PENDAHULUAN
Insindensi gangguan ginjal akut (GGA) atau Acute Kidney Injury (AKI)
semakin meningkat beberapa tahun terakhir, baik di masyarakat secara umum
maupun di dalam unit perawatan rumah sakit. Insidensi kejadian GGA kurang
lebih 2-3 per 1000 orang. Tujuh persen dari seluruh pasien yang dirawat di rumah
sakit mendapatkan GGA, yang biasanya merupakan bagian dari sindorm disfungsi
organ multiple. 1,2,3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Loss Gagal ginjal akut menetap (Loss = hilangnya fungsi ginjal >4
minggu)
ESRD End Stage Renal Disease (Gagal Ginjal Terminal) >3 bulan
*Keterangan
SCr : kadar kreatinin serum
UO : urine output
LFG : laju filtrasi glomerulus
2
Kriteria AKI menurut AKIN dibagi atas beberapa tahapan seperti pada Tabel 2
dibawah ini.7,8
1 (RIFLE R) Peningkatan kreatinin serum > 0,3 mg/dL < 0,5 ml/kg/jam
atau selama 6 jam
3 (RIFLE F) Peningkatan kreatinin serum > 3 kali dari < 0,3 mL/kg/jam
normal atau selama 24 jam atau
3
Dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin serum paling sedikit 2 kali
dalam 48 jam
Dalam menentukan urine output, hidrasi pasien harus dalam keadaan
normal dan tidak ada obstruksi pada saluran kemih
Diagnosis AKI harus dilengkapi dengan tahapan penyakit sesuai
kriteria RIFLE atau kriteria AKIN.
Perlu dibedakan antara diagnosis AKI, penyakit ginjal kronis, atau
perburukan fungsi ginjal pada chronic kidney disease (acute on CKD).
2.2 EPIDEMIOLOGI
2.3 ETIOLOGI
4
Etiolog i AKI dibagi berdasarkan lokasi terjadinya kelainan dan gambaran
AKI yang ditimbulkan, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal seperti terlihat
pada Tabel 3. Angka kejadian etiologi prerenal mencapai 70% dari seluruh AKI
yang terjadi di luar rumah sakit dan 40% yang terjadi di dalam rumah sakit.
Etiologi AKI prerenal yang terjadi di luar rumah sakit biasanya disebabkan oleh
diare, muntah-muntah, demam, dan kekurangan cairan (cth: perdarahan). Pada
AKI prerenal yang terjadi di dalam rumah sakit paling sering disebabkan oleh
sepsis dan gagal jantung.7
Etiologi intra renal dapat disebabkan oleh semua gangguan yang terjadi
intra renal, yaitu di tubulus, parenkim, glomerulus, dan di pembuluh darah renal.
Etiologi intra renal dapat terjadi pada penderita di dalam rumah sakit atau
merupakan kelanjutan proses AKI prerenal yang terjadi di luar rumah sakit
dikarenakan keterlambatan mendapatkan terapi sehingga berlanjut menjadi
tubular nekrosis akut (ATN). Penyebab tersering ATN adalah sepsis (50%),
nefrotoksik (35%) dan keadaan iskemia (15%).7
Etiologi post renal dapat terjadi akibat adanya sumbatan pada saluran
kemih yang terjadi di ureter, pelvis renal, uretra, dan vesika urinaria. Pada
keadaan obstruksi terjadi peningkatan tekanan dalam kapsula bowman dan
penurunan tekanan hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG. Kejadian AKI
post renal lebih sering terjadi pada laki-laki dengan usia lanjut, dengan adanya
pembesaran prostat, atau dengan riwayat batu saluran kemih. Pada wanita,
obstruksi sering terjadi karena adanya keganasan yang menimbulkan obstruksi
pada saluran kemih.7
5
AKI Pre Renal :
1. Hipovolemia
a. Hemoragik, luka bakar, dehidrasi
b. Kehilangan cairan lewat Gl; muntah, diare, drainase
c. Kehilangan cairan lewat ginjal: diuretik, diuresis osmotik (misal DM),
hipoadrenalisme.
d. Pankreatitis, peritonitis, trauma, luka bakar, dan hipoalbuminemia berat
2. Penurunan cadiac output:
a. Penyakit otot jantung, katup dan perikardium; aritmia, tamponade
b. Lain-lain: hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif, ventilasi mekanik
3. Perubahan rasio resistensi sistem vaskular renal:
a. Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, anestesi, anafilaksis
b. Vasokonstriksi renal: hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
tacrolimus, amfoterisin
c. Sirosis dengan asites (sindrom hepatorenal)
4. Hipoperfusi renal dengan kegagalan respon autoregulasi renal: siklooksigenase
inhibitor, ACE inhibitor
5. Sindrom hiperviskositas: multipel mieloma, makoglobunemia, polisitemia
AKI Intrinsik :
6
AKI Post Renal :
2.4 PATOFISIOLOGI
Pada AKI prerenal, respon yang terjadi merupakan reaksi dari fungsi
ginjal terhadap keadaan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan gangguan pada
struktur ginjal. Pada keadaan ini, integritas jaringan ginjal masih terpelihara
dengan adanya mekanisme autoregulasi ginjal. Berkurangnya perfusi ginjal akan
menyebabkan perangsangan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS)
yang mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin II. Peningkatan kadar
angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi arteriol efferen glomerulus ginjal.
Angiotensin II juga berperan pada arteriol afferen glomerulus, tetapi efeknya akan
meningkatkan hormon-hormon vasodilator prostaglandin sebagai upaya
kontraregulasi. Vasokonstiksi pada arteriol efferen dilakukan untuk
mempertahankan tekanan kapiler intra glomerulus serta LFG agar tetap normal.13
Mekanisme autoregulasi ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
7
Gambar 1. Mekanisme Autoregulasi Intra renal pada Keadaan
Penurunan Tekanan Perfusi dan Penurunan LFG12
8
setelah tindakan operasi (20-25%). Berbeda dengan AKI prerenal, pada AKI intra
renal telah terjadi gangguan pada struktural ginjal Proses kerusakan diawali
dengan keadaan oliguria yang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah
terjadi gangguan (injury). Fase oliguria dapat berlangsung selama l-2 minggu
diikuti oleh fase diuresis yang menandakan terjadinya perbaikan fungsi.7
Pada Gambar 2 di atas, tahapan AKI prerenal akan berlanjut pada tahap
inisiasi yang ditandai dengan kerusakan pada sel-sel epitel dan endotel. Proses
kerusakan pada sel-sel epitel diawali dengan terjadinya perenggangan dan
hilangnya brush border tubulus proksimal disertai penurunan polaritas sel.
Perbaikan gangguan ginjal pada tahap ini akan menyebabkan penyembuhan
9
secara sempurna. Tetapi bila berlanjut pada tahap ekstensi, akan terjadi apoptosis
dan nekrosis sel-sel epitel, proses deskuamasi yang akan menyebabkan sumbatan
pada lumen tubulus, dan terjadinya proses inflamasi seperti terlihat pada Gambar
3 berikut.15
10
termasuk lisosom protease yang menyebabkan kerusakan dan inflamasi pada
jaringan sekitar. Kematian sel terjadi sebagai akibat proses apoptosis dan nekrosis
sel-sel epitel.15
Kerusakan sel endotel vaskular ginjal terjadi akibat peningkatan stress
oksidatif yang juga meningkatkan angiotensin II, endothelin-l, dan penurunan
prostaglandin dan NO dari endothelial NO synthetase (eNOS). Kerusakan
vaskular secara langsung dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi intra
renal. Vasokonstriksi ini diduga merupakan faktor utama penyebab gangguan
hemodinamik renal pada AKI. Kelainan pada vaskular dapat juga terjadi akibat
peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-I dan p-selectin dari sel
endotel sehingga terjadi perlengketan sel-sel radang terutama neutrofil yang
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.7,13
Kerusakan tubulus merupakan proses yang terjadi akibat kerusakan
sitoskeleton karena peningkatan calpain, cytosolic phospholipase A2, dan
kerusakan actin karena peningkatan Ca2+ intraseluler. Kerusakan ini
menyebabkan gangguan pada basolateral Na+K+ATP-ase sehingga terjadi
penurunan reabsorbsi natrium di tubulus proksimal. Obstruksi tubulus akibat
sumbatan mikrovili yang terlepas bersama sel-sel debris juga akan diikuti
pembentukan silinder cast dari matriks ekstraseluler. Kerusakan pada sel tubulus
berakibat terjadinya kebocoran kembali (backleak) cairan intra tubular ke dalam
sirkulasi peritubular. Keseluruhan mekanisme di atas secara keseluruhan akan
menyebabkan penurunan LFG dan terjadinya oliguria. Keseluruhan proses
tersebut dapat terlihat pada Gambar 4 berikut.7,13
11
Gambar 4 Patofisiologi AKI Akibat Proses Iskemia 14
12
2.5 Manifestasi Klinis
Presentasi klinis bervariasi tergantung etiologi dan tingkat keparahan AKI,
dan penyakit yang terkait. Kebanyakan pasien dengan AKI ringan sampai sedang
tidak menunjukkan gejala dan biasanya teridentifikasi dengan pemeriksaan
laboratorium. Pasien dengan severe AKI mungkin dapat menunjukan gejala,
berupa lesu, rasa bingung, fatique, anoreksia, mual, muntah, penambahan berat
badan, atau edema. Selain itu oliguria (urine output kurang dari 400 ml per hari),
anuria (urin output kurang dari 100 ml per hari), atau dengan urin output normal
(non-oligouric AKI) juga dapat ditemukan pada pasien severe AKI. 5,17
13
2.6 Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik yang baik, untuk mencari penyebab GGA
seperti misalnya operasi KV, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi
tenggorokan, ISK), riwayat bengkak, riwayat kencing batu
2. Membedakan GGA dan GGK, misalnya: anemia dan ukuran ginjal yang kecil
menunjukkan GGK
3. Pemeriksaan berulang fungsi ginjal untuk mendiagnosis GGA, yaitu kadar
ureum, kreatinin, dan laju filtasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu
diperiksa asupan dan keluaran cairan (balance cairan), berat badan untuk
memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA
yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal, ekskresi air dan garam
berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi
kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga
dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan
kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor
presipitasi atau penyakit utamanya.
4. Penilaian pasien GGA:
a. Kadar kreatinin Serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa
berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat
mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot),
distribusi dalam cairan tubuh dan eksresi oleh ginjal.
b. Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum
cystatin C dapat menjadi indikator GGA tahap awal yang cukup dapat
dipercaya
c. Volume Urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang
spesifik untuk GGA, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai
14
biokimia darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa
bermacam-macam. GGA pre-renal biasanya hampir selalu disertai oliguria
(<400 ml/hari), walaupun kadang-kadang tidak dijumpai oliguria. GGA
post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.
o Perubahan pada urine ouput secara garis besar sedikit berkaitan dengan
perubahan pada laju filtrasi glomerulus (LFG)/ Kurang lebih 50-60%
dari seluruh etiologi AKI adalah non-oligourik. Namun,
mengidentifikasi anuria, oliguria, ataupun non-oliguria mungkin dapat
berguna untuk mengetahui diferensial diagnosis dari AKI, seperti:19
Anuria : Infeksi saluran kemih, Obstruksi arteri renalis, rapidly
progressive glomerulonephritis, bilateral diffuse renal cortical
necrosis
Oliguria : AKI akibat pre-renal, sindroma hepatorenal
Non-oliguria : Acute interstisial nefritis, Glomerulonefritis akut,
Partial Obstructive Nephropathy, radiocontrast- induced AKI.
d. Kelainan analisis urin.5
o Pasien dengan oliguria, pengukuran FENa dapat membantu untuk
membedakan pre-renal dengan GGA renal yang menyebabkan GGA.
FENa dapat dijelaskan dengan hasil sebagai berikut: Nilai kurang dari
1 persen menunjukkan GGA akibat pre-renal, dimana FNEa > 2%
menunjukkan GGA akibat gangguan renal. Pada pasien yang
menjalani terapi diuretik, FNEa> 1% dapat disebabkan oleh proses
natriuresis yang disebabkan oleh diuretik, sehingga kurang dapat
diandalakn sebagai GGA akibat pre-renal. Di beberapa kasus,
fractional excretion of urea (FE urea) dapat membantu, dengan hasil
kurang dari 35% yang menunjukkan GGA akibat pre-renal. FENa
kurang dari 1 persen tidak spesifik untuk GGA pre-renal karena hasil
tersebut dapat disebabkan oleh kondisi lainnya, seperti contrast
nephropathy, rhabdomyolisis, acute glomerulonephritis, dan infeksi
saluran kemih.
15
e. Petanda biologis (Biomarkers). Syarat petanda biologis GGA adalah
mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan
kemudahan teknik pemeriksanya. Biomarkers diperlukan untuk secepatnya
mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria RIFLE/AKIN maka perlu dicari
pertanda utnuk membuat diagnosis seawal mungin. Beberapa biomarkers
mungkin bisa dikembangkan. Biomarkers ini merupakan zat-zat yang
dikeluarkan oleh tubuls ginjal yang rusak, seperti IL-18, enzim tubular,
dll.
16
Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi
medis yang kuat
Kendalikan hipertensi sistemik dan tekanan intraglomerular.
Kendalikan keadaan hiperglikemia dan infeki saluran kemih (lSK).
Diet protein yang proporsional.
Pengobatan yang sesuai terhadap etiologi AKI
Komplikasi Terapi
Kelebihan cairan Batasi garam (l-2 gram/hari) dan air (<1 liter/hari)
17
Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
Hiperfosfatemia Beri pengikat fosfat (kalsium asetat-karbonat,
alumunium HCl, sevalamer)
Hiperurisemia Tidak perlu terapi jika kadar asam urat < 15 mg/dl
18
Bila terjadi anuria atau oligouria, sebaiknya jumlah intake dibatasi
menjadi < 1000 cc/hari, kecuali jika ada pengeluaran cairan lain seperti
muntah atau diare.24
2. Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan salah satu komplikasi esensial AKI yang dapat
menimbulkan kematian dengan segera. Pengelolaan hiperkalemia pada AKI
secara bertahap dibagi atas hiperkalemia sedang dan hiperkalemia dengan
kelainan EKG.7
Hiperkalemia sedang (5,5 6,5 mmol/liter) tanpa kelainan gambaran EKG
dapat dikelola secara konservatif dengan cara :7
Mengurangi intake kalium dalam diet
Menghindari obat-obatan yang meningkatkan kadar kalium (antagonis
aldosteron, ACE inhibitor, heparin, blocker non selektif)
Pemberian resin ion-exchange, misalnya Kayexalate dengan dosis 15-
30 gram (3-4 kali per hari) atau digabung dengan pemberian sorbitol
20% per oral.
Untuk mempercepat ekskresi kalium melalui ginjal, dapat diberikan
furosemide oral/IV jika pasien masih responsif terhadap diuretik.
Hiperkalemia dengan kelainan EKG membutuhkan penanganan emergensi
yang perlu dilakukan segera untuk menghindari terjadinya gangguan irama
jantung atau henti jantung (cardiac arrest) Pengelolaan yang dapat
dilakukan adalah :7
Kalsium glukonat 10% 5-10 cc secara IV perlahan (> 5 menit), dapat
diulang setelah 15 menit jika gambaran EKG belum membaik. Obat
ini onset kerjanya cepat (3-5 menit), tetapi hanya bertahan sekitar 30-
60 menit. Fungsinya menstabilkan sel jantung (miosit membran
jantung), tetapi tidak menurunkan kadar kalium darah.
19
o Insulin
o Bikarbonat
o -agonis
20
Memberikan obat-obatan yang dapat mengekskresi K+ ke luar tubuh
Ekskresi kalium dapat melalui urine, dan bila pasien masih
responsif terhadap diuretik, dapat diberikan furosemide oral atau
intravena yang akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urine.
Ekskresi kalium melalui feses dapat dilakukan dengan pemberian resin
penukar kation (Kayaxalate) yang akan mengikat kalium dalam saluran
cerna dan menukarnya dengan natrium (sodium polystyrene) atau
kalsium (calcium polystyrene) kemudian diekskresi lewat feses. Dosis
yang diberikan 15-30 gram per oral, untuk meningkatkan ekskresi
lewat feses dapat diberikan bersamaan dengan sorbitol 20% (50-100
cc). Onset obat ini lambat (> 2 jam) dan berlangsung selama 4-6 jam
3. Asidosis metabolik
21
Bila pH darah < 7,1 diberikan dengan cepat (l -3 jam) sampai dicapai
pH > 7,2 dengan dosis 1 - 2 mEq/kg BB (100-200 mEq) dengan infus
lambat.
Selanjutnya diberikan dengan lebih lambat dengan dosis :
o Kebutuhan bikarbonat (mEq/L) = (kadar bikarbonat diharapkan
kadar bikarbonat terukur) 40% BB (kg)
o atau berdasarkan SBE (standard base excess) : Kebutuhan
bikarbonat (mEq/L) = 0,3 BB(kg) SBE.
Efek samping pengobatan natrium bikarbonat adalah alkalosis
metabolik, hipokalemia, hipokalsemia, gangguan gastrointestinal, volume
overload, atau edema paru.7
Beberapa komplikasi AKI lain berikut perlu diperhatikan, dan walaupun tidak
segera menimbulkan kematian, tetapi dapat memengaruhi prognosis pasien.7
2. Komplikasi hematologi
22
dengan sepsis dapat terjadi gangguan perdarahan. Pada kasus semacam ini
dapat diberikan desmopresin, terapi estrogen, atau segera dilakukan dialisis.7
3. Komplikasi gastro-intestinal
4. lnfeksi
23
menyertai (komorbid), atau derajat gangguan fisiologis pada saat masuk. Kondisi
klinik pasien dapat berubah-ubah setiap saat. Tahapan penyakit dapat berganti
dengan cepat, yang tidak hanya disebabkan oleh satu mekanisme patofisiologis
tubuh yang tunggal, melainkan berbagai faktor yang saling memperburuk dan
terkait. Seringkali pasien AKI disertai dengan berbagai gangguan organ (multiple
organ failure) di mana keadaan hemodinamiknya sangat tidak stabil. Oleh karena
itu, strategi TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis diharapkan dapat mencapai
tujuan berikut :25
Mencegah perburukan fungsi ginjal lebih lanjut.
Membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit dan pemulihan
fungsi ginjal dan fungsi organ lain yang terganggu.
Memungkinkan dilakukan tindakan pengobatan yang banyak
memerlukan cairan, misalnya resusitasi cairan, pemberian nutrisi, dan
obat-obatan.
Tujuan TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis adalah untuk memberi
bantuan kepada ginjal (renal support) dan kepada berbagai organ tubuh lainnya
supaya kembali berfungsi. Pasien AKI dalam kondisi kritis membutuhkan cairan,
obat-obatan, maupun nutrisi dalarn jumlah besar. Dengan melakukan TPG, dapat
dilakukan ultrafiltrasi sehingga dapat diberikan cairan sesuai dengan kebutuhan
pasien. Jadi, diciptakan lingkungan yang memberi kesempatan kepada tubuh
untuk pulih dari penyakit yang menjadi penyebab kondisi kritisnya. Tujuan
tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan TPG pada pasien gagal ginjal
terminal (chronic kidney disease) di mana tujuan utamanya adalah mengambil alih
fungsi ginjal (renal replacement) secara rutin seumur hidup untuk memperbaiki
keadaan azotemia sehingga yang menjadi patokan keberhasilan adalah survival
dan kualitas hidup.25
Pada pasien AKI, indikasi TPG sangat luas, tergantung dari kondisi klinik
yang dihadapi. Saat ini kriteria yang biasa dipakai menjadi dasar untuk inisiasi
dialisis pada AKI adalah gejala klinik kelebihan (overload) cairan dan penanda
biokimia tentang terjadinya ketidak-seimbangan elektrolit, misal hiperkalemia,
24
azotemia, atau asidosis metabolik. Berikut adalah kriteria praktis yang sangat
bermanfaat sebagai indikasi inisiasi TPG, sehingga memungkinkan bagi pasien
untuk mendapatkan TPG yang lebih tepat waktu, lebih aman, dan lebih
fisiologis.25
Berikut adalah indikasi dan kriteria untuk inisiasi dialisis pada AKI di ICU
:25
1. Oliguria (output urine < 200 cc/12 jam)
2. Anuria/oliguria berat (output urine < 50 cc/ l2 jam)
3. Hiperkalemia (K+> 6,5 mmol/L)
4. Asidosis berat (pH < 7,1)
5. Azotemia (urea > 30 mmol/liter)
6. Gejala klinik berat (terutama edema paru)
7. Ensefalopati uremik
8. Perikarditis uremik
9. Neuropati/miopati uremik
10. Disnatremia berat (Na > 160 atau < 115 mmol/L)
11. Hipertermia/hipotermia
12. Overdosis obat -obatan yang terdialisis jika kadar asam urat <15 mg/dl
Bila didapatkan satu gejala di atas sudah dapat merupakan indikasi untuk
inisiasi dialisis, dua gejala di atas merupakan indikasi untuk segera inisiasi
dialisis, dan lebih dari dua merupakan indikasi untuk segera inisiasi dialisis
walaupun kadarnya belum mencapai yang tertulis.
2.8 Prognosis
Pasien dengan AKI memiliki resiko yang cukup besar untuk selanjutnya
berkembang menjadi gangguan ginjal kronis. Pasien dengan AKi juga memiliki
resiko tinggi menjadi end-stage renal disease dan kematian prematur. Sehingga,
pasien AKI harus terus di monitor terutama terhadap perkembangan penyakitnya
atau perburukan menjadi gangguan ginjal kronis.24,25
25
BAB III
KESIMPULAN
Pemeriksaan berulang fungsi ginjal, yaitu kadar ureum, kreatinin, dan laju
filtrasi glomerulus harus dilakukan untuk memastikan tingkat keparahan dan
kemungkinan komplikasi dari AKI. Selain itu, analisis urin dan biomarkers juga
dapat dilakukan jika dibutuhkan diagnosis segera. Tatalaksana dari AKI dapat
berupa terapi konservatif dan juga terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal
dilakukan juga pasien sudah memenuhi kriteria untuk dilakukan terapi dialisis
segera. Beberapa komplikasi dari AKI ada yang bersifat emergency sehingga
dibutuhkan pengelolaan yang cepat dan tepat, seperti volume overload,
hiperkalemia, dan asidosis metabolik. Tindakan yang dilakukan untuk dapat
mendiagnosis AKI secara dini sangat dibutuhkan, sehingga tatalaksana yang
diberikan juga dapat memperbaiki prognosis pada pasien.
26
DAFTAR PUSTAKA
27
12. Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An Assessment of
the RIFLE Criteria for Acute Renal Failure in Hospitalized Patients. Crot
Care Med 2006;34:1913-1917
13. Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
14. Abuelo JG. Normotensive Ischemic Acute Renal Failure. N Engl J Med
2007;357:797-805.
15. Sutton TA, Fischer CJ, Molitoris BA. Microvascular Endothelial Injury
and Dysfunction during Ischemic Acute Renal Failure. Kidney Int
2002;62:1539-49.
16. Devarajan P. Update on Mechanisms of Ischemic Acute Kidney Injury.J
Am Soc Nephrol. 2006;17 :1503-20.
17. Goligorsky MS, Lieberthal W. Pathophysiology of Ischemic Acute Renal
Failure. Dalam: Acute Renal Failure: New Concepts and Therapeutic
Strategies. New York. Churcill Livingstone.1995;l-23.
18. Jacob. Acute Renal Failure. Indian J Anaesth. 2003; 47(5): 367-72.
19. Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 2007;357(13):1316-
1325.
20. Holley JL. Clinical approach to the diagnosis of acute renal failure. In:
Greenberg A, Cheung AK, eds. Primer on Kidney Diseases. 5th ed.
Philadelphia, Pa.: National Kidney Foundation; 2009.
21. Workeneh BT. Acute Kidney Injury Differential Diagnosis.Accessed
on: http://emedicine.medscape.com/article/243492-differential.
22. Kieran N, Brady HR: Clinical Evaluation, Management, and Outcome of
Acute Renal Failure In: Johnson RJ, Feehally J. Eds. Comprehensive
Clinical Nephrology. 2nd ed. Mosby 2000;183-207
23. Venkataraman R, Kellum JA. Prevention of Acute Renal Failure. Chest
2007;131:300-308.
24. Fry AC, Farrington K. Management of Acute Renal Failure. Postgrad Med
J. 2006;82:106-116.
28
25. Bellomo R, Ronco C. Indications and Criteria for Initiating Renal
Replacement Therapy in the Intensive Care Unit. Kidney Int
198;53(66):S106-S109.
26. Goldberg R, Dennen P. Long-term outcomes of acute kidney injury. Adv
Chronic Kidney Dis. 2008;15(3):297-307.
27. Coca SG, Yusuf B, Shlipak MG, Garg AX, Parikh CR. Long-term risk of
mortality and other adverse outcomes after acute kidney injury: a
systematic review and meta-analysis. Am J Kidney Dis. 2009;53(6):961-
973.
6
Bellomo R, Kellum JA, Mehta R, et al. Acute Dialysis Quality Initiative II.The
Vicenza Conference. Curr Opin Crit Care 2002;8(6):505-508
29
3. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al. Acute Kidney Injury Network
(AKIN): Report of an Initiative to Improve Outcomes in Acute Kidney
Injury. Critical Care 2007;11:R31.
8
Fauci A, Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine.
17th ed. 2008: New York: McGraw-Hill.
5. Tariq A, Kahn I, Simpsoon W, et al. Incidence and Outcomes in Acute
Kidney Injury: A Comprehensive Population-based Study. J Am Soc
Nephrol 2007;18:1292-1298
6. Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An Assessment of
the RIFLE Criteria for Acute Renal Failure in Hospitalized Patients. Crot
Care Med 2006;34:1913-1917
11
Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
8. Abuelo JG. Normotensive Ischemic Acute Renal Failure. N Engl J Med
2007;357:797-805.
9. Sutton TA, Fischer CJ, Molitoris BA. Microvascular Endothelial Injury
and Dysfunction during Ischemic Acute Renal Failure. Kidney Int
2002;62:1539-49.
10. Devarajan P. Update on Mechanisms of Ischemic Acute Kidney Injury.J
Am Soc Nephrol. 2006;17 :1503-20.
11. Goligorsky MS, Lieberthal W. Pathophysiology of Ischemic Acute Renal
Failure. Dalam: Acute Renal Failure: New Concepts and Therapeutic
Strategies. New York. Churcill Livingstone.1995;l-23.
16
Jacob. Acute Renal Failure. Indian J Anaesth. 2003; 47(5): 367-72.
17
Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 2007;357(13):1316-1325.
18
Holley JL. Clinical approach to the diagnosis of acute renal failure. In:
Greenberg A, Cheung AK, eds. Primer on Kidney Diseases. 5th ed. Philadelphia,
Pa.: National Kidney Foundation; 2009.
19
Workeneh BT. Acute Kidney Injury Differential Diagnosis.Accessed
on: http://emedicine.medscape.com/article/243492-differential.
20
Kieran N, Brady HR: Clinical Evaluation, Management, and Outcome of Acute
Renal Failure In: Johnson RJ, Feehally J. Eds. Comprehensive Clinical
Nephrology. 2nd ed. Mosby 2000;183-207
21
Venkataraman R, Kellum JA. Prevention of Acute Renal Failure. Chest
2007;131:300-308.
22
Fry AC, Farrington K. Management of Acute Renal Failure. Postgrad Med J.
2006;82:106-116.
23
Bellomo R, Ronco C. Indications and Criteria for Initiating Renal Replacement
Therapy in the Intensive Care Unit. Kidney Int 198;53(66):S106-S109.
30
24
Goldberg R, Dennen P. Long-term outcomes of acute kidney injury. Adv
Chronic Kidney Dis. 2008;15(3):297-307.
25
Coca SG, Yusuf B, Shlipak MG, Garg AX, Parikh CR. Long-term risk of
mortality and other adverse outcomes after acute kidney injury: a systematic
review and meta-analysis. Am J Kidney Dis. 2009;53(6):961-973.
31