Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Kriteria Diagnosis

Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit.4 Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI
“klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai
gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas
parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepus-takaan. Hal itu
menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk
kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan
spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan
prognosis pasien.5,6
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initia-tive (ADQI) yang beranggotakan para
nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi
AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman
masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut
beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit
saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3)
kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine
output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal
berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis
(biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja. ADQI
mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori
(berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang
menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam-barkan
prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 1.5,7
Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 20078

Kate- Peningkatan Penurunan LFG Kriteria UO


gori kadar Cr serum

Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,
atau >4 mg/dL >24 jam atau
dengan kenaikan anuria >12 jam
akut > 0,5 mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
bulan

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan kegunaaan dalam
aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan perjalanan penyakit dan prediksi
mortalitas.8
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi nefrolog dan
intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. AKIN meng-upayakan
peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan (1) kenaikan kadar Cr serum
sebesar >0,3 mg/dL sebagai ambang definisi AKI karena dengan kenaikan tersebut telah
didapatkan peningkatan angka kematian 4 kali lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2) penetapan
batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut, disepakati selama maksimal 48
jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam kriteria RIFLE) untuk melakukan observasi dan
mengulang pemeriksaan kadar Cr serum; (3) semua pasien yang menjalani terapi pengganti
ginjal (TPG) diklasifikasikan dalam AKI tahap 3; (4) pertimbangan terhadap penggunaan LFG
sebagai patokan klasifikasi karena penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam
keadaan kritis. Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara
berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE pada kriteria
RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan.6,7
Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2. Sebuah penelitian yang bertujuan
membandingkan kemanfaatan modifikasi yang dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE
gagal menunjukkan peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN
dibandingkan dengan kriteria RIFLE.8

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN, 2005.8

Tahap Peningkatan kadar Cr serum Kriteria UO

1 >1,5 kali nilai dasar atau peningkatan <0,5 mL/kg/jam,


>0,3 mg/dL >6 jam
2 >2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
> 12 jam
3 >3,0 kali nilai dasar atau >4 mg/dL <0,3 mL/kg/jam,
dengan kenaikan akut > 0,5 mg/dL >24 jam atau
atau inisiasi terapi pengganti ginjal anuria >12 jam

2.2. Klasifikasi Etiologi


Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1)
penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran
kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat
terjadinya AKI.4,9 Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI (Dimodifikasi)4,10

AKI Prarenal

I . Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular Kerusakan jaringan (pankreatitis),
hipoalbuminemia, obstruksi usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran kemih (diuretik,
hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar)

II. Penurunan curah jantung


- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik


- Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh: barbiturat), vasodilator
(nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, amphotericinB
- Hipoperfusi ginjal lokal
Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK (penyakit ginjal
kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi
tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin,
takrolimus, radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. renalis

V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia

AKI Renal/intrinsik

I . Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi aneurisma, vaskulitis),
obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal


- Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)


- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemo-lisis, asam urat, oksalat,
mieloma)

IV. Nefritis interstitial


- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral, jamur), infiltasi
(limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik

V. Obstruksi dan deposisi intratubular

- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,


sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal

AKI Pascarenal
I . Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, kegana-san, darah

III. Obstruksi uretra


- Striktur, katup kongenital, fimosis

Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan tahun 2005-2006,
didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis (42%), disusul dengan gagal
jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik (PGK) (8%), luka bakar dan gastroen-teritis akut
(masing-masing 3%).11

2.3. Pendekatan Diagnosis

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang
telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut
memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK.
Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain
riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis
(anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan
ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan
membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.4,9 Upaya
pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI,
dan penentuan komplikasi.

2.3.1. Pemeriksaan Klinis


Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan
berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan
OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda
hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP),
penurunan turgor kulit, mukosa kering, stig-mata penyakit hati kronik dan
hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia
menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki
tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan
zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin,
asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan
tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau
hipertensi maligna.4,9,12 AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut
kostover tebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal,
atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal
menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi
maupun iritatif dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong
adanya obstruksi akibat pembesaran prostat.
Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan
temuan disfungsi saraf otonom.

2.3.2. Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi


glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI
prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang
transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif,
walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau
penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada
ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast
leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial.4,13
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel 4).
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah
ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga
mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin)
terakumulasi di dalam darah akibat vaso-konstriksi pembuluh darah ginjal dengan
fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FE Na = [(Na urin x
Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FE Urea kurang dari
35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang
yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan
reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama
juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami
adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa
keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi
vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus
ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari
1%.13

Tabel 4. Kelainan Analisis Urin (Dimodifikasi)4,12,13

Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal


ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi
sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan meng-
hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan
harus dilakukan secara rutin.4,17 Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan
awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup
berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara
ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin
dan serum.18

2.4.1. Terapi Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya


dan kondisi komorbid yang dijumpai. Se-buah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (tabel 5).

2.4.2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin

Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat
kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin.
Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel,
menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa
Tabel 5. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI (Dimodifikasi)12,19
Katabolisme
Variabel Ringan Sedang Berat

Contoh keadaan Toksik karena Pembedahan +/- Sepsis, ARDS,


klinis obat infeksi MODS
Dialisis Jarang Sesuai kebutuhan Sering
Rute pemberian Oral Enteral +/- pa- Enteral +/- pa-
nutrisi renteral renteral

Rekomendasi energi 20-25 kkal/kg 25-30 kkal/kg 25 - 30 kkal/kg


BB/hari BB/hari BB/hari
Sumber energi Glukosa 3-5 g/ Glukosa 3-5 g/ Glukosa3-5 g/kg
kgBB/hari kgBB/hari BB/hari
Lemak 0,5-1 g/ Lemak 0,8-1,2
kgBB/hari kgBB/hari
Kebutuhan protein 0,6-1 g/kgBB/ 0,8-1,2 g/kgBB/ 1,0-1,5 g/kgBB/
hari hari hari
Pemberian nutrisi Makanan Formula enteral Formula enteral
Glukosa 50-70% Glukosa 50-70%
Lemak 10-20% Lemak 10-20%
AA 6,5-10% AA 6,5-10%
Mikronutrien Mikronutrien

Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-
oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal
tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik
menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan
ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun,
penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik
untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah
dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan peng-gunaan dosis
tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-
15,78).20,21 Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik
dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa
hal yang harus diperhatikan pada peng-gunaan diuretik sebagai bagian dari tata
laksana AKI adalah:17,21

1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan
tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15-30 menit.
Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.

2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada
AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap
awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali
dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-
22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak
bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas. 17,21

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler


sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegu-naan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan
kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi
eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul
pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain
menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol
tidak memperbaiki prognosis pasien.22,23

Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan


dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di
ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah
ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh
terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis
yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat
tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien
serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus,
aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia
nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam
penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan
untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk
memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. 17,24,25 Obat-obatan lain seperti agonis
selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis
multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis
adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI.25

2.4.3. Tata Laksana Komplikasi

Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara


konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan
komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang
diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l),
asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edemaparu, ensefalopati
uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia
berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang
dapat didialisis.26 Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk
menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi
yang menjadi indikasi sudah teratasi.

Tabel 6. Tata Laksana Konservatif Komplikasi AKI4

KOMPLIKASI TATALAKSANA

Kelebihan cairan - Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari)
intravaskular
- Penggunaan diuretik

Hiponatremia - Batasi cairan (<1 L/hari)

- Hindari pemberian infus cairan hipotonik


Hiperkalemia - Batasi asupan K(<40 mmol/hari)
- Hindari suplemen K dan diuretik hemat K
- Beri resin potassium-binding ion exchange
- Dekstrosa 50% 50 cc + insulin 10 unit
- Natrium bikarbonat 50-100 mmol
- Salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg iv
- Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit

Asidosis Metabolik Batasi asupan protein (0,8-1 g/KgBB/hari)


Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar se-rum
bikarbonat plasma >15 mmol/L dan pH arteri >7,2)

Hiperfosfatemia Batasi asupan fosfat (800 mg/hari) § Beri


pengikat fosfat (kalsium-
asetat karbonat, aluminium
HCl)

Hipokalsemia Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10%


(10-20 cc)
Hiperurisemia Terapi kadar asam urat >15mg/dL

2.5. Pencegahan

Mengingat terapi AKI yang belum sepenuhnya me-muaskan, maka


pencegahan sangat penting untuk dilakukan. Walaupun demikian sampai saat ini,
tidak ada pencegahan umum yang dapat diberikan pada seorang dengan penyakit
dasar yang dapat menyebabkan AKI,seperti usia lanjut dan seseorang dengan
PGK. Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status hemodinamik
seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah penggunaan
zat nefrotoksik maupun obat yang dapat mengganggu kompensasi ginjal pada
seseorang dengan gangguan fungsi ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik
tidak terbukti efektif mencegah terjadinya AKI.14,19,27
BAB 3
KESIMPULAN

Acute kidney injury merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis AKI ditegakkan
berdasarkan klasifikasi RIFLE/AKIN, yang selain menggambarkan berat penyakit
juga dapat menggambarkan prognosis kematian dan prognosis kebutuhan terapi
pengganti ginjal. Diagnosis dini yang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit,
dan komplikasi AKI mutlak diperlukan. Tata laksana AKI mencakup upaya tata
laksana etiologi, pencegahan penu-runan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan
nutrisi, serta tata laksana komplikasi.
Daftar Pustaka

1 . Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of
mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two
databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.

2 . Roesli RMA. Epidemiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RMA,


Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan
ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.27-40.

3 . Waikar SS. Declining mortality in patients with acute renal fail-ure, 1988 to
2002. J Am Soc Nephrol. 2006;17:1143-50.

4 . Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi-tor. Harrison’s principle
of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.

5 . Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and clas-sification:
time for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87 .

6 . Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al.
Acute kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in
acute kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31.

7 . Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk


menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal
Hipertensi. 2007;7(1):18-24.

8 . Bagshaw SM, George C, Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN


criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial
Transplant. 2008;23:1569-74.

9 . Roesli RMA. Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli
RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan
gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.41-66.

10 . Abuelo JG. Normotensive ischemic acute renal failure. N Engl J Med.


2007;357:797-805.

11 . Roesli RMA, Martakusumah AH, Suryanto. Terapi dialisis pada penderita


sakit kritis dengan gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):12-17.

12 . Markum HMS. Gagal ginjal akut. Dalam Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Ed 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. p.585-9.

13 . Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions,


diagnosis, pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest. 2004;114:5-14.

14 . Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and outcomes of
acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:844-861.

15 . Biesen WV, Vanholder R, Lameire N. Defining acute renal fail-ure: RIFLE


and Beyond. Clin J Am Soc Nephrol. 2006;1:1314–9.

16 . Coca SG, Parikh CR. Urinary biomarkers for acute kidney injury:
perspectives on translation. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:481-490 .

17 . Roesli RMA. Pengelolaan konservatif (suportif). Dalam Roesli RMA,


Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan
ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.79-96.

18 . Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrol-ogy & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.
19 . Gill N, Nally Jr JV, Fatica RA. Renal failure secondary to acute tubular
necrosis. Chest. 2005;128;2847-2863.

20 . Ho KM, Sheridan DJ. Meta-analysis of frusemide to prevent or treat acute


renal failure. BMJ. 2006;333(7565):420.

21 . Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar,


Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology &
hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI;
2008.p.9-10.

22 . Himmelfarb J, Joannidis M, Molitoris B, Schietz M, Okusa MD, Warnock D,


et al. Evaluation and initial management of acute kidney injury. Clin J Am Soc
Nephrol. 2008;3: 962-7.

23 . Sja’bani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam Dharmeizar,


Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology &
hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI;
2008.p.21-22.
24 . Loekman JS. Vasoactive drugs and the kidney. Dalam: Dharmeizar, Marbun
MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrol-ogy & hypertension
course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.13-17.

25 . Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure. Indian J Urol.
2000;16:175.

26 . Bellomo R, Ronco C. Indications and criteria for initiating renal replacement


therapy in the intensive care unit. Kidney Int. 1998; 53(66):S106-9.

27 . O’Leary MJ, Bihari DJ. Preventing renal failure in the critically ill:There are
no magic bullets-just high quality intensive care. Br Med J. 2001;322:1437-9.

Anda mungkin juga menyukai