Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manifestasi Klinis
Manifestasi dari penyakit kusta dapat beragam tergantung dari tipe kuman
M. leprae yang masuk ke individu pasien dan imunitas dari pasien tersebut.
Namun, terdapat tiga tanda kardinal yang merupakan ciri khas dari penyakit
kusta. Apabila satu dari ketiga tanda ini ditemukan di suatu individu tersebut
maka dapat dinyatakan individu tersebut mengidap penyakit kusta. Tanda –
tanda kardinal tesebut antara lain : 1 – 3
 Lesi kulit yang tidak / kurang terasa (hipostesi / anestesi)
 Penebalan saraf perifer
 Penemuan kuman M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis

Manifestasi klinis dari penyakit kusta pada pasien jug amencerminkan


tingkat kekebalan dari imunitas seluler pasien, oleh karena itu, gejala dan
keluhan yang muncul dari penyakit kusta dapat bergantung pada: multifikasi dan
diseminasi kuman M. leprae, respons imun terhadap penderita kuman M. leprae,
dan komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.1 - 3

Penyakit kusta dapat diklasifikasikan mengunakan tiga sistem klasifikasi


utama yaitu klasifikasi Madrid, Ridey – Jopling, dan WHO berdasarkan
karakterisitik dari lesinya, klasifikasi tersebut antara lain:4

Tabel 2.x Klasifikasi Morbus Hansen 4


Klasifikasi yang digunakan oleh Ridley – Jopling membagi penyakit MH
menjadi 5 kategori berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis,
dan imunologis, antara lain:5

1. Tipe Tuberkuloid (TT)


Lesi ini dapat mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit dapat berjumlah satu
atau lebih dari satu. Bentuk dari lesi dapat menyerupai plakat ataupun makula
dengan batas yang jelas dan pada inti dari lesi dapat ditemukan lesi yang regresi
atau dikenal dengan fenomena central healing. Pada permukaan lesi dapat
ditemukan sisik dan tepi dari lesi dapat meninggi yang dapat mempersulit
membedakan lesi dengan kasus tinea atau psoriasis. Pada pemeriksaan saraf
dapat ditemukan penebalan saraf perifer, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.3
Gambar 2.x Lesi soliter berbatas jelas dengan hipopigmentasi yang

merupakan ciri khas dari lesi MH tipe TT3


2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe borderline (BT) mempunyai kemiripan dengan lesi tipe TT
dikarenakan menyerupai makula ataupun plak yang sering disertai dengan lesi
satelit di tepinya. Namun, manifestasi seperti hipopigmentasi, kekeringan kulit,
ataupun skuama pada tipe BT tidak sejelas pada tipe TT. Jumlah dari lesi tipe
BT dapat melebihi dari satu. Gangguan dari saraf tidak seberat pada tipe TT dan
lesi dari BT letaknya asimetris. Lesi satelit dari tipe BT biasanya terletak pada
saraf perifer yang menebal.

2
Gambar 2.x Lesi MH tipe BT berupa plak eritem dengan batas tegas3
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Lesi dari tipe BB merupakan lesi yang paling tidak stabil dari semua tipe
penyakit MH. Lesi pada tipe BB dapat berupa dimorfik dengan gambaran lesi
berupa makula infiltrative dengan permukaan lesi yang berkilap berbatas tidak
jelas dan berjumlah yang banyaknya melebihi lesi – lesi dari tipe BT. Lesi pada
tipe BB dapat bervariasi dari ukuran, bentuk, dan distribusinya. Ciri khas dari
tipe BB adalah lesi punched out yang ditemukan di tipe ini.3

Gambar 2.x Lesi punched out klasik dari tipe BB, daerah sentral dari lesi

3
sering ditemukan anestesi3
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi tipe BL berawal dari timbulnya makula berjumlah sedikit yang dapat
menyebar ke seluruh badan dengan cepat dengan bentuk dan variasi yang jelas
antar lesi. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi simetris dan
beberapa dari bentuk nodus melekuk pada bagian tengah lesi. Lesi pada bagian
tengah sering nampak normal dengan bagian pinggir lesi dalam infiltrate lebih
jelas dibandingkan dengan pinggir luar lesi. Tapak beberapa plak seperti lesi
punched out pada lesi tipe BL. Pada lesi tipe BL dapat ditemukan tanda – tanda
dari kerusakan saraf antara lain berkurangnya produksi keringan sekitar lesi,
hilangnya atau menurunnya sensasi perabaan pada daerah lesi, nampak
hipopigmentasi kulit di daerah lesi, dan rontoknya rambut lebih cepat
dibandingkan pada lesi tipe lepromatosa (LL).3

Gambar 2.x Lesi MH tipe BL di daerah punggung pasien berupa makula


hipopigmentasi disertai dengan nodus. Tampak lesi punched out daerah
punggung pasien.3

5. Tipe Lepromatous (LL)

4
Lesi tipe LL dapat berjumlah sangat banyak dengan distribusi simetris. Lesi
dapat memiliki permukaan yang halus dan berwarna lebih kemerahan dan
berkilap. Batas dari lesi tidak khas. Persebaran dari lesi khas yaitu pada daerah
wajah, dahi, pelipis, dagu, dan cuping telinga. Sedangkan pada badan dapat
mengenai bagian seperti lengan, punggung tangan, bagian ekstensor dari tungkai
bawah. Pada tingkat lanjut lesi dapat terjadi penebalan kulit yang berlangsung
secara perlahan, penebalan cuping telinga, penebalan garis muka membentuk
fascies leonine yang disertai madrosis, iritis, dan keratitis bahkan deformitas

hidung atau dikenal sebagai straddle nose.2


Gambar 2.x Fascies leonine contoh manifestasi khas dari penyakit kusta
tipe LL

Tabel 2.x Klasifikasi klinis kusta sesuai dengan kriteria WHO2

5
Tabel 2.x Manifestasi klinis kusta tipe pausibasiler2

Tabel 2.x Manifestasi klinis kusta tipe multibasiler2

6
2.2 Reaksi Kusta

Reaksi kusta dapat didefinisikan sebagai interupsi dengan episode gangguan


akut pada perjalana penyakit kusta yang bersifat kronis. Patofisiologis dari reaksi
kusta belum dimengerti secara jelas dan terminology serta klasifikasinya
bermacam – macam. Secara garis besar reaksi kusta merupakan reaksi
imunologis antara sistem imun tubuh dengan kuman M. leprae yang menginfeksi
tubuh seorang individu. Dari berbagai klasifikasi, reaksi kusta secara garis besar
dapat dibedakan menjadi reaksi tipe 1 atau dikenal sebagai reaksi reversal atau
upgrading, dan reaksi tipe 2 atau dikenal sebagai ENL (erythematous nodusum
leprosum).5

ENL timbul kebanyakan pada kusta tipe lepromatosa (LL) atau tipe
borderline lepromatosa (BL) berhubungan dengan kadar tingkat multibasilar
kuman M. leprae. Secara imunologis ENL dapat dikategorikan sebagai reaksi
imun humoral antara antigen kuman M. leprae dengan antibody (IgM dan IgG
dengan sistem komplemen imun.5

Manifestasi dari ENL yang timbul dapat berupa nodus eritem dengan nyeri
di tempat – tempat predileksi seperti lengan atau tungkai. Reaksi dapat
menimbulkan komplikasi seperti iridosklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis,
orkitis dan nefritis akut apabila mengenai organ – organ lain. 5 Sementara reaksi
reversal adalah reaksi yang terjadi pada sebagian atau keseluruhan lesi yang
telah ada dan bertambah aktif dan atau timbul lesi baru yang relative singkat,
menyebabkan lesi dari hipopigmentasi menjadi eritem, lesi makula menjadi
infiltrate, dan lesi inflitrat menjadi lebih infiltratif disertai pembesaran dari lesi
lama menjadi lebih luas.5

2.3 Diagnosis
Penegakan diagnosis dari penyakit kusta dapat ditentukan berdasarkan
penemuan minimal satu dari tiga tanda kardinal, antara lain:1 – 3
1. Bercak kulit yang mati rasa
Ditemukannya bercak kulit hipopigmentasi atau eritem, mendatar atau
meinggi dengan sensasi raba yang berkurang atau hilang.1 - 3

7
2. Penebalan saraf tepi
Pada perabaan saraf tepi dapat ditemukan penebalan dari saraf tersebut.
Penebalan saraf tersebut dapat disertai dengan rasa nyeri, gangguan fungsi
otonom seperti berkurangnya sekresi keringat, kulit yang mengering, atau
gangguan pertumbuhan dari rambut, gangguan dari saraf sensoris berupa
hilangnya rasa atau berkurangnya sensasi, serta dapat juga terjadinya
gangguan fungsi motorik.1 – 3
Pembesaran saraf perifer dapat dilakukan melalui palpasi saraf atau
voluntary muscle test. Saraf perifer yang dapat dilakukan palpasi antara lain
n. fascialis, n. aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n.
polpiptea lateralis, dan n. tibialis posterior.1 – 3

3. Ditemukannya kuman basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan


kerokan kulit
Penemuan kuman BTA saat pemeriksaan mikroskopis dari preparat
kerokan kulit merupakan konfirmasi dikarenakan sifat dari M. leprae yang
merupakan kuman BTA. Lokasi pengambilan dari kerokan kulit dapat
diambil dari lesi kulit yang aktif atau dari kulit cuping telinga.1 – 3

Pemeriksaan juga dibantu dengan data perjalanan penyakit yang didapatkan


dari anamnesis individu yang mengidap kusta. Anamnesis kepada individu yang
terkena kusta dapat ditekankan kepada waktu keluhan pertama kali muncul,
riwayat kontak dengan orang yang mengidap kusta, riwayat berpergian ke
daerah endemis kusta, riwayat pengobatan sebelumnya, dan komplikasi yang
terjadi pada individu akibat penyakit kusta tersebut.
2.4 Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan kulit / rasa raba
Pemeriksaan rasa raba dapat dilakukan menggunakan ujung dari kapas
yang dilancipkan yang disentuhkan ke daerah kelainan kulit yang dicurigai.
Sebelum melakukan pemeriksaan pemeriksa menjelaskan kepada pasien
bagaiamana mekanisme pemeriksaan akan dilakukan. Pemeriksa kemudian
akan menyentuh bagian dari lapangan pemeriksaan dan setelah disentuh

8
dengan kapas pasien diminta untuk mengkonfirmasi apakah pasien merasa
disentuh dengan kapas dan diminta untuk menunjuk daerahnya. Selama
pemeriksaan pasien diminta untuk menutup matanya dan mengarah kearah
kontralateral dari daerah yang diperiksa. Kelainan – kelainan di kulit
diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada atau tidaknya anestesi,
hipostesi pada telapak tangan dan telapak kaki.5

2. Pemeriksaan Saraf
a. Saraf Ulnaris3,4
Pemeriksaan saraf ulnaris dilakukan dengan memposisikan
lengan kanan pemeriksa di posisi siku sedikit ditekuk untuk relaksasi
dari tangan pasien. Menggunakan jari telunjuk dan jaru tengah tangan
kiri pemeriksa, pemeriksa mencoba untuk meraba saraf ulnaris di
daerah sulkus nervi unlaris dan tonjolan kecil di bagian medial atau
dikenal denagn epicondilus medialis. Dengan memberikan tekanan
ringan pada saraf ulnaris sambal menggerakan, pemeriksa dapat
melihat reaksi pasien tampak kesakitan atau tidak.
b. Saraf Peroneus Komunis (Poplitea Laeralis)3,4
Pemeriksan saraf peroneus komunis dimulai dengan penderita
diminta untuk duduk dan merelaksasi kaki pasien menghadap
pemeriksa dan dengan tangan kanan, pemeriksa diminta untuk
memeriksa kaki kiri penderita dan dengan tangan kiri memeriksa kaki
kanan pemeriksa.
Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada
pertengahan betis pasien bagian luar, sambil secara perlahan meraba
untuk mencari caput fibula. Setelah itu, pemeriksa dapat meraba saraf
peroneus dengan arah 1cm kearah belakang pasien. Dengan tekanan
ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kearah kanan dan kiri.
Pemeriksa juga diminta untuk melihat reaksi dari pasien apakah
pasien menunjukkan rasa sakit atau tidak.
c. Saraf Tibialis Posterior3,4

9
Pemeriksaan saraf tibialis posterior dimulai dengan pasien
diminta duduk dalam posisi relaksasi, kemudian pemeriksa dengan
jari telunjuk dan jari tengah meraba saraf tibialis posterior yang
berada di bagian belakang bawah dari mata kaki sebelah medial
(malleolus medialis) dengan tangan menyilang. Dengan tekanan
ringan saraf tersebut digulirkan. Pemeriksa diminta untuk melihat
reaksi dari pasien saat pemeriksaan dilakukan untuk melihat apakah
pasien merasa sakit atau tidak saat dilakukan penekanan.
3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf3,4
Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf perlu dilakukan
pemeriksaan pada mata, tangan, dan kaki. Perlu juga dilakukan pemerksaan
fungsi rasar raba dan kekuatan otot untuk melihat tingkat kerusakan dari
saraf pada pasien.
a. Mata
i. Penderita diminta untuk memejamkan mata
ii. Pemeriksa melihat pasien dari depan atau samping apakah
mata tertutup dengan sempurna atau tidak dengan
memerhatikan apakah ada atau tidaknya celah
iii. Bagi mata yang menutup tidak rapat, pemeriksa diminta
untuk mengukur lebarnya celah tersebut.
b. Tangan
i. Fungsi sensoris (saraf ulnaris dan medianus)
 Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan
diatas meja/paha penderita atau tertumpu pada tangan
kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga semua ujung
jari tersangga.
 Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan
padanya, sambil memperagakan dengan menyentuhkan
ujung ballpoint pada lengannya dan satu atau dua titik
pada telapak tangan

10
 Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta
untuk menunjukkan tempat sentuhan tersebut dengan jari
tangan yang lain.
 Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif.
 Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah
berlawanan dari tangan yang diperiksa.
 Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh.
 Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak
berurutan
 Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm.
ii. Fungsi motorik (saraf ulnaris, medianus, dan radialis)
a. Saraf Ulnaris (kekuatan otot jari kelingking)
 Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3,
dan 4 tangan kanan penderita dengan telapak
tangan penderita menghadap keatas dan posisi
ektensi (jari kelingking / 5 bebas bergerak tidak
terhalang oleh tangan pemeriksa.
 Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan
kelingking dari jari-jari lainnya,bila penderita
dapat melakukannya minta ia menahan
kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya ,
dan kemudian ibu jari pemeriksa mendorong pada
bagian pangkal kelingking.
Penilaian :
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat
atau menjauh berarti dari jari lainnya berarti lumpuh.
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan
dorongan pemeriksa berarti lemah.
- Bila jari kelingking penderita dapat menahan
dorongapemeriksa ibu jari bisa maju dan dapat
menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih
kuat.

11
Bila masih ragu, dapat dilakukan pemeriksaan
dimana pasien diminta untuk menjepit sehelai kertas
diantara jari kelingking dan jari manis yang kemudian
akan ditarik oleh pemeriksa. Apabila pasien masih
dapat menahan maka kekuatan otot dinilai baik dan
kekuatan dinilai melemah apabila terjadi sebaliknya.
b. Saraf Medianus (kekuatan otot ibu jari)
 Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk
sampai kelingking tangan kanan penderita agar
telapak tangan penderita menghadap keatas,dan dalam
posisi ekstensi .
 Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak
lurus terhadap telapak tangan penderita (seakan-akan
menunjuk kearah hidung) dan penderita diminta untuk
mempertahankan posisi tersebut.
 Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari
yaitu dari bagian batas antara punggung dengan
telapak mendekati telapak tangan.
Penilaian :
 Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat.
 Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah
lemah
 Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh.
c. Saraf Radialis (kekuatan otot pergelangan tangan)
 Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan
bawah tangan kanan penderita.
 Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan
yang terkepal keatas (ektensi).
 Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi
(keatas) lalu dengan tangan kanan pemeriksa
menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi
Penilaian :

12
 Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat.
 Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah.
 Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh
(pergelangan tangan tidak bisa digerakkan keatas).
iii. Kaki
a) Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior)
a. Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri,
usahakan telapak kaki menghadap keatas.
b. Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki
penderita.
c. Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba
tangan..
d. Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan
cekungan berdiameter 1 cm.
e. Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal
2,5 cm.
b) Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis)
a. Dalam keadaan duduk, penderita diminta
mengangkat ujung kaki dengan tumit tetap terletak
dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan
tumit).
b. Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi
tersebut lalu pemeriksa dengan kedua tangan
menekan punggung kaki penderita kebawah/lantai.
1
Keterangan:
 Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
 Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah.
 Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung
kaki tidak bisa ditegakkan keatas).

13
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan pada kasus pasien
dengan morbus Hansen adalah pemeriksaan bakterioskopik sederhana,
pemeriksaan histopatologik, dan pemeriksaan serologik.4 Pemeriksaan
bakterioskopik sederhana dapat dilakukan dengan preparat yang diambil melalui
kerokan kulit, terutama kerokan kulit di daerah lesi yang aktif atau dari cuping
telinga pasien. Pemeriksaan histopatologik dapat dilakukan dengan preparat lesi
yang diambil dari biopsy, sedangkan pemeriksaan serologis berupaya melihat
pembentukan antibodi sebagai hasil dari infeksi tubuh oleh kuman M. leprae.5
1. Pemeriksaan bakterioskopik4
Pemeriksaan bakterioskopik dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dari pasien dengan penyakit MH dan juga dapat
berfungsi sebagai pemantauan progress dari pengobatan pasien. Pemeriksaan
bakterioskopik dilakukan dengan melihat jumlah dari kuman BTA yang
berada di hasil kerokan kulit dari lokasi lesi yang aktif atau dari cuping
telinga pasien yang sudah diwaranai dengan pewarana Ziehl – Nielsen.3,5
Hasil pemeriksaan bakterioskopik dapat menkonfirmasi diagnosis dari
pasien. Namun, tidak ditemukannya kuman BTA pada pemeriksaan
bakterioskopik tidak dapat menyingkirkan kemungkinan bahwa pasien
tersebut tidak mengidap MH. Kepadatan BTA pada pemeriksaan
bakterioskopik tanpa membedakan solid dan non – solid suatu sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 – 6+ menurut Ridley,
dengan nilai 0 menunjukkan tidak ditemukannya kuman BTA dari 100
lapangan pandang.3,5

14
Tabel 2.x Kepadatan BTA4,5

Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan


jumlah solid dan non – solid.4,5

Syarat – syarat perhitungan IM :4,5


 Jumlah minimal kuman yang ditemukan tiap lesi 100 BTA
 Nilai IB 1+ tidak diperlukan pembuatan IM. Hal ini dikarenakan
untuk mendapatkan 100 BTA pemeriksaan harus mencari
minimal 1.000 dari 10.000 lapangan pandang.
 Mulai dari nilai IB 3+ nilai IM harus dihitung, dikarenakan pada
nilai IB 3+ lapangan pandang maksimum yang dicari adalah 100
lapangan pandang
2. Pemeriksaan histopatologik
Pada pemeriksaan histopatologik, gambaran granuloma dapat
mendeskripsikan akumulasi makrofag atau derivat – derivatnya. Gambaran
histopatologik pada kasus tipe TT adalah tuberkel dan kerusakan sarf yang

15
lebih nyata, tidak ditemukan basil atau sedikitnya ditemukan basil dan
bersifat non – solid. Pada tipe LL dapat ditemukan zona sunyi subepidermal
(supepidermal clear zone), yang merupakan suatu daerah langsung dibawah
epidermis yang jaringanya tidak patologs. Dapat ditemukan sel Virchow
dengan hasil basil yang banyak. Pada kasus tipe borderline dapat ditemukan
campuran dari aspek – aspek penemuan tersebut.5

Tabel 2.x Karakteristik histologis dari berbagai tipe kusta menurut Ridley –

Jopling5

3. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic
glycolipid-1 (PGL1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan
antibodi tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM),
yang juga dihasilkan oleh kuman M. Tuberculosis.5
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Di

16
samping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis karena tidak
didapati lesi kulit, misalnya pada kontak serumah. 5 Macam-macam
pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
dan uji ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick).5
2.6 Tatalaksana
Pengobatan penyakit kusta di Indonesia merupakan salah satu program
kesehatan nasional yaitu program pemberantasan kusta. Oleh karena itu
pengobatan dari pasien dengan penyakit kusta ditanggung oleh pemerintah dan
kontribusi dari pasien tersebut adalah ketaatan dalam berobat.1 Obat antikusta
yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon)
kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah resistensi , pengobatan
tuberkulosis telah menggunakan multidrug treatment (MDT) sejak tahun 1951,
sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971.5
2.6.1 Regimen Pengobatan MDT
Regimen pengobatan MDT terdiri dari kombinasi obat dapson (DDS),
rifampisin, dan klofazimin (lampren) bertujuan untuk mengurangi resistensi
dapson, memperpendek masa pengobatan, mempercepat memutus mata rantai
penularan, serta mengurangi ketidak-taatan pasien dan menurunkan angka putus
obat.1 Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan,
penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal,
pausibasilar dengan lesi 2-5 buah dan penderita multibasilar dengan lesi lebih
dari 5 buah. Oleh sebab itu skema rejimen MDTWHO menjadi sebagai berikut:3
1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg
sebulan sekali, di bawah pengawasan, ditambah dengan DDS 100
mg/hari (1-2 mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan.
2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi
rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, DDS 100
mg/hari swakelola ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi
dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.
3. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.

17
4. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan
dengan berat badan.

Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan pengobatan MDT:1,3

 Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapatkan MDT
 Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami:
o Relapse
o Masuk kembali setelah default (baik pada tipe PB ataupun MB)
o Pindahan
o Perubahan klasifikasi atau tipe

Berikut ini merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai


rekomendasi dari WHO. Regimen tersebut antara lain:2,3

Tabel 2.x Pengobatan morbus hansen tipe pausibasiler2,3

Keterangan :

 Dewasa :
o Hari pertama, peminuman obat di depan petugas
 2 kapsul rifampisin 300mg (600mg)
 1 tablet dapson/DDS 100mg
o Pengobatan harian : hari 2 – 28
 1 tablet dapson/DDS 100mg
 Anak usia 5 – 9 tahun
o Hari pertama, peminuman obat di depan petugas
 2 kapsul rifampisin 150mg (300mg)
 1 tablet dapson/DDS 25 mg
o Pengobatan harian : hari 2 – 28
 1 tablet dapson/dds 25mg

18
 Anak usia 10 – 15 tahun
o Hari pertama, peminuman obat di depan petugas
 2 kapsul rifampicin 150mg dan 300 mg
 1 tablet dapson/DDS 50 mg
o Pengobatan harian : hari 2 -28
 1 tablet dapson/DDS 50mg

Tabel 2.x Pengobatan morbus hansen tipe multibasiler2,3

Keterangan :

 Dewasa
o Hari pertama, obat diminum didepan petugas
 2 kapsul rifampisin 300 mg (600 mg)
 3 tablet lampren 100mg (300 mg)
 1 tablet dapson/DDS 100 mg
o Pengobatan harian: hari ke 2-28
 1 tablet lampren 50 mg
 1 tablet dapson/DDS 100 mg
 Anak usia 10-14 tahun
o Hari pertama obat diminum di depan petugas
 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
 3 tablet lampren 50 mg (150 mg)
 1 tablet dapson/DDS 50 mg
o Pengobatan harian: hari ke 2-28
 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
 1 tablet dapson/DDS 50 mg

19
2.6.2 Pengobatan Reaksi Kusta

Pengobatan reaksi kusta dilakukan dengan prinsip:2,3

a) Pemberian obat antireaksi


b) Istirahat atau imobilisasi
c) Analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri
d) Obat anti kusta diteruskan

Pengobatan pada kasus reaksi ENL sering digunakan prednisone dengan dosis
yang tergantung dari berat atau ringannya reaksi tesebut. Dosis yang dipakai
adalah 15 – 30mg/hari, dosis dapat disesuaikan dengan tingkat keberatan dari
reaksi.3,5

Klofazimin digunakan sebagai obat antikusta dapat juga digunakan sebagai


obat anti reaksi dari ENL dengan penyesuaian dosis lebih tinggi dilanjutkan
dengan tapering off per-dua bulan. Dosisnya adalah 3 x 100mg/ hari selama 2
bulan, dilanjutkan dengan 2 x 100mg/hari selama 2 bulan selanjutnya, lalu 1 x
100mg/hari selama 2 bulan terakhir.2,3,5

Pada reaksi reversal perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau
tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberikan pengobatan
tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid
yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan
prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-perlahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif kalau
diperlukan dapat diberikan, klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif.5

Pemberian kortikosteroid dapat mengikuti prinsip sebagai berikut:3

 Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang


 Gunakan prednison atau prednisolone
 Gunakan sebagai dosis tunggal pagi hari
 Dosis diturunkan setelah terjadi respon maksimal
 Dosis dapat dimulai antara 40-80 mg prednison/ hari dan diturunkan 5-
10mg/ 2 minggu

20
Tabel 2.x Anjuran pemberian prednison2,4

2.7 Pencegahan Kecacatan Akibat Kusta


Cara terbaik untuk melakukan pencegahan kecacatan atau prevention of
disabilities adalah (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan sesegera mungkin.4 WHO Expert Committee on Leprosy
(1997) membuat klasifikasi kecacatan pada penderita kusta, yaitu:4
 Cacat pada tangan dan kaki
o Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
o Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas
yang terlihat
o Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas
Kerusakan pada tangan atau kaki dapat berupa ulserasi, absorbs, mutilasi,
dan kontraktur.
 Cacat pada mata
o Tingkat 0 : tidak ada kelainan / kerusakan pada mata (termasuk visus).
o Tingkat 1 : ada kelainan / kerusakan pada mata tetapi tidak terlihat
dengan visus sedikit berkurang
o Tingkat 2: ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus yang terganggu
Kerusakan pada mata dapat berupa anestesi kornea, iridosiklitis, dan
lagoftalmos.

21
2.8 Prognosis
Pada penderita yang tidak diberi pengobatan maka pasien dapat sembuh
sendirinya yaitu pada tipe TT atau pasien BT yang beralih ke TT. Di lain hal
penyakit ini dapat menjadi progresif dengan kejadian morbiditas pada kerusakan
saraf dan reaksi kusta.4,5

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection.


In:Goldsmith LA, Katz SI,Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K,
eds. Fitzpatrick’s Dermatology in GeneralMedicine. 8th Ed: Volume 2.
New York: McGraw-Hill; 2012.
2. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the Skin,
Clinical Dermatology.12th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2015.
3. Burns T., B.S., Cox N. et al,Rook’s Textbook of Dermatology.9th
Edition.2016.
4. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 8th ed. New York : McGraw Hill 2011.
5. Wisnu I, Daili ESS, Menaldi. Kusta. Dalam: Menaldi SL (eds). Ilmu
Penyakit kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2017.

23

Anda mungkin juga menyukai