Anda di halaman 1dari 49

Bab II

Tinjauan Pustaka Acute Kidney Injury (AKI)

2.1 Definisi Acute Kidney Injury (AKI)


Terdapat beberapa pengertian mengenai AKI menurut beberapa ahli. AKI
merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun
secara cepat dan mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari), yang
menyebabkan peningkatan blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin serum (azotemia)
yang berkembang cepat, dengan antau tanpa disertai oliguria. Glomerulus Filtration
Rate (GFR) atau Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang menurun dengan cepat
menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar BUN
meningkat sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. Tergantung dari keparahan dan
lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa metabolisme tersebut dapat disertai dengan
gangguan metabolik lainnya seperti asidosis dan hiperkalemia, gangguan metabolisme
kalsium dan fosfat, gangguan regulasi tekanan darah dan erythropoiesis, gangguan
keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa serta dampak terhadap berbagai organ
tubuh lainnya (Price, A. S. & Wilson, L., M., 2006; Aru, W. S., 2007; Holcombe, D. &
Feeley, N. K., 2009; dan Sinto, R. & Nainggolan, G., 2010).
Penurunan fungsi ginjal tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya
normal (AKI) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal ini
disebut sebagai Gagal Ginjal Akut (GGA) atau Acute Renal Failure (ARF). Karena
tidak terdapat definisi operasional yang seragam, maka parameter dan batas parameter
GGA yang digunakan berbeda-beda pada berbagai pustaka (Sinto, R. & Nainggolan, G.,
2010). Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil
penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk
membuat diagnosis dini, dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang
diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien. Dengan demikian, maka Acute
Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di
Amerika, pada tahun 2002, sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian
istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat
awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat untuk
menggambarkan patologi gangguan ginjal.

Page 7
2.2 Klasifikasi Acute Kidney Injury (AKI)
Kriteria yang melengkapi definisi AKI berhubungan dengan beberapa hal antara
lain: (a) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (b) sedikit saja
perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata memengaruhi prognosis penderita; (c)
kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan
urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan kreatinin serum; (d)
penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar kreatinin serum, UO, dan GFR, karena
belum adanya penanda biologis (biomarker). ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi
AKI dengan mengacu pada kriteria RIFLE, yang terdiri dari 3 katagori (peningkatan
kadar kreatinin serum, penurunan GFR, kriteria UO) yang menggambarkan beratnya
penurunan fungsi ginjal dan 2 katagori yang menggambarkan prognosis gangguan
ginjal, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1 Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007


Katagori Peningkatan Kadar Kreatinin Penurunan GFR Kriteria UO
Serum
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,
atau >4 mg/dL >24 jam atau
dengan kenaikan anuria >12 jam
akut > 0,5 mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu
End Stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Kriteria RIFLE ini sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan kegunaaan
dalam aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan perjalanan penyakit, dan
prediksi mortalitas (Bagshaw, S. M., Georg, C., & Bellomo, R., 2008).
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi
nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE.
AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan
(a) kenaikan kadar kreatinin serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai ambang definisi AKI,
karena dengan kenaikan tersebut telah didapatkan peningkatan angka kematian 4 kali
lebih besar, (b) penetapan batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut,
disepakati selama maksimal 48 jam (pada RIFLE menggunakan ambang batas 1

Page 8
minggu) untuk melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan kadar kreatinin
serum; (c) semua pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan
dalam AKI tahap 3; (d) pertimbangan terhadap penggunaan GFR sebagai patokan
klasifikasi karena penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan
kritis. Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara
berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE pada
kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan
dalam tahapan.
Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan modifikasi yang
dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE, gagal menunjukkan peningkatan
sensitivitas dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN dibandingkan dengan kriteria
RIFLE (Bagshaw, S. M., Georg, C., & Bellomo, R., 2008). Tabel berikut ini merupakan
klasifikasi AKI menurut AKIN, yaitu:

Tabel 2 Klasifikasi AKI dengan Kriteria AKIN, 2005


Tahap Peningkatan Kadar Kreatinin Serum Kriteria UO
1 >1,5 kali nilai dasar atau peningkatan <0,5 mL/kg/jam,
>0,3 mg/dL >6 jam
2 >2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
> 12 jam
3 >3,0 kali nilai dasar atau >4 mg/dL <0,3 mL/kg/jam,
dengan kenaikan akut > 0,5 mg/dL >24 jam atau
atau inisiasi terapi pengganti ginjal anuria >12 jam

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Acute Kidney Injury (AKI)


Berdasarkan Alspach, J. G. (2006); Holcombe, D. & Feeley, N. K. dalam
Morton, P. G. & Fontaine, D. K. (2009); dan Sinto, R. & Nainggolan, G. (2010),
etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama yang berdasarkan pada patogenesis
AKI, yaitu (a) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal (prerenal), 55%), (b) penyakit yang
secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/ intrinsik
(intrarenal), 40%), (c) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI
pascarenal (postrenal), 5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari
tempat terjadinya AKI.

Page 9
Tabel 3 Penyebab AKI
AKI Prarenal
1) Hipovolemia
 Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
 Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus
 Kehilangan darah
 Kehilangan cairan ke luar tubuh melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase),
melalui saluran kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit
(luka bakar)
2) Penurunan curah jantung
 Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
 Penyebab perikard: tamponade
 Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
 Aritmia
 Penyebab katup jantung
3) Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
 Penurunan resistensi vaskular perifer: sepsis, sirosis, syok neurogenik, sindrom
hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat,
antihipertensi)
 Vasokonstriksi ginjal: hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
takrolimus, amphotericin B
 Hipoperfusi ginjal lokal (stenosis arteri renalis, hipertensi maligna)
4) Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
 Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK
(penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin
(penggunaan OAINS, COX-2 inhibitor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis,
hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)
 Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
 Penggunaan penyekat ACE, ARB
 Stenosis arteri renalis
5) Sindrom hiperviskositas
 Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal
1) Obstruksi renovaskular
 Obstruksi arteri renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi
aneurisma, vaskulitis), obstruksi vena renalis (trombosis, kompresi)
2) Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
 Glomerulonefritis, vaskulitis, thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP),
skleroderma, eklampsi, penyakit ateroembolik, dan acute cortical necrosis
3) Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis (ATN))
 Iskemia (serupa AKI prarenal)
 Toksin
 Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut organik,
asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, mieloma)

Page 10
4) Nefritis interstitial
 Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral, jamur),
infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik
5) Acute interstitial disease
 Allergic interstitial nephritis, acute pyelonephritis
6) Obstruksi dan deposisi intratubular
 Multiple myeloma, acute urate nephropathy, ethylene glycol or methanol
toxicity, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamida
7) Rejeksi alograf ginjal
AKI Pascarenal
1) Obstruksi ureter
 Intrinsik (batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, striktur)
 Ekstrinsik (kompresi eksternal; kanker ovarium, limfoma; metastasis kanker
prostat, servik, atau kolon; fibrosis retroperitoneal)
2) Obstruksi leher kandung kemih
 Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah
3) Obstruksi kandung kemih
 Tumor, gumpalan darah, neurogenic bladder (spinal cord injury, diabetes
mellitus, ischemia, drugs), batu
4) Obstruksi uretra
 Kanker prostat atau hipertropi prostat, baru, gumpalan darah, striktur, katup
kongenital, fimosis, obstruksi indwelling catheter

Gambar 1 Penyebab AKI

Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan
tahun 2005-2006, didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis
(42%), disusul dengan gagal jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik (PGK)
(8%), luka bakar dan gastroenteritis akut (masing-masing 3%) (Roesli, R. M. A.,
Martakusumah, A. H., & Suryanto, 2007).

Page 11
2.4 Manifestasi Klinis Acute Kidney Injury (AKI)
Manifestasi klinis yang terjadi pada penderita AKI secara umum menurut
Smeltzer, S. C. & Brenda G. B. (2002) dan Kellicker, P. G. & Schub, T. (2011),
diantaranya:
a. Penderita tampak sangat menderita dan letargi, disertai mual, muntah, diare, pucat
(anemia), hipertensi, tachycardia, tachypnea, dan hyperpnea.
b. Pembengkakan tungkai, kaki, atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang
menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
c. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
d. Tremor tangan.
e. Kulit dan membran mukosa kering akibat dehidrasi.
f. Nafas mungkin berbau urin (fetor uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai
adanya pneumonia uremik.
g. Manifestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
h. Perubahan pengeluaran produksi urin (sedikit, dapat mengandung darah, massa jenis
urin menurun, yaitu 1.010 gr/mL).
i. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah
(LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan
protein, kreatinin serum meningkat pada kerusakan glomerulus.
j. Pada kasus yang datang terlambat, gejala komplikasi AKI ditemukan lebih menonjol
yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru,
perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran
menurun sampai koma.
Berdasarkan etiologinya, manifestasi klinis pada AKI diantaranya:
a. AKI prarenal manifestasi klinisnya: gejala haus, penurunan UO, dan berat badan.
Tetapi dalam hal ini, perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan
OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda
hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP),
penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi
portal, tanda gagal jantung, dan sepsis.
b. AKI renal. Kemungkinan angka morbiditas dan mortalitas pada AKI renal iskemia
menjadi tinggi, apabila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki

Page 12
tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan manifestasi klinis
penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin,
hemoglobin, dan asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan
dengan manifestasi klinis yang menyokong seperti gejala trombosis,
glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna (Brady, H. R. & Brenner, B. M.,
2005; Roesli, R. M. A., 2008; dan Markum, H. M. S., 2006).
c. AKI pascarenal harus dicurigai apabila terdapat manifestasi klinis berupa nyeri
sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul
ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal
menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi
maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong
adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat
dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom
(Brady, H. R. & Brenner, B. M., 2005; Roesli, R. M. A., 2008; dan Markum, H. M.
S., 2006).
Terdapat juga yang mengelompokkan manifestasi klinis berdasarkan tahapan
klinis penyakit AKI. Menurut Smeltzer, S. C. & Brenda G. B. (2002) dan Morton, P. G.
& Fontaine, D. K. (2009), terdapat empat tahapan klinis dari AKI, yaitu:
a. Stadium awal. Periode awal, dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya
oliguria. Apabila keadaan hipoperfusi dapat diatasi dengan tepat dan spesifik dengan
mengganti volume, perbaikan curah jantung, koreksi disritmia atau kombinasi
tindakan tersebut, maka perfusi ginjal akan membaik ditandai dengan peningkatan
volume urin dan konsentrasi natrium di urin dan menurunnya berat jenis urin.
Kemampuan untuk mengembalikan AKI prarenal ini merupakan kunci untuk
memperbaiki prognosis pasien.
b. Stadium oliguria. Periode oliguria (volume urin kurang dari 400 mL/ 24 jam)
disertai dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya
diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler kalium
dan magnesium). Jumlah urin minimal yang diperlukan untuk membersihkan produk
sampah normal tubuh adalah 400 mL. Oliguria timbul dalam waktu 24-48 jam
sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi dan anak-anak periode ini
berlangsung selama 3-5 hari. Terdapat gejala-gejala uremia (pusing, muntah, apatis,

Page 13
rasa haus, pernapasan kussmaul, anemia, kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi,
hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik.
c. Stadium diuresis. Periode ini berlangsung 1-2 minggu, pasien menunjukkan
peningkatan jumlah urin secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Meskipun urin output mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi
renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya
dehidrasi selama tahap ini. Jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat,
ditandai dengan stadium AKI dimulai bila keluaran urin lebih dari 400 mL/ hari;
berlangsung 2-3 minggu; pengeluaran urin harian jarang melebihi 4 liter; asalkan
pasien tidak mengalami hidrasi yang berlebih; tingginya kadar urea darah;
kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium, dan air; dan selama stadium
dini diuresis, kadar BUN mungkin meningkat terus.
d. Stadium penyembuhan. Stadium penyembuhan AKI berlangsung sampai satu tahun,
dan selama itu anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit
membaik. Nilai laboratoriumpun akan kembali normal.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik pada Acute Kidney Injury (AKI)


Pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan untuk menunjang manifestasi klinis
sehingga dapat menegakkan diagnosis AKI berdasarkan penyebabnya. Menurut Brady,
H. R. & Brenner, B. M. (2005); Alspach, J. G. (2006); Sinto, R. & Nainggolan, G.
(2010); dan Kellicker, P. G. & Schub, T. (2011), pemeriksaan diagnostik yang dapat
dilakukan diantaranya:
a. Mikroskopik urin. Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda
inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Selain itu,
dilakukan juga pemeriksaan biokimia urin untuk membedakan gagal ginjal prarenal
dan renal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung
cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen
inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen
atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular
cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast
eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan

Page 14
pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial (Brady, H. R. &
Brenner, B. M., 2005).

Tabel 4 Kelainan Analisis Urin


Indeks Diagnosis AKI Prarenal AKI Renal
Urinalisis Silinder hialin Abnormal
Gravitasi spesifik >1,020 ~1,010
Osmolalitas urin (mmol/kgH 2 O) >500 ~300
Kadar natrium urin (mmol/L) <10 (<20) >20 (>40)
Fraksi ekskresi natrium (%) <1 >1
Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35
Rasio Cr urin/ Cr plasma >40 <20
Rasio urea urin/ urea plasma >8 <3

Pada pemeriksaan urin juga dapat diketahui kadar ureum, kreatinin, elektrolit,
osmolaritas, dan berat jenis. Terdapat kenaikan sisa metabolisme protein, ureum,
kreatinin, dan asam urat. Volume urin biasanya kurang dari 400 mL/ 24 jam yang
terjadi dalam 24 jam setelah ginjal rusak. Warna urin kotor dan sedimen kecoklatan
menunjukan adanya darah, Hb, mioglobin, dan porfirin. Berat jenis urin kurang dari
1,020, menunjukan penyakit ginjal (glomerulonefritis, piolonefritis) dengan
kehilangan kemampuan untuk memekatkan; jika menetap pada 1,010 menunjukan
kerusakan ginjal berat. pH Urin lebih dari 7 ditemukan pada infeksi saluran kemih,
nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik. Osmolaritas urin kurang dari 350
mOsm/Kg menunjukan kerusakan ginjal. Natrium urin biasanya menurun tetapi
dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
Bikarbonat urin meningkat bila ada asidosis metabolik.
b. Pemeriksaan biokimia darah, mengukur pengukuran laju filtrasi glomerulus dan
gangguan metabolik yang diakibatkannya. Pada pemeriksaan ditemukan terdapat
peningkatan BUN, kreatinin serum, dan potassium. Selain itu terdapat penurunan
bikarbonat, hematokrit dan hemoglobin, dan pH. Hasil pemeriksaan biokimiawi
darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea
urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI.
c. Pemeriksaan creatinine clearance, untuk mengukur fungsi GFR dan merefleksikan
jumlah sisa nefron yang berfungsi. Nilai creatinine clearance dewasa: 85-135
mL/menit. Kreatnin urin: 1-2 g/24 jam. Uji creatinine clearance memerlukan
pengumpulan urin selama 12 atau 24 jam dan pengumpulan sampel darah. Rumus
untuk menghitung pemeriksaan klirens kreatinin adalah:

Page 15
Klirens kreatinin = kreatinin urin (mg/dL) x volume urin (dL)
kreatinin serum (mg/dL)
Terdapat Rumus Cockroft-Gault untuk memperkirakan GFR dengan menggunakan
pemeriksaan urin 24 jam. Rumus ini memperhitungkan jenis kelamin, usia, dan
berat badan. Ketika GFR diketahui, maka terapi dapat dipandu secara lebih aman.
Klirens kreatinin = (140 – usia) x berat badan dalam Kg (x 0,85, jika perempuan)
72 x kreatinin serum
d. Pemeriksaan darah perifer lengkap, menentukan ada tidaknya anemia, leukositosis,
dan kekurangan trombosit.
e. USG ginjal, menentukan ukuran ginjal, ada tidaknya obstruksi tekstur, dan parenkim
ginjal yang abnormal.
f. CT scan abdomen, mengetahui struktur abnormal dari ginjal dan traktus urinarius.
g. Pemindaian radionuklir, mengetahui perfusi ginjal yang abnormal.
h. Pielogram, evaluasi perbaikan dan obstruksi traktus urinarius.
i. Biopsi ginjal, menentukan AKI berdasarkan pemeriksaan patologi penyakit ginjal.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang
belum jelas, namun penyebab prarenal dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan.
Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang
memiliki penatalaksanaan spesifik, seperti glomerulonefritis dan vaskulitis (Brady,
H. R. & Brenner, B. M., 2005).
j. Pemeriksaan Electrocardiogram (ECG), menunjukkan adanya gelombang T yang
meninggi, terdapat pelebaran QRS kompleks, dan gelombang P menghilang jika
terdapat hiperkalemia.
Pemeriksaan imaging procedures dilakukan tanpa menggunakan contrast media karena
efek toksik media pada tubulus ginjal. Ketika tetap dibutuhkan contast, maka pasien
harus diberikan acetylcysteine sebelum dan sesudah tindakan untuk meminimalkan efek
toksik dari contrast terhadap ginjal (Emergency Nurses Association, 2010).

Page 16
2.6 Patofisiologi Acute Kidney Injury (AKI)
AKI merupakan suatu sindroma hilangnya fungsi ginjal secara mendadak dan
hampir lengkap akibat kegagalan sirkulasi renal atau disfungsi tubular dan glomerular
yang disertai oliguria ataupun non oliguria. Di samping volume urin yang dieksresikan,
karena penurunan fungsi ginjal, pasien dengan AKI juga mengalami peningkatan kadar
nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum dan retensi produk sampah metabolik
lain yang normalnya dieksresikan oleh ginjal (Smeltzer, S. C. & Brenda G. B., 2002).
Penurunan fungsi ginjal pada AKI dapat terjadi akibat 3 penyebab, yaitu
prerenal (disebabkan oleh terjadinya hipoperfusi di ginjal), intrarenal (biasanya disebut
juga renal dan intrinsik, disebabkan oleh kerusakan langsung pada ginjal), postrenal
(disebabkan oleh obstruksi pada aliran urin) (Kellicker, P. G. & Schub, T., 2011).
Keadaan tersebut mengakibatkan ginjal menjadi iskemia, hipoksia, dan mungkin terjadi
nefrotoksik. Pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya penurunan GFR pada ginjal
yang menimbulkan berbagai manifestasi klinis pada berbagai sistem tubuh. Jika tidak
dilakukan penatalaksanaan yang cepat dan tepat maka dapat mengakibatkan berbagai
macam komplikasi, diantanya hiperkalemia, asidosis, edema paru, dan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Untuk lebih jelasnya, skema di bawah ini merupakan gambaran patofisiologi
terjadinya AKI yang dirangkum dari berbagai sumber, diantaranya Holcombe, D. &
Feeley, N. K. dalam Morton, P. G., et al. (2009); Kellicker, P. G. & Schub, T. (2011);
Price, S. A. & Wilson, L. M. (2005); dan Smeltzer, S. C. & Brenda G. B. (2002).

2.7 Aspek Biomolekuler pada Acute Kidney Injury (AKI)


Penurunan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan hipoperfusi ginjal.
Terjadinya hipoperfusi ginjal dan nefrotoksik pada ginjal, baik yang disebabkan oleh
kondisi prerenal, intrarenal, atupun postrenal, akan mengaktivasi proinflammatory
mediators melalui systemic inflammatory response syndrome. Tumor necrosis factor
(TNF), interleukin (IL) 6, dan IL-8 merupakan sitokin yang berperan dalam proses ini
(McMahon, G. M. & Waikar, S. S., 2013). Selain itu, untuk mendeteksi adanya AKI
digunakan juga petunjuk biologis atau biomarker.
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa biomarker sebagai penentu kriteria
diagnosis AKI yang sudah ada saat ini, seperti kreatinin (Cr) serum, GFR, dan urine

Page 17
output (UO), dinilai memiliki beberapa kelemahan (Sinto, R. & Nainggolan, G., 2010).
Pada kadar Cr serum antara lain: sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, massa otot,
dan latihan fisik yang berat; tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan
ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomerulus atau tubulus); tidak sensitif karena
peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan GFR dan tidak baik
dipakai sebagai parameter pemulihan. Untuk penghitungan GFR dengan menggunakan
rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan perhitungan untuk pasien dengan
penyakit ginjal kronik (PGK) dengan asumsi kadar Cr serum yang stabil. Perubahan
kinetika Cr yang cepat terjadi tidak dapat “ditangkap” oleh rumus-rumus yang ada.
Adapun untuk penggunaan kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh faktor prarenal
dan sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik. Keseluruhan keadaan tersebut
menggambarkan kelemahan perangkat diagnosis yang ada saat ini, yang dapat
berpengaruh pada keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan sehingga dapat
berpengaruh pada prognosis penderita. Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah
diperiksa, yang dapat mendeteksi AKI secara dini sebelum terjadi peningkatan kadar
kreatinin, sehingga dapat membedakan penyebab AKI, menentukan derajat keparahan
AKI, dan menentukan prognosis AKI.
Penanda biologis atau biomarker dari spesimen urin yang saat ini dikembangkan
pada umumnya terdiri dari: NGAL (Neutrophil gelatinase-associated lipocalin) dan
interleukin 18 (IL-18); protein tubulus: Kidney Injury Molecule (KIM-1); Na+/ H+
exchanger isoform; penanda kerusakan tubulus (Cystatin C (CysC), a-1 mikroglobulin,
retinol-binding protein, N-Acetyl Glucosaminidase (NAG)) (McMahon, G. M. &
Waikar, S. S., 2013). Iskemia, hipoksia, dan nefrotoksik pada AKI yang menyebabkan
penurunan fungsi ginjal akan merangsang ginjal untuk mengeluarkan biomarker, berupa
protein atau sitokin, diantaranya NGAL, IL-18, KIM-1, CysC, NAG, dan glutathione-S-
Transferase (GST). Jumlah biomarker ini digunakan sebagai petunjuk biologis untuk
memprediksi terjadinya AKI. Biomarker ini menunjukkan peningkatan dari jumlah
normal kurang lebih 48 jam sebelum terjadinya AKI (Thomas, A. A., et al., 2011).
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa IL-18 dan KIM-1 merupakan
penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI. NGAL, IL-18, dan GST
merupakan penanda potensial diagnosis dini AKI. NGAL dapat mendeteksi AKI, 36 -
48 jam lebih cepat dibandingkan kreatinin (McCullough, P. A., El-Ghoroury, M., &

Page 18
Yamasaki, H., 2011). Sehingga memungkinkan untuk dilakukan intervensi yang cepat
dan tepat pada AKI. NAG, KIM-1, dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi
kematian setelah AKI. Sedangkan menurut hasil penelitian Zhang, Z., Lu, B., Sheng, X.,
& Jin, N. (2011), CysC telah diusulkan sebagai penanda filtrasi untuk deteksi dini
terjadinya AKI. Dengan demikian, maka untuk mendapatkan penanda biologis yang
ideal, dibutuhkan panel pemeriksaan beberapa penanda biologis. Sampai saat ini belum
ada penanda biologis yang beredar di Indonesia.
Gambar 2: Anatomical localization of biomarkers along the nephron

Page 19
Tabel 6 Biomarker Serum untuk mendeteksi AKI

Page 20
Skema Patofisiologi dan Aspek Biomolekuler Acute Kidney Injury (AKI)

Prarenal Renal Postrenal


1) Hipovolemia 1) Obstruksi renovaskular 1) Obstruksi ureter
2) Penurunan curah jantung 2) Penyakit glomerulus atau 2) Obstruksi leher kandung kemih
3) Perubahan rasio resistensi mikrovaskular ginjal 3) Obstruksi kandung kemih
vaskular ginjal sistemik 3) Nekrosis tubular akut (Acute Tubular 4) Obstruksi uretra
4) Hipoperfusi ginjal dengan Necrosis (ATN))
gangguan autoregulasi
4) Nefritis interstitial
ginjal Sumbatan dapat
5) Sindrom hiperviskositas 5) Acute interstitial disease
terjadi di setiap titik
6) Obstruksi dan deposisi intratubular
saluran urinaria
7) Rejeksi alograf ginjal
Menurunnya aliran darah ke
Merangsang Urin tidak dapat Sumbatan
ginjal reda: diuresis
Hipoperfusi Nefrotoksin pengeluaran melewati saluran
prarenal yang tidak protein dan hebat: 1L/
Hipoperfusi ke ginjal teratasi sitokin dari jam
ginjal: TNF,
Meningkatnya IL-6, IL-8,
Kongesti yang
konsentrasi NGAL, IL-
terjadi
Merangsang pengeluaran enzim Epitel tubulus ginjal Pada tekanan
nefrotoksin di sel 18, KIM-1, mengakibatkan
renin dari juxtaglomerulus cells mengalami hipoksia yang
tubulus ginjal CysC, NAG, tekanan retrograde berlangsung
pada dinding afferent arteriols dan kerusakan
dan GST di sepanjang sistem
lama
penampung dan
Merangsang Iskemia nefron
Mengaktivasi cascade renin- pengeluaran Nekrosis
protein dan Seluruh
angiotensin-aldosteron sistem
sitokin dari Laju aliran tubulus
ginjal: TNF, Tubulus bengkak penampung
dan nekrotik Nekrosis sel terjadi lebih lambat
IL-6, IL-8, dilatasi
Merangsang Merangsang NGAL, IL-
di lumen tubulus
pengeluaran pengeluaran 18, KIM-1,
angiotensin II aldosteron dari Sel nekrotik Menekan dan
CysC, NAG,
meluruh dan Kerusakan sel GFR turun *
** korteks adrenal dan GST merusak nefron/
menyumbat lumen tubulus **** Page 21
*** terjadi hidronefrosis
tubulus **** *****
Merangsang Retensi sodium Iskemia dan nefrotoksik di GFR turun * *****
pengeluaran dan air *** tubulus ginjal **** Disfungsi
angiotensin II mekanisme
** Jumlah cairan pemekatan/
Membantu tubuh Nekrotik ginjal dalam tubulus pengenceran
Vasokonstriksi mempertahankan meningkat dan
sistemik volume sirkulasi osmolalitas
Meluruh ke dalam lumen urin
tubulus Konsentrasi
Meningkatkan Cairan berjalan
Aliran darah ke Na urin sama
resistensi melewati
afferent arteriol,
organ lain, seperti GFR turun * tubulus lebih dengan
jantung dan otak, plasma
dan lambat
adekuat
menstimulasi
vasodilator Volume urin berkurang
intrarenal hingga < 400 ml/ hari, berat Meningkatnya Urin output < 30
jenis urin meningkat, reabsorpsi ml/jam atau 400
(prostaglandin)
konsentrasi Na urin menurun natrium dan air ml/hari
(N: < 5mEq/L)
Vasodilatasi
afferent arteriol
AKI Stadium
Meningkatnya reabsorpsi air oliguria
Meningkatkan di tubulus distal
tekanan
hidrostatik di
glomerulus Zat terlarut yang diabsorpsi
dari tubulus dibuang dengan
lambat dari interstitium
GFR adekuat GFR turun * medulla ginjal

Jika perfusi
ginjal sangat Aliran darah ke Suplai oksigen Hipoksia ginjal
ginjal menurun berkurang Page 22
terganggu
GFR turun * Penurunan Sepsis/ infeksi
sistem imun

Reabsorpsi Fungsi tubulus


Acute Kidney Tubulus tidak Penurunan
natrium, air, dan menurun
Injury (AKI) bisa produksi
urea meningkat mensekresikan hormone
Gangguan H+ eritropoetin oleh
Urokrom Kelebihan produk sisa ginjal
transport Komplikasi:
di kulit Menurunnya kalsium, kalium, dysrhythmias/ nitrogenous dalam
H+ kembali ke
konsentrasi
fosfat cardiac arrest darah (terjadi pada
vaskuler Merangsang
natrium urin
40%-80% kasus AKI sumsum tulang
Perubahan (hiponatremia),
warna meningkatnya Malaise, hilangnya nafsu Pola nafas Penumpukan H+ memproduksi
osmolalitas urin, Hipokalsemia, sel darah merah
kulit
makan, kelemahan otot, tidak efektif di vaskuler
Meningkatnya Hiperkalemia, dengan usia
BUN, Hiperfosfatemi kebas, tingling, & pendek
Meningkatnya a perubahan gambaran ECG Pernafasan pH turun,
kreatinin serum kussmaul absorpsi HCO3
Ketidakseimbangan Kerusakan terganggu Produksi Hb
cairan dan elektrolit Kulit kering, integritas menurun
Penumpukan ureum pruritus
dan kreatinin kulit CO2 tertahan
Asidosis
metabolik Pembentukan
Penumpukan di Platelet mudah Penumpukan di Penumpukan di Penumpukan di oksihemoglobin
darah rapuh perikardium saraf otak menurun
Gangguan
perfusi Suplai oksigen
Azotemia Perdarahan Perikarditis Neuropati/ Ensefalopati jaringan ke jaringan
uremikum miopati uremikum menurun
uremikum
Hematemesis/
melena Anemia,
Wajah pucat Page 23
Retensi natrium GFR turun *
dan air

Total ECF naik Penumpukan ureum dan kretinin

Intoleransi
Hipertensi Tekanan kapiler aktivitas Ketidakseimbangan asam dan
Takikardi meningkat basa

Fatigue
Volum Produksi asam meningkat
interstitial
meningkat
Pembentukan Asam lambung meningkat
asam laktat
Edema meningkat
Iritasi mukosa usus dan merangsang pusat muntah di otak
Kelebihan
Metabolisme
volume cairan anaerob Ketidakseimbangan nutrisi:
Mual dan muntah; diare kurang dari kebutuhan tubuh

Preload naik Suplai oksigen Gangguan


ke jaringan pertukaran gas
menurun
Beban
jantung naik
Penurunan Aliran darah ke Penurunan perfusi Letargi/ penurunan Perubahan gas
Cardiac output serebral serebral kesadaran darah
Hipertrofi menurun
ventrikel kiri
Permeabilitas
Tekanan atrium kiri Tekanan vena kapiler paru Edema paru Compliance &
Payah jantung kiri naik pulmonalis meningkat difusi menurun
naik
Page 24
2.8 Penatalaksanaan pada Acute Kidney Injury (AKI)
Pada dasarnya penatalaksanaan AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan (Sinto, R. & Nainggolan, G., 2010). Upaya yang dapat
dilakukan adalah penatalaksanaan optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh
pada tahap AKI berikutnya.
Penatalaksanaan pada pasien dengan AKI dilakukan dengan tujuan untuk
mempertahankan status fisiologis optimum, mengurangi gejala, dan menurunkan risiko
komplikasi. Menurut Adis International Limited (2009); Cheung, C. M., Ponnusamy,
A., & Anderton, J. G. (2008); Emergency Nurses Association (2010); Coca, S. G.
(2010); dan Kellicker, P. G. & Schub, T. (2011), penatalaksanaan pada pasien dengan
AKI dapat dilakukan dengan penatalaksanaan sebagai berikut.

Airways dan Breathing


a. Monitor status pernafasan dengan menggunakan pulse oximetry dan analisa gas
darah (AGD); monitor tanda terjadinya respiratory distress atau fluid overload;
pertimbangkan untuk pemberian oksigen dan diuretik, jika diperlukan. Terapi
oksigen dapat dilakukan dengan menggunakan nasal kanul, masker, ataupun
pemasangan mechanical ventilation.

Circulation
a. Apabila pasien datang dengan status hemodinamik tidak stabil, maka pasien
membutuhkan continuous renal replacement therapy segera, yang disebut
continuous extracorporeal renal therapy. Hemodialisis atau peritoneal dyalisis
untuk mengoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Emergency dyalisis
dilakukan jika terdapat indikasi: pasien mengalami stupor atau koma (akibat
meningkatnya produk sisa nitrogen di dalam darah dan perubahan metabolik),
volume overload atau edema pulmonal, dangerous hypercalemia, dan asidosis.
Emergency dyalisis memerlukan akses vaskuler (biasanya temporary femoral atau
subclavia dual lumen catheter atau internal shunt) dan artificial kidney (dyalizer)
untuk berperan sebagai membran semipermeabel. Dialisat yang digunakan harus
rendah ion agar tubuh mampu mengekskresikan produk sisa yang berlebih.
b. Berikan terapi IV line untuk mempertahankan dan mengoreksi ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit.
c. Jika terjadi edema, maka batasi pemberian cairan.

Page 25
d. Berikan terapi diuretik untuk mengatasi fase oliguria.
Pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat dijadikan pilihan pada pasien
AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan
diantaranya:

 Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, lakukan pengukuran CVP atau lakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15-30 menit. Bila
jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.

 Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal
(keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Untuk tahap awal, dapat diberikan furosemid IV bolus 40 mg. Jika terapi
tidak efektif, maka dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250
mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/KgBB/hari dengan dosis
maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler.
Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain karena peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan
dapat menyebabkan toksisitas. Manitol dapat meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada
tahap oliguria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat
menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan
agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut
muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/Kg tiap 4 jam.
Dopamin dosis rendah (0,5-3 µg/KgBB/menit) dapat juga digunakan dalam
tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA 1 dan DA 2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal,
GFR dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak
terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia

Page 26
miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain.
Tetapi jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dilakukan dengan
pemantauan respon selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan
agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap
dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok sepsis (sesuai
indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan lain
seperti agonis selektif DA 1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut.
e. Jika AKI disertai dengan non oliguria, maka kemungkinan akan diikuti dengan
kehilangan banyak cairan yang menyebabkan pasien dehidrasi atau hipovolemia.
Penggantian volume cairan dengan normal salin atau volume expanders diberikan
dengan monitoring Jugular Vein Distention, auskultasi paru, dan tanda-tanda vital
atau dengan invasive line (CVP dan pulmonary artery catheter). Hal ini dilakukan
untuk monitoring status cairan, mencegah iskemia dan kerusakan ginjal yang lebih
lanjut.
f. Berikan sodium polystyrene sulfonate (kayexalate) melalui mulut atau enema untuk
mengoreksi hiperkalemia dengan gejala hiperkalemia ringan (malaise, hilangnya
nafsu makan, dan kelemahan otot). Berikan hypertonic glucose, insulin, dan sodium
bicarbonate melalui IV line, jika terjadi gejala hiperkalemia berat (kebas, tingling,
dan perubahan gambaran ECG).
g. Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit; pertahankan berat badan harian, intake
dan output, dan tanda vital; dan kaji risiko jatuh pada pasien.
h. Pertahankan patient safety (airway, circulation, dan cegah terjadinya injury).
i. Kardiovaskuler: analisis hasil pemeriksaan laboratorium setiap harinya, khususnya
hematokrit, hemoglobin, dan elektrolit (monitor hiperkalemia dan asidosis
metabolik; lakukan pemberian transfusi darah atau produk darah untuk mengatasi
anemia, glukosa dan insulin untuk hiperkalemia, dan bikarbonat untuk asidosis
metabolik; dialysis juga dapat dilakukan untuk mengatasi asidosis metabolik).
j. Kaji adanya nyeri, nausea, dan ketidaknyamanan lainnya; kolaborasi pemberian
analgesik, antiemetik, dan pengobatan lainnya yang dibutuhkan untuk mengurangi
gejala.
k. Secara teratur, kaji tanda infeksi, berikan antibiotik sesuai indikasi.

Page 27
g. Berikan nutrisi yang adekuat dengan membatasi sodium/ potassium/ protein/ cairan.
Berikan diet tinggi kalori dan rendah protein, sodium, dan potassium untuk
memenuhi kebutuhan metabolik. Kebutuhan nutrisi pada pasien AKI bervariasi
tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi yang dijumpai. Berikut ini
merupakan sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme yang
diajukan oleh Druml pada tahun 2005.

Tabel 7 Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi pada Pasien dengan AKI


Variabel Katabolisme
Ringan Sedang Berat
Contoh keadaan Toksik karena obat Pembedahan +/- Sepsis, ARDS,
kinis infeksi MODS
Dialysis Jarang Sesuai kebutuhan Sering
Rute pemberian Oral Enteral +/- Enteral +/-
nutrisi parenteral parenteral
Rekomendasi 20-25 25-30 kkal/kg 25-30
energi kkal/kgBB/hari BB/hari BB/hari kkal/kgBB/hari
Sumber energi Glukosa 3-5 Glukosa 3-5 g/kg Glukosa 3-5 g/
gr/kgBB/hari BB/hari kgBB/hari
Lemak 0,5-1 g/ Lemak 0,8-1,2 g/
kgBB/hari kgBB/hari
Kebutuhan pasien 0,6-1 g/kgBB/hari 0,8-1,2 g/kgBB/hari 1,0-1,5 g/kgBB/hari
Pemberian nutrisi Makanan Formula enteral Formula enteral
Glukosa 50-70% Glukosa 50-70%
Lemak 10-20% Lemak 10-20% AA
AA 6,5-10% 6,5-10%
Mikronutrien Mikronutrien

h. Pendidikan kesehatan pre dan post operasi mengenai prosedur operasi dan
perawatannya, harus diberikan kepada pasien dan keluarganya jika pasien
diindikasikan untuk dilakukan pembedahan (misal bladder tumor resection) atau
prosedur dialysis atau hemofiltration.
Setelah kondisi hemodinamik pasien stabil, maka dilakukan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan diagnostik untuk menentukan penyebab AKI.
a. Riwayat penyakit
Pengkajian untuk menentukan riwayat penyakit dan riwayat pembedahan pada
pasien. Riwayat pasien secara umum penting dikaji untuk menentukan penyebab
AKI.

Page 28
b. Pemeriksaan fisik
Jika AKI disebabkan oleh hipovolemia, pasien mungkin akan mengalami kehilangan
berat badan dan mukosa membran kering. Jika AKI disebabkan oleh gagal jantung,
maka berat badan pasien akan bertambah dan terjadi edema.
c. Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan urinalsis dapat menunjukkan hematuria, proteinuria, renal
tubular epithelial cells, dan tubular granular casts, osmolaitas urin
mengindikasikan tinggi sodium. Serum elektrolit abnormal (hiperkalemia,
hiponatremia). Kreatinin serum dan BUN menunjukkan mengalami kenaikan. Hasil
pemeriksaan kidney tissue biopsy analysis mengindikasikan glomerulonefritis
d. Pemeriksaan diagnostik lainnya
CT scan dapat mengindikasikan obstruksi renal. Kidney ultrasound menunjukkan
abnormalitas.
Penatalaksanaan juga dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan status
emosional dan pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarganya. Penatalaksanaan
tersebut dilakukan dengan mengkaji kecemasan pasien dan kemampuan koping. Pasien
harus diberi pendidikan kesehatan dan konseling tentang proses penyakit AKI, meliputi
penyebab, komplikasi, keuntungan dan kerugian terapi yang dilakukan, dan prognosis
pasien. Perawat harus dapat memfasilitasi pasien dan keluarganya untuk
mengidentifikasi pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan dialysis, support
goup, dan supportive counseling terhadap kondisi kronik dan life threatening atau end
of life issues. Disamping itu, kita harus memberitahukan juga kepada pasien untuk
memeriksakan diri segera jika terdapat severe atau persistent vomiting, diare, demam
tinggi, atau komplikasi diabetes mellitus. Karena tanda dan gejala tersebut dapat
menunjukkan kehilangan cairan dan elektrolit (Kellicker, P. G. & Schub, T., 2011). Hal
ini merupakan penyebab umum terjadinya AKI pada orang dewasa tua. Jelaskan juga
kepada pasien bahwa NSAIDs dan antibiotik harus digunakan secara hati-hati, sebab
penggunaan jangka pendek dan jangka panjang yang berlebihan dapat memicu
terjadinya AKI.

Page 29
Evaluasi Penatalaksanaan AKI Berdasarkan Stage dan Penyebab

International Society of Nephrology (2012)

Page 30
Gambar 3 Penatalaksanaan AKI Berdasarkan Stage

International Society of Nephrology (2012)

2.9 Komplikasi Acute Kidney Injury (AKI)


Menurut Kellicker, P. G. & Schub, T. (2011) dan Sinto, R. & Nainggolan, G.
(2010), komplikasi yang umumnya terjadi pada pasien dengan AKI yang merupakan
kondisi kegawatdaruratan dan kritis yang dapat mengancam nyawa pasien, meliputi:
a. Hiperkalemia. Hiperkalemia dapat mengancam kehidupan karena bisa menyebabkan
cardiac arrhythmias dan cardiac arrest. Intervensi yang dapat dilakukan dengan
intravenous calcium, insulin dengan glukosa, dan beta2-adrenergic agonists.
b. Asidosis metabolik. Hal ini terjadi karena tubulus tidak bisa mensekresikan H +
sehingga pH turun dan absorpsi HCO 3- terganggu. Asidosis metabolik dapat diatasi
dengan sodium bicarbonate.
c. Edema paru. AKI yang disertai oliguria dapat mengakibatkan kelebihan volume
cairan yang pada akhirnya menyebabkan tekanan vena pulmonalis meningkat.
Sehingga permeabilitas paru meningkat dan terjadi shift cairan ke paru yang
berkembang menjadi edema paru, yang dapat mengakibatkan gagal nafas. Kondisi
ini dapat diatasi dengan oksigen, ventilasi, dan diuretik.
d. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (hiponatremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, dan hiperurisemia). Ketidakseimbangan ini disebabkan oleh

Page 31
penurunan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan retensi cairan, natrium, dan sisa
metabolisme lainnya dalam darah.
Ketidakseimbangan cairan pada AKI diatasi dengan normal salin dan albumin.
Hiponatremia, diatasi dengan membatasi cairan (<1 L/hari) dan menghindari
pemberian infus cairan hipotonik. Hiperfosfatemia, diatasi dengan membatasi
asupan fosfat (800 mg/hari) dan memberi pengikat fosfat. Hipokalsemia, diatasi
dengan memberikan kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-20 cc).
Hiperurisemia diterapi jika kadar asam urat >15 mg/dL.
e. Gangguan pada neurologi menyebabkan iritabilitas neuromuskuler, kesemutan,
tremor, koma, gangguan kesadaran, dan kejang.
f. Gangguan pada gastrointestinal dapat menyebabkan nausea, muntah, gastritis, ulkus
peptikum, dan perdarahaan gastrointestinal.
g. Gangguan pada hematologi menyebabkan anemia dan perdarahan.
h. Jika AKI tidak diatasi secara cepat dan tepat, maka fungsi ginjal tidak akan kembali
normal sehingga dapat menyebabkan CKD dan ESRD.
Bergantung pada perluasan kerusakan ginjal dan keparahan dari komplikasi,
maka perlu dipertimbangkan juga untuk dilakukan renal replacement therapy (dialysis
atau hemofiltration) (Kellicker, P. G. & Schub, T., 2011). Terapi pengganti ginjal
diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K > 6,5 mEq/l), asidosis
berat (pH < 7,1), azotemia (ureum > 200 mg/dl), edema paru, ensefalopati uremikum,
perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia berat (Na > 160
mEq/l atau < 115 mEq/l), hipertermia, dan kelebihan dosis obat yang dapat didialisis.
Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk menghentikan terapi pengganti
ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi yang menjadi indikasi sudah
teratasi. Penatalaksanaan komplikasi dapat dilakukan secara konservatif, sesuai dengan
anjuran berikut ini:

Tabel 8 Penatalaksanaan Komplikasi Secara Konservatif


Komplikasi Penatalaksanaan
Kelebihan cairan  Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari)
Intravaskuler  Penggunaan diuretic
Hiponatremia  Batasi cairan (<1 L/hari)
 Hindari pemberian infus cairan hipotonik

Page 32
Hiperkalemia  Batasi asupan K(<40 mmol/hari)
 Hindari suplemen K dan diuretik hemat K
 Beri resin potassium-binding ion exchange
 Beri Dekstrosa 50% 50 cc dan insulin 10 unit
 Beri Natrium bikarbonat 50-100 mmol
 Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg IV
 Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit)
Asidosis  Batasi asupan protein (0,8-1 g/KgBB/hari)
metabolik  Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum bikarbonat
plasma >15 mmol/L dan pH arteri >7,2)
Hiperfosfatemia  Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
 Beri pengikat fosfat
Hipokalsemia  Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-20 cc)
Hiperurisemia  Terapi jika kadar asam urat >15 mg/dL

2.10Hasil Penelitian/ Artikel Review/ Jurnal Terkait Acute Kidney Injury (AKI)
a. Syok sepsis merupakan faktor risiko terjadinya Acute Kidney Injury (AKI) pada
pasien dengan critically ill yang mendapatkan dosis tinggi intravena obat colistin
methanesulfonate dan atau nephrotoxic antibiotics lainnya (Rocco, M., Montini, L.,
Alessandri, E., Laderchi, M. V. A., Pascale, G. D., Raponi, G., Vitale, M.,
Pietropaoli, P., & Antonelli, 2013)
Penggunaan colistin methanesulfonate (CMS) telah ditinggalkan sejak tahun
1970-an karena nefrotoksisitas yang berlebihan. Tetapi akhir-akhir ini obat tersebut
telah diperkenalkan kembali sebagai last-resort treatment untuk infeksi yang resistan
terhadap obat yang disebabkan oleh bakteri gram negatif (Acinetobacter baumanii,
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia).
Penelitian yang dilakukan Rocco, M., et al. (2013) ini, bertujuan untuk
mengevaluasi faktor risiko baru terhadap kejadian AKI pada pasien kritis yang
menerima dosis tinggi intravena colistin methanesulfonate dan atau antibiotik
nefrotoksik lainnya. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat ditemukan bahwa pasien
ICU dengan fungsi ginjal normal, dan kemudian mendapatkan terapi CMS dan atau
nephrotoxic antimicrobials (NAs, seperti aminoglycosides glycopeptides),
menunjukkan angka kejadian AKI yang tinggi, sekitar 40%. Diagnosis ini ditegakkan
berdasarkan klasifikasi kriteria RIFLE.
Terapi CMS dosis tinggi ini tampaknya tidak menjadi faktor risiko terhadap
hasil ini. Sebaliknya, kejadian AKI sangat berhubungan dengan terjadinya syok septik

Page 33
dan tingkat keparahan penyakit yang mendasari, yang tercermin dengan skor Simplified
Acute Physiology Score II (SAPS II). Menurut penelitian ini, tindakan renal protection,
seperti mempertahankan volume darah yang adekuat, sangat penting dilakukan pada
pasien kritis dengan infeksi yang memerlukan pengobatan dengan CMS. Pada pasien
ICU yang sakit parah tanpa penyakit ginjal dan mendapatkan pengobatan CMS dosis
tinggi selama lebih dari 7 hari, terapi CMS tampaknya tidak menjadi faktor risiko
terhadap terjadinya AKI. Sebaliknya, perkembangan penyakit AKI sangat berkorelasi
dengan terjadinya syok septik dan tingkat keparahan penyakit yang mendasari, yang
tercermin dengan skor SAPS II.
Syok septik merupakan prediktor terkuat dari AKI dalam penelitian ini. Banyak
penulis sepakat bahwa sepsis memengaruhi fungsi ginjal dan tidak boleh dianggap
sepele. Awal kejadian AKI umumnya terjadi pada syok septik dan mungkin akan
memengaruhi efek colistin dan obat lainnya pada ginjal. Kombinasi syok septik dan
AKI memiliki efek negatif pada prognosis pasien. Sedangkan pada pasien dengan syok
septik yang tidak menerima sama sekali CMS (yaitu, mereka yang diobati dengan NAs
saja), angka kejadian AKI sekitar 64%, yang menegaskan peran dominan syok septik
terhadap kejadian AKI.
b. Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) merupakan penyebab penting
terjadinya Acute Kidney Injury (AKI) pada anak (Misurac, J. M., Knoderer, C. A.,
PharmD, Leiser, J. D., Nailescu, C., Wilson, A. C., & Andreoli, S. P., 2013)
Acute Kidney Injury (AKI) merupakan salah satu penyakit yang umumnya
terjadi pada anak, dan mengakibatkan anak mengalami hospitalisasi. Kejadian penyakit
ini salah satunya disebabkan oleh penggunaan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs
pada anak (NSAID-associated AKI). Berdasarkan hasil penelitian Misurac, J. M., et al.
(2013), NSAID-associated AKI terjadi pada sekitar 2,7% pasien anak dengan AKI. Tipe
AKI ini terjadi setelah penggunaan dosis NSAIDs secara regular. Pasien anak dengan
NSAID-associated AKI mungkin memiliki prognosis penyakit yang memburuk.
Ketika pasien mengalami penurunan perfusi ginjal akibat penurunan volume
darah atau penurunan sirkulasi efektif volume darah, perfusi ginjal dipertahankan oleh
prostacyclin dari intrarenal. Tetapi dengan penggunaan NSAIDs ini, akan menghambat
cyclooxygenases I dan II, sehingga menurunkan produksi prostaglandin. Ketika
sirkulasi efektif volume darah menurun, maka NSAIDs menurunkan aliran darah renal

Page 34
melalui blockade prostaglandin yang memediasi terjadinya vasodilatasi preglomerular
(afferent) arteriole. Hal ini dapat mengakibatkan preglomerular arteriole mengalami
konstriksi melalui aktivasi endogenous catecholamines dan vasoaktif lainnya. Sehingga
menyebabkan penurunan glomerular filtration rate (GFR), menurunkan natriuresis, dan
sebagai konsekuensi dari kombinasi efek NSAIDs dan penurunan sirkulasi efektif
volume darah, bisa mengakibatkan iskemia pada renal dan Acute Tubular Necrosis
(ATN), yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya AKI.
NSAIDs merupakan analgesik dan antipiretik yang umum digunakan, misalnya
indomethacin yang diberikan pada pasien neonatus dengan patent ductus arteriosus
closure, dapat mengakibatkan efek samping pada ginjal yang kurang baik. Hal ini
terjadi pada sekitar 40 neonatus yang mendapatkan terapi tersebut. Pencegahan
terjadinya AKI harus sudah menjadi tujuan intervensi tenaga kesehatan. NSAIDs
merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan AKI pada anak yang mungkin dapat
dicegah. Untuk itu, maka sangat penting untuk mengetahui dan memahami riwayat
alamiah dari terjadinya NSAID-associated AKI, termasuk potensial perkembangan ke
arah Chronic Kidney Disease (CKD). NSAIDs yang dilaporkan dapat menyebabkan
AKI, diantaranya ibuprofen, naproxen, ketorolac, diclofenac, dipyrone, ketoprofen,
flurbiprofen, sulindac, rofecoxib, dan niflumic acid baik digunakan secara tunggal atau
kombinasi. Pada hasil penelitian ini ditemukan bahwa anak dengan usia lebih muda
dengan NSAIDs-associated AKI mungkin memiliki prognosis yang buruk dibandingkan
pada anak dengan usia yang lebih tua. Alasan untuk penemuan ini belum diketahui
secara pasti, tetapi mungkin hal ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan terhadap
toksik renal dari NSAIDs. Karena desain pada penelitian ini menggunakan retrospective
study, maka terdapat kelemahan untuk menggambarkan onset terjadinya AKI akibat
pajanan NSAIDs.
c. Penggunaan persamaan Estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR) kurang akurat
untuk menggambarkan fungsi ginjal pada pasien kritis dengan Acute Kidney Injury
(AKI) (Kirwan, C. J., Philips, B. J., & MacPhee, I. A. M., 2013)
AKI dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria RIFLE, yang kemudian
dimodifikasi dengan kriteria AKIN. Namun, klasifikasi tersebut tidak memberikan
gambaran mengenai indikasi kapan dan bagaimana untuk melakukan penanganan.
Deskripsi yang lebih akurat untuk menentukan fungsi gunjal pada AKI sangat

Page 35
diperlukan. Beberapa data yang dipublikasikan menunjukkan bahwa perkiraan
dilakukan berdasarkan kreatinin serum yang dapat memperkirakan laju filtrasi
glomerulus (eGFR). Selain itu, dengan menggabungkan serum konsentrasi cystatin C
dalam perkiraan GFR, maka dapat meningkatkan akurasi.
Berdasarkan hasil penelitian Kirwan, C. J., Philips, B. J., & MacPhee, I. A. M.
(2013), persamaan eGFR lebih baik dibandingkan dengan perkiraan kreatinin untuk
memprediksi Four-Hour Creatinine Clearance (4CrCl). Dengan menambahkan cystatin
C pun, perkiraan tidak dapat mengurangi bias atau meningkatkan akurasi. MDRD 7
eGFR memiliki kombinasi terbaik dari segi korelasi, bias, kesalahan persentase, dan
akurasi. Dengan demikian, maka persamaan eGFR tidak cukup akurat untuk
memperkirakan fungsi ginjal pada pasien sakit kritis dengan AKI. Adapun dengan
memasukkan serum cystatin C juga tidak meningkatkan perkiraan. Berdasarkan
penelitian ini, eGFR tidak boleh digunakan untuk menggambarkan fungsi ginjal pada
pasien dengan AKI. Standar akurasi untuk memvalidasi eGFR perlu diatur kembali.
d. Biomarker Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL) dan Cystatin C
(CysC) digunakan untuk mendeteksi terjadinya Acute Kidney Injury (AKI) (Thomas,
A. A., et al., 2011; McCullough, P. A., et al., 2011; dan Zhang, Z., Lu, B., Sheng,
X., & Jin, N., 2011)
Pengukuran kreatinin serum merupakan indikator pada penyakit AKI karena
terdapat perubahan akut pada fungsi ginjal (Thomas, A. A., Demirjian, S., Lane, B. R.,
Simmons, M. N., Goldfarb, D. A., Subramanian, V. S., & Campbell, S. C., 2011).
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa biomarker serum atau urin berguna untuk
mendeteksi dini AKI. Biomarker serum atau urin ini dapat memandu untuk
dilakukannya terapi, memfasilitasi upaya penelitian untuk mengurangi keparahan AKI,
seperti setelah nephrectomy partial, dan memungkinkan untuk memprediksi prognosis
yang lebih akurat untuk pasien dengan AKI.
Menurut McCullough, P. A., El-Ghoroury, M., & Yamasaki, H. (2011),
diperlukan predictor atau biomarker untuk mendeteksi AKI sebelum terjadi kenaikan
kreatinin serum (Cr) dan pengembangan oliguria, karena pada saat itu pasien sering
resisten terhadap intervensi terapeutik. Berdasarkan hasil penelitian ini, biomarker yang
dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya AKI, yaitu Neutrophil Gelatinase-
Associated Lipocalin (NGAL). NGAL atau disebut juga siderocalin atau lipocalin-2,

Page 36
secara normal disekresikan renal tubular cells, lymphocytes, dan cardiomyocytes, dan
merupakan respon fisiologis adanya catalytic (labile, poorly liganded) iron dalam
sitosol atau dalam ruang pericellular sebagai respon terhadap iskemia atau toxic injury.
NGAL dapat dideteksi pada AKI, 36-48 jam lebih cepat dibandingkan kreatinin.
Sehingga memungkinkan untuk dilakukan intervensi yang cepat dan tepat pada AKI.
Selain itu, terdapat juga biomarker lainnya diantaranya kidney injury molecule-1,
interleukin 18, liver-type fatty acid binding protein, renal tubular enzymes, dan
multiple proprietary markers.
Sedangkan menurut hasil penelitian Zhang, Z., Lu, B., Sheng, X., & Jin, N.
(2011), Cystatin C (CysC) telah diusulkan sebagai penanda filtrasi untuk deteksi dini
terjadinya AKI. Serum CysC tampaknya menjadi biomarker yang baik dalam prediksi
AKI. AKI umumnya ditemui pada berbagai populasi pasien, termasuk pasien sakit
kritis, pasien yang telah menjalankan operasi jantung, dan pasien yang menerima agen
kontras. Pasien ini biasanya memiliki hasil klinis yang lebih buruk daripada pasien
dengan penyakit non-AKI. Pasien dengan AKI memiliki rawat inap berkepanjangan,
kebutuhan untuk terapi penggantian ginjal, perkembangan penyakit ginjal kronis, dan
peningkatan angka mortalitas. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya biomarker yang
secara cepat dan akurat dalam memprediksi terjadinya AKI.
Saat ini, level kreatinin serum (SCR) dan output urin merupakan indikator
standar fungsi ginjal menurun. Cystatin C (CysC), 13-kDa endogenous cysteine
proteinase inhibitor, merupakan anggota dari protein yang memiliki peran penting
dalam katabolisme intraseluler berbagai peptida dan protein. CysC dianggap biomarker
yang baik pada penurunan fungsi ginjal, karena: CysC diproduksi pada tingkat yang
relatif konstan dan dilepaskan ke plasma, 99 % CysC disaring oleh glomeruli, dan tidak
ada protein yang signifikan mengikat CysC. Sejumlah penelitian telah mengevaluasi
penggunaan CysC sebagai penanda endogen fungsi ginjal pada populasi berisiko atau
dengan penyakit ginjal kronis. Hasilnya menunjukkan bahwa CysC memiliki akurasi
diagnostik yang tinggi untuk memprediksi fungsi ginjal. Berdasarkan hasil systematic
review dan meta analysis yang dilakukan Zhang, Z., Lu, B., Sheng, X., & Jin, N.
(2011), menunjukkan bahwa kadar serum CysC merupakan prediktor yang baik untuk
memprediksi perkembangan AKI. Penemuan ini didukung oleh berbagai penemuan
sebelumnya.

Page 37
Bab III
Kasus dan Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan dan Kritis
pada Pasien dengan Acute Kidney Injury (AKI)

3.1 Kasus Acute Kidney Injury (AKI)


Tn B., 57 tahun, dibawa oleh anaknya ke unit emergency dengan penurunan
kesadaran, oliguria, hipertensi, nausea, dan vomiting. Pada saat dilakukan triase, tanda-
tanda vital menunjukkan bahwa suhu 36,1 o C, frekuensi nadi 123 kali/menit, frekuensi
pernafasan 24 kali/menit, dan tekanan darah 240/118 mmHg. Saturasi oksihemoglobin
berdasarkan pulse oximetry yaitu 87% (N: 95%-100%) pada udara ruang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan anaknya, Tn B. pernah mengalami riwayat
gastroesophageal reflux disease, hipertensi, dan diabetes mellitus tipe 1. Sejak 1 tahun
terakhir, Tn B. tidak pernah memeriksakan kesehatannya secara rutin ke pelayanan
kesehatan. Selama di rumah, Tn B. memiliki riwayat konsumsi obat, diantaranya:
omeprazole (prilosec) 10 mg 1 kali sehari, insulin glargine (lantus) 45 unit 1 kali sehari
setiap pagi hari, insulin aspart (novolog) 10 unit sebelum makan, lisinopril (prinivil) 10
mg 1 kali sehari, furosemide (lasix) 40 mg dua kali sehari, potassium chloride 10 mEq 1
kali sehari, metoprolol tartrate (lopressor) 50 mg dua kali sehari, dan diltiazem
(cardizem LA) 240 mg 1 kali sehari. Menurut anaknya, sebelum masuk rumah sakit,
pasien mengalami malaise, fatigue, pruritus, hilangnya nafsu makan, kelemahan otot,
kebas, dan tingling.
Pemeriksaan di unit emergency menunjukkan bahwa pasien mengalami
penurunan kesadaran, takikardia, takipnea, pernafasan kussmaul, bunyi crackles pada
kedua lapang paru, malignant hypertension, nafas berbau urin (fetor uremik), dan
perubahan pada gambaran EKG, meliputi peninggian pada gelombang T. Wajah pasien
tampak pucat, kulit pasien dingin dan kering, serta mengalami edema di ekstremitas
bawah dengan derajat II. Kateter foley dipasang dan terdapat pengeluaran urin 20
mL/jam (N: 1,0-1,5 L/hari), berwarna gelap. Sampel diambil dan dikirim untuk
urinalisis. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil nilai kalium
6,9 mEq/L (3,5-5,3 mEq/L); blood urea nitrogen (BUN) 70 mg/dl (N: 10-20 mg/dL);

Page 38
kreatinin 7,2 mg/dL (0,6 - 1,2 mg/dL); fosforus 7,0 mg/dL (2,5-4,5 mg/dL); kalsium 6,2
mg/dL (8,6-10,3 mg/dL); hemoglobin 7,0 g/dL (N: 12-16 gr/dL); hematokrit 28% (40%-
54%); dan sel darah putih 4500 mm3 (N: 4500-11000 mm3). Pada hasil pemeriksaan
analisa gas darah (AGD), menunjukkan hasil: pH 7,20 (N 7,35-7,45), PaCO2 40 mmHg
(N 35-45 mmHg), PaO2 80 mmHg (N 80-100 mmHg), dan HCO3 15 mEq/L (N 22-26
mEq/L). Tn B. didiagnosa mengalami acute kidney injury dan mendapatkan temporary
dialysis access catheter. Tn B. menjalani first hemodialysis treatment dan mendapatkan
perawatan di ICU. Sumber: Gedeon, S. (2013)

3.2 Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan dan Kritis pada Pasien dengan Acute
Kidney Injury (AKI)
a. Pengkajian Keperawatan
Identitas Pasien
Nama : Tn. B.
Umur : 57 Tahun
Identitas Penanggungjawab
Nama : Anak Tn. B.
Hubungan dengan Pasien : Anak

1) Pengkajian Primer
Airway (jalan napas)
a) Jalan napas paten
Breathing (pernapasan)
a) Respiratory rate 24 kali/ menit
b) Terdapat suara nafas crackles di kedua lapang paru
Circulation (sirkulasi)
a) Hearth rate 123 kali/ menit
b) Tekanan darah 240/118 mmHg
c) Suhu 36,1º C

2) Pengkajian Sekunder
a) Keluhan

Page 39
Tn B., 57 tahun, dibawa oleh anaknya ke unit emergency dengan penurunan
kesadaran, oliguria, hipertensi, nausea, dan vomiting.

b) Sistem respirasi
Respiratory rate 24 kali/ menit. Pernafasan kussmaul, takipnea, dan nafas
berbau urin (fetor uremik). Berdasarkan auskultasi, terdengar bunyi crackles
di kedua lapang paru.
c) Sistem kardiovaskuler
Pasien mengalami penurunan kesadaran. Tekanan darah 240/118 mmHg
(hipertensi), hearth rate 123 kali/ menit (tachycardia), dan suhu 36,1o C.
Saturasi oksihemoglobin berdasarkan pulse oximetry yaitu 87%. Terdapat
perubahan pada gambaran EKG, meliputi peninggian gelombang T. Wajah
pasien tampak pucat dan kulit kering. Pasien mengalami edema di
ekstremitas bawah dengan derajat II (dengan kriteria penilaian derajat
edema: a) derajat I: kedalamannya 1- 3 mm dengan waktu kembali 3 detik;
b) derajat II: kedalamannya 3-5 mm dengan waktu kembali 5 detik; c)
derajat III: kedalamannya 5-7 mm dengan waktu kembali 7 detik; dan d)
derajat IV: kedalamannya 7 mm dengan waktu kembali 7 detik).
d) Sistem urinaria
Terdapat pengeluaran urin 20 mL/jam (N: 1,0-1,5 L/hari) dan berwarna
gelap.
e) Riwayat Penyakit Sebelumnya
Berdasarkan hasil wawancara dengan anaknya, Tn B. pernah mengalami
riwayat gastroesophageal reflux disease, hipertensi, dan diabetes mellitus
tipe 1. Sejak 1 tahun terakhir, Tn B. tidak pernah memeriksakan
kesehatannya secara rutin ke pelayanan kesehatan.
Menurut anaknya, sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami malaise,
fatigue, pruritus, hilangnya nafsu makan, kelemahan otot, kebas, dan
tingling.
f) Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Selama di rumah, Tn B. memiliki riwayat konsumsi obat, diantaranya:
omeprazole (prilosec) 10 mg 1 kali sehari, insulin glargine (lantus) 45 unit 1

Page 40
kali sehari setiap pagi hari, insulin aspart (novolog) 10 unit sebelum makan,
lisinopril (prinivil) 10 mg 1 kali sehari, furosemide (lasix) 40 mg dua kali
sehari, potassium chloride 10 mEq 1 kali sehari, metoprolol tartrate
(lopressor) 50 mg dua kali sehari, dan diltiazem (cardizem LA) 240 mg 1
kali sehari.

3) Hasil pemeriksaan diagnostik


a. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil nilai kalium
6,9 mEq/L (hiperkalemia); blood urea nitrogen (BUN) 70 mg/dl (BUN ↑);
kreatinin 7,2 mg/dL (kreatinin ↑); fosforus 7,0 mg/dL (hiperfosfatemia);
kalsium 6,2 mg/dL (hipokalsemia); hemoglobin 7,0 g/dL (anemia);
hematokrit 28% (hematokrit ↓); sel darah putih 4500 mm 3 (N: 4500-11000
mm3).
b. Pada hasil pemeriksaan analisa gas darah (AGD), menunjukkan hasil: pH
7,20 (pH ↓), PaCO2 40 mmHg (normal), PaO2 80 mmHg (normal), dan
HCO3 15 mEq/L (menurun).

4) Terapi
Tn B. didiagnosa mengalami acute kidney injury dan mendapatkan temporary
dialysis access catheter. Tn B. menjalani first hemodialysis treatment.

b. Analisa Data
Berdasarkan kasus di atas, didapatkan data fokus sebagai berikut:

 Tanda-tanda vital: respiratory rate 24 kali/menit, hearth rate 123 kali/menit,


tekanan darah 240/118 mmHg, dan suhu 36,1º C.

 Berdasarkan auskultasi, terdengar bunyi crackles di kedua lapang paru.


 Pernafasan kussmaul, takipnea, dan nafas berbau urin (fetor uremik).
 Saturasi oksihemoglobin berdasarkan pulse oximetry yaitu 87%.
 Terdapat perubahan pada gambaran EKG, meliputi peninggian gelombang T.
 Terdapat pengeluaran urin 20 mL/jam (N: 1,0-1,5 L/hari) dan berwarna gelap.
 Wajah pasien tampak pucat dan kulit kering.
 Pasien mengalami edema di ekstremitas bawah dengan derajat II.

Page 41
 Tn B. mengalami penurunan kesadaran, oliguria, hipertensi, nausea, dan vomiting.
 Tn B. pernah mengalami riwayat gastroesophageal reflux disease, hipertensi, dan
diabetes mellitus tipe 1.

 Selama di rumah, Tn B. memiliki riwayat konsumsi obat, diantaranya: omeprazole


(prilosec), insulin glargine (lantus), insulin aspart (novolog), lisinopril (prinivil),
furosemide (lasix), potassium chloride, metoprolol tartrate (lopressor), dan diltiazem
(cardizem LA).

 Sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami malaise, fatigue, pruritus, hilangnya
nafsu makan, kelemahan otot, kebas, dan tingling.

 Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil nilai kalium 6,9


mEq/L (hiperkalemia); blood urea nitrogen (BUN) 70 mg/dl (BUN ↑); kreatinin 7,2
mg/dL (kreatinin ↑); fosforus 7,0 mg/dL (hiperfosfatemia); kalsium 6,2 mg/dL
(hipokalsemia); hemoglobin 7,0 g/dL (anemia); hematokrit 28% (hematokrit ↓).

 AGD: pH 7,20 (pH ↓), PaCO2 40 mmHg (normal), PaO2 80 mmHg (normal), dan
HCO3 15 mEq/L (menurun) asidosis metabolik.

Page 42
Analisa Data
Hipertensi Diabetes mellitus

Tekanan meningkat secara terus Penurunan pemakaian


menerus di pembuluh darah glukosa oleh sel

Kerusakan pembuluh darah lebih Hiperglikemia


kaku dan lumen menyempit

Terbentuknya trombus
Menurunnya aliran darah ke ginjal

Terjadi aterosklerosis
Hipoperfusi ke ginjal

Dapat lepas dalam


Merangsang pengeluaran enzim bentuk emboli
renin dari juxtaglomerulus cells pada
dinding afferent arteriols
Menyumbat di
Konsumsi obat mikrovaskuler
Mengaktivasi cascade renin-
angiotensin-aldosteron angiotensin-
converting Dapat menyumbat
enzyme aliran darah ke ginjal
Mekanisme autoregulasi inhibitor
terbebani menyebabkan
peningkatan Hipoperfusi ginjal
Penurunan perfusi ginjal resistensi
arteriol aferen

Suplai oksigen dan nutrien ke


ginjal menurun Merangsang
pengeluaran
protein dan
Iskemia nefron sitokin dari
ginjal: TNF,
IL-6, IL-8,
NGAL, IL-
Atrofi tubulus dan glomerulus 18, KIM-1,
CysC, NAG,
dan GST
Hiperfiltrasi ginjal

Beban kerja ginjal meningkat


AKI Stadium Urin output 20
oliguria ml/jam
Hipertrofi nefron

Fungsi ginjal menurun Cairan berjalan


Jumlah cairan melewati Meningkatnya
dalam tubulus Page43
reabsorpsi
tubulus lebih
GFR turun * meningkat
lambat
natrium dan air
GFR turun *

Reabsorpsi Fungsi tubulus


Acute Kidney Tubulus tidak Penurunan
natrium, air, dan menurun
Injury (AKI) bisa produksi
urea meningkat mensekresikan hormone
H+ eritropoetin oleh
Gangguan Komplikasi:
transport dysrhythmias/ ginjal
Menurunnya kalsium, kalium, cardiac arrest
konsentrasi H+ kembali ke
fosfat vaskuler
natrium urin Merangsang
(hiponatremia), Malaise, hilangnya nafsu sumsum tulang
meningkatnya memproduksi
makan, kelemahan otot, Pola nafas Penumpukan H+
osmolalitas urin, Hipokalsemia, sel darah merah
kebas, tingling, & tidak efektif di vaskuler
Meningkatnya Hiperkalemia, dengan usia
BUN, Hiperfosfatemia perubahan gambaran pendek
Meningkatnya ECG Pernafasan pH turun,
kreatinin serum kussmaul, takikardia absorpsi HCO3
Ketidakseimbangan terganggu Produksi Hb
Kulit kering,
elektrolit menurun
Penumpukan ureum pruritus
dan kreatinin CO2 tertahan
Asidosis
metabolik Pembentukan
Penumpukan di Platelet mudah Penumpukan di Penumpukan di Penumpukan di oksihemoglobin
darah rapuh pericardium saraf otak menurun
Gangguan
perfusi Suplai oksigen
Azotemia Risiko Risiko Risiko Ensefalopati jaringan ke jaringan
perdarahan perikarditis neuropati/ uremikum menurun
uremikum miopati Penurunan
uremikum kesadaran Anemia,
Hematemesis/ Wajah pucat Page 44
melena
Retensi natrium GFR turun *
dan air

Total ECF naik Penumpukan ureum dan kretinin

Hipertensi Tekanan kapiler Ketidakseimbangan asam dan


Takikardi meningkat basa

Fatigue
Volum Produksi asam meningkat
interstitial
meningkat
Pembentukan Asam lambung meningkat
asam laktat
Edema meningkat
Edema
Iritasi mukosa usus dan merangsang pusat muntah di otak
ekstre
mitas Kelebihan Metabolisme
bawah volume cairan anaerob Ketidakseimbangan nutrisi:
derajat Nausea dan Vomiting kurang dari kebutuhan tubuh Risiko
II gangguan
Preload naik Suplai oksigen pertukaran gas
ke jaringan
menurun
Beban Perubahan gas
jantung naik
Cardiac output Aliran darah ke Perfusi serebral Letargi/ penurunan darah
turun serebral menurun kesadaran
Hipertrofi menurun
ventrikel kiri Crackles, SaO2
87%
Permeabilitas
Tekanan atrium kiri Tekanan vena Compliance &
kapiler paru
Payah jantung kiri naik pulmonalis meningkat Edema paru difusi menurun
naik
Page 45
c. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada kasus tersebut, yaitu:
1. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal,
ditandai dengan: hearth rate 123 kali/menit, tekanan darah 240/118 mmHg, terdapat
pengeluaran urin 20 mL/jam (N: 1,0-1,5 L/hari) dan berwarna gelap, pasien
mengalami hipertensi dan oliguria, pasien mengalami edema di ekstremitas bawah
dengan derajat II, blood urea nitrogen (BUN) 70 mg/dl (BUN ↑), kreatinin 7,2
mg/dL (kreatinin ↑), dan hematokrit 28% (hematokrit ↓).
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi akibat efek asidosis
metabolik, ditandai dengan: respiratory rate 24 kali/menit, berdasarkan auskultasi
terdengar bunyi crackles di kedua lapang paru, pernafasan kussmaul, takipnea, nafas
berbau urin (fetor uremik), saturasi oksihemoglobin berdasarkan pulse oximetry
yaitu 87%, dan hasil AGD: pH 7,20 (pH turun), PaCO 2 40 mmHg (Normal), PaO 2
80 mmHg (Normal), dan HCO 3 15 mEq/L (turun) asidosis metabolik.
3. Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa berhubungan dengan penurunan fungsi
ginjal, ditandai dengan: kalium 6,9 mEq/L (hiperkalemia), terdapat perubahan pada
gambaran EKG, meliputi peninggian gelombang T, pasien mengalami malaise,
fatigue, pruritus, kelemahan otot, kebas, dan tingling, blood urea nitrogen (BUN) 70
mg/dl (meningkat) dan kreatinin 7,2 mg/dL (meningkat) azotemia, fosforus 7,0
mg/dL (hiperfosfatemia) dan kalsium 6,2 mg/dL (hipokalsemia), dan kulit tampak
kering.
4. Gangguan perfusi jaringan yang berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke
jaringan, ditandai dengan: wajah pasien tampak pucat, hemoglobin 7,0 g/dL
(anemia), hematokrit 28% (menurun), dan penurunan kesadaran.
5. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan intake oral, ditandai dengan: nausea, vomiting, dan pasien kehilangan
nafsu makan.

d. Intervensi Keperawatan

Page 46
Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan dan Kritis pada Pasien dengan Acute Kidney Injury (AKI)
Nama Pasien : Tn B.
Umur Pasien : 57 Tahun
No Rekam Medis : 0304
No. Diagnosa Tujuan Keperawatan Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan 1. Kolaborasi pemberian diuretik, seperti 1. Obat diuretik dapat melebarkan lumen tubular
yang berhubungan dengan keperawatan selama … x 8 furosemid setiap 6 jam dengan dosis awal 20- sehingga meningkatkan volume urin adekuat.
penurunan fungsi ginjal, jam, fungsi ginjal membaik 100 mg tergantung apakah pasien telah
ditandai dengan: dan volume cairan adekuat, meminum furosemid secara teratur.
2. Lakukan dialisa dengan temporary dialysis 2. Membantu mengeluarkan kelebihan cairan
 Hearth rate 123 kali/menit, dengan kriteria hasil:
 Tekanan darah 240/118  Hearth rate 60-100 access catheter. Jelaskan kepada pasien dan pada tubuh.
mmHg kali/menit, keluarganya mengenai prosedur hemodialisis
 Terdapat pengeluaran urin  Tekanan darah 110/70 – dan tujuannya.
3. Kolaborasi pemberian obat penurun tekanan 3. Membantu menurunkan tekanan darah tinggi.
20 mL/jam (N: 1,0-1,5 130/90 mmHg
L/hari) dan berwarna gelap  Pengeluaran urin 1,0-1,5 darah tinggi sesuai indikasi.
4. Instruksikan pasien untuk membatasi diet 4. Asupan natrium dapat meningkatkan absorpsi
 Pasien mengalami L/hari
hipertensi dan oliguria  Blood urea nitrogen natrium. cairan dalam tubuh.
 Pasien mengalami edema (BUN) 10-20 mg/dL 5. Lakukan pengambilan spesimen laboratorium 5. Mengidentifikasi gangguan cairan atau
di ekstremitas bawah  Kreatinin 0,6-1,2 mg/dL (urin dan darah). elektrolit (hematokrit, BUN, albumin, protein
total, osmolalitas serum, dan berat jenis urin).
dengan derajat II  Hematokrit 40%-54% 6. Timbang berat badan setiap hari dan monitor 6. Peningkatan berat badan dapat
 Blood urea nitrogen (BUN)
70 mg/dl (BUN ↑) perubahannya. mengindikasikan kelebihan cairan yang
meningkat.
 Kreatinin 7,2 mg/dL 7. Lakukan pencatatan intake dan output yang 7. Mengidentifikasi adanya retensi cairan.
(kreatinin ↑)
akurat.
 Hematokrit 28% 8. Mengevaluasi keefektifan terapi.
8. Pantau tanda-tanda vital.
(hematokrit ↓)
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan 1. Berikan terapi oksigen sesuai indikasi. 1. Meningkatkan keadekuatan ventilasi.
berhubungan dengan keperawatan selama … x 8 2. Monitor keefektifan terapi oksigen. 2. Mengevaluasi keefektifan terapi.
hiperventilasi akibat efek jam, asidosis metabolik 3. Kolaborasi pemberian obat diuretik yang 3. Diuretik dapat membantu mengeluarkan
asidosis metabolik, ditandai teratasi dan pola nafas diperlukan dan berikan sesuai dengan kelebihan cairan yang dapat menyebabkan
dengan: menjadi efektif, dengan protokol. edema paru dan mengganggu ventilasi.
 Respiratory rate 24 kriteria hasil: 4. Monitor respon pasien terhadap efek 4. Mengkaji efek samping terapi yang muncul.
kali/menit  Respiratory rate dalam terapeutik medikasi.

Page 47
 Berdasarkan auskultasi, batas normal 16-20 5. Kolaborasi pemberian natrium bikarbonat 5. Membantu meningkatkan fungsi metabolik.
terdengar bunyi crackles di kali/menit (NaHCO3).
kedua lapang paru  Bunyi nafas bersih 6. Kolaborasi tindakan dialisa dengan 6. Dialisa dilakukan untuk membuang ion H
 Pernafasan kussmaul  Irama dan kecepatan temporary dialysis access catheter. Jelaskan yang berlebihan dan menambah buffer untuk
 Takipnea pernafasan normal kepada pasien dan keluarganya mengenai tubuh. Pada hemodialisa bufernya bikarbonat
 Nafas berbau urin (fetor  Nafas tidak berbau urin prosedur hemodialisis dan tujuannya. dan pada peritoneal dialisa bufernya laktat
uremik)  Saturasi oksihemoglobin yang dimetabolisme menjadi bikarbonat.
7. Pantau kondisi pasien sebelum, selama dan
 Saturasi oksihemoglobin berdasarkan pulse 7. Koreksi yang cepat dapat mengakibatkan
berdasarkan pulse oximetry oximetry 95%-100% setelah dialisa. hipokalsemia akut dan kejang. Karena jumlah
yaitu 87%  Hasil AGD normal: pH kalsium yang terionisasi berkurang akibat
peningkatan pengikatan kalsium dengan
 Hasil AGD: pH 7,20 (pH 7,35-7,45, PaCO2 35-45
mmHg, PaO2 80-100 albumin atau fosfor.
turun), PaCO2 40 mmHg 8. Pantau hasil AGD post dialisa.
mmHg, dan HCO3 22-26 8. Mengevaluasi keefektifan dialisa.
(Normal), PaO2 80 mmHg
mEq/L 9. Pantau tanda-tanda komplikasi dari asidosis 9. Asidosis metabolik yang tidak tertangani dapat
(Normal), dan HCO3 15
metabolik: gagal nafas, kejang, konfusi, menimbulkan bahaya, seperti terjadinya gagal
mEq/L (turun) asidosis
kadar kalsium dan kalium. nafas, kejang, konfusi, kadar kalsium dan
metabolic
kalium meningkat.
10. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan 10. Mengevaluasi keefektifan fungsi respirasi.
usaha untuk bernafas.
11. Monitor pola nafas (misalnya: takipnea, 11. Mengevaluasi keefektifan fungsi respirasi.
bradipnea, hiperventilasi, nafas kussmaul,
cheyne-stokes, atau apneustik).
12. Mengevaluasi keefektifan fungsi respirasi.
12. Palpasi keseimbangan ekspansi paru.
13. Auskultasi suara nafas dan catat area yang 13. Mengevaluasi keefektifan fungsi respirasi.
mengalami penurunan atau tidak adanya
ventilasi.
14. Mengevaluasi keefektifan fungsi respirasi
14. Catat perubahan dalam saturasi oksigen dan
volume tidal paru.
3. Ketidakseimbangan elektrolit Setelah dilakukan tindakan Hiperkalemia
dan asam basa berhubungan keperawatan selama … x 8 1. Batasi asupan makanan yang mengandung 1. Konsumsi kalium berlebih dapat
dengan penurunan fungsi jam, fungsi ginjal membaik kalium. memperburuk kondisi hiperkalemia.
ginjal, ditandai dengan: sehingga tercapai 2. Kolaborasi pemberian glukosa, insulin atau 2. Meningkatkan perpindahan intraseluler kalium
 Kalium 6,9 mEq/L keseimbangan elektrolit, kalsium glukonat secara IV pada keadaan dan membuang kalium dari tubuh.
(hiperkalemia) dan asam basa, dengan darurat, sesuai indikasi.
 Terdapat perubahan pada kriteria hasil: 3. Kolaborasi pemberian natrium bikarbonat, 3. Membantu pembuangan kalium dari tubuh.
gambaran EKG, meliputi  Kalium 3,5-5,3 mEq/L sesuai indikasi.

Page 48
peninggian gelombang T.  Gambaran EKG dalam 4. Kolaborasi pemberian ion pengganti resin 4. Membantu pembuangan kalium dari tubuh.
 Pasien mengalami malaise, batas normal (Natrium polistriren sulfonat) secara oral atau
fatigue, pruritus,  Blood urea nitrogen retensi enema, sesuai indikasi.
kelemahan otot, kebas, dan (BUN) 10-20 mg/dL 5. Kolaborasi tindakan dialisa dengan 5. Dialisa dilakukan untuk membuang kalium
tingling  Kreatinin 0,6-1,2 mg/dL temporary dialysis access catheter. Jelaskan berlebih dari dalam tubuh untuk mencegah
 Blood urea nitrogen (BUN)  Fosforus 2,5-4,5 mg/dL kepada pasien dan keluarganya mengenai disritmia dan henti jantung.
70 mg/dl (meningkat) dan  Kulit lembab prosedur hemodialisis dan tujuannya.
kreatinin 7,2 mg/dL 6. Pantau tanda-tanda vital. 6. Mengevaluasi keefektifan terapi.
 Kalsium 6,2 mg/dL
(meningkat) azotemia 7. Lakukan monitor EKG. 7. Hiperkalemia dapat menyebabkan perubahan
 Fosforus 7,0 mg/dL gambaran pada EKG, seperti terdapat
(hiperfosfatemia) dan peninggian pada gelombang T.
kalsium 6,2 mg/dL 8. Pantau kadar kalium darah pasien. 8. Memastikan kalium darah berada dalam batas
(hipokalsemia) normal.
 Kulit tampak kering Azotemia
1. Batasi asupan makanan yang mengandung 1. Hasil metabolisme protein dapat
protein (0,5g/kgBB/hari) selama fase meningkatkan kadar urea di dalam tubuh.
oliguria.
2. Kolaborasi pemberian dopamin dengan infus 2. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan
rendah 2 µg/kgBB per menit. vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek
akhir peningkatan aliran darah ginjal, GFR,
dan natriuresis
3. Kolaborasi tindakan dialisa dengan 3. Dialisa dilakukan untuk membantu
temporary dialysis access catheter. Jelaskan mengeluarkan kelebihan ureum dan kreatinin
kepada pasien dan keluarganya mengenai yang menumpuk dalam tubuh pasien.
prosedur hemodialisis dan tujuannya.
4. Pantau kondisi pasien sebelum, selama dan 4. Mengidentifikasi respon pasien setelah dialisa.
setelah dialisis (termasuk TTV).
5. Pantau hasil laboratorium setelah dialisis: 5. Mengevaluasi keefektifan dialisa.
ureum dan kreatinin.

Hiperfosfatemia dan hipokalsemia


1. Batasi diet dan obat-obatan yang berikatan 1. Fosfat dapat berikatan dengan kalsium asetat,
dengan fosfat. kalsium karbonat, dan sevelamer hidroklorida.
2. Kolaborasi pemberian suplemen vit D aktif. 2. Meningkatkan kadar kalsium serum.
3. Lakukan perawatan kulit dengan merubah 3. Mencegah kerusakan kulit.

Page 49
posisi pasien secara teratur.
4. Kolaborasi tindakan dialisa dengan 4. Dialisa dapat membantu membuang produk
temporary dialysis access catheter. Jelaskan sisa metabolisme dan mencegah terjadinya
kepada pasien dan keluarganya mengenai cardiac arrhythmias.
prosedur hemodialisis dan tujuannya.
4. Gangguan perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan 1. Kolaborasi pemberian transfusi darah sesuai 1. Mengatasi anemia dengan meningkatkan
yang berhubungan dengan keperawatan selama … x 8 indikasi. kadar hemoglobin dan hematokrit.
penurunan suplai oksigen ke jam, perfusi jaringan 2. Kolaborasi pemberian suplemen zat besi oral 2. Membantu memenuhi kebutuhan hemoglobin
jaringan, ditandai dengan: adekuat, dengan kriteria atau IV atau suplemen vitamin. dalam tubuh.
 Wajah pasien tampak pucat hasil: 3. Kaji pasien untuk menemukan bukti-bukti 3. Perdarahan dapat memperburuk kondisi
 Hemoglobin 7,0 g/dL  Pasien tampak segar perdarahan. anemia yang dialami pasien.
(anemia)  Hemoglobin 12-16 4. Pantau hasil pemeriksaan darah. 4. Mengevaluasi keefektifan terapi yang
 Hematokrit 28% (menurun) gr/dL) diberikan.
5. Lindungi pasien terhadap cedera dan terjatuh.
 Penurunan kesadaran  Hematokrit 40%-54% 5. Menghindari sumber perdarahan lain yang
 Tidak terdapat dapat terjadi akibat cedera atau terjatuh.
6. Hindari aktivitas yang membuat pasien 6. Aktivitas tersebut memerlukan energi berlebih
perdarahan
mengejan, mengangkat badan, atau membalik yang dapat membuat pasien menjadi semakin
badan kelelahan.
5. Ketidakseimbangan nutrisi: Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi status pasien dan keefektifan diet. 1. Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan
kurang dari kebutuhan tubuh keperawatan selama … x 8 diet dan kondisi fisik umum. Gejala uremik
berhubungan dengan jam, intake nutrisi adekuat, dan pembatasan diet memengaruhi asupan
penurunan intake oral, dengan kriteria hasil: makanan.
2. Berikan dorongan higiene oral yang tepat
ditandai dengan:  Berat badan stabil atau 2. Higiene oral dapat mencegah bau mulut dan
 Nausea bahkan meningkat sebelum dan setelah makan. rasa tidak enak akibat mikroorganisme dan
 Vomiting  Tidak terdapat edema membantu mencegah timbulnya stomatitis.
3. Berikan diet tinggi kalori, rendah protein,
 Pasien kehilangan nafsu 3. Lemak dan protein tidak digunakan sebagai
makan rendah sodium, dan rendah potassium. sumber protein utama, sehingga tidak terjadi
penumpukan yang bersifat asam, serta diet
rendah garam memungkinkan retensi air ke
dalam intravaskuler.
4. Berikan makanan dalam porsi kecil tetapi
4. Meminimalkan terjadinya anoreksia, mual,
sering. dan muntah yang berhubungan dengan status
uremik.
5. Kolaborasi pemberian obat antiemetik. 5. Obat antiemetik dapat menghilangkan mual
dan muntah sehingga dapat meningkatkan
pemasukan oral.

Page 50
e. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dapat dilakukan dengan implikasi keperawatan
secara independen, dependen, dan interdependen. Prinsip dalam memberikan tindakan
keperawatan menggunakan komunikasi terapeutik serta penjelasan setiap tindakan yang
diberikan kepada pasien. Tindakan independen yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
perawat tanpa petunjuk atau perintah dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tindakan
dependen ialah tindakan yang berhubungan dengan tindakan medis atau dengan perintah
dokter atau tenaga kesehatan lain. Tindakan interdependen ialah tindakan keperawatan
yang memerlukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lain seperti apoteker, ahli gizi,
analis kimia, radiologi, fisioterapi, dan lain-lain. Dalam melakukan tindakan pada
pasien dengan AKI yang perlu diperhatikan yaitu penanganan terhadap fungsi ginjal
agar tidak mengalami perburukan. Kondisi aktual yang harus diintervensi diantaranya
kelebihan volume cairan, pola nafas tidak efektif, ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa, gangguan perfusi jaringan, dan ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh.

f. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan sebagai
alat ukur kerberhasilan suatu asuhan keperawatan yang dibuat. Evaluasi berguna untuk
menilai setiap langkah dalam perencanaan, mengukur kemajuan pasien dalam mencapai
tujuan akhir dan untuk mengevaluasi reaksi dalam menentukan keefektifan rencana atau
perubahan dalam membantu asuhan keperawatan. Evaluasi berdasarkan asuhan
keperawatan di atas, yaitu tercapainya volume cairan yang adekuat, pola nafas efektif,
keseimbangan elektrolit dan asam basa, perfusi jaringan adekuat, dan keseimbangan
nutrisi di dalam tubuh.

g. Dokumentasi Keperawatan
Perawat harus selalu menuliskan setiap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengkomunikasikan tindakan yang telah perawat
lakukan supaya tidak terjadi double intervensi terhadap pasien.

Page 51
Bab IV
Penutup

4.1 Simpulan
Acute Kidney Injury (AKI) atau disebut juga Acute Renal Failure (ARF),
merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang memiliki angka morbiditas
dan mortalitas yang tinggi, termasuk pada pasien-pasien yang mengalami perawatan di
ICU. Penyebab utama terjadinya AKI, yaitu iskemia, hipoksia, atau nefrotoksik. Pada
dasarnya terjadi penurunan GFR yang umumnya berhubungan dengan penurunan aliran
darah ke ginjal. AKI ini merupakan suatu keadaan yang menunjukkan terjadinya
penurunan fungsi ginjal dalam beberapa jam bahkan beberapa hari dan bersifat
reversibel. Saat ini diagnosis AKI dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi RIFLE atau
AKIN. Pengklasifikasian ini selain dapat menggambarkan beratnya penyakit, juga dapat
menggambarkan prognosis mortalitas dan kebutuhan terapi pengganti ginjal.
AKI dapat dikatagorikan kedalam tiga kelompok berdasarkan faktor
penyebabnya, yaitu: prerenal (disebabkan oleh hipoperfusi ginjal), intrarenal (biasa
disebut juga renal dan intrinsik, disebabkan oleh kerusakan yang terjadi secara langsung
pada ginjal), dan postrenal (disebabkan oleh obstruksi pada saluran urinaria). Penurunan
fungsi ginjal ini terjadi secara tiba-tiba yang menyebabkan ginjal tidak bisa untuk
mengekskresikan produk sisa metabolisme dan kelebihan cairan. Sehingga pada pasien
dengan AKI ini akan mengalami ketidakseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, dan
gangguan metabolik. Jika tidak ditangani secara seksama, maka fungsi ginjal akan
semakin menurun dan dapat meimbulkan berbagai macam komplikasi seperti disritmia
dan henti jantung karena hiperkalemia, gagal nafas karena edema paru, asidosis
metabolik, dan gangguan pada sistem tubuh lainnya yang dapat memperburuk prognosis
pada pasien. Dengan demikian, maka penatalaksanaan AKI mencakup upaya
penatalaksanaan etiologi, pencegahan penurunan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan
dan nutrisi, serta penatalaksanaan komplikasi.

Page 52
4.2 Saran
Kemampuan untuk membedakan kondisi kegawatdaruratan sistem urinaria yang
membutuhkan penanganan cepat dan tepat merupakan skill yang harus dimiliki perawat
di unit gawat darurat dan kritis. Dengan monitoring dan penanganan yang tepat pada
pasien dengan AKI, maka akan lebih banyak pasien yang menunjukkan kondisi
perbaikan fungsi ginjal, dapat hidup lebih lama, dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Penurunan fungsi ginjal yang terjadi pada AKI harus segera mendapatkan penanganan
yang cepat dan tepat untuk mencegah terjadinya penurunan fungsi ginjal yang lebih jauh
dan dapat menyebabkan terjadinya CKD. Oleh karena itu, maka secara kontinyu perlu
dilakukan monitoring terhadap efektifitas intervensi keperawatan dan terapi medis yang
diberikan. Dengan demikian maka apabila intervensi yang dilakukan tepat, ancaman
kematian pada pasien pun dapat dihindarkan.
Mengingat terapi AKI yang belum sepenuhnya memuaskan, maka pencegahan
sangat penting untuk dilakukan. Walaupun demikian sampai saat ini, tidak ada
pencegahan umum yang dapat diberikan pada seorang dengan penyakit dasar yang dapat
menyebabkan AKI, seperti usia lanjut dan seseorang dengan penyakit ginjal kronik.
Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status hemodinamik seorang
pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah penggunaan zat
nefrotoksik maupun obat yang dapat mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang
dengan gangguan fungsi ginjal.

Page 53
Daftar Pustaka

Adis International Limited. (2009). Treatment of acute renal failure (ARF) in elderly
patients requires early recognition and initiation of supportive treatment. Drugs
& Therapy Perspectives, 25(4), 14-17.
Alspach, J. G. (2006). Core Curriculum for Critical Care Nursing, 6th ed. Saunders
Elsevier. St. Louis.
Bagshaw, S. M., Georg, C., & Bellomo, R. (2008). A comparison of the RIFLE and
AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial
Transplant, 23, 1569-74.
Brady, H. R. & Brenner, B. M. (2005). Acute renal failure, dalam Kasper, D. L., Fauci,
A. S., Longo, D. L., Braunwald, E., Hauser, S. L., & Jameson, J. L., editor.
Harrison’s principle of internal medicine, 16th ed. New York: McGraw-Hill, Inc;
2005.p.1644-53.
Case, J., Khan, S., Khalid, R., & Khan, A. (2013). Review Article: Epidemiology of
Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit. Hindawi Publishing
Corporation Critical Care Research and Practice, Volume 2013, Article ID
479730, 9 pages. Available at: http://dx.doi.org/10.1155/2013/479730.
Cheo`ung, C. M., Ponnusamy, A., & Anderton, J. G. (2008). Management of acute renal
failure in the elderly patient: A clinician’s guide. Drugs & Aging, 25(6), 455-
476.
Coca, S. G. & Parikh, C. R. (2008). Urinary biomarkers for acute kidney injury:
perspectives on translation. Clin J Am Soc Nephrol, 3, 481-490.
Coca, S. G. (2010). Acute kidney injury in elderly persons. American Journal of Kidney
Diseases, 56(1), 122-131.
Emergency Nurses Association. (2010). Emergency Nursing: Principles and Practices,
6th Ed. St. Louis Missouri: Elsivier Inc.
Gedeon, S. (2013). Comprehensive Case Study: Acute Kidney Injury. MedSurg
Nursing, 22(6), 400-402.
Holcombe, D. & Feeley, N. K. (2009). Acute Renal Failure, dalam Morton, P. G. &
Fontaine, D. K. Critical Care Nursing: A Holistic Approach, 9 th Ed. Lippincott
Williams & Wilkins.
Kellicker, P. G. & Schub, T. (2011). quickLESSON about... Renal Failure, Acute, in
Older Adults. Published by Cinahl Information Systems.
Kirwan, C. J., Philips, B. J., & MacPhee, I. A. M. (2013). Research Article: Estimated
Glomerular Filtration Rate Correlates Poorly with Four-Hour Creatinine
Clearance in Critically Ill Patients with Acute Kidney Injury. Critical Care
Research and Practice, Volume 2013, Article ID 406075, 8 pages.
http://dx.doi.org/10.1155/2013/406075.
Lameire, N., Biesen, W. V., & Vanholder, R. (2006). The rise of prevalence and the fall
of mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two
databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol, 17, 923-5.
Markum, H. M. S. (2006). Gagal ginjal akut. Dalam Sudoyo, A., Setiyohadi, B., Alwi,
I., Simadibrata, M., Setiati, S., editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Ed
4. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; p.585-9.

Page 54
McCullough, P. A., El-Ghoroury, M., & Yamasaki, H. (2011). Early Detection of Acute
Kidney Injury With Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin. Journal of the
American College of Cardiology, 57(17). ISSN 0735-1097.
doi:10.1016/j.jacc.2010.11.050.
McMahon, G. M. & MB, BCh, and Waikar, S. S. (2013). Biomarkers in Nephrology:
Core Curriculum 2013. Am J Kidney Dis, 62(1):165-178.
Misurac, J. M., Knoderer, C. A., PharmD, Leiser, J. D., Nailescu, C., Wilson, A. C., &
Andreoli, S. P. (2013). Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs Are an Important
Cause of Acute Kidney Injury in Children. J Pediatr, 162, 1153-9.
Morton, P. G. & Fontaine, D. K. (2009). Critical Care Nursing: A Holistic Approach,
9th Ed. Lippincott Williams & Wilkins.
Official Journal of The International Society Of Nephrology. (2012). KDIGO Clinical
Practice Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements,
2(1).
Price, S. A. & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC
Rocco, M., Montini, L., Alessandri, E., Laderchi, M. V. A., Pascale, G. D., Raponi, G.,
Vitale, M., Pietropaoli, P., & Antonelli. (2013). Risk factors for acute kidney
injury in critically ill patients receiving high intravenous doses of colistin
methanesulfonate and/or other nephrotoxic antibiotics: a retrospective cohort
study. Critical Care, 17: R174. doi:10.1186/cc12853.
Roesli, R. M. A., Martakusumah, A. H., & Suryanto. (2007). Terapi dialisis pada
penderita sakit kritis dengan gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi, 7(1):12-17.
Roesli, R. M. A. (2008). Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli, R.
M. A., Gondodiputro, R. S., Bandiara, R., editor. Diagnosis dan pengelolaan
gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; p.41-66.
Sinto, R. & Nainggolan, G. (2010). Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Maj Kedokt Indon, 60(2).
Smeltzer, S. C. & Brenda G. B. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC.
Thomas, A. A., Demirjian, S., Lane, B. R., Simmons, M. N., Goldfarb, D. A.,
Subramanian, V. S., & Campbell, S. C. (2011). Acute Kidney Injury: Novel
Biomarkers and Potential Utility for Patient Care in Urology. UROLOGY 77: 5–
11. doi:10.1016/j.urology.2010.05.004.
Waikar, S. S., Liu, K. D., Chertow, G. M. (2008). Diagnosis, epidemiology and
outcomes of acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol, 3, 844-861.
Zhang, Z., Lu, B., Sheng, X., & Jin, N. (2011). Cystatin C in Prediction of Acute
Kidney Injury: A Systemic Review and Meta-analysis. Am J Kidney Dis. 58(3):
356-365.

Page 55

Anda mungkin juga menyukai