Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus

STATUS EPILEPTIKUS PEDIATRIK


Laporan ini dibuat sebagai salah satu persyaratan
untuk Program Dokter Internship Kementerian Kesehatan
di RSUD Tarakan Jakarta Pusat

Oleh
dr. Aristya Rahadiyan Budi
Dokter Internship

Pembimbing
dr. Elvita Dwi Amelia

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA (PIDI)


KEMENTRAIN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
KOTA JAKARTA PUSAT DKI JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Status epilepticus (SE) sebelumnya didefinisikan sebagai suatu bangkitan kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit, menjadikan hal tersebut suatu kegawatan neurologi.1
Namun sekarang definisi dari SE adalah suatu kegawatan neurologi yang berupa
bangkitan kejang selama minimal 5 menit atau bangkitan kejang berulang yang kembali
ke normal diantara bangkitan tersebut.2 Oleh karena itu,bangkitan kejang dapat terjadi
terus menerus atau intermiten tanpa adanya pengembalian kesadaran antara bangkitan
kejang

Status epilepticus dapat dibagi menjadi beberapa tipe. Kebanyakan literatur yang
membahas tentang SE umumnya membahas tentang Generalized Tonic-Clonic Status
Epilepticus (GTCSE) dan kedua nomenklatur tersebut sering digunakan secara
bergantian, oleh karena itu pada laporan kasus ini penulis akan lebih memfokuskan
pembahasan terhadap GTCSE dan apabila diperlukan akan membahas tipe – tipe SE yang
lainnya. Tipe – tipe tersebut antara lain :1

 SE simple parsial
 SE kompleks parsial
 SE Absentia
 SE nonkonvulsif
 SE Myoklonik
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Status epilepticus (SE) sebelumnya didefinisikan sebagai suatu bangkitan kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit, menjadikan hal tersebut suatu kegawatan neurologi.1 Namun
sekarang definisi dari SE adalah suatu kegawatan neurologi yang berupa bangkitan kejang
selama minimal 5 menit atau bangkitan kejang berulang yang kembali ke normal diantara
bangkitan tersebut.2 Oleh karena itu,bangkitan kejang dapat terjadi terus menerus atau
intermiten tanpa adanya pengembalian kesadaran antara bangkitan kejang.

2.2 Epidemiologi

Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status


epilepticus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun
dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.3

2.3 Etiologi

Etiologi dari SE cenderung bervariasi tergantung dari umur anak (contoh : <6 tahun
dan >6 tahun). Penyebab SE pada golongan umur <6 tahun antara lain:1

o Trauma kelahiran
o Kejang demam (pada usia 3 bulan – 6 tahun)
o Infeksi
o Kelainan metabolic
o Trauma
o Sindrom neurokutaneus
o Penyakit degenerative otak
o Tumor
o Idiopatik

Penyebab SE pada golongan umur >6 tahun antara lain:

o Trauma kelahiran
o Trauma
o Infeksi
o Epilepsy dengan pengobatan tidak cukup
o Penyakit degenerative otak
o Tumor
o Toxin
o Idiopatik
Toxin dan medikasi yang dapat menyebabkan SE antara lain
o Anestetik topical (contoh : lidokain)
o Overdosis anti kejang
o Camphor
o Agen hipoglikemia (contoh : insulin, ethanol)
o Karbon monoksida
o Sianida
o Logam berat (contoh : timbal)
o Pestisida (contoh : organofosfat)
o Kokain
o Phencylidine
o Alkaloid belladonna
o Nikotin
o Simpatomimetik (contoh : amfetamin, fenilpropanolamin)
o Antidepresan trisiklik

Etiologic dari episode SE dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu; (1) simptomatik


akut, (2) gangguan neurologis kronik progresif, dan (3) SE remote symptomatic.4

SE akut simptomatis dapat disebabkan oleh infeksi akut, trauma kepala, hipoksemia,
hipoglikemia, atau withdrawal obat. SE akut simptomatik merupakan etiologi yang paling
sering ditemukan pada kasus pada anak, dengan 35% dari kasus SE merupakan kasus SE akut
simptomatis. SE idiopatik merupakan kategori terbanyak kedua dengan 30% dan SE febril
sebanyak 25% menempati urutan ketiga.4

SE gangguan neurologis kronik progresif mencakup hanya 5% kasus. SE remote


symptomatic merujuk terhadap SE sekunder hingga kondisi statis (contoh: apabila terjadi
rangasangan berlebihan terhadap otak pada periode perinatal yang menyebabkan SE nantinya
pada masa kanak kanak).
2.4 Patofisiologi

SE terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi penyebaran kejang baik


karena aktivitas neurotransmitter eksitasi yang berlebihan dan / atau aktivitas
neurotransmitter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmitter eksitasi utama tersebut adalah
neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmitter inhibisi adalah gamma-aminobutyric
acid (GABA)3.

2.5 Manifestasi Klinis4

A. SE Simper Parsial

Pada kasus SE simple parsial, bangkitan kejang dapat terjadi dengan durasi cukup
lama, terutama pada kasus – kasus yang diringi dengan adanya lesi fokal pada otak.
Bangkitan kejang pada SE simple parsial dapat berbentuk tonik (kontraksi otot tubuh)
atau klonik (periode bergantian antara kontraksi dan relaksasi otot). Bangkitan kejang SE
simple parsial berdurasi lama (biasanya tonik dan klonik) sering disebut epilepsia partialis
continua.

Bangkitan kejang SE simple parsial tidak menyebabkan penurunan kesadaran.


Namun, bangkitan kejang biasanya didampingi dengan halusinasi, perasaan subjektif,
ataupun aura dari tubuh. SE simple parsial tidak selalu berhubungan dengan kerusakan
otak menyeluruh, kecuali bangkitan kejang berubah menjadi SE parsial kompleks atau
berdampingan dengan generalisasi sekunder.

B. SE Parsial Kompleks

Episode bangkitan kejang dari SE parsial kompleks digambarkan sebagai penurunan


kesadaran mayor, hilangnya memori sebelum dan saat bangkitan kejang yang
dihubungkna dengan automatisme stereotopik, mata melotot, dan dalam beberapa kasus,
vokalisasi atau berteriak. Kebanyakan pasien SE parsial kompleks memiliki tingkat
kesadaran bingung (confused) atau tidak responsive.

Episode bangiktan kejang pada SE parsial kompleks biasanya diikuti oleh deficit
kognitif pada beberapa kasus. Oleh karena itu, pengenalan deficit neurologis pasca
bangkitan adalah penting.

C. SE Absentia
SE Absentia dikategorikan sebagai episode bergantian dari perubahan responsivitas
berkepanjangan dengan rekoleksi memori yang buruk atau tidak sama sekali. SE Absentia
dapat berlangsung berjam – jam atau bahkan berhari – hari. Bangkitan kejang SE
Absentia yang terjadi lebih dari 30 menit harus ditatalaksana dikarenakan terjadinya
peningkatan resiko generalisasi sekunder. Namun, bangkitan kejang SE Absentia
berkepanjangan tidak berhubungan dengan perburukan neurologis.

Perubahan kesadaran pada SE Absentia biasanya tidak parah, perilaku automatisasi


biasanya terjadi, dengan pasien yang masih dapat melaksanakan kegiatan sehari – hari
seperti menyisir rambut, bermain game, bahkan berkemudi. Dalam beberapa kasus dapat
terjadi kejutan myoklonik dari bulu mata sebelum terjadinya kejang. SE Absentia
biasanya terjadi pada pasien di golongan umur remaja dan dewasa dengan riwayat SE
sebelumnya.

D. SE Nonkonvulsif

Berbagai penelitian tentang SE nonkonvulsif menggambungkan kasus SE parsial


kompleks dan SE absentia menjadi SE nonkonvulsif. Hal ini terjadi dikarenakan
kemiripan dari bangkitan kejang kedua tipe SE tersebut walaupun adanya perbedaan dari
pola EEGnya.

Pada anak, sekitar 2/3 dari bangkitan kejang SE nonkonvulsif memiliki perubahan
EEG yang menyeluruh yang mengarah ke SE absentia tipikal atau nontipikal dengan /
atau komponen myoklonik.

E. SE Myoklonik

Bangkitan kejang SE myoklonik dikarakteristikan sebagai bangkitan kejang yang cepat,


mayoritas repetitive dari ekstrimitas. Bangkitan kejang biasanya berulang dan dalam
beberapa kasus berlangsung sangat lama sebelum mereda. Beberapa pasien dengan SE
myoklonik dapat mengalami bangkitan kejang yang berlangsung berhari – hari dengan / tanpa
perubahan / penurunan kesadaran.

2.6 Diagnosis

1. Anamnesis2

Pasien dengan SE biasanya datang dengan keluhan utama berupa bangkitan kejang
atau pasca bangkitan kejang. Anamnesis pada pasien SE meliputi :
o Durasi kejang
o Hubungan dari ekstrimitas dan bagian tubuh lain (seperti wajah, bulu mata, dsb)
o Sifat gerakan kejang (contoh : pergerakan mata, fleksi, ekstensi, atau kekakuan pada
ekstrimitas)
o Inkontinesia
o Siaonis (perioral atau fasial)
o Durasi dari kejang sebelum masuk fasilitas kesehatan
o Tingkat kesadaran paska bangkitan kejang selesai
o Deficit neurologis paska kejang

Beberapa informasi yang penting didapatkan saat anamnesis untuk menentukan


etiologic dari bangkitan kejang antara lain :

o Riwayat demam atau penyakit lain sebelum terjadinya kejang


o Riwayat kejang sebelumnya, apabila ada tanyakan lebih lanjut pengobatan yang
digunakan untuk menghetnikan kejang
o Riwayat trauma kepala (sekarang dan dulu)
o Riwayat penyakit infeksi system saraf pusat (contoh : meningitis, encephalitis, dsb)
o Riwayat paparan atau intoksikasi agen
o Riwayat abnormalitas system saraf pusat lainnya (riwayat trauma system saraf pusat,
pemasangan VP Shunt)
o Riwayat persalinan dan gangguan perkembangan (contoh : anoxic encephalopathy,
cerebral palsy)
o Riwayat penyakit lain (contoh : AIDS, SLE, diabetes tipe I, asma, dsb)

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien meliputi pemeriksaan neurologis diikuti oleh


pemeriksaan fisik umum pasca bangkitan kejang pasien selesai. Saat pemeriksaan fisik awal
disarankan untuk mencari tanda – tanda sepsis atau meningitis tanda trauma kepala atau
gangguan system saraf pusat.2

Tanda – tanda sepsis atau meningitis antara lain :2

o Temperatur > 38.5℃, pada pasien <2 – 3 bulan >38.0℃


o Distress pernafasan
o Sianosis
o Perfusi perifer buruk
o Penonjolan fontanel pada bayi
o Mengismus (pada anak > 12 – 18 bulan
o Pteki atau purpura, vesikel herpetiformik

Tanda – tanda trauma kepala atau gangguan system saraf pusat antara lain :2

o Bradikardi, takipnea, dan hipertensi (cushing triad untuk tanda peningkatan


tekanan intracranial)
o Respons pupil memburuk
o Asimetrisme pada pemeriksaan neurologis
o Deformitas atau soft tissue injury pada kepala

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada kasus SE dilakukan untuk menentukan etiologi utama


penyebab bangkitan kejang.1 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain
pemeriksaan laboratorium baik berupa pemeriksaan darah lengkap untuk menentukan apakah
terjadinya infeksi atau tidak, pungsi lumbal apabila ditemukan tanda rangsangan meningeal
pada pasien, pemeriksaan neuroimaging berupa CT-Scan kepala apabila ditemukan
kecurigaan terjadinya trauma kepala atau infeksi system saraf pusat atau tumor atau
perdarahan intracranial, dan elektroensefalogram untuk melihat gambaran aktivitas elektrik
pada otak pasca bangkitan kejang.3

2.7 Diagnosis Banding

Pada kasus SE disarankan untuk mencari kemungkinan dari infeksi pada pasien
pediatrik yang datang. Diagnosis banding dari SE antara lain :1

o Kejang demam (bangkitan kejang diakibatkan peningkatan temperature lebih dari


38,5℃)
o Kejang psikogenik (bangkitan kejang berupa manifestasi psikologis ataupun
malingering)
o Intoksikasi amfetamin
o Neoplasma otak

2.8 Tatalaksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian ABC (airway, breathing, circulation) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis
anti-konvulsan pada tatalaksanan SE sangat bervariasi antar insitiusi. Berikut adalah
algoritma tatalaksana kejang akut dan status epilepticus berdasarakna Konsensus UKK
Neurologi IDAI.3
Keterangan :3

o Diazepam IV : 0.2 – 0.5 mg/kg IV (Maximum 10 mg) dalam spuit kecepatan 2


mg/menit. Apabila kejang berhenti sebelum obat habis tidak perlu dihabiskan.
o Fenobarbital : pemeberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% rasio 1:1 dengan
kecepatan sama dengan diazepam
o Midazolam buccal : dapat digunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1cc yang telah dibuang jarumnya, dan
diteteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia:
o 2,5 mg (6 – 12 bulan)
o 5 mg (1 – 5 tahun)
o 7,5 mg (5 – 9 tahun)
o 10 mg ( ≥ 10 tahun)
o Tapering off midazolam infus kontinyu : bila bebas kejang selama 24 jam pasca
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan pasca 48 jam bebas kejang.
Pemberian midazolam infus kontiyu seharusnya dilakukan di ICU.
o Bila pasien terdapat riwayat status epilepticus namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian
rumatan bila diperlukan

Tatalaksana lain bergantung dengan etiologic penyebab bangkitan kejnag peratma kali
muncul, baik itu mengatasi distress pernafasan, meningitis, encephalitis, trauma kepala, dan
etiologic lainnya.

2.9 Komplikasi

Komplikasi dari status epilepticus secara umum dapat dikatergorikan menjadi 2, yaitu
komplikasi primer langsung dari status epilepticus dan komplikasi sekunder akibat
pemakaian anti-konvulsan.3

1. Komplikasi primer3

Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu
reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan
GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan
neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat
menyebabkan komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE
konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal.
Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis.
Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi,
hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi
hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa
akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi,
dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi
akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.

2. Komplikasi Sekunder3

Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas


serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol
yang harus diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai dengan
rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik.
Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia.
Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait perawatan intensif dan
imobilisasi seperti emboli paru, trombosis vena dalam, pneumonia, serta gangguan
hemodinamik dan pernapasan harus diperhatikan

2.10 Prognosis

Beberapa factor dapat mempengaruhi prognosis pasien dengan SE. Faktor – factor
tersebut antara lain tipe dari bangkitan kejang (non konvulsif vs tonik klonik generalisata),
durasi, etiologi dan umur pasien. Paska bangkitan kejang pada pasien dengan SE non
konvulsif, 60% pasien menunjukan detoriasi fungsi kognitif. Sedangkan pasien dengan SE
generalisata tonik – klonik yang durasi bangkitan kejangnya kurang dari 1 jam memiliki
prognosis lebih baik dengan detoriasi pada 69% kasus dibandingkan kasus yang berdurasi
lebih dari 1 jam.

Gangguan koginitif pasien dengan SE dapat berupa gangguan belajar, retardasi


mental, dan deficit neurologis permanen. Sekitar 3 – 56% pasien yang mengalami SE akan
mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptukus yang terjadi dalam 2 tahun
pertama. Factor resiko SE berulang adalah; usia muda. Ensefalotpati progresif, etiologic
simptomatis remote, syndrome epilepsy.3
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

An. N.A. / 12 tahun / Laki – Laki.

3.2 Anamnesis

Pasien anak laki – laki usia 12 tahun datang dibawa oleh keluarga pasien ke IGD
RSUD Tarakan pada tanggal 9 September 2021 dengan

Keluhan Utama

Kejang berulang sejak kurang lebih 2 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

o Kejang berulang sejak 2 jam SMRS, sebelumnya pasien sudah kejang 3 kali, 2 kali
pertama kejang berhenti sendiri. Sekarang kejang tidak berhenti sejak 15 menit yang
lalu.
o Kejang berawal dengan pasien menolek keatas diikuti kaku pada tangan dan kaki lalu
gerakan bergelunjak dari tangan dan kaki, pasien tidak sadar pasca kejang pertama
sampai sekarang.
o Riwayat demam, batuk, pilek, sebelumnya tidak ada
o Riwayat bibir atau wajah kebiruan tidak ada
o Riwayat trauma kepala sebelumnya tidak ada
o Pasien terlihat mengompol setelah kejang pertama.
o Riwayat BAB jumlah dan konsistensi normal

Riwayat Penyakit Dahulu

o Pasien dikenal dengan epilepsy, sudah berobat kurang lebih selama 3 tahun, diberikan
obat sirup bernama Sodium Valparoat dan obat racikan puyer, namun pasien sudah
tidak meminum obat selama 3 hari belakangan ini.
o Riwayat persalinan : lama hamil cukup bulan, cara lahir spontan pervaginam ditolong
oleh bidan, berat lahir 3100gr dengan Panjang lahir 48cm, keadaan saat lahir
menangis kuat. Penyulit persalinan tidak ada.
o Riwayat penyakit selama kehamilan ibu tidak ada.
o Riwayat vaksinasi pasien lengkap
o Riwayat penyakit jantung, ginjal, hepar, asma, keganasan pada pasien tidak ada.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Taksiran Tanda Vital

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Soporo Coma (E2M3V2)

Tekanan Darah : 115/73 mmHg

Nadi : 160 bpm

Pernafasan : 29 x/menit

Temperatur : 36,9℃

Berat Badan : 49 kg

Berat Badan Ideal : 30 kg

Satus Generalis

Kepala : bulat, simetris, tidak ada deformitas, nampak luka pada jidat kiri
pasien

KGB : tidak ada perbesaran KGB

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor 3/3, RC
+/+, RK +/+, edem palpebra tidak ada

Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada

Thorax

Jantung : Ictus cordis (-), Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, batas
jantung dalam batas normal, Bunyi Jantung (+), S1S2 Reguler, Murmur (-)

Paru : Normochest, simeteris kiri – kanan, fremitus sulit dilakukan, perkusi


sonor kedua lapangan paru, suara navas vesikuler kedua lapang paru, rhonki -/-,
wheezing -/-
Abdomen : tidak distensi, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan dan nyeri lepas
tidak ada, perkusi timpani, bising usus terdengar normal

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s, Udem tidak ada

Pemeriksaan Neurologis

Refleks Fisiologis

Kornea : +/+

Laring : tidak dilakukan

Masseter : tidak dilakukan

Biseps : +/+

Triseps : +/+

APR : +/+

KPR : +/+

Bulbocavernosa : tidak dilakukan

Kremaster : tidak dilakukan

Sphincter : tidak dilakukan

Refleks Patologis

Hoffman – Tromner : - / -

Babinsky :-/-

Chaddoks :-/-

Oppenheim :-/-

Gordon :-/-

Schaffer :-/-

3.4 Diagnosis Banding

o Status Epileptikus
o Kejang Demam
o Suspek Trauma Kepala

3.5 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

HEMATOLOGI

Darah Rutin

o Hemoglobin * 13.7 g/dL 14.0 - 16.0


o Hematokrit 40.5 % 40.0 - 48.0
o Eritrosit 5.83 10^6/µL 4.60 - 6.20
o Leukosit * 33.76 10^3/µL 5.00 - 10.00
o Trombosit * 511 10^3/µL 150 - 400
o MCV * 69.5 fL 82.0 - 92.0
o MCH * 23.5 pg 27.0 - 31.0
o MCHC 33.8 g/dL 32.0 - 37.0

HEMOSTASIS

o PT + INR INR 1.07


o Masa Protrombin PT (Pasien) 11.1 detik 9.3 - 11.4
o PT (Kontrol) 10.6 detik 9.3 - 12.7

APTT

o APTT (Pasien) 38.8 detik 29.0 - 40.2


o APTT (Kontrol) 36.8 detik 27.3 - 36.9

FUNGSI HATI

o Albumin 4.7 g/dL 3.5 - 5.2


o SGOT (AST) * 185 U/L < 45
o SGPT (ALT) 36 U/L < 41

FUNGSI GINJAL

o Ureum 22 mg/dL 19 - 44
o Kreatinin * 1.5 mg/dL 0.6 - 1.3

DIABETES

o Glukosa Darah Sewaktu 124 mg/dL < 140

ELEKTROLIT

Elektrolit (Na, K, Cl)

o Natrium (Na) 141 mEq/L 135 - 150 K


o alium (K) 4.0 mEq/L 3.6 - 5.5
o Klorida (Cl) 111 mEq/L 94 – 111

Radiologi

Thorax PA/AP :

o Jantung ukuran tidak membesar


o Aorta baik
o Mediastinum superior tidak membesar
o Trakea di tengah. Kedua hilus tidak membesar
o Corakan bronkovaskuler kedua paru baik
o Tidak tampak infiltrate maupun nodul di kedua lapangan paru
o Kedua hemidiafragma licin. Kedua sudut kostofrenikus lancip
o Costae intak

Kesan : tidak tampak infiltrate jelas pada kedua lapang paru, ukuran jantung tidak
membesar

3.6 Diagnosis Kerja

o Status Epilepticus
o Anemia ringan, suspek defisiensi besi.
o Leukositosis
o Thrombositosis

3.7 Tatalaksana

 IVFD Ringer Asetat 20tpm


 Diazepam 2 x 1 amp IV
 Phenytoin 1 x 1 amp IV
 09.30 09/09/2021

Pasien kejang lagi, phenobarbital 6 mg IV drip dalam NS 15 menit

Midazolam 1mg/jam

 10.00 09/09/2021

Intubasi ETT 6,0 batas bibir 18cm premed midazolam 0,2 mg IV, ketamine 40mg IV

 Konsul dr. Mustari, Sp. A


o Phenobarbital 6 mg/kgbb IV jika kejang
o Ceftriaxone 1 x 1,5 gr IV
o Paracetamol 10 mg/kgbb apabila demam
o Rawat ruang PICU non COVID on ventilator
o Setting Ventilator
 Pressure A/C
 RR 25
 PC 15
 PEEP 6
 FiO2 50%
 I:E 1:2

3.8 Prognosis

Quo ad vitam : dubia at malam

Quo ad sanationam : dubia at malam

Quo ad functionam : dubia at malam

3.9 Follow Up

09/09/2021 13.00

S/ Pasien tidak sadar, demam (+), pasien sudah tidak kejang selama 2 jam, pasien terpasang
ventilator
O/ TD 135/84 ND 142 bpm RR 30x on ventilator T 37,5 SpO2 97%

BJ (+) S1S2 Reguler Murmur (-)

SN Vesikuler Rh -/- Wz -/-

Abd Supel BU (+)

Ext akral hangat CRT <2s

BAK 1,3cc/kg/jam

A/ Status Epileptikus, Distress Pernafasan

P/ Jika kejang lagi extra diazepam 0,3 mg/kgBB (total 9mg)

Midazolam tingkatkan dosis 2 mg/jam

Pasang CVC oleh dr. Edi Sp. A

10/09/2021 11.00

S/ Demam (+) Kejang (-)

O/ TD 113/65 ND 121 bpm RR 24 SpO2 98%

BJ (+) S1S2 Reguler

SN Vesikuler Rh -/- Wz -/-

Abd Supel BU (+)

Ext Akral hangat CRT <2s

A/ Status Epileptikus, Distress Pernafasan

P/ SF 8 x 75 – 100mg

IVFD Lanjut

Lanjutkan pengobatan lain

Cek Labor

O2 SIMV PSV 9
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada tanggal 09 September 2021 paisen datang dibawa oleh keluarganya dengan
keluhan utama kejang sejak 2 jam yang lalu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien sedang
kejang, menurut Algoritma tatalaksana kejang oleh IDAI maka pasien diberikan Diazepam
injeksi dengan dosis 0,2 mg/kgBB bertotal 1 ampul 5 mg. Pasien berhenti kejang dan
dilakukan alloanamnesis kepada keluarga pasien maka. Diketahui pasien memiliki riwayat
epilepsy sejak 3 tahun yang lalu dan bangkitan kejang sekarang merupakan bangkitan kejang
ketiga pasien dengan bangkitan pertama berlangsung selama 15 menit dimana pasien
kehilangan kesadaran pasca bangkitan pertama, dan bangkitan kedua terjadi saat pasien
sedang ditransport ke RSUD Tarakan berlangsung selama 10 menit. Dari alloanamnesis juga
didapatkan bahwa pasien sudah 3 hari tidak mengkonsumsi obat antiepileptiknya. Pasien
tidak memiliki riwayat infeksi sebelumnya maupun riwayat lain yang mensugesti pasien
memiliki kelainan system saraf pusat lainnya.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien memiliki riwayat jejas di kepala yang
diklarifikasi oleh orang tua pasien bahwa luka tersebut terjadi akibat benturan dengan tembok
beberapa hari sebelum pasien mengalami bangkitan kejang pertama. Taksiran tanda vital
pasien menunjukan batas normal yang menampis kemungkinan bahwa kejang yang dialami
pasien disebabkan factor peningkatan temperature yaitu kejang demam pada anak. Pada
bangkitan kejang pasien nampak keempat ekstrimitas pasien bergelonjak ritmik, tidak ada
pergerakan mata dari pasien, vokalisasi tidak ada, kesadaran pasien menurun, menandakan
seperti deskripsi kejang tonik-klonik. Riwayat frekuensi kejang berulang dan dengan
pertimbangan riwayat penyakit epilepsy pasien menyebabkan penulis berkonklusi bahwa
fenomena yang dialami oleh pasien sekarang merupakan bangkitan kejang Status Epileptikus
khususnya tipe Generalized Tonic-Clonic Seizure (GTCSE) yang merupakan bentuk paling
sering mucul dari Status Epileptikus.

Pasien kemudian kejang berulang kali yang memerlukan penanganan diazepam,


fenitoin, fenobarbital, dan akhirnya dilakukan pemberian midazolam untuk menangani kejang
pasien. Pasien juga dilakukan pemasangan intubasi untuk membantu pernafasan pasien
sebagai bentuk efek samping dari pemberian obat golongan benzodiazepine dan juga untuk
membantu system respirasi pasien. Pasien kemudian ditransport ke PICU non – covid untuk
monitoring dan tatalaksana lebih lanjut.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Mitchell WG. Status epilepticus and acute serial seizures in children. J Child Neurol.
2002 Jan 17 Suppl 1 : S36-43
2. Wieruszewski ED, Brown CS, Leung JG, Wieruszewski PM. Pharmalogic
management of status epilepticus. AACN Adv Crit Care. 2020 Dec 15. 31 (4): 349 –
56.
3. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatamadja I, Handryastuti S.
Rekomendasi penataan status epilepticus. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Cetakan pertama. 2016. H 1.
4. Wylie T, Sanduh DS, Murr N. Status Epilepticus. StatPearls [Internet]. 2021. Diakses
di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430686/ Pada 10 Agustus 2021.

Anda mungkin juga menyukai