm3
GDS : 101 mg/dl

A/ Intoksikasi Pupuk Urea

P/ Th/ lanjut

IVFD RL 1 kolf/ 6 jam


Cek Ur/Cr
Cek SGOT/SGPT

18/11/2019 S/ Nyeri ulu hati (+)

16.15 WIB NTE (+)

Dada terasa terbakar (+)

O/ KU: Sedang

KS: CM

TD: 110∕80mmHg

Nadi : 78x/ menit

RR : 22 x/ menit

Suhu : 36 º C

Laboratorim:
28

Hb : 11,3 gr/dl
Leukosit : 7.640/mm3
Ht : 32,8 %
Trombosit : 280.000/mm3
GDS : 101 mg/dl
Ureum : 294,4 mg/dl
Creatinin : 10,49 mg/dl
SGOT : 27,1
SGPT : 83,3
A/Intoksikasi Pupuk Urea

P/ Th/ Lanjutan

Inj Methylprednisolone 3x1 amp

19/10/2019 S/ Mual (+)

12 : 00 WIB Nyeri tenggorokan (+)

O/ KU: sedang

KS: CM

TD: 120/80

Nadi : 82x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 36,7 º C

A/ Rapidly Progressive Glomerulonefritis dd/ Acute Kydney Injury

P/ Th/ lanjut

Inj Methylprednisolone sudah hari ke-2

Cek Ur/Cr
29

20/11/2019 S/ Mual (-)

19.00 WIB BAK sedikit

O/ KU : sedang

Kes : CM

TD : 120/80

Nadi : 78x/menit

Nafas : 20 x/menit

Suhu : 37C

Ureum : 319,3 mg/dl

Creatinin : 7,34 mg/dl

Urin Rutin

MAKROSKOPIS

Warna : Normal

Kekeruhan : Agak keruh

BJ : 1.015

PH : 5,5

KIMIA

Albumin : +/positif

Reduksi : -/negatif

Bilirubin : -/negatif

Urobilinogen : +/positif
30

MIKROSKOPIS /SEDIMEN

Sel Epitel : +/positif

Leukosit : 2-3/LPB

Eritrosit : 3-5/LPB

A/ Acute Kydney Injury

P/ Inj Methylprednisolone >>> aff

Methylprednisolone 3x16mg (PO)

Inj Omeprazole >>> aff

Lansoprazol 1x1 tab (PO)

Rencana HD besok

Cek HbsAg, AntiHIV, AntiHCV

21/10/2019 S/ mual (-) muntah (-)

10.00 WIB O/ KU : sedang

Kes : CM

TD : 130/90

Nadi : 80x/menit

Nafas : 20 x/menit

Suhu : 37C

HbsAg : -/Non Reaktif

AntiHIV : -/Non Reaktif

AntiHCV : -/Non Reaktif


31

A/ Acute Kydney Injury

P/ HD via Femoral

22/10/2019 S/ Peningkatan nafsu makan (+)

15.20 O/ KU : sedang

Kes : CM

TD : 110/70

Nadi : 80x/menit

Nafas : 20 x/menit

Suhu : 37C

A/ Acute Kydney Injury

P/ Th/lanjut

Curcuma 3x1 tab

Cek Ur/Cr

23/10/2019 S/ mual (-) muntah (-)

16.00 O/ KU : sedang

Kes : CM

TD : 130/80

Nadi : 80x/menit

Nafas : 20 x/menit

Suhu : 37C

Ureum : 159,6 mg/dl


32

Creatinin : 3,32 mg/dl

A/ Acute Kydney Injury

P/ Th/ Lanjut

IVFD RL 1 kolf/4 jam

24/10/2019 S/ mual (-) muntah (-)

16.00 O/ KU : sedang

Kes : CM

TD : 130/80

Nadi : 80x/menit

Nafas : 20 x/menit

Suhu : 37C

Ureum : 99,6 mg/dl

Creatinin : 1,56 mg/dl

A/ Acute Kydney Injury

P/ Boleh pulang

Methylprednisolone 3x2tab

Sucralfate syr 3x1 cth

Lansoprazole 1x1 tab

Anda mungkin juga menyukai