Oleh
dr. Aristya Rahadiyan Budi
Dokter Internship
Pembimbing
dr. Elvita Dwi Amelia
1.1 Pendahuluan
Status epilepticus (SE) sebelumnya didefinisikan sebagai suatu bangkitan kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit, menjadikan hal tersebut suatu kegawatan neurologi.1
Namun sekarang definisi dari SE adalah suatu kegawatan neurologi yang berupa
bangkitan kejang selama minimal 5 menit atau bangkitan kejang berulang yang kembali
ke normal diantara bangkitan tersebut.2 Oleh karena itu,bangkitan kejang dapat terjadi
terus menerus atau intermiten tanpa adanya pengembalian kesadaran antara bangkitan
kejang
Status epilepticus dapat dibagi menjadi beberapa tipe. Kebanyakan literatur yang
membahas tentang SE umumnya membahas tentang Generalized Tonic-Clonic Status
Epilepticus (GTCSE) dan kedua nomenklatur tersebut sering digunakan secara
bergantian, oleh karena itu pada laporan kasus ini penulis akan lebih memfokuskan
pembahasan terhadap GTCSE dan apabila diperlukan akan membahas tipe – tipe SE yang
lainnya. Tipe – tipe tersebut antara lain :1
SE simple parsial
SE kompleks parsial
SE Absentia
SE nonkonvulsif
SE Myoklonik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Status epilepticus (SE) sebelumnya didefinisikan sebagai suatu bangkitan kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit, menjadikan hal tersebut suatu kegawatan neurologi.1 Namun
sekarang definisi dari SE adalah suatu kegawatan neurologi yang berupa bangkitan kejang
selama minimal 5 menit atau bangkitan kejang berulang yang kembali ke normal diantara
bangkitan tersebut.2 Oleh karena itu,bangkitan kejang dapat terjadi terus menerus atau
intermiten tanpa adanya pengembalian kesadaran antara bangkitan kejang.
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
Etiologi dari SE cenderung bervariasi tergantung dari umur anak (contoh : <6 tahun
dan >6 tahun). Penyebab SE pada golongan umur <6 tahun antara lain:1
o Trauma kelahiran
o Kejang demam (pada usia 3 bulan – 6 tahun)
o Infeksi
o Kelainan metabolic
o Trauma
o Sindrom neurokutaneus
o Penyakit degenerative otak
o Tumor
o Idiopatik
o Trauma kelahiran
o Trauma
o Infeksi
o Epilepsy dengan pengobatan tidak cukup
o Penyakit degenerative otak
o Tumor
o Toxin
o Idiopatik
Toxin dan medikasi yang dapat menyebabkan SE antara lain
o Anestetik topical (contoh : lidokain)
o Overdosis anti kejang
o Camphor
o Agen hipoglikemia (contoh : insulin, ethanol)
o Karbon monoksida
o Sianida
o Logam berat (contoh : timbal)
o Pestisida (contoh : organofosfat)
o Kokain
o Phencylidine
o Alkaloid belladonna
o Nikotin
o Simpatomimetik (contoh : amfetamin, fenilpropanolamin)
o Antidepresan trisiklik
SE akut simptomatis dapat disebabkan oleh infeksi akut, trauma kepala, hipoksemia,
hipoglikemia, atau withdrawal obat. SE akut simptomatik merupakan etiologi yang paling
sering ditemukan pada kasus pada anak, dengan 35% dari kasus SE merupakan kasus SE akut
simptomatis. SE idiopatik merupakan kategori terbanyak kedua dengan 30% dan SE febril
sebanyak 25% menempati urutan ketiga.4
A. SE Simper Parsial
Pada kasus SE simple parsial, bangkitan kejang dapat terjadi dengan durasi cukup
lama, terutama pada kasus – kasus yang diringi dengan adanya lesi fokal pada otak.
Bangkitan kejang pada SE simple parsial dapat berbentuk tonik (kontraksi otot tubuh)
atau klonik (periode bergantian antara kontraksi dan relaksasi otot). Bangkitan kejang SE
simple parsial berdurasi lama (biasanya tonik dan klonik) sering disebut epilepsia partialis
continua.
B. SE Parsial Kompleks
Episode bangiktan kejang pada SE parsial kompleks biasanya diikuti oleh deficit
kognitif pada beberapa kasus. Oleh karena itu, pengenalan deficit neurologis pasca
bangkitan adalah penting.
C. SE Absentia
SE Absentia dikategorikan sebagai episode bergantian dari perubahan responsivitas
berkepanjangan dengan rekoleksi memori yang buruk atau tidak sama sekali. SE Absentia
dapat berlangsung berjam – jam atau bahkan berhari – hari. Bangkitan kejang SE
Absentia yang terjadi lebih dari 30 menit harus ditatalaksana dikarenakan terjadinya
peningkatan resiko generalisasi sekunder. Namun, bangkitan kejang SE Absentia
berkepanjangan tidak berhubungan dengan perburukan neurologis.
D. SE Nonkonvulsif
Pada anak, sekitar 2/3 dari bangkitan kejang SE nonkonvulsif memiliki perubahan
EEG yang menyeluruh yang mengarah ke SE absentia tipikal atau nontipikal dengan /
atau komponen myoklonik.
E. SE Myoklonik
2.6 Diagnosis
1. Anamnesis2
Pasien dengan SE biasanya datang dengan keluhan utama berupa bangkitan kejang
atau pasca bangkitan kejang. Anamnesis pada pasien SE meliputi :
o Durasi kejang
o Hubungan dari ekstrimitas dan bagian tubuh lain (seperti wajah, bulu mata, dsb)
o Sifat gerakan kejang (contoh : pergerakan mata, fleksi, ekstensi, atau kekakuan pada
ekstrimitas)
o Inkontinesia
o Siaonis (perioral atau fasial)
o Durasi dari kejang sebelum masuk fasilitas kesehatan
o Tingkat kesadaran paska bangkitan kejang selesai
o Deficit neurologis paska kejang
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda – tanda trauma kepala atau gangguan system saraf pusat antara lain :2
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus SE disarankan untuk mencari kemungkinan dari infeksi pada pasien
pediatrik yang datang. Diagnosis banding dari SE antara lain :1
2.8 Tatalaksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian ABC (airway, breathing, circulation) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis
anti-konvulsan pada tatalaksanan SE sangat bervariasi antar insitiusi. Berikut adalah
algoritma tatalaksana kejang akut dan status epilepticus berdasarakna Konsensus UKK
Neurologi IDAI.3
Keterangan :3
Tatalaksana lain bergantung dengan etiologic penyebab bangkitan kejnag peratma kali
muncul, baik itu mengatasi distress pernafasan, meningitis, encephalitis, trauma kepala, dan
etiologic lainnya.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dari status epilepticus secara umum dapat dikatergorikan menjadi 2, yaitu
komplikasi primer langsung dari status epilepticus dan komplikasi sekunder akibat
pemakaian anti-konvulsan.3
1. Komplikasi primer3
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu
reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan
GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan
neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat
menyebabkan komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE
konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal.
Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis.
Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi,
hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi
hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa
akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi,
dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi
akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.
2. Komplikasi Sekunder3
2.10 Prognosis
Beberapa factor dapat mempengaruhi prognosis pasien dengan SE. Faktor – factor
tersebut antara lain tipe dari bangkitan kejang (non konvulsif vs tonik klonik generalisata),
durasi, etiologi dan umur pasien. Paska bangkitan kejang pada pasien dengan SE non
konvulsif, 60% pasien menunjukan detoriasi fungsi kognitif. Sedangkan pasien dengan SE
generalisata tonik – klonik yang durasi bangkitan kejangnya kurang dari 1 jam memiliki
prognosis lebih baik dengan detoriasi pada 69% kasus dibandingkan kasus yang berdurasi
lebih dari 1 jam.
3.2 Anamnesis
Pasien anak laki – laki usia 12 tahun datang dibawa oleh keluarga pasien ke IGD
RSUD Tarakan pada tanggal 9 September 2021 dengan
Keluhan Utama
o Kejang berulang sejak 2 jam SMRS, sebelumnya pasien sudah kejang 3 kali, 2 kali
pertama kejang berhenti sendiri. Sekarang kejang tidak berhenti sejak 15 menit yang
lalu.
o Kejang berawal dengan pasien menolek keatas diikuti kaku pada tangan dan kaki lalu
gerakan bergelunjak dari tangan dan kaki, pasien tidak sadar pasca kejang pertama
sampai sekarang.
o Riwayat demam, batuk, pilek, sebelumnya tidak ada
o Riwayat bibir atau wajah kebiruan tidak ada
o Riwayat trauma kepala sebelumnya tidak ada
o Pasien terlihat mengompol setelah kejang pertama.
o Riwayat BAB jumlah dan konsistensi normal
o Pasien dikenal dengan epilepsy, sudah berobat kurang lebih selama 3 tahun, diberikan
obat sirup bernama Sodium Valparoat dan obat racikan puyer, namun pasien sudah
tidak meminum obat selama 3 hari belakangan ini.
o Riwayat persalinan : lama hamil cukup bulan, cara lahir spontan pervaginam ditolong
oleh bidan, berat lahir 3100gr dengan Panjang lahir 48cm, keadaan saat lahir
menangis kuat. Penyulit persalinan tidak ada.
o Riwayat penyakit selama kehamilan ibu tidak ada.
o Riwayat vaksinasi pasien lengkap
o Riwayat penyakit jantung, ginjal, hepar, asma, keganasan pada pasien tidak ada.
Pernafasan : 29 x/menit
Temperatur : 36,9℃
Berat Badan : 49 kg
Satus Generalis
Kepala : bulat, simetris, tidak ada deformitas, nampak luka pada jidat kiri
pasien
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor 3/3, RC
+/+, RK +/+, edem palpebra tidak ada
Thorax
Jantung : Ictus cordis (-), Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, batas
jantung dalam batas normal, Bunyi Jantung (+), S1S2 Reguler, Murmur (-)
Pemeriksaan Neurologis
Refleks Fisiologis
Kornea : +/+
Biseps : +/+
Triseps : +/+
APR : +/+
KPR : +/+
Refleks Patologis
Hoffman – Tromner : - / -
Babinsky :-/-
Chaddoks :-/-
Oppenheim :-/-
Gordon :-/-
Schaffer :-/-
o Status Epileptikus
o Kejang Demam
o Suspek Trauma Kepala
Laboratorium
HEMATOLOGI
Darah Rutin
HEMOSTASIS
APTT
FUNGSI HATI
FUNGSI GINJAL
o Ureum 22 mg/dL 19 - 44
o Kreatinin * 1.5 mg/dL 0.6 - 1.3
DIABETES
ELEKTROLIT
Radiologi
Thorax PA/AP :
Kesan : tidak tampak infiltrate jelas pada kedua lapang paru, ukuran jantung tidak
membesar
o Status Epilepticus
o Anemia ringan, suspek defisiensi besi.
o Leukositosis
o Thrombositosis
3.7 Tatalaksana
Midazolam 1mg/jam
10.00 09/09/2021
Intubasi ETT 6,0 batas bibir 18cm premed midazolam 0,2 mg IV, ketamine 40mg IV
3.8 Prognosis
3.9 Follow Up
09/09/2021 13.00
S/ Pasien tidak sadar, demam (+), pasien sudah tidak kejang selama 2 jam, pasien terpasang
ventilator
O/ TD 135/84 ND 142 bpm RR 30x on ventilator T 37,5 SpO2 97%
BAK 1,3cc/kg/jam
10/09/2021 11.00
P/ SF 8 x 75 – 100mg
IVFD Lanjut
Cek Labor
O2 SIMV PSV 9
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada tanggal 09 September 2021 paisen datang dibawa oleh keluarganya dengan
keluhan utama kejang sejak 2 jam yang lalu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien sedang
kejang, menurut Algoritma tatalaksana kejang oleh IDAI maka pasien diberikan Diazepam
injeksi dengan dosis 0,2 mg/kgBB bertotal 1 ampul 5 mg. Pasien berhenti kejang dan
dilakukan alloanamnesis kepada keluarga pasien maka. Diketahui pasien memiliki riwayat
epilepsy sejak 3 tahun yang lalu dan bangkitan kejang sekarang merupakan bangkitan kejang
ketiga pasien dengan bangkitan pertama berlangsung selama 15 menit dimana pasien
kehilangan kesadaran pasca bangkitan pertama, dan bangkitan kedua terjadi saat pasien
sedang ditransport ke RSUD Tarakan berlangsung selama 10 menit. Dari alloanamnesis juga
didapatkan bahwa pasien sudah 3 hari tidak mengkonsumsi obat antiepileptiknya. Pasien
tidak memiliki riwayat infeksi sebelumnya maupun riwayat lain yang mensugesti pasien
memiliki kelainan system saraf pusat lainnya.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien memiliki riwayat jejas di kepala yang
diklarifikasi oleh orang tua pasien bahwa luka tersebut terjadi akibat benturan dengan tembok
beberapa hari sebelum pasien mengalami bangkitan kejang pertama. Taksiran tanda vital
pasien menunjukan batas normal yang menampis kemungkinan bahwa kejang yang dialami
pasien disebabkan factor peningkatan temperature yaitu kejang demam pada anak. Pada
bangkitan kejang pasien nampak keempat ekstrimitas pasien bergelonjak ritmik, tidak ada
pergerakan mata dari pasien, vokalisasi tidak ada, kesadaran pasien menurun, menandakan
seperti deskripsi kejang tonik-klonik. Riwayat frekuensi kejang berulang dan dengan
pertimbangan riwayat penyakit epilepsy pasien menyebabkan penulis berkonklusi bahwa
fenomena yang dialami oleh pasien sekarang merupakan bangkitan kejang Status Epileptikus
khususnya tipe Generalized Tonic-Clonic Seizure (GTCSE) yang merupakan bentuk paling
sering mucul dari Status Epileptikus.
1. Mitchell WG. Status epilepticus and acute serial seizures in children. J Child Neurol.
2002 Jan 17 Suppl 1 : S36-43
2. Wieruszewski ED, Brown CS, Leung JG, Wieruszewski PM. Pharmalogic
management of status epilepticus. AACN Adv Crit Care. 2020 Dec 15. 31 (4): 349 –
56.
3. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatamadja I, Handryastuti S.
Rekomendasi penataan status epilepticus. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Cetakan pertama. 2016. H 1.
4. Wylie T, Sanduh DS, Murr N. Status Epilepticus. StatPearls [Internet]. 2021. Diakses
di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430686/ Pada 10 Agustus 2021.