Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit.4 Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI
“klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai
gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas
parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepus-takaan. Hal itu
menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk
kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan
spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan
prognosis pasien.5,6
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initia-tive (ADQI) yang beranggotakan para
nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi
AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman
masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut
beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit
saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3)
kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine
output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal
berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis
(biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja. ADQI
mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori
(berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang
menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam-barkan
prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 1.5,7
Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 20078
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,
atau >4 mg/dL >24 jam atau
dengan kenaikan anuria >12 jam
akut > 0,5 mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
bulan
Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan kegunaaan dalam
aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan perjalanan penyakit dan prediksi
mortalitas.8
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi nefrolog dan
intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. AKIN meng-upayakan
peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan (1) kenaikan kadar Cr serum
sebesar >0,3 mg/dL sebagai ambang definisi AKI karena dengan kenaikan tersebut telah
didapatkan peningkatan angka kematian 4 kali lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2) penetapan
batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut, disepakati selama maksimal 48
jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam kriteria RIFLE) untuk melakukan observasi dan
mengulang pemeriksaan kadar Cr serum; (3) semua pasien yang menjalani terapi pengganti
ginjal (TPG) diklasifikasikan dalam AKI tahap 3; (4) pertimbangan terhadap penggunaan LFG
sebagai patokan klasifikasi karena penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam
keadaan kritis. Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara
berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE pada kriteria
RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan.6,7
Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2. Sebuah penelitian yang bertujuan
membandingkan kemanfaatan modifikasi yang dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE
gagal menunjukkan peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN
dibandingkan dengan kriteria RIFLE.8
AKI Prarenal
I . Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular Kerusakan jaringan (pankreatitis),
hipoalbuminemia, obstruksi usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran kemih (diuretik,
hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar)
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal/intrinsik
I . Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi aneurisma, vaskulitis),
obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)
AKI Pascarenal
I . Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, kegana-san, darah
Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan tahun 2005-2006,
didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis (42%), disusul dengan gagal
jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik (PGK) (8%), luka bakar dan gastroen-teritis akut
(masing-masing 3%).11
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang
telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut
memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK.
Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain
riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis
(anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan
ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan
membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.4,9 Upaya
pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI,
dan penentuan komplikasi.
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat
kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin.
Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel,
menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa
Tabel 5. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI (Dimodifikasi)12,19
Katabolisme
Variabel Ringan Sedang Berat
Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-
oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal
tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik
menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan
ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun,
penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik
untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah
dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan peng-gunaan dosis
tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-
15,78).20,21 Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik
dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa
hal yang harus diperhatikan pada peng-gunaan diuretik sebagai bagian dari tata
laksana AKI adalah:17,21
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan
tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15-30 menit.
Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada
AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap
awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali
dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-
22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak
bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas. 17,21
KOMPLIKASI TATALAKSANA
Kelebihan cairan - Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari)
intravaskular
- Penggunaan diuretik
2.5. Pencegahan
Acute kidney injury merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis AKI ditegakkan
berdasarkan klasifikasi RIFLE/AKIN, yang selain menggambarkan berat penyakit
juga dapat menggambarkan prognosis kematian dan prognosis kebutuhan terapi
pengganti ginjal. Diagnosis dini yang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit,
dan komplikasi AKI mutlak diperlukan. Tata laksana AKI mencakup upaya tata
laksana etiologi, pencegahan penu-runan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan
nutrisi, serta tata laksana komplikasi.
Daftar Pustaka
1 . Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of
mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two
databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.
3 . Waikar SS. Declining mortality in patients with acute renal fail-ure, 1988 to
2002. J Am Soc Nephrol. 2006;17:1143-50.
4 . Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi-tor. Harrison’s principle
of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
5 . Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and clas-sification:
time for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87 .
6 . Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al.
Acute kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in
acute kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31.
9 . Roesli RMA. Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli
RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan
gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.41-66.
14 . Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and outcomes of
acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:844-861.
16 . Coca SG, Parikh CR. Urinary biomarkers for acute kidney injury:
perspectives on translation. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:481-490 .
18 . Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrol-ogy & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.
19 . Gill N, Nally Jr JV, Fatica RA. Renal failure secondary to acute tubular
necrosis. Chest. 2005;128;2847-2863.
25 . Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure. Indian J Urol.
2000;16:175.
27 . O’Leary MJ, Bihari DJ. Preventing renal failure in the critically ill:There are
no magic bullets-just high quality intensive care. Br Med J. 2001;322:1437-9.